• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONFLIK DAN MODEL-MODEL RESOLUSI KONFLIK

Pada bagian ini, akan diulas secara mendalam mengenai model-model

penyelesaian konflik. Model yang dimaksudkan disini menjelaskan cara kerja

terhadap suatu realitas yang dikehendaki untuk diselesaikan. Dasar berpikir semacam

ini merupakan pintu masuk untuk menjelaskan bagaimana Gereja dalam hal ini

Majelis Jemaat GPM Rehoboth menyelesaikan konflik. Model-model penyelesaian

konflik dalam tulisan ini tidak identik dengan manajemen konflik atau istilah

sejenisnya sehingga tidak merujuk pada suatu strategi yang dihasilkan. Ia a dalah

sebuah upaya dengan strategi yang mana konflik berlangsung sejauh itu digunakan.

Artinya begitu kompleksnya permasalahan tidak lalu menggiring opini untuk

kemudian dipaksakan bahwa suatu upaya yang dikehendaki tepat dan yang lain tidak

tepat.

Dengan begitu, segala peristiwa dapat terekam dengan baik tanpa ada perasaan

membenarkan atau menyalahkan suatu upaya penyelesaian konflik. Berkaitan dengan

itu pula, penting juga menjelaskan soal definisi konflik sehingga kita memiliki

pemahaman yang cukup untuk tugas analisis dan penarikan kesimpulan. Disana juga

akan dijelaskan bagaimana posisi gereja mengambil perannya dan apakah perannya

dilaksanakan secara intensif.

A. Hakikat Konflik

(2)

sesuaian, pertentangan, ketidakserasian, perkelahian, oposisi dan interaksi -interaksi

yang antagonis bertentangan.15 Maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya konflik

dimaknai sebagai keadaan yang tidak dimungkinkan dalam proses-proses sosial.

Karena dapat menciptakan kondisi tidak seimbang dalam masyarakat. Sehingga

menimbulkan akibat negatif.

Menurut Lewis Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau

tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang

persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak

hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga

memojokan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka”16

Selanjutnya Coser

juga berpendapat, perselisihan atau konflik tidak semata-mata bersifat negatif.

Karena konflik sebagai unsur interaksi maka dia juga dapat bersifat posit if. Untuk

menentukan fungsional tidaknya suatu konflik, dapat diketahui melalui tipe isyu yang

merupakan subjek suatu konflik.17 Dengan demikian, konflik sosial yang disebabkan

oleh identitas asal yang cenderung menyerang nilai-nilai inti sebuah kelompok,

terlepas dari kedudukannya sebagai penyebab pokok atau pemicu (katalis), berpotensi

melahirkan dis-integrasi sosial dan mengarah pada kekerasan komunitas (communal

violence) yang mengancam tertib kehidupan sosial. Kondisi yang berkembang

melawan struktur ini, terjadi sebagai akibat adanya justifikasi rasional dan justifikasi

kolektif yang membentuk perilaku destruktif kelompok-kelompok masyarakat.18

masyarkat dalam cakrawala sejarah sosiologi, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 1993), 211

17

M. M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 1979), 115

18

(3)

Sementara menurut K.J. Veeger, konflik berfungsi mengintegrasikan orang,

menghasilkan solidaritas dan keterlibatan, dan membuat orang lupa perselisihan

intern mereka.19

Sedangkan menurut Dean G. Pruitt, konflik adalah persepsi mengenai

perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). Kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa sesungguhnya ia inginkan. Ada beberapa dimensi dalam

mendiskripsikan kepentingan. Beberapa kepentingan bersifat universal (seperti

kebutuhan akan rasa aman, identitas, “restu sosial” (social approval), kebahagian,

kejelasan tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusian yang bersifat fisik).

Sedangkan kepentingan spesifik adalah kepentingan yang memiliki prioritas lebih

tinggi. Seperti kepentingan untuk memiliki sesuatu.20

Sebelum kepentingan satu Pihak dapat bertentangan dengan kepentingan Pihak

Lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus diterjemahkan ke dalam suatu aspirasi,

yang didalamnya terkandung berbagai tujuan dan standar. Tujuan adalah akhir yang lebih kurang tepat dari arah yang diperjuangkan oleh seseorang. Standar adalah tingkat pencapaian minimal yang bila lebih rendah daripadanya orang akan

menganggapnya tidak memadai. Aspirasi-aspirasi ini harus dianggap tidak sesuai

dengan aspirasi Pihak Lain dan begitu pula sebaliknya. Semakin besar

ketidaksesuaian ini, semakin besar pula perbedaan kepentingan itu akan diperseps i.21

19

K J. Veeger, Op.,Cit. 212

20

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar), 21

21

(4)

B. Karakteristik Konflik Sosial22

Menurut basisnya karakteristik konflik dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

 Value-based conflict. Konflik yang terjadi karena perbedaan nilai-nilai,

norma-norma, dan kepercayaan pada nilai-nilai subyektif yang tidak universal. Perolehan

pada satu pihak dipandang sebagai kekalahan pada pihak lain. Dalam konflik

semacam ini, manfaat dan kebenaran dari masalah yang dipertikaikan sulit

diverifikasi secara ilmiah sehingga sulit dipecahkan. Kesulitan itu disebab kan karena

para pihak memiliki kriteria yang berbeda dalam menilai gagasan atau perilaku.

Tujuan yang hendak dicapai secara intrinsik bersifat eksklusif. Diperkuat dengan

perbedaan cara hidup, ideologi, dan agama

 Interest-based conflict. Di dalam konflik ini, terjadi persaingan yang nyata

maupun yang dipersepsikan mengenai substansi kepentingan. Konflik terjadi

berdasarkan perbedaan isu pokok yang substansial dari kepentingan obyektif para

pihak. Di dalam konflik ini, terdapat kepentingan obyektif para pihak. Di dalam

konflik ini, terdapat kepentingan secara psikologis maupun secara prosedural.

 Structural conflict. Konflik yang terjadi karena pola perilaku atau interaksi yang

destruktif, serta tidak adanya distribusi dan pemilikan sumberdaya yang merata dan

disertai dengan kewenangan yang tidak seimbang. Isu utama yang dihadapi konflik

jenis ini yaitu masalah keadilan.

22

(5)

 Relationship conflict. Disebabkan oleh emosi yang tinggi, disertai dengan

stereotype sosial dan mispersepsi dan ketiadaan komunikasi ataupun komunikasi yang

lemah. Konflik terjadi karena ada pengulangan sikap yang negative.

 Data conflict. Penyebabnya adalah kurangnya informasi, perbedan pandangan

mengenai relevansi suatu masalah, perbedaan interpretasi data dan perbedaan

prosedur penilaian mengenai maslaah tertentu.

C. Model-Model Resolusi Konflik.

Untuk kepentingan ini, beberapa ahli telah mencoba untuk mengembangkan

pemikiran-pemikiran yang konstruktif untuk menemukan formula yang tepat bagi

suatu proses penyelesaian konflik.

Burton misalnya menawarkan titik-titik navigasi yang dapat dipakai untuk

mencari sebab-sebab dasar (deeprooted) dari konflik.23 Bagi Burton, titik-titik

navigasi tersebut adalah keterkaitan resiprokal antara struktur sosial, institusi sosial,

dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Pruitt ketika memberikan tiga model konflik (model Agresor-Defender, model Spiral-Konflik dan perubahan struktural). Dia mengkategorikan Burton kedalam model konflik

perubahan struktural.24 Model perubahan struktural ini menjelaskan bahwa konflik, beserta taktik-taktik yang digunakan untuk mengatasinya, menghasilkan residu.

Residu berupa perubahan-perubahan yang terjadi baik pada pihak-pihak yang

berkonflik maupun masyarakat dimana mereka tinggal. Ada tiga macam bentuk

23

Dalam Tonji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku, (Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Univeritas Kristen Satya Wacana Press, 2011), 18

24

(6)

perubahan struktural. Yaitu perubahan psikologis, dari perubahan psikologis

membentuk ke perubahan kolektif dan perubahan dalam masyarakat di sekeliling

yang berkonflik.25 Perubahan psikologis dimungkinkan terjadi seiring tingginya

eskalasi kontroversi terhadap perbedaan yang dianggap merugikan dan

mediskreditkan pihak-pihak berkonflik. Baik yang pelakunya perorongan maupun

kolektif. Ketika kolektif (kelompok, organisasi atau negara) yang terlibat konflik,

maka perubahan struktural juga dapat terjadi pada tingkat kolektif. Perubahan dari

psikologis ke kolektif terjadi dengan asumsi adanya kecenderungan esklasi

kontroversi tadi menjadi norma kolektif. Kohesivitas yang semakin meningkat, yang

timbul karena adanya musuh dari luar kelompok, memberikan sumbangan terhadap

kekuatan norma ini maupun terhadap cara untuk mengimplementasikannya.26

Kajian tentang dinamika konflik juga dilakukan oleh Kriesberg27. Dia

mengelompokan dinamika konflik dalam dua perspketif. Pertama, Dia melihat adanya

variasi yang beragam terhadap konflik. Variasi dari suatu konflik dapat dilihat dari

karakteristik pihak yang bertikai, hubungan antar pihak yang bertikai, konteks sosial

konflik, sarana konflik, dan hasil konflik. Kedua, yaitu berkaitan dengan

sumber-sumber konflik, dalam kaitan itu Kriesberg membaginya dalam tiga kelompok.

Kelompok pertama, menekankan perlunya mengkaji faktor-faktor internal, seperti

karakter dasar manusia, interaksi sosial dan sistem sosial. Kelompok kedua cenderung

pada konteks sistemik suatu konflik. Hal tersebut biasanya membahas masalah

institusi budaya, scarcity, distribusi kekuatan, serta konsistensi dan stabilitas sistem.

(7)

Kelompok Ketiga, mengkaji karakter dan hubungan antar pihak yang bertikai.

Kelompok ini mencari sumber-sumber konflik dalam variabel distribusi kekuatan

yang tidak simetris, perbedaan filosfi kehidupan antar kelompok, dan potensi integrasi

kelompok. Selain Kriesberg, Pruiit dan Rubin menawarkan lima strategi penyelesaian

konflik yang bisa digunakan yaitu:28

1. Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang

lebih disukai oleh satu pihak atas pihak yang lain. Strategi ini meliputi

segala macam usaha untuk menyelesaiakan konflik sesuai dengan

kemauan sendiri tanpa mempedulikan kepentingan pihak lain.

2. Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia

menerima yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam

strategi ini bukan berarti bahwa mengalah dan menyerah secara total,

tatapi bisa saja menglaah dan mencari alternative pemecahan masalah

yang lain.

3. Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang

memuaskan kedua belah pihak. Pihak-pihak yang menggunakan

strategi ini berusaha mempertahankan aspirasinya sendiri tetapi

sekaligus berusaha mendapatkan cara untuk melakukan rekonsiliasi

dengan pihak lain dan mencari solusi yang bisa diterima oleh kedua

belah pihak.

28

(8)

4. With drawing (menarik diri) memilih meninggalkan situasi konflik

secara fisik maupun psikologis. Penghentian usaha untuk mengatasi

konflik ini biasanya bersifat permanen.

5. inaction (diam) yaitu memilih untuk diam dan tidak melakukan

apa-apa ketika sedang mengalami konflik, tetapi tetap membuka

kemungkinan untuk melakukan upaya penyelesaian konflik.

Dari lima strategi diatas, umumnya strategi problem solving banyak diterapkan. Karena cara ini bertujuan untuk menghindari penyelesaian konflik atau

pertikaian melalui jalur hukum, yang dirasa kurang efesien. Ada beberapa langkah

yang dapat ditempuh ketika menggunakan strategi problem solving, yaitu; pertama, memastikan adanya konflik kepentingan yang secara nyata terjadi. Kedua, melakukan

analisis terhadap kepentingan sendiri dan menetapkan aspirasi yang masuk akal, serta

mempertahankannya. Ketiga, mencari cara untuk merekonsiliasikan aspirasi kedua

belah pihak. Keempat, menurunkan aspirasi yang telah ada dan mencari beberapa

aspirasi lagi.29

Dari berbagai macam resolusi yang ada, kovach mencoba untuk

menggolongkan resolusi konflik menjadi beberapa macam, yaitu dengan cara

tradisional, melalui jalur hukum, dan ADR (Alternative Dsipute Resolution).30

29

Ibid., 340-345

30

(9)

a. Penyelesaian Konflik Secara Tradisional

Konflik dipandang sebagai suatu pergulatan, peperangan, atau pertarungan

antara dua belah pihak yang memiliki perbedaan tujuan atau memiliki suatu yang

bertentangan satu dengan yang lain. Penyelesaian konflik dengan cara tradisional

biasnaya menggunakan kekerasan, kekuasaan, dan paksaan yang melibatkan kedua

belah pihak untuk mempertahankan kedudukan masing-masing dan menjatuhkan

pihak yang menjadi ancaman. Dari penyelesaian ini paling tidak ada salah satu pihak

yang tidak memiliki kuasa akan dikecewakan dan merasa dirugikan. Sedangkan pihak

yang memiliki kuasa kemungkinan bisa memenangkan dan dianggap benar terlepas

dari realitas siapa yang benar dan siapa yang salah.

Disamping itu juga, penyelesaian konflik secara tradisional juga ada yang

melibatkan orang-orang di sekitar lingkungan konflik. Penyelesaian konflik dengan

cara ini justru bukan dilakukan oleh pihak-pihak yang berkonflik, tetapi orang-orang

yang ada disekitar pihak yang berkonflik. Cara ini dilakukan dengan melakukan

kompromi-kompromi dengan pihak-pihak lain terhadap pihak yang sedang

berkonflik. Biasanya pihak yang melakukan kompromi tidak selalu dapat memahami

dengan baik konflik yang terjadi, sehingga usaha penyelesaian yang dilakukan tidak

mencapai titik penyelesaian yang diharap dan malah semakin memperkeruh suasana.

Dalam pada itu juga, konseling merupakan salah satu cara penyelesaian

konflik secara tradisional. Cara ini dilakukan dengan memberi pendampingan

terhadap pihak-pihak yang sedang berkonflik. Konseling dilakukan ketika pihak yang

(10)

konselor memberikan beberapa catatan untuk menolong pihak-pihak berkonflik untuk

menyadari akan kesalahannya. Cara seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan

ketidak puasaan salah satu pihak. Sebab pada akhirnya semua pihak akan disuruh

menerima peristiwa dengan konsekuensi yang sudah terjadi.

Dengan demikian model penyelesaian konflik seperti ini sering dianggap

kurang relevan karena masih menyisahkan ketidakpuasaan dari pihak-pihak yang

mengakui begitu saja realitas yang sudah terjadi. Dan tidak semua orang dengan muda

menerima akan hal itu.

b. Melalui Hukum/Litigasi

Banyak konflik diselesaikan di Meja hijau. Cara itu sudah lama dilakukan

dengan tujuan rasa keadilan kepada pihak yang sedang bertikai. Prosesnya, salah satu

pihak atau kedua belah pihak yang terlibat konflik menyerahkan solusi konfliknya

pada pengadilan perdata di pengadilan Negeri melalui gugatan penggugat kepada

tergugat. Pihak lainnya yang memiliki hubungan dengan objek sengketa bisa juga

mengintervensi proses pengadilan. Hakim kemudian memeriksa kasus tersebut

dengan menggunakan Hukum Acara Perdata. Proses pengadilan umumnya didahului

dengan permintaan hakim agar kedua belah pihak berdamai terlebih dahulu. Jika

perdamain tidak tercapai, hakim akan memeriksa kasusnya dan mengambil keputusan.

Keputusan hakim bisa berupa wi-win solution dimaa salah satu pihak dikalahkan atau

win and win solution di mana solusi kolaborasi atau kompromi terjadi. Jika salah satu

pihak atau kedua belah pihak merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan, mereka

(11)

memuaskan, mereka bisa mengajukan banding ke lembaga pengadilan yang

jenjangnya lebih tinggi lagi.31

c. Melalui Proses Legislasi

Resolusi konflik melalui pendekatan legislatif adalah penyelesaian konflik

melalui perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga legistlatif. Konflik yang

diselesaikan dengan cara ini adalah konflik yang besar dan meliputi populasi yang

besar, tetapi mempunyai pengaruh terhadap individu anggota populasi. Dalam konflik

politik, misalnya konflik mengenai batas daerah dan konflik pemekaran wilayah.

Konflik ini diselesaikan melalui dikeluarkannya undang-undang dan atau peraturan

pemerintah setempat.32

d.Pendampingan Pastoral

Umumnya Gereja dipahami sebagai struktur dan sistem pengorganisasian

(tradisi teologi, doktrin, aturan, liturgi, tata pelayanan dll). Sering juga dipahami tidak

terbatasi pada pengertian spesifik “kelembagaan” atau institusi saja. Dalam pengertian

ini, lebih mengarah pada gerakan sosial-keagamaan yang secara konstan melakukan

dekonstruksi pemikiran dan institusional seiring dinamika perubahan sosial dalam

konteks keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.

Sekiranya tidak terjebak pada dikotomi antara dua pemahaman umum

masyarakat tentang defenisi Gereja itu. Namun satu hal yang mungkin pasti, bahwa

Gereja hadir untuk menggumuli masalah-masalah kontekstual. Dalam melakukan hal

31

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. (Jakarta: Salemba Humanik, 2010),184

32

(12)

ini tentunya, ia dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan perubahan sosial secara

partikular maupun global.

Dalam rangka melakukan proses-proses kontesktualisasi, Gereja tidak bisa

tidak memanfaatkan perspektif keilmuan tertentu (teori dan metodologi), terutama

ilmu-ilmu humaniora (sosiologi pendidikan, antroplogi, manajemen konflik dll),

sebagai kerangka analisis memahami dan menjelaskan fenomena sosio-religius suatu masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat.33

Maka Gereja tidak harus dipandang sebagai institusi religious yang

menggumuli sekedar ritual keagamaan pada saat ibadah minggu dan seterusnya.

Melainkan Ia adalah lembaga kemasyarakatan dibentuk untuk merespons dinamika

kekinian.

Salah satu dinamika kekinian yang harus direspons Gereja ialah mengenai

konflik sosial. Sebab konflik sosial adalah situasi yang bisa saja memecah belah

persekutuan ke-umatan atau ke-masyarakatan. Lantas model yang biasanya ditempuh

sebagai pemecahan konflik yaitu pelayanan dan konseling pastoral.

Pastoral dapat dimengerti sebagai “pelayanan sosial” yang merambat masuk

sampai kedalam dimensi kehidupan yang paling kecil sekalipun.34 Dalam kaitan itu,

ada dimensi pastoral yang harus kita maknai secara luas. Hal itu penting, sebab masih

banyak anggapan yang terkesan memisahkan antara yang “pastoral” dan yang

“kemasyarakatan”. Padahal pelayanan pastoral tidak cukup hanya berdialog dengan

33

Hillary Rodrigues and John S. Harding, Introduction to the Study of Religion (New York: Routledge, 2009), 10

34

(13)

iman semata, melainkan juga dia memerlukan pendekatan sosiologi.35 Howard

Clinebell dalam kaitan dengan ini menegaskan bahwa; “pendampingan dan konseling

pastoral adalah alat-alat berharga melaluinya gereja tetap relevan dengan kebutuhan

manusia.36 Pengertian itu menegaskan bahwa pendekatan sosial (bac: resolusi konflik)

untuk menjawab tantangan pelayanan Gereja juga termasuk dalam pendampingan

pastoral.

Eksistensi gereja semacam itu juga rupanya didukung oleh Clebsch dan Jaekle.

Melalui defenisi pendampingan pastoralnya yang didefenisikan sebagai “tindakan

pertolongan yang dilakukan oleh orang Kristen yang representative, yang diarahkan untuk menyembuhkan, menopang, membimbing, dan mendamaikan orang-orang bermasalah yang masalanya muncul dalam konteks pengertian dan perhatian yang

mendasar”.37

Dari definisi itu ada beberapa hal khusus yang digaris bawahi sebagai

ciri pendampingan/pelayanan pastoral yang dilakukan gereja:38

Pertama, pelayanan pastoral gereja harus dilakukan oleh orang-orang Kristen yang representatif. Representatif secara de jure dan de facto sehingga mampu membawa kebijakan dan otoritas iman serta hidup kristiani ke dalam

masalah-masalah manusia.

35

Lery Kent Graham, “From Relational Humaness to Relational Justice; Recovering Pastoral Care and

Counseling”, dalam Pamela D. Couture and Rodney J. Hunter (eds), Pastoral Care and Social Conflict,

(Nashville: Abingdon Press, 1995), 221

36

(14)

Kedua, pelayanan pastoral dilihat sebagai sesuatu yang diarahkan kepada orang-orang bermasalah dan tujuannya adalah mendukung dan menolong mereka

sebagai individu.

Ketiga, tidak semua pelayanan terhadap orang bermasalah dapat dilihat sebgai jenis pelayanan pastoral. Pelayanan pastoral hanya dapat terjadi manakala masalah

yang ditangani adalah masalah yang perhatian dan pengertiannya mendasar dan juga

yang hanya dapat terjadi kalau orang tersebut bersedia menanggapi pertolongan yang

ditawarkan oleh orang-orang Kristen yang representatif untuk hal itu.

Keempat, tidak semua tindakan pertolongan dapat dilihat sebagai jenis pelayanan pastoral. Hanya jenis-jenis pertolongan yang merepresentasikan

sumber-sumber, kebijakan, dan otoritas agama Kristen sajalah yang dapat diklasifikasikan

sebagai pelayanan pastoral.

Kelima, pelayanan pastoral adalah jenis pelayanan yang diarahkan pada fungsi-fungsi khusus, yakni penyembuhan, penopangan, pendampingan, dan

pendamaian.

Defenisi diatas kemudian ditambahkan beberapa pakar pastoral. Mengenai

siapa (aktor) yang pantas melakakukan pendampingam pastoral? Stephen Pattison39

beranggapan bahwa Pelayanan pastoral merupakan pelayanan yang dapat

dilaksanakan oleh semua orang Kristen tanpa asumsi bahwa pelayanan ini hanya

boleh dan dapat dilakukan para klerus. Artinya anggota gereja yang bukan klerus pun

memiliki kemampuna dan kapasitas untuk melakukan pelayanan pastoral.

39

(15)

Menyangkut ruang lingkup pastoral, Clinebel40 beranggapan bahwa pelayanan

pastoral perlu dipahami sebagai jenis pelayanan gereja yang ditujukan pada

kebutuhan manusia secara luas. Definisi ini lebih memfokuskan pada aspek

pertumbuhan yang juga harus diperhatikan dalam pelayanan pastoral. Sehingga fungsi pastoral yang lain adalah fungsi memelihara. Sementara Emmnuel Lartey

menambahkan fungsi pemberdayaan. Dengan asumsinya bahwa, individu yang bermasalah bukan saja perlu ditolong untuk membedardayakan diri keluar dari

belenggu-belenggu psikologis tetapi juga dari belenggu-belenggu struktural

kemasyarakatan yang seringkali memperdaya.41

Pelayanan pastoral bisa berbentuk khotbah, pendampingan, pengembangan,

pengajaran, ibadah, administrasi dst.42 Berdasarkan isi dan bentuk pelayanan pastoral

ini, jelas bahwa pelayanan pastoral tidak saja dilihat sebagai sebuah pelayanan yang

berbentuk spesifik, tetapi juga menjadi suatu dimensi yang mewarnai semua bentuk

pelayanan gereja. Maka tidak berkeberatan jika bentuk dan isi pelayanan pastoral

sejalan dengan bentuk dan isi serta prinsip resolusi konflik.

e. ADR (Alternative Dispute Resolution)43

Penyelesaian konflik alternatif atau yang dikenal dengan sebutan ADR

(Alternative Dispute Resolution) merupakan salah satu cara penyelesaian konflik

yang memungkinkan pihak-pihak berkonflik memperoleh solusi.

40

Howard Clinebell, Op. Cit., 54-55

41

Emmanuel Y. Lartey, In Living Colour: An Intercultural Approach to Pastoral Care and Counseling, (London: Jessica Kingsley Publisher, 2013), 67-68

42

Howard Clinebell, Op. Cit., 49-51.

43

(16)

ADR muncul di dataran Amerika Serikat dengan suatu realita bahwa terlalu

banyak konflik yang dihadapi oleh berbagai pihak, yang kemudian diselesaikan di

pengadilan. Penyelesaian konflik dengan cara tersebut hanya menghabiskan banyak

waktu dan biaya, sehingga penyelesaian konflik dengan cara tersebut dianggap

kurang efisien. Realita kehidupan yang selalu diwarnai dengan konflik mendorong

munculnya ADR sebagai cara penyelesaian konflik alternatif karena dirasa lebi h

aman dan efesien (Baru dapat dibawah ke pengadilan ataupun dengan melibatkan

badan hukum yang berkompeten).

Biasanya, model penyelesaian alternatif bisa menggunakan beberapa cara

seperti; negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan yang terbaru ialah melalui pendidikan

perdamaian. Negosiasi merupakan proses dimana pihak-pihak yang bertikai mencari

cara untuk mengakhiri dan menyelesaikan konflik mereka. Sedangkan rekonsiliasi

merupakan proses jangka panjang untuk mengatasi permusuhan dan rasa tidak saling

percaya antara kedua belah pihak yang bertikai.44 Kedua model penyelesaian ini

berjalan secara beruntun, dimana setelah terjadi proses negosiasi brulah dilanjutkan

dengan proses rekonsiliasi. Negosiasi biasanya dilakukan ketika sedang menghadapi

pertikaian atau konflik, sedangkan rekonsiliasi dilakukan pasca konflik dengan tujuan

untuk memperbaiki hubungan dan membangun relasi yang lebih baik kedepan.

a). Rekonsiliasi45

Seringkali kali, strategi resolusi konflik yang diselesaikan melalui pengadilan

dan legislasi menyisahkan perasaan tidak puas akan solusi yang dihasilkan. Maka

44

Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 32

45

(17)

harus ditempuh dengan strategi lain. Pilihan yang tersedia yakni rekonsiliasi. Istilah

rekonsiliasi berakar pada kata bahasa Inggris to reconcile, artinya membangun kembali hubungan erat yang menenangkan, membereskan, menyelesaikan, dan

membawa seseorang untuk menerima. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) kata

rekonsiliasi artinya perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula. Disamping kata rekonsiliasi ada kata konsiliasi yang artinya mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan itu. Dalam manajemen konflik, istilah konsiliasi dan rekonsiliasi dikenal sebagai proses manajemen konflik untuk menciptakan solusi konflik.

Rekonsiliasi merupakan agenda yang sangat penting untuk menyembuhkan

trauma sosial masyarakat sekaligus merekatkan kembali kohesi sosial masyarakat

yang terjabik-cabik akibat konflik. Rekonsiliasi bertujuan untuk membangun kembali

kepercayaan (trust) antara kelompok masyarakat yang semula bertikai. Rekonsiliasi

harus menyentuh akibat dari korban konflik di semua lapisan. 46

Penggunaan teknik rekonsiliasi untuk menyelesaikan konflik merupakan

proses tua yang berakar pada agama dan adat istiadat masyarakat. Rekonsiliasi telah

digunakan oleh agama Katolik dalam proses pengakuan dosa pada abad pertengahan.

46

(18)

b). Mediasi

Mediasi berasal dari kata latin mediation yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Fisher47

menyebutkan mediasi sebagai suatu proses interaksi yang dibantu oleh pihak ketiga,

sehingga pihak-pihak yang berkonflik menemukan penyelesaian yang mereka

sepakati sendiri. Menurut Kovach, “mediation is facilitated negotiation. It is a process

by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reaching a

mutually satisfactory resolution.48 Artinya, mediasi hanyalah fasilitas untuk

melakukan negosiasi dari pihak ketiga yang bersifat netral menjadi penengah untuk

membantu pihak yang berselisih mencapai jalan keluar yang saling memuaskan satu

dengan yang lain. Menurut pocket Oxford Distionary, mediasi didefinisikan sebagai

“mengintervensi (antara dua orang atau kelompok) untuk tujuan mendamaikan pihak

berkonflik.49 Dari definisi tersebut prinsipnya adalah bahwa, mediasi merupakan

alternatif penyelesaian masalah dengan jalan damai.

c). Ciri-ciri Mediasi50

Pertama, Adanya pihak ketiga yang netral, tidak terlibat atau terkait dengan masalah

yang terjadi, serta tidak memihak pada salah satu pihak yang bertikai.

47

Fisher, dkk, Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi untuk bertindak, (Jakarta: Britis Council, 2001), 7

48

Daniel Nuhamara, mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia: Pengalaman Kristen, dalam Musahadi ed, Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007), 83

49

Hoda Lacey, How to Resolve Conflict in the Workplace., terj. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Uatma, 2003). 277

50

(19)

Kedua, Dalam kasus yang bersifat individual, mestinya mediator ditunjuk atau

dipilih oleh pihak ketiga yang bertikai, tetapi bisa juga mediator menawarkan diri.

Mediator harus dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai.

Ketiga, Penyelesaian masalah dibuat oleh pihak yang bertikai, dan harus dapat

diterima tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Keempat, Tugas utama mediator adalah menjaga agar proses mediasi berjalan lancar,

membantu memperjelas masalah yang sesungguhnya dan menjelaskan tujuan dari

masing-masing pihak yang bertikai. Mediator bertugas mengontrol proses medi asi,

sedangkan pihak yang bertikai bertugas mengontrol isi negosiasi.

Terdapat empat elemen yang harus diperhatikan. Empat elemen itu menurut

Curle yaitu, pertama, tindakan mediator untuk membangun, mempertahankan dan

meningkatkan komunikasi. Kedua, menyediakan informasi untuk dan antara

pihak-pihak yang bertikai. Ketiga, menjadi “sahabat” bagi pihak-pihak-pihak yang bertikai.

Keempat, mendorong apa yang disebut mediasi aktif, yaitu memperkuat keinginan

untuk terlibat dalam negosiasi kerja sama.51

Terdapat beberapa keuntungan dengan menggunakan stategi mediasi yaitu,

pihak-pihak yang berunding sepakat menunjuk mediator sehingga ada satu unsur

kesamaan dari kedua belah pihak. Mediator berusaha menggunakan pendekatan win-win solution. Para pihak berada pada posisi sederajat dalam meja perundingan dan tidak ada salah satu pihak yang lebih unggul dari pihak yang lain. Mediator berfungsi

51

(20)

mengendalikan situasi. Sehingga pada akhirnya mediasi mendapat satu komitmen

yang akan menjadi solusi untuk tindakan selanjutnya.52

d). Tahapan Mediasi

Lacey mengusulkan beberapa tahapan untuk diperhatikan dalam melakukan

mediasi. Dimana ia membagi tahap mediasi ke dalam empat fase:

1. Fase persiapan, pada fase ini mediator mulai menemui masing-masing pihak untuk melakukan perkenalan, mencari tahu masalah yang terjadi di

kedua belah pihak dan menjelaskan keuntungan menggunakan mediasi.

Mediator berusaha menggali sedalam-dalamnya informasi tentang masalah

yang terjadi dari kedua belah pihak. Dengan demikian akan diperoleh

penggambaran masalah yang jelas dari sudut pandang kedua pihak yang

berkonflik. Dalam fase ini mediator juga mempersiapkan kemungkinan terbaik

dan terburuk yang mungkin terjadi selama proses mediasi. Hal tersebut harus

ditanyakan kepada kepada pihak yang bertikai, untuk menentukan keputusan

yang akan mereka ambil. Mediator harus menyadari bahwa kedua belah pihak

pada saat ini sedang berada pada suatu hubungan yang kurang baik.

Sedangkan dalam proses mediasi kedua belah pihak harus bertemu secara

sukarela. Mereka membutuhkan perantara untuk bisa menyampaikan maksud

mereka masing-masing dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Dengan demikian mediator harus dapat berfungsi dengan baik, mampu

membuat kesepakatan, dan selalu menjaga kualitas seorang mediator dengan

52

(21)

membangun kepercayaan, ketidakberpihakan, dan kerahasian dari kedua belah

pihak.

2. Fase Interaksi, merupakan kelanjutan dari fase persiapan. Mediator mulai menentukan masalah yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak yang

bertikai dan menentukan tindak lanjut yang harus dilakukan. Perhatikan juga

apakah proses mediasi akan tetap berjalan dengan mediator yang dipilih atau

harus digantikan dengan mediator yang lain oleh karena suatu hal tidak dapat

melanjutkan proses mediasi. Selain memperhatikan hal-hal yang berkaitan

dengan intern proses mediasi, perlu juga diperhatikan lingkungan proses

mediasi. Tempat melakukan mediasi sebaiknya didukung lingkungan yang

nyaman dan terkendali. Ada tiga tahap yang perlu dilewati pada fase ini yaitu:

1) Menetapkan tempat perundingan. Sebaiknya tempat perundingan

merupakan tempat yang representatif. Memberikan keamanan dan

kenyamanan. Sehingga memungkinkan proses mediasi berjalan sejuk

ditengah-tengah situasi yang mungkin saja akan memanas.

2) Menelusuri masalah. Masing-masing pihak diberi kesempatan

untuk memaparkan masalah yang sedang dihadapi. Mediator harus

benar-benar mengarahkan perhatian kepada kedua belah pihak dan

tidak boleh mengerjakan hal-hal lain yang sekiranya mengganggu

proses mediasi.

3) Membangun kesepakatan. Dalam tahap ini mediator menunjukan

(22)

Kedua belah pihak berhak menentukan sendiri solusi yang akan mereka

tempuh untuk memperbaiki keadan sehingga memperoleh gambaran

situasi yang ideal.

3. Fase Penutupan, dimana kedua belah pihak telah memiliki komitmen penuh yang telah disepakati bersama. Mereka juga menentukan waktu untuk

menyelenggarakan pertemuan tindak lanjut. Mediator bisa membantu

menuliskan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan diberikan kepada

masing-masing pihak.

4. Fase tindak lanjut, dalam pertemuan tindak lanjut selain untuk mengevaluasi kesepakatan solusi yang telah dipilih, juga membahas

masalah-masalah yang terjadi berkaitan dengan proses-proses mediasi ataupun upaya

resolusi yang telah dilakukan.

e). Mediator

Mediator merupakan orang atau pihak yang memfasilitasi proses mediasi.

Mediator adalah pihak ketiga yang bertugas menyelesaikan permasalahan yang

terjadi, dan menolong para pihak yang berunding untuk mencapai kesepakatan.53

Berhasil atau tidaknya suatu proses mediasi akan sangat tergantung dengan

sebeberapa besar peran mediator sebagai pihak netral yang menjembatani kedua belah

pihak yang berkonflik. Dengan peran aktif para mediator dalam proses tersebu t, akan

sangat membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk kembali berkomunikasi agar

53

(23)

dapat mengakhiri konflik secara damai. Seperti konflik antar pemuda di Bantu

Gantung Dalam dan Batu Gantung Ganemo.

Olehnya lazim diperlukan adanya keterlibatan pihak ketiga terutama yang

berfungsi sebagai mediator dalam rangka mendorong proses-proses rekonsiliasi

diantara pihak-pihak yang sementara bertikai. Keterlibatan pihak ketiga ini, pada

dasarnya dimaksudkan untuk membantu mengembangkan mekanisme resolusi

konflik, sehinga bisa diupayakan tercapainya suatu perdamain.

Salah satu pihak ketiga (mediator) yang dipandang mempunyai peran penting bagi upaya penyeleaian konflik sekaligus mendorong proses perdamain sehubungan

dengan fungsinya untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi warga

masyarkat, adalah negara. Menurut Rule54 negara memiliki peran strategis terlibat dalam melakukan tekanan-tekanan secara agresif (aggressive agents of coercion)

guna mengendalikan situasi sosial politik yang hancur akibat konflik.

Tekanan-tekanan ini bisa dilakukan negara karena terkait dengan legalitas kekuasaan yang

dimilikinya, sehingga ia mampu mengatasi konflik. Tekanan-tekanan yang

substansinya bermakna kekuasaan ini, pada dasarnya dapat berwujud kekuasaan yang

“keras”, yang seringkali diperlukan dalam konflik yang disertai kekerasan; tetapi,

dapat pula mengambil bentuk kekuasan yang “lunak”, yang dapat lebih penting dalam

konflik yang dikelola secara damai. Namun yang paling sering terjadi ialah impunitas

hak-hak asasi korban konflik dalam upaya memperoleh keadilan dan pemenuhan jika

suatu konflik melibatkan negara dalam hal ini Tentara Naional Indonesia atau TNI.

54

(24)

Selain negara sebagai aktor penting dalam kerangka resolusi konflik, tidak

menjaminnya rekonsiliasi itu berjalan maksimal apalagi pendekatannya lebih pada

pendekatan agresi. Maka dibutuhkannya peranan institusi kemasyarakatan. Salah

satunya Gereja.

f. Pendidikan Perdamaian. (peace education)

Sejak tahun 1988 pendidikan perdamaian telah tumbuh dalam berbagai cara

yang positif. Pendidikan perdamaian dapat dikatakan sebagai lawan dari pendidikan

tradisional yang banyak dikritik sebagai biang keladi kekerasan dan ketidakadilan yang

diperankan dalam struktur kekuasaan yang cenderung mempertahankan status Quo.

Pendidikan perdamaian secara sengaja dimasukan dalam ulasan ini sebagai

alternatif resolusi konflik yang bisa direkomendasikan untuk resolusi dua komunitas

Pemuda Batu Gantung.

Dua hal yang mestinya diperhatikan ketika berbicara tentang Pendidikan

Perdamaian yaitu, Perdamaian dan Pendidikan Perdamaian. Hal ini penting untuk

mengembangkan pemahaman tentang konsep perdamaian. Perdamaian dan pendidikan

perdamaian saling berhubungan erat. Namun pendidikan perdamaian mengasumsikan

setidaknya visi konseptual. Banyak orang berpikir damai anya bersifat positif sebagai

ketenangan atau tidak adanya perang. Sebagai kondisi yang diperlukan untuk

kelangsungan hidup manusia, ini menunjukkan bahwa manusia menyelesaikan konflik

tanpa menggunakan kekerasan, dan itu merupakan cita-cita bahwa manusia telah lama

berjuang untuk mencapai kedamaian. Tetapi, konsep perdamian bisa berbeda-beda

(25)

Ian Harris & M.L Morrison55 membagi konsep perdamaian dalam dua segi;

Positif dan Negatif. Dalam konotasi negatif, "perdamaian berarti menghentikan beberapa

bentuk kekerasan sedangkan dalam konotasi positif, perdamain melibatkan standar

keadilan, hidup seimbang dengan alam, dan berpartisipasi dalam keutuhan masyarakat.

Sebelum berbicara tentang Pedidikan Perdamian ada dua hal utama yang

mestinya dibahas dahulu. Yaitu Konsep tentang pendidikan dan konsep tentang

pendidikan perdamaian. Pendidikan secara umum dapat dikatakan sebagai proses

pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan

mendidik. Sedangkan, pendidikan perdamaian dianggap sebagai suatu filosofi dan

sebagai suatu proses yang melibatkan keterampilan, termasuk mendengarkan, refleksi,

pemecahan masalah, kerjasama dan resolusi konflik. Proses berarti memberdayakan

masyarakat dengan keterampilan, sikap dan pengetahuan untuk menciptakan dunia di

mana konflik diselesaikan tanpa kekerasan dan membangun lingkungan yang

berkelanjutan. Sedangkan filosofi berarti mengajarkan tanpa kekerasan, cinta, kasih

sayang dan rasa hormat untuk semua kehidupan.

Pendidikan perdamaian berusaha mengubah struktur dan pola pemikiran.

Pendidikan perdamaian dapat disebut juga peacelearning, juga memiliki tujuan untuk

mendorong transformasi batin. Transformasi Batin dimaksudkan sebagai jalan

menciptakan kondisi yang tepat untuk membangun perubahan sosial. Berikut ini

diuraikan tujuan pendidikan perdamain56:

55

Ian M. Harris & Mary Lee Morrison, Peace Education, (Jeferson, N,C: McFarland and Company, 2004), 13

56

(26)

1. Memberikan pengetahuan mengenai bahaya-bahaya kekerasan, dan mendorong

mereka untuk menarik kesimpulan tentang cara terbaik mencapai perdamaian.

2. Merekonstruksi budaya kekerasan dan mempromosikan nilai-nilai yang dipandang

sebagai hal penting bagi pembentukan masyarakat.

3. Mempromosikan penghormatan terhadap budaya yang berbeda dan membantu

mereka menghargai keragaman komunitas manusia.

4. Mempersiapkan agen-agen transformatif untuk perubahan sosial. Pendidikan

perdamaian dapat diajarkan dalam berbagai jenjang pendidikan formal dan non formal,

dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dan seterusnya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa faktor yang paling mempengaruhi terjadinya IUFD adalah usia ibu <20 tahun dan >35 tahun yaitu 8 orang (24,24%) ibu

Pengamatan terhadap sel darah merah dan persentase nilai hematokrit patin siam dilakukan antara konsentrasi tertinggi dan diasumsikan beracun (39 ppm),

Namun, majoriti responden guru tidak bersetuju jika pelajar tidak perlu menukar pakaian sukan kepada pakaian seragam sekolah selepas sesi Pendidikan Jasmani tamat

Pada pemeliharaan hari ke 10-20 lobster air tawar yang diberi pakan dengan substitusi tepung ikan dengan tepung daging dan tulang menunjukkan penambahan berat

Menurut Li (2008) vitamin C lebih berperan dalam suplai asam lemak bebas dalam telur yang dihasilkan, sedangkan vitamin E dan asam lemak esensial dibutuhkan secara

Berdasarkan 15 atribut yang terdapat pada penelitian ini siswa menilai ketersedian sarana dan media yang digunakan dalam belajar, kenyamanan ruang belajar, lokasi gedung yang

Dalam bisnis makanan, kualitas produk akan sangat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan dan keputusan pelanggan untuk kembali membeli produk yang ditawarkan, karena

If we study, people of developed countries which can be said as madani society, hence there are pre-conditions to be fulfilled to be a madanni society, they are