• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Analisis Awal Waktu Shalat Shubuh (Kajian Atas Relevansi Nilai Ketinggian Matahari Terhadap Kemunculan Fajar Shadiq)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Analisis Awal Waktu Shalat Shubuh (Kajian Atas Relevansi Nilai Ketinggian Matahari Terhadap Kemunculan Fajar Shadiq)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ANALISIS AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH

(Kajian Atas Relevansi Nilai Ketinggian Matahari Terhadap Kemunculan Fajar Shadiq)

Diah Utari

Abstrak

Penentuan awal waktu shalat merupakan hal urgen dan fundamental dalam pelaksanaan ibadah shalat. Walaupun begitu, sampai saat ini tidak begitu banyak perhatian terhadapnya jika dibandingkan dengan persoalan penentuan awal bulan Qamariyah yang setiap tahunnya selalu menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Dalam penetapan awal waktu shalat posisi matahari merupakan faktor utama yang harus diperhatikan, akibat yang ditimbulkan adalah setiap beda hari dan beda tempat maka waktu shalat juga akan berbeda pula. Perbedaan tersebut juga didapati dalam penetapan awal waktu shalat Shubuh, dalam hal ini ada beberapa pendapat mengenai ketinggian matahari yang digunakan, walaupun dalam aspek fiqh nya tidak ada ditemukan kontroversi. Ketinggian matahari merupakan salah satu unsur utama dalam perhitungannya, sehingga dalam hal ini harus ada kepastian. Beberapa kriteria ditawarkan oleh beberapa ahlinya, mulai dari -14 derajat sampai -20 derajat.

(2)

A. Rumusan Masalah

Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam Jurnal Penelitian ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa rumusan masalah yang bisa diambil : 1. Bagaimana konsep fajar shadiq dalam perspektif fiqh kaitannya dengan sholat Subuh? 2. Bagaimana nilai ketinggian matahari dalam astronomi kaitannya dengan awal waktu sholat

Subuh?

3. Bagaimana relevansi nilai ketinggian matahari dan kemunculan fajar shadiq kaitannya dengan awal sholat Subuh ?

B. Tinjauan Pustaka

Studi ini disusun dengan mengacu pada literatur yang berhubungan dengan Awal Waktu Shalat Shubuh (Kajian Atas Relevansi Nilai Ketinggian Matahari Terhadap Kemunculan Fajar Shadiq). diantaranya:

1. Al-quran sebagai pedoman hidup, ayat- ayat yang berkaitan dengan awal waktu shalat shubuh, diantaranya Qs.Al-Isra’ ayat 78, Qs. Al-Rum ayat 17-18

2. Hadits-hadits Shohih yang memperkuat dalil-dalil tentang awal waktu shalat shubuh, diantaranya HR.Muslim (dan waktu salat subuh adalah sejak terbitnya fajar).

3. Serta buku-buku yang berkaitan dengan Ilmu falak dan sholat subuh,diantaranya: Syaikh mamduh Bin Farhan Al-Buhairi tentang Koreksi Awal Waktu Shubuh, Iqamat Shalat Subuh

Menurut Para Ulama oleh Agus hasan Bashori, Salah Kaprah Waktu Subuh oleh Abu

Abdurrahman Jalal Ad-Darudi, Syafaq dan Fajar oleh Nihayatur Rohmah, Hisab Rukyat

dan Aplikasinya oleh Encup Supriatna, Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi) oleh Abdul Jamil,

Buku Karangan Sriyatin Shadiq Ilmu Falak 1.

C. Metodologi Penelitian

Metode penelitian adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesutau yang akan diteliti dengan langkah-langkah yang sistematis.1

Para peneliti dapat memilih jenis-jenis metode dalam melaksanakan penelitiannya. Sudah terang metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat, serta desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus sesuai dengan metode penelitian yang dipilih. Prosedur serta alat yang digunakan dalam penelitian harus cocok dengan metode penelitian yang digunakan.2

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian pustaka. Yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.

1 Soetrisno, SRDm Rita Hanafi, Filsafat umum dan metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007), hlm. 157 2 Moh Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 44

(3)

Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang peneliti dapat memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada kaitannya dengan penelitiannya. Dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya.3

Tujuan utama kajian pustaka adalah untuk mengorganisasikan penemuan-penemuan peneliti yang pernah dilakukan. Hal ini penting karena pembaca akan dapat memahami mengapa masalah atau tema diangkat dalam penelitiannya. Di samping itu, kajian pustaka juga bermaksud untuk menunjukkan bagaimana masalah tersebut dapat dikaitkan dengan hasil penelitian dengan pengatahuan yang lebih luas.

Secara lebih rinci tujuan kajian pustaka, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Menentukan dan membatasi permasalahan penelitian.

2. Meletakkan penelitian pada perspektif sejarah dan asosiasoinal.

3. Menghindari replikasi yang tidak disengaja dan tidak perlu. Replikasi yang tidak sengaja terhadap penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti perlu dihindari karena hanya merupakan pemborosan.

4. Menghubungkan penemuan dengan pengatahuan yang ada dan ususlan untuk penelitian lebih lanjut.4

1. Sumber Data

Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan dalam menggunakan atau memahami sumber data, maka data yang diperoleh juga akan melesat dari apa yang diharapkan. Oleh karena itu, peneliti harus mampu memahami sumber data mana yang mesti digunakan dalam penelitian itu. Ada dua jenis sumber data yang biasanya digunakan dalam penelitian, yaitu data primer dan data sekunder. 5

a. Sumber Data Primer

Data primer yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti sendiri secara langsung dari obyek penelitian.6 Sumber-sumber primer yang mendasari penelitian ini dikumpulkan dengan beberapa instrumen seperti pengamatan, dan data-data yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum penetapan awal waktu shalat Shubuh. Pada intinya data primer yang digunakan adalah data-data hasil pengamatan fajar shadiq, baik pengamatan

3

http://www.perkuliahan.com/apa-pengertian-studi-kepustakaan/, diakses pada, Kamis, 8 Mei 2014

4 http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-dan-tujuan-kajian-pustaka.html, diakses pada, Kamis, 8 Mei 2014 5 Burhan bungin, Metode penelitian soaial, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), hlm. 129

(4)

sendiri maupun data hasil pengamatan oleh beberapa organisasi yang mengkaji ilmu falak dan astronomi, diantaranya adalah JAC (Jogja Astro Club) dan RHI (Rukyatul Hilal Indonesia). Obyek penelitian ini adalah fajar shadiq.

Beberapa literatur yang dijadikan telaah penulis diantaranya adalah tulisan dalam majalah Qiblati oleh Syaikh mamduh Bin Farhan Al-Buhairi tentang Salah Kaprah Waktu

Shubuh (bag I) Fajar Kazib dan Fajar Shadiq, dan Memajukan Waktu Shubuh adalah

Bid’ah Kuno.7 Kumpulan tulisan tersebut kemudian disatukan dalam buku Koreksi Awal

Waktu Shubuh.8 Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa jadwal waktu shalat subuh yang selama

ini digunakan di beberapa negara islam telah mengalami kesalahan salah satunya adalah Indonesia. Dari tulisan inilah banyak kalangan mulai membuka mata mengenai masalah ini termasuk pemerintah. Selain itu juga beberapa tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk menanggapi permasalahan waktu shalat subuh tersebut. diantaranya: Iqamat Shalat Subuh

Menurut Para Ulama oleh Agus hasan Bashori, Salah Kaprah Waktu Subuh oleh Abu

Abdurrahman Jalal Ad-Darudi, Syafaq dan Fajar oleh Nihayatur Rohmah.

Beberapa literatur yang membahas waktu shalat secara global, diantaranya buku yang berjudul Hisab Rukyat dan Aplikasinya oleh Encup Supriatna. Dalam buku ini dibahas beberapa permasalahan mengenai ilmu falak, seperti Arah kiblat, Awal waktu shalat.

Selain itu juga buku yang berjudul Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi) oleh Abdul Jamil juga termasuk dalam telaah pustaka. Salah satu pembahasan buku ini adalah waktu shalat yang lebih ditekankan pada teknis yang lebih aplikatif dalam melakukan hisab kontemporer. Selain itu juga membahas tentang kedudukan matahari pada awal waktu shalat.9

Buku Karangan Sriyatin Shadiq Ilmu Falak 1, buku ini sengaja dibuat karena kegemaran beliau dengan ilmu falak. Dalam buku ini beliau juga menjelaskan mengenai pengertian Ilmu Falak dan ilmu-ilmu Hisab, obyek dan tujuan, dalil al qur’an dan as-sunnah tentang Ilmu Falak, beberapa istilah ilmu Falak dan Hisab, Bola Langit dan Peredaran benda-benda langit, Waktu dan Tempat, Segitiga Bola, Hisab awal waktu shalat, Penentuan Arah Kiblat.

Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan materi pelatihan hisab rukyah baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber yang terkait. Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan secara khusus dan mendetail yang membahas tentang aplikasi konsep hukum awal waktu shalat Shubuh dalam perspektif fiqh dan perspektif astronomi kaitannya dengan koreksi ketinggian matahari dalam penetapan awal waktu shalat subuh.

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih pengetahuan tentang waktu Shubuh. Hal tersebut bertujuan agar bisa diketahui apakah isu yang mengatakan bahwa

7 Manduh Farhan Al-Bukhori, Koreksi Awal Waktu Subuh, hlm. 10 8 Ibid

(5)

waktu subuh yang digunakan dalam beberapa negara Islam termasuk Indonesia benar-benar mengalami kesalahan.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan peneliti secara tidak langsung atau menggunakan sumber lain10 dan data pelengkap ini, bisa diperoleh dari beberapa sumber dokumentasi (bisa berupa ensiklopedi, buku-buku falak, artikel-artikel maupun laporan-laporan hasil penelitian) dan wawancara. Sumber-sumber di atas tadi akan digunakan sebagai titik tolak dalam memahami dan menganalisis konsep fajar shadiq baik dari prespektif fiqh maupun astronomi.

D. Pembahasan Hasil Penelitian

Analisis Konsep Fajar Shadiq dalam perspektif fiqh kaitannya denga awal waktu sholat subuh

Dalam penetapan awal waktu shalat, data posisi matahari dalam koordinat horizon terutama ketinggian atau jarak zenit sangat dibutuhkan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penetapan awal waktu Shubuh sendiri tidak terlepas dari pengamatan terhadap fenomena matahari yang sering disebut dengan fajar.11 Fajar merupakan cahaya yang dimunculkan oleh matahari ketika berada di bawah ufuk yang semakin lama akan semakin terang cahayanya. Kemunculan cahaya tersebut merupakan pertanda bagi umat Islam untuk menyegerakan shalat Shubuh.

Zamakhsari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fajar adalah awal permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk Timur seperti benang yang dibentang. Hal tersebut adalah permulaan cahaya matahari yang bersambung lagi tidak terputus.12 Dalam pengaplikasiannya, umat Islam akan mengalami kesulitan apabila setiap hari diharuskan melihat kondisi fajar shadiq ketika akan melaksanakan ibadah shalat, sehingga digunakanlah konsep ketinggian matahari sebagai dasar perhitungan waktu shalat yang pada akhirnya terbentuklah jadwal-jadwal waktu shalat. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan terkait dengan hal tersebut, diantaranya adalah surat al-Baqarah ayat 187,

Artinya: "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (QS. Al-Baqarah: 187). Selain dalil di atas, juga diperkuat dengan beberpaa hadis diantaranya adalah hadis Abdullah bin Amr sebagai berikut:

رجفلا غ ولط نم حبصلا ة لاص تقوو Artinya: ”dan waktu shalat Shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari”. (HR Muslim).

Dalil-dalil di atas dengan jelas bahwasanya dalam perspektif fiqh, penetapan awal waktu shalat Shubuh tidak ada hal yang perlu diperdebatkan. Fajar shadiq merupakan patokan pasti

10 Ibid, hlm. 88

11 Tarmi, Islam untuk Disiplin Ilmu Astronomi, (Jakarta: Depertemen Agama), 2000, hlm. 172.

(6)

masuknya waktu shalat Shubuh. Selain itu beberapa dalil tentang hal tersebut juga telah penulis paparkan dalam bab III. Sejauh penelurusan penulis, Tidak ada perbedaan pendapat ulama’ terkait dengan penetapan awal waktu shalat Shubuh. Mereka bersepakat bahwa berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan beberapa hadis nabi Muhammad SAW (telah banyak disinggung penulis dalam bab III), fajar shadiq merupakan pertanda awal waktu shalat Shubuh, sehingga dalam hal ini penulis tidak menyinggung kaidah fiqhiyyah dalam pembahasan tersebut. Hal tersebut dikarenakan beberapa dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis yang telah jelas memaparkan fajar shadiq. Selain itu hal tersebut juga sudah menjadi kesepakatan para ulama’, Karena pada dasarnya yang menjadi permasalahan adalah perspektif astronominya.

Analisis nilai ketinggian matahari dalam astronomi kaitannya dengan awal waktu shalat subuh

Pemahaman fajar shadiq harus dilakukan secara utuh oleh semua pihak yang mengkajinya. Pemahaman tidak bisa dibatasi pada pengertian fajar shadiq yang merupakan fajar kedua setelah fajar kazib. Maksudnya adalah dalam hal ini harus diketahui hal-hal yang bersangkutan dengan fisik fajar shadiq itu sendiri, seperti halnya pemahaman sifat dan warna dari munculnya fajar shadiq tersebut. Hal tersebut dikarenakan dalam observasi langsung akan ditemui beberapa kesulitan terkait dengan pemahaman warna fajar shadiq. Dalam hal ini Thomas Djamaluddin13 memberi penjelasan yakni Pada posisi tersebut ia memberikan pemahaman tentang warna langit di ufuk timur ketika terbitnya fajar shadiq. Terbitnya fajar shadiq dimulai dengan adanya cahaya fajar yang terlihat samar, sehingga semakin mendekati ufuk maka cahaya tersebut mampu menerangi benda-benda di sekeliling kita.

Pada dasarnya cahaya fajar pada saat awal kemunculan fajar shadiq warna aslinya adalah warna biru yang redup karena sekadar hamburan cahaya matahari oleh atmosfer tinggi. Hal itu disebut dengan fajar astronomi, karena berdampak pada mulai meredupnya bintang-bintang, sebagaiamana dalam surat at-Thur: 49:

Artinya: “ dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)”.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa fajar shadiq merupakan cahaya yang memanjang di sepanjang ufuk, hal tersebut dikarenakan cahaya tersebut merupakan hasil hamburan dari atmosfer bumi. Berbeda dengan cahaya fajar kazib yang menjulang tinggi di karenakan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar planet. Itulah sebabnya fajar kadzib muncul sebelum fajar shadiq yang mengecoh umat Islam dalam hal awal waktu Shubuh. Cahaya fajar shadiq selanjutnya akan semakin menguning ketika matahari semakin mendekati garis ufuk. Susunan cahayanya dari ufuk adalah merah, kuning, kemudian putih kebiruan. Semakin mendekati ufuk maka warna yang terlihat adalah warna merah yang dengan jelas akan

13 http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/15/waktu-shubuhditinjau- secara-astronomi-dan-syari/ dan

(7)

menerangi benda-benda di sekitar kita, oleh karena itu disebut dengan fajar sipil. Apabila diamati lewat udara maka awanpun sudah bisa di kenali wujudnya.

Secara ringkas perubahan warna tersebut adalah sebagai berikut:14 a. Warna Putih Membentang

Hal ini sebagaimana yang telah di jelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 187. Benang putih yang dimaksud adalah seperti halnya kondisi dimana bisa dilihat atau dibedakan warna putih dan hitam gelang yang dipakai di pergelangan kaki. Kondisi tersebut menunjukan matahari sudah mulai naik ke atas ufuk, kemudian terlihat cahayanya di atas ufuk yang kemudian menyebar membentang di ufuk langit.

b. Merah Membentang (Putih kekuning-kuningan atau kemerah-merahan membentang)

Hal ini sebagaimana hadis Imam Ahmad sebagai berikut:

رمح لا ا ض رتعملا هنكل و قفلا ا يف ليطتسملا رجفلا سيل Artinya: “Bukanlah Fajar itu cahaya yang meninggi di ufuk, akan tetapi yang membentang berwarna merah (fajar putih kemerah-merahan). (H.R Ahmad)”

Seperti halnya dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, hasil pengamatan tersebut menunjukan bagaimana komposisi warna pada saat terbitnya fajar shadiq. Menurut pandangan penulis, warna putih kemerahan merupakan warna yang dominan muncul baik pada senja maupun pada fajar shadiq. Beberapa hadis juga telah memberikan gambaran tersebut, selain hadis di atas, penulis juga mendapati hadis yang sepakat dengan beberapa pernyataan di atas, hadis tersebut adalah sebagai berikut:

رمح لاا مكل ض رتعي يتح ا وب رشا وا ولكف Artinya: “ Maka makan dan minumlah kalian hingga tampak fajar merah (putih kemerahan) bagi kemerahan.

Dari pemahaman beberapa hadis tersebut, diketahui bahwasanya ketika dilakukan sebuah pengamatan terhadap fajar shadiq, maka warna putih kemerahan yang muncul dengan bentuk membentang di ufuk timur bisa dijadikan pertanda bahwa shalat Shubuh sudah sah untuk dilakukan, Sebagaimana yang dijelaskan oleh Slamet Hambali, bahwasanya sudah disebut fajar shadiq walaupun cahaya matahari hanya satu garis (hanya terlihat sedikit). Perlu diketahui bahwa walaupun cahaya fajar shadiq sudah muncul, akan tetapi cahaya tersebut belum membuat jelas beberapa benda di sekeliling kita, yang terlihat hanya kondisi ufuk timur tempat munculnya cahaya fajar tersebut. Berdasarkan kondisi yang seperti itulah Thomas Djamaluddin mengungkapkan bahwasanya fajar shadiq dalam perspektif astronomi dikenal dengan sebutan fajar Astronomi. Seperti yang di kutip dalam tulisannya : “Dari hadis Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat subuh berjamaah bersama Nabi SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil

14Agus Hasan Bashori, dkk, Koreksi Awal Waktu Subuh, (Malang: Pustaka Qiblati), 2010,

(8)

sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena setelah shalat pun masih gelap, kalau demikian fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam”.15

Secara teoritis, sesuai dengan pengertian fajar shadiq yang tercantum dalam al-Qur’an yang diisyaratkan dengan pernyataan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”. Sesuai dengan asbabun nuzul ayat tersebut yang menyatakan bahwa pada zaman nabi beberapa orang laki-laki mengikatkan pada kedua kakinya benang putih dan benang hitam. Mereka terus makan dan minum sampai terlihat perbedaan diantara keduanya. Maka Allah menurunkan kelanjutannya “berupa fajar” sehingga mereka tahu bahwa yang dimaksud ialah malam dan siang. Dari sini, apabila dihubungkan dengan fajar dalam perspektif astronomi, maka pada batasan kurva cahaya fajar astronomilah yang sesuai dengan kondisi tersebut. Karena ketika ketinggian matahari mencapai -18 derajat sampai dengan -13 derajat baru bisa dibedakan perbedaan warna antara hitam dan putih tersebut.

Berawal dengan kondisi tersebut, matahari akan semakin mendekati ufuk, sehingga cahaya di ufuk pun akan semakin banyak dan mampu menyinari beberapa benda yang ada di sekitar kita dan kondisi inilah yang disebut dengan fajar sipil yang kemudian disusul dengan sebutan fajar nautika. Pada Intinya fajar shadiq merupakan cahaya fajar yang merupakan hasil dari hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi.16 Bentuk cahaya tersebut yakni membentang di sepanjang ufuk timur, dan walaupun itu hanya sedikit yang terbit maka kondisi tersebut sudah disebut dengan munculnya fajar shadiq. Jadi, yang menjadi patokan adalah bukan gelap atau tidaknya keadaan di sekeliling kita, akan tetapi cahaya membentang yang ada di ufuk bagian timur.

Mengenai lamanya fajar, dalam hal ini menurut pandangan penulis hal tersebut di pengaruhi dengan posisi daerah masing-masing. Bagi tempat-tempat yang berada di sekitar ekuator bumi, maka sebagaimana yang diketahui lingkarang pergeseran harian matahari (lingkaran equator langit) adalah tegak lurus pada horizon. Hal tersebut mengakibatkan busur dari sebuah kriteria tinggi matahari tentunya akan tegak lurus dengan horizon. Konsekuensi dari kondisi seperti itu adalah fajarnya pun akan lebih pendek.

Sebaliknya, bagi beberapa tempat yang berada di sebelah utara ataupun di sebelah selatan equator bumi, maka posisi lingkaran pergeseran harian matahari akan lebih condong terhadap tegak lurus. Makin ke utara ataupun makin ke selatan, maka posisinya akan lebih condong lingkaran pergeseran harian matahari tersebut. Konsekuensinya adalah matahari membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk pada sebuah titik dari kriteria ketinggian matahari dari waktu shalat. Jadi Fajar pada sebuah tempat yang lebih ke utara atau ke selatan equator akan semakin panjang.

Dari beberapa pendapat diatas maka penulis menyimpulkan analisis nilai ketinggian matahari dalam astronomi kaitannya dengan awal waktu shalat subuh adalah warna putih kemerahan yang muncul dengan bentuk membentang di ufuk timur bisa dijadikan pertanda bahwa shalat Shubuh sudah sah untuk dilakukan.

15 T. Djamaluddin yang berjudul, Twilight menurut Astronomi, Tulisan ini merupakan tanggapan Thomas Djamaluddin atas banyaknya

perdebatan terkait dengan ksalahkaprahan awal waktu shalat subuh. Hlm.2.

(9)

Analisis relevensi nilai ketinggian matahari terhadap kemunculan fajar shadiq kaitannya dengan awal waktu shalat subuh

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa fajar shadiq merupakan pertanda bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat Shubuh, sampai sekarang konsep tersebut masih tetap digunakan. Tidak ada perbedaan pendapat terkait dengan hal itu. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, tuntutan untuk mempermudah penentuan waktu shalat secara praktis pun semakin besar. Selain itu, karena saat ini waktu-waktu shalat lebih banyak ditentukan berdasarkan jam, maka perlu diketahui kriteria astronomisnya yang menjelaskan fenomena fajar dalam dalil syar’i tersebut. Perlu penjelasan fenomena sesungguhnya fajar kazib dan fajar shadiq, kemudian perlu batasan kuantitatif yang dapat digunakan dalam formulasi perhitungan untuk diterjemahkan dalam rumus atau algoritma program komputer.17

Oleh sebab itulah, para pakar astronomi membuat sebuah konsep perhitungan yang didasarkan pada kriteria ketinggian matahari yang berbedabeda untuk tiap-tiap waktu shalat. Hal tersebut di karenakan posisi matahari yang berubah-ubah sehingga menimbulkan kondisi pagi, siang, dan malam.18

Penetapan ketinggian matahari pada tiap-tiap awal waktu shalat tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Konsekuensinya masyarakat awam hanya bisa mengikuti kriteria-kriteria tersebut, tanpa bisa melakukan pengecekan kembali. Pada akhirnya peluang kekeliruan itupun semakin nampak. Seperti halnya kriteria ketinggian matahari untuk waktu Shubuh. Dalam hal ini banyak ditawarkan beberapa kriteria ketinggian waktu Shubuh mulai dari -20derajat sampai dengan -14 derajat di bawah ufuk.

Dalam gambaran posisi keberadaan matahari awal waktu Shubuh adalah kebalikan dari awal waktu Isya’. Jika diukur pada posisi keberadaan matahari, ketinggian matahari untuk waktu Isya’ adalah -180 di bawah ufuk barat. Hal tersebut di sebabkan ketika matahari baru saja terbenam, sehingga masih ada sisa-sisa pantulan cahaya yang dipantulkan oleh lapisan lapisan atmosfer bagian atas yang masih menerangi bumi, sehingga pada waktu itu belum sepenuhnya gelap. Terkait dengan ketinggan matahari -20 derajat yang ditetapkan untuk waktu shalat Shubuh, yang menjadi kebingungan adalah mengapa ada perbedaan dalam penetapan kriteria ketinggian matahari untuk dua waktu shalat yang dalam gambaran astronomisnya memiliki posisi yang sejajar.19

Menanggapi permasalahan tersebut, hendaknya konsep awal waktu shalat Shubuh dalam perspektif fiqh dan Astronomi harus ada keselarasan, jika selama ini dari beberapa hasil pengamatan fajar shadiq yang -20 derajat belum terlihat fajar shadiq, beberapa hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa ketika dilakukan pengamatan yang disesuaikan dengan perhitungan waktu shalat pada ketinggian -200, fajar shadiq yang merupakan pertanda awal waktu shalat

17Ibid, hlm. 2

18 Muchtar Salimi, Ilmu Falak (Penetapan Awal Waktu Ahalat dan Arah kiblat), (Surakarta: Fakultas Agama Islam jurusan Syari’ah Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 1997), hlm. 12

(10)

Shubuh belum menunjukan cahayanya di bentangan ufuk timur. Pada kenyataan seperti inilah, semuanya harus diluruskan kembali terkait dengan ketidakselarasan tersebut. Pengamatan hendaknya dilakukan dengan mencocokan beberapa kriteria ketinggian matahari lainnya, sehingga bias didapati kesimpulan yang pasti terkait dengan permasalahan tersebut.

Salah satu upaya untuk mengetahui keselerasan tersebut, maka dalam pengamatan terhadap terbitnya fajar shadiq selain harus memperhatikan kriteria ketinggian matahari, juga harus mempertimbangkan beberapa aspek lainnya, diantaranya adalah kondisi/posisi pengamatan, apakah tempat pengamatan berada di dataran rendah (lautan) atau dataran tinggi (pegunungan). Terkait dengan dua kategori tempat tersebut, yang menjadi pertimbangan dalam pengamatan fajar shadiq adalah kerendahan ufuk.

Pada daerah dataran tinggi (pegunungan) harus diperhitungkan bagi waktu syuruq dan waktu Maghrib suatu koreksi khusus bagi ketinggian mata di atas daerah sekeliling. Hal itu disebabkan persoalan terbit dan tenggelamnya matahari di pengaruhi oleh kedudukan ufuk mar’i

(Visible Horizon) karena bentuk bulat yag dimiliki matahari, maka ufuk mar’i akan semakin

rendah kelihatannya. Apabila kedudukan pengamat pada daerah yang lebih tinggi, kerendahan ufuk tersebut akan mengakibatkan matahari terlihat lebih lekas terbit dan lebih lambat terbenam.20 Walaupun begitu, perbedaan yang terjadi pada waktu untuk dataran rendah dan dataran tinggi tidak terlalu signifikan sebagaimana yang telah diklasifikasikan oleh Saa’doedin Djambek dalam daftar koreksi bagi kerendahan ufuk di bawah ini:21

Ketinggian tempat (meter) Koreksi (menit)

50 0,2 75 0,4 100 0,5 150 0,8 200 1,0 250 1,2 300 1,4 400 1,7 500 2,0 600 2,3 700 2,5 800 2,7 900 2,9 1000 3,1

20 Sa’adoedin Djambek, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hlm.19. 21 Ibid, hlm 19-20

(11)

Dari daftar di atas, dapat diketahui bahwasanya perbedaan tidak terlalu signifikan. Penulis juga berusaha membandingkan hasil perhitungan pada saat penelitian fajar shadiq di Ngawi kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi yang memiliki ketinggian tempat 26 meter dengan sebuah tempat di Ngawi yaitu desa Bulung Kecamatan Kartoharjo yang memiliki lintang -7 derajat 26 menit dan Bujur 111 derajat 26 Menit dengan ketinggian 1450 m. Berikut perhitungannya:

a. Perhitungan untuk ketinggian tempat 65 meter: 1. Menentukan Kerendahan Ufuk

Ku = 1.76 derajat √65

= 14 derajat 11 menit 22.47 detik 2. Tinggi matahari saat terbit

Ho = - (ref + sd + ku)

= - (0 derajat 3 menit + 0 derajat 16.2mnt 59 detik + 14 drjt 11 mnt 22.47 dtk ) = - 15 derajat 2 menit 33.47 dtk

3. Tinggi matahari untuk awal Shubuh

Ho = -20 derajat + - 15 derajat 2’ mnt 33.47 dtk = -35 derajat 2 mnt 33.47 dtk

4. Sudut Waktu Matahari Waktu Shubuh Cos t = -tan ⱷ tan ᶁ + sin h : cos ⱷ : cos ᶁ

Cos t = -tan -7 derajat 26” tan 1 derajat 22’57” + sin -20”: cos -7 derajat 26”: cos 1 derajat 22 mnt 57 dtk t° = 109° 59 menit 27.1 dtk : 15 t = 7°19 menit 57.81 detik 5. Waktu Shubuh 12- e – t + Kwd + i Hasil Hitungan

Kulminasi = 12 derajat 00 mnt 00 detik e` = -0 derajat 6 mnt 22 dtk – 12`6’22” t/15 = 7 derajat 19’57,8” - 4`46’24,19” Kwd -0 derajat 25’44” + 4 derajat 20’ 40.19” Ikhtiyat 0 derajat 02’00” + Awal Subuh 04:22:40

b. Perhitungan untuk ketinggian tempat 10 meter: 1. Menentukan Kerendahan Ufuk

(12)

= 5 derajat 33’ 56.19”

2. Tinggi matahari untuk awal Shubuh Ho = - 20 derajat - ku)

= - 20 derajat - 5 derajat 33 derajat 56.19” = - 25 derajat 33’56.19”

3. Sudut Waktu Matahari Waktu Shubuh Cos t = -tan ⱷ tan ᶁ + sin h : cos ⱷ : cos ᶁ

Cos t = -tan -7`15” tan 23`26’10” + sin -20”: cos -7`15”: cos 23 derajat 26’10” t° = 108° 42’ 3.74” : 15 t = 7°14’48.25” 5. Waktu Shubuh 12- e – t + Kwd + i Hasil Hitungan Kulminasi = 12 derajat 00’00” e` = -0`1’44” – 12`1’44” t/15 = 7`14’48,25” - 4`46’55,75” Kwd -0`31’0” + 4`15’55.75” Ikhtiyat 0`02’00” + Awal Subuh 04:17:55.75

Dari data-data tersebut, diketahui bahwa ketinggian suatu tempat juga mempengaruhi waktu terbitnya fajar shadiq yakni untuk ketinggian tempat 65 meter maka waktu subuhnya adalah 04:22:40 WIB sedangkan untuk ketinggian 10 meter dengan tanggal dan hari yang sama, waktu Shubuhnya adalah 04:17:55.75 WIB, perbedaanya adalah sekitar 5 menit, walaupun selisihnya tidak begitu signifikan akan tetapi hal tersebut harus diperhatikan dalam pengamatan fajar shadiq. Maka untuk daerah yang berdataran lebih tinggi waktu subuhnya akan menjadi lebih awal dari daerah yang berdataran rendah, dengan alasan yang telah di paparkan di atas.

Dari beberapa pertimbangan di atas, dapat diketahui bahwa untuk merelevansikan fajar shadiq dalam perspektif Fiqh dan astronomi, maka banyak hal yang harus di perhatikan yakni terkait dengan ketinggian matahari dan kerendahan ufuk tempat pengamatan fajar shadiq tersebut. Dalam hal kriteria ketinggian matahari kiranya untuk ketinggian -20 derajat adalah sangat lemah untuk membuktikan telah terbitnya fajar shadiq. Pada posisi tersebut, dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan pada bab III, belum terlihat cahaya fajar shadiq pada bentangan ufuk bagian timur. Sebagaimana diketahui bahwa hakikat fajar adalah cahaya matahari, yaitu sinar matahari yang memantul yang berada di antara udara dan bumi. Jadi faktor kondisi cuaca atau udara dalam hal kemunculan cahaya matahari/ cahaya fajar shadiq adalah sangat berpengaruh. Sinar tersebut beragam sesuai dengan perbedaan tempat pemantulannya. Pada

(13)

kondisi berkabut, maka cahaya tersebut akan semakin sulit untuk diamati, sehingga selama ini pengamatan yang dilakukan harus menunggu kondisi langit yang benar-benar cerah. Jadi bisa diketahui pada ketinggian berapa cahaya fajar shadiq tersebut akan muncul. Menurut pandangan penulis, kelemahan tersebut sangat mungkin terjadi karena ketinggian yang dipakai merupakan hasil kerja keras Sa’adoedin Djambek dalam memperkenalkan hisab awal waktu shalat dengan angka-angka yang apabila ditelusuri kembali ternyata diambil dari sudut-sudut matahari yang diperkenalkan Ibn Yunus di Mesir sekitar abad ke-10 silam. Kondisi langit dan atmosfer pada saat itu pastinya juga sangat berbeda dengan zaman sekarang yang banyak dipengaruhi oleh lampu-lampu kota dan polusi udara. Selain itu, untuk daerah Indonesia sendiri belum pernah melakukan penelitian kembali terkait dengan konsep ketinggian matahari tersebut, sebagaimana yang diketahui dari segi posisi geografis dan kondisi cuaca Indonesia sangat memiliki perbedaan dengan Mesir. Dalam hal ini Sugeng Riyadi yang juga memiliki perhatian pada permasalahan ini juga menjelaskan bahwa :

“Ibn yunus memang sudah memasukan parameter meteorologis untuk awal waktu Shubuhnya, namun kita harus melihat bahwa beliau melakukan studinya di Mesir, yang terletak di garis Balik utara (GBU) 23.50 LU dan dengan kondisi daerah yang relatif kering berupa gurun pasir”.

Dari penjelasan tersebut, kelemahan sudut -20 derajat yang selama ini digunakan sangat mungkin terjadi, hal tersebut dikarenakan jika menilik ke belakang kembali ternyata kondisi tempat yang digunakan pengambilan sudut tersebut sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia yang beriklim tropis sehingga memiliki kondisi atmosfer yang lebih tebal.

Penulis lebih sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa fajar shadiq lebih relevan apabila disamakan dengan apa yang disebut fajar astronomi (fajar dengan ketinggian matahari -180) yang sebelumnya ditentukan dengan kurva cahaya. Dalam pemahaman fajar astronomi, penulis lebih sepakat apabila penyebutannya fajar yang dimulai dengan ketinggian matahari -18 derajat sampai dengan -14 derajat (dengan pemahaman bahwa awal Shubuh adalah saat birunya langit mulai kelihatan, meskipun sedikit, demikian juga dengan bagian terkecil dari horizon timur.). Pada ketinggian selanjutnya disebut dengan fajar sipil yakni dengan tinggi matahari sebesar -120. Beberapa anggota berpendapat bahwa -15derajat atau bahkan -14 derajat adalah mungkin pada musim tertentu yakni seperti musim hujan yang lebih sering muncul kabut tebalnya. Selain itu, dalam perhitungan awal waktu shalat dengan menggunakan data ephimeris juga telah menggunkan beberapa koreksi diantaranya adalah koreksi kerendahan ufuk dan refraksi. Koreksi tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap penggunaan ketinggian matahari, khususnya pada jam jadwal waktu shalat yang dihitung. Ketinggian tersebut berlaku untuk semua tempat, karena sebelumnya pada perhitungan telah di lakukan beberapa koreksi ketinggian tempat yang berpengaruh pada kerendahan ufuk. Tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk mengkaji kembali ketinggian matahari untuk waktu Shubuh, bahkan tidak hanya waktu subuh, koreksi tersebut juga harus di aplikasikan untuk semua waktu shalat. Hal ini bertujuan agar tidak ada keresahan dan kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat dengan beberapa pendapat yang berbeda terkait dengan kesalahkaprahan waktu shalat Shubuh tersebut.

(14)

Dari beberapa pendapat diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa perbedaan tinggi matahari mempengaruhi awal waktu sholat, walaupun hari dan tanggalnya sama.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan analisis dari beberapa bab didepan, maka selanjutnya penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban dari berbagai pokok-pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Fajar shadiq dalam perspektif fiqh merupakan pertanda permulaan awal waktu Shubuh sebagaimana yang tertuang dalam surat al- Baqarah ayat 187. Selain itu dalam beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim juga memperkuat hal tersebut.

Sedangkan dalam pemahaman ilmu astronomi, fajar shadiq merupakan hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Ada beberapa kriteria warna yang dijadikan patokan sebagai sifat dari fajar shadiq itu sendiri, diantaranya adalah putih, putih kemerah-merahan, dan kebiruan. Fajar inilah yang dalam agama Islam disepakati sebagai patokan sebagai pertanda awal waktu shalat Shubuh berdasarkan kesepakatan ulama’.

2. Waktu awal Sholah Shubuh nilai ketinggian matahari dalam astronomi bisa dilihat dengan ketinggian matahari -18 sampai dengan -13 derajat dengan tanda putih kemerah-merahan (baru terlihat fajar shadig), dengan syarat langit tampak normal(tidak mendung).

3. Relevansi antara ketinggian matahari terhadap fajar shadiq merupakan sebuah keselarasan konsep dalam perspektif fiqh dengan perspektif astronomi. Keselarasan tersebut harus dibuktikan dengan beberapa pengamatan terhadap fajar shadiq, sehingga bisa diketahui apakah pada ketinggian matahari yang selama ini dipakai sudah memenuhi dengan apa yang disebut fajar shadiq. Terkaait dengan hal ini, dari beberapa pengamatan yang telah dilakukan menunjukan adanya kelemahan ketinggian matahari -20 derajat yang selama ini digunakan dalam perhitungan awal waktu shalat Shubuh oleh pemerintah di Indonesia. Kelemahan tersebut menunjukan kurang tepatnya relevansi tersebut. Kelemahan tersebut dikarenakan jika ditilik ke belakang ternyata kondisi tempat yang digunakan pengambilan sudut tersebut sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia yang beriklim tropis sehingga memiliki kondisi atmosfer yang lebih tebal. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, beberapa pakar yang telah melakukan pengamatan memberi pilihan sudut -18’ untuk kondisi alam yang normal (kondisi cerah). Akan tetapi untuk kondisi tertentu fajar shadiq akan terlihat pada ketinggian matahari -14 derajat sampai dengan -15 derajat . Penetapan ketinggian tersebut disamakan dengan kriteria ketinggian matahari pada fajar astronomi yakni -18 derajat. Hal ini berlaku untuk semua tempat, karena pada perhitungannya sudah diberlakukan koreksi ketinggian tempat yang berpengaruh pada kerendahan ufuk dan juga koreksi refraksi.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran Dan Terjemahnya, Karya Utama Surabaya , 2005.

2. Kasysyaf,Zamakhsari, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafâ Bâbi al-Halabi wa Awlâduhu, tt, Juz I,

3. Ahmad bin muhammad bin ahmad ibn rusyd al-Qurtuby al-andalusi, Imam al-Qodhi abi al-walid muhammad bin Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, Dar al-kitab al- Ilmiyah, 1996

4. ar-Rifa’i, Muhammad nasib Taysiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Ma’arif, 1989). Diterjemahkan oleh Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu

Katsir, Gema Insani, Cet. I, 2001.

5. al-hajjaj al-Qusyairy, an-Naisabury, Imam Muslim bin Shahih Muslim, alkitab al-Ilmiyah, Juz I.

6. Hadits riwayat Abu Dawud

7. Hamka, Tafsir al-Azhar, Pustaka Nasional, 1990, jilid. 5. 8. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Lentera Hati, 2002.

9. Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani, Cet. I, 2001 10. Zamakhsyariy, Az, Tafsir al- Kasysyaf, Dar al-Fikr, 1997

11. Abd Muthalib, Mohammad Yasir “Ringkasan Kitab Al Umm”, Pustaka Azzam, 2004.

12. Abi Bakar bin Muhammad Husein,Imam Taqiyuddin Kifayah al-Akhyar Fi Halli

Gayatil Ikhtiyar, al-Kitab al-Ilmiyah, 1995

13. Al-Bukhori, Manduh Farhan, Koreksi Awal Waktu Subuh, Pustaka Qiblati, 2010. 14. Al-Qohtani, Sa’id bin Ali bin wahf, Ensiklopedi Sholat menurut al-Qur’an dan

Sunnah, Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008.

15. al-Fauzan, Saleh, Fiqh Sehari-hari, Gema Insani Press, 2005 16. ash- Shiddieqy, Hasbi , Pedoman Shalat, Bulan Bintang, 1951.

17. Azhari, Susiknan, Ilmu Falak perjumpaan Khazanah dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah, 2007.

18. Abdillah bin Abi Bakar, Muhamma , Mukhtar Ashihah , Maktabah Lubnan Linasyir, 1995.

19. Bashori, Agus Hasan, “Iqamat Shalat Subuh Menurut para Ulama”, Pustaka Qiblati, 2010.

20. Bungin, Burhan , Metode penelitian soaial, Airlangga University Press, 2001. 21. Djambek, Sa’adoedin Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Bulan Bintang. 2000 22. Encup, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, Refika Aditama, 2007.

23. Ghoffar,, M.Abdul Ghoffar, Ensiklopedi Sholat menurut al-Qur’an dan Sunnah, Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008,

24. Hadi, Dimsiki Perbaiki waktu shalat dan Arah Kiblatmu, Madania, 2010. 25. Hasan, Idrus , Risalah Salat, (Surabaya: Karya Utama , 2000), hlm. 53.

(16)

26. Izzuddin, Ahmad Ilmu Falak Praktis “Metode Hisab-Ru’yah Dan

SoluPermasalahannya”, Erlangga, 2007

27. Jalal ad-Darudi, Abu Abdurraman Salah kaprah Waktu Subuh, Qiblatuna, 2010 28. Jamil, Abdul, Ilmu Falak “Teori dan Aplikasi”, Amzah, 2009.

29. Jawad Mughniyyah, Muhammad, , Fiqh Lima Madzhab, Lentera, 2007 30. Khadimullah, Zamry Khusukkah Sholatmu, Marja, 2011.

31. Khazin, Mukhyiddin Ilmu Falak Dalam Teori dan praktek, Buana Pustaka, 2005. 32. Mu’is, Fahrur Shalat A-Z, Aqwam, 2009.

33. Nawawi , Muhammad, Syarah Sullamun An- Najah, Alawiyah, 1996 34. Nazir, Moh, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, 2005.

35. Rohmah, Nihayatur Rohmah, Syafak dan Fajar, Pustaka Qiblati, 2010. 36. Sa’di,, Adil Fiqhnun-Nisa Thaharah- Shalat, Hikmah, 2006.

37. Salimi, Muchtar Ilmu Falak (Penetapan Awal Waktu Ahalat dan Arah kiblat), Fakultas Agama Islam jurusan Syari’ah Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997 38. Sholikhin, Muhammad Sholikhin, The Miracle of Shalat, Erlangga, 2002.

39. Soetrisno, , Filsafat umum dan metodologi Penelitian, Andi, 2007. 40. Sriyatin, Ilmu Falaq 1, Surabaya, 1994.

41. Supriatna, Encup, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, Refika Aditama, 2007 42. Tarmi, Islam untuk Disiplin Ilmu Astronomi, Depertemen Agama, 2000

43. Wahbah, Fiqh Imam Syafi’i “Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an

dan Hadits”, Almahira, 2012.

44. Moedji, Raharto, Posisi Matahari untuk Penentuan Awal Waktu Salat dan Bayangan

Arah Kiblat” makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Mengkaji Ulang

Penentuan Awal Waktu Salat & Arah Kiblat, Yogyakarta Auditorium UII, 7 April 2001, hlm. 8.

45. Taufiq, ”Waktu Subuh Dalam Perspektif Sosio Astronomi”, Tulisan ini disampaikan dalam temu kerja evaluasi Hisab dan Rukyat tahun 2010 Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam di Hotel Horizon Semarang, pada hari selasa-kamis, tgl 23- 25 Februari 2010.

46. T.Djamaluddin, “Twilight Menurut Astronomi”, Tulisan ini disampaikan dalam temu kerja evaluasi Hisab dan Rukyat tahun 2010 Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam di Hotel Horizon Semarang, pada hari selasa-kamis, tgl 23-25, Februari 2010.

47. T. Djamaluddin yang berjudul, Twilight menurut Astronomi, Tulisan ini merupakan tanggapan Thomas Djamaluddin atas banyaknya perdebatan terkait dengan kesalah kaprahan awal waktu shalat subuh. Hlm.2.

48. http://www.perkuliahan.com/apa-pengertian-studi-kepustakaan/, diakses pada, Kamis, 8 Mei 2014.

49. http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-dan-tujuan-kajian-pustaka.html, diakses pada, Kamis, 8 Mei 2014.

(17)

50. http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/19/mataharidan-penentuan-jadwal-shalat/. Diakses pada tanggal 8 Mei Januari 2014

Referensi

Dokumen terkait

Ekspresi-ekpresi iman seperti peribadatan sinagoga, persembahan, dialog filosofis/teologis bisa menjadi jalan masuk dalam perjumpaan iman Kristen dengan budaya atau agama

Untuk membedakan citra gambar Magnetic Resonance Image (MRI) yang terdeteksi tumor otak dengan yang tidak terdeteksi tumor otak, perlu dilakukan proses klasifikasi

perwakilan guru peserta Lesson Study baik dari SD Negeri maupun Swasta, dan perwakilan guru bukan peserta Lesson Study di Kota Yogyakarta. Dengan obyek penelitian:

Senam lansia pada usia lanjut yang dilakukan secara rutin akan meningkatkan kebugaran fisik sehingga secara tidak langsung senam dapat meningkatkan fungsi jantung

Erosi alur pada jalan di perkebunan kelapa sawit terjadi karena hujan jatuh bebas pada tanah di permukaan jalan disebabkan tidak adanya vegetasi yang

7) Membuat statistik data barang perlengkapan, analisis dan laporan pengelolaan barang, perlengkapan membantu kepala sekolah memonitor/ memantau barang perlengkapan

Merujuk dalam satu klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan yang terdapat pada Tabel 15 dan 16, tampak bahwa pemilihan paket pola tanam optimal tidak selalu didasarkan pada

gizi, angka kesakitan), Upaya Kesehatan (pelayanan kesehatan, akses dan mutu pelayanan kesehatan, perilaku hidup masyarakat, keadaan lingkungan), Sumber Daya