• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Gereja Ditengah Konflik dua Komunitas Pemuda Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung Ganemo di Jemaat GPM Rehoboth T2 752013008 BAB IV"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

TINJAUAN TERHADAP PENDEKATAN PENYELESAIAN

KONFLIK DI BATU GANTUNG

Konflik adalah suatu keniscayaan, Ia akan selalu mewarnai setiap dimensi kehidupan sosial selama berlangsungnya interaksi sosial dimanapun dan kapanpun. Konflik memungkinkannya terjadi perubahan sosial, meskipun demikian, tidak semua konflik berakibat positif dalam seluruh interaksi sosial karena sifat destruktifnya yang dapat meruntuhkan tatanan masyarakat. Jika tidak dipecahkan melalui identifikasi untuk mencarikan solusi maka bukan tidak mungkin situasi akan semakin tidak terkendali, itu berarti masyarakat akan sangat tidak berdaya.

(2)

membentuk generasi-generasi muda sehingga mereka bisa mengisi masa depannya secara tertanggungjawab.

Dalam posisinya yang demikian, gereja tetap mengembangkan sikap yang kritis, korektif dan konstruktif terhadap tindakannya sendiri maupun elemen masyarakat lainnya. Dengan sikap seperti itu gereja akan tetap berfungsi dan berperan secara fundamental sebagai mitra, yang dapat memberi konstribusi pemikiran dalam menjawab persoalan ke-umatan. Maka pada bagian ini akan dipaparkan dua tinjauan yaitu, tinjauan berdasarkan teori konflik dan tinjauan mengenai pendekatan penyelesaian konflik.

A. Konflik Antar Pemuda Batu Gantung: Suatu Tinjauan Teori Konflik

Pada umumnya orang membayangkan bahwa konflik hanya disebabkan satu hal saja atau bersifat tunggal. Namun sejalan dengan semakin kompleksnya masalah sosial dewasa ini, orang lalu mulai menyadari bahwa ternyata konflik juga bersifat akumulatif. Mengenai konflik Batu Gantung ditemukan beberapa faktor yang saling berhubungan erat yaitu masalah hubungan pemuda-pemudi (masalah pacaran), minuman keras, fanatisme etnis, tegur sapa, dan kondisi kemiskinan.

(3)

konflik. Beberapa kondisi yang sangat memungkinkan terjadinya eskalasi konflik yaitu:74

 Pihak-pihak yang terlibat beranggapan bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengubah aspirasi pihak lain secara substansial.

 Pihak-pihak yang terlibat tidak melihat adanya kapasitas integratif di dalam situasi tersebut. Artinya sebagaimana dimaksud Pruitt mereka tidak melihat adanya kemungkinan untuk menemukan solusi yang mendatangkan keuntungan bersama dari kontroversi yang terjadi.

 Lanjut Pruitt pihak-pihak yang terlibat memiliki dan menganggap bahwa masing-masing pihak memiliki aspirasi yang relatif tinggi. Aspirasi yang tinggi akan mengurangi kemungkinan diperolehnya solusi yang dapat diterima semua pihak, sehingga akan mendorong dilakukannya tindakan contentious (menang-kalah).

Jika dilihat dari model konflik, konflik batu gantung digolongkan ke dalam model konflik perubahan struktural. Bahwa kemudian terjadi permasalahan diantara hubungan pemuda-pemudi yang berasal dari batu gantung dalam dan batu gantung ganemo pada awal terjadinya, menunjukan perubahan psikologis yang kemudian berkembang ke perubahan kolektif. Perubahan kolektif ini merupakan refleksi dari tindakan masyarakat di lokasi konflik. Perubahan konflik dari yang bersifat psikologis ke sifatnya yang kolektif terjadi karena semakin tingginya eskalasi konflik. Tinginya eskalasi konflik karena muncul pandangan berbeda dari masing-masing pihak yang dianggap merugikan dan mediskreditkan kedua kelompok bertikai. Kondisi ini

74

(4)

berlangsung secara perorongan maupun kolektif. Dari kondisi seperti itu memungkinkan terjadinya juga perubahan struktural dalam masyarakat berkonflik.

Perubahan dari psikologis ke kolektif terjadi dengan asumsi adanya kecenderungan esklasi kontroversi menjadi norma kolektif. Kohesivitas yang semakin meningkat, yang timbul karena adanya ancaman dari kelompok luar, memberikan sumbangan terhadap kekuatan norma ini maupun terhadap cara untuk mengimplementasikannya. Sehingga bukan lagi berlangsung secara indivual melainkan telah mengalami peningkatan kolektif. Orang-orang merasa sudah menjadi bagian dari residu yang direpresentasikan oleh subyek tertentu.

Dilihat dari tingkat eskalasinya dan beragam faktor pemicu terjadinya konflik, cukup sulit mengatakan bahwa satu model konflik merepresentasikan konflik. Melokalisir model konflik hanya pada satu model konflik merupakan langkah yang kurang bijak. Artinya model konflik harus bisa menjawab kebutuhan identifikasi data. Maka adalah hal yang lumrah mengkategorikan data ke dalam berbagai model sekaligus.

(5)

siatuasi masyarakat setempat, misalnya kondisi kemiskinan, minuman keras, tegur sapa, dan sentiment etnis dari sebelumnya hanya masalah berpacaran.

Perlu dicatat, walaupun kategori model konflik telah ditentukan tetapi tidak berarti sudah merepresantasikan sepenuhnya konflik. Namun hal itu dapat diatasi dengan suatu asumsi bahwa setiap model konflik merupakan hal yang ideal. Dalam kaitan itu kita lalu bertanya apa karakteristik konflik batu gantung? Terkait hal ini secara gamblang sudah dipaparkan bahwa konfik batu gantung merupakan konflik ber-eskalasi.

Persoalan pacaran dua pasang muda-mudi kurang begitu memberikan penjelasan berarti. Hanya dijelaskan telah terjadi masalah dalam hubungan mereka yang menyebabkan pihak-pihak tertentu yang kebetulan merasa memiliki hubungan emosional masing-masing dengan dua muda-mudi itu melakukan aksi lalu berujung bentrok. Karena tidak tertangani dengan baik lantas konflik itu berlanjut. Menurut istilah Pruitt telah terjadi transformasi konflik antar subjek dari isu yang satu ke isu yang lain.

Sebagai pusat administratif pemerintahan dan pusat perdagangan, Kota Ambon menjadi sasaran utama arus manusia dari berbagai penjuru daerah. Masyarakat berdatangan untuk memenuhi keinginannya di berbagai instansi pemerintah dan swasta, dan diberbagai sektor kehidupan lainnya terutama di sektor ekonomi. Kondisi ini menimbulkan perbedan masyarakat secara kultural terutama secara etnis.75 Hal tersebut harus dilihat sebagai suatu keniscayaan. Ketika perbedaan tersebut terjadi

75

(6)

maka dengan segera timbul persoalan laten menyangkut hak-hak kolektif-etnis.76

Istilah hak, berarti tidak saling campur tangan, pembebasan dari syarat-syarat normal, klaim-klaim atas sumber daya masyarakat dan lain sebagainya.

Parekh77 menyebutkan dua cara untuk memperoleh hak-hak kolektif. Hak-hak kolektif derivative seperti, hak-hak serikat dagang, klub-klub dan sebagainya. Dimana individu-individu mengumpulkan hak-hak mereka atau menyatukan mereka dalam kolektivitas. Hak-hak kolektif primer seperti pengusiran para orang asing, hak kepemilikan tanah, hak hidup dan berkembang hingga seterusnya. Hak-hak tersebut menjadi milik kolektivitas dengan asumsi bahwa orang lain tidak memiliki hak -hak semacam itu. Perbedaan antara kedua hak tersebut berhubungan dengan sifat atau bentuk perolehan, bukan karena pemikiran atau pembenaran. Semua hak memperoleh pembenaran dari kontribusi untuk memperoleh kesejahteraan manusia, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara kedua jenis hak kolektif tersebut. Untuk mengatakan bahwa hak-hak kolektif primer tidak diperoleh dari—atau direduksi pada hak individual, adalah tidak dengan mengatakan bahwa kolektivitas terlibat dalam kepentingan independen dari kepentingan para anggotanya.

Jika dicermati, hak kolektif-etnis dapat digolongkan ke dalam hak kolektif primer karena menyangkut persoalan identitas diri yang dipahami secara kolektivitas. Kolektivitas adalah manusia-manusia yang berhubungan satu dengan lainnya melalui cara tertentu, dan meskipun terbentuk dari beberapa individu, mereka kadang -kadang membentuk kesatuan baru dan independen yang membuat klaim-klaim otonom.

76

Mengingat hak-hak kolektif meliputi spetrum yang luas, maka dengan sengaja dalam tulisan ini digunakan istilah hak kolektif-etnis—sekedar untuk membedakannya dari hak kolektif secara umum.

77

(7)

Klaim-klaim otonom meupakan penegasan yang secara simbolik menyulut terjadinya konflik. Faturochamn menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik etnis disebuah tempat.78 Enam hal tersebut yaitu: 1] kepentingan yang sama diantara beberapa pihak 2] perebutan sumber daya 3] sumber daya yang terbatas 4] kategori identitas yang berbeda 5] prasangka atau diskriminasi 6] ketidakjelasan aturan (ketidakadilan)

Persaiangan antar kelompok tak lagi terhindarkan oleh karena masing-masing pihak tetap mempertahankan eksistensinya tanpa tahu perduli terhadap yang lain. Sehingga terjadi perasaan dikalahkan atau merasa identitas sosial-budayanya telah dirusak. Dalam kondisi seperti ini hanya ada dua sikap yang bisa diambil: menyesuaikan diri secara pasif, atau memberontak dan menidaki. Faktanya kedua belah pihak cenderung berada pada pilihan kedua yaitu, memberontak dan menidaki.

Menghadapi kenyataan yang ada, aparat kepolisisan sebagai representasi negara berkewenangan memberikan perlindungan terhadap setiap masyarakat dengan aksi turun lapangan. Hal itu berarti adanya kehadiran negara pada saat terjadinya konflik di Batu Gantung. Hanya saja kehadiran mereka terkesan lamban. Dalam beberapa kejadian, memperlihatkan kurang sigapnya aparat sehingga sudah menimbulkan korban barulah ada pengamanan.

Dalam masyarakat heterogen seperti di Batu Gantung, negara merupakan sumber persatuan, memberikan fokus bagi kehidupan bersama-sama yang dimiliki warga dan diharapkan dapat memberi contoh untuk mengatasi prasangka-prasangka

78

(8)

dan pandangan-pandangan komunitas yang sempit. Lembaga negara seharusnya bersikap adil dalam memperlakukan anggota komunitas yang berbeda. Keutaman ini dapat dilihat dalam peranan lembaga kepolisian. Namun faktanya, beberapa aparat kepolisian telah mengingkari tugas dan panggilan mereka sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Mereka kerap kali memihak pada salah satu kelompok bahkan berada dibalik provokasi massa79. Polisi seharunya menjadi perwakilan masyarakat yang konsisten dengan tuntutan kompetensi profesionalisme dan integritas. Ketika hal ini dilakukan akan memberi kesempatan pada masyarakat untuk bekerja sama, mengatasi prasangka buruk satu sama lain, dan belajar untuk melihat diri dengan pandangan yang lebih luas.

Tingginya eskalasi konflik juga dipicu oleh pemaknaan sempit kebijakan otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia—tetapi dipahami secara sempit sehingga menimbulkan euphoria kedaerahan dan sentiment etinis yang sangat luar biasa. Seakan-akan yang berhak mengelola kehidupan publik hanya orang pribumi. Terhadap hal ini, semua warga negara harus menikmati kesempatan setara untuk mendapatkan kapasitas dan kecakapan yang dibutuhkan agar bermanfaat dalam masyarakat dan untuk mengejar tujuan-tujuan pribadi dengan efektif dan setara.

Selain dua hal mengemuka diatas, kebiasaan konsumsi minuman keras dikalangan pemuda-pemuda menjadi faktor krusial keretakan pertalian sosial. Hal itu juga sangat berkaitan dengan gaya hidup modern di kalangan anak-anak muda. Mereka pada dasarnya suka menghabiskan waktu di luar rumah untuk mencari

79

(9)

kesenangan. Dalam hal yang sama, mereka kurang memiliki ketahanan dan pengendalian diri. Memiliki sifat temperamen menjadikan mereka mudah tersinggung. Kondisi ini rawan diprovokasi. Ketika terjadi senggolan atau ucapan kata-kata yang dilontarkan salah satu kelompok kepada kelompok atau individu berupa sindiran maka dengan segera terjadi bentrok.

Hampir setiap sudut Kota Ambon, perederan minuman keras (bac:sopi) sudah tidak dapat lagi terbendung. Kondisi ini memudahkan setiap orang untuk mendapatkannya termasuk dari kalangan pemuda. Kebiasaan mengkonsumsi minuman keras tidak juga hanya dipengarahui pola bergaul (sudah menjadi rahasia umum di dalam masyarakat Ambon bahwa salah satu syarat yang paling cepat diterima dalam pergaulan yaitu melalui sopi) rata-rata pemuda Ambon tetapi juga faktor kesulitan ekonomi di keluarga mereka. Tentunya kondisi tersebut menimbulkan perasaan frustrasi. Kurangnya kontrol keluarga melalui pembinaan menjadikan pemuda sangat bebas menentukan kehendaknya.

Selain itu regulasi peraturan daerah atau perda terhadap peredaran minuman keras (terutama jenis sopi) perlu menjadi upaya untuk mencari solusi yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sopi merupakan komponen dalam ritual adat hampir setiap masyarakat adat di kota Ambon. Olehnya bisa menjadi pertimbangan dirmuskannya regulasi perda. Sehingga masyarakat lebih bertanggung jawab memperlakukan simbol-simbol adat dan simbol persautan.

(10)

anggota GPM kemudian beralih, sehingga muncul persoalan terutama soal pemahaman teologi. Masing-masing pihak saling beradu pengaruh untuk mengembalikan kembali ke asal gereja semula atau bisa mendapatkan pengikut yang lebih banyak lagi. Konflik kepentingan semacam itu menimbulkan persaingan tidak sehat, sehingga terjadi konfrontasi fisik. Konflik kepentingan semacam itu hanya bisa terselesaikan jika semua pihak duduk bersama/ berdialog.

Dilihat dari karakteristiknya, konflik batu gantung dapat digolongkan dalam

konflik karakteristik struktural. Hubungan antagonis antar pemuda batu gantung menghasilkan akibat konflik secara destruktif bukan sebaliknya bersifat konstr uktif. Tidak seperti seperti yang diharapkan Lewis Coser yang menilai secara positif fenomena konflik.

B. Penyelesaian Konflik: Tinjauan Menurut Pendekatan Penyelesaian Konflik

Mediasi merupakan salah satu pendekatan penyelesiaan konflik dari sekian pendekatan yang ada. Mediasi mensyaratkan mediator sebagai individu, kelompok atau lembaga untuk memfasilitasi tercapainya kesepakatan damai antara pihak yang bertikai. Kesepakatan yang dibuat “selalu” memuaskan semua pihak sehingga dalam

(11)

-keputusan yang kurang disukai oleh semua pihak dan menghindari perlakuan istimewa atas pihak lain.

Menganalisa suatu konflik memang sangat sulit dan rumit termasuk memahami dampaknya, sisi positif dan negatifnya. Walaupun demikian harus ada upaya mencari solusinya, mencari apa yang terbaik dari aspek-aspek perseteruan. MJ Rehoboth sudah melakukan berbagai cara termasuk menempuh strategi mediasi. Mediasi didefinisikan suatu forum dalam mana seorang mediator yang imparsial secara aktif membantu pihak-pihak bertikai dalam mengidentifikasi dan memperjelas masalah yang menjadi keprihatinan, dan membantu dalam hal merancang penyelesaian dari masalah-masalah tersebut. Berdasarkan cirinya, tugas mediator terutama adalah menjaga agar proses negosiasi berjalan dan tetap jalan, membantu memperjelas apa sesungguhnya menjadi masalah dan kepentingan dari pihak yang bertikai. Dengan kata lain, peran mediator adalah mengontrol proses, sedangkan peran pihak yang bertikai adalah mengontrol isi dari kesepakatan80.Tugas khusus mediator ialah, Pertama, membangun, mempertahankan dan meningkatkan komunikasi. Kedua,

menyediakan informasi untuk dan antara pihak-pihak yang bertikai. Ketiga, menjadi “sahabat” bagi pihak-pihak yang bertikai. Keempat, medorong apa yang disebut

mediasi aktif, yaitu memperkuat keinginan untuk terlibat dalam negosiasi kerja sama.

Berdasarkan definisi mediasi dari Covach diatas, ada persoalan konseptual yang harus diselesaikan terlebih dahulu mengenai siapa dimaksudkan sebagai mediator. Secara implisit Kovach melihat mediator hanyalah seorang individu dan bukan suatu lembaga atau kelompok. Sehingga ada semacam batas yang dengan

80

(12)

sengaja dibangun untuk membatasi kreatifitas sosial lembaga atau kelompok untuk berpartisipasi dalam aktifitas sosial.

Dalam tulisan ini mediasi lebih dilihat pada fungsinya bukan pada siapa subjek atau siapa yang melakuan mediasi (mediator). Entah dia sebagai seorang individu, entah sebagai lembaga, entah sebagai kelompok tidak penting. Yang penting disini ialah ada keprihatinan sosial untuk terlibat dalam penyelesaian konflik.

Menurut Lacey ada fase-fase mediasi yang bisa dijadikan referensi oleh mediator yakni, fase persiapan, fase interaksi dan fase penutupan. Terakhir adalah fase tindak lanjut. Fase-fase tersebut saling keterkaitan dengan yang lain. Artinya semua fase akan menentukan berhasil tidaknya mediasi. Tetapi tidak berarti bahwa setiap fase tersebut dilakukan sepenuhnya. Ada kondisi dimana salah satu fase tidak terlalu berpengaruh atau tidak perlu dilalui. Misalnya, dalam fase persiapan; menurut

Lacey mediator memperkenalkan diri terlebih dahulu. Berdasarkan otoritas yang melekat pada gereja sebagai institusi agama nampaknya tidak ada halangan berarti untuk mendorong kedua belah pihak duduk bersama-sama. Itu berarti subyek yang berkonflik tidak perlu lagi mendapatkan informasi soal kehadiran pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Apalagi pihak-pihak terlibat konflik merupakan anggota jemaat Rehoboth.

(13)

Dikatakan penting karena mediator akan mendapat penggambaran masalah yang jelas dari sudut pandang kedua pihak yang berkonflik.

Sejauh ini gereja telah berupaya memperlihatkan keseriusannya sebagai “mediator”. Beberapa kali dilakukan pertemuan untuk memediasi agar tercapainya

solusi untuk masalah kedua belah pihak. Gereja bersama pemerintah dan aparat berupaya sedemikian rupa menekan eskalasi konflik dengan harapan tidak menyebar kemana-mana. Minimal di lokasi terjadinya konflik. Pertama-tama gereja melakukan pendekatan kepada dua belah pihak untuk bisa duduk bersama membahas masalah. Gereja bersedia menyediakan rumah ibadah sebagai lokasi diadakannya pertemuan. Pertemuan selalu diawali dengan doa bersama. Setelah itu, barulah pembicaraan dilaksanakan.

Walaupun gereja sudah memediasi dua belah pihak, tetap saja belum ada tanda-tanda berakhirnya konflik. Hal itu bisa disebabkan kenangan buruk yang sulit dilupakan oleh kedua belah pihak. Tetapi bisa juga disebabkan karna fungsi mediasi yang kurang dilaksanakan secara baik—tidak ada evaluasi terhadap kesepakatan yang telah dicapai. Tetapi juga karna kegagalan mediator yang terlihat kurang serius menepati kesepakatan damai yaitu terlibat aktif menggiring pihak-pihak berkonflik ke pengadilan sebagai syarat kesepakatan mediasi.

(14)

pengadilan. Gereja hanya bisa melakukan penguatan moral dan melakukan pembinaan pastoral.

Pelayanan pastoral merupakan pola pelayanan yang paling umum dipraktekan di hampir semua gereja. Oleh karenanya tidak heran apabila, di perguruan tinggi yang berlatar belakang Kristen terdapat mata kuliah yang secara khusus mengajarkan tentang “konseling pastoral”. Yang dimaksudkan dengan konseling adalah suatu

bentuk pertolongan psikologis yang diberikan oleh seorang konselor Kristen terhadap klien yang sedang menghadapi masalah untuk dipecahkan bersama.81

Munurut Clinebel, pelayanan pastoral merupakan jenis pelayanan gereja yang ditujukan pada kebutuhan manusia secara luas yang memfokuskan pada aspek

pertumbuhan.82 Menurut Emmanuel Lartey, pelayanan pastoral tidak hanya melayani individu yang bermasalah bukan saja perlu ditolong untuk memberdayakan dirik keluar dari belenggu-belenggu psikologis tetapi juga dari belenggu-belenggu struktural kemasyarakatan yang memperdaya.83 Bentuk-bentuk pelayanan pastoral bisa bermacam-macam; berkunjung dari rumah ke rumah (open tu open), pengajaran dan kegiatan-kegiatan sosial lain yang berkaitan dengan visi gereja ke depan.

Begitu vitalnya posisi pastoral dalam rangka memberikan pelayanan maksimal kepada jemaat. sehingga tidak mengherankan apabila MJ Rehoboth mempertimbangkannya dalam kaitan penyelesaian konflik antar pemuda Batu Gantung. Dalam penyelesaian konflik, perangkat MJ Rehoboth sering mengunjungi

(15)

dua kelompok bertikai secara open to open—mendengarkan keluhan dan berupaya menengahi persoalan. Tetapi praktek penyelesaian konflik model ini juga belum dapat menuntaskan persoalan. Faktanya, masih terjadi konflik yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang.

Kemungkinan, kegagalan penanganan konflik melalui pendekatan pastoral terletak pada fungsi konselor yang terlalu mendominasi percakapan diantara klien dan konselor. Ketika hal itu terjadi tidak menutup kemungkinan sikap menghakimi sepihak sehingga muncul perasaan ketidakadilan dari pihak klien. Padahal menurut

Charles V. Gerkin, konselor adalah pendengar dan penafsir kisah-kisah.84 Ia harus mendengar, kisah-kisah yang dikisahkan oleh klien kepada konselor. Ia harus juga mampu menarik makna dari setiap peristiwa yang di kisahkan dan mampu menarik benang-merah kisah kehidupan klien. Dengan demikian sikap menghakimi klien tidak muncul. itulah kelemahan pendekatan pastoral terhadap kondisi masyarakat yang telah tersegregasi akibat konflik.

84

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan terhadap sel darah merah dan persentase nilai hematokrit patin siam dilakukan antara konsentrasi tertinggi dan diasumsikan beracun (39 ppm),

Budidaya Bandeng Semi Intensif di Tambak (Percontohan Budidaya) (Kec. Nunukan) lokasi Sei banjar Desa Binusan, maka dengan ini Saudara kami undang untuk mengikuti

Namun, majoriti responden guru tidak bersetuju jika pelajar tidak perlu menukar pakaian sukan kepada pakaian seragam sekolah selepas sesi Pendidikan Jasmani tamat

Menurut Li (2008) vitamin C lebih berperan dalam suplai asam lemak bebas dalam telur yang dihasilkan, sedangkan vitamin E dan asam lemak esensial dibutuhkan secara

Berdasarkan 15 atribut yang terdapat pada penelitian ini siswa menilai ketersedian sarana dan media yang digunakan dalam belajar, kenyamanan ruang belajar, lokasi gedung yang

Maka, metode ini digunakan karena peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh dari penggunaan model peta pikiran (mind map) terhadap kemampuan menulis karangan

Jean William Fritz Piaget (1896–1980) and.. Lev Semyonovich Vygotsky

DILINGKUNGAN DINAS BINA MARGA DAN PENGAIRAN KABUPATEN KAMPAR TAHUN ANGGARAN 2013.. Bangkinang, 27 September