• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia Dalam Rangka Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Lembaga Sertifikasi Produk Terhadap Penerbitan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia Dalam Rangka Perlindungan Konsumen"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STANDAR NASIONAL INDONESIA SEBAGAI SUATU BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN

A. Pengertian Standar Nasional Indonesia

Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh

Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional.21Badan Standardisasi Nasional (BSN) merupakan lembaga pemerintah non-kementerian Indonesia

dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di

Indonesia.Badan ini menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional

(DSN).22

KAN mempunyai tugas menetapkan akreditasi dan memberikan

pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan

sertifikasi.Sedangkan pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang Standar

Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk

Satuan Ukuran (selanjutnya disingkat KSNSU).KSNSU mempunyai tugas

memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional Dalam melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional

berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang

Standardisasi Nasional.Badan ini menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI)

yang digunakan sebagai standar teknis di Indonesia.Pelaksanaan tugas dan fungsi

Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi dilakukan oleh Komite

Akreditasi Nasional (KAN).

21

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab I, Pasal 1angka 3.

22

“Badan Standardisasi Nasional”.http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional (diakses pada tanggal 21

(2)

untuk satuan ukuran. Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi

produsen, konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan,

keselamatan, kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan

standardisasi secara nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem

nasional yang mampu mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang

dan/atau jasa serta mampu memfasilitasi keberterimaan produk nasional dalam

transaksi pasar global. Dari sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat

meningkatkan daya saing produk barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global.

Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah satu-satunya standar yang

berlaku secara nasional di Indonesia.SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan

ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Agar Standar Nasional Indonesia

(SNI) memperoleh keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka

Standar Nasional Indonesia (SNI) dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of

good practice, yaitu:23

1. Openness (keterbukaan): Terbuka bagi agar semua stakeholder yang

berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan Standar Nasional

Indonesia (SNI);

2. Transparency (transparansi): Transparan agar semua stakeholder yang

berkepentingan dapat mengikuti perkembangan Standar Nasional Indonesia

(SNI) mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap

penetapannya. Dan dapat dengan mudah memperoleh semua informasi yang

berkaitan dengan pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI);

23

(3)

3. Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak): Tidak memihak

dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya

dan diperlakukan secara adil;

4. Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi

perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Coherence: Koheren dengan pengembangan standar Internasional agar

perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar

global dan memperlancar perdagangan Internasional;

6. Development dimension (berdimensi pembangunan): Berdimensi

pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan

nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102

Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, sasaran utama dalam pelaksanaan

standardisasi adalah meningkatnya ketersediaan Standar Nasional Indonesia (SNI)

yang mampu memenuhi kebutuhan industry dan pekerjaan instalasi guna

mendorong daya saing produk dan jasa dalam negeri, secara umum SNI

mempunyai manfaat, sebagai berikut:

1. Dari sisi produsen

Terdapat kejelasan target kualitas produk yang harus dihasilkan sehingga

terjadi persaingan yang lebih adil;

(4)

Dapat mengetahui kualitas produk yang ditawarkan sehingga dapat

melakukan evaluasi baik terhadap kualitas maupun harga;

3. Dari sisi pemerintah

Dapat melindungi produk dalam negeri dari produk-produk luar yang murah

tapi tidak terjamin kualitas maupun keamanannya, dan meningkatkan

keunggulan kompetitif produk dalm negeri di pasaran Internasional.

Selain penjelasan diatas, berikut ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai

standar nasional Indonesia, yaitu:

1. Tujuan Penerapan SNI

Pada dasarnya, semua bentuk kegiatan, jasa dan produk yang tidak

memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) diperbolehkan dan tidak

dilarang.Meskipun begitu, kita juga tahu agar produk dalam negeri bisa bersaing

secara sehat di dunia Internasional maka sangatlah diperlukan penerapan

SNI.Pemberlakuan SNI terhadap semua bentuk kegiatan dan produk dimaksudkan

untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi

nasional dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.Apabila SNI diterapkan oleh

semua bentuk kegiatan dan produk maka sangatlah mendukung percepatan

kemajuan di negeri ini.Seperti halnya di negara-negara Eropa yang

produk-produknya memenuhi standar nasional bahkan Internasional.

Dengan adanya standardisasi nasional maka aka nada acuan tunggal dalam

mengukur mutu produk dan/atau jasa di dalam perdagangan, yaitu Standar

(5)

konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat lainnya baik untuk

keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Ketentuan mengenai standardisasi nasional telah diatur dalam Peraturan

Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional yang

ditetapkan oleh Presiden RI pada tanggal 10 November 2000. Ketentuan ini

adalah sebagai pengganti PP Nomor 15/1991 tentang Standardisasi Nasional

Indonesia dan Keppres Nomor 12/1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan

Pengawasan Standar Nasional Indonesia.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 menjelaskan bahwa

tujuan penerapan SNI adalah:24

a. Bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna

produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan/atau personel, yang

dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen,

pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang

keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup, maka efektivitas

pengaturan di bidang standardisasi perlu lebih ditingkatkan;

b. Bahwa Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan pembentukan

pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization)

yang didalamnya mengatur pula masalah standardisasi berlanjut dengan

kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di

bidang standardisasi;.

Pada prinsipnya tujuan dari standardisasi nasional adalah:25

24

(6)

a. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja

dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan

maupun kelestarian fungsi lingkungan hidup.

b. Membantu kelancaran perdagangan.

c. Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.

2. Ruang Lingkup SNI

Di dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 berisi tentang

Standardisasi Nasional Pasal 2 mengenai ruang lingkup dari Standardisasi

Nasional adalah mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan:

a. Metrologi Teknik

Yang dimaksud dengan metrologi teknik adalah metrologi yang mengelola

satuan-satuan ukuran, metode-metode pengukuran dan alat-alat ukur, yang

menyangkut persyaratan teknik dan pengembangan standar nasional untuk

satuan dan alat ukur sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi untuk memberikan kepastian dan kebenaran dalam pengukuran.

b. Mutu

Yang dimaksud dengan mutu adalah keseluruhan karakteristik dari maujud

yang mendukung kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang

dinyatakan atau tersirat.

c. Standar

Yang dimaksud dengan standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang

dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan

25

(7)

konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat

keselamatan, keamanan, kesehatan lingkungan hidup, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini

dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang

sebesar-besarnya.

d. Pengujian

Pengujian adalah kegiatan teknis yang terdiri atas penetapan, penentuan

satu atau lebih sifat atau karakteristik dari suatu produk bahan, peralatan,

organisme, fenomena fisik, proses atau jasa, sesuai dengan prosedur yang

telah ditetapkan.

3. Sistem Penerapan SNI

Penerapan SNI bagi semua bentuk kegiatan dan produk berlaku di seluruh

wilayah RI dan bersifat sukarela.Dalam hal berkaitan dengan keselamatan,

keamanan, kesehatan, pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau pertimbangan

ekonomi dapat diberlakukan wajib oleh instansi teknis yang terkait. Mengenai tata

cara pemberlakuan SNI wajib diatur dengan Keputusan Pimpinan Instansi Teknis.

Beberapa point yang berkaitan dengan penerapan SNI adalah:26

a. Standar Nasional Indonesia berlaku di seluruh wilayah Republik

Indonesia.27

b. Standar Nasional Indonesia bersifat sukarela untuk ditetapkan oleh pelaku

usaha.28

26

“Penerapan SNI”. Lihat http://lansida.blogspot.com/2011/03/penerapan-sni.html (diakses pada tanggal 21 April 2016).

27

(8)

c. Dalam hal Standar Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan

keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi

lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat

memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis

dan/atau parameter dalam Standar Nasional Indonesia.29

d. Tata cara pemberlakuan Standar Nasional Indonesia diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Pimpinan instansi teknis sesuai dengan bidang

tugasnya.30

e. Penetapan Standar Nasional Indonesia dilakukan melalui kegiatan

sertifikasi dan akreditasi.31

f. Terhadap barang dan/atau jasa, proses, sistem dan personal yang telah

memenuhi ketentuan/spesifikasi dan atau dibubuhi tanda SNI.32

g. Sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, atau

laboratorium.33

h. Pelaku usaha yang menerapkan Standar Nasional Indonesia yang

diberlakukan secara wajib, harus memiliki sertifikat dan atau tanda SNI.34

28

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 12 angka 2.

29

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 12 angka 3.

30

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 12 angka 4.

31

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 13.

32

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 14 angka 1.

33

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 14 angka 2.

34

(9)

Lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan, atau

laboratorium diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional.Untuk kerja lembaga

sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan, atau laboratorium diawasi dan

dibina oleh Komite Akreditasi Nasional.35

Mengenai biaya akreditasi, dibebankan kepada lembaga sertifikasi,

lembaga inspeksi, lembaga pelatihan atau laboratorium yang mengajukan

permohonan akreditasi (diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

tersendiri).36

Terhadap pelaku usaha, dilarang memproduksi atau mengedarkan barang

dan atau jasa, yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan Standar Nasional

Indonesia yang telah diberlakukan secara wajib.Pelaku usaha yang barang dan

atau jasanya telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda Standar Nasional

Indonesia dari lembaga sertifikasi produk, dilarang memproduksi dan

mengedarkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi Standar Nasional

Indonesia.37

Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib dikenakan

sama, baik terhadap barang dan atau jasa produksi dalam negeri maupun terhadap

barang dan atau jasa impor. Pemenuhan standar Barang dan atau jasa impor

ditunjukkan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi atau

laboratorium yang telah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional atau lembaga

35

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 16.

36

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 17.

37

(10)

sertifikasi atau laboratorium negara pengekspor yang diakui Komite Akreditasi

Nasional.Pengakuan lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan

atau laboratorium negara pengekspor oleh Komite Akreditasi Nasional didasarkan

pada perjanjian saling pengakuan baik secara bilateral ataupun multilateral.

Apabila barang dan atau jasa impor tidak dilengkapi sertifikat, Pimpinan instansi

teknis dapat menunjuk salah satu lembaga sertifikasi atau laboratorium baik di

dalam maupun di luar negeri yang telah diakreditasi dan atau diakui oleh Komite

Akreditasi Nasional untuk melakukan sertifikasi terhadap barang dan atau jasa

impor dimaksud.38

Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia dinotifikasikan Badan

Standardisasi Nasional kepada Organisasi Perdagangan Dunia setelah

memperoleh masukan dari instansi teknis yang berwenang dan dilaksanakan

paling lambat 2 (dua) bulan sebelum Standar Nasional Indonesia yang

diberlakukan secara wajib berlaku efektif. Badan Standar Nasional menjawab

pertanyaan yang datang dari luar negeri yang berkaitan dengan Pemberlakuan

Standar Nasional Indonesia setelah memperoleh masukan dari instansi teknis yang

berwenang.39

4. Pengawasan dan Sanksi

Standar Nasional Indonesia merupakan standar yang berlaku secara

nasional di Indonesia.Dengan demikian, setiap produk yang dipasarkan di

Indonesia wajib memiliki tanda SNI. Semakin banyak produk-produk dalam

38

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VI, Pasal 19.

39

(11)

negeri yang diproduksi, semakin banyak pula nantinya yang akan memiliki tanda

SNI. Untuk itu, diperlukan pengawasan bagi setiap pengguna tanda SNI.

Pengawasan tersebut antara lain:

a. Pengawasan terhadap pelaku usaha, barang dan atau jasa yang telah

memperoleh sertifikat dan atau dibubuhi tanda SNI yang diberlakukan

secara wajib, dilakukan oleh Pimpinan instansi teknis sesuai

kewenangannya dan atau Pemerintah Daerah.40

b. Pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha yang telah memperoleh

sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifikasi

produk yang menerbitkan sertifikat yang dimaksud.41

c. Masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

melakukan pengawasan terhadap barang yang beredar di pasaran.42

Bagi pelaku usaha yang berbuat curang atau lalai dalam memenuhi

kewajibannya terkait penggunaan SNI, akan diberikan sanksi yang tegas. Di

dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi

Nasional menjelaskan tentang sanksi terhadap pelanggaran SNI, yaitu:43

a. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam

pasal 18 ayat (1) dan (2) dapat dikenakan sanksi administratif dan atau

sanksi pidana.

40

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VII, Pasal 23 angka 1.

41

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VII, Pasal 23 angka 2.

42

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Bab VII, Pasal 23 angka 3.

43

(12)

b. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa

pencabutan sertifikat produk dan atau pencabutan hak penggunaan tanda

SNI, pencabutan ijin usaha, dan atau penarikan barang dari peredaran.

c. Sanksi pencabutan sertifikat produk dan atau hak penggunaan tanda SNI

dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk.

d. Sanksi pencabutan ijin usaha dan atau penarikan barang dari peredaran

ditetapkan oleh instansi teknis yang berwenang dan atau Pemerintah

Daerah.

e. Sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berupa sanksi

pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang dimaksud peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain

peraturan perundang-undangan di bidang Perindustrian, Ketenagalistrikan,

Kesehatan, Perlindungan Konsumen dan peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan kegiatan Standardisasi Nasional.44

Adapun bentuk pelanggaran terhadap SNI yang tercantum pada Peraturan

Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional adalah

sebagai berikut:45

a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang atau

jasa, yang tidak memenuhi dan atau tidak sesuai dengan Standar Nasional

Indonesia yang telah diberlakukan secara wajib.

44

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Penjelasan Pasal 24.

45

(13)

b. Pelaku usaha, yang barang dan atau jasanya telah memperoleh sertifikat

produk dan atau tanda Standar Nasional Indonesia dari lembaga sertifikasi

produk, dilarang memproduksi dan mengedarkan barang dan atau jasa

yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia.

B. Latar Belakang Berlakunya Standar Nasional Indonesia

Dewasa ini, standardisasi secara terbuka diakui berperan dan berfungsi

sebagai aktivitas yang memiliki dimensi luas.Standar membantu untuk

menyelaraskan spesifikasi teknis produk dan jasa yang membuat industri lebih

efisien dan meningkatkan daya saingnya untuk perdagangan

Internasional.46Standardisasi merupakan salah satu instrumen regulasi teknis yang dapat melindungi kepentingan konsumen nasional sekaligus produsen dalam

negeri.Melalui regulasi teknis yang berbasiskan standardisasi dapat dicegah

beredarnya barang-barang yang tidak bermutu di pasar domestik khususnya yang

terkait dengan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan pelestarian fungsi

lingkungan hidup. Melalui instrumen yang sama, dapat dicegah masuknya

barang-barang impor bermutu rendah yang mendistorsi pasar dalam negeri karena

berharga rendah.47

Standardisasi dan penilaian kesesuaian merupakan salah satu alat untuk

meningkatkan mutu, efisiensi produksi, memperlancar transaksi perdagangan,

46

“Sejarah Kegiatan Standardisasi di Indonesia”. Lihat http://www.akari-corp.com/artikel/sejarah-kegiatan-standardisasi-di-indonesia/ (diakses pada tanggal 22 April 2016).

47

(14)

mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan.48

Perdagangan bebas memaksa produsen menghadapi persaingan yang ketat,

yang mau tidak mau produsen harus meningkatkan efisiensi dan menghasilkan

produk yang memenuhi standar secara konsisten agar dapat bertahan dan

memenangkan persaingan dalam menghadapi pasar Internasional. Standar melalui

pengukuran dan pengujian akan menghasilkan sertifikasi yang disahkan oleh

lembaga akreditasi yang memiliki kompetensi teknis sehingga menghasilkan

produk siap masuk ke pasar Internasional dan bersaing dengan produk negara

lain.

Dalam konteks

globalisasi dan perdagangan bebas, peran dan arti standardisasi dan penilaian

kesesuaian menjadi semakin penting.Hampir semua negara memanfaatkan

standardisasi dan penilaian kesesuaian sebagai instrument mengakses dan merebut

pangsa pasar Internasional sekaligus melindungi pasar domestik dari serbuan

produk asing.

49

Dilakukannya penerapan mutu dan standar konsumen memperoleh

kepastian kualitas dan keamanan produk.Sementara publik dilindungi dari segi

keamanan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungannya. Masyarakat

memiliki kepentingan sosial terhadap produk yang akan dikonsumsinya baik itu

dari sisi kesehatan manusia untuk sekarang dan masa depan serta keamanan

(khususnya untuk anak-anak), maupun produk yang tidak merusak lingkungan.

48

“Arti Penting dan Urgensi UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian”.Lihat http://www.akari-corp.com/artikel/arti-penting-dan-urgensi-uu-standardisasi-dan-penilaian-kesesuaian/ (diakses pada tanggal 22 April 2016).

49

(15)

Dari sisi produsen, kepentingan bisnis dikedepankan khususnya kualitas produk

yang akan menyangkut standar dan mutu mengingat konsumen sudah bergeser

pola hidupnya dari orientasi harga ke orientasi kualitas.

Pada tingkat dunia termasuk Indonesia, telah ada kesepakatan untuk

menyelaraskan standar nasional dengan standar Internasional, termasuk cara

masukan terhadap penerapan standar untuk memudahkan tercapainya saling

pengakuan kegiatan standardisasi.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan

Penilaian Kesesuaian merupakan pengaturan standar di Indonesia yang ditetapkan

oleh Pemerintah Republik Indonesia.Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah

satu-satunya standar yang berlaku di Indonesia. Adapun latar belakang lahirnya

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian

Kesesuaian adalah sebagai bentuk penegasan kontribusi standar dan penilaian

kesesuaian terhadap bangsa Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Deputi Bidang

Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi-BSN, Dewi Odjar Ratma Komala

ketika menceritakan latar belakang lahirnya undang-undang tersebut.Dewi

mengatakan, kontribusi standardisasi terhadap negara Indonesia sangat besar.

Kontribusi dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia

diberikan oleh sistem standardisasi dan penilaian kesesuaian melalui penerapan

Standar Nasional Indonesia yang memuat persyaratan keselamatan, kesehatan,

dan keamanan masyarakat, serta kelestarian lingkungan hidup.

Begitu juga, kontribusi dalam memajukan kesejahteraan umum diberikan

(16)

Nasional Indonesia yang memuat persyaratan keunggulan mutu dan efisiensi

proses produksi nasional untuk meningkatkan daya saing produk nasional baik di

pasar domestik maupun pasar global.50

C. Bentuk-Bentuk Kerugian Yang Dialami Konsumen Terhadap Produk Yang Tidak Berlabel Standar Nasional Indonesia

Sesuai dengan salah satu tujuan daripada Standardisasi dan Penilaian

Kesesuaian yaitu meningkatkan perlindungan kepada konsumen51, maka secara tidak langsung hal ini menandakan bahwa keduanya berkaitan erat.Perencanaan

perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang disusun dalam suatu Program

Nasional Perumusan Standar (PNPS) juga memperhatikan aspek perlindungan

konsumen.52

Untuk mengetahui pelaku usaha yang tidak memenuhi Standar Nasional

Indonesia dalam menentukan perbuatan melawan hukumnya maka diperlukan

teori Hukum Perlindungan Konsumen, antara lain

Dengan demikian, apabila setiap produk yang dipasarkan di

Indonesia sudah memiliki dan memenuhi standardisasi, maka otomatis produk

tersebut telah terjamin mutu dan kualitasnya. Tentunya standardisasi tersebut

ditandai dengan adanya label SNI. Apabila suatu produk tidak berlabel SNI, maka

kita patut waspada dan meragukan kualitas dan mutu produk tersebut.

53

1. “Let the buyer beware/caveat emptor; Asas ini berasumsi bahwa: :

50

“Sosialisasi UU SPK”. Lihat http://www.akari-corp.com/artikel/sosialisai-uu-spk/ (diakses pada tanggal 22 April 2016).

51

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 3.

52

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 10, angka 3.

53

(17)

“Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga

tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam

perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama

terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu bisa

karena keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak

disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang

ditawarkannya.Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual beli keperdataan,

yang wajib berhati-hati adalah pembeli. Sekarang mulai diarahkan menuju

kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati)”.

2. The due care theory; Doktrin ini menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan

produknya, baik barang ataupun jasa.Selama berhati-hati, pelaku usaha tidak

dapat dipersalahkan.Jika ditafsirkan secara a-contratio, maka untuk

mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan, pelaku

usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian”.

3. The privity of contract; Prinsip ini menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu

baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan

kontraktual.Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang

diperjanjikan.Fenomena kontrak-kontrak standar yang banyak beredar di

masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen

(18)

4. Kontrak bukan syarat;

Prinsip ini tidak mungkin dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan

syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.

Berbicara mengenai kerugian, terlebih dahulu kita perlu mengetahui

pengertian kerugian. Pengertian kerugian menurut Nieuwenhuis (1985), adalah

berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan

(melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.

Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua

bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta

benda seseorang.Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian

nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.54

Salah satu faktor untuk menegakkan hak-hak konsumen adalah upaya

untuk menumbuhkan sikap dan perilaku konsumen itu sendiri, sehingga menjadi Di samping itu, Bloembergen berpendapat bahwa kerugian merupakan

pengertian normatif yang membutuhkan penafsiran, dan menurutnya, bukan

kehilangan atau kerusakan barang yang merupakan kerugian, melainkan harga

dari barang tersebut atau biaya-biaya perbaikan.

Selain kerugian harta benda (kerugian ekonomi), dalam Hukum

Perlindungan Konsumen dikenal pula kerugian fisik, begitu pula kerugian karena

cacat dan kerugian akibat produk cacat, namun pembedaan tersebut tidak penting

dalam kasus perlindungan konsumen, akan tetapi yang paling penting adalah

konsumen mengalami kerugian karena mengonsumsi suatu produk tertentu.

54

(19)

konsumen yang bertanggung jawab, yaitu konsumen yang sadar akan hak-haknya

sebagai konsumen. Bahwa kegiatan konsumen dalam meningkatkan barang atau

jasa yang dibutuhkannya (transaksi konsumen), selain diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga

menggunakan Hukum Perdata. Oleh karena itu, peranan Hukum Perdata sangat

besar artinya dalam menegakkan hak-hak konsumen dalam Hukum Perlindungan

Konsumen.

Di samping itu, aspek Hukum Perdata yang cukup menonjol pada

perlindungan konsumen adalah hak konsumen untuk mendapatkan ganti atas

kerugian yang dideritanya sebagai akibat dari pemakaian barang-barang

konsumsi.Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari

pemakaian barang-barang konsumsi merupakan salah satu hak pokok konsumen

dalam Hukum Perlindungan Konsumen.Hak atas ganti rugi ini bersifat universal

di samping hak-hak pokok lainnya.

Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen pada hakikatnya

berfungsi sebagai:

1. Pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar;

2. Pemulihan atas kerugian materiil maupun immateriil yang telah dideritanya;

3. Pemulihan pada keadaan semula.

Kerugian yang dapat diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian

barang-barang konsumsi itu dapat diklasifikasikan ke dalam:55

1. Kerugian materiil, yaitu berupa kerugian pada barang-barang yang dibeli;

55

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

(20)

2. Kerugian immateriil, yaitu kerugian yang membahayakan kesehatan dan/atau

jiwa konsumen.

Kerugian yang dialami konsumen akibat barang yang cacat diatur dalam

ketentuan pasal 1367 KUHPerdata.Menurut pandangan para sarjana,

pertanggungjawaban untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda didasarkan

pada ajaran risiko, sedangkan yurisprudensi Belanda berpendapat bahwa tanggung

jawab timbul apabila kerugian yang terjadi merupakan akibat dari kelalaian dalam

mengawasi benda yang berada pada pengawasannya. Pada ayat (3) pasal 1367

KUHPerdata ini menunjukkan pada kerusakan akan sesuatu benda atau lukanya

seseorang yang ditimbulkan dengan perantaraan sesuatu benda.

Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan

melawan hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan

manusia maka pertanggungjawabannya terletak pada pihak yang mengawasi

benda tersebut serta bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang

terjadi.56

Pada kenyataannya, konsumen Indonesia masih sering mengalami

kasus-kasus yang sangat merugikan dirinya, baik secara materiil maupun

immateriil.Seperti halnya yang dikemukakan oleh Badan Pembina Hukum Dalam transaksi yang dilakukan konsumen, konsumen menghadapi

permasalahan yang sulit diatasi oleh mereka sendiri.Perangkat peraturan

perundang-undangan dan pelaksanaan wewenang administratif aparat pemerintah

masih belum mendukung dalam memenuhi kebutuhan hidup konsumen.

56Ibid,

(21)

Nasional Indonesia, di mana kekecewaan yang dinyatakan oleh konsumen karena

kualitas produk yang tidak memenuhi standar.

Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan

oleh tidak sempurnanya produk.Banyak produsen yang kurang menyadari

tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan

keamanan dalam mengonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:57

1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati

dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang

dihasilkan produsen.

2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang

berbahaya atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang bertentangan

dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut dengan

keamanan dan keselamatan masyarakat.

3. Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan

bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau

oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

4. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat

dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan

pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.

5. Kriteria terhadap barang yang dikatakan cacat dan berbahaya.

57Ibid,

(22)

D. Standar Nasional Indonesia Sebagai Suatu Bentuk Perlindungan Terhadap Konsumen

Welfare State Theory mengatakan: “Negara wajib memberikan

perlindungan bagi warga negaranya”. Dalam hal perlindungan kepada warga

negaranya adalah dalam bentuk pemberlakuan Standar Nasional Indonesia.

Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia diterapkan agar pelaku usaha yang ada

di Indonesia menstandardisasikan produk-produknya sesuai dengan pengaturan

Standardisasi Nasional yang diterapkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah

Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Selanjutnya, menurut

John Keynes: “Negara bertanggung jawab kepada kesejahteraan rakyatnya”. Oleh

karena itu, gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan

warga negara baik di bidang sosial maupun ekonomi (staatsonthouding dan

laissez faire) lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah

bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur

kehidupan ekonomi dan sosial.58

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,

sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan

manusia yang perlu diatur dan dilindungi.

Artinya pemberlakuan Standar Nasional

Indonesia wajib terhadap produk-produk yang berkaitan dengan keselamatan,

kesehatan dan keamanan masyarakat mempunyai tujuan demi melindungi

masyarakat agar terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri.Masyarakat

dalam hal ini disebut konsumen.

59

58

John Maynard Keynes, dalam Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 115.

59

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 69.

(23)

tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala

peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang

dianggap mewakili kepentingan masyarakat.Dalam hal ini masyarakat yang

memerlukan perlindungan hukum adalah masyarakat yang menggunakan suatu

produk disebut konsumen.

Ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

melindungi konsumen dari penggunaan barang yang tidak sesuai dengan standar

yang ditentukan, adalah Pasal 8 ayat (1) a, yang menentukan bahwa pelaku usaha

dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang

tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Produk yang masuk ke dalam suatu negara harus memenuhi ketentuan

tentang standar kualitas yang diinginkan dalam suatu negara. Hal ini berarti

produk impor yang dikonsumsi oleh konsumen akan memenuhi standar yang telah

ditetapkan oleh masing-masing negara, sehingga konsumen akan terlindungi baik

dari segi kesehatan, maupun tentang jaminan diperolehnya produk yang baik

sesuai dengan harga yang dibayarkan. Oleh karena itu, untuk mengawasi

kualitas/mutu barang, diperlukan adanya standardisasi mutu barang.60

Menyadari peranan standardisasi yang penting dan strategis tersebut,

pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang kemudian

60

(24)

disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk

Dewan Standardisasi Nasional. Di samping itu, telah dikeluarkan pula Peraturan

Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) dan

Keppres Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan, dan Pengawasan

SNI dalm Rangka Pembinaan dan Pengembangan Standardisasi Secara

Nasional.61

Untuk lebih menjamin suatu produk, yang diperlukan bukan hanya sampai

pada dipenuhinya spesifikasi dan pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu

dilakukan pengawasan oleh Departemen Perdagangan terhadap produk yang telah

memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di pasaran dalam negeri, maupun yang

akan diekspor.

Dengan telah dibentuknya Dewan Standardisasi Nasional dan

diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar

Nasional Indonesia dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang

Penyusunan, Penerapan, dan Pengawasan SNI, yang kemudian diindaklanjuti

dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka mulai 1

Februari 1996 hanya ada satu standar mutu saja di Indonesia, yaitu SNI.

62

Berkaitan dengan itu, maka terhadap komoditas ekspor dan

impor berlaku ketentuan:63

61

Agung Putra, Pengendalian dan Pengawasan Mutu Produk, Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang-Kanwil Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, 1995, hlm. 1.

62

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan, dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia, Bab VI, Pasal 16 angka 2 dan 3.

63

(25)

1. Standar komoditas ekspor tidak boleh lebih rendah daripada SNI, yang berarti

standar komoditas ekspor mempergunakan SNI atau dengan spesifikasi

tambahan non mandatory bila diperlukan;

2. Standar komoditas impor minimal harus memenuhi SNI dan standar nasional

negara yang bersangkutan.

Pemberlakuan SNI ini merupakan suatu usaha peningkatan mutu, yang

disamping menguntungkan produsen, jua menguntungkan konsumen, tidak hanya

konsumen dalam negeri, akan tetapi juga konsumen di luar negeri, karena standar

yang berlaku di Indonesia telah disesuaikan dengan standar mutu Internasional,

yaitu dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh Dewan Standardisasi Nasional

dengan Nomor Seri SNI 19-9000: 1992. Di mana ISO 9000 sendiri pada

umumnya:

1. Mengatur semua kegiatan dari perusahaan dalam hal teknis, administrasi dan

sumber daya manusia yang mempengaruhi mutu produk dan jasa yang

dihasilkan;

2. Memberikan kepuasan kepada para pelanggan dan pemakai akhir;

3. Penerapan konsep penghematan biaya dengan cara pelaksanaan pekerjaan

yang benar pada setiap saat;

4. Memberikan petunjuk tentang koordinasi antara manusia, mesin dan

informasi untuk mencapai tujuan standar;

5. Mengembangkan dam melaksanakan sistem manajemen mutu untuk

(26)

Sasaran dari ISO 9000 salah satunya adalah untuk kebutuhan dan harapan

pelanggan, yaitu kepercayaan terhadap kemampuan perusahaan untuk

menghasilkan mutu yang diinginkan dan pemeliharaannya secara konsisten. ISO

9000 akan menunjang program perbaikan mutu untuk mencapai mutu yang

memenuhi keinginan konsumen di seluruh dunia.64

1. Penerapan standar mutu yang tinggi akan menaikkan ongkos produksi;

Dengan diadopsinya ISO 9000 ini diharapkan dapat mengubah pola pikir

pengusaha di negara berkembang yang pada umumya berpendapat bahwa barang

yang baik dan seragam tidak menguntungkan perusahannya, karena berbagai

alasan seperti:

2. Penekanan atas mutu suatu produk akan mengurangi produktivitas;

3. Konsumen di dalam negeri tidak kritis dengan standar mutu.

Padahal jika dicermati, pemenuhan standar sangat diperlukan dalam

transaksi perdagangan Internsional karena menjamin keseragaman tingkat kualitas

barang yang diperdagangkan.Demikian pula pemenuhan standar juga dapat

mengurangi sengketa tentang kualifikasi dan kualitas barang yang diekspor atau

diimpor.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kaitan Standar Nasional

Indonesia dengan hak-hak konsumen adalah bahwa Standar Nasional Indonesia

mampu melindungi hak-hak konsumen.Standar Nasional Indonesia menjamin

konsumen untuk mendapatkan barang-barang yang bagus di pasaran sesuai

dengan standarnya.Artinya Standar Nasional Indonesia juga berpihak kepada

64

(27)

konsumen. Dengan kata lain Standar Nasional Indonesia adalah kepastian hukum

sekaligus bentuk perlindungan terhadap konsumen.65

65

Referensi

Dokumen terkait

Semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan oleh para petugas maka akan semakin tinggi pula loyalitas pasien atau pelanggan Klinik Saraf RSJD Dr RM Soedjarwadi tersebut, yang

(Tuliskan komentar/pendapat tentang jawaban anak pada rubrik Insya Allah Aku

Gultom, Cuan Wanti, 2010, Analisis Korelasi Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Kelahiran di Kabupaten Simalungun Tahun 2011 [Tugas Ahir],

14 Sebagai peserta Seminar Nasional Pelurusan Seminar Nas Purworejo 18 Juli 2006 2 Sertifikat. Sejarah Tempat/Tanggal Lahir WR Supratman

Pienten lasten rotavirus-, pneumokokki-, HPV-, influenssa- ja vesirokkorokotukset ovat ennen rokotusohjelmaan ottamista käyneet läpi 2000-luvun alusta käytössä olleen

Hal ini berarti bahwa dengan kurikulum Program S-1 jurusan administrasi pendidikan yang mereka pelajari dapat memberikan guru (lulusan) untuk menambah wawasan dan pengetahuan

Karakteristik Produk Olahan Kerupuk dan Surimi dari Daging Ikan Patin ( Pangasius Sutchi ) Hasil Budidaya sebagai Sumber Protein Hewani.. Media Gizi

Bahasa I ndonesia dit et apkan sebagai Bahasa Negara dalam Undang- Undang Dasar kit a.. Jika t idak segera diberant as, peredaran narkoba akan sem ak in m