• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V INTERPRETASI PESAN PADA MEDIA ALTERNATIF BOTOL ASBAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V INTERPRETASI PESAN PADA MEDIA ALTERNATIF BOTOL ASBAK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

INTERPRETASI PESAN PADA MEDIA ALTERNATIF “BOTOL

ASBAK”

Penelitian ini berupaya untuk mengetahui interpretasi pesan dari media alternatif “Botol Asbak” dalam mengkomunikasikan pesan bahaya merokok bagi perokok aktif dengan menggunakan Elaboration Likelihood Theory. Dalam penelitian ini peneliti menggolongkan partisipan kedalam jalur sentral dan jalur periferal dalam memaknai pesan yang ada pada “Botol Asbak” dalam mengkomunikasikan pesan bahaya merokok.

1. Jalur Sentral (CentralRoute)

Griffin (2003) menyebutkan bahwa pada jalur ini seseorang harus mempunyai kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan adalah besarnya kapasitas pengetahuan seseorang. Jalur sentral merupakan proses pengolahan informasi secara aktif. Dalam jalur ini disebutkan bahwa informasi-informasi yang telah didapatkan sebelumnya diolah lagi dengan informasi-informasi yang baru diterimanya.

Dalam jalur sentral disebutkan oleh Morissan (2013) seseorang cenderung menggunakan pikiran kritisnya untuk mengolah sebuah informasi. Menurut Martes (1991) pikiran kritis merupakan sebuah proses yang sadar dan sengaja yang digunakan untuk mengevaluasi sebuah informasi dengan reflektif. Hasil evaluasi atas informasi yang didapatkan kemudian dijadikan untuk memandu keyakinan atas tindakan yang akan dilakukan.

Sebuah informasi yang secara sadar yang kemudian dievaluasi dilakukan oleh Krisna, Jordy dan Opang. Mereka mengungkapkan

“Setelah melihat gambar paru-paru yang ada di botol itu aku merasa ternyata aku membuat kotor paru-paruku sendiri karena rokokku. Aku berpikiran ingin berhenti merokok setelah melihat gambar itu mas,” ungkap Krisna.

“Ada keinginan buat berhenti setelah lihat itu (gambar pada Botol Asbak). Simpel tapi sedikit ngeri gitu ngelihatnya,” ungkap Jordy.

(2)

“Awalnya sih ga terlalu perhatiin walau udah tau pesannya tapi kelamaan setelah diisi sama puntung rokok kok ternyata ngeri juga ya lihatnya. Jadi sempet kepikiran buat berhenti ngerokok,” ungkap Opang.

Lewat pernyataan dari ketiga partisipan diatas peneliti meminjam istilah encoding-decoding dari Hall (2001) dalam menginterpretasi pesan yang disampaikan melalui “Botol Asbak”. Encoding merupakan proses penyampaian informasi atau pesan yang menjadi sebuah wacana yang bermakna (meaning discourse) yang dapat dipahami dan diterima. Peneliti menggunakan gambar paru-paru dalam “Botol Asbak” sebagai kode untuk disampaikan kepada partisipan yang akhirnya menjadikannya sebuah decoding. Decoding

merupakan proses penerimaan pesan yang telah tersampaikan yang kemudian ditafsirkan dan diterjemahkan sendiri sehingga menjadi informasi yang berarti.

Gambar 11. Gambar Paru-paru pada Media Alternatif “Botol Asbak” Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Hasil encoding dari “Botol Asbak” dimaknai oleh ketiga partisipan yang

menghasilkan sebuah decoding pada diri mereka. Gambar paru-paru yang terisi oleh puntung rokok menjadi sebuah makna yang berpesan kepada mereka. Makna akan paru-paru yang kotor membuat mereka mengingat akan kesehatan diri mereka. Pesan yang telah tersampaikan dari “Botol Asbak” kemudian terdecoding oleh mereka yang membuat mereka takut akan kesehatan paru-parunya jika terus diisi oleh paparan rokok.

“Gambar paru-paru itu ngingetin aku tentang bahaya rokok. Karena sering juga orang ngomong tentang kanker paru-paru. Jadi aku lumayan takut juga,” ungkap Krisna.

(3)

Proses encoding-decoding bisa dilihat dari proses ketika indera mata mereka mendapati sebuah tanda kemudian mereka maknai melalui kata-kata atau muncul dari pilihan diksi mereka “membuat kotor paru-paru”. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata paru-paru berarti organ tubuh yang berupa sepasang kantong berbentuk bulat toraks, terdapat dalam rongga dada, berfungsi sebagai alat pernapasan (untuk membersihkan darah dengan oksigen yang diisap dari udara pada manusia dan sebagian binatang). Sehingga makna yang ditangkap adalah bahwa sistem dari alat pernapasan mereka akan terganggu akibat kotoran dari rokok yang mereka konsumsi. Banyaknya rokok yang mereka konsumsi akan membuat paru-paru mereka menjadi kotor seperti gambaran pesan yang ada pada “Botol Asbak”.

Hal yang serupa tergambar dari pemaknaan yang dilakukan oleh Jordy dan Opang, pilihan kata “ngeri” merupakan pengejawantahan dari pemikiran mereka ketika mereka diberi visualisasi tanda yang cukup vulgar melalui media alternatif yang diberikan. Kata “ngeri” menurut KBBI merupakan rasa takut atau khawatir (karena melihat sesuatu yang menakutkan atau mengalami keadaan yang membahayakan). Kekuatiran mereka akan dampak dari terusnya mengkonsumsi rokok membuat mereka berpikiran tentang dampak buruk dari rokok itu sendiri terhadap tubuh mereka.

Dari hasil pemikiran mereka lahir sebuah decoding tanda yang membuat mereka ingin berhenti merokok. Dari kalimat “aku berpikir ingin berhenti merokok setelah melihat gambar

itu mas,” dan “sempet kepikiran buat berhenti merokok” menunjukkan bahwa pemaknaan tersebut memberi efek kognitif bagi penerimanya. Hal tersebut seperti yang telah diungkapkan oleh Martes (1991) bahwa pikiran kritis mereka merupakan sebuah proses yang sadar dan sengaja yang digunakan untuk mengevaluasi sebuah informasi dengan reflektif. Hasil evaluasi atas informasi yang didapatkan kemudian dijadikan untuk memandu keyakinan atas tindakan yang akan dilakukan.

Dalam proses decoding, penyampaian pesan gambar dari “Botol Asbak” terbantu oleh

stereotip yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Stereotip tentang dampak buruk rokok dan kanker paru-paru. Gambar yang ada pada “Botol Asbak” adalah gambar paru-paru dan stereotip yang berkembang di masyakat adalah merokok pasti akan mengakibatkan kanker paru-paru. Dr. Evlina Suzanna, SpPA (K) dari RS Kanker Dharmais pernah menjelaskan tentang stereotipe yang berkembang di masyarakat. Dilansir dari tribunnews.com dr. Evlina mengungkapkan ternyata kanker paru-paru tidak hanya berhubungan dengan dampak buruk

(4)

rokok, namun adanya kerentanan genetik pada diri seseorang. Dalam portal berita tersebut disebutkan bahwa sekarang ini belum ada cukup teknologi untuk mengetahui kerentanan genetik pada kanker paru-paru. Namun dr. Evlina menjelaskan bahwa dampak buruk rokok tidak hanya tentang kanker paru-paru saja namun merokok juga dapat menyebabkan kanker lainnya.

“Tapi kalo berbicara tentang risiko rokok, merokok tidak hanya berisiko kanker paru-paru tapi juga kanker leher rahim, kanker payudara, dan lain sebagainya,”

jelas dr. Elvina.

Yang membedakan ketiga partisipan ini dengan partisipan yang lain dalam memaknai pesan dari “Botol Asbak” adalah ketiga partisipan ini mengaku mereka sering membawa dan menggunakan “Botol Asbak” saat dalam kegiatan mereka. Walau beberapa kali lupa, namun jumlah waktu untuk membawa ”Botol Asbak” lebih banyak ketiga partisipan ini dibanding partisipan yang lain.

“Beberapa kali aku memang lupa buat bawa ini (Botol Asbak), tapi botol ini tetep sering banget aku bawa mas,” ungkap Krisna.

Pernyataan tersebut juga disebutkan oleh Jordy dan Opang dalam hal membawa “Botol Asbak”. Walaupaum beberapakali lupa membawa “Botol Asbak” karena belum terlalu terbiasa tetapi mereka berusaha untuk membawa supaya mereka tidak membuang puntung rokok sembarangan sehingga ketiga partisipan ini lebih sering untuk melihat pesan yang pada “Botol Asbak” saat menggunakannya.

“Botol Asbak” yang lebih sering dibawa ternyata mengantarkan pesan lebih kuat dibandingkan jika barang tersebut jarang dibawa. Seperti yang diungkapkan oleh Indriarto (dalam Afrianto, 2010) bahwa pesan yang tinggi frekuensi tayangannya memungkinkan penonton semakin sering menerima informasi dari pesan tersebut dan merasakan impresi dari pesan yang disampaikan. Perubahan perilaku dari ketiga partispan dalam membawa “Botol Asbak” ternyata mampu untuk memberikan pesan yang kemudian dirasakan impresinya tentang dampak dari bahaya merokok sehingga ketiga partispan ini mampu untuk memunculkan motivasi dalam diri mereka setelah memaknai pesan tersebut.

Adanya dorongan dari pesan yang telah diolah tersebut kemudian memunculkan adanya sebuah motivasi. Morissan (2013) menyebutkan terdapat 3 faktor yang menjadi dasar seseorang dapat termotivasi dengan suatu hal. Faktor pertama adalah ketepatan atau relevansi

(5)

pribadi dengan suatu topik (proximity). Kedekatan topik dengan ketiga partisipan adalah rokok itu sendiri. Krisna merupakan perokok yang memulai kegiatan merokoknya sejak kelas 2 SMA yang kurang lebih sekitar 4 tahun dirinya dekat dengan rokok. Jordy merokok sejak kelas 1 SMA yang kurang lebih sekitar 5 tahun dekat dengan rokok dan Opang yang pertama kali merokok sejak kelas 1 SMA yang kurang lebih sekitar 5 tahun dekat dengan rokok. Faktor kedua adalah keberagaman argumen yang diterima. Dalam hal keberagaman informasi yang pernah diterima, Krisna mengaku bahwa dirinya beberapa kali menemui pro-kontra tentang efek yang ditimbulkan oleh rokok. Faktor yang ketiga yaitu kecenderungan pribadi yang sudah memiliki pemikiran kritis.

“Ya benar terjadi hal itu (hal buruk) atau tidak setidaknya aku udah waspada dulu mas jadi biar nggak kaget nanti. Tapi sebenernya aku masih takut juga,” ungkap Krisna.

Bersama dengan informasi-informasi yang telah diterima oleh Krisna, Krisna kemudian memilih motivasi untuk berhenti merokok setelah mendapatkan pesan dari “Botol Asbak”. Senada dengan ungkapan Krisna, Jordy dan Opang juga mencoba mencegah hal yang buruk terjadi seperti yang banyak orang khawatirkan tentang efek buruk dari rokok.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan Krisna, Jordy dan Opang mereka masuk dalam jalur sentral karena jalur sentral merupakan jalur pengolahan informasi secara aktif yang mengharuskan seseorang mengolah informasi yang didapatkan kemudian dikembangkan dengan informasi-informasi yang telah didapatkan sebelumnya. Griffin (2003) menyebutkan bahwa seseorang yang masuk kategori dalam rute sentral adalah seseorang yang mempunyai pemikiran kritis dan mempunyai kemampuan yang menghasilkan motivasi dan ketiga partisipan ini sesuai dengan kriteria dalam jalur sentral.

2. Jalur Periferal (Peripheral Route)

Griffin (2011) menyebutkan pada jalur periferal ini melakukan pendekatan pada mental seseorang untuk menerima dan menolak pesan hanya berdasarkan pada atribut yang terdapat didalam informasi yang diberikan tanpa melakukan pertimbangan. Jalur periferal ini sering dikategorikan sebagai pemprosesan informasi dengan tidak kritis, kebalikan dari jalur sentral. Griffin juga menyebutkan bahwa penerima informasi pada jalur periferal tidak berpikir secara kognitif untuk memproses sebuah pesan yang telah didapatkan.

(6)

Seperti yang telah disampaikan bahwa pada jalur periferal, partisipan tidak dapat mengolah informasi yang telah didapatkan secara kritis. Ketujuh partisipan mengakui bahwa mereka tidak begitu memikirkan tentang pesan yang mereka dapatkan lewat media alternatif “Botol Asbak”.

“Dapet kok pesannya. Tapi nggak ngefek apa-apa ke aku,” ungkap Ode.

Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh ke 6 partisipan lainnya yaitu Ronal, Stery, Poca, Peter, Iras, Tasya yaitu tentang tidak adanya efek yang ditimbulkan walau mendapatkan pesan yang disampaikan. Ketujuh partisipan ini mengaku bahwa mereka dapat menerima pesan bahaya merokok melalui “Botol Asbak” namun pesan tersebut tidak mampu membuat mereka bisa berhenti merokok.

Lewat informasi yang telah didapatkan oleh peneliti dari partisipan, ternyata ketujuh partisipan pada jalur periferal ini jarang membawa dan mengunakan “Botol Asbak” saat melakukan kegiatannya. Ketujuh partisipan ini mengaku masih belum bisa terbiasa membawa-bawa “Botol Asbak” saat melakukan kegiatan karena dirasa terlalu repot.

“Kadang sih sempet bawa, tapi sering lupa bawa. Repot juga kalo harus bawa ini

(Botol Asbak) kemana-mana,” ungkap Ode.

Keenam partisipan lainnya yang berada pada jalur periferal juga mengungkapkan hal serupa sehingga jumlah waktu untuk membawa dan menggunakan “Botol Asbak” lebih sedikit dibandingkan dengan partisipan yang berada dalam jalur sentral. Seperti yang diungkapkan oleh Indrianto (dalam Afrianto, 2010) bahwa pesan yang rendah frekuensi tayanganya tidak akan maksimal dalam menerima sebuah pesan yang disampaikan sehingga pesan yang disampaikan lewat frekuensi waktu yang singkat tidak semaksimal seperti jika menerima pesan dengan frekuensi waktu yang lama. Karena ketujuh partisipan ini jarang membawa dan menggunakan “Botol Asbak” maka pesan yang disampaikan melalui “Botol Asbak” tidak bisa tersampaikan secara maksimal dan tidak bisa menimbulkan motivasi untuk berhenti merokok setelah melihat pesan tersebut.

Beda lagi dengan Tasya yang ternyata tidak punya niat sama sekali untuk dirinya berhenti merokok.

(7)

Pernyataan tersebut sudah membatasi dirinya dengan upaya untuk membuatnya berhenti merokok. Pesan persuasif yang ideal menurut Kotler (dalam Afrianto, 2010) adalah pesan tersebut harus menarik perhatian (attention), memepertahankan ketertarikan (interest), membangkitkan keinginan (desire), dan menggerakkan tindakan (action). Dalam hal ini sikap Tasya yang sudah membatasi dirinya membatasi pula pesan/informasi yang diterimanya mengenai bahaya merokok karena baginya tentang bahaya tersebut dirinya sudah tidak memperdulikannya. Dirinya hanya ingin hidup dengan menikmati rokok. Sehingga pesan yang disampaikan melalui “Botol Asbak” tidak dapat tersampaikan kepada Tasya.

Perbedaan dari jalur sentral dan jalur periferal ini adalah terletak pada interpretasi pesan pada “Botol Asbak” tentang bahaya merokok. Partisipan dalam jalur sentral menggunakan alasan yang tergolong kritis sesuai dengan ungkapan dari Martes (1991) tentang pemikiran kritis. Pada jalur sentral juga terdapat 3 faktor dalam motivasi yang harus dipenuhi dan adanya faktor kemampuan. Morisan (2013) menyebutkan bahwa jika seseorang walaupun masuk dalam kriteria dari jalur sentral namun tidak memiliki motivasi, orang tersebut tetap masuk pada jalur sentral.

Peneliti mencoba membandingkan jawaban dan alasan dari salah satu dari rute sentral dan rute periferal.

“Setelah melihat gambar paru-paru yang ada di botol itu aku merasa ternyata aku membuat kotor paru-paruku sendiri karena rokokku. Aku berpikiran ingin berhenti merokok setelah melihat gambar itu mas,” ungkap Krisna.

“Kalo cuman pesan sih dapet, tapi kalo buat berhenti ngrokok sih enggak mas,”

ungkap Stery.

Pernyataan yang atas merupakan pernayataan yang masuk pada rute sentral dan yang bawah masuk pada rute periferal. Peneliti menemukan jawaban alasan yang lebih praktis pada rute periferal. Sehingga proses untuk mengolah informasi yang telah diperoleh dengan informasi yang didapatkan tidak terjadi secara maksimal. Lain halnya dengan ungkapan Krisna yang berada dalam jalur sentral mengungkapkan

“Gambar paru-paru itu ngingetin aku tentang bahaya rokok. Karena sering juga orang ngomong tentang kanker paru-paru. Jadi aku lumayan takut juga.”

(8)

Ungkapan tersebut sangat berbeda dengan ungkapan Poca yang merupakan salah satu partisipan dalam jalur periferal

“Ya enggak ngefek aja, enggak terlalu dipikirin juga kak soalnya.”

Jawaban Poca serupa dengan jawaban Tasya tentang pembatasan sebuah informasi yang dapat menimbulkan efek setelah melihatnya. Poca tidak terlalu memikirkan pesan yang ada pada “Botol Asbak” sehingga pesan tersebut tidak dapat diolahnya secara maksimal. Lewat ungkapan tersebut dapat dibedakan menurut Morissan (2013) jika seseorang yang sangat termotivasi dengan suatu hal maka orang tersebut cenderung menggunakan pemikiran kritisnya yang berada pada jalur sentral sedangkan seseorang yang memiliki motivasi rendah cenderung akan menggunakan jalur periferal.

Perbedaan dalam proses interpretasi pesan dari “Botol Asbak” ternyata memiliki sebuah persamaan, yaitu persamaan latar belakang dari para partisipan. Faktor orang tua dan lingkungan pertemanan menjadi pemicu mereka untuk merokok.

Kesepuluh partisipan menyebut faktor orang tua yang membuat mereka memutuskan untuk merokok. Orang tua yang merokok membuat mereka juga akhirnya merokok. Sembilan partisipan mengaku bahwa sebenarnya mereka belum mendapat ijin langsung untuk merokok dari orang tua mereka. Hanya Tasya yang diperbolehkan untuk merokok, itu pun orang tuanya dirasa kurang iklas mengijinkan karena Tasya beralasan sudah bisa mencari uang sendiri sehingga dirinya bebas untuk menggunakan uangnya meski untuk rokok.

Kesembilan partisipan biasanya menghindari orang tua mereka saat hendak merokok. Mereka memanfaatkan waktu ketika orang tua sedang tidak ada di rumah untuk mereka bisa merokok di lingkungan rumah. Biasanya saat mereka merokok berada jauh dalam pengawasan orang tua.

Selain faktor orang tua yang menjadi alasan partisipan merokok, terdapat juga faktor lingkungan pertemanan menjadi yang alasan partisipan menjadi seorang perokok. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso (2008) menyebutkan bahwa faktor teman sebaya menunjukan pengaruh paling dominan dalam pengaruh remaja memutuskan untuk merokok.

Kesepuluh partisipan juga mengakui bahwa pengaruh lingkungan pertemanan mereka yang kebanyakan adalah perokok mempengaruhi mereka untuk merokok hingga akhirnya

(9)

mereka menjadi seorang perokok. Hal tersebut dilakukan oleh partisipan sebagai bentuk untuk mengindari penolakan dari teman sebaya. Sumiyati (2007) menyebutkan bahwa pengaruh dari teman sebaya memberikan sumbang efektif dalam berperilaku merokok. Kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya sangat dibutuhkan oleh remaja. Sumiyati (2007) juga menyebutkan bahwa remaja tidak ingin ditolak dan menghindari sebutan tidak jantan atau kuno. Kebutuhan remaja untuk diterima dan menghindari penolakan merupakan kebutuhan yang sangat penting pada masa remaja. Merokok bagi remaja merupakan simbolisasi atas kekuasaan, kejantanan, dan kedewasaan (Komasari, 2000).

(10)

3. Botol Asbak Sebagai Media Komunikasi

Harold Laswell pernah mengungkapkan bahwa proses komunikasi akan berjalan dengan baik adalah jika dapat menjawab pertanyan, Who Says What in What Channel With What Effect?

Terdapat 5 unsur penting dalam model komunikasi Laswell. Mulyana (2011) menyebutkan harus adanya komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Penyampaian pesan yang baik harus memenuhi kelima unsur tersebut sehingga proses penyampaian pesan dapat dikatakan berhasil. Jika terdapat salah satu dari unsur tesebut tidak terpenuhi maka dalam model komunikasi ini dapat dikatakan tidak berhasil atau kurang efektif.

Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk memasukan model komunikasi Laswell dalam melihat proses interpretasi pesan yang disampaikan kepada partisipan yang terdapat pada jalur sentral dan jalur periferal.

Komunikator dalam penelitian ini adalah peneliti, pesannya adalah bahaya merokok, media yang digunakan adalah “Botol Asbak”, komunikannya adalah partisipan yang telah ditentukan oleh peneliti, dan efeknya adalah dampak yang ditimbulkan setelah mendapatkan pesan yang telah ditangkap.

Gambar 12.

Interpretasi Pesan Dari “Botol Asbak” oleh Partisipan Yang Berada pada Jalur Sentral

Melalui gambar diatas terlihat proses penyampaian pesan kepada partisipan yang berada pada jalur sentral memenuhi kelima unsur dari model komunkasi Laswell. Pesan yang disampaikan dari peneliti kepada partisipan dengan menggunakan “Botol Asbak” menimbulkan efek yaitu motivasi untuk berhenti merokok. Seperti yang telah disebutkan

(11)

oleh Mulyana (2011) jika kelima unsur dai model Laswell ini terpenuhi maka proses penyampaian pesan dapat dikatakan berhasil.

Jika pada jalur sentral kelima unsur dari model komunikasi Laswell terpenuhi maka dalam jalur periferal terdapat satu unsur yang tidak terpenuhi yaitu pada unsur efek. Kecenderungan ketidakpedulian partisipan yang berada dalam jalur periferal tidak mendapatkan efek yang diingankan oleh peneliti sebagai komunikator dalam menyampaikan pesan bahaya merokok menggunakan media alternatif “Botol Asbak”. Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa jika terdapat dari kelima unsur dari model komunikasi Laswell tidak terpenuhi maka proses penyampaian pesan dapat dikatakan gagal atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan kurang baik.

Pesan yang disampaikan ternyata tidak dapat tersampaikan dengan baik sehingga media yang digunakan tidak bisa menjadi media persuasi yang baik. Seperti yang diungkapkan oleh Purnawan (2012) bahwa bujukan yang tidak mendapatkan respon sesuai dengan yang diharapkan merupakan persuasi yang gagal. Media alternatif “Botol Asbak” belum bisa menjadi media persuasi yang baik bagi perokok aktif.

Gambar 13.

Interpretasi Pesan Dari “Botol Asbak” oleh Partisipan Yang Berada pada Jalur Periferal.

Gambar

Gambar 11.  Gambar Paru-paru pada Media Alternatif “Botol Asbak”  Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Kota Padang untuk mengurangi masalah dalam produksi buah manggis adalah dengan mengadakan program Sekolah Lapang Pengendalian Hama

Data hasil penelitian ini membuktikan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi optimisme para CTKI wanita adalah kepribadian hardiness.. Individu yang memiliki

mengkonstruksi sistem secara terstruktur dari tanda. Untuk lebih menguatkan proses dalam pemaknaan, peneliti juga menggunaakan data yang diperoleh melalui wawancara

Definisi lain mengatakan bahwa aditif makanan atau bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil, dimana bahan aditif

Bab IV : Menjelaskan analisis terhadap positif di Indonesia dan hukum Islam dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana

menyatakan bahwa “Skripsi” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Dengan kata lain, kontribusi dakwah komunitas muslim Indonesia masih lebih banyak berkontribusi ke dalam untuk memperkuat kohesi sosial di antara sesama mereka sebagai sesama

Sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan serangkaian workshop item review yang diselenggarakan secara nasional dan berkesinambungan untuk mengumpulkan dan mereview