• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA REFORMASI. kebudayaan yang multikultur. Sebagai kawasan pesisiran, interaksi lintas budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA REFORMASI. kebudayaan yang multikultur. Sebagai kawasan pesisiran, interaksi lintas budaya"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

84

BAB IV

RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA REFORMASI

Mencermati perkembangan Islam mula-mula dari sisi spasialitasnya, bisa dikatakan bahwa Islam di Semarang berkembang sesuai dengan kebanyakan pola penyebaran di Jawa. Kota Semarang, secara umum, merepresentasikan formasi kebudayaan yang multikultur. Sebagai kawasan pesisiran, interaksi lintas budaya merupakan tipologi yang melekat. Pertemuan budaya satu dengan budaya lainnya sangat kental mewarnai Semarang. Relasi kelompok Muslim dengan pelbagai kebudayaan menjadi sebuah aktivitas yang menjangkar kuat. Kebudayaan Arab, Tionghoa, Belanda, Melayu, Jawa, Banjar dan lainnya menjadi identitas masyarakat Semarang.1 Sehingga prinsip-prinsip ritual dalam aktivitas keberagamaan

masyarakat Muslim urban di tengah penduduknya yang beragam, salah satu cara bagaimana kita mengenal Kota Semarang. Religiositas Muslim urban Pasca Reformasi, di sini menunjukkan ada proses di mana masyarakat mengalami kontruksi di era demokratis ini, termasuk Kota Semarang tentunya. Religiositas masyarakat urban merupakan rumusan identitas Muslim di kota Semarang pasca reformasi. Di mana perkembangan masyarakat religius menjadi pengingat atas kebebasan demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998. Menilik munculnya sebuah

1 Tedi Kholiludin, Menjaga Tradisi Di Garis Tepi; Identitas, Pertahanan dan Perlawanan Kultural Masyarakat Etno-Religius (Semarang: eLSA Press, 2018), 65.

(2)

85

ciri khusus berkembangnya Islam di Indonesia dengan mencuatnya kegemaran terhadap tradisi mistik dan ibadah tasawuf (sufisme). Kebangkitan sufisme, terutama di kalangan muslim perkotaan, di era ini melawan arus modernisme Islam skripturalis yang begitu kuatnya memusuhi sufisme pada abad lalu. Bahkan para pembaharu modernis yang menonjol di perkotaan dalam organisasi-organisasi, misal Muhammadiyah, umumnya berpikir bahwa tasawuf mendorong pelanggaran-pelanggaran terhadap doktrin keesaan Tuhan melalui pujian yang berlebihan melalui tarekat. Muslim modernis juga menentang beberapa amalan para sufi.2 Mengutip

John Saliba, ia mengatakan bahwa agama menjadi kekuatan integrasi, suatu ikatan yang mempersatukan yang memberi kontribusi terhadap stabilitas sosial dan kontrol sosial dan berkontribusi terhadap preservasi pengetahuan.3

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa narasi dialektika keberagamaan masyarakat muslim urban dengan tradisi lokal menguat pasca reformasi di Indonesia. Komponen penting dalam masyarakat urban di kota Semarang, tampak menguatnya peran ekonomi tradisional (pasar tradisional yang masih dominan) dan karakteristik keberagamaan tradisionalis Muslim telah dikemukakan pada bab III. Maka, pada bab ini penulis fokus pada deskripsi analisis kritis bagaimana interaksi ritus-ritus dan simbol-simbol keagamaan dengan

2 Greg Fealy&Sally White, Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online; Ekspresi Islam Kontemporer (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), 39.

3John Saliba, Understanding New Religious Movement (second edition)

(3)

86

kebudayaan masyarakat Muslim urban di kota Semarang tersebut terus berkembang, sehingga terjadi proses pembentukan sebuah identitas baru pasca reformasi.

Dalam hal tradisi keagamaan yang masih diselenggarakan oleh pendudukan muslim Semarang misalnya tradisi selamatan atas syukuran, Yasinan, Tahlilan, Khataman, Manaqiban, Berzanzii, Takbiran dan Dugderan. Selain tradisi keagamaan umat Islam, di Kota Semarang juga memiliki tradisi ritual yang dikembangkan oleh warga umat yang lain. terutama dari etnik Tionghua. Semenjak berakhirnya orde baru, tradisi-tradisi budaya maupun ritual warga Tionghua kembali semarak hingga sekarang ini. Tradisi tersebut seperti arakan Dewa Bumi, perayaan Imlek, arak-arakan Sam Po Kong dan larung sesaji untuk Dewa Samudra.4

A.Transformasi Religiositas Masyarakat Muslim Urban

Perbincangan mengenai genealogis kelas menengah Muslim dalam konteks Indonesia mengalami transformasi nilai maupun bentuk, mulai dari kelas borjuis, intelektualisme, lantas kemudian menjadi gaya hidup keseharian. Di antara berbagai macam rupa tersebut, Islam kemudian tidak lagi diterjemahkan dalam konteks kanonik, namun menjadi identitas kolektif yang mengikat setiap elemen anggota

(4)

87

kelas tersebut.5 Identitas adalah aspek fundamental manusia yang telah banyak

dibahas dalam lingkup studi psikologis, sosial dan politik. Kompleksitas di sektor publikasi pada lanskap konseptual dan geografis pembentukan identitas Muslim, beberapa aspek seperti etnis dan religiusitas yang dianggap berpengaruh dalam membentuk identitas Muslim. Wacana menyeluruh isu Muslim dalam masyarakat multikultural di Eropa dan Amerika misalnya, identitas Muslim selalu diperhitungkan dalam negosiasi wacana, integrasi, dan reaksi atau respon seolah-olah identitas Muslim tersebut hanya fenomena sosial-politik.6 Di sini penulis tidak akan berbicara

identitas Muslim dalam konteks sosial politik meski hal ini akan sedikit disinggung, namun fokus penelitian ini bagaimana sosial-kultural membentuk sebuah identitas Muslim.

Ditilik dari sejarah pasca reformasi, dinamika keberagamaan masyarakat Muslim urban mengalami perubahan secara signifikan. Pengaruh teknologi yang terjejaring di dunia menjadi ladang ekspresi keagamaan sangat terbuka. Dukungan televisi, media sosial yang memudahkan perkembangan ekspresi keagamaan, terbukti maraknya dakwah - dakwah serta majlis dzikir sebagai salah satu aktivitas spiritualitas masyarakat Muslim urban. Ungkapan - ungkapan sufisme baru di Indonesia, misalnya yang mengandung tren global dalam pemikiran keagamaan dan kultur sekuler telah menjadi menarik bagi Muslim kelas menengah dan kelas atas

5Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 181-210. 6Derya Iner and Salih Yucel (Ed), Muslim Identity Formation in Religiously Diverse Societies

(5)

88

sejak akhir abad yang lalu. Bentuk-bentuk sufisme ini telah dipromosikan melalui jalur-jalur komunikasi baru, terutama institusi-institusi pendidikan Islam bergaya universitas dan siaran-siaran di televisi islami.7

Aspek sosial keagamaan di atas bukanlah persoalan tunggal di Indonesia. Laju politik yang kuat di negeri ini bukan tidak mungkin berpengaruh pada karakteristik spiritualitas keagamaan masyarakat Muslim urban, dan potensi turbulasi sosial pun akan sangat mudah meledak ditengah-tengah masyarakat.

1. Religiousitas Masyarakat Muslim Urban

Keberagamaan masyarakat urban cenderung rasional dan kental dengan pengaruh modernitas sebuah kota di mana mereka bermukim. Perubahan kota berpengaruh pada tingkat keberagamaan masyarakat urban, baik pada wilayah interaksi maupun intensitas amalan peribadatannya. Bagaimana mereka mencari sebuah identitas keberagamaan yang dianggap berkontribusi dalam kehidupan mereka di sebuah lingkungan perkotaan. Pola keberagamaan yang diciptakan masyarakat urban tentu memiliki keunikan yang tidak ada dalam masyarakat pedesaan.

Karakteristik keberagamaan masyarakat perkotaan memiliki kecenderungan rasional dan paktis. Prinsip keagmaan yang dikembangkan

(6)

89

tidak sekhusyuk masyarakat pedesaan dengan kolektifitasnya. Dewasa ini ruang publik menjadi panggung dominan bagi ekspresi keagamaan masyarakat perkotaan. Sarana yang dicari masyarakat urban untuk memenuhi kebutuhan religiositasnya, yakni majlis-majlis yang teridentifikasi sebagai bagian dari diri mereka sebagai individu. Adanya transformasi pemikiran transendental dalam iklim masyarakat perkotaan yang serba modernis dan hedonistik merupakan suatu anomali tersendiri.

Transformasi ritus-ritus keagamaan masyarakat urban kental dengan nuansa zaman yang terus berkembang. Pasca reformasi, kebebasan berekspresi dan berserikat menjadi modal lebih bagi masyarakat perkotaan. Sehingga bukan tidak mungkin jika muncul kelompok-kelompok yang dengan leluas mengekspresikan keagamaannya di ruang publik. Kebutuhan spiritualisme masyarakat urban yang semakin tinggi dibuktikan dengan kian ramainya majlis pengajian di berbagai sudut kota. Munculnya berbagai macam ekspresi religiositas yang ditampilkan masyarakat perkotaan tersebut selain sebagai bentuk peningkatan religiositas juga dapat dimaknai sebagai bentuk era rekontruksi agama, atau lebih tepatnya

(7)

90

gerakan agama. Gejala tersebut juga dapat diistilahkan sebagai bentuk dari rekontruksi baru mengenai makna ketuhanan di tengah modernitas.8

Kemajuan teknologi yang berkembang telah membuat masyarakat modern menjadi gamang. Ketika kemajuan teknologi menjadi besar dan pengarusutamaan logika rasional menjadi utama menyebabkan masyarakat mengalami kekeringan iman. Adanya rekayasa genetika dan teknologi yang menjadi ikon manusia modern dalam menyelesaikan masalah justeru tidak menemukan solusi yang kuratif. 9 Kesalehan sosial

secara sederhana dimaknai sebagai ekspresi dan praktik perilaku orang-orang Islam yang peduli terhadap nilai-nilai Islam secara sosial, seperti menyumbang dana bantuan berupa infaq, shadaqah, maupun amal jariyah,

namun cenderung “abai” terhadap ibadah pribadi. Munculnya praktik

kesalehan sosial tersebut merupakan bentuk ekspresi flantropis dan juga spiritualis yang hendak dilakukan kelas menengah muslim Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tinggi dengan semakin meratanya redistribusi pendapatan berkelindan dengan kebutuhan akan donasi sosial tersebut.10

2. Kesalehan Sosial dalam Masyarakat Urban

8 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES,

2017), 119-120.

9 John Naisbitt, High Tech, High Touch: Technology and Our Search for Meaning (New York:

Broadway, 1999).

(8)

91

Religiositas masyarakat perkotaan tercermin pada interaksi simbolik dan identitas sebagai kekuatan komunikasi di ruang publik. Sehingga muncul kelompok keagamaan atau gerakan keagamaan yang terlembagakan, sebagaimana dijelaskan di atas, yakni majlis-majlis sebagai realitas ekspresi keagamaan masyarakat urban. Dorongan spiritualitas masyarakat urban melalui perilaku amal merupakan salah satu elemen pribada yang tertanam dalam manusia religius. Dalam konteks kapitalisme industri, menyediakan adanya permintaan kebutuhan yang aktif mengkontruksi cita rasa, imaji, nalar dan selera sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat modern. Maka semakin meningkatnya jumlah kelas menengah (urban) muslim diberbagai negara di dunia, memunculkan hasrat dan kenikmatan gaya hidup lainnya sebagaimana layaknya ikon gaya hidup masyarakat modern. Kelas menengah muslim ini memunculkan cita rasa tersendiri dalam memenuhi hasrat dan kebutuhan spiritualnya pula yang sama sekali bisa berbeda dengan tradisi keberagamaan sebelumnya. Sebagaimana terlihat misalnya pada kasus menjamurnya majelis-majelis dzikir di kelas menengah muslim perkotaan (urban society).11

Masyarakat kota yang sarat dengan gaya hidup modern barangkali menjadi pusat penentu dalam dimensi masyarakat pada umumnya. Dan

11Lihat Abdur Rozaki, “Komodifikasi Islam; Kesalehan dan Pergulatan Identitas di Ruang Publik, Jurnal Dakwah” Vol. XIV, No. 2 Tahun 2013, 201-202.

(9)

92

identitas merupakan wacana yang mengharuskan kita menjadi terafiliasi dengan simbolisme yang mengikat pada diri seseorang. Hal inilah yang kemudian acap kali menjadi pola sedimentasi sekaligus pula segregasi

antara “dia” dan “mereka”. Adanya kesenjangan interaksi yang timbul dari

proses tersebut dikarenakan adanya perbedaan simbol melekat pada diri seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Permasalahan identitas sebenarnya gejala post-modernisme maupun post-strukturalisme yang menggejala dalam masyarakat selama iklim globalisasi. Adanya dualisme yang melekat pada pola diskursus identitas tersebut merupakan bentuk dari suatu pelarian gejala modernisasi yang sudah mendekati rasa jenuh dalam masyarakat.12

Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosi-kultural. Dalam momen ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan sosio-kulturalnya. Pada momen ini pula, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga ada yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung eqri mampu tidaknya individu untuk menyesuaikan dengan

(10)

93

dunia sosio-kultrual tersebut. Secara konseptual, momen penyesuaian diri dengan dunia sosio - kultural tersebut.13

Dalam konteks pencapaian keagamaan masyarakat muslim sarat dengan nilai-nilai amalan sebagai kesalehan sosial, baik material maupun non-material. Dalam Islam kita mengenal shadaqah ataupun infak sebagai salah satu aktifitas keagamaan, yang diproyeksikan sebagai nilai-nilai kesalehan sosial. Pada aspek ini, secara substansi masyarakat muslim didorong oleh norma agama untuk saling memberi pada sesama manusia. Bagi masyarakat Muslim urban, barangkali ini bagian dari komunikasi simbolik sebagai ekspresi keagamaan yang kerap menjadi prioritas dibanding praktik keagamaan secara personal. Komunikasi masyarakat urban melalui tanda (bahasa) mampu membangun simbol-simbol yang dapat diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, juga mengembalikan simbol-simbol itu sebagai unsur-unsur obyektif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi unsur-unsur esensial dari kenyataan hidup sehari-hari masyarakat urban.14

Kesalehan sosial merupakan bagian dari sebuah proses pendefinisian ibadah agama Islam secara terapan dalam konteks kekinian. Artinya telah terjadi tafsir baru dalam memahami agama Islam pada kasus

13 Nur Syam, Islam Pesisir,, 249-250.

(11)

94

kalangan kelas menengah muslim. Ritual kesalehan sosial menjadi definisi baru bagi ritual keagamaan kelas menengah muslim dewasa ini, di mana melahirkan Islam gaya baru yang disesuaikan dengan tingkat religiositas kelas menengah Muslim Indonesia. Kejenuhan hidup manusia modern kemudian berupaya menoleh pada agama nampaknya telah menjadi suatu indikator dalam memasuki trend paska modernisasi. Sedangkan cara keberagamaan sufisme memberikan penguatan atas gejala tersebut. Karena kenyataannya cara ini ditempuh bukan saja oleh para penganut agama Islam, tetapi oleh hampir setiap penganut agama di berbagai belahan dunia. Di sana terdapat bagian umat dengan berbekal kesadaran baru yang sengaja mendalami spiritual secara spesifik.15

Dalam konteks religiusitas masyarakat kelas menengah Muslim Indonesia, muncul istilah urban sufisme di perkotaan sebagai kontruksi keimanan baru kelas menengah muslim. Sufisme dapat diartikan sebagai bentuk ritual untuk mendekatkan diri secara intim kepada sang kholik. Tujuan pendekatan diri ini adalah mencari ketenangan dan solusi atas segala permasalahan hidup. Pada umumnya, orang menjalani kegiatan sufisme untuk mencari solusi atas masalah setelah rasio dan akal tidak berhasil menyelesaikannya. Hal inilah yang mendorong masyarakat mencari

15 Lihat juga hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, ”Sufi Perkotaan”( Jakarta: 2009), 67-68.

(12)

95

solusi melalui jalan spiritual. Adanya transformasi pemikiran transendental dalam iklim masyarakat perkotaan yang serba modernis dan hedonistik merupakan suatu anomali tersendiri.16 Persoalan modernisasi yang paling

besar dan mendasar bagi Islam barangkali bukan apakah ia dapat memberi sumbangan pada modernisasi politik, keluarga atau personal, melainkan apakah ia dapat secara efektif memenuhi berbagai kebutuhan religius kaum Muslim modern itu sendiri.17

B. Islam dan Identitas Komunal dalam Masyarakat Multikultural

Perkembangan Islam di Jawa mengalami perubahan secara signifikan dan dinamis. Interaksi kebudayaan lokal dengan prinsip-prinsip Islam tradisional lahir sebagai warna ritual keberagamaan masyarakat Muslim urban di Kota Semarang. Sehingga kekuatan tradisi ritual yang berkembang dalam prinsip-prinsi pluralisme beragama dalam konteks masyarakat multikultural. Di sini, pluralisme dalam beragama erat berkaitan dengan ciri masyarakatnya yang beragam. Masyarakat Muslim urban dengan hibriditas kebudayaannya merupakan kekuatan kultural dalam aktivitas keberagamaannya. Ciri kota dengan karkter penduduk yang beragam dapat membentuk sikap keberagamaan masyarakatnya yang cenderung inklusif atau moderat. Seperti munculnya berbagai macam praktik kesalehan di atas sosial yang

16 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,119-121

17 Robet N. Bellah, Beyond Belief on Religion in a Post-Tradisionalist World (Jakarta:

(13)

96

dijelaskan di atas sangat erat kaitannya dengan munculnya pemahaman Islam moderat. Dalam konteks Indonesia pilihan kata tersebut merujuk pada terbentuknya Islam Indonesia yang insklusif dan mampu menjadi pedoman nilai dalam menentukan peradaban bangsa. Secara politis, Islam moderat ini merupakan respons dan juga sinergitas antara Islam Nusantara yang dipelopori oleh Nahdlatul Ulama dengan Islam Berkemajuan yang diinisiasi oleh Muhammadiyah. Dengan demikian, Islam moderat dapat dimaknai sebagai tampilan Islam khas Indonesia yang insklusif dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. 18

Berbasis jaringan global yang semakin ketat, lokalitas dan identitas semakin terkikis, di mana yang terjadi kemudian adalah krisis identitas sekaligus kehilangan makna kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, kehidupan modern yang terglobalkan telah memarjinalisir beberapa segmen masyarakat dan menimbulkan disorientasi hingga krisis sosial. Keadaan ini menurut Habermas bisa menganggu kemandirian integrasi masyarakat, yaitu integrasi sistem dan integrasi sosial. Integrasi sistem berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup melalui kerja dan berproduksi. Sedangkan integrasi sosial berkaitan dengan tatanan normatif, identitas sosial yang stabil, makna simbolis, dan tujuan dalam hidup.26 Dalam pandangan Habermas, munculnya gerakan sosial baru (new social movement)

(14)

97

berkaitan dengan perjuangan terhadap bentuk-bentuk baru pengetahuan instrumental dan komunikatif serta perubahan sosial ekonomi.19

Kesadaran komunal masyarakat Muslim urban diiringi dengan tumbuhnya komunitas-komunitas pengajian di Masjid-Masjid. Bangkitnya modernitas yang diiringi dengan munculnya budaya global pada akhirnya menimbulkan alienasi hingga melahirkan krisis kepercayaan dan identitas pribadi. Dengan perkembangan dunia yang serba modern, kepercayaan terhadap prinsip impersonal maupun terhadap orang lain yang tidak dikenal menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi sosial.20 Hal ini dikuatkan oleh Gidden bahwa di era modern

kepercayaan pada level personal menjadi suatu proyek yang dikerjakan oleh pihak-pihak yang terlibat, dan hal itu semua membutuhkan keterbukaan seorang individu terhadap orang lain. Ketika tidak dapat dikontrol oleh aturan-aturan normatif yang tetap, maka kepercayaan harus diperoleh, sedangkan sarana untuk mencapainya adalah kehangatan dan keterbukaan. Lebih lanjut Gidden memberikan penjelasan tentang hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, di mana kepercayaan bukan sesuatu yang telah ada sebelumnya, melainkan sesuatu yang harus dikerjakan, dan kerja yang dimaksud dalam hal ini adalah proses timbal balik kerterbukaan diri.21

Tuntutan untuk bersikap terbuka ini tidak jarang menimbulkan ketakmampuan dan

19Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 195. 20Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 191-192. 21 Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi

(15)

98

ketakberdayaan, maka yang terjadi kemudian adalah keterasingan diri. Untuk menghindarinya, mereka mencoba menjelma menjadi orang lain supaya lebih dikenal. Interpretasi pencarian identitas diri ini cenderung menghasilkan sikap narsis dan bergaya hedonis.22

Ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm yang menyatakan bahwa perilaku

seseorang itu selalu diiringi oleh dua modus atau motif, yaitu “mempunyai” dan “menjadi”. Pada kondisi khusus seseorang mempunyai keinginan menunjukkan

eksistensi dirinya, di mana yang ini adalah kebutuhan inheren untuk mengatasi keterasingan seseorang dengan jalan menyatukan diri dengan orang lain. Selanjutnya Fromm menegaskan bahwa kebudayaan dapat menumbuhkan

ketamakan, yang berarti eksistensi “memiliki” satu potensi manusia, dan pada sisi

lainnya kebudayaan juga dapat menumbuhkan keadaan “menjadi” atau “membagi”.

Pada kondisi inilah nilai-nilai hedonis terpupuk dan pada gilirannya sikap narsis bermunculan, dan pada satu titik mengakibatkan kekaburan identitas.23

The two sides differed in the ways they thought human beings could be saved from the danger of being transformed into things. The romantics on

the right believed that the only way to stop the unhindered “progress” of

the industrial system and to return to prevous forms of the social order, though with some modifications. The protest from the left may be called radical humanism, even though it was sometimes expressed in theistic and sometimes in nontheistic terms. The socialists believed that the economi development not be halted, that one could return to a prevous from of

22 Giddens, The Consequences

23 Lihat juga, Erich Fromm, To Have or To Be (Continuum: London - New York, 1976),

(16)

99

social order, and that the only way to salvation lay in going forward and creating a new society that would free people from alienation, from submission to the machine, from the fate of being dehumanized. Socialism was the synthesis of medieval religious tradition and the post-Renaissance spirit of scientific thinking an political action. It was, like Buddhism, a

“religious” mass movement that, even though speaking in secular and atheistic terms, aimed at the liberation of human beings from selfshiness and greed.

Gejala modernisme di atas berdampak pada kedangkalan dalam beragama, bersosial dan identitas Indonesia. Mempertahankan tradisi lokalitas yang dirumuskan di publik merupakan identitas baru masyarakat urban sebagai eksistensi sosialnya. Sehingga kesadaran komunal sebagai identitas masyarakat urban dapat dielaborasi dengan lahirnya hibriditas kebudayan serta kolektifitas masyarakat urban dalam multikulturalisme ini. Karenanya, Kota Semarang sebagai kota multikultural dapat dirumuskan melalui relasi kebudayaan antar etnis yang telah berkembang menjadi sebuah identitas baru.

1. Hibriditas Kebudayaan masyarakat Muslim Urban

Konsep budaya harus bersedia untuk menerima kontradiksi juga mampu memahami bentuk hibrida, menoleransi perbedaan dan menerima konsekuensi potensi kontruksi atas realitas yang ada.24 Masyarakat Muslim

di Kota Semarang mampu merumuskan ruang bersama dalam membangun kekuatan kultural sebagai masyarakat urban. Berkembangnya perayaan

24 Claudio Baraldi (ed.), Andrea Borsari (ed.), Augusto Carli (ed.), Hybrids, Differences,

(17)

100

kebudayaan etnis di Kota Semarang tak lepas dari kontribusi relasi etnisitas masyarakat urban yang begitu beragam. Adanya kampung-kampung etnis dengan struktur ruang kota turut berkontribusi membangun karakteristik masyarakatnya. Sebagaimana rumah-rumah rakyat di Jawa, rumah asli orang Semarang pada umumnya sama dengan rumah orang-orang kebanyakan di daerah lain. Namun yang sedikit membedakan adalah struktur pembagian ruang, dinding, dan daun pintu. Pembagian ruang rumah orang Jawa pedalaman apalagi kaum priyayi sangat detil. Menurut Kevin Lynch, kota sebagai tempat pemukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi dianggap baik bila anak-anak dapat tumbuh dan berkembang. Jadi, merupakan tempat mereka membangun kepercayaan diri dan menjalani kegiatannya di dunia mereka, menjadi mandiri dan mampu mengatur pekerjaan mereka.25

Identitas dan karakteristik masyarakat urban di kota Semarang adalah salah satu ekspresi keberagamaan dalam multikulturalisme di Indonesia. Di samping itu masyarakatnya yang mayoritas pedagang, kota Semarang secara geografis juga merupakan salah satu kota dengan nuansa kampung santri dari sekian banyak kota di Indonesia. Meminjam apa yang

(18)

101

disampaikan Djawahir Muhammad, budayawan terkemuka di Semarang bahwa Semarang sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai kota perdagangan, masyarakatnya selain kosmopolit juga punya spirit sebagai pedagang. Pasalnya pedagang memiliki prinsi bahwa lebih baik jadi juragan kecil daripada jadi kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh terhadap pola keberislamannya.26

2. Kolektifitas masyarakat Muslim Urban dalam Multikulturalisme

Kenyataan sosial masyarakat multikultural menjadi salah satu alasan kuat solidaritas sosial itu terbentuk. Mengingat bahwa solidaritas sosial diperlukan dalam konteks pergumulan nasional dan internasional. Pada level nasional, Indonesia berjuang untuk membangun kehidupan bersama berdasarkan pancasila. Pada tataran politik, pancasila menjadi kekuatan struktural. Hanya saja, ideologi nasional itu tidak berperan tanpa solidaritas sosial. Pancasila hanya menyediakan landasan filosofis bernegara dan menginspirasi produk hukum nasional. Membatasi hubungan hanya berdasarkan filosofi bernegara dan aturan hukum saja berarti memasung relasi sosial dalam kerangka legalitas formal, yang berarti hubungan dibangun karena kekuatan yang memaksa. Proses politik gagal menciptakan solidaritas communion of communities. Relasi sosial dibatasi pada kelompok

(19)

102

monokultur, kebenaran dikerdilkan dengan single story dan dogma primordial dipaksakan pada ruang publik.27 Pada situasi demikian kerap

terjadi persinggungan antara identitas primordial-nasional yang saling mendominasi, karenanya perlu ada formulasi yang tepat untuk menjadikan dua identitas (primordial dan nasional) itu untuk tidak saling berpunggungan.

Prinsip religiositas masyarakat Muslim urban di Kota Semarang juga memiliki ritual-ritual simbol keagamaan yang dilaksanakan sebagai tradisi masyarakat. Selain ritual ibadah yang telah diwajibkan agama masing-masing, ritual tersebut telah mentradisi dan dilakukan kolektif oleh masyarakat secara turun-temurun dengan tata cara tertentu. Melalui proses tersebut terjadi akulturasi antara nilai-nilai agama yang dianut dengan budaya etnik tertentu, bahkan ada yang merupakan akulturasi multikultural (hibryd culture). Terlebih dalam sejarahnya Kota Semarang menjadi kota banyak disinggahi dari berbagai etnis pendatang dari berbagai negara.28 Desiminasi sebuah tradisi melalui simbol-simbol lokalitas etnis

salah satu upaya membangun solidaritas sosial keagamaan. Di Kota

27Izak Y. M. Lattu, Menolak Narasi Tunggal; Diskursus Agama, Pluralisme dan Demokrasi

(Salatiga: UKSW Press, 2018), 132-133

(20)

103

Semarang, hal tersebut tumbuh sdengan proses yang panjang sejak kota tersebut dibentuk.29

Relasi sosial keagamaan melalui tradisi yang berkembang di Kota Semarang ini menunjukkan bahwa tradisi masyarakat Muslim urban tetap terjaga. Warna keislaman masyarakat urban Kota Semarang memiliki kekhasan dengan basis Islam tradisional yang masih kuat di wilayah pinggir. Tradisi ini juga merupakan ritual yang dapat menguatkan solidaritas sosial masyarakat urban di Kota Semarang. Hal demikian mampu merumuskan simbol-simbol ritual warisan leluhur sebagai tameng tradisi yang kuat sebagai masyarakat urban. Masyarakat urban membangun tradisi kolektif tidak melulu dihubungkan dengan pembagian kerja, namun di Kota Semarang masyarakatnya masih memiliki perayaan kebudayaan mengikat sebagai solidaritas sosial.30

29 Lihat Bab III,,,.

(21)

104

Dukungan historis tentang semarang dan Islam di Semarang Hibriditas Muslim urban bagian dari identitas urban

Sosiologi perkotaan

Mobilisasi sosial dari masjid k masjid

Proses sosial masyarakat urban di kota semarang Terbentuknya identitas muslim urban:

Majlis-Masjlis di Masjid Tasawuf urban/Sufisme urban

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan perpindahan arus lalu lintas ke Semarang Outer Ring Road (SORR) dimana pada tahun 2020 jalan itu beroperasi didapatkan besarnya arus lalu lintas

Standar Praktik Keperawatan Indonesia (PPNI, 2005); International Classification of Nursing Practice – Diagnosis Classification (Wake, 1994) ; Doenges & Moorhouse’s

Pemberian pupuk bokashi jerami padi berpengaruh meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah, hal ini diduga karena bahan organik yang terkandung di dalam pupuk

Unit ini berlaku untuk menggunakan kosakata dan menggunakan kalimat sederhana yang terkait dengan benda-benda yang digunakan dalam melaksanakan tugas pekerjaan dapur yang

kutani va swi vona ni ku tiva leswaku wena Xikwembu hi wena ntsena loyi va nga ala ku n'wi amukela.. Hikokwalaho va

Jika kardinalitas , maka pasti bukan partisi pembeda dan pasti akan ditemukan sedikitnya dua titik dengan representasi yang sama.. Untuk itu, sedikitnya ada 3

Relasi keruangan merupakan kemampuan untuk memahami bentuk suatu benda atau bagian – bagian dari benda tersebut serta memahami hubungan antara bagian yang satu

Setelah menyusun variabel yang ada di variabel view, maka tahap selanjutnya adalah dengan mengentri kuesioner pada kolom dataview seperti tampilan yang ada