BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada
Gambar 1.1 dapat dilihat dari tahun 2000 hingga tahun 2010 luas perkebunan kelapa
sawit Indonesia terus mengalami kenaikan perluasan areal perkebunan kelapa sawit
dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 11,8%.
Gambar 1.1 Luas lahan pertanian kelapa sawit di Indonesia (Kementerian perindustrian, 2011)
Pada tahun 2010, luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai sebesar 8,1 juta
hektar, dimana komposisi kepemilikan sebesar 43% petani, 8,5% perkebunan besar
negara dan sisanya 48,5 % perkebunan besar swasta dengan kapasitas produksi pabrik
20.800.000 ton minyak kelapa sawit setiap tahunnya (Gambar 1.2). Setiap produksi 1 41,58
47,13 50,67 52,83 52,84 54,53
65,94 67,66 70,08
79 81
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
ton minyak kelapa sawit, akan menghasilkan limbah cair pabrik kelapa sawit
(LCPKS) sekitar 2,5 ton (Departemen Pertanian, 2006). Sehingga untuk produksi
20.800.000 ton minyak kelapa sawit akan diperoleh 52.000.000 ton LCPKS.
LCPKS merupakan salah satu jenis buangan pabrik pengolahan kelapa sawit
yang berasal dari air kondensat pada proses sterilisasi, air dari proses klarifikasi, air
hydrocyclone (claybath), dan air pencucian.
Gambar 1.2 Kapasitas produksi kelapa sawit di Indonesia (Kementerian perindustrian, 2011)
LCPKS tersebut tidak dapat langsung dibuang ke perairan karena memiliki
konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi, mencapai 50.000 mg/l,
kandungan lemaknya mencapai 4000 mg/l dan total solid (TS) 40.500 mg/l (Ngan,
2000). Besarnya kandungan bahan organik dalam LCPKS berpotensi untuk diolah
menjadi biogas. Irvan.,dkk (2012) telah melakukan penelitian mengkonversi LCPKS
menjadi biogas, dalam penelitian tersebut diperoleh (24–28) liter biogas untuk setiap 7 8,3
9,3 9,9 12,2
13,6
16 17,2
18,8 19,7 20,8
0 5 10 15 20 25
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
liter LCPKS. Jika dikonversikan terhadap jumlah LCPKS yang ada yaitu 52.000.000
ton maka akan menghasilkan 1.248.000.000 s/d 1.456.000.000 ton biogas, dengan
demikian LCPKS sangat potensial untuk dijadikan sebagai sumber bahan bakar
alternatif.
Pabrik kelapa sawit (PKS) sering mengalami kelebihan produksi sehingga jumlah
LCPKS yang dihasilkan cukup tinggi dan sebaliknya pada kondisi pabrik dalam
perbaikan mesin/shutdown maka LCPKS tidak dihasilkan. Padahal untuk
memproduksi biogas dengan jumlah tertentu yang kontinu diperlukan bahan baku
dalam jumlah tertentu yang kontinu pula. Untuk penanganan bahan baku LCPKS
dalam pengolahannya menjadi biogas, PKS memerlukan tangki/reaktor dengan masa
simpan/waktu tinggal limbah pada kapasitas yang cukup. Dalam pemenuhan
spesifikasi reaktor tersebut banyak parameter yang perlu dipertimbangkan seperti pH,
suhu, nutrien, HRT dan lain sebagainya. Parameter ini perlu dipertimbangkan karena
karakter limbah cepat berubah seiring dengan waktu tinggal limbah dalam reaktor
sebab mikroorganisme yang ada didalam limbah sangat mudah bereaksi/berubah.
Reaksi yang terjadi pada LCPKS adalah reaksi hidrolisis-asidogenesis dimana limbah
yang terdiri dari komponen organik (polimer) akan terurai menjadi senyawa
sederhana (monomer). Proses ini dapat terjadi pada reaktor yang memiliki spesifikasi
yang sesuai dengan kondisi pada proses hidrolisis-asidogenesis untuk LCPKS.
Untuk menentukan spesifikasi dan kondisi reaktor tersebut perlu dilakukan
karakterisasi dari limbah dan membandingkan penelitian terdahulu yang telah
Tabel 1.1 Data Desk Studi No Nama Peneliti,
tahun
Sumber Judul Penelitian Metode Bahan
Baku
Hydrolisis and Acidogenesis of Farm Dairy Effluent for Biogas Production at Ambient Temperatures.
Digestion anaerobi/CSTR, Analisis VFA = HPLC Variasi:
Optimization of the hydrolytic-acidogenic anaerobic digestion stage(55OC) of sewage sudge : Influence of pH and solid content.
CSTR; HRT= 1,2,3,4 Acidogenesis of Kitchen Waste in two Anaerobic Digestion.
pH:1,2,3,4,5
Agitator dan Non agitator : innoculum dan non
Improving acidogenic performance in anaerobic degradation of solid organic wa ste using a rotational drum
VA= 30,6% menjadi 63,4% Penurunan Asam Asetat 93,3 % menjadi 42,0 %
5 Yuniarti Elly, 2006
Tesis, Magister Teknik Lingkungan,
Universitas Diponegoro
Pengolahan Air Limbah Tahu Menggunakan Reaktor Anaerob dan Aerob
Jarak sekat: tidak berpengaruh Kondisi optimal: HRT=4 hari dan Vol tangki 1/3 Penurunan COD 64%.
6 Foxon KM, dkk, 2006
Report to the Water Research Commission
The Evaluation of Anaerobic Baffled Reactor for Sanitation in Dense peri-urban settlements
Flow rate : 2736 ltr/day Hanging Baffle Reactor 29 % dari standing Baffle
Domestic waste water
ditunjukkan pada Tabel 1.1. Kajian hidrolisis dan asidogenesis terhadap limbah
pabrik susu telah dilakukan oleh Broughton (2009), dimana dengan menggunakan
reaktor tipe Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR) dengan melakukan variasi
konsentrasi diperoleh peningkatan volatile fatty acid (VFA) sekitar 635 ppm asam
asetat. Tembhurkar AR., dkk (2007) juga telah melakukan studi
hidrolisis-asidogenesis dengan mengolah limbah rumah tangga sebagai bahan baku dalam
pembuatan biogas. Nilai pH optimal pada pembuatan biogas dari limbah rumah
tangga oleh Tembhurkar adalah pada pH 4-5, dimana jumlah biogas yang dihasilkan
lebih tinggi jika dibandingkan pada pH 1, 2 dan 3. Sedangkan Ponsa, dkk (2008) telah
melakukan penelitian pembuatan biogas dari limbah lumpur (sewage sludge) yang
terdiri dari reaksi hidrolisis, asidogenesis, acetogenesis dan metanogenesis. Hasil
penelitian yang dilakukan Ponsa, dkk (2008) diperoleh biogas yang optimal adalah
pada HRT 4 hari dan temperatur 55 oC.
Beberapa peneliti lain telah melakukan pembuatan reaktor hidrolisis dimana
mikroorganisme dapat dikondisikan agar tidak terjadi pembentukan gas metan, tetapi
belum ada penelitian yang menggunakan bioreaktor jenis anaerobic baffle reactor
(ABR) untuk LCPKS, oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian/penelitian
terhadap LCPKS dengan melakukan rancangan dan evaluasi kinerja reaktor
hidrolisis-asidogenesis pada pembuatan biogas dari limbah cair pabrik kelapa sawit,
1.2Perumusan Masalah
Jumlah LCPKS sebagai bahan baku dalam pembuatan biogas sangat tergantung
kepada kapasitas produksi pabrik, dimana saat pabrik over produksi akan dihasilkan
LCPKS yang berlebih dan sebaliknya. Pada kondisi seperti ini, pabrik dapat
menyimpan LCPKS tersebut kedalam bak/tangki penyimpanan, akan tetapi karena
karakter dari LCPKS yang mudah berubah, sehingga tidak tertutup kemungkinan
akan terjadi proses pembentukan biogas yang seharusnya tidak boleh terjadi pada
tahap ini. Apabila terbentuk biogas maka komposisi partikel organik dalam LCPKS
akan menurun, sehingga berpengaruh kepada hasil. Untuk mengatasi masalah tersebut
perlu dilakukan perancangan bioreaktor untuk menghindari terbentuknya biogas, akan
tetapi produk antara meliputi hasil reaksi hidrolisis-asidogenesis.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan suatu rancangan, spesifikasi dan
kondisi reaktor hidrolisis-asidogenesis sebagai bioreaktor yang digunakan dalam
penanganan LCPKS yang berlebih, dimana tidak terjadi reaksi metanogenesis
(pembentukan gas metan) dalam masa proses penanganannya, melainkan reaksi
1.4 Lingkup Penelitian
Lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bahan baku yang digunakan adalah limbah cair pabrik kelapa sawit yang
berasal dari pabrik kelapa sawit Adolina milik PTPN IV di Lubuk Pakam.
Inokulum dari kolam asam limbah pabrik kelapa sawit Pabatu milik PTPN IV
di Tebing Tinggi.
Tahap desain dan instalasi reaktor hidrolisis-asidogenesis. Desain dan instalasi
bioreaktor berdasarkan pada perhitungan untuk reaktor jenis anaerobic baffle
reactor (ABR) dengan mempertimbangkan beban organik dalam limbah, yang
mengacu kepada desain Sudjarwo, (2008) dan Foxon.,dkk (2006).
Tahap uji kinerja reaktor hidrolisis-asidogenesis.
Uji coba bioreaktor dilakukan dengan variasi tetap dan variasi bebas.
Variasi tetap: Jarak antara sekat/baffle adalah 10 - 10 cm ( Sani, 2006) dan
Temperatur Ambien.
Variasi Bebas:
Jarak dasar reaktor dengan hanging baffle sering disebut dengan
Clearance Baffle Reactor (CBR) adalah 3 cm dan 1,5 cm (Foxon dkk,
2006).
Waktu Tinggal (HRT) 6, 12, 18 hari.
Perbandingan jumlah limbah dan air segar yaitu 1 : 3 (3 x pengenceran)