BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) adalah salah satu produk samping dari
pabrik minyak kelapa sawit yang berasal dari kondensat pada proses sterilisasi, air
dari proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian pabrik. LCPKS mengandung berbagai senyawa terlarut termasuk, serat-serat pendek, hemiselulosa
dan turunannya, protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral. Tabel
2.1 menyajikan sifat dan komponen LCPKS (Ngan, 2000).
Tabel 2.1 Sifat dan Komponen LCPKS (Ngan, 2000)
Parameter Rata-rata * Parameter Rata-rata*
pH
Limbah cair dari pabrik minyak kelapa sawit ini umumnya memiliki suhu tinggi,
berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan
demand (COD) yang tinggi. Apabila limbah cair ini langsung dibuang ke perairan maka dapat mencemari lingkungan. Dan jika limbah tersebut langsung dibuang ke
perairan, maka sebagian akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi
oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat
merusak ekosistem perairan. Sebelum limbah cair ini dapat dibuang ke lingkungan,
terlebih dahulu harus diolah agar sesuai dengan baku mutu limbah yang telah
ditetapkan.
Biogas merupakan produk akhir dari degradasi anaerobik bahan organik oleh
mikroorganisme anaerobik dalam lingkungan dengan sedikit oksigen. Komponen
terbesar yang terkandung dalam biogas adalah metan 55–70 % dan karbon dioksida
30–45 % serta sejumlah kecil nitrogen dan hidrogen sulfida, akan tetapi hanya metana
(CH4) yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Tabel 2.2 menunjukkan komposisi
biogas secara umum.
Tabel 2.2 Komposisi Biogas Secara Umum (Deublein, 2008).
Komponen Biogas Komposisi (%)
Metana (CH4)
Karbon dioksida (CO2)
Nitrogen (N2)
Hidrogen Sulfida (H2S)
55 – 70 %
30 – 45 %
0 – 0,3 %
1 – 5 %
Biogas yang kandungan metannya lebih dari 45 % bersifat mudah terbakar dan
merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor bakar yang
nilai kalor bakar dari biogas tersebut. Sedangkan kandungan H2S dalam biogas dapat
menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan. Nitrogen dalam biogas juga dapat
mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut (Deublein, 2008).
Keterangan Gambar: / : Garis Proses Tahap Pembuatan Biogas : Garis Hasil Setiap Tahap Proses / : Batasan Penelitian
Gambar 2.1 Tahap Pembuatan Biogas (Broughton, 2009).
Partikulate Organic matter :
Polimer : Carbohydrates, Protein, Lipids
Monomer: Amino Acid, Sugars/Glukosa, alcohols, Fatty Acid
Hydrolysis
Intermediary Products:
VFA( Asam Acetate, Propionate, Ethanol, Lactate ) Acydogenesis
Acetogenesis
Homoacetogenic Oxidation
Reductive Homoacetogenic
H2
CO2
Acetate
Methanogenesis:
Gas metan terbentuk karena proses fermentasi oleh mikroorganisme anaerobik
seperti bakteri metanogenik. Proses fermentasi pembentukan metana merupakan
proses biologi yang mampu mengkonversi bahan-bahan organik menjadi metana dan
karbon dioksida melalui empat tahap reaksi yaitu proses hidrolisis dimana
bahan-bahan organik yang ada akan didegradasi menjadi bentuk yang lebih sederhana.
Kemudian proses asidifikasi yaitu proses fermentasi dan pembentukan asam dari hasil
hidrolisis senyawa organik, lalu proses acetogenesis yaitu pembentukan asam asetat
oleh Acetobacterial. Tahap terakhir adalah pembentukan metana yang melibatkan mikroorganisme untuk merubah asam Asetat, CO2 dan H2 menjadi metana.
2.2 Hidrolisis
Hidrolisis merupakan langkah awal proses digester anaerobik untuk semua proses
penguraian dimana bahan organik akan berubah menjadi bentuk yang lebih sederhana
sehingga dapat diurai oleh mikroorganisme pada proses fermentasi. Lebih sering
disebut depolimerisasi sebagai proses hidrolisis dimana proses ini dapat memecah
makromolekul (Broughton, 2009). Mikroorganisme hidrolase yang tumbuh adalah
berupa mikroorganisme anaerobik. Untuk senyawa komplek dan konsentrasi yang
tinggi, hidrolisis biasanya berjalan lambat. Mikroorganisme akan mendekomposisi
rantai panjang karbohidrat, protein dan lemak menjadi bagian yang lebih pendek.
Proses penguraian ini melibatkan mikroorganisme hidrolase dimana senyawa–
senyawa organik kompleks dihidrolisis menjadi monomer–monomer. Sebagai contoh,
amino, lemak dihidrolisis menjadi asam–asam lemak atau gliserol. Broughton (2009)
mengemukakan dalam penelitiannya tentang pembuatan biogas dari limbah pabrik
susu dengan menggunakan bioreaktor tipe CSTR, beberapa senyawa dihasilkan dari
reaksi hidrolisis seperti asam amino, gula, alkohol dan fatty acid. Sedangkan
penelitian Gunther (2011) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa hasil dari
proses hidrolisis adalah Asam volatile karboksilat, asam keton, asam hidroksi, keton,
alkohol, gula, asam amino, H2 dan CO2.
Laju reaksi hidrolisis dipengaruhi beberapa faktor seperti pH, suhu, konsentrasi
atau ukuran partikel substrat (Broughton, 2009).
Faktor yang mempengaruhi Hidrolisis
Proses hidrolisis dipengaruhi beberapa parameter yaitu (Broughton, 2009) :
Waktu tinggal (HRT), Ponsa Sergio (2008) telah melakukan penelitian dengan
mengkaji reaksi hidrolisis–asigonesis dengan variasi HRT 1,2,3,4 hari, dan
hasil hidrolisis-asidogenesis diperoleh yang optimum adalah pada kondisi
HRT 3 dan 4 hari.
pH
Tembhurkar (2007) menyatakan dalam penelitiannya bahwa pH sangat
berpengaruh pada proses hidrolisis-asidogenesis, dimana untuk limbah rumah
Temperatur
Temperatur berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme
bagi semua makhluk hidup, khususnya bagi bakteri. Suhu lingkungan yang
berada lebih tinggi dari suhu yang dapat ditoleransi akan menyebabkan
denaturasi protein dan komponen sel esensial lainnya sehingga sel akan mati.
Demikian pula bila suhu lingkungannya berada di bawah batas toleransi,
membran sitoplasma tidak akan berwujud cair sehingga transportasi nutrisi
akan terhambat dan proses kehidupan sel akan terhenti. Berdasarkan kisaran
suhu aktivitasnya, bakteri dibagi menjadi 4 golongan:
Bakteri psikrofil, yaitu bakteri yang hidup pada daerah suhu antara 0 –
30°C, dengan suhu optimum 15 °C.
Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang hidup di daerah suhu antara 15 –
55°C, dengan suhu optimum 25 – 40 °C.
Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup di daerah suhu tinggi
antara 40 – 75 °C, dengan suhu optimum 50 – 65 °C.
Bakteri hipertermofil, yaitu bakteri yang hidup pada kisaran suhu 65 -
114°C, dengan suhu optimum 88 °C.
Ukuran partikel dan konsentrasi substrat
Hal paling utama ialah ditentukan oleh limbah yang akan diolah, yaitu
beragamnya komposisi substrat yang ada dalam limbah, dan juga ukuran
penelitiannya dalam melibatkan jenis atau ukuran partikel dari 840 sampai
350 nm diperoleh glukosa 29 % dengan waktu 96 hari. Perlakuan ini
dilakukan dengan melihat bagaimana bahan lignoselulosa dihidrolisis, dengan
menggunakan steam.
2.3Asidogenesis
Asidogenesis adalah tahap konversi glukosa, rantai panjang fatty acid dan asam amino yang dihasilkan dari bakteri hidrolise menjadi asam organik seperti asetat,
propionat, butirat, alkohol, H2, CO2, dan rantai panjang fatty acid yang lain. Broughton (2009) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa pada langkah
asidogenesis, hasil dari hidrolisis akan diabsorbsi oleh sel bakteri asidogenesis untuk
difermentasikan atau diubah secara anaerobik menjadi senyawa seperti alkohol, asam
lemak rantai pendek, asam asetat, karbon dioksida, hydrogen, ammonia dan sulfida.
Produk akhir dari aktivitas metabolisme bakteri ini tergantung dari substrat awalnya
dan juga kondisi lingkungannya. Proses pembentukan asidogenesis dapat dilihat pada
Gambar 2.2 mekanisme reaksi pembentukan asam asetat, Asam butirat, asam
propionat, asam laktat, H2 dan CO2 dari glukosa pada tahap asidogenesis (Yusoff dkk,
2010).
2.4 Acetogenesis
Organisme akan mengkonversi intermediate seperti Propionat, Butyrate, Laktat
dihasilkan dapat berfungsi untuk menaikkan rantai panjang VFA dan menurunkan pH
dan inhibisi pada tahap acetogenesis. Produk H2 dapat dijadikan sebagai sumber
hidrogen oleh bakteri acetogen. Berikut ini adalah prinsip reaksi yang melibatkan
konversi substrat menjadi asetat (Broughton, 2009).
Reaksi Acetogenik Syntropik adalah meliputi:
Propionat- + 3 H2O ...> Asetat - + HCO3- + H+ + 3H2 ...(2-1)
Butyrat- + 2H2O...> 2 Asetat - + HCO3- + H+ + 3H2 ...(2-2)
Propionat- + 2 HCO3- ...> Asetat- + 3 Formate- + H+ ...(2-3)
Butirat- + 2 HCO3- ...> 2 Asetat- + 2 Formate-+ H- ...(2-4)
Reaksi Homoacetogenesis meliputi:
Laktat ...> 3/2 Asetat- + ½ H+ ...(2-5)
Etanol +HCO3-...> 3/2 Asetat- + H2O + ½ H+ ...(2-6)
Metanol + 1/2 HCO3-...> ¾ Asetat - + H2O...(2-7)
4 H2 + 2HCO3- + H+ ...> Asetat- + 4 H2O ...(2-8)
2.5 Metanogenesis
Metanogen dan asidogen membentuk suatu hubungan yang saling
menguntungkan dimana metanogen mengubah hasil dari proses asidogen seperti
hidrogen, asam format dan asetat menjadi metana dan karbon dioksida.
Mikroorganisme yang membentuk metana diklasifikasikan sebagai archaea yang bekerja tanpa adanya oksigen. Mikroorganisme non metanogenik yang berperan
Pengolahan secara anaerobik dengan reaktor dapat diaplikasikan untuk mengolah
limbah cair dalam jumlah yang besar karena menggunakan reaktor tertutup dan waktu
tinggal cairan limbah saat ini bisa lebih singkat, maka kebutuhan lahan yang luas
untuk mengolah limbah cair dapat dikurangi. Selain itu pengolahan limbah cair secara
anaerobik juga dapat memberikan sumber energi berupa gas metan yang merupakan
produk akhir dari proses anaerobik ini. Gas metan yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai bahan bakar yang relatif terhadap ramah lingkungan.
Reaksi yang terjadi pada Reaksi Metanogenesis (Broughton, 2009) meliputi:
4H2 + HCO3- + H+ ...> CH4 + 3H2O ...(2-9)
Acetat - + H2 ...> CH4 + HCO-3 ...(2-10)
Metanol ...> ¾ CH4 + ¼ HCO3 + ¼H+ + ¼ H2O...(2-11)
Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Proses Metanogenesis
Untuk mendapatkan produksi biogas yang optimum, perlu diperhatikan beberapa
faktor yang mempengaruhi perkembangan mikroorganisme dalam fermentor.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dijaga agar proses produksi biogas
berjalan dengan stabil adalah pH, temperatur, alkalinitas, organic loading rate, total solid,volatile solid dan hydraulic retention time.
a. pH, kondisi pH harus disesuaikan dengan kebutuhan mikroorganisme untuk
dapat hidup dan berkembang. Kondisi pH yang dibutuhkan oleh bakteri
b. Alkalinitas, untuk dapat mempertahankan kondisi pH pada range yang dibutuhkan oleh mikroorganisme agar dapat hidup, maka alkalinitas perlu
dijaga dengan menambahkan bikarbonat (Appels, 2009).
c. Organic Loading Rate (OLR)
OLR adalah jumlah bahan organik yang masuk dan tersedia dalam
fermentor. Apabila OLR terlalu rendah maka proses fermentasi akan
berjalan lambat sedangkan jika terlalu tinggi maka terjadi overload dan substrat yang ada dapat menjadi penghambat pertumbuhan mikroorganisme.
(Speece, 1996)
d. Total Solid (TS), dan Volatile Solid (VS).
Total Solid (TS) adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat baik padatan yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan volatile solid
(VS) adalah padatan-padatan organik yang terdapat dalam substrat. Dari TS
dan VS inilah dapat diketahui berapa banyak produksi gas yang akan
dihasilkan (U.S Environmental Protection, 2001).
e. Hydraulic Retention Time (HRT), HRT atau waktu tinggal merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh limbah cair untuk tinggal di dalam reaktor.
Nilai HRT merupakan perbandingan antara volume reaktor dengan laju alir
umpan yang masuk (Speece, 1996).
Gas metana memiliki nilai bakar yang tinggi dan lebih ramah terhadap lingkungan
jika di bandingkan dengan bahan bakar petroleum ataupun batu bara. Tahapan yang
Gambar 2.2 Mekanisme reaksi pada proses acidogenesis dari glukosa dalam pembentukan volatile (Yusoff.,dkk, 2010) C6H12O6
CH3COCOOH
2NAD+
4NAD+
2NADH+H+ 2NAD+
2CH3CHOHCOOH
(Asam Laktat)
2CO2
4NAD+H-
2NAD+ + H+
2Fd 2FdH2
2CH3COSCoA
2CH3CH2OH(Etanol)
2CH3COOH(Asam Asetat)
2CO2
2CH3C 2COOH(Asam Butirat )
2NADH+H+
2NAD+
2.6 Karakteristik bakteri yang berperan dalam tahap produksi biogas dari LCPKS
Khemkhao dkk, 2011 telah menggolongkan dari karakteristik bakteri yang lazim
ada dalam limbah cair kelapa sawit yang dapat menghasilkan biogas dari LCPKS.
Tabel 2.3 Penggolongan bakteri pada produksi biogas dari LCPKS (Khemkhao dkk, 2011).
Nama Bakteri Group Bakteri
Halomonaas sp.3026, Sphingobacterium sp.P-7, Bacillus sp N18, Brevundimonas sp AP-5, Pseudomonas sp W399, Sediminibacterium sp I-28, Clostridium sp.
Bakteri Hidrolase
Clostridiumtermoautotrophicum , Acetobacter woodir.
Bakteri Acidogenase (penghasil asam asetat)
Sulfurospirillum sp, Smithella sp Syntrophus sp. Bakteri acetogenase
Methanosarcinales, Methanosaeta sp, Methanothrix soehngenii, Methanosarcinaeceae
Bakteri methanogenase
Tabel 2.3. merupakan penggolongan jenis bakteri yang berperan dalam produksi
biogas. Cukup banyak jenis bakteri yang dapat tumbuh pada LCPKS, tergantung pada
kondisi lingkungan.
2.7 Anaerobic Baffled Reactor
Anaerobic baffled reactor (ABR) merupakan bioreaktor anaerob yang memiliki kompartemen berupa sekat-sekat vertikal. Reaktor tipe ABR dapat digunakan untuk
mengolah berbagai macam jenis limbah dan secara umum kompartmen tersebut
Proses dalam reaktor ABR adalah penggabungan beberapa proses seperti
sedimentasi dengan penguraian lumpur secara parsial dalam kompartemen yang
sama, walaupun pada dasarnya hanya merupakan suatu kolam sedimentasi tanpa
bagian-bagian yang bergerak atau penambahan bahan-bahan kimia. Proses yang
terjadi didalam ruang pertama ABR atau sering disebut dengan settling tank dimana
terjadi proses pengendapan dan pada ruang-ruang berikutnya terjadi proses
penguraian akibat air limbah kontak dengan mikroorganisme. ABR ini merupakan
sistem pengolahan anaerob tersuspensi, dalam bioreaktor berpenyekat. Pertumbuhan
tersuspensi (pertumbuhan tersuspensi) lebih menguntungkan dibanding pertumbuhan
melekat karena membutuhkan media pendukung serta tidak tersumbat.
Anaerobik baffled reactor dikembangkan pertama kalinya oleh McCarty dan rekan-rekannya dari Universitas Stanford (McCarty, 1981). ABR merupakan Upflow Blanket Sludge Anaerobic (UASB) yang dipasang secara seri, namun tidak membutuhkan butiran (granul) dalam operasinya (Ashila dan Soewondo, 2008),
sehingga memerlukan periode start-up lebih pendek. Serangkaian sekat vertikal
dipasang dalam ABR membuat limbah cair mengalir dari bawah lalu ke atas dan
selanjutnya mengalir ke bawah lagi sepanjang reaktor dimulai dari inlet hingga outlet,
sehingga terjadi kontak antara limbah cair dengan biomassa aktif. Konsentrasi
senyawa organik bervariasi sepanjang ABR sehingga menghasilkan pertumbuhan
populasi mikroorganisme berbeda pada masing-masing sekat/kompartemen,
tergantung kondisi spesifik lingkungan yang dihasilkan oleh senyawa hasil
mengapung dan mengendap sesuai karakteristik aliran dan gas yang dihasilkan, tetapi
bergerak secara horisontal ke ujung reaktor secara perlahan sehingga waktu tinggal
limbah semakin lama. Limbah cair kontak dengan biomassa/mikroorganisme aktif
selama limbah mengalir dalam reaktor, sehingga BOD dan COD dalam limbah akan
semakin menurun. Ashila dan Soewondo, 2008, menyatakan dalam penelitiannya
bahwa kelebihan utama ABR adalah:
1. ABR mampu memisahkan reaksi asidogenesis dan metanogenesis yang
memungkinkan reaktor memiliki sistem dua fase (dua tahap), tanpa adanya
masalah terhadap pengendalian biaya yang tinggi.
2. Desainnya sederhana, tidak memerlukan pengaduk mekanis, biaya konstruksi
relatif murah, biomassa tidak memerlukan karakteristik pengendapan tertentu,
lumpur yang dihasilkan rendah serta tidak memerlukan sistem pemisahan gas.
3. Peningkatan volume limbah tidak akan menjadi kendala, bahkan memungkinkan
operasional intermitten, selain itu ABR stabil terhadap adanya beban kejut
hidrolik dan organik (hydraulic dan loading organic shock).
4. Selain itu, ABR dapat mereduksi terbuangnya mikroorganisme dan mampu
Gambar 2.3. HRT dengan Faktor Pengurangan COD (Sudjarwo, 2006)
Gambar 2.4 Rasio Pengurangan COD dengan pengurangan BOD (Sudjarwo, 2006)
Pemisahan dua fase menyebabkan peningkatan perlindungan terhadap senyawa
toksik dan memiliki ketahanan terhadap perubahan parameter lingkungan seperti
perubahan pH, temperatur dan beban organik. Kelemahan dari desain reaktor bersekat
adalah bioreaktor harus dibangun cukup rendah untuk mempertahankan aliran ke atas
(upflow). Untuk meningkatkan kinerja ABR, perlu dipertimbangkan beberapa aspek
yang berkaitan dengan struktur mikroorganisme yang ada dalam bioreaktor, seperti:
limbah cair, jenis sumber lumpur yang digunakan, suhu, pH dan alkalinitas, serta
jumlah mineral yang ada dalam limbah.
Gambar 2.5 Pengurangan Volume Lumpur selama waktu penyimpanan (Sudjarwo, 2006)
Dalam merancang bioreaktor tipe ABR, Sudjarwo (2006) mengemukakan bahwa
ada beberapa parameter yang sangat berpengaruh seperti HRT. Gambar 2.3 berguna
untuk mengetahui faktor pengaruh HRT sedangkan Gambar 2.4 digunakan untuk
langkah berikutnya untuk mengetahui pengaruh penurunan COD, Gambar 2.5 dari