• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku, agama, ras dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku, agama, ras dan"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku, agama, ras dan golongan serta bahasa. Hal ini berakibat munculnya keanekaragaman hukum, Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan ketiga hukum ini bersumber pada Hukum Adat dan Hukum Agama ataupun gabungan diantara keduanya.

Menurut Ngutra, sumber hukum memiliki arti segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.1 Sumber Hukum Waris adalah Hukum Keluarga dan Hukum Perkawinan. Di Indonesia dikenal 4 (empat) sistem kekeluargaan yaitu (a) Sistem Kekeluargaan Patrilineal; (b) Sistem Kekeluargaan Matrilineal; (c) Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral; dan (4) Sistem Kekeluargaan Beralih (Alternatif).2 Sementara itu Hukum Perkawinan di Indonesia dikenal (a) Hukum Perkawinan Islam dan (b) Hukum Perkawinan Non-Islam, yang keduanya tunduk pada Hukum Perkawinan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan).

1

Theresia Ngutra, 2016, “Hukum dan Sumber-Sumber Hukum”, Jurnal Supremasi, Vol.XI, No.2, hal.195.

2

(2)

2 Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan ini, Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) di Indonesia juga memberikan definisi lain yang lebih mendalam tanpa mengurangi arti definisi dalam Undang-Undang Perkawinan.

Perkawinan menurut Islam seperti yang diatur dalam KHI adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan mengandung arti bahwa akad dalam perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Bagi umat Islam melaksanakan perkawinan merupakan peristiwa agama dan suatu perbuatan ibadah. Hal ini termasuk dalam ungkapan perkawinan untuk mentaati perintah Allah.3

Landasan filosofis KHI tidak dapat dilepaskan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Landasan filosofis ini tercermin dari Sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 28 B ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan Pasal 28 E ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.

3

Amir Syarifuddin, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Amir Syarifuddin I), hal. 40-41.

(3)

3 Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, KHI secara filosofis tidak hanya berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 tetapi juga mempunyai landasan yang kokoh berdasarkan hukum Islam yaitu sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadis. Setiap muslim yang telah bersyahadat memeluk agama Islam punya konskuensi logis wajib menjalankan syariah Islam. Prinsip tauhid mewajibkan kepada setiap orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa, maka ia wajib taat dan patuh terhadap perintah Allah dalam Al-Qur‟an dan perintah Rasulullah dalam sunahnya.

KHI juga sesuai dengan landasan yuridis atau perundang-undangan yang ada di Indonesia. KHI merupakan kumpulan segala peraturan agama Islam yang meliputi semua aspek kehidupan manusia berupa akhlak, hukum-hukum ibadah, kepercayaan dan keyakinan sebagai wujud aktualisasi sikap bathin seseorang yang beragama Islam. Dengan kata lain, makna integral syari„at (hukum Islam) merupakan keseluruhan peraturan, baik dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan-Nya, manusia dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Secara yuridis dapat dikatakan juga tradisi penerapan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui kebijakan politik hukum yakni unifikasi dan kodifikasi hukum Islam. Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (takhrîj al-ahkâm fî al-nash al-qânûn) me-rupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya Undang-Undang Perkawinan peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pende-katan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga Undang-Undang Perkawinan dapat dikodifikasikan.

(4)

4 selanjutnya disusul dengan pelegislasian KHI dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Secara sosiologis KHI juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang membutuhkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip Islam. Tradisi hukum Islam yang ada dalam masyarakat muslim Indonesia terbagi ke dalam beberapa tingkatan: Pertama, sebagai nilai berarti ia menjadi suatu pedoman hukum yang diikuti dan ditaati berdasarkan autoritas keagamaan seorang muslim untuk tunduk, taat dan patuh kepada ajaran Islam. Kedua, sebagai kaidah hukum berarti ia berisikan muatan-muatan norma hukum Islam yang universal dan spesifik, bersifat vertikal dan horizontal, ditaati dan dipatuhi serta berlaku dalam masyarakat muslim secara terus-menerus. Ketiga, sebagai norma hukum berarti ia berisikan sejumlah peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis, serta tetap eksis dan berlaku dalam kehiduan masyarakat muslim itu sendiri. Keempat, sebagai produk hukum berarti ia merupakan produk politik berupa undang-undang dan peraturan lainnya, yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di tingkat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Pembahasan mengenai pewarisan harus didahului terlebih dahulu dengan pembahasan mengenai perkawinan, mengingat perkawinan merupakan salah satu sebab timbulnya pewarisan. Pewarisan ini lahir ketika ada salah satu pihak yang meninggal dunia (Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata)). Orang yang meninggal dunia ini biasanya meninggalkan harta, baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak dan kewajibannya. Harta tersebut dikenal dengan istilah harta warisan. Harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang

(5)

5 siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.4

Hukum waris di Indonesia secara umum masih menggunakan tiga landasan hokum yaitu: hukum waris berdasarkan hukum Islam, hukum waris berdasarkan hukum adat, dan menggunakan hukum waris yang berdasarkan hukum barat yang diatur dalam KUHPerdata.5 Tidak adanya hukum nasional yang mengikat secara nasional mengakibatkan pelaksanaan hukum waris sangat tergantung pada pilihan warga negaranya. Meskipun bersifat fakultatif (tidak imperatif), tetapi kenyataan di lapangan KHI pada umumnya digunakan para hakim pada peradilan Agama dalam memutuskan perkara, juga dijadikan rujukan para pejabat kantor Urusan Agama dan sebagian anggota masyarakat.6

Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup.7

Hukum kewarisan Islam berlaku bagi umat yang beragama Islam di seluruh dunia. Hukum kewarisan Islam bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah demikian juga dengan KHI yang juga bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa‟ (4) ayat (11) yang menjelaskan mengenai sebagian ahli waris yang berhak menerima warisan yang meliputi anak

4

Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 17.

5

Masjfuk Zuhdi, 2006, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), PT. Gunung Agung, Jakarta, hal. 195.

6

Marzuki Wahid, 2008, “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) dalam Perspektif Politik Hukum di Indonesia, Makalah, dalam The 4th Annual Islamic Studies Postgraduate Conference, The University Melbourne, hal. 51.

7

A. Rofiq, 2008, Hukum Islam di Indonesia cet. III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 356.

(6)

6 laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak dan saudara dan menjelaskan juga syarat-syarat serta orang yang berhak mendapatkan warisan.

Mengenai kewarisan Islam di Indonesia diatur dalam Buku II KHI yang cakupannya berupa: Ketentuan Umum, Ahli Waris, besarnya bagian, Aul dan Rad, Wasiat, dan Hibah. Salah satu ketentuan dalam hukum waris adalah ketentuan mengenai penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang mempunyai hak untuk menerima warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan kemerdekaan budak. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris merupakan salah satu penghalang kewarisan yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk menerima warisan harta peninggalan. Penghalang-penghalang untuk menerima warisan merupakan kondisi-kondisi yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk menerima warisan.8

Waris mewaris yang disebabkan karena hubungan pernikahan biasanya menimbulkan berbagai macam masalah, salah satunya ialah masalah waris dari suatu perkawinan beda agama, mengingat banyaknya agama yang ada di Indonesia maka tidak dapat dipungkiri bahwa bisa saja terjadi suatu perkawinan antara dua orang yang memiliki keyakinan berbeda.9 Perkawinan beda agama masih bisa terjadi dengan berbagai cara, diantaranya kedua calon mempelai yang beda agama tidak jarang menggunakan jalur pengadilan untuk dapat dinikahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Namun jika pegawai tersebut menolak, maka calon mempelai berhak memintakan penetapan kepada pengadilan dalam wilayah hukum pegawai pencatat perkawinan itu berkedudukan dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut. Selanjutnya, hakim akan memeriksa dan memutuskan dalam sidang cepat. Jika prosedur legal ini ternyata gagal, maka

8

Ahmad Azhar Basyir, 2010, Hukum Waris Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Ahmad Azhar Basyir I), hal.16.

9

(7)

7 tidak jarang salah satu pihak dari kedua calon mempelai yang berbeda agama itu untuk dapat melangsungkan perkawinannya terpaksa berpindah agama mengikuti agama pihak yang lain. Perpindahan agama itu bisa berlangsung semu/proforma atau yang sesungguhnya. Perpindahan agama hanya berupa semu/proforma untuk memenuhi persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicacatkan secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang bersangkutan kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan aturan agamanya. Perkawinan beda agama dengan cara seperti ini banyak terjadi yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap kehidupan rumah tangga dan keluarga di kemudian hari.

Cara lain untuk melakukan perkawinan beda agama masing-masing pasangan tetap mempertahankan keyakinan agamanya. Pernikahan dilangsungkan menurut masing-masing agama, bisa jadi di pagi hari pernikahan berlangsung menurut keyakinan agama salah satu pasangan, serta siang atau sore harinya melakukan pernikahan lagi menurut agama yang lainnya. Selanjutnya perkawinan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Pernikahan dengan cara seperti ini banyak dilaksanakan dengan konsekuensi masing-masing pasangan yang hidup bersama dalam perkawinan tersebut tetap menjalankan keyakinan agama masing-masing. Bagi orang-orang kaya, dapat saja melaksanakan perkawinan beda agama ke luar negeri untuk menghindari sulitnya prosedur dan pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia. Setelah mereka kembali ke Indonesia mereka mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Namun sebenarnya hal tersebut tidak dibenarkan, perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri tersebut tetap tidak sah menurut undang-undang perkawinan.

(8)

8 Salah satu hadits yang merupakan dasar para ulama dalam menetapkan kesepakatan mengenai ketentuan bahwa keluarga dekat (suami atau istri, bahkan anak sekalipun) yang tidak muslim/muslimah bukan merupakan ahli waris. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah, yang artinya ”Orang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.”10 Meskipun ketentuan hadist ini menyatakan bahwa ahli waris seorang muslim harus juga beragama Islam, namun pada kenyataannya ada putusan hakim yang memberikan hak waris kepada ahli waris non muslim melalui wasiat wajibah. Pada Pasal 174 ayat (1) KHI menentukan bahwa:

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah:

1) Golongan laki terdiri dari: ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

Ketentuan pada pasal di atas bahwa seorang duda atau janda merupakan ahli waris yang timbul karena adanya hubungan perkawinan. Tetapi dalam perkawinan beda agama seorang duda atau janda tidak termasuk ke dalam ahli waris suami atau isterinya jika yang bersangkutan tidak beragama Islam. Hal ini ditunjukkan dalam pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c KHI yang mempersyaratkan harus beragama Islam. Pasal tersebut mengatur bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris bagi pewaris yang beragama Islam.

10

Hafidz Al-Mundziri, 1997, Mukhtaṣar Sunan Abu Daud, Hadis Nomor 2789, Maktabah Al-Fikrah, Kairo, hal.563.

(9)

9 KHI dan kesepakatan mayoritas ulama di atas, atau meskipun ada hadist nabi yang menyebutkan tidak adanya hubungan waris mewaris antara seorang muslim dengan non-muslim, namun beberapa putusan hakim ternyata memberikan hak waris kepada seorang ahli waris non-muslim. Seperti kasus yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung No.16K/AG/2010, yang memberikan hak waris kepada seorang istri yang berbeda agama dengan suaminya.

Putusan Pengadilan Agama Makassar No 732/Pdt.G/2008/PA, Putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar No 59/Pdt.G/2009/PT, yang dilanjutkan dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 16K/AG/2010 terkait dengan perkara waris dimana pewaris tidak memiliki anak dan meninggalkan seorang istri yang non muslim, seorang ibu dan 4 (empat) saudara kandung yang muslim. Dalam perkara ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa istri yang non muslim tersebut berhak mendapat warisan melalui wasiat wajibah dengan jumlah yang didapat sebesar ¼ bagian ditambah dengan ½ bagian dari harta bersama. Sedangkan, ahli waris yang muslim mendapat bagian 1/5 bagian. Dengan perbandingan bagian untuk saudara perempuan dan laki-laki adalah 1:2.

Timbulnya permasalahan hak kewarisan istri yang beragama non-muslim dari suami muslim seperti yang diuraikan di atas, karena KHI tidak mengatur istri yang beragama non-muslim, yang secara hukum Islam tidak berhak menerima warisan dari suaminya, apakah dapat diberikan wasiat wajibah. Pasal 209 KHI hanya mengatur pemberian wasiat wajibah kepada orangtua angkat dan anak angkat sebagaimana ketentuan Pasal 209 KHI sebagai berikut :

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

(10)

10 (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Ketentuan pada Pasal 209 KHI tersebut di atas menunjukkan bahwa orangtua angkat dan anak angkat yang seharusnya tidak berhak atas warisan dapat diberikan wasiat wajibah mengingat orangtua angkat dan anak angkat merupakan orang-orang dekat dari ahli waris. Ketentuan pada Pasal 209 KHI tidak mengatur (norma kosong) apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat wajibah sebagaimana halnya orangtua angkat dan anak angkat, mengingat istri juga merupakan orang dekat bahkan orang terdekat dengan pewaris. Berangkat dari adanya norma kosong dalam Pasal 209 KHI yang tidak mengatur apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat

wajibah sebagaimana halnya orangtua angkat dan anak angkat, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul

“Kedudukan Janda Beda Agama dalam Pewarisan Menurut Hukum Islam”.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda tanya dan dengan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari sesuatu jawaban. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan janda yang beda agama menurut Hukum Waris Islam?

2. Apakah janda beda agama dapat menerima bagian harta warisan dari almarhum suaminya?

(11)

11

1.3 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan di perpustakaan hukum di Fakultas Hukum, Universitas Udayana, peneliti tidak menjumpai penelitian dengan topik istri sebagai ahli waris beda agama. Namun dari penelusuran kepustakaan secara

online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan istri sebagai ahli waris beda agama, yaitu:

No Identitas Penulis Judul Rumusan Masalah Persamaan Perbedaan 1 Zainal Abidin, 2016, Magister Kenotariatan, Universitas Narotama, Surabaya.11 Hak Istri Berbeda Agama Atas Wasiat Wajibah Harta Warisan Suaminya Beragama Islam 1. Apakah istri berbeda agama mempunyai hak atas harta warisan suaminya? 2. Apakah istri berbeda agama mempunyai hak atas wasiat wajibah harta suaminya? Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang istri sebagai ahli waris beda agama - Jika penelitian Zainal Abidin membahas hak istri yang beda agama terhadap warisan suaminya yang beragama Islam yang ditinjau dari hukum waris Islam saja, sedangkan penelitian yang akan dilakukan membahas kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam, baik ditinjau dari hukum waris Islam maupun KUHPerdata. - Selain itu perbedaan lainnya penelitian Zainal Abidin menggunakan metode penelitian hukum empiris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif. 2 Ahmad Royani, 2015, Kedudukan Anak Non 1. Bagaimana pengaturan anak Persamaannya kedua Jika penelitian Ahmad Royani 11

Zainal Abidin, 2016, “Hak Istri Berbeda Agama Atas Wasiat Wajibah Harta Warisan Suaminya Beragama Islam”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Narotama, Surabaya.

(12)

12 Jurnal Independent.12 Muslim terhadap Harta Warisan Pewaris Islam Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) non muslim terhadap harta warisan pewaris islam ditinjau dari KUHPerdata? 2. Bagaimana kedudukan anak non muslim dari pewaris Islam menurut KUHPerdata? penelitian ini sama-sama meneliti tentang kedudukan hak waris non-muslim dari pewaris muslim meneliti tentang kedudukan anak non muslim terhadap harta warisan pewaris Islam, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti tentang kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam. 3 I Gusti Ngurah Bayu Krisna, 2007, Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang.13 Kedudukan Ahli Waris Beralih Agama terhadap Harta Warisan Orang Tua menurut Hukum Waris Adat Bali

1. Bagaimanakah hak dan kewajiban ahli waris beralih agama terhadap pewaris? 2. Apakah beralih agama masih memungkinkan ahli waris tetap mempunyai hak mewaris harta warisan orang tuanya? Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang pewarisan dari pewaris yang berbeda agama - Jika penelitian I Gusti Ngurah Bayu Krisna meneliti tentang pewarisan dari pewaris yang beragama Hindu Bali, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti tentang kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam. - Perbedaan lainnya bila pada penelitian I Gusti Ngurah Bayu Krisna menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif. Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan dalam tabel di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik permasalahan maupun metodologinya.

12

Ahmad Royani, 2015, ”Kedudukan Anak Non Muslim terhadap Harta Warisan Pewaris Islam Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)”, Jurnal Independent, Vol. 3, No. 1.

13

I Gusti Ngurah Bayu Krisna, 2007, “Kedudukan Ahli Waris Beralih Agama terhadap Harta Warisan Orang Tua menurut Hukum Waris Adat Bali”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang.

(13)

13

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

a. Untuk memahami dan menganalisis kedudukan janda yang beda agama menurut Hukum Waris Islam.

b. Untuk memahami dan menganalisis janda beda agama dapat menerima bagian harta warisan dari almarhum suaminya.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian tesis ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai pengaturan istri non-muslim terhadap harta pewaris muslim.

b. Hasil penelitian ini dapat di pakai sebagai acuan bagi penelitian penelitian selanjutnya dengan topik sejenis.

1.5.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian tesis ini yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

a. Diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi istri yang beragama non-muslim dengan masalah yang

(14)

14 diteliti khususnya tentang pengaturan istri non-muslim terhadap harta pewaris.

b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum agar dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan ataupun kebijakannya dalam menangani pengaturan istri non-muslim terhadap harta pewaris muslim.

1.6Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.6.1 Landasan Teoritis

Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini ditegaskan oleh Nazir bahwa teori dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian karena tanpa teori suatu penelitian hanyalah merupakan keterangan-keterangan fenomena yang berpencar.14 Terkait dengan hal tersebut, Poerwanto menjelaskan bahwa suatu kerangka teoretik yang dipakai minimal mengandung tiga hal, yaitu grand concepts yang melandasi seluruh pemikiran teoretik dari suatu penelitian, untuk membangun kerangka teori dan proposisi penelitian.15 Adapun teori, asas dan konsep yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Keadilan, Teori Rechtvinding (Penemuan Hukum), Konsep Pewarisan dalam Hukum Islam, Konsep Wasiat Wajibah dan Konsep Ijtihad

untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan masalah penelitian.

1.6.1.1Teori Keadilan

Teori Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah pertama kedudukan janda yang beda agama menurut Hukum Waris Islam. Teori keadilan digunakan karena dalam Hukum Waris Islam janda yang

14

Mohammad Nazir, 2008, Metode Penelitian, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 24

15

(15)

15 berbeda agama dengan almarhum suaminya tidak mendapat warisan sehingga dipandang sebagai bentuk ketidakadilan.

Pencetus Teori Keadilan adalah Plato dan Aristoteles dan selanjutnya dikembangkan oleh John Rawl. Pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.16

Menurut John Rawls dalam pendapatnya mengenai keadilan yang menyatakan bahwa:

Semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilisme, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan. Baginya keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut.17

Selanjutnya John Rawls juga berpendapat mengenai prinsip dasar keadilan yang dinyatakan sebagai berikut:

Bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut „justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran). Terdapat dua prinsip dasar keadilan yaitu prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak

16

E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 96

17

John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 11.

(16)

16 mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat, kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya.18

Keadilan merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan di dalam masyarakat, di samping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.19

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.20

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum” yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum.21 Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

it distributes its benefits and cost,” (Terjemahan bebas: Dalam hal hukum, keadilan akan dinilai sebagai bagaimana hukum memperlakukan orang dan

18

Ibid.

19

Soerjono Soekanto, 1990, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cv. Rajawali, Jakarta, hal.169.

20

Ibid.

21

Gustav Radbruch, 2005, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 67.

(17)

17 bagaimana mendistribusikan kemanfaatannya) dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is

allocative”22

(Terjemahan bebas: Setiap fungsi hukum, umum atau khususnya bersifat alokatif). Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat.23

Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch yang menyatakan bahwa:

Tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakikat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.24

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal

22

Peter Mahmud Marzuki, 2007, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.

23

Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 23.

24

(18)

18 itu tidak menimbulkan masalah?. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.25

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.26 Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya:

Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut

asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.27

Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Pengertian keadilan dalam Teori Keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno.28 Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat, namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih

25

Achmad Ali, op.cit, hal. 95-96.

26

Achmad Ali, op.cit,hal. 96.

27

Achmad Ali, op.cit, hal. 96.

28

(19)

19 luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori hukum yang ada.29 Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan.

Aristoteles tidak hanya meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum, tetapi juga kepada filsafat barat pada umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat hukum adalah formulasinya terhadap masalah keadilan yang membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan komutatif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law). Sedangkan keadilan komutatif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.30

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan.31

29

Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.

30

Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54.

31

(20)

20

According to Rawls, justice was not only includes the moral concept of the individual, but also questioned the mechanism of achieving justice itself, including how the law participated and supported the efforts.32 (Terjemahan bebas: Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut). Menurut Kelsen, pada dasarnya keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).33

1.6.1.2Teori Penemuan Hukum(Rechtvinding)

Teori penemuan hukum (rechtvinding) digunakan untuk membahas rumusan masalah yang kedua yaitu janda beda agama dapat menerima bagian harta warisan dari almarhum suaminya. Permasalahan ini muncul karena terdapat norma kosong dalam Pasal 209 KHI. Untuk mencari penyelesaian adanya norma kosong ini, dalam penelitian ini digunakan teori penemuan hukum. Pencetus teori penemuan hukum dicetuskan oleh Paul Scholten dan Mauwissen.

Menurut Paul Scholten “... yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi, rechsvervijning (penghalusan/pengkonkretan hukum) maupun

32

John Rawls, op.cit, hal. 11.

33

Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit Nusamedia, Bandung, hal. 48-51.

(21)

21 dengan metode konstruksi hukum. Konstruksi hukum ini dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum”.34

Suatu undang-undang tidak mungkin mencakup segala kegiatan manusia yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, seperti yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya bahwa “Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, dan dapat menimbulkan multitafsir dan menjadi ketidakpastian, maka harus dicari dan diketemukan”.35

Kegiatan dalam mencari dan menemukan hukum tersebut disebut dengan penemuan hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “... proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk peristiwa hukum yang konkret”.36

Lebih lanjut secara sederhana Sudikno Mertokusumo menggambarkan bahwa penemuan hukum merupakan “... proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret tertentu”.37

Amir Syamsudin memberikan pengertian bahwa penemuan hukum merupakan:

Proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, yang digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehinga

34

Achmad Ali, op.cit, hal.146.

35

Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 37.

36

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2013, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, hal. 4.

37

(22)

22 hasil yang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalm ilmu hukum.38

Selanjutnya Utrecht menjelaskan bahwa “... apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut”.39

Hal tersebut memiliki arti bahwa seorang hakim harus berperan untuk menentukan bagaimana hukumnya, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya dalam membuat keputusan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penemuan hukum dapat diartikan sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa konkret tertentu.

Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu), ilmuan/peneliti hukum, para penegak dan praktisi hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan notaris), bahkan para pelaku bisnis ataupun masyarakat sekalipun dapat melakukan penemuan hukum. Walaupun penemuan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja, namun hasil dari penemuan hukum tersebut berbeda-beda, ada yang menjadi sumber hukum sekaligus menjadi hukum yang berlaku dan ada yang hanya berlaku sebagai sumber hukum atau doktrin saja.

Hakim melakukan penemuan hukum dalam menangani peristiwa konkret yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan keberlakuan sebagai hukum yang dalam bentuk putusan.

38

Amir Syamsudin, 2008, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas, 4 Januari, hal. 6.

39

(23)

23 Jadi penemuan hukum oleh hakim bersifat konfliktif. Penemuan hukum oleh hakim tersebut sekaligus merupakan sumber hukum juga.

Para pembentuk undang-undang melakukan penemuan hukum walau tanpa menghadapi peristiwa konkret seperti hakim, namun bertujuan untuk menyelesaikan peristiwa abstrak tertentu yang mungkin terjadi. Jadi sifat penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang adalah preventif. Hasil penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang merupakan hukum karena dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan sekaligus juga menjadi sumber hukum. Para ilmuan atau peneliti hukum melakukan penemuan hukum yang bersifat teoritis, maka hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum, melainkan hanya sebagai sumber hukum atau doktrin saja.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum, karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum.40 Artinya Notaris dapat melakukan penemuan hukum yang bernilai sebagai hukum bagi para pihak. Notaris melakukan penemuan hukum dalam mengkonstatir akta yang mempunyai kekuatan mengikat, namun kekuatan mengikat dalam akta notaris hanya sebatas mengikat bagi para pihak.41 Kekuatan mengikat akta notaris masih dapat dibantah oleh salah satu pihak dengan pembuktian di pengadilan karena walaupun mengikat kekuatan akta notaris tidaklah final seperti putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final and binding (final dan mengikat). Notaris dihadapkan dengan masalah hukum yang disampaikan oleh kliennya untuk dibuatkan akta. Demikian Notaris melakukan

40

Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 51.

41

Mengkonstatir adalah memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala; mengambil kesimpulan setelah ada bukti-bukti nyata. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, 2011, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 612.

(24)

24 penemuan hukum dari peristiwa konkret yang diajukan oleh para klien-nya agar akta yang dibuat dapat menjabarkan segala kehendak dan melindungi hak dan kewajiban para klien.42

Pada umumnya problematik yang berkaitan dengan penemuan hukum dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang, namun dalam realitanya problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk undang-undang saja, seperti pendapat Sudikno Mertokusumo sebelumnya. Hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum. Notaris melakukan penemuan hukum dalam mengkonstatir akta yang dibuatnya. Dalam mengkonstatir suatu akta, notaris menentukan peristiwa hukum berdasarkan peristiwa konkret yang dialami oleh para penghadap atau kliennya. Tentunya perbuatan konkret atau perbuatan nyata yang dilakukan si klien tidak terbatas perbuatan-perbuatan hukum yang sudah diatur saja, sehingga bisa saja perbuatan konkret yang dimaksud tersebut tidak ada atau tidak jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal tersebut notaris dapat melakukan penemuan hukum terhadap akta yang akan dibuatnya, dengan tujuan agar para penghadap yang hadir di hadapan notaris mendapatkan perlindungan hukum atas hak dan kewajibannya.43

Hal penting dalam penemuan hukum oleh Notaris adalah bagaimana mengkonstatir peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum. Setiap peristiwa konkret harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-undangannya agar hukumnya tidak kosong.

42

Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 54.

43

Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, hal. 51

(25)

25 Dalam penemuan hukum diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum. Adapun metode penemuan hukum yang sudah ada yaitu interpretasi (penafsiran), argumentasi (penalaran), dan eksposisi (konstruksi hukum). Metode interpretasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas. Metode argumentasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada. Metode konstruksi hukum digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak ada mengatur atau kekosongan hukum (rechts vacuum).44

Konstruksi hukum harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan.”Sedangkan tujuan dari konstruksi hukum adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan”.45

Kontruksi hukum ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum.

Menurut Philipus M. Hadjon, model kontruksi hukum terdiri dari “... analogi dan gandengannya (spiegelbeeld) a-contrario, dan bentuk ketiga oleh P. Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Soedikno M. disebut penyempitan hukum”46

Ahmad Rifa‟i dalam bukunya membedakan metode konstruksi hukum ini menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Metode Argumentum Per Anoalgium (Analogi)

Menurut Bambang Sutiyoso, “Metode analogi berarti memperluas peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya,

44

Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21.

45

Achmad Ali, op.cit, hal.192.

46

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009 Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.26.

(26)

26 kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang”.47 Jadi analogi ini merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.

2. Metode Argumentum a Contrario

Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya.48 Maksudnya adalah, bahwa penafsiran ini dilakukan dengan menjelaskan undang-undang yang berdasarkan pada pengertian yang sebaliknya antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Jadi, apabila suatu peristiwa diatur dalam undang-undang, namun peristiwa lain yang mirip tidak diatur dalam undang-undang, maka berlaku hal yang sebaliknya.

3. Metode Penyempitan/Penghalusan Hukum

Menurut Jazim Hamidi, metode penyempitan atau pengkongkretan hukum ini bertujuan untuk menyempitkan suatu aturan hukum yang bersifat terlalu abstrak, pasif, dan sangat umum sifatnya. Hal tersebut bertujuan agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa teretentu.49 Mengingat suatu norma hukum atau aturan perundang-undangan terkadang ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu.

47

Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, hal.133.

48

Achmad Ali, op.cit, hal.197.

49

(27)

27 4. Fiksi Hukum

Fiski hukum adalah “... sesuatu yang khayal yang digunakan dai dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kat, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum”.50

Metode penemuan hukum ini berlandaskan pada asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang.

1.6.1.3Konsep Pewarisan dalam Hukum Islam

Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Dalam konteks hukum waris tidaklah semata-mata hanya membicarakan prihal orang yang menerima harta warisan, melainkan meliputi keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya, proses penerusan harta benda inilah yang disebut dengan istilah pewarisan.51 Adapun dalam Al-Qur‟an dijumpai banyak kata

warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan dan menerima warisan. Sementara itu, Almiras menurut para ulama merupakan berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik warisan yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.52

Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab Al-irts yang secara leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi,

50

Bambang Sutiyoso, op.cit, hal.139.

51

Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Cetakan Kedua, Swasta Nulus, Denpasar, hal.149.

52

(28)

28 ia berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang amsih hidup dengan bagian-bagian tertentu, tanpa terjadi Aqad lebih dahulu.53

Kewarisan (Al-miras) yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur‟an dan Al-Hadits, sehingga dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa pewarisan adalah pepindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash-nash baik Al-Qur‟an dan Al-Hadits.54

Hukum kewarisan menurut Islam adalah hukum kewarisan yang diatur dalam Al-Qur‟an. Sunnah Rasul dan fikih sebagai hasil ijtihad para fukaha dalam memahami ketentuan Al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Demikian, hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karenanya, tidak aneh jika bagi umat Islam, tunduk kepada hukum kewarisan Islam itu merupakan tuntutan keimanannya kepada Allah SWT.55

Dalam hubungan ini QS. An-Nisaa‟ (4) ayat (65) mengajarkan:

Falaa wa rabbika laa yu`minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara bainahum tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadhaita wa yusallimuu tasliimaa(n).

Artinya:

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.56

53

Ali Parman, 2005, Kewarisan Dalam Alquran, Raja Grafindo Persada, hal. 9

54

Habiburrahman, op.cit, hal. 18.

55

Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal. 130

56

Departemen Agama Republik Indonesia, 2017, devquran.majorbee.com, diakses tanggal 20 Desember 2017.

(29)

29 Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum.57 Bertolak dari batasan dalam QS An Nisaa‟ (4) ayat (65) tersebut di atas, terlihat bahwa harta milik seseorang baru dikatakan berpindah apabila pewaris telah wafat dan ada ahli warisnya. Ahli waris memperoleh warisan secara pasti sesuai ketentuan Al-Qur‟an, apabila mereka telah memenuhi segala syarat pewarisan. Ada syarat yang melekat pada pewaris, ahli waris, dan bahkan ada syarat pada harta yang akan di wariskan.

Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum Islam, yang tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan dengan pewaris dengan jalan perkawinan (suami atau isteri) atau dengan adanya hubungan darah (anak, cucu, orang tua, saudara, kakek, nenek, dan sebagainya).58 Ringkasnya hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (hirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 KHI).

Macam-macam ahli waris menurut Pasal 174 KHI yang diuraikan sebagai berikut:

a. Menurut hubungan darah:

1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek;

2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda (Pasal 174 KHI).

57

Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal. 132

58

(30)

30 Bagian ahli waris menurut sistem bilateral, dapat dikemukakan sebagai berkut:

a. Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang bagiannya telah diatur dalam Alquran dan hadis yaitu ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek. b. Ahli waris dzul qarabat, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan

yang tidak ditentukan jumlahnya dan mendapatkan sisa warisan. Ahli waris ini mempunyai hubungan dengan pewaris melalui garis laki-laki dan perempuan, yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki apabila pewaris tidak ada keturunan, dan saudara perempuan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan.

c. Ahli waris mawali (pengganti), yakni ahli waris yang menggantikan seseorang yang meninggal untuk mendapatkan bagian warisan yang akan didapatkan oleh orang yang digantikan seandainya ia hidup. Misalnya, cucu yang menggantikan ayahnya dalam mewarisi harta kekayaan dari kakeknya.59

Ahli waris menurut sitem waris patrilineal, dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang mendapatkan bagian sesuai ketentuan dalam Al-Qur‟an dan Hadits, antara lain: ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.

b. Ahli waris ashabah, yakni ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tapi mendapatkan seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris dzul faraid, dan mendapatkan seluruh harta warisan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid atau tidak menerima apapun jika telah halus dibagikan kepada ahli waris dzul faraid.60

Ahli waris ashabah terbagi dalam tiga golongan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Asabah binafsihi, merupakan ahli waris ashabah karena dirinyya sendiri bukan karean bersama ahli waris lainnya, yaitu: anak laki-laki, bapak, kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak.

59

Hazairin, 2014, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan Hadits, Edisi Revisi, Tintamas, Jakarta, hal.35.

60

(31)

31 b. Asabah bil-ghairi, merupakan ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya, yaitu seorang wanita yang menjadi ahli waris asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki, yaitu anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, cucu perempuan yang mewaris bersama cucu lakilaki, saudara perempuan kandung yang mewaris dengan saudara laki-laki kandung, saudara perempuan sebapak yang dengan saudara yang mewaris bersama saudara laki-laki sebapak.

c. Asabah ma‟al-ghairi, yakni saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ahli waris asabah karena mewaris bersama dengan keturunan perempuan, yaitu: saudara perempuan kandung yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sebapak yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.61

Ahli waris dzul arham, yakni ahli waris yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris lewat keluarga perempuan, yang termasuk ahli waris ini adalah cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan pama, paman seibu, saudara laki-laki ibu, dan bibi. Kewarisan patrilineal selalu memberikan kedudukan yang lebih kepada pihak laki-laki, termasuk bagian antara ibu dan bapak atas harta warisan dari anaknya sendiri.62 Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk berbagai kepentingan, yaitu biaya perawatan jenazah hutang-hutang dan penunaian wasiat.63

Hukum Islam adalah hukum Allah yang menciptakan alam semesta ini, termasuk manusia didalamnya. Hukumnya pun meliputi semua ciptaan Nya itu. Hanya, ada yang jelas sebagaimana yang „tersirat‟ di balik hukum yang tersurat dalam Alquran itu. Selain yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang tersenbunyi dibalik Al-Qur‟an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui

61

Amir Syarifuddin, op.cit, hal. 40-41.

62

F. Satriyo Wicaksono, op.cit, hal.85.

63

Abdul Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia, Yogyakarta, hal. 20.

(32)

32 penalarannya. Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di perlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali hakikat hukum ilahi serta tujuan Allah menciptakan hukum-hukum Nya.64

Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat Al-Qur‟an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat di mengerti sebab masalah warisan pasti di alami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum waris langsung menyangkut harta benda apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris. Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam.65 Berdasarkan seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum perdata.66

1.6.1.4Konsep Wasiat Wajibah

Wasiat wajibah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wasiat dan wajibah. Kata wasiat berasal dari bahasa arab dapat berarti membuat wasiat atau berwasiat, dan terkadang digunakan untuk sesuatu yang diwasiatkan. Kata wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata ta‟nis.

64

Mohammad Daud Ali, 2006, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 124

65

Abdul Ghofur Anshori, op.cit, hal. 14

66

(33)

33 Menurut Abdul Wahab Khallaf, wajibah adalah sesuatu yang disuruh syari‟at untuk secara kemestian dilakukan oleh orang mukallaf, karena secara langsung dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya.67

Pengertian wajibah mengandung makna bahwa wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat yang meninggal dunia. Dimana pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.68

Pengertian istilah ulama fikih, Abu Zahrah, setelah mengemukakan berbagai defenisi yang dibarengi dengan analisis, mengatakan defenisi yang relative lebih sempurna adalah yang terdapat dalam Undang-Undang Wasiat Mesir No. 71 Tahun 1946, “wasiat adalah mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian”. Kata wajibah merupakan istilah fikih, yang berasal dari kata wajib yang telah mendapat penambahan. Zaki Sya‟ban menyebutkan pengertian wajib itu: “sesuatu perbuatan yang diperintahkan Allah untuk melaksanakannya secara keharusan, baik dia diperoleh dari kata perintah itu sendiri atau dari tanda-tanda lain yang dapat dipahami sebagai perintah.69 Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa wasiat wajibah adalah suatu perintah yang syar‟i (Allah) yang merupakan keharusan untuk mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian.70

67

Ali Parman, op.cit, hal.54

68

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, 2009, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal. 163

69

Ibid, hal. 371

70

(34)

34 Menurut Fatchur Rahman, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang-orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang-orang tertentu, dalam keadaan tertentu.71 Menurut Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tegantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.72

Pendapat Ibn Hazm mengenai wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa dan dilaksanakan oleh hakim untuk orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, dan tidak memperoleh warisan karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, atau terhalang mewarisi, sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya berlaku wasiat wajibah.73 Pengertian dari wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia.74

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa wasiat wajibah secara etimologis berarti wasiat yang hukumnya wajib. Sedangkan secara

71

Fatchur Rahman, 2009, Ilmu Waris, Bulan Bintang,, Jakarta, hal. 63.

72

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit, hal. 89

73

Ramlan Yusuf Rangkuti, 2010, Fikih Kontenporer Di Indonesia (Studi Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia), Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.373.

74

Suhardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, 2007, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 120

(35)

35 terminologi, wasiat wajibah adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela diambil sebagian dari harta benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. Namun demikian, penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putsan wajib wasiat yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.

Dalil pokok tentang wasiat wajibah adalah Surat Al-Baqarah: 180 yang berbunyi:

Kutiba 'alaikum idzaa hadhara ahadakumul mautu in taraka khairanal washiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiina bil ma'ruufi haqqan 'alal muttaqiin(a).

Artinya:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (sebagai) kewajiban atas orang-orang yang bertqwa.75

Ayat di atas, dapat dipahami bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang diberikan kepada kerabat yang karena alasan tertentu tidak mendapatkan bagian warisan serta tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara orang yang meninggal dunia tersebut mempunyai harta yang baginya berlaku kewajiban untuk berwasiat. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena:

75

Departemen Agama Republik Indonesia, 2017, devquran.majorbee.com, diakses tanggal 20 Desember 2017

(36)

36 1) Hilangnya unsur ikhtiyar bagi sipemberi wasiat dalam munculnya unsure kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan dari si penerima wasiat.

2) Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.76

Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah adalah wasiat yang dibebankan oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat secara sukarela, harta peninggalannya dapat diambil untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.77

Berdasarkan penjabaran di atas, terdapat dua unsur yang penting yang membedakan antara wasiat biasa dengan wasiat wajibah, yaitu:

1) Wasiat wajibah ditetapkan berdasarkan ketetapan hukum dan perundangundangan yang dibuat oleh penguasa atau hakim, sehingga pelaksanaannya berdasarkan ketetapan perundang-undangan atau aturan hukum dan tidak bergantung kepada ada atau tidaknya seseorang berwasiat semasa hidupnya. Oleh karena itu, ketentuan seperti ini berbeda dengan wasiat biasa, di mana pelaksanaannya sangat bergantung kepada kehendak si pewasiat. Batasan pengertian di atas juga menunjukkan bahwa wasiat wajibah sebenarnya tidak murni wasiat, dalam tata aturannya terdapat aspek-aspek yang sama dengan kewarisan, seperti tidak dibutuhkannya ijab dan qabul dari si pemberi wasiat dan si penerima wasiat. Disamping itu, wasiat wajibah berlaku secara terpaksa oleh peraturan perundang-undangan.

2) Wasiat ini diperuntukkan kepada saudara yang suatu halangan syarak (misalnya saudara yang beragama non-muslim) atau karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan. Berbeda dengan wasiat biasa, di mana wasiat itu boleh diperuntukkan kepada orang lain yang bukan ahli waris atau bukan karib kerabat.78

Wasiat wajibah ini sendiri pada mulanya dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Undang-Undang Hukum Waris tahun 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. Sehingga ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk

76

Factur Rahman I, op.cit, hal. 63-64.

77

A. Rofiq, op.cit, hal. 462.

78

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Jika tingkat profitabilitas suatu usaha semakin tinggi, maka usaha tersebut dalam kondisi yang baik dan mampu berkembang untuk menjadi lebih baik lagi.. Dan jika

Dari fenomena tersebut Penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam yaitu bagaimana Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Dewan Paroki Gereja Katolik Servatius

1) Sebagai suatu kegiatan ilmiah yang di harapkan dengan adanya penelitian ini mampu memberikan kontribusi besar terhadap gagasan mengenaistatus kewarganegaraan

Atas terjadinya kasus tersebut dirasakan perlu untuk diketahui mengenai jaminan informasi mengenai kehalalan suatu produk, sehingga penulis disini mengambil judul

Sementara itu berdasarkan Pasal 171 huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI), ahli waris dijabarkan sebagai orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah

Melihat data diatas, Pegawai Negeri Sipil yang beragama Islam (muslim) merupakan unsur aparatur negara yang penting dan strategis serta memiliki peran yang sangat besar

Adapun data primer dalam penelitian ini diperoleh dari sumber individu atau perseorangan yang terlibat langsung (tentang pemaksaan hubungan seksual suami istri) dalam

Menurut data dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) komunitas etnik Tionghoa Muslim yang berada di Kota Padang berjumlah ± 300 orang (Wawancara dengan Bapak H.. Herwin