• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepatuhan Dan Perilaku Covidiot Masyarakat Pada Protokol Covid-19 (Studi Kasus di Kelurahan Oi Fo o Kota Bima)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kepatuhan Dan Perilaku Covidiot Masyarakat Pada Protokol Covid-19 (Studi Kasus di Kelurahan Oi Fo o Kota Bima)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kepatuhan Dan Perilaku “Covidiot” Masyarakat Pada Protokol Covid-19

(Studi Kasus di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima)

Muhamad Iptidaiyah1; Abdul Kadir2; Junaidin3; Ahmad Usman4

1,2,3Program Studi Ilmu Administrasi Negara 4Program Studi Ilmu Komunikasi

Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Mbojo Bima Korenspondensi email: iptidaiyah86@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: 1) Untuk mengetahui kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima. 2) Untuk mengetahui kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam penggunaan alat pelindung diri (masker) di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima. 3) Untuk mengetahui kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam menjaga kebersihan diri (cuci tangan) di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima. 4) Untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku “covidiot” masyarakat pada Covid-19 di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima. Jenis penelitian yaitu deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini di antaranya : pegawai kelurahan, pengurus lembaga sosial kelurahan, tokoh masyarakat dan masyarakat umum di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima. Penentuan informan dalam penelitin ini penulis menggunakan teknik purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan yaitu analisis secara deskriptif kualitatif, yang dimulai dari reduksi data, display data, dan verifikasi dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitiannya yakni: pertama, sehubungan dengan kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, hasilnya masyarakat belum patuh terhadap protokol Covid-19. Kedua, sehubungan dengan Kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam penggunaan alat pelindung diri (masker) di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, hasilnya masyarakat belum patuh terhadap protokol Covid-19. Ketiga, sehubungan dengan kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam menjaga kebersihan diri (cuci tangan) di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, hasilnya masyarakat belum patuh terhadap protokol Covid-19. Keempat, bentuk-bentuk perilaku covidiot masyarakat pada Covid-19 di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, teridentifikasi, sebagai berikut : menyangkal; merasa kebal; memberontak; impulsif; berpikir covid-19 adalah alat politik; dan egois.

Kata Kunci : Kepatuhan, Perilaku “Covidiot”, Masyarakat, Protokol Covid-19

PENDAHULUAN

Pandemi Covid-19 kini menjadi realitas sosial pahit dan menyakitkan yang harus dihadapi masyarakat dunia, tidak ketinggalan Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 ini menciptakan kematian (death), penyakit (disease), kekurangnyamanan (discomfort),

kekurang-puasan (dissatisfication), dan

kemelaratan (destitusion) (Subair, 2020). Oleh karena itulah untuk menanggulangi

pandemi Covid-19 tidak hanya dilakukan dengan intervensi di bidang kesehatan saja, tetapi harus dilakukan secara terpadu (lintas sektoral), termasuk soal kepatuhan, ketaatan dan kedisiplinan masyarakat.

Tentu hal yang kini sudah dilakukan oleh para peneliti diberbagai dunia, yaitu melakukan etiologi atau penelitian untuk mengetahui sebab dan muasal secara pasti virus corona. Selain etiologi, tindakan

(2)

pengobatan (curing) dan perawatan (caring) pada pasien yang diduga dan terjangkit virus corona dilakukan dengan serius. Namun tidak hanya etiologi, curing, dan caring saja yang harus dilakukan. Proses intervensi sosial juga perlu dilakukan. Hal ini sebagai upaya penanganan secara lintas sektoral (Tuwu, 2020).

Intervensi sosial dilakukan sebagai upaya mengantisipasi kondisi masyarakat yang disorganisasi dan disfungsi sosial. Dengan adanya intervensi sosial, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sosial atau

mencegah individu atau kelompok

masyarakat tertentu mengalami disfungsi akibat fenomena wabah virus corona.

Intervensi sosial yang dapat dilakukan oleh negara, antara lain: memberikan pelayanan sosial, pelayanan fisik, pelayanan psikososial, pelayanan keterampilan dalam mencegah agar tidak terjangkit virus corona atau ketrampilan hidup sehat, pelayanan

spiritual, pelayanan pendampingan,

pelayanan advokasi, dan pelayanan edukasi atas informasi seputar virus corona. Intervensi sosial ini juga harus dilakukan oleh tenaga yang ahli dibidangnya, jangan hanya

sebatas memenuhi proyek kemudian

menggunakan tenaga yang bukan ahli dibidangnya. Intervensi sosial ini juga dapat dilakukan dengan level sasaran berupa individu, keluarga, kelompok sosial tertentu, atau komunitas.

Sejak pandemi Covid-19 memapar Indonesia telah banyak menelan korban jiwa. Ratusan ribu orang telah terinfeksi, ribuan orang meninggal dunia, dan jutaan orang telah merasakan dampak negatif dari wabah tersebut. Jumlah orang terinfeksi dan meninggal dunia akibat Covid-19 terus meningkat dari waktu ke waktu, bahkan

hingga sekarang kurvanya terus menunjukkan

peningkatan jumlah. Pemerintah telah

melakukan berbagai upaya mengatasi

penularan virus ini, baik pencegahan maupun penanganan korban terinfeksi namun belum mampu meredam penyebaran wabah Covid-19.

Sederet kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 seperti kebijakan: (1) berdiam diri di rumah (stay at home); (2) pembatasan sosial (social distancing); (3) pembatasan fisik (physical distancing); (4) penggunaan alat pelindung diri (masker); (5) menjaga kebersihan diri (cuci tangan); (6) bekerja dan belajar di rumah; (7) menunda semua kegiatan yang mengumpulkan orang banyak; (8) Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB); hingga terakhir, (9) pemberlakuan kebijakan

new normal (Tuwu, 2020). Semua kegiatan

pabrik, industri, pendidikan, perkantoran, kegiatan sosial, budaya, ekonomi, politik hingga kegiatan keagamaan dilakukan di rumah.

Namun, kesan yang sangat menonjol dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 adalah pemerintah kesulitan memperoleh

kepatuhan, ketaatan dan kedisiplinan

masyarakat untuk mentaati kebijakannya terkait penanganan pandemi tersebut.

Berbagai kebijakan ataupun himbauan

pemerintah terkesan diabaikan atau tidak dipatuhi masyarakat. Mulai dari himbauan menjaga jarak, tetap di rumah, sampai dengan penggunaan masker seperti tak dihiraukan. Terbukti masyarakat tetap banyak beraktifitas di luar rumah. Kerumunan warga juga masih tampak dimana-mana. Bahkan menjelang lebaran, masyarakat beraktifitas secara “normal”, berhimpitan di mal, di pasar, di stasiun dan terminal.

(3)

Masyarakan pun masih tetap nekad

melakukan mudik meski pemerintah

mengeluarkan larangan mudik. Untuk

mengamankan kebijakannya, pemerintah terpaksa mengerahkan aparat keamanan (Polisi, TNI, Satpol PP, dan instansi lain) secara besar-besaran. Pengerahan aparat keamanan untuk mengamankan masyarakat agar patuh terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkait COVID-19 pada akhirnya akan memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah (Tuwu, 2017). Konflik antara masyarakat dengan pemerintah sudah banyak terjadi di tempat lain, hanya saja kasus dan masalah yang dikonflikkan berbeda. Pada tulisan ini, konflik terjadi karena masyarakat tidak patuh dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Ketidakpatuhan masyarakat terasa agak aneh karena imbauan dan kebijakan tersebut sebenarnya demi keselamatan bersama. Tetapi dalam kenyataan di masyarakat tidak ada kesepahaman antara pemerintah dengan masyarakat. Jadi di sini terjadi konflik berupa benturan pendapat atau perbedaan sikap antara pemerintah dengan yang diperintah (Tuwu, 2018).

Karena itu menarik untuk dikaji secara

mendalam apa yang menyebabkan

masyarakat terkesan mengabaikan kebijakan dan himbauan pemerintah dalam pencegahan dan penanganan Covid-19.

Fenomena ketidakpatuhan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan Covid-19 terkesan aneh karena dua hal,

pertama, masyarakat sesungguhnya mengetahui serta sadar akan dampak dan bahaya wabah tersebut namun enggan untuk mengikuti anjuran pemerintah dalam upaya pencegahannya. Kedua, pemerintah memiliki legitimasi yang cukup kuat melalui Pemilu

namun kebijakannya dalam upaya

pencegahan dan penanganan Covid-19

terkesan sulit memperoleh kapatuhan

masyarakat.

Salah satu perilaku yang disinyalir menghambat penanganan Covod-19 yakni perilaku “covidiot”. "Covidiot" sebagai istilah yang menghina bagi seseorang yang

mengabaikan nasihat kesehatan

tentang Covid-19. "Covidiot" sebagai seseorang yang mengabaikan peringatan

tentang kesehatan atau keselamatan

masyarakat. Seseorang yang menimbun barang, dari tetangga mereka. Sebagaimana dilansir dari laman Health, covidiot adalah mereka yang tidak menganggap serius Covid-19 dan risikonya, terlepas dari apa yang dikatakan pejabat pemerintah dan komunitas kesehatan global.

Berdasarkan pengamatan sepintas di lokasi penelitian, kepatuhan masyarakat pada protokol Covid-19 masih sangat rendah. Masih banyak masyarakat yang mengabaikan kebijakan berdiam diri di rumah; pembatasan sosial; pembatasan fisik; penggunaan alat pelindung diri (masker); menjaga kebersihan diri (cuci tangan); bekerja dan belajar di rumah; menunda semua kegiatan yang

mengumpulkan orang banyak; dan

mengabaikan pemberlakuan kebijakan new normal atau kehidupan dengan normal baru.

Bukti lain, belum patuhnya masyarakat terhadap protokol Covid-19 yakni banyak warga yang dirazia karena tidak patuh untuk memakai masker, lebih 500 masyarakat di Kota Bima yang dirazia dan diberi sanksi berupa denda uang, denda fisik, seperti push

up dan lari, dan denda menghafal Pancasila,

dan lain-lain.

Mengacu permasalahan di atas yang menjadi alasan penulis untuk meneliti tentang

(4)

“Kepatuhan dan Perilaku “Covidiot” Masyarakat pada Protokol Covid-19 di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima.”

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Perilaku “Covidiot”

Kamus Macmillian (Anonymous,

2020:45) mendefinisikan "covidiot" sebagai istilah yang menghina bagi seseorang yang

mengabaikan nasihat kesehatan

tentang Covid-19. Sedangkan Urban

Dictionary mengambil pendekatan yang

hampir sama, dengan mendefinisikan "covidiot" sebagai seseorang yang mengabaikan peringatan tentang kesehatan atau keselamatan masyarakat. Seseorang yang menimbun barang, dari tetangga mereka.

Dilansir dari laman Health, Covidiot adalah mereka yang tidak menganggap serius Covid-19 dan risikonya, terlepas dari apa yang dikatakan pejabat pemerintah dan komunitas kesehatan global.

Dijelaskan Covidiot (kata benda), memiliki dua definisi. Pertama, a stupid

person who stubbornly ignores 'social distancing’ protocol, thus helping to further spread covid-19. Terjemahan bebasnya bisa

diartikan sebagai seorang yang bodoh yang keras kepala, tak mengindahkan aturan menjaga jarak atau social distancing, sehingga berkontribusi dalam penyebaran covid-19. Contohnya: 'Are you seriously going to visit

grandma? Dude, don’t be such a covidiot'

(Anonymous, 2020:47).

Definisi kedua, a stupid person who

hoards groceries, needlessly spreading covid-19 fears and depriving others of vital supplies.

Terjemahan bebasnya adalah orang bodoh yang menimbun belanjaan, menyebarkan ketakutan covid-19 yang tidak perlu dan

merampas persediaan vital orang lain. Contoh dalam kalimat, ’See that guy with the 200

toilet paper rolls? What a covidiot’

(Anonymous, 2020:49).

2. Bentuk-bentuk Perilaku “Covidiot” dan Protokol Covid-19

Ada beberapa tanda yang menjelaskan apakah seseorang masuk dalam kelompok “Covidiot” atau tidak.

Pertama, menyangkal. Menyangkal bermakna : 1) mengingkari; tidak mengakui;

tidak membenarkan contoh: 'ia

telah menyangkal segala tuduhan';

2) membantah; melawan; menentang;

menyanggah contoh: 'sekarang ada murid yang berani menyangkal perintah gurunya'. 3) menolak.

contoh: 'ia menyangkal permintaan

atasannya untuk memegang jabatan yang tidak sesuai dengan pendidikannya'

Beberapa orang tidak memahami pentingnya situasi ini. Mereka biasanya akan menyangkal bahwa virus itu ada atau tidak seburuk yang diberitakan oleh media massa. Kedua, merasa kebal. Kebal, berarti : 1) Tidak dapat dituntut dalam perkara.

Contoh: sekalian anggota

parlemen kebal ketika berbicara dalam

sidang; 2) Tidak mempan senjata; 3) Tidak dapat terlukai oleh senjata. Contoh: ia memang kebal, kabarnya peluru pun tidak mempan terhadapnya; 4) Tidak dapat terkena

sakit; 5) Tahan terhadap penyakit.

Contoh: kalau sudah disuntik tcd, tubuh akan kebal terhadap penyakit tipus, kolera dan disentri; 6) Tidak mempan oleh caci maki; 7) Tidak malu lagi biarpun dicaci maki. 8) Tebal kulit. Contoh: karena biasa diperlakukan secara kasar akhirnya ia kebal terhadap caci maki

(5)

Covidiot cenderung berpikir bahwa mereka kebal terhadap virus dan tidak akan sakit parah. Padahal, meskipun mereka merasa baik-baik saja, mereka bisa saja membawa virus dan menularkannya. Dalam banyak hal, ini adalah tanggung jawab sosial bagi orang untuk berkomitmen mengurangi transmisi virus.

Ketiga, memberontak. Memberontak berasal dari kata dasar berontak. Ada tiga arti yang ditemukan untuk kata berontak; pertama, meronta-ronta hendak melepaskan diri; kedua, melawan, tidak mau menurut perintah; ketiga, melawan pemerintah atau kekuasaan.

Segmen tertentu dari populasi hanya

ingin menjadi non-konformis dan

memberontak terhadap norma-norma

sosial. Ini telah dianggap dapat diterima di masa lalu, tetapi tidak sekarang selama pandemi yang mematikan.

Keempat, impulsif. Impulsif memiliki arti bersifat cepat bertindak secara tiba-tiba menurut gerak hati. Sehingga apabila perilaku seseorang yang tiba-tiba berubah, tiba-tiba di luar rencana, atau sebuah sikap yang tidak didukung alasan yang kuat. Dan pada umumnya sikapnya tergolong irrasional. Maka disimpulkan individu tersebut termasuk pribadi impulsif. Ciri pribadi impulsif adalah kalau bicara atau berbuat seringkali tidak

disertai alasan-alasan atau

penalaran-penalaran.

Perilaku kompulsif dan impulsif adalah istilah yang menggambarkan dua bentuk perilaku, dan memiliki perbedaan di antara keduanya. Menjadi kompulsif adalah ketika seseorang memiliki dorongan yang tak tertahankan untuk melakukan sesuatu. Menjadi impulsif adalah ketika seseorang bertindak berdasarkan instingnya

Ini sangat mungkin terjadi setelah berbulan-bulan hidup di bawah pembatasan sosial. Beberapa orang menjadi lebih impulsif dan melakukan hal berbahaya

seperti membuat keramaian dengan

mengadakan pesta, acara barbeque, atau kumpul-kumpul yang tidak perlu.

Kelima, berpikir Covid-19 adalah alat politik. Keamanan publik terkait Covid-19 dihubungkan sebagai hal politis bagi orang-orang tertentu. Populasi ini pun jadi melihat jarak sosial dan pemakaian masker sebagai sekadar alat politik.

Keenam, egois. Egois yaitu seseorang yang suka mengutamakan (menonjolkan) diri, selalu merasa keinginannya adalah hal yang penting. Egois berarti tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain atau segala perbuatan dan tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri

Hal utama soal covidiot tentu saja sifat

egois. Mereka lebih mementingkan

kepentingan dan kepuasan diri sendiri daripada kebaikan masyarakat yang lebih besar dalam memerangi Covid-19.

Sederet kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 seperti kebijakan: (1) berdiam diri di rumah (stay at home); (2) pembatasan sosial (social distancing); (3) pembatasan fisik (physical distancing); (4) penggunaan alat pelindung diri (masker); (5) menjaga kebersihan diri (cuci tangan); (6) bekerja dan belajar di rumah; (7) menunda semua kegiatan yang mengumpulkan orang banyak; (8) Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB); hingga terakhir, (9) pemberlakuan kebijakan

new normal (Tuwu, 2020). Semua kegiatan

(6)

kegiatan sosial, budaya, ekonomi, politik hingga kegiatan keagamaan dilakukan di rumah.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Moleong (2012) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian.

Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima. Fokus penelitian meliputi : kepatuhan masyarakat pada protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik; kepatuhan masyarakat pada protokol Covid-19 dalam penggunaan alat

pelindung diri (masker); kepatuhan

masyarakat pada protokol Covid-19 dalam menjaga kebersihan diri (cuci tangan); dan

bentuk-bentuk perilaku “covidiot”

masyarakat pada Covid-19.

Jenis dan sumber data yaitu data primer dan sekunder Menurut Deni Darmawan (2013) data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari narasumber/responden; data sekunder yaitu, data yang diperoleh dari dokumen/publikasi/laporan penelitian dari dinas/instansi maupun sumber data lainnya yang menunjang.

Teknik sampling yang digunakan adalah

porpusive dan snowball sampling. Menurut

Sugiyono (2017), purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Snowball

sampling adalah teknik pengambilan sampel

sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Dalam hal ini peneliti mengambil informan yakni kepala

kelurahan, sekretaris kelurahan, staf

administrasi kelurahan, dan masyarakat yang

dianggap tahu dan bisa memberikan informasi tentang fokus penelitian.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi. Sugiyono (2017) observasi

adalah metode pengumpulan data mengadakan pengamatan secara langsung terhadap situasi yang kompleks yang mengutamakan pengamatan dan ingatan;

wawancara adalah percakapan yang

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

yang mengajukan pertanyaan dan

terwawancara yaitu yang memberikan

jawaban atas pertanyaan; dokumentasi adalah berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya. Teknik analisa data yaitu data redutacion (reduksi data); data

display (penyajian data); conclution drawing

(penarikan kesimpulan).

Pengujian keabsahan data dalam

penelitian ini dikutip dari Sugiyono (2017) sebagai berikut: uji kredibilitas; pengujian

transferability; pengujian dependability;

pengujian konfirmability.

PEMBAHASAN

1. Kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik

Kaitan dengan kepatuhan masyarakat pada protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik, hasilnya masih banyak bahkan mayoritas masyarakat Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima tidak patuh. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa masih banyak bahkan mayoritas masyarakat Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima tidak patuh pada protokol kesehatan Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik. Bentuk protokol kesehatan Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik yang mesti diindahkan atau dipatuhi adalah hindari berinteraksi

(7)

dengan orang yang menunjukkan tanda-tanda mengalami sakit; jika bekerja dalam jarak dekat dengan rekan kerja, pastikan untuk menjaga jarak hingga dua meter, jika tidak memungkinkan, setidaknya hingga satu meter paling dekat; hindari untuk berkumpul di area publik; dan hindari hadir di pertemuan besar atau kerumunan orang.

Ketidakpatuhan atau kepatuhan yang merusak berarti tindakaan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan orang lain atau dirinya sendiri. Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu: pertama, orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggungjawab atas tindakan mereka; kedua, orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang menunjukan status mereka. Hal ini menimbulkan norma “patuhilah orang yang memegang kendali”. Norma ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan dengannya, sebagian besar orang merasa sulit untuk mematuhinya. Ketiga, adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya. Keempat, situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.

2. Kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam penggunaan alat pelindung diri (masker)

Kaitan dengan Kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam penggunaan alat pelindung diri (masker), hasilnya masih

banyak bahkan mayoritas masyaratak

Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima tidak patuh. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa masih banyak bahkan mayoritas

masyarakat Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima tidak patuh terhadap kepatuhan masyarakat pada protokol Covid-19 dalam penggunaan lat pelindung diri (masker). Bentuk kepatuhan masyarakat pada protokol Covid-19 dalam penggunaan alat pelindung diri (masker) yang mesti diindahkan atau dipatuhi adalah pertama, sebelum memasang masker, cuci tangan pakai sabun dan air mengalir (minimal 20 detik) atau bila tidak tersedia, gunakan cairan pembersih tangan (minimal alkohol 60%); kedua, pasang masker untuk menutupi mulut dan hidung dan pastikan tidak ada sela antara wajah dan masker; ketiga, hindari menyentuh masker saat digunakan; bila tersentuh, cuci tangan pakai sabun dan air mengalir minimal 20 detik atau bila tidak ada, cairan pembersih tangan (minimal alkohol 60%); keempat, ganti masker yang basah atau lembab dengan masker baru (masker medis hanya boleh digunakan satu kali saja dan masker kain dapat digunakan berulang kali); dan kelima, untuk membuka masker: lepaskan dari belakang (jangan sentuh bagian depan masker).

Ketidakpatuhan yaitu ketidakmampuan

mempraktikkan perilaku berhubungan

dengan kesehatan yang dianjurkan sebagai akibat dari kurangnya sumber (Taylor dan Ralph dalam Subair, 2020).

Menurut Bulecheck, Butcher,

Dochterman dan Wagner (Subair, 2020) bahwa ketidakpatuhan adalah perilaku individu dan atau pemberi asuhan yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik yang ditetapkan oleh individu (dan atau keluarga dan atau komunitas) serta professional pelayanan kesehatan. Perilaku pemberi asuhan atau individu yang tidak mematuhi ketetapan, rencana promosi kesehatan atau terapeutik secara keseluruhan

(8)

atau sebagian dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif secara klinis atau sebagian tidak efektif.

Ketidakpatuhan merupakan perilaku individu dan atau pemberi asuhan tidak

mengikuti rencana perawatan atau

pengobatan yang disepakati dengan tenaga kesehatan, sehingga menyebabkan hasil perawatan atau pengobatan tidak efektif (PPNI dalam Subair, 2020).

Ketidakpatuhan dalam melakukan

upaya pencegahan penularan virus corona akan meningkatkan resiko untuk tertular penyakit (Gumelar dan Ardyanto dalam Tuwu,

2020). Kepatuhan terhadap protokol

pencegahan penularan sangat penting

dilakukan. Pada pandemi covid

memperlambat penyebaran virus corona (Covid-19) adalah jalan keluar yang terbaik. Upaya yang bisa dilakukan dilakukan oleh semua pihak di dalam maupun di luar rumah, seperti social distancing, menggunakan masker ketika di luar rumah, sering melakukan cuci tangan, segera membersihkan diri setelah bepergian (Asyary dan Veruswati, 2020; Setiati dan Azwar, 2020 dalam Tuwu, 2020).

3. Kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik

Kaitan dengan kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik, hasilnya masih banyak bahkan mayoritas masyaratak Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima tidak patuh.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa masih banyak bahkan mayoritas masyarakat Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima tidak patuh terhadap pada protokol kesehatan Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik. Bentuk protokol kesehatan Covid-19 dalam

pembatasan sosial fisik yang mesti diindahkan atau dipatuhi adalah hindari berinteraksi dengan orang yang menunjukkan tanda-tanda mengalami sakit; jika bekerja dalam jarak dekat dengan rekan kerja, pastikan untuk menjaga jarak hingga dua meter, jika tidak memungkinkan, setidaknya hingga satu meter paling dekat; hindari untuk berkumpul di area publik; dan hindari hadir di pertemuan besar atau kerumunan orang.

Ketidakpatuhan sebagai mana

dikemukakan Notoatmodjo (2007) adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak mau mengikuti petunjuk atau perintah yang diberikan kepadanya.

Ketidakpatuhan adalah bertingkah laku tidak sesuai dengan peraturan yang dilakukan

dalam pengambilan keputusan untuk

melaksanakan peraturan. Ketidakpatuhan klien adalah sejauhmana perilaku klien tidak sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh propesional kesehatan (Niven dalam Subair, 2020).

Dinicola dan Dimatteo (Subair, 2020), mengusulkan 5 cara untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien, yaitu : pertama,

mengembangkan tujuan kepatuhan.

Seseorang akan dengan senang hati

mengemukakan tujuannya mengikuti

program pengobatan jika memiliki keyakinan dan sikap positif, dengan cara kontrak tertulis juga dapat meningkatkan kepatuhan. Kedua, perilaku sehat yang dipengaruhi oleh

kebiasaan. Sikap pengontrolan diri

membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri terhadap perilaku yang baru. Ini merupakan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi juga untuk mempertahankan perubahan tersebut. Ketiga, pengontrolan perilaku. Faktor kognitif

(9)

juga berperan penting dalam mengatasi ketidakpatuhan. Menurut Janis dan Rodin (1979) mengatakan bahwa ketidakpatuhan dapat diselesaikan dengan menggunakan satu “Kekuatan Petunjuk”, yang dapat diartikan sebagai situasi dimana profesional kesehatan berperan sebagai referensi sebagai klien. Profesional kesehatan tersebut menjadi seseorang yang dalam berbagai cara dan membela perilaku sehat. Keempat, dukungan sosial. Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga, teman, waktu, dan uang merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan mengikuti program pengobatan. Dan kelima, dukungan

dari profesional kesehatan. Dukungan

profesional kesehatan merupakan faktor yang penting yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan.

4. Bentuk-bentuk perilaku “covidiot” masyarakat pada Covid-19

Kaitan dengan bentuk-bentuk perilaku “covidiot” masyarakat terhadap Covid-19 di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, masih banyak masyarakat yang berperilaku “covidiot” terhadap Covid-19.

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa masyarakat Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, masih banyak yang berperilaku “covidiot” terhadap Covid-19.

Fahmi Amhar (Subair, 2020), Anggota Dewan Penasihat Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE) menyebut ketidakpedulian orang terhadap Covid-19 ini dengan istilah Covidiot (kedunguan terhadap pandemi Covid).

Ada beberapa tanda yang menjelaskan apakah seseorang masuk dalam kelompok “Covidiot” atau tidak (Anonymous dalam Subair, 2020).

Pertama, menyangkal. Menyangkal

bermakna : 1) mengingkari; tidak mengakui;

tidak membenarkan contoh: 'ia

telah menyangkal segala tuduhan';

2) membantah; melawan; menentang;

menyanggah contoh: 'sekarang ada murid yang berani menyangkal perintah gurunya'. 3) menolak.

Contoh: 'ia menyangkal permintaan

atasannya untuk memegang jabatan yang tidak sesuai dengan pendidikannya'

Beberapa orang tidak memahami pentingnya situasi ini. Mereka biasanya akan menyangkal bahwa virus itu ada atau tidak seburuk yang diberitakan oleh media massa.

Kedua, merasa kebal. Kebal, berarti : 1)

Tidak dapat dituntut dalam perkara. Contoh:

sekalian anggota parlemen kebal ketika

berbicara dalam sidang; 2) Tidak mempan senjata; 3) Tidak dapat terlukai oleh senjata. Contoh: ia memang kebal, kabarnya peluru pun tidak mempan terhadapnya; 4) Tidak dapat terkena sakit; 5) Tahan terhadap penyakit. Contoh: kalau sudah disuntik tcd, tubuh akan kebal terhadap penyakit tipus, kolera dan disentri; 6) Tidak mempan oleh caci maki; 7) Tidak malu lagi biarpun dicaci maki. 8) Tebal kulit. Contoh: karena biasa diperlakukan secara kasar akhirnya ia kebal terhadap caci maki.

Covidiot cenderung berpikir bahwa mereka kebal terhadap virus dan tidak akan sakit parah. Padahal, meskipun mereka merasa baik-baik saja, mereka bisa saja membawa virus dan menularkannya. Dalam banyak hal, ini adalah tanggung jawab sosial bagi orang untuk berkomitmen mengurangi transmisi virus.

Ketiga, memberontak. Memberontak

berasal dari kata dasar berontak. Ada tiga arti yang ditemukan untuk kata berontak;

(10)

pertama, meronta-ronta hendak melepaskan diri; kedua, melawan, tidak mau menurut perintah; ketiga, melawan pemerintah atau kekuasaan.

Segmen tertentu dari populasi hanya

ingin menjadi non-konformis dan

memberontak terhadap norma-norma

sosial. Ini telah dianggap dapat diterima di masa lalu, tetapi tidak sekarang selama pandemi yang mematikan.

Keempat, impulsif. Impulsif memiliki

arti bersifat cepat bertindak secara tiba-tiba menurut gerak hati. Sehingga apabila perilaku seseorang yang tiba-tiba berubah, tiba-tiba di luar rencana, atau sebuah sikap yang tidak didukung alasan yang kuat. Dan pada umumnya sikapnya tergolong irrasional. Maka disimpulkan individu tersebut termasuk pribadi impulsif. Ciri pribadi impulsif adalah kalau bicara atau berbuat seringkali tidak

disertai alasan-alasan atau

penalaran-penalaran.

Perilaku kompulsif dan impulsif adalah istilah yang menggambarkan dua bentuk perilaku, dan memiliki perbedaan di antara keduanya. Menjadi kompulsif adalah ketika seseorang memiliki dorongan yang tak tertahankan untuk melakukan sesuatu. Menjadi impulsif adalah ketika seseorang bertindak berdasarkan instingnya

Ini sangat mungkin terjadi setelah berbulan-bulan hidup di bawah pembatasan sosial. Beberapa orang menjadi lebih impulsif dan melakukan hal berbahaya

seperti membuat keramaian dengan

mengadakan pesta, acara barbeque, atau kumpul-kumpul yang tidak perlu.

Kelima, berpikir Covid-19 adalah alat

politik. Keamanan publik terkait Covid-19 dihubungkan sebagai hal politis bagi orang-orang tertentu. Populasi ini pun jadi melihat

jarak sosial dan pemakaian masker sebagai sekadar alat politik.

Keenam, egois. Egois yaitu seseorang

yang suka mengutamakan (menonjolkan) diri, selalu merasa keinginannya adalah hal yang penting. Egois berarti tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain atau segala perbuatan dan tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri

Hal utama soal covidiot tentu saja sifat

egois. Mereka lebih mementingkan

kepentingan dan kepuasan diri sendiri daripada kebaikan masyarakat yang lebih besar dalam memerangi Covid-19.

KESIMPULAN

Kesimpulan hasil penelitian sebagai

berikut: pertama, sehubungan dengan

kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam pembatasan sosial fisik di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, baik hindari berinteraksi dengan orang yang menunjukkan tanda-tanda mengalami sakit, jika bekerja dalam jarak dekat dengan rekan kerja, pastikan untuk menjaga jarak hingga dua meter, jika tidak memungkinkan, setidaknya hingga satu meter paling dekat, hindari untuk berkumpul di area publik, maupun hindari hadir di pertemuan besar atau kerumunan orang, hasilnya masyarakat belum patuh terhadap protokol

Covid-19. Kedua, sehubungan dengan

Kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam penggunaan alat pelindung diri (masker) di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, baik

sebelum memasang masker, cuci tangan pakai

sabun dan air mengalir (minimal 20 detik) atau bila tidak tersedia, gunakan cairan pembersih tangan (minimal alkohol 60%); pasang masker untuk menutupi mulut dan hidung dan

(11)

pastikan tidak ada sela antara wajah dan masker; hindari menyentuh masker saat digunakan; bila tersentuh, cuci tangan pakai sabun dan air mengalir minimal 20 detik atau bila tidak ada, cairan pembersih tangan (minimal alkohol 60%); ganti masker yang basah atau lembab dengan masker baru (masker medis hanya boleh digunakan satu kali saja dan masker kain dapat digunakan berulang kali); maupun untuk membuka masker: lepaskan dari belakang (jangan sentuh bagian depan masker), hasilnya masyarakat belum patuh terhadap protokol

Covid-19. Ketiga, sehubungan dengan

kepatuhan masyarakat pada Protokol Covid-19 dalam menjaga kebersihan diri (cuci tangan) di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima,, baik mencuci tangan setelah menyentuh

benda-benda yang lazim digunakan orang sakit, mencuci tangan yang baik setidaknya menggosok bagian-bagian tangan selama 20 detik menggunakan air dan sabun, gunakan cairan pembersih tangan, hindari menyentuh

wajah, hidung, mulut, serta jangan

menggosok kelopak mata, praktikkan etika batuk dan bersin, maupun buang dengan baik barang-barang yang bersentuhan dengan mulut, misalnya tisu, peralatan makan plastik, hingga sikat gigi bekas, hasilnya masyarakat belum patuh terhadap protokol Covid-19.

Keempat, bentuk-bentuk perilaku covidiot

masyarakat pada Covid-19 di Kelurahan Oi Fo’o Kota Bima, yaitu : menyangkal; merasa kebal; memberontak; impulsif; berpikir covid-19 adalah alat politik; dan egois.

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen. 2009. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision

Processes, 50, pp. 179–211

Azwar. 2002. Studi Ketidakpatuhan Pajak : Faktor Yang Mempengaruhinya(Kasus pada Wajib pajak

Orang Pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Tampan Pekanbaru). SNA

Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan Kesepuluh, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku . Jakarta: Rineka Cipta.

Subair, Nurlina. 2020. Perubahan Sosial : Antara Keniscayaan, Mitos, Revolusi Mental, dan Pandemi

Covid-19. Makassar : LPP Unismuh Makassar

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung.

Tuwu, Darmin. 2017. Implication of Conflict of Ownership Regional Assets in the Expansion of

Bau-Bau City in the Territory of ex Buton Sultanate. Jurnal Sosiologi Reflektif Volume 12 Nomor

1 Oktober 2017, pp. 17-36.

Tuwu, Darmin. 2018. Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian. Kendari: Literacy Institute.

Tuwu, Darmin. 2020. Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Pandemi COVID-19. Journal Publicuho Vol 3 No. 2 (Mei-Juli) (2020) pp 267-278. Kendari: Laboratorium Administrasi Publik UHO.

Umami, 2010. Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Yokyakatra : Liberti.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tentang perilaku masyarakat dalam menerapkan protokol pencegahan covid-19 di Kelurahan Garegeh Kota Bukittinggi, dapat disimpulkan bahwa

Teori yang dapat memprediksi perilaku individu yang berhubungan dengan kesehatan untuk menghindari risiko terinfeksi COVID-19 adalah Health Belief Model, yang terdiri

WHO pada website resminya mensosialisasikan langkah preventif untuk mencegah dan memperlambat penularan Covid-19 yang dikenal sebagai protokol kesehatan (prokes)

Uji korelasi Spearman menghasilkan nilai p=0,08, yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang Covid-19 dengan kepatuhan protokol kesehatan pada

Judul : Gambaran Kepatuhan Perilaku Protokol Kesehatan Covid-19 pada Santri di Pondok Pesantren X Semarang.. Hari, Tanggal : Jumat, 15 Oktober 2021 Waktu :

“Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat dengan Kepatuhan Menggunakan Masker sebagai Upaya Pencegahan COVID-19 di Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi” beserta

tidak/belum taat untuk menerapkan protokol kesehatan. Ketidaktaatan penerapan protokol kesehatan untuk mencuci tangan dengan sabun dan air bersih serta menjaga jarak

Program Kemitraan Masyarakat Pada Remaja Karang Taruna Dalam Upaya Pencegahan Covid 19 Melalui Penerapan Protokol Kesehatan VDJ dan Peningkatan Imunitas di. Kelurahan Mojolangu