II. LANDASAN TEORI
Bagian berikut Penulis akan membahas tentang landasan teori yang akan membantu di dalam melakukan analisa, oleh karena itu Penulis akan berbicara tentang perempuan dalam budaya Bali, teori feminisme dan kepemimpinan menurut perspektif jender.
2.1. Perempuan dalam Budaya Bali
“Kebudayaan” berasal dari kata kultur, yang berasal dari bahasa Latin cultura dengan
arti memelihara, mengelola dan mengerjakan. Cakupan budaya sangat luas dan besar. Budaya dikatakan sebagai seluruh cara kehidupan dari masyarakat dimana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup, tetapi bagian yang juga dianggap masyarakat lebih tinggi atau lebih diinginkan. Biasa budaya itu dianggap sebagai milik bersama pada satu kawasan atau tempat tertentu. Budaya itu ada karena manusia yang menciptakannya dengan belajar, bukan lahir secara biologis begitu saja. Manusia selalu menggunakan lambang dalam setiap prilaku dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap yang memuat lambang dalam hidup manusia adalah masuk di dalam kategori sebagai budaya. Hadirnya lambang inilah yang menghasilkan penafsiran atau pemahaman yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, oleh sebab itu di satu tempat dengan tempat yang lainnya memiliki budaya yang berbeda-beda.1
Kebudayaan itu terdiri atas pedoman yang menentukan apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, untuk apa itu dilakukan. Secara singkat, budaya berperan besar dalam hidup masyarakat. Budaya juga biasa dijadikan sebagai tolak ukur benar tidaknya suatu tindakan atau prilaku seseorang, maka kebudayaan itu tidak terlepas dari komunitas suatu masyarakat.
Pandangan kebudayaan Bali terhadap perempuan tidak terlepas dari kebudayaan
patriarki yang bersumber dari sistem kekerabatan Bali yang berbentuk patrilineal. Budaya
patriaki adalah budaya dimana “ayah sebagai penguasa di dalam keluarga”. Seiring
berjalannya waktu, patriaki ini diperluas keluar, bukan hanya berlaku di dalam keluarga, tetapi juga berlaku keluar yaitu di publik. Ciri budaya patriaki adalah dimana menempatkan laki-laki sebagai sosok pusat dalam hal-hal tertentu, laki-laki memiliki keunggulan dalam beberapa aspek, seperti penentu garis keturunanan, otonomi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam public dan politik, serta pembagian kerja.
Budaya patriarki dalam kebudayaan Bali dinyatakan bersumber dari adanya konsep purusha dan predana, yang melambangkan jiwatman (roh) yang bersifat abadi (purusha), dan fisik manusia yang mempunyai sifat berubah-ubah (prakirti). Di dalam masyarakat, konsep ini lebih dikenal dengan hal-hal yang berkaitan dengan laki-laki atau
purusha, dan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan atau predana. Konsep ini dijadikan sebagai landasan untuk membedakan status dan peran antara perempuan dengan laki-laki, yang dalam hal tertentu tidak bisa saling menggantikan.2 Filsafat agama Hindu
1
Swardi, Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan Ideologi, Epistemologi dan Aplikasi.
(Yogyakarta:Pustaka Widyatama, 2006), 27-28
2
ini kemudian menjiwai ideologi budaya Bali, yang berkembang menjadi sistem nilai, norma-norma dan aturan-aturan, yang disebut hukum adat dan awig-awig yang bercorak patrilineal, yang berfungsi sebagai kontrol sosial.
Kebudayaan Bali identik dengan sistem kekerabatan patrilinealnya. Sistem kekerabatan patrilineal merupakan pola tradisional yang dicirikan sebagai berikut:
pertama, hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis keturunan ayah, anak-anak menjadi hak ayah; kedua, harta keluarga atau kekayaan orangtua diwariskan melalui garis laki-laki; ketiga pengantin baru hidup menetap pada pusat kediaman kerabat suami (adat patrilokal); keempat, laki-laki mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat; dengan perkataan lain, perempuan yang telah kawin (menikah) dianggap memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri, tanpa hak berpindah ke dalam keluarga suaminya dan tidak akan memiliki hak-hak dan harta benda.3
Ciri-ciri tersebut menggambarkan bahwa dalam sistem kekerabatan patrilineal, laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat. Hal ini mengakibatkan ketimpangan atau kesenjangan terhadap hak dan kewajiban terhadap kaum perempuan. Akibat dari budaya patriarki yang sebagian besar berlaku di tanah air, termasuk di Bali, menyebabkan perempuan terkadang menjadi subordinasi laki-laki. Pernyataan ini menjelaskan bahwa dampak dari budaya patriarki adalah kedudukan kaum perempuan berada di bawah kaum laki-laki. Patriarki cenderung menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perlakuan yang kurang menguntungkan bagi kaum perempuan, seperti perlakuan diskriminatif.
Perlakuan diskriminatif dapat dilihat dari data statistik yang mengungkapkan bahwa masih terjadinya kesenjangan jender antara laki-laki dan perempuan mengenai kesempatan pendidikan yang diperoleh di Bali. Perempuan memiliki kesempatan pendidikan yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki.4 Kesenjangan jender yang terjadi ini pada dasarnya menggambarkan status, kedudukan, dan kualitas penduduk perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan tentang perbedaan status serta peran laki-laki dan perempuan pada masyarakat Bali sudah diperlihatkan sejak masih kecil atau anak-anak. Masyarakat memberi nilai yang lebih tinggi terhadap anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Kelahiran seorang anak laki-laki dalam keluarga Hindu merupakan kebahagiaan, karena memiliki anak laki-laki adalah tujuan utama dari keluarga Hindu. Anak laki-laki dianggap juga sebagai penyelamat keluarga yang telah meninggal dari neraka.5
2.2. Teori Patriaki
3
Sudarta, W. Kembang Rampai Perempuan Bali-Pola Pengambilan Keputusan Rumah Tangga Petani pada Berbagai Bidang Kehidupan, (Denpasar: Kelompok Studi Wanita, 2006) 65-83
4
Arjani. N, Kembang Rampai Perempuan Bali-Peran Jender dalam Kehidupan Masyarakat di Bali, (Denpasar:Kelompok Studi Wanita, 2006), 1-22
5
2.3. Teori Feminis
Gerakan Feminisme adalah gerakan hasil dari sebuah kesadaran tentang adanya ketidakadilan yang sistematis bagi perempuan di seluruh dunia.6 Amerika dan Eropa menjadi dua Negara utama yang sadar akan gerakan feminis. Teori feminis lahir pertama kali sekitar tahun 1970an di universitas-universitas yang ada di Amerika Utara. Teori feminis menggambarkan koleksi dari berbagai macam teks feminis yang memiliki tujuan, praktik dan asumsi-asumsi yang sama. Dua tujuan utama lahirnya teori feminis yaitu dapat mengidentifikasikan berbagai bentuk penindasan yang mengatur kehidupan perempuan dan sebagai imajinasi serta upaya untuk menciptakan alternatife masa depan dengan tanpa adanya penindasan.7
Di Eropa, kedudukan perempuan sempat memprihatinkan, dalam segala hal perempuan harus berada di bawah laki-laki. Bahkan hingga kedudukan seorang janda pun berada di bawah anak laki-lakinya, perempuan dilarang berbicara di lingkungan publik.8 Pada periode awal ini perempuan dianggap tidak rasional (selalu menggunakan perasaan sebagai tolok ukur). Bahkan pada abad 18-19 terjadi pembodohan terhadap kaum perempuan, hal ini karena perempuan dianggap sebagai the second line. Tugas perempuan hanya meramu makanan sedangkan laki-laki pergi berburu. Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk ikut andil dalam membantu laki-laki.
Selain itu, perempuan dan laki-laki memiliki ciri feminitas dan maskulinitas. Feminitas yaitu ciri yang harus dimiliki anak perempuan seperti; kelemahlembutan, keeganan menampilkan diri, dan kehalusan. Sedangkan maskulitas yaitu ciri yang harus dimiliki anak laki-laki, seperti agresivitas, keberanian, kepemimpinan, kekuatan fisik.
Feminis yang ada, berjuang agar perempuan dapat berperan dalam badan pengambilan keputusan, seperti menjadi pemimpin organisasi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu gerakan feminis juga berjuang untuk situasi para migran serta pengungsi perempuan yang perlu untuk diperbaiki. Di Amerika, gerakan feminisme tidak hanya berjuang untuk hak di politik, hak berprofesi, hak belajar atau hak untuk memiliki jabatan lainnya, tetapi di Amerika satu hal penting bagi mereka yang perlu diperjuangkan adalah menuntut hak di bidang seksual.9
Di Asia memiliki latar belakang gerakan feminsime sendiri. Gerakan feminsime di Asia ada untuk pembebasan kaum perempuan dari setiap bentuk tindakan yang menjadikan mereka sebagai obyek.10 Salah satu isu yang juga menjadi perhatian di
6
Nunuk, Muriati, Getar Jender, (Magelang:Indonesia TERA, 2004),XXVII
7
Serene, Jones, Feminist Theory and Christian Theology, (United States of America:Augsburg Fortress, 2000), 3
8
Rosemarie Putman Tong, Feminist Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran
Feminisme”, (Yogyakarta:Jalasutra, 2010), 2
9
Nunuk, Muriati, Getar Jender, (Magelang:Indonesia TERA, 2004), 17-18
10
Indonesia sendiri ialah mengenai perdebatan apakah perempuan pantas atau tidak menjabat sebagi seorang pemimpin, sekalipun belakangan ini sudah muncul beberapa pemimpin perempuan. Hal serupa pun terjadi di dalam gereja, apakah seorang pendeta perempuan layak untuk menjadi seorang pemimpin gereja? Hal tentang apakah perempuan dapat menjadi pemimpin atau tidak, dilihat dari sifat alami perempuan yang dianggap sangat mempengaruhi, karena sifat alami biasanya akan mempengaruhi kinerja seseorang.
Dalam perbincangan mengenai bagaimana sifat alami perempuan menjadi sebuah perdebatan, terdapat tiga kelompok yang memiliki pemikiran kuat mengenai bagaimana
sebenarnya “keperempuanan” itu. Apakah benar sifat perempuan saat ini adalah sifat yang
alami atau sifat yang terbentuk oleh budaya yang ada.
Kelompok pertama yaitu kelompok Essensialisme, memiliki pemikiran bahwa perempuan itu punya cara tersendiri untuk mengetahui dan menjadi dirinya sendiri yang berbeda dengan laki-laki, oleh sebab itu perempuan harus mampu untuk memahami dirinya sendiri,11 dengan demikian pahamnya tersebut akan menolong perempuan untuk dapat berbicara dari pengalaman yang mereka miliki masing-masing. Sedangkan pengalaman mereka sendiri sebagai seorang perempuan sangat identik dengan penindasan atau kekerasan yang mereka alami berdasarkan kodrat alamiah mereka sebagai perempuan untuk melahirkan dan menstruasi. Sehingga jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah perempuan mampu menjadi seorang pendeta atau pemimpin, hal ini sangatlah mempengaruhi jawabannya. Perempuan yang menjadi pendeta atau pemimpin biasanya akan mengambil cuti jika melahirkan, hal inilah yang akan mengurangi intensitas pekerjaannya dalam pelayanannya. Sehingga hal esensi perempuan itu berdasarkan pengalamannya sendiri, dengan kata lain, inilah kodrat sifat perempuan yaitu “keperempuanan” itu dan hal kodrat ini akan berlaku secara universal bagi perempuan dimanapun mereka berada.
Kelompok kedua yaitu kaum konstruktifisme, kelompok ini memiliki pemikiran mengenai jender atau semua yang berkaitan dengan laki-laki atau perempuan, semuanya itu sudah dikonstruksi atau dibentuk oleh budaya.12 Menjadi perempuan dengan sifat
“keperempuanannya” dan menjadi laki-laki dengan sifat “kelaki-lakiannya” semua itu
bukanlah hal yang alami atau fakta secara biologis, karena semua itu sudah dibentuk oleh budaya. Biasanya seorang perempuan yang bertingkah sebagai perempuan dan laki-laki yang bertingkah sebagai laki-laki itu sesuai dengan tatanan budaya yang telah disepakati dan dibentuk bersama. Sehingga konstruksi itu pun berdampak pada peran fungsi dalam keluarga, masyarakat dan agama. Jika pendapat kelompok ini dikaitkan dengan pertanyaan pokok mengenai dapatkah seorang perempuan menjadi pendeta atau pemimpin, maka
11
Serene, Jones, Feminist Theory and Christian Theology, (United States of America:Augsburg Fortress, 2000),26
12
jawaban dari satu pertanyaan ini akan beragam antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Mengenai masalah dapat atau tidaknya seorang perempuan menjadi pendeta atau pemimpin akan susah menemukan titik temunya, karena masing-masing tempat akan memiliki budaya yang berbeda-beda. Kelompok sosial pendukung utama dalam memilih pilihan tepat dalam suatu budaya ialah keluarga, karena lingkungan sosial pertama tempat seseorang bertumbuh adalah di dalam keluarga.
Kelompok ketiga yaitu kelompok strategi essensialisme dengan seorang tokoh bernama Luce Irigray memiliki pemikiran yang berada di tengah-tengah antara kaum essensialisme dan kaum konstruktifisme mengenai perempuan itu sebenarnya seperti apa. Ia berpendapat dimulai dari melihat di Barat, mayoritas masyarakat menganggap bahwa perempuan pasti identik dengan feminis sedangkan laki-laki identik dengan maskulin. Sebenarnya itu bukanlah menjadi suatu masalah yang besar, tetapi masalahnya ialah dimana mayoritas masayarakat di Barat menganggap maskulin itu kuat sedangkan feminism itu lemah. Diawali dengan pemikiran semacam itulah yang membuat identitas perempuan ditindas, sehingga itu berdampak pada keputusan perempuan harus independen sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Seperti bagaimana perempuan harus berpakaian dilihat dari hasrat perempuan itu sendiri bukan sesuai dengan maunya laki-laki.13 Perempuan harus mampu untuk menjadi dirinya sendiri untuk menunjukan bahwa perempuan mampu membentengi diri dari penindasan dalam bentuk apapun. Jika dilihat dari perspketif kelompok ketiga ini sebenarnya dimanapun perempuan itu berada, mereka dapat menjadi seorang pendeta atau pemimpin asalkan para perempuan mampu menunjukan bahwa mereka memiliki kelebihan tersendiri dalam menjadi seorang pendeta atau pemimpin jika dibandingkan dengan laki-laki.
Melihat hasil akhir dari perbincangan ketiga kelompok mengenai bagaimana sebenarnya sifat alami perempuan, terlihat bahwa memang sebenarnya apa yang dianggap sebagai sifat alami perempuan seperti segala sesuatu yang bersifat feminis adalah sifat yang dimiliki oleh perempuan adalah sebenarnya bukan sebagai sifat alami, tetapi itu adalah hasil kesepakatan dalam budaya. Sayangnya, itu sama sekali tidak disadari oleh masing-masing orang yang menganggap bahwa itu semua adalah sifat alami. Hal tersebut disebabkan oleh karena budaya yang sudah sangat terlalu melekat pada masing-masing pribadi, sehingga susah dibedakan apakah itu adalah hasil dari sebuah kebudayaan ataukah memang bawaan sifat secara alami atau kodrati.
Di Indonesia sendiri masing-masing daerah masih sangat memegang teguh setiap kebudayaan yang dimiliki masing-masing. Baik perempuan dengan sifat feminimnya serta laki-laki dengan sifat maskulinnya dan maskulin lebih kuat dan unggul dibandingkan dengan maskulin, sebenarnya adalah hasil keputusan budaya tetapi oleh karena budaya itu
13
sendiri sudah sangat mendarah daging di masing-masing pribadi sehingga kedudukan perempuan dengan sifat feminimnya itu disahkan sebagai sesuatu yang bersifat kodrat. Sangat sedikit peluang bagi perempuan untuk dapat duduk di bangku kepemimpinan, karena jikalau seorang perempuan bisa menjadi pemimpin adalah sebagai penghinaan bagi kaum laki-laki.
Dalam organisasi gereja lokal di Indonesia, posisi kontribusi perempuan Kristen sangat sedikit, tetapi pelayanan mereka tidak pernah absen karena pelayanan yang dilakukan oleh perempuan dianggap sebagai tugas dan kewajiban perempuan. Oleh sebab itulah walaupun ada banyak sekali anggota perempuan dalam gereja bahkan lebih banyak daripada jumlah laki-laki, perempuan tetap tidak bisa duduk pada posisi kontribusi dan kepemimpinan.14 Namun, sekalipun terlihat kecil peluangnya, tetap harapan perempuan duduk pada bangku kepemimpinan pasti akan dapat terwujud secara nyata, asalkan perempuan mampu memperlihatkan kualitas dengan beberapa keunggulan yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Pendidikan dapat mengasah kualitas kepemimpinan, karena di pendidikanlah yang menimbulkan kepercayaan dan dapat memberdayakan perempuan. Pada saat perempuan memiliki pendidikan yang tinggi dan baik, maka perempuan akan dapat memilih dan memberikan rasa percaya diri yang dibutuhkan perempuan pada saat perempuan harus memilih.15
2.4. Kepemimpinan dengan Perspektif Jender
Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang berbeda, namun telah menjadi satu. Dimana pemimpin ditujukan pada individunya sedangkan kepemimpinan ditujukan pada sifat dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kualitas kepemimpinan yang berbasiskan ciri universal seorang pemimpin, memiliki prilaku pemimpin saat berada di dalam kelompok kerja. Sehingga sejak lahir sebenarnya manusia telah diamanatkan untuk dapat menjadi seorang pemimpin.16
Ketika tim kepemimpinan adalah beragam (dalam hal jenis kelamin, usia, dan etnis), ''norma-norma akan seimbang dan lebih komprehensif”. Sebaliknya, ketika tim kepemimpinan sebagian besar homogen, ''sistem ini jauh lebih rentan terhadap perspektif eksklusif yang mencerminkan nilai-nilai kelompok itu saja''. Struktur kepemimpinan tidak hanya kontrol operasi organisasi, tetapi juga berdampak pada lingkungan dan konteks.17
14
Ira D, Mangililo, When Rahab and Indonesian Christian Women Meet in the Third Space, (2015), vol.31, issue.1, pp.45-64
15
Ira D, Mangililo, When Rahab and Indonesian Christian Women Meet in the Third Space, (2015), vol.31, issue.1, pp.45-64
16
Djokosantoso Moeljono, More About Beyond Leadership-12 Konsep Kepemimpinan,(Jakarta:PT.Gramedia, 2009), 45-46, 55
17
Sebenarnya sangat baik jika perempuan diberikan kesempatan penuh tanpa harus dibatasi dalam hal kepemimpinan sama seperti bagaimana kesempatan yang didapatkan oleh kaum laki-laki. Bukan hanya kaum laki-laki saja yang memiliki keunggulan di dalam hal kepemimpinan, sesungguhnya perempuan pun memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh sebagian besar laki-laki dalam hal kepemimpinan, diantaranya ialah perempuan lebih ekspresif, lebih dapat memindahkan diskusi ruang rapat meneruskan dengan cara terampil dan efektif, membawa perspektif segar, memiliki keragaman pemikiran, memerhatikan kepuasan hari demi hari dan struktur sosial organisasi.
Pemikiran baru yang menekankan untuk menghormati seluruh pikiran diperlukan untuk efektivitas dalam hidup dan kepemimpinan, baik otak kiri kemampuan (lebih khas laki-laki) untuk melakukan sistematisasi dengan perhatian terhadap detail lokal dan kemampuan otak kanan untuk menjadi kreatif dan empati (lebih khas perempuan).18 Sehingga, dengan peran dan kedudukan yang setara dan bebas antara perempuan dan laki-laki, maka segala potensi masyarakat bisa diberdayakan dalam setiap partisipasinya19 terutama di dalam hal kepemimpinan. Di Indonesia, realitasnya kepemimpinan para perempuan di Indonesia adalah sebagaianya sebagai lambang bahwa gereja sudah benar-benar memiliki kesadaran jender.20
Dengan landasan teori seperti di atas, maka berikut ini Penulis akan memberikan hasil penelitian sekaligus menganalisa data yang ada.
18
Taylor, and Francis Group, Contributors to Women’s Leadership Development in Christian Higher Education: A Model and Emerging Theory,
19
Nunuk P.M, Getar Jender Pertama, (Magelang: IndonesiaTerra, 2004), 56
20