Proceedings
Seminar Nasional 2019
Kerjasama Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana
dan Asosiasi Psikologi Kristiani
“Merajut Keragaman
Untuk Mencapai
Kesejahteraan Psikologis
Dalam Konteks Masyarakat 5.0”
Hotel Grand Wahid Salatiga, 2 Agustus 2019
Satya Wacana University Press 2019
Proceedings
Seminar Nasional
“Merajut Keragaman
Untuk Mencapai
Kesejahteraan Psikologis
Dalam Konteks Masyarakat 5.0”
Hotel Grand Wahid Salatiga, 2 Agustus 2019
Satya Wacana University Press 2019
ii
PROCEEDINGS
SEMINAR NASIONAL
“MERAJUT KERAGAMAN UNTUK MENCAPAI
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS
DALAM KONTEKS MASYARAKAT 5.0”
Hotel Grand Wahid Salatiga, 2 Agustus 2019Reviewer
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS.
Dr. Susana Prapunoto, Ma-Psy. Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog
Editor
Dr. Susana Prapunoto, MA-Psy.
Steering Committee
Prof. Dr. Marthen Pali, M.Psi Dr. Suryasatriya Trihandaru, M.Sc.nat
Committee
Pelindung : Neil Semuel Rupidara, SE., M.Sc.,Ph.D.
Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Penanggungjawab : Berta Esti Ari Praseya, S.Psi., MA.
Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Penasihat : Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
Dr. Susana Prapunoto, Ma-Psy. Ketua Panitia : Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS. Sekretaris : Yohanes Krismono, SE.
Bendahara : Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog.
Cover : Timotius Iwan Susanto, S.Psi. Cetakan Pertama: 2019
Isi dari masing-masing artikel proceedings merupakan tanggung jawab masing-masing penulis
All right reversed. Save exception stated by the law, no part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form by any mean electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwhise, included a complete or partial transcription, without the prior written permission of the author, application for which should be addressed to author.
Satya Wacana University Press Universitas Satya Wacana Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga
Telp. (0298) 321212 Ext. 1229, Fax. (0298) 311995 Email: satyawacanapress@adm.uksw.edu
iii
KATA SAMBUTAN PENYELENGGARA
Salam Sejahtera bagi kita sekalian, Shalom.
Seminar nasional dan call papers bertajuk “Merajut Keragaman Untuk Mencapai Kesejahteraan Psikologis dalam Konteks Society 5.0” kita selenggarakan dengan kerjasama
antara Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan Asosiasi
Psikologi Kristiani – (APK) Indonesia, dalam rangka menyambut Dies Natalis Fakultas Psikologi ke 20th. Fakultas Psikologi UKSW pertama kali berdiri pada tanggal 23 Juni 1999; dan hingga saat ini telah memiliki 2 program studi yaitu S1 dan S2. Usaha yang berkelanjutan dari tahun ke tahun oleh seluruh pihak di fakultas dan program studi, telah memampukan Program S1 terakreditasi dengan peringkat A. Sebagai bagian dari semangat untuk terus berkontribusi bagi kemajuan perkembangan psikologi di Indonesia, Fakultas Psikologi mengundang para ilmuan di Indonesia untuk membagikan hasil-hasil riset dan pemikiran terbaik mereka melalui seminar ini. Demi tercatatnya kajian-kajian ilmiah yang ada, proceeding ini diterbitkan agar pemikiran-pemikiran maupun hasil riset yang telah disampaikan dalam seminar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas.
Tema ini secara spesifik diangkat, dengan melihat kenyataan bahwa Indonesia memiliki kekayaan keragaman baik dari segi budaya, bahasa, agama, serta latar belakang kehidupan yang lain. Keberagaman ini bagaikan memiliki dua sisi mata uang, yang bila bisa dimanfaatkan dengan maksimal akan memperkaya kekayaan pengalaman kehidupan individu, mendorong individu untuk belajar lebih fleksibel terhadap perubahan dan perbedaan serta mengembangkan pribadi yang kuat mental dan kaya pengalaman. Namun sebaliknya, keberagaman juga dapat menjadi ancaman apabila individu gagal mensikapinya dengan positif dan tepat; menimbulkan kesalahpahaman, syak wasangka bahkan perpecahan. Sementara itu, perkembangan peradaban manusia telah sampai pada titik saat kemajuan teknologi, utamanya teknologi informasi yang berintegrasi dengan internet, memunculkan teknologi digital, wireless, bigdata yang memunculkan berbagai exponential techology seperti: a) artificial intelligence, augmented reality 3D printing dan robotics, b) biotechnology c) nano technology, material baru, an fabrikasi digital, d) networks & computing systems (cloud, big data, IoT) (Diamandis, 2012).
iv
Semua kemajuan ini menimbulkan disrupsi baru, memaksa masyarakat harus siap dengan sistem-sistem baru, pola komunikasi dan interaksi yang baru, sistem-sistem bertransaksi yang baru yang berubah dengan pesat, yang mempengaruhi berbagai macam aspek kehidupan di masyarakat, yang saat ini dikenal dengan konteks masyarakat 5.0. Semua hal ini perlu dikaji dari berbagai sisinya, agar kita bisa mengantisipasi dan menyikapi dengan bijak sehingga dapat tercapai kesejahteraan psikologis setiap individu di Indonesia.
Seminar dan Call papers ini diikuti oleh 132 peserta, terdiri dari guru, dosen, utusan gereja, mahasiswa, peneliti, maupun praktisi, yang berasal dari berbagai daerah antara lain: Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Makasar, Kupang, Manado, Surabaya dan lainnya. Harapan kami apa yang kita diskusikan dalam seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan kita, dan pada akhirnya dapat bermanfaat bagi setiap orang yang kita layani.
Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepda APK dan HIMPSI yang telah menjadi mitra kami dalam menyelenggarakan kegiatan ini serta kepada UKSW yang telah mendukung sepenuhnya terhadap kegiatan ini. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada segenap panitia di bawah koordinasi dari Ibu Dr. Christiana Hari Soethjiningsih, MS dan Ibu Dr. Susana Prapunoto, M-Psy; didukung oleh Ibu Krismi Ambarwati M.Psi maupun Bapak Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA beserta para dosen, karyawan, maupun para mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW yang telah bekerjakeras mewujudkan terselenggaranya kegiatan ini.
Akhir kata, semoga Proceedings ini bermanfaat dan apabila ada kesalahan-kesalahan tertentu yang tidak kami sengaja dalam penerbitan proceeding ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Tuhan memberkati kita sekalian. Amin.
Hormat kami,
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., M.A. Dekan Fakultas Psikologi UKSW
v
KATA PENGANTAR
Keragaman, Kemajemukan adalah keistimewaan yang Tuhan berikan kepada bangsa Indonesia. Sekitar 250 juta jiwa, 17.000 pulau, 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa lokal, Indonesia termasuk urutan ke empat Negara dengan jumlah populasi terbesar di dunia. Kondisi ini tentu membawa implikasi pada kemungkinan terjadinya pergesekan terkait persoalan budaya, suku, agama, bahasa, sosial-ekonomi, maupun persoalan lain terkait dengan persoalan hukum, dsb. Hal ini telah disadari oleh pujangga kita, Mpu Tantular yang kemudian menuliskan konsepnya dalam buku Sutasoma yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
Kehadiran revolusi industri 4.0 semakin meningkatkan tantangan kesatuan. Kebersamaan membangun persatuan di tengah keragaman, bukan sesuatu yang otomatis terjadi. Hal ini menuntut masyarakat 5.0 menyikapi keragaman ini dengan merajut keragaman untuk mewujudkan kasih, antara lain untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Dengan demikian perbedaan, keragaman bukan sebagai pemisah melainkan sebagai kekayaan bangsa yang tiada nilainya. Prosiding ini merupakan sumbangan pemikiran dari 49 Penulis Artikel yang telah hadir dan berperan serta mempresentasikan gagasan terbaiknya.
Saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi, MA (Dekan Fakultas Psikologi – UKSW), Bapak Prof. Dr. Marthen Pali, M.Psi., (Ketua Asosiasi Psikologi Kristiani), Bapak Yusak Novanto, SPsi, MSi. (Sekretaris Asosiasi Psikologi Kristiani) yang telah memfasilitasi dan mendukung penuh penyelenggaraan Seminar & Call for Papers Jumat, 2 Agustus 2019. Ucapan terimakasih tidak terhingga kami haturkan kepada Prof. Virgo Handojo, Ph.D, CFLE. (dari California Baptist University), dan Ibu Eunike Sri Tyas Suci, PhD, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan – HIMPSI) yang telah menghantar Seminar dan Call for Papers Nasional “ Merajut Keragaman untuk Mencapai Kesejahteraan Psikologis dalam Konteks
Masyarakat 5.0.”.
Terimakasih atas kesediaan para Reviewers Call for Papers Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, M.Si, Bapak Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA, Ibu Krismi Ambarwati, M.Psi meluangkan waktu dan pikiran agar Proceedings ini dapat terbit. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Bapak Timotius Iwan Susanto, S.Psi. yang telah mendukung desain Cover
buku Proceeding. Terimakasih juga kepada sdri. Hanny Yuliana Agnes Sesa, S.Psi., Claudya S.Soulisa, S.Pd., Indah Lestari, S.Kep. dan Joanne Marrijda Rugebregt, S.Psi. yang telah banyak
vi
mendukung proses editing teknis buku Proceedings ini. Kiranya buku ini dapat bermanfaat bagi perjalanan bangsa Indonesia mengarungi Era Digital. Tuhan memberkati.
Salam sejahtera,
Dr. Susana Prapunoto, MA-Psy Editor
vii DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN PENYELENGGARA iii
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
I. KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KARAKTER 1
Peran Kurikulum dan Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran
Nurjadid 2
Hubungan Grit dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Masehi 2 PSAK Semarang
Petra Wijayanti, Christiana Hari Soetjiningsih 11
Optimalisasi Superego dalam Teori Psikoanalisis Sigmund Freud untuk Pendidikan Karakter
Hengki Wijaya, I Putu Ayub Darmawan 21
Strategi Kurikulum Tersembunyi bagi Pendidikan Karakter Generasi Milenial dalam
Society 5.0
Mariani Harmadi 30
Gerakan Sayang Anak Indonesia: Sebuah Pendekatan Pendidikan Karakter Dalam Memasuki Konteks Society 5.0
Monica Muryawati 39
Pendidikan Karakter yang Berkelanjutan
Priscilla Titis Indiarti, Anton Sukontjo 50
Konsep dan Pengukuran Work Engagement dan Student Engagement: Kajian Literatur Mengenai Engagement dalam Bidang Pendidikan
Yosika Pramangara Admadeli 61
II. Identitas Sosial dan Budaya 71
Mendedah Kebertahanan dan Peran Pendidikan serta Interaksi Sosial-Budaya Kelindan Rumah Pengasingan
viii
Mendedah Penghayatan Religiusitas dan Psychological Well-Being Perempuan dalam Kelindan Pengasingan di Pulau Seram.
Foty Isabela Otemusu, Susana Prapunoto, A. Ign. Kristijanto 84
Hubungan antara Perceived Discrimination dan Kualitas Hubungan Romantis pada Pasangan Etnis Tionghoa-Indonesia dan Indonesia Asli
Revina Dewanti, Julia Suleeman 95
Studi Fenomenologi Kepala Sekolah Perempuan Single Parents
Fony Sanjaya, Mary Philia Elizabeth 105
Perbedaan Perilaku Prososial Ditinjau dari Jenis Kelamin
Jeanetha A. E. Lomboan, Christiana Hari Soetjiningsih 116
Hubungan antara Frekuensi Menonton TayanganTelevisi yang Mengandung Unsur Kekerasan dengan Perilaku Agresif Remaja
LaelaZulfia, Christiana Hari Soetjiningsih 127
Orientasi Masa Depan Pada Narapidana dengan Kasus Kejahatan Pelecehan Perempuan yang Menjalani Masa Hukuman Penjara di Atas Lima Tahun
Mareinata Nazareth Christy Irala, Margaretta Erna Setianingrum 136
Peran Hukum dan Psikologi dalam Meminimalkan Ujaran Kebencian Perusak Demokrasi
Wisnu Sapto Nugroho 147
III. CINTA KASIH DAN SPIRITUALITAS 158
Pengaruh Religiusitas dan Parent Adolescent Relationship terhadap Psychological Well Being Remaja di SMP Negeri 1 Kupang
Marleni Rambu Riada 159
Pertumbuhan Spiritual Keluarga yang Memiliki Anak Penyandang Autisme
Maria Laksmi Anantasari 171
Religious Coping pada Penyintas Perkosaan
Julia Suleeman 187
Spiritual Kristiani di Tengah Laju Peradaban Digital
ix Eksistensi Perempuan Kristiani (Studi pada Perguruan Tinggi di Sulawesi Utara)
Shanti Natalia C. Ruata, Merci K. Waney, Yunita Sumakul 210
IV. KESEJAHTERAAN DAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA 222
Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Harga diri pada Atlet Renang Remaja Klub Paswind Surakarta
Rizkiana Ika Raharjo, Christiana Hari Soetjiningsih 223
Hubungan antara Kelekatan Aman Ibu-Anak dengan Kematangan Sosial pada Anak yang Ibunya Bekerja
Yudea Sabdo Anggoro, Krismi Diah Ambarwati 233
Dukungan Keluarga sebagai Prediktor Keberfungsian Sosial Pasien Skizofrenia Rawat Jalan
Glaudia Anastacia, Krismi Diah Ambarwati 245
Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Agresif pada Remaja Tegalsari
Cynthia Sinta Dewi, Ratriana Yuliastuti Endang Kusumawati 256
Gambaran Psychological Well-Being pada Remaja yang Memiliki Anak Sebelum Menikah
Ayu Wasti Kurniawati, Krismi Diah Ambarwati 267
Studi Deskriptif Internet Parenting Style pada orang Tua dengan Anak Remaja
Enjang Wahyuningrum 278
V.
PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
292Job Crafting dan Employee Well-Being pada Karyawan Generasi Y di Indonesia
Fandy Jusuf E. Lumentut, Krismi Diah Ambarwati 293
Sistem Pengendalian Manajemen Kontemporer Berdasar Aspek Spiritual
Anton Sukontjo, Maria Andriyani Wulandari 307
Faktor Demografis di Seputar Kepuasan Hidup Guru Sekolah X di Sidoarjo
Yusak Novanto, Maria Rayna Kartika Winata 320
Emotional Intelligence and Job Satisfaction of Teachers in Senior High School in
Kupang
x
Hubungan antara Motivasi Kerjadengan Kepuasan Kerja Karyawan di PT. Argo Manunggal Triasta
Septiana Indah Permata Surya, Sutarto Wijono 348
Budaya Organisasi dan Kinerja pada Fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan Universitas (LKU) UKSW
Siswani Inesda Batara, Sutarto Wijono 358
VI. KESEHATAN MENTAL SEPANJANG RENTANG KEHIDUPAN 367
Hubungan Negatif antara Sexual Self-Esteem dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Akhir
Arina Zuhriyah, Christiana Hari Soetjiningsih 368
Membaca Dinamika Psikologis Lewat Kekuatan Narasi
Emmanuel SatyoYuwono 378
Strategi Regulasi Emosi Anggota Penyidik Kasus Pembunuhan di Wilayah Hukum Polres Salatiga
Maximianus Ambrosius Nggai, Wahyuni Kristianawati 389
Hubungan Resiliensi dan Kepuasan Hidup pada Dewasa Muda
Dewa Fajar Bintamur 402
Pelecehan Seksual pada Biduanita Orkes Dangdut
Evita Cynthia Damayanti, Christiana Hari Soetjiningsih 413
Hubungan antara Self-Esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Putus Sekolah
Yosefine Permatasari, Ratriana Yuliastuti Endang Kusumawati 425
Korelasi Kontrol Diri dengan Perilaku Agresif pada Remaja Laki-Laki Peminum Miras (Studi Kontekstual pada Remaja Jemaat GPM Imanuel OSM-Ambon)
Salomina Patty, Prisca Diantra Sampe, Sutarto Wijono 436
VII. AGING 448
Successful Aging : Gaya Hidup Lansia di Era Digital
WinangPrananda, Christiana Hari Soetjiningsih, David Samiyono 449
Successful Aging : Voice-Tech Paduan Suara Religi
xi Perbedaan Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia Ditinjau dari Jenis Kelamin
Tri Utami Noviyanti, Ratriana Y. E. Kusumiati 478
Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Hidup di Rumah dan di Panti Wreda
M. Erna Setianingrum, Ratriana Y. E., Kusumiati 487
VIII.PERILAKU ENTREPRENEURSHIP DI ERA MILENIAL 496
Dukungan Semarang Kota Cerdas terhadap Minat Wirausaha: Studi Kasus Mahasiswa Jurusan Manajemen.
Martin Flemming Panggabean 497
Adaptabilitas Karir di Era Industri 4.0
Doddy Hendro Wibowo 506
Hubungan antara Rejection Sensitivity dengan Impulsive Buying Produk Fashion (Studi pada Mahasiswi Fakultas Psikologi Angkatan 2015 UKSW).
Hanggraini Puspitaningrum, Berta Esti Ari Prasetya 519
Pengaruh Karakteristik Psikologis pada Selebgram Entrepreuner.
158
SUB TEMA 3:
171 Pertumbuhan Spiritual Keluarga yang Memiliki Anak Penyandang Autisme
Maria Laksmi Anantasari
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Email : m.l.anantasari@gmail.com
Abstrak
Memiliki anak penyandang autisme merupakan sebuah tantangan besar bagi keluarga, akan tetapi sejarah membuktikan bahwa suatu tekanan mampu membuahkan hikmah positif. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai dinamika pertumbuhan spiritual keluarga yang memiliki anak penyandang autisme. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara semi terstruktur, terhadap tiga keluarga dari penyandang autisme. Paparan hasil studi terbagi atas tiga tema yaitu kondisi awal keluarga, strategi dan proses usaha serta hasil pertumbuhan spiritual. Kondisi awal keluarga dalam sepuluh tahun pertama diwarnai dengan konflik, tidak mengalami kedamaian, tidak berpengharapan, serta hubungan yang tidak harmonis dengan sesama dan Pencipta. Proses yang dilakukan anggota keluarga secara bersama-sama meliputi usaha meningkatkan kesadaran, mencari koneksitas, introspeksi, pembersihan diri, perbaikan diri, refleksi, reframing, dan mencari makna yang berujung pada sikap menerima dan berdamai dengan takdir. Proses panjang atas segala usaha membuahkan hasil berupa pertumbuhan spiritual pada keluarga. Keluarga mengalami perubahan positif dan transendensi yang terwujud dalam bentuk pemerolehan makna dan cara pandang baru terhadap hidup, perubahan prioritas hidup, meningkatnya kekuatan hidup dan keterampilan spiritual, menguatnya kepercayaan kepada Pencipta, serta meningkatnya dorongan untuk menjaga keselarasan dengan sesama dan semesta.
172
Pendahuluan
Gangguan Spektrum Autisme merupakan gangguan perkembangan yang terlihat dari adanya ciri-ciri antara lain ketidakmampuan berinteraksi dan berkomunikasi, munculnya pola perilaku yang stereotip, dan adanya pembatasan aktivitas dan minat (APA, 2013). Gangguan autisme merupakan stresor tertinggi dibandingkan dengan jenis gangguan perkembangan lainnya (Rao & Beidel, 2009) yang mengakibatkan stres pengasuhan anak penyandang autisme lebih tinggi dibandingkan stres pengasuhan anak dengan jenis gangguan perkembangan lainnya (Hayes & Watson, 2013). Karakteristik gangguan autisme berlangsung seumur hidup sehingga sangat dimungkinkan stres orangtua terjadi sepanjang waktu (Lecavalier, Leone, & Wiltz, 2006). Orangtua anak penyandang autisme dilaporkan mengalami ketertekanan, kelelahan, dan burned
-outakibat harus menjaga anak 24 jam sehari selama 365 hari dalam satu tahun (Doig, McLennan, & Urichuk, 2009). Tekanan terkait kehadiran anak autistik juga dapat menimbulkan ketertekanan pada saudara kandung (Shivers, McGregor, & Hough, 2019), menurunkan kualitas perkawinan (Hartley, Baker, Seltzer, Floyd, Greenberg, & Orsmond, 2010), serta menurunkan kohesivitas keluarga (Schieve, Blumberg, Rice, Visser, & Boyle, 2007). Tekanan dengan intensitas tinggi dan berlangsung dalam kurun waktu lama tidak hanya berdampak secara fisik dan psikologis akan tetapi juga berdampak pada segi spiritualitas. Temuan Heydan, Shahidi, dan Mohammadpour (2015) menggambarkan menurunnya kondisi spiritual ibu dari anak autistik yang ditandai dengan terkungkungnya individu dalam perasaan sedih dan tertekan, munculnya berbagai pertanyaan yang tak terjawab seperti “mengapa aku?’, hilangnya harapan serta kecenderungan untuk lari dari kenyataan.
Secara konseptual, spiritualisme diartikan sebagai sesuatu yang bersifat kerohanian yaitu suatu perasaan terkoneksi dengan sesuatu (daya/kekuatan) yang lebih besar dari diri. Spiritualitas dan religiusitas merupakan hal yang berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan. Spiritualitas sebagai suatu coping dimaknai sebagai pencarian terhadap sesuatu yang sakral, sementara religiusitas mengacu pada cara yang terkait dengan sakralitas, seperti ritual keagamaan. Spiritualitas dinyatakan sebagai dimensi kritis dalam hidup manusia dan merupakan dimensi potensi manusia yang tertinggi (Pargament, 2007).
Berkaca dari pentingnya spiritualitas, terganggunya spiritualitas keluarga akibat stresor panjang menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan, akan tetapi literatur membuktikan bahwa penderitaan mampu menghasilkan buah positif, seperti ditegaskan oleh perspektif
173 perkembangan (Aldwin, 2007) atau dari perspektif Psikolog Positif (Park, Cohen, & Murch, 1996; Tedeschi & Calhoun (2004). Penelitian menunjukkan bahwa penderitaan memiliki anak autistik dapat melahirkan pertumbuhan spiritual, seperti yang ditemukan dalam studi Bayat (2009) dan Loepp (2015). Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana agar keluarga penyandang autisme tidak hanya terjebak dalam penderitaan akan tetapi mampu mengalami pertumbuhan spiritual? Hal ini patut ditemukan jawabnya melalui penelitian ilmiah.
Beberapa studi dengan topik spiritualitas dalam konteks austisme pernah dilakukan, akan tetapi dengan segala keterbatasannya, belum dapat menjawab pertanyaan tersebut, seperti yang tampak dalam review berikut. Bayat (2009) menemukan bahwa kebangkitan keluarga penyandang autisme membuat keluarga semakin dekat, semakin menghargai hidup, serta memperoleh kekuatan spiritual, akan tetapi penelitian ini lebih berfokus pada resiliensi dan tidak secara khusus memaparkan proses tejadinya pertumbuhan spiritual. Moos dan Howlin (2019) menemukan adanya perubahan positif pada kepribadian saudara kandung penyandang autisme, yaitu menjadi lebih toleran dan peduli, akan tetapi studi ini tidak meneliti mengenai pertumbuhan spiritual dan lingkup subjeknya terbatas pada saudara kandung, Studi Heydan, et al. (2015) menghasilkan tiga temuan tema spiritualitas ibu dari anak penyandang autisme yaitu kelumpuhan, koneksitas dengan sumber kebaikan, serta pertumbuhan diri. Temuan hasil masih terbatas dari nara sumber ibu saja dan bukan keluarga. Heydan et al. (2015) menyatakan keterbatasan penelitian yang dilakukannya terkait dengan konteks tempat yakni di Iran dengan semua partisipan beragama Muslim, sehingga peneliti membuka peluang untuk meneliti kembali di latar belakang agama, kultur atau kondisi sosial yang berbeda. Penelitian lain dilakukan oleh Salkas, Magana, Marques, dan Mirza (2016) yang bertujuan untuk menggambarkan spiritualitas para ibu dari penyandang autisme di negara Latin yang mayoritas beragama Kristiani. Peneliti menyatakan pengambilan data dengan pertanyaan terbuka dalam sebuah kuesioner menyebabkan perolehan data tidak mendalam dan tidak dapat diklarifikasi. Penelitian yang bertujuan untuk meneliti keluarga belum seutuhnya tercapai karena menggunakan narasumber ibu saja, oleh karenanya peneliti merekomendasikan untuk melibatkan narasumber dari seluruh anggota keluarga.
Permasalahan praktis dan keterbatasan penelitian terdahulu membuka peluang dilakukannya suatu penelitian kualitatif yang berfokus pada pertumbuhan spiritual, dalam sebuah konteks keluarga, dengan latar belakang agama yang lebih beragam, dengan dasar
174
pertimbangan, spiritualitas tidak terbatas pada agama, akan tetapi agama menjadi salah satu cara mencapai spiritualitas. Pertanyaan penelitian yang dirumuskan adalah bagaimana dinamika terjadinya pertumbuhan spiritual keluarga dari penyandang autisme? Temuan penelitian diharapkan dapat membantu keluarga yang memiliki anak penyandang autisme untuk mencapai pertumbuhan spiritual dalam keterkanan yang dialami.
Metode
Penelitian ini merupakan studi kualitatif induktif, dengan desain penelitian analisis isi kualitatif (Supratiknya, 2015). Peneliti menjaga penelitian atas isu etik, dengan tidak adanya konflik kepentingan, dan adanya persetujuan partisipan atas informed consent. Peneliti juga menjaga kenyamanan para partisipan dengan dengan melakukan rapport yang baik dan memberikan peneguhan serta refleksi.
Peneliti menggunakan teknik purposive sampling untuk mengidentifikasi dan menyeleksi kelompok partisipan yang sangat mengetahui dan mengalami topik yang diteliti (Creswell, Plano-Clark, Gutman, & Hansen 2003). Pelaksanaan penentuan informan menggunakan strategi homogenitas sampel, berupa kesamaan keluarga yang sama-sama memiliki anak penyandang autisme, serta menggunakan strategi kriteria, meliputi pertama, keluarga memiliki anak penyandang autisme yang telah mendapatkan diagnosis resmi dari ahli yang berwenang, tinggal bersama sekurang-kurangnya di atas sepuluh tahun, dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan pribadi memerlukan waktu panjang (Aldwin & Sutton, 1998). Kedua, anak atau saudara kandung anak autistik tersebut sekurang-kurangnya telah memasuki masa remaja awal, yaitu di atas 12 tahun, dengan pertimbangan sudah mampu mengikuti proses wawancara. Ketiga, partisipan adalah keluarga memiliki kemauan dan kemampuan untuk berdinamika bersama dalam kelompok (Palmer, Larkin, De Visser, & Fadden, 2010).
Dalam pengambilan data, peneliti menyiapkan protokol wawancara, melakukan wawancara, serta membuat rekaman suara atas izin para partisipan. Pengambilan data dilakukan sebanyak empat kali pada bulan Januari-Mei 2019, di Yogyakarta, bertempat di rumah informan. Data yang didapat dianalisis dengan analisis isi. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan memeriksa transkrip dari kesalahan yang mungkin terjadi. Pengujian kredibilitas dilakukan dengan cara member checking terhadap keluarga atas rumusan tema yang didapatkan serta melakukan triangulasi sumber data (Supratiknya, 2015).
175 Hasil Penelitian
Tabel 1. Dekripsi Keluarga Partisipan Penelitian
Keterangan Informan Informan Informan
Keluarga-1 Keluarga-2 Keluarga-3
Insial, Jenis Kelamin & Usia
Ayah Ibu Anak pertama Anak kedua MH (47 tahun) NU (43 tahun) Is – laki-laki (ABK) (17 tahun) Lm–laki-laki (15 tahun) KR (51 tahun) YE (48 tahun) Ks – laki-laki (ABK) (18 tahun) Te – perempuan (15 tahun) HD (40 tahun) SW (38 tahun) Bd – perempuan (14 tahun) Sy – Laki-laki (ABK) (12 tahun) Status pendidikan Ayah Ibu ABK Anak kedua D2 SMA Home schooling SMP S1 S1 Home schooling SMP D3 SMK SMP SLB Pekerjaan Ayah Ibu Karyawan swasta Ibu rumah tangga
Guru Wiraswasta
Wiraswasta Ibu rumah tangga
Agama Islam Katolik Hindu
Temuan penelitian secara sederhana terwujud dalam tiga tema besar untuk menggambarkan proses terjadinya pertumbuhan spiritual yakni, gambaran kondisi awal keluarga, strategi dan proses mengatasi masalah serta hasil pertumbuhan spiritual, sebagaimana dipaparkan dalam Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Proses pertumbuhan spiritual keluarga Keterangan:
→ proses usaha yang berpengaruh
KONDISI AWAL KELUARGA DENGAN ANAK PENYANDANG
ASD • Kondisi keluarga tidak
damai dan putus asa •Relasi dengan dunia sosial
yang kurang harmonis •Kepecayaan kepada Pencipta terusik/terguncang PERTUMBUHAN SPIRITUAL KELUARGA • Pemerolehan makna
dan cara pandang hidup baru
• Perubahan prioritas hidup, terkikisnya ego diri dan materialisme • Meningkatnya
keterampilan dan kekuatan spiritual • Dorongan untuk
menjaga keselarasan dengan sesama dan semesta
STRATEGI DAN PROSES MENGATASI MASALAH • Meningkatkan kesadaran akan kenyataan • Memikirkan cara atasi masalah
• Mencari koneksitas, berdoa, mohon petunjuk
• Introspeksi, pembersihan diri, mohon ampun, perbaiki diri
• Refleksi, reframing, mencari makna hidup
• Menerima dan berdamai dengan takdir • Membentuk hidup baru (sistem keluarga
176
Perjalanan/pertumbuhan spiritual
Berikut gambaran tema yang pertama. Kondisi awal keluarga dalam kurun waktu kurang lebih sepuluh hingga dua belas tahun sejak kelahiran anak autistik sangat berat. Karakteristik gangguan autisme yang dialami anak, mengakibatkan tekanan yang bersifat kronis bagi keluarganya karena berlangsung sepanjang hayat. Semua anggota keluarga terutama Ibu mengalami permasalahan terkait keterbatasan ruang gerak dalam beraktivitas dalam keseharian, kelelahan secara fisik dan psikis karena harus merawat sepanjang waktu, serta menghadapi tekanan sosial berupa stigma, perundungan dan diskriminasi
Takdir memiliki anggota keluarga penyandang autisme berdampak terhadap kehidupan keluarga yang terwujud dalam beberapa sub tema. Pertama, lemahnya spirit keluarga yang terlihat dari tak adanya semangat dan pengharapan dalam keluarga untuk menemukan jalan ke luar, senantiasa merasakan hari-hari gelap, jarang ada tawa canda, suasana lebih didominasi dengan ketertekanan, kemuraman, kelelahan serta kebuntuan. Keluarga mengalami banyak konflik dan tidak damai.
“hidup seperti roller coaster, nggak ada damainya sama sekali dan seperti nabrak tembok, buntu, nggak ada semangat hidup dan rasanya hidup hanya menyeret langkah aja, nggak bisa nikmatin hidup, Tuhan itu ada di mana?” (Bapak KR/Kel-2/W1)
Kedua, relasi dengan sesama yang kurang optimal ditandai dengan adanya adanya perasaan terisolasi keluarga, merasa malu atas perilaku ABK, berelasi hanya untuk memenuhi kebutuhan, serta mengalami banyak bentrokan dengan lingkungan terkait dengan upaya membela ABK. Ketiga, terusiknya kepercayaan dengan Pencipta, yang terwujud dalam pemberontakan akan takdir, perasaan diperlakukan tidak adil, adanya unsur meminta paksa kepada Tuhan atas mukjijat bagi anaknya serta adanya kebiasaan doa yang bersifat ritual.
“woo ya kita doa terus..minta sama Alloh, pagi siang sore malam, minta agar anak kami disembuhkan, sampai kalau saya rasa-rasa, mintanya agak maksa, saking nggak ngerti harus gimana. Lha katanya Alloh Maha Adil, kog kami ngalami ini. Itu duluu lho mbak..” (Bapak MH/Kel-1/W1)
Tema kedua yang muncul adalah strategi dan proses mengatasi masalah. Pertama-tama, pasangan orangtua berproses sekian lamanya untuk berdamai dengan takdir, yaitu kurang lebih tujuh hingga sepuluh tahun sejak kelahiran ABKnya. Dalam prosesnya, ayah ibu mengajak anak
177 lain turut serta dalam proses merawat saudara penyandang autisme. Pada saat ini perjalanan spiritual keluarga dimulai. Ayah, ibu dan anak bersama-sama meningkatkan kesadaran akan kenyataan, bahwa mereka dianugerahi anggota keluarga autistik.
“ perlu waktu delapan tahun untuk bisa sadar utuh bahwa anak saya memang autis dan itu kenyataan yang nggak bisa diubah. Selama ini saya banyak membuang waktu untuk menyangkal..setelah itu kami sekeluarga coba untuk lebih aware” (Ibu YE/Kel-2/W2)
Langkah selanjutnya, keluarga memikirkan cara mengatasi masalah secara nyata, sembari berharap situasinya membaik, akan tetapi pada kenyataannya tak semua persoalan gangguan autisme dapat diatasi. Stresor tetap terjadi dengan sangat kuat, keluarga tetap merasakan ketertekanan, dan pada saat itu semuanya terasa buntu.
“kami pergi ke puluhan dokter, terapis, psikolog, pernah juga ke pendande agar si Bd bisa lebih teratasi. Sedih banget saat dia tantrum setiap saat, meludahi anak orang, berguling di mall, dia juga BAB sembarangan. Rasanya semua jalan mentok, kalaupun ada perubahan itu sangaat sedikit, sementara sikon keluarga makin kacau” (Ibu SW/Kel-3/W2)
Keluarga berusaha survive, bertahan dengan semua kondisi. Selanjutnya, kebuntuan dan kelelahan dalam usaha memaksa keluarga mencoba jalan lain untuk mengatasinya yakni dengan mencari koneksitas dengan sumber kekuatan dengan jalur spiritual dan/atau religiusitas, misalnya membaca bacaan rohani, berpuasa, laku prihatin, menyerap energi dan keindahan alam, meditasi, atau berdoa kepada Pencipta.
”saat semua makin terasa gelap, saat kami sudah habis semangat dan nyaris terpuruk, ke mana lagi kalau nggak kembali kepadaNya ? saya tahu bahwa saya harus mengubah cara berdoa, saya boleh memohon tapi tidak merintah Alloh, doa juga dengan hati bukan cuma kewajiban” (Ibu MU/Kel-1/W3)
Dalam tahap berikutnya, keluarga akhirnya berserah, mencoba semeleh, introspeksi, pembersihan diri dengan memohon ampunan kepada sesama dan Tuhan, sebagaimana diungkapkan salah satu partisipan ini.
“kami mohon ampun, karena kami melawan takdir, kami banyak koreksi diri, apa yang salah dengan diri, keluarga. leluhur kami.. tiyang (saya)_yang selalu ajak keluarga untuk sadar” (Ibu Sw/Kel-3/W3)
178
“tarik nafas panjaaang…sebut namaNya, terus saat buang nafas keluarkan kesesakan, susah, ganjalan hati. .. bersih hati biar berkahNya bisa bekerja”(Ibu YE/Kel-2/W3)
Langkah selanjutnya, keluarga melakukan upaya perubahan diri dengan banyak melakukan kebaikan kepada sesama manusia dan kepada alam. Anggota keluarga juga bersama-sama melakukan refleksi, mencari makna hidup, mencoba memandang dengan cara pandang positif, dan mencari celah untuk bersyukur.
“saat makan bersama, atau saat bisa bareng-bareng, aku sering diajak cari hikmah gitu sama papa mama, terus mikir Tuhan maunya apa ya, kita harus gimana ya, gitu, …..terus diajak bersyukur” (Anak Te/Kel-2/W3)
“makin banyak isi diri dengan pikiran dan rasa positif itu bisa menghalau yang gelap-gelap dalam jiwa kita nggih….jangan tu kasi ruang untuk rasa susah, bikin jiwa tiyang gelap” (Bapak KR/Kel-3/W2)
Upaya yang dilakukan secara pribadi atau bersama-sama sebagai satu keluarga, membuahkan hasil berupa rasa tenang dan hati yang lebih damai. Usaha tersebut dilakukan secara perlahan, berulang dan berkesinambungan. Hasil dan langkah selanjutnya adalah keluarga tersebut lebih mampu menerima takdir hidup, berdamai dengan diri dan kehidupan. Langkah akhir dari semua proses coping ini adalah upaya keluarga membentuk sistem baru yang lebih adaptif. Stresor tetap sama beratnya, akan tetapi keluarga memiliki cara baru yang lebih positif dalam menghadapinya.
Tema ketiga hasil penelitian berupa gambaran pertumbuhan spiritual keluarga, yang meliputi beberapa sub tema. Pertama, pemerolehan makna dan cara pandang baru. Pemaknaan menjadi kunci utama dalam pertumbuhan spiritual keluarga. Kehadiran anggota keluarga yang autistik dimaknai sebagai anugerah Tuhan yang dipercayakan kepada keluarga pilihan, takdir yang harus dijalani, ujian dan salib kehidupan, jalan membayar karma menuju kesucian, anak adalah sarana penyucian agar menjadi dekat dengan Pencipta, anak adalah guru kehidupan yang mengajarkan untuk sabar, prihatin, tangguh, rendah hati sertasebagai pengontrol ego diri. Dengan demikian keluarga memiliki cara pandang baru yang lebih transenden terhadap semua persoalan berat yang mereka tanggung.
179
“makin cepat bayar karma phala, jiwa kami makin bersih, jadi anak ini jalan menuju kesucian” (Bapak Hd/kel-3/W-4)
“Anak saya, adalah guru kehidupan, darinya keluarga kami belajar apa arti kasih sejati, dia ajarkan kami untuk bisa sabar dan mengikis ego diri”, (Bapak Kr/Kel-2/W-3)
Sub tema kedua, keluarga mengalami perubahan prioritas. Beberapa pasang suami isteri menyatakan bahwa pada awalnya keluarga terfokus untuk mencari materi, fokus pada aktualisasi diri dan mencari prestige, akan tetapi pergulatan panjang menghantar mereka pada prioritas baru yakni mengutamakan keluarga dan mengupayakan hidup yang baik. Fokus bukan pada masalah yang terjadi akan tetapi pada apa yang dikehendaki Pencipta melalui persoalan hidup tersebut.
Sub tema ketiga, meningkatnya keterampilan dan kekuatan spiritual keluarga. Masing-masing anggota keluarga merasakan meningkatmya keterampilan spiritual, yaitu lebih mampu untuk ikhlas, memaafkan, tidak reaktif, mensyukuri sekecil apapun kebaikan yang terjadi, lebih mudah merasa takjub dan menyerap keindahan semesta atau pengalaman hidup yang menjadi sumber kekuatan. Lebih mudah untuk mengkoneksikan diri dengan Sang Sumber Kekuatan, merasa lebih dekat denganNya, serta mampu merasakan berkat-berkat yang muncul.
”Penderitaan ini membawa berkah, …..sekarang ini kami ini cepet sekali tersentuh, bangun pagi melihat bunga matahari di kebun mekar dengan indahnya,.. itu aja bisa bikin kami sangat bahagia dan bisa merasakan betapa luar biasanya Pencipta” (Ibu YE/Kel-2/W4)
Hal ini berdampak pada meningkatnya kekuatan spiritual yang terwujud dalam bentuk ketangguhan keluarga yang tidak takut menghadapi persoalan apapun, menjadi lebih semeleh,
damai, kuat, kompak dan semangat dalam menjalani hari-hari seberat apapun. Sub tema keempat. Pertumbuhan spiritual terwujud dalam perbaikan relasi dengan sesama. Keluarga menemukan bentuk baru dalam berelasi dengan dunia sosial yang kadang tidak selalu ramah terhadap mereka. Anak partisipan tidak lagi malu membawa saudaranya ke luar rumah dan memberikan edukasi sederhana kepada teman-temannya. Selain itu, keluarga juga menjadi lebih ingin berkontribusi bagi kehidupan. Satu partisipan menyatakan bahwa perjalanan panjang spiritual membuat mereka menjadi mudah tersentuh akan penderitaan yang terjadi, sebagai contoh saat mereka menjadi lebih menjaga lingkungan hidup dan berempati dengan kaum marginal yang tersisihkan serta mahluk hidup lain.
180
“bapak dan mamak kemarin nguburin kucing ketabrak orang lewat di jalan, itu kan ya sesama mahluk, kasihan nggak ada yang mau tanggung jawab. Kalau kita mau dikasihi semesta, kita ya harus mengasihi semuanya” (Anak Bd/Kel-3/W3)
Diskusi
Hidup bersama anggota keluarga penyandang autisme merupakan pengalaman yang sarat dengan penderitaan serta permasalahan (Lutz, Patterson, & Klein, 2012). Dalam penelitian ini, ketertekanan keluarga yang dialami secara terus menerus dengan intensitas tinggi menimbulkan dampak yang melumpuhkan keluarga, merusak relasi dengan sesama serta menggoyahkan iman. Hal ini sejalan dengan temuan Hayden et al. (2015).
Hasil penelitian menunjukkan sepanjang belasan tahun dalam berproses, di awal perjuangan ketiga keluarga melakukan coping yang berorientasi pada masalah dengan melakukan upaya manusia mengatasi permasalahan secara faktual (Wong, Reker, & Peacock, 2006), selanjutnya keluarga melakukan copingspiritual (Pargament, 2007; Wong & Wong, 2006). Temuan menarik menunjukkan bahwa usaha secara spiritual baru mulai dilakukan setelah keluarga ‘mentok’ dalam berusaha secara manusia. Hal ini selaras dengan pernyataan Wong dan Wong (2006) bahwa coping eksistensial dapat membantu individu menghadapi hal yang tidak dapat diatasi sendiri maupun atas bantuan orang lain. Strategi semeleh dalam falsafah Jawa, bermakna meletakkan beban dan berserah. Neff (2003) menjelaskan bahwa melepaskan pikiran dan perasaan yang berlebihan (membelenggu) merupakan bagian dari usaha mindfulness, yang dapat membantu individu mampu mengamati suatu penderitaan apa adanya tanpa menghakimi, menyangkal atau memendamnya.
Beberapa cara yang dilakukan partisipan dalam coping spiritualitas adalah berdoa, yang menurut Pargament (2007), berfungsi sebagai upaya mencari tuntunan, memperoleh kekuatan untuk bertahan, memperoleh dukungan emosi berupa kesabaran, harapan dan rasa damai, serta mendapatkan kendali dari Pencipta. Strategi partisipan berikutnya adalah membuat interpretasi kembali yang merupakan suatu proses positif untuk merekonstruksi dampak dari suatu pengalaman berat (Thombre, Sherman, & Simonton, 2010). Reframing kognitif terbukti menjadi strategi yang berpengaruh terhadap cara pandang orangtua atas dampak autisme (Sheperd, Landon, Taylor, & Goedeke, 2018). Strategi lain berupa pencarian dan penemuan makna hidup,
181 yang dinyatakan oleh Pargament (2007) sebagai salah satu unsur pokok spiritualitas. Penderitaan membawa sebuah makna di baliknya. Manusia yang mendapatkannya akan mampu menilai pengalaman penderitaan dalam konteks kesakralan yang akan menumbuhkan pengharapan (Pargament, 2007). Pemaknaan merupakan bagian dari pemrosesan kognitif tentang perubahan hidup sehingga individu dapatmengembangkan sistem baru dalam struktur kognitifnya, dan berpotensi melahirkan suatu pertumbuhan (Calhoun, Cann, Tedeschi, & McMillan, 2000).
Strategi refleksi, introspeksi dan pembersihan diri dengan mohon ampun dan memperbaiki diri merupakan salah satu temuan baru dari penelitian ini. Serangkaian pertanyaan reflektif seperti, ‘Apa yang terjadi? Apa maksud dari pengalaman ini? serta pertanyaan instrospektif seperti, ‘Apa yang salah dalam diri saya? Apa yang harus saya perbaiki dalam hidup?’ akan membantu individu menemukan nilai dan makna baru untuk memperbaiki hidup (Anantasari, 2012; Guo, Gan, & Tong, 2013). Selanjutnya, hal utama yang harus dilakukan adalah mempraktekkan perolehan nilai hidup ke dalam tindakan nyata (Anantasari, 2012). Perbaikan hidup berjalan beriringan dengan upaya partisipan untuk pembersihan diri. Pargament (2009) menjelaskan bahwa pembersihan diri dimaknai sebagai sebagai suatu usaha untuk memulihkan hubungan dengan Sang Sakral.
Perjalanan spiritual partisipan berujung pada penerimaan keluarga atas takdir. Penerimaan sangat membantu saat pengaruh individu terhadap situasi tidak dapat bekerja dengan efektif untuk menghadapi situasi yang tidak terprediksikan (Moore & Constantine, 2005, merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan (Morling, Kitayama, & Miyamoto, 2003) dan menjadi kunci transformasi diri (Wadsworth, Santiago, & Einhom, 2009).
Pertumbuhan spiritual merupakan hasil dinamika interdimensi yakni antara manusia dengan Sang Sakral, dengan alam atau mahluk lain dan dengan dirinya sendiri. Pertumbuhan spiritual sebagai hasil positif dari sebuah penderitaan terwujud dalam pemerolehan makna dan cara pandang hidup baru sebagaimana ditekankan oleh Pargament (2007), perubahan prioritas baru (Tedeschi & Calhoun, 2004), perbaikan relasi dan dorongan bela rasa (Park, et al. 1996). Salah satu temuan yang relatif baru lainnya dari penelitian ini adalah meningkatnya keterampilan spiritual individu dalam bentuk lebih mudahnya individu terkoneksi dengan sumber spirit di luar dirinya, yaitu Pencipta, alam dan pengalaman kehidupan. Pargament (2007) menegaskan bahwa pencarian koneksi dengan Sang Sakral adalah unsur pokok spiritualitas. Meningkatnya keterampilan lain para keluarga terwujud dalam kemampuan untuk mensyukuri hal sekecil
182
apapun. Keluarga yang berspiritualitas tinggi juga tampak dalam relasinya dengan sesama serta rasa welas asih terhadap semua mahluk hidup.
Perjalanan spiritualitas dalam bertumbuh merupakan suatu proses panjang yang sangat tidak mudah, akan tetapi, pada saat keluarga mampu bertumpu pada spiritualitas, hal itu akan memberi rasa aman, kekuatan, adanya kendali, rasa tertopang serta diyakini dapat mengubah atau mempermudah usaha untuk mengatasi permasalahan dengan baik (Pargament, 2007; Wong & Wong, 2006). Perbedaan agama dalam penelitian tidak membatasi temuan, dan bahkan menunjukkan bahwa spiritualitas tak terbatas oleh sekat apapun dan berlaku universal. Pertumbuhan spiritual keluarga ditandai dengan adanya keselarasan antara diri, sesama, semesta dan Sang Sakral, yang tak hanya dapat membantu mengatasi ketertekanan tetapi juga membawa keluarga bertransendensi ke tataran yang lebih tinggi dalam meraih esensi kehidupan, sebagaimana dikatakan oleh Izzuto (dalam Anantasari, 2012) bahwa pengalaman hidup selayaknya tidak hanya dipahami sebagai pengalaman empiris-historis melainkan juga sebagai panggilan dari Sang Pencipta untuk membangun persaudaraan, melestarikan alam serta meningkatkan kualitas hidup bersama.
Simpulan dan Saran
Dinamika pertumbuhan spiritual pada keluarga dari penyandang autisme tergambarkan dalam tiga tema besar yaitu gambaran kondisi awal keluarga, strategi dan proses mengatasi masalah serta hasil akhir pertumbuhan spiritual. Kondisi awal keluarga diwarnai dengan lemahnya spirit dalam keluarga serta hubungan yang tidak harmonis dengan sesama dan Pencipta. Proses yang dilakukan anggota keluarga secara bersama-sama meliputi usaha meningkatkan kesadaran, mencari koneksitas, introspeksi, pembersihan diri, refleksi, reframing
dan mencari makna, perbaikan diri dan mencari makna, yang berujung pada penerimaan dan sikap berdamai dengan takdir. Keluarga mengalami pertumbuhan spiritual yang terwujud dalam bentuk pemerolehan makna dan cara pandang baru, perubahan prioritas hidup berupa meningkatnya kemauan untuk mengikis ego diri dan materialisme, meningkatnya keterampilan spiritual dalam hal bersyukur dan lebih cepat terkoneksi secara spiritual, menguatnya kepercayaan kepada Pencipta, meningkatnya kekuatan hidup, serta meningkatnya dorongan untuk menjaga keselarasan dengan sesama dan semesta.
183 Berdasarkan temuan studi, peneliti merekomendasikan beberapa saran. Keluarga yang yang mengalami tantangan dan tekanan hidup terkait dengan pengasuhan anak penyandang autisme dapat menggunakan spiritualitas yang akan membantu menemukan makna baru dalam hidup dan menghantar keluarga pada suatu pertumbuhan. Peneliti juga memberikan rekomendasi bagi praktisi untuk lebih terbuka dan melibatkan unsur spiritualitas dalam memberikan treatment
bagi keluarga penyandang autisme yang membutuhkan bantuan
Dari segi metode, penelitian ini telah membuat langkah positif dengan meneliti beberapa anggota keluarga sehingga mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dan mendukung kredibilitas penelitian, akan tetapi hasilnya masih dalam ranah pertumbuhan pribadi. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan pendekatan level komunitas guna mendapatkan gambaran pertumbuhan keluarga sebagai suatu unit sistem.
Daftar Pustaka
Aldwin, C. M. (2007). Stress, coping, and development. An integrative perspective (2nd ed.). New York: The Guilford Press.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorder
(Fifth Edition). Washington DC: American Psychiatric Association.
Anantasari, M.L. (2012). Model refleksi Graham Gibbs untuk mengembangkan religiusitas.
Journal Teologi Universitas Sanata Dharma, 1(2), diakses dari http://e-journal.usd.ac.id/index.php/jt/article/view/430/375
Bayat, M. (2007). Evidence of resilience in families of children with autism. Journal of Intellectual Disability Research, 51, 702–714.
Calhoun, L. G., Cann, A., Tedeschi, R. G., & McMillan, J. (2000). A correlational test of the relationship between post-traumatic growth, religion, and cognitive processing. Journal of Traumatic Stress, 13, 521−527.
Creswell, J. W., Plano-Clark, V. L., Gutmann, M. L., & Hanson, W. E. (2003). Advanced mixed methods research designs. Dalam A. Tashakkori & C. Teddlie (Eds.). Handbook of mixed methods in social and behavioral research (hal. 209–240). Thousand Oaks, CA: Sage. Doig, J. L., McLennan, J. D., & Urichuk, L. (2009). 'Jumping through hoops': Parents'
experiences with seeking respite care for children with special needs. Child: Care, Health and Development, 35, 234-242.
184
DOI:10.1111/j.1365-2214.2008.00922.x
Guo, M., Gan, Y., & Tong, J. (2013). The role of meaning-focused coping in significant loss.
Anxiety Stress Coping, 26(1), 87-102. DOI: 10.1080/1061580hassal6.2011.627507.
Hartley, S., Barker, E., Seltzer, M., Floyd, F., Greenberg, J., & Orsmond, G. (2010). The relative risk and timing of divorce in families of children with an autism spectrum disorder.
Journal of Family Psychology, 24, 449–457.
Hayes, S. A. & Watson, S. L. (2013). The impact of parenting stress: a meta-analysis of studies comparing the experience of parenting stress in parents of children with and without autism spectrum disorder. Journal Autism Development Disorder,43(3), 629-42. DOI:10.1007/s10803-012-1604-y
Heydan, A., Shahidi, L.H., & Mohammadpour, A. (2015). Spiritual journey in mother’s lived experience of caring for children with autism spectrum disorders. Global Journal of Health Science, 7(6), 79-87.
Lecavalier, L., Leone, S., & Wiltz, J. (2006). The impact og behavior problem on caregiver stress in young people. Journal of Intellectual Diasbility Research, 50, 172-183.
Loepp, M. S. G. (2015). Stress-Related Growth of Parents Raising Children with Autism.
Dissertation. University of Windsor. Diunduh dari http://scholar.uwindsor.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=6314&context=etd
Lutz, H. R., Patterson, B. J., & Klein, J. (2012). Coping with autism: A journey toward adaptation. Journal of Pediatric Nursing, 27(3), 206-213.
http://dx.doi.org/10.1016/j.pedn.2011.03.013
Moore, J. L., & Constantine, M. G. (2005). Development and initial validation of the Collectivist Coping Styles Measure with African, Asian, and Latin American International students.
Journal of Mental Health Counseling, 27, 329-347.
Morling, B., Kitayama, S., & Miyamoto, Y. (2003). American and Japanese women use different coping strategies during normal pregnancy. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 1533–1546.
Moss, P., & Howlin, P. (2019). Growing older with autism. The experience of adult siblings of individual with autism. Research in Autism Spectrum Disorder, 63, 42-51.
185 Neff, K.D. (2003). Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude
toward oneself. Self and Identity, 2,85-100.
Palmer, M., Larkin, M., de Visser, R., & Fadden, G. (2010). Developing an interpretative phenomenological approach to focus group data. Qualitative Research in Psychology, 2, 99-121.
Pargament, K. I. (2007). Spiritually integrated psychotherapy: Understanding and addressing the Sacred. Guilford Press: New York NY.
Park, C. L., Cohen, L., & Murch, R. (1996). Assessment and prediction of stress-related growth.
Journal of Personality, 64, 645–658.
Rao, P. A., & Beidel, D. C. (2009). The impact of children with high-functioning autism on parental stress, sibling adjustment, and family functioning. Behavior Modification, 33(4), 437–451.
Salkas, K., Magana, A., Marques, I., & Mirza, M. (2016). Spirituality in latino families of children with autism spectrum disorder. Journal of Family Social Work, 19(1), 38-55. Schieve, L. A., Blumberg, S. J., Rice, C., Visser, S. N., & Boyle, C. (2007). The relationship
between autism and parenting stress. Pediatrics, 119(1), 114-121.
Sheperd, D., Landon, J., Taylor, S., & Goedeke, S. (2018). Coping and care-related stress in parents of a child with autism spectrum disorder. Anxiety, Stress, & Coping. 31, (3), 277-290.
Shivers, C.M., McGregor, C., & Hough, A. (2019). Self-reported stress among adolescent siblings of individuals with autism spectrum disorder and down syndrome. Autism: The International Journal of Research and Practice, 23(1), 112-122.
Supratiknya, A. (2015). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004). Post-traumatic growth: Conceptual foundations and empirical evidence. Psychological Inquiry, 15, 1−18.
Thombre, A., Sherman, A. C., & Simonton, S. (2010). Posttraumatic growth among cancer patients in India. Journal of Behavioral Medicine, 33(1), 15-24.
Wadsworth, M. E., Santiago, C. D., & Einhorn, L. (2009). Coping with displacement from Hurricane Katrina: Predictors of one-year post traumatic stress and depression symptom trajectories. Anxiety, Stress, and Coping: An International Journal, 22, 413-432.
186
Wong, P.T.P., & Wong, L.C.J. (2006) Handbook of multicultural perspectives on stress and coping. New York: Springer Science+Business Media, Inc.
Wong, P. T. P., Reker, G. T., & Peacock, E. J. (2006). Coping. In P. T. P. Wong, & L. C. J. Wong. Handbook of multicultural perspectives on stress and coping (pp. 223-286). New York: Springer Science+Business Media, Inc