• Tidak ada hasil yang ditemukan

PM10 Dalam Udara Ruang Kelas dengan Kejadian ISPA Pada Siswa SD/MI di Wilayah Kerja Puskesmas Cilebut, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Tahun 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PM10 Dalam Udara Ruang Kelas dengan Kejadian ISPA Pada Siswa SD/MI di Wilayah Kerja Puskesmas Cilebut, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Tahun 2018"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang. ISPA merupakan penyakit penyebab kematian yang paling umum pada anak -anak di Negara berkembang. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain studi cross

-sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan PM10 dalam udara ruang kelas dengan

kejadian ISPA pada siswa SD/MI di wilayah kerja Puskesmas Cilebut, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor tahun 2018. Metode. Sampel sebanyak 184 siswa kelas 4 dan 5 sekolah dasar yang berada di tiga sekolah terpilih. Selain PM10, variabel lainnya yang diteliti yang diduga

berhubungan dengan kejadian ISPA pada siswa sekolah dasar yaitu suhu, kelembaban, pen-cahayaan, ventilasi dan kepadatan hunian ruang kelas, serta status gizi siswa. Hasil. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada siswa SD/MI yaitu PM10 (p=0,0001;OR=3,862), pencahayaan (p=0,006;OR=3,111), dan kepadatan

hunian kelas (p=0,002;OR=2,952). Setelah dikontrol dengan variabel konfonding, didapatkan bahwa siswa yang berada dalam ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di atas median dan

kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat berisiko 4,5 kali untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentrasi di bawah me-dian dan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Simpulan. Upaya yang perlu dilakukan diantaranya menjaga kebersihan ruang kelas; menambahkan ventilasi dan sumber pencahayaan dalam ruang kelas; menambahkan pepohonan di sekitar lingkungan sekolah; serta membatasi jumlah siswa dalam satu kelas.

Kata Kunci: ISPA, konsentrasi PM10, siswa SD

Artikel dikirim: Agustus, 2018 Artikel diterima: Desember, 2018 Artikel dipublikasi: Juni, 2020

Abstrak

ISPA Pada Siswa SD/MI di Wilayah Kerja Puskesmas

Cilebut, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Tahun

2018

Agisna N ur Fid ya1, B ud i Har to no1 , * )

1Dep a rte me n K es eh a tan Li n g ku n g an , Fa ku lt as K es eh atan M a s yar a ka t Un i v ers it as In d o n esi a, Dep o k, 1 6 4 2 4 * )Co r re sp o n d in g Au th o r: b u to n iv7 3 @g ma il. co m

Background. ARI is the most common cause of death among children in developing countries. This research is using cross-sectional design, to find out the association of PM10 in the

class-room air with the incidence of ARI in elementary school students under Cilebut Primary Health Care work area, Bogor. Methods. The samples are 184 students in 4th and 5th grade in three

selected elementary schools. In addition to PM10, other variables thought to be associated with

ARI in elementary school students (temperature, humidity, lighting, ventilation, density of the classroom, nutritional status of the students). Results. The results showed that the variables which associated with ARI in elementary school students were PM10 (p = 0,0001; OR = 3,862),

lighting (p = 0.011; OR = 3.111), and density of the classroom (p = 0,004; OR = 2,952). Found that students who were in the classroom with an above median PM10 concentration and

uneligi-ble class density were at risk 4.5 times for ARI compared with those in the classroom with con-centrations below median and eligible class density. Conclusions. Effort that need to be done are maintaining the cleanliness of the classroom; adding ventilation and lighting sources; plant-ing trees; and limitplant-ing the number of students in one class.

Keywords: ARI; Elementary school students; PM10 concentration

Abstract

(2)

ISPA merupakan penyakit penyebab kematian yang paling umum pada anak-anak, khususnya balita dengan rata-rata 3 sampai 6 seri kematian se-tiap tahunnya (Simoes, dkk., 2006). Pada tahun 2002, sebanyak 1.9 juta anak-anak meninggal akibat ISPA, dengan 70% kejadian terjadi di Afrika dan Asian Tenggara (Williams, dkk., 2002). Hal ini di-perkuat dengan data WHO (2007) yang menunjuk-kan bahwa jumlah kematian akibat ISPA paling ban-yak terjadi pada balita, anak-anak dan lansia teruta-ma di negara-negara berkembang. Setiap tahunnya, terdapat 156 juta kasus baru ISPA di dunia, dimana 96,7% diantaranya terjadi di negara berkembang, dengan kasus terbanyak di India, Cina, Pakistan, Bangladesh dan Indonesia dengan 6 juta kasus (Depkes RI, 2011).

Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa di Indonesia sendiri lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). ISPA di provinsi Jawa Bar-at juga termasuk tinggi, yaitu sebanyak 24,8%. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu sebanyak 25,8%, kemudian setelahnya pada ke-lompok umur dibawah 1 tahun sebanyak 22%, lalu pada kelompok umur 5-14 tahun sebanyak 15,4%. Melihat hasil Riskesdas pada tahun 2007 dan 2013, terjadi peningkatan kejadian ISPA di Provinsi Jawa Barat walaupun hanya sedikit yaitu, 24,7% menjadi 24,8%. Prevalensi ISPA menurut umur pada ke-lompok 5-14 tahun juga mengalami peningkatan, yaitu dari 9,2% menjadi 15,4%. Hal ini menunjukan bahwa kejadian ISPA di Jawa Barat pada kelompok umur 5-14 tahun juga perlu diperhatikan.

Salah satu penyebab ISPA adalah karena ter-jadinya pencemaran udara. Salah satu zat pencemar udara adalah partikulat, yang dapat dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, kayu, dan hampir segala sesuatu yang dibakar (Laila, 2015). Partikulat sendiri, ada yang berukuran 10 mikrometer (PM10) dan 2,5 mikrometer (PM2,5). PM10 merupakan indi-kator yang paling sering digunakan untuk menggam-barkan konsentrasi partikel tarsuspensi di udara (Stone, 2000). Telah cukup banyak penelitian yang menghubungkan antara PM10 dengan kejadian ISPA. Penelitian yang dilakukan Mukti (2017) menunjukan bahwa terdapat hubungan antara PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA balita.

Kelompok umur 5 hingga 14 tahun merupakan anak-anak sekolah dasar atau sederajat, yang

seki-Pendahuluan

tar 6 jam per-hari waktunya dihabiskan di dalam

ru-ang kelas. Oleh karena itu, perlu diperhatikan pula hubungan PM10 di ruang kelas dengan kejadian ISPA. Penelitian yang dilakukan oleh Bahri (2008) menunjukan adanya hubungan antara PM10 dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa. Penelitian lainnya dilakukan oleh Pramayu (2012), menunjukan bahwa siswa yang berada di ruang ke-las dengan konsentrasi PM10 yang melebihi baku mutu (>70µg/m3) akan berisiko 2,55 kali lebih tinggi untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentra-si PM10 dibawah baku mutu. Hakonsentra-sil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Laila (2015), yang menyatakan bahwa siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentrasi PM10 yang melebihi baku mutu berisiko 1,7 kali lebih tinggi un-tuk terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentra-si PM10 dibawah baku mutu.

Sebanyak 14 SD/MI berada di bawah wilayah Puskesmas Cilebut dengan jumlah siswa kese-luruhan sebanyak 4.259 siswa di tahun 2018. Seba-gian besar sekolah termasuk kategori belum me-menuhi syarat dari segi bangunan sekolah ataupun lingkungan sekolah. Dari hasil observasi awal yang telah dilakukan, beberapa sekolah berada persis dipinggir jalan yang ramai, berada di depan tempat parkir kendaraan stasiun Cilebut, jendela tidak pernah dibuka, serta ventilasi yang sudah kotor. Tingginya kasus ISPA di wilayah Puskesmas Cile-but, disusul dengan masih terdapat sekolah yang belum memenuhi syarat, baik lokasi maupun ling-kungan fisiknya, kemudian kerentanan siswa yang tergolong anak-anak terhadap suatu pajanan, maka peneliti akan melakukan penelitian kejadian ISPA pada siswa SD/MI ditinjau dari aspek kualitas udara (PM10) dan faktor lingkungan kelas lainnya.

Metode

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Data variabel inde-penden yang dikumpulkan berupa konsentrasi PM10 dalam udara ruang kelas, suhu, kelembaban, pen-cahayaan, ventilasi, kepadatan hunian dalam ruang kelas serta status gizi siswa. Pengukuran PM10 dil-akukan oleh teknisi ahli dari laboratorium. Se-dangkan data variabel dependen yang dikumpulkan adalah kejadian ISPA pada siswa kelas 4 dan 5 di sekolah dasar wilayah Puskesmas Cilebut yang didapat melalui diagnosis oleh tenaga medis. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2018 dan dilakukan sesuai kesepakatan dengan pihak

(3)

bah data menjadi sebuah informasi yang berguna untuk menjawab hipotesis penelitian. Analisis data dilakukan menggunakan software. Analisis yang dil-akukan pada penelitian ini adalah analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat. Penelitian ini telah melalui prosedur kaji etik dan telah disetujui untuk dilaksanakan, dengan Surat Lolos Etik No. 578/UN2.F10/PPM.00.02/2018.

sekolah. Penelitian ini dilaksanakan di tiga Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang telah memenuhi kriteri inklusi (sekolah dasar yang berada di bawah pengawasan Puskesmas Cilebut, sekolah dasar ter-letak di dekat jalan raya, ruang kelas yang digunakan siswa kelas 4 dan 5, dan bersedia men-jadi lokasi penelitian) dengan total delapan ruang kelas terpilih. Perhitungan besar sampel siswa kelas 4 dan 5 dilakukan menggunakan rumus sampel uji beda dua proporsi. Sampel yang diambil sebanyak 184 sampel.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan didampingi oleh seorang dokter untuk diagnosis ISPA, dan petu-gas teknisi dari laboratorium PT. Sky Pacific Indone-sia untuk pengukuran PM10. Data mengenai konsen-trasi PM10, suhu, dan kelembaban di udara ruang kelas didapat melalui pengukuran menggunakan

dust sampler, yaitu Environmental Monitor EVM-7

selama 30 menit di setiap titik. Variabel ventilasi diketahui melalui observasi langsung, pengukuran dan perhitungan. Sesuai dengan Kepmenkes No. 1492 (2006), dikatakan memenuhi syarat bila luas ventilasi ≥20% dari luas lantai dan tidak memenuhi syarat bila luas ventilasi <20% dari luas lantai. Data pencahayaan ruang kelas didapat melalui penguku-ran menggunakan alat bernama luxmeter. Variabel kepadatan hunian kelas diketahui melalui observasi langsung, pengukuran dan perhitungan. Sesuai dengan Kepmenkes No. 1429 (2006), dikatakan me-menuhi syarat bila rasio luas ruang kelas ≥ 1.75 m2/ peserta didik, dan tidak memenuhi syarat bila rasio luas ruang kelas < 1.75 m2/peserta didik. Penilaian status gizi didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan No.1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, dengan menggunakan standar indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U) untuk usia 5-18 tahun. Data mengenai tinggi badan dan berat badan diukur secara langsung dengan menggunakan pita meteran dan timbangan berat badan. Setelah diketahui tinggi dan berat badan siswa, kemudian dihitung Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan rumus IMT:

Hasil IMT kemudian dilihat pada tabel standar indeks masa tubuh menurut umur yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan. Sesuai Kepmenkes No. 1995 (2010), dikatakan memenuhi syarat apabila IMT/U -2SD sampai dengan 1 SD, dan tidak memen-uhi syarat apabila IMT/U <-2 SD atau > 1 SD.

Analisis data merupakan kegiatan untuk

mengu-Hasil

Penelitian dilakukan di SD/MI di bawah pengawasan Puskesmas Cilebut. Berdasarkan data laporan kejadian ISPA Puskesmas Cilebut tahun 2017, kejadian ISPA pada tahun 2017 terjadi pada bulan Agustus, yaitu sebanyak 704 kasus, se-dangkan kasus ISPA terendah pada bulan Januari. Kasus ISPA tertinggi pada tahun 2017 berada pada kategori umur 5 hingga 14 tahun, yaitu sebanyak 1943 laporan kasus di Puskesmas Cilebut. Hasil penelitian pada responden menunjukkan kejadian ISPA pada SD/MI di bawah pengaawasan Pusk-esmas Cilebut 71 orang sedangkan tidak ISPA 113 orang (Tabel 1).

Berdasarkan hasil pengukuran, konsentrasi PM10 yang didapat di semua titik melebihi batas konsen-trasi yang di perbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1429/2006, yaitu 150 µg/m3 (Tabel 2). Oleh karena itu, pada penelitian ini kon-sentrasi PM10 dikategorikan berdasarkan median yang didapat, yaitu 338 µg/m3 (Tabel 3). Sedangkan untuk karakteristik variabel lingkungan ruang kelas

Variabel Frekuensi Persentase (%)

Umur 9 tahun 5 2,7% 10 tahun 36 19,6% 11 tahun 105 57,1% 12 tahun 38 20,7% Jenis Kelamin Perempuan 81 44% Laki-laki 103 56% Status Gizi Sangat kurus (TMS) 6 3,3% Kurus (TMS) 15 8,2% Normal (MS) 134 72,8% Gemuk (TMS) 17 9,2% Obesitas (TMS) 12 6,5% Kejadian ISPA ISPA 71 38,6% Tidak ISPA 113 61,4%

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden

Keterangan: TMS (Tidak Memenuhi Syarat) MS (Memenuhi Syarat)

(4)

akukan sesaat karena pada udara ruang dianggap pergerakan perubahan konsentrasi PM10 yang terjadi tidak besar. Pengukuran dilakukan pada saat jam belajar mengajar berlangsung, yaitu pada pukul 08.00-13.00 WIB. Hal ini dilakukan untuk menge-tahui gambaran sebenarnya konsentrasi PM10 yang diterima siswa saat berada di ruang kelas. Pada penelitian ini siswa SD/MI menghabiskan waktu seki-tar 25% dalam sehari di dalam ruang kelas.

Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan EVM-7, konsentrasi PM10 yang didapat dari semua titik seluruhnya menunjukan angka konsentrasi di atas baku mutu (150 µg/m3). Hal ini dikarenakan semua kelas yang menjadi sampel berada di dekat jalan raya, dimana salah satu sumber PM10 adalah dari emisi kendaraan bermotor (EPA, 2012). Selain itu, pada sekolah dengan konsentrasi PM10 tertinggi, yaitu SD 3 pada saat pengukuran dilakukan, adanya pembakaran sampah di depan sekolah, dimana pembakaran juga merupakan salah satu sumber PM10 (Vallius, 2005). Penyebab lainnya yaitu ku-rangnya pepohonan di area sekolah, dimana pe-pohonan dapat berfungsi sebagai filter debu. Rovelli dkk (2014) melakukan pengukuran PM10 pada ruang kelas di beberapa sekolah di Itali, konsentrasi PM10 yang didapat berkisar diantara 140,1 – 797,8 µg/m3 pada pengukuran saat kelas berisi siswa, sedangkan pada saat ruang kelas kosong, konsentrasi PM10 yang didapatkan yaitu 24,8-91,4 µg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan siswa dalam kelas pada saat pengukuran juga dapat menambah tinggi konsentrasi PM10. Selain itu, dari hasil uji korelasi, didapatkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara konsentrasi PM10 dengan kepadatan hunian. Sebanyak 62,5% kepadatan hunian kelas dalam penelitian ini tidak memenuhi syarat, hal ini juga alasan tingginya kosentrasi PM10 yang didapatkan.

Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsentrasi PM10 dalam udara ruang kelas dengan kejadian ISPA pa-da siswa SD/MI. Hasil analisis hubungan sebelum dikontrolnya variabel lain, diperoleh bahwa siswa yang berada dalam ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di atas median (≥ 338 µg/m3) berisiko 3,8 kali untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di bawah median (< 338 µg/m3). Sedangkan setelah dikontrol variabel lain, yang be-rarti bahwa hubungan murni antara konsentrasi PM10 dalam ruang kelas terhadap kejadian ISPA pada siswa SD/MI, mendapatkan hasil bahwa siswa yang berada dalam ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di atas median berisiko 4,5 kali untuk mengalami ke-dapat dilihat pada Tabel 4.

Analisis bivariat dilakukan pada seluruh variabel dengan status ISPA (Tabel 5). Sedangkan hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang sig-nifikan (nilai p<0,05) yaitu konsentrasi PM10 dengan kepadatan hunian, suhu dengan kelembaban, suhu dengan ventilasi, dan kelembaban dengan ventilasi. Berdasarkan analisis multivariat yang dilakukan, var-iabel kepadatan hunian memiliki nilai p>0,05, sehing-ga variabel kepadatan hunian diangsehing-gap sebasehing-gai

vari-abel confounder atau konfounding yang

mempengaruhi hubungan antara variabel konsentra-si PM10 dengan kejadian ISPA.

Variabel independen utama, yaitu konsentrasi PM10 memiliki nilai p<0,05 dengan OR 4,5 (95% CI: 1,42-14,27) yang berarti bahwa siswa yang berada dalam ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di atas median (≥ 338 µg/m3) dan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat berisiko 4,5 kali untuk men-galami kejadian ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentrasi di bawah median (< 338 µg/m3) dan kepadatan hunian yang memenuhi syarat (tabel 7).

Tabel 2. Gambaran Konsentrasi PM10

Sekolah Titik Konsentrasi PM10

(µg/m3) (PP No.41/1991)Baku Mutu

SD X I 270 150 µg/m3 II 330 III 230 MI Y I 290 II 340 SD Z I 460 II 560 III 660

Tabel 3. Distribusi Konsentrasi PM10

Konsentrasi PM10 Frekuensi Persentase (%)

< 338 µg/m3 4 50%

≥ 338 µg/m3 4 50%

Pembahasan

PM10 dengan ISPA

Pengukuran konsentrasi PM10 dalam udara ru-ang kelas pada penelitian ini dilakukan selama 30 menit pada masing-masing titik. Pengukuran

(5)

dil-Pramayu (2012) dengan OR 2,5 dan Laila (2015) dengan OR 1,71, meskipun dalam penelitian yang mereka lakukan menggunakan baku mutu konsen-trasi PM10 sebesar 70 µg/m3. Tetapi jika dilihat hasil-nya tetap menggambarkan bahwa siswa yang jadian ISPA dibandingkan dengan siswa yang

be-rada di ruang kelas dengan konsentrasi di bawah median.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahri (2008) dengan OR 2,39,

Variabel Frekuensi Persentase (%)

Suhu MS 2 25% TMS 6 75% Kelembaban MS 5 62,5% TMS 3 37,5% Ventilasi MS 2 25% TMS 6 75% Pencahayaan MS 2 25% TMS 6 75% Kepadatan Hunian MS 3 37,5% TMS 5 62,5%

Tabel 4. Distribusi Karakteristik Lingkungan Ruang Kelas

Keterangan: TMS (Tidak Memenuhi Syarat) MS (Memenuhi Syarat)

Tabel 5. Tabel Hasil Bivariat

Variabel

Status ISPA

Total OR

(95% CI) Nilai P

ISPA Tidak ISPA

n % n % n % Konsentrasi PM10 Di atas median 54 51,4% 51 48,6% 105 100% 3,86 (1,99-7,47) 0,0001 Di bawah median 17 21,5% 62 78,5% 79 100% Suhu TMS 56 38,4% 90 61,6% 146 100% 0,95 (0,46-1,98) 0,9 MS 15 39,5% 23 60,5% 38 100% Kelembaban TMS 19 32,2% 40 67,8% 59 100% 0,67 (0,35-1,28) 0,222 MS 52 41,6% 73 58,4% 125 100% Pencahayaan TMS 63 43,8% 81 56,2% 144 100% 3,11 (1,34-7,21) 0,006 MS 8 20% 32 80% 40 100% Ventilasi TMS 56 38,4% 90 61,6% 146 100% 0,95 (0,46-1,98) 0,9 MS 15 39,5% 23 60,5% 38 100% Kepadatan Hunian TMS 58 46,0% 68 54% 126 100% 2,95 (1,45-6,00) 0,002 MS 13 22,4% 45 77,6% 58 100% Status Gizi TMS 21 42,0% 29 58,0% 50 100% 1,21 (0,63-2,00) 0,561 MS 50 37,3% 84 62,7% 134 100% Total 71 38,6% 113 61,4% 184 100%

Keterangan: TMS (Tidak Memenuhi Syarat) MS (Memenuhi Syarat)

(6)

70

dengan kejadian ISPA pada siswa. Penelitian ini se-jalan dengan penelitian Laila (2015) yang menun-jukan tidak adanya hubungan antara suhu ruang ke-las dengan kejadian ISPA pada siswa. Namun, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Pra-mayu (2012), yang menghasilkan bahwa adanya hubungan signifikan antara suhu dan kelembaban ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa, siswa yang berada pada ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat mem-iliki risiko 3,08 kali untuk terkena ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada pada ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang memenuhi syarat.

Suhu udara yang tidak sesuai dapat menjadi

su-hu optimal pertumbuhan mikroorganisme

(Kemenkes, 2011). Tidak adanya hubungan antara suhu ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa dapat disebabkan banyaknya ruang kelas dengan suhu yang tidak memenuhi syarat. Sebanyak 75% ruang kelas yang diteliti memiliki suhu yang tidak memenuhi syarat, yaitu berada di atas 28oC. Hal ini menjadi keterbatasan penelitian, yaitu jumlah titik yang sedikit. Selain itu, pengukuran dilakukan pada saat siang hari dan cuaca yang sangat terik, sehing-ga suhu yang didapatkan cenderung tinggi.

Ruang kelas dengan suhu yang tidak memenuhi syarat, ventilasi nya pun tidak memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan Kemenkes (2011), bahwa suhu udara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu salah satunya adalah ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Maka dari itu, upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki suhu ruang kelas ini adalah dengan meningkatkan sirkulasi udara, dapat dengan rada di ruang kelas dengan konsentrasi PM10 yang

tinggi lebih berisiko terkena kejadian ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada pada ruang kelas dengan konsentrasi PM10 yang lebih rendah. Meskipun berbeda jenis lokasi, penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Lindawaty (2010) dan Wahyuni (2014) yang menunjukan adanya hubungan signifikan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan Yusnabeti (2010) yang menunjukan menunjukan adanya hubungan signifikan antara konsentrasi PM10 dengan kejadian ISPA pada pekerja industri mebel.

ISPA dapat ditularkan melalui droplet-droplet yang tersuspensi di udara melalui inhalasi. Droplet ditimbulkan dari orang yang terinfeksi terutama sela-ma terjadinya batuk, bersin, dan berbicara. Droplet yang mengandung mikroorganisme dapat jatuh ke permukaan, mengering, dan menjadi bagian dari de-bu. Penularan terjadi bila debu yang mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam jarak dekat, yai-tu biasanya < 1m melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau far-ing (WHO, 2007). Mikroorganisme yang terdeposit di mukosa akan menumpuk dan mendapatkan media untuk berkembangbiak sehingga menimbulkan pen-yakit infeksi primer (Widoyono, 2011). Anak-anak lebih rentan terkena indeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang menempel dengan partikel (Laila, 2015).

Suhu dengan ISPA

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hub-ungan yang signifikan antara suhu ruang kelas

Tabel 6. Uji Korelasi Variabel

Nilai P

Konsentrasi

PM10 Suhu Kelembaban Pencahayaan Ventilasi

Kepadatan Hunian Konsentrasi PM10 - 0,5 0,27 0,06 0,50 0,012 Suhu 0,50 - 0,017 0,21 0,0001 0,362 Kelembaban 0,27 0,017 - 0,36 0,017 0,438 Pencahayaan 0,06 0,21 0,36 - 0,21 0,362 Ventilasi 0,50 0,0001 0,017 0,21 - 0,361 Kepadatan Hunian 0,012 0,362 0,44 0,36 0,36 -

Tabel 7. Pemodelan Akhir Multivariat Analisis Regresi Logistik

Variabel B P-value OR 95% CI

Konsentrasi PM10 1,504 0,011 4,5 1,419 – 14,275

Kepadatan Hunian -0,205 0,748 0,814 0,233 – 2,848

(7)

71

isme yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia, termasuk ISPA (Permenkes, 2011). Upaya yang dapat dilakukan yaitu adalah dengan meningkatkan sirkulasi udara, dapat dengan menambah ventilasi kelas dan membuka jendela yang sudah tersedia pada saat kegiatan belajar mengajar. Upaya lainnya dapat dengan menambah sirkulasi udara buatan, seperti kipas angin atau pendingin ruangan.

Pencahayaan dengan ISPA

Hasil analisis data menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pencahayaan kelas dengan kejadian ISPA pada siswa. Siswa yang be-rada pada ruang kelas dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat berisiko 3,1 kali mengalami ISPA dibandingkan siswa yang berada pada ruang kelas dengan pencahayaan yang memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Syam dan Ronny (2016) bahwa adanya hubungan bermakna antara pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita. Pencahayaan yang kurang dapat memperpanjang masa hidup droplet nuklei di udara. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pencahayaan dalam ruang kelas ini diantaranya menambah sumber pencahayaan, mengubah cat tembok dengan warna yang lebih terang, dan menambahkan ventilasi sebagai jalan masuk ma-tahari ke dalam ruang kelas.

Kepadatan Hunian dengan ISPA

Penelitian ini menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian kelas dengan kejadian ISPA pada siswa SD. Siswa yang berada pada ruang kelas dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,9 kali men-galami ISPA dibandingkan siswa yang berada pada ruang kelas dengan kepadatan hunian yang memen-uhi syarat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pramayu (2012) yang menunjukkan bahwa siswa yang berada pada ruang kelas dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,73 kali mengalami ISPA dibandingkan siswa yang berada pada ruang kelas dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian Bahri (2008) dan Laila (2015) yang menunjukan bahwa tidak adanya hubungan antara kepadatan hunian kelas dengan kejadian ISPA.

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa kepadatan hunian merupakan faktor konfonding atau faktor perancu dalam hubungan PM10 dengan kejadi-menambah ventilasi kelas.

Kelembaban dengan ISPA

Sama sepeti variabel suhu, tidak didapatkan pula hubungan yang signifikan antara kelembaban ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Laila (2015) yang menunjukan tidak adanya hubungan antara kelem-baban ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa. Namun, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Pramayu (2012), yang menunjukan bahwa adanya hubungan signifikan antara suhu dan kelembaban ruang kelas dengan kejadian ISPA pa-da siswa, siswa yang berapa-da papa-da ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,08 kali untuk terkena ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada pada ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang memenuhi syarat. Tidak adanya hubungan antara kelembaban ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa da-lam penelitian ini dapat disebabkan data yang ku-rang bervariasi. Hal ini menjadi keterbatasan penelitian, yaitu jumlah titik yang sedikit.

Kelembaban yang tidak sesuai dapat menyebab-kan suburnya pertumbuhan mikroorganisme (Kemenkes, 2011). Penelitian yang dilakukan Fithri dkk (2016) menunjukan bahwa semakin tinggi kelembaban udara dalam ruang, semakin tinggi pula jumlah koloni bakteri udara dalam ruang. Hal ini disebabkan karena kelembaban udara merupakan representasi dari uap air yang terkandung dalam udara, dan uap air merupakan media bertahan hidup bakteri di udara. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kelembaban ruang kelas yaitu bisa dengan menambah pencahayaan ruang kelas.

Ventilasi dengan ISPA

Tidak ditemukan hubungan yang signifikan anta-ra ventilasi ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dil-akukan Bahri (2008), Pramayu (2012), dan Laila (2015). Tidak adanya hubungan antara ventilasi ru-ang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa dapat disebabkan banyaknya ruang kelas dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan juga data yang cenderung homogen. Hal ini menjadi keterbatasan penelitian, yaitu jumlah titik yang sedikit.

Ventilasi merupakan media untuk pergantian udara segar ke dalam runangan dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat dapat mempengaruhi pertukaran udara. Pertukaran udara yang terhambat dapat mengakibatkan suburnya petumbuhan

(8)

ruang kelas tidak memenuhi syarat pada variabel suhu (75%), pencahayaan (75%), ventilasi (75%), dan kepadatan hunian (62,5%). Sedangkan variabel yang mayoritas ruang kelas sudah memenuhi syarat yaitu kelembaban (62,5%).

Terdapat hubungan yang signifikan antara kon-sentrasi PM10 dengan kejadian ISPA pada siswa SD, dengan nilai p 0,0001 dan OR 3,86 (95% CI: 1,99

-7,47). Siswa yang berada dalam ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di atas median (≥ 338 µg/m3) berisiko 3,8 kali untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di bawah median (< 338 µg/m3). Dari lima variabel lingkungan ruang ke-las yang diduga memiliki hubungan dengan kejadian ISPA, terdapat dua variabel yang memiliki hubungan yang signifikan, yaitu pencahayaan dengan OR 3,11 (95% CI: 1,34-7,21), dan kepadatan hunian dengan OR 2,95 (95% CI: 1,42-6,003).

Variabel status gizi dengan kejadian ISPA menunjukkan tidak ada hubungan yang sgnifikan, dengan nilai p 0,561, tetapi memiliki nilai OR 1,21 yang dianggap memiliki peluang untuk dapat berisi-ko. Setelah dikontrol dengan variabel lingkungan ke-las dan status gizi, ditemukan adanya variabel kon-founder dalam hubungan PM10 dengan kejadian ISPA, yaitu variabel kepadatan hunian dengan nilai p 0,011 dan OR 4,5 (95% CI: 1,42-14,27) dengan vari-abel konfounder kepadatan hunian kelas. Hal ini be-rarti bahwa siswa yang berada dalam ruang kelas dengan konsentrasi PM10 di atas median (≥ 338 µg/ m3) dan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat berisiko 4,5 kali untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan konsentrasi di bawah median (< 338 µg/m3) dan kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

an ISPA. Hal ini karena terlalu padatnya kondisi ru-ang kelas dapat menghalru-angi proses pertukaran udara bersih, sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi (Pramayu, 2012). Jika kepadatan hunian semakin tinggi, maka penularan penyakit khususnya yang melalui udara seperti ISPA akan semakin cepat (Achmadi, 2008). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat kepadatan hunian adalah dengan membatasi jumlah siswa pada masing

-masing ruang kelas, dapat dengan membuka kelas baru. Upaya lainnya untuk meminimalisir penularan penyakit, dihimbau agar siswa yang sedang sakit dapat memakai masker di ruang kelas.

Status Gizi dengan ISPA

Tidak ditemukan hubungan yang signifikan anta-ra status gizi dengan kejadian ISPA pada siswa. Na-mun, jika dilihat dari nilai OR>1, maka berarti sebenarnya status gizi berpotensi untuk mempengaruhi kejadian ISPA pada siswa SD/MI. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dil-akukan Laila (2015) yang menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan antara status gizi dengan ke-jadian ISPA. Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pramayu (2012) dan De-wanti (2011) yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA.

Status gizi seseorang dapat mempengaruhi ke-rentanan terhadap infeksi, semikian juga sebaliknya (Kemenkes, 2011). Tidak ditemukannya hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dikarenakan proporsi anak yang memenuhi status gizi cukup besar, yaitu 72,8%. Selain itu, status gizi erat kaitannya dengan BBLR dan pola konsumsi siswa di rumah, hal ini tid-ak ditanytid-akan dalam penelitian ini karena penelitian langsung kepada siswa tanpa wawancara terhadap orang tua, dimana siswa kurang dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Kesimpulan

Mayoritas responden penelitian berumur 11 ta-hun (57,1%), berjenis kelamin laki-laki (56%), dan memiliki status gizi normal (72,8%). Responden yang didiagnosis mengalami ISPA sebanyak 71 (38,6%) dari total 184 responden.

Hasil pengukuran konsentrasi PM10 semua titik berada di atas baku mutu (150 µg/m3), yaitu teren-dah sebesar 230 µg/m3 dan tertinggi sebesar 660 µg/ m3, dengan nilai tengah konsentrasi sebesar 338 µg/ m3. Hasil pengukuran dan observasi variabel ling-kungan ruang kelas menunjukkan bahwa mayoritas

Daftar Pustaka

Achmadi, Umar Fahmi. 2008. Manajemen Penyakit

Berbasis Wilayah. Jakarta: UI Press

Bahri, Beben. 2008. Pajanan PM10 Udara dalam

Ru-ang Kelas dan GRu-angguan ISPA serta Fungsi Pa-ru pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan

Cakung Jakarta Timur [tesis]. Program

Pas-casarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Uni-versitas Indonesia.

Departemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut. Jakarta: Depkes RI Direktorat

Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

(9)

and PM2,5) El-Salvador: Air Quality

Communica-tion Workshop [online] Tersedia di: https://

www.epa.gov/sites/production/files/2014-05/

documents/huff-particle.pdf [Diakses pada 6

Maret 2018]

Fithri, Nayla K., Handayani, Putri., Vionalita, Gisely. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Jumlah Mikroorganisme Udara dalam Ruang

Kelas. Forum Ilmiah Volume 13 Nomor 1

KEPMENKES RI No. 1405 Tahun 2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkugan Kerja Per-kantoran dan Industri

KEPMENKES RI No. 1429 Tahun 2006 Tentang Pe-doman Penyelenggaraan Kesehatan Ling-kungan Sekolah

KEPMENKES RI No. 1995 Tahun 2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak Laila, Nur. 2015. Hubungan PM10 dalam Udara Ru-ang Kelas dengan Kejadian ISPA pada Siswa SD di Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. [tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Li, K., Liang, T., Wang, L. 2015. Risk assessment of

atmospheric heavy metals exposure in Baotou, a typical industrial city in northern Chi-na.Environmental Geochemistry and Health, 38 (3), pp.843-853.

Lindawaty. 2010. Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita

Kecamatan Mampang 2009-2010. [tesis].

Pro-gram Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Mangunjaya, Fachruddin M. 2006. Hidup Harmonis

dengan Alam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia

Matic, B., Rakic, U., Jovanovic, V., Dejanovic, S., Djonovic, N. 2016. Key Factors Determining

In-door Air PM10 Concentrations in Naturally

Venti-lated Primary School in Belgrade, Serbia. Zdr

Varst 2017; 56(4): 227-235.

Mukti, Fuad. 2017. PM10 dalam Rumah dengan

Ke-jadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos

Depok [skripsi]. Program Sarjana Fakultas

Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. PERMENKES RI No. 1077 Tahun 2011 tentang

Pe-doman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah Pramayu, Ajeng. 2012. Hubungan Konsentrasi PM10

dalam Ruang Kelas dengan Gangguan ISPA Siswa SD Kecamatan Cipayung Kota Depok [tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Pipatlakar, P., Gajghate, D., Khaparde, V. 2011.

Source Identification of Different Size Fraction of PM10 Using Factor Analysis at Residential cum

Commercial Area of Nagpur City. Bulletin of

En-vironmental Contamination and Toxicology, 88 (2), pp.260-264

Rovelli, Sabrina., Cattaneo, Andrea., Nuzzi, Camilla P., Spinazze, Andrea., Piazza, Silvia, et al. 2014. Airborne Particulate Matter in School

Classrooms of Northern Italy. International

Jour-nal of Environmental Research and Public Health; Vol. 11, Iss. 2: 1398-421

Sastroasmoro, Sudigdo. 2001. Dasar-dasar

Metodelogi Penelitian Klinis. Jakarta: CV.

Sa-gung Seto

Sepriani, K.D. 2015. Sebaran Partikulat (PM10) Pa-da Musim Kemarau Di Kabupaten Tangerang

Dan Sekitarnya [skripsi] Bogor: Program Sarjana

IPB

Simoes, E., Cherian, T., Chow, J., Shahid-Salles, S., Laxminarayan, R., John, J. 2006. Disease

Con-trol Priorities in Developing Countries. 2nd

edi-tion: Chapter 25 Acute Respiratory Infections in Children. New York: Oxford University Press

[online] Tersedia di: https://

www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11786/

[Diakses pada 25 Februari 2018]

Syam, D.M., Ronny. 2016. Suhu, Kelembaban dan Pencahayaan sebagai Faktor Risiko Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Kecamatan

Ba-laesang Kabupaten Donggala. Higiene; Vol.2

pp.133-139

Vallius, Marko. 2005. Characteristics and Sources of

Fine Particulate Matter in Urban Air. Findlan:

Department of Environmental Health, National Public Health Institute [online] Tersedia di: http://

epublications.uef.fi/pub/urn_isbn_951-740-508

-1/urn_isbn_951-740-508-1.pdf [Diakses pada 6

Maret 2018]

Wahyuni, Ni Putu Sri. 2014. Pengaruh Particulate

Matter 10 (PM10) Udara Rumah Tinggal yang

Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Perna-pasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pejuang, Kecamatan Medan Satria,

Kota Bekasi Tahun 2013 [skripsi]. Program

Sar-jana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universi-tas Indonesia.

WHO. 2005. WHO Air Quality Guideliner for Particu-late Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide and Sulfur

Dioxide. Switzerland: WHO Press [online]

Terse-dia di: http://apps.who.int/iris/

bitstream/10665/69477/1/

WHO_SDE_PHE_OEH_06.02_eng.pdf [Diakses

pada 6 Maret 2018]

(10)

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cender-ung menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan. [Online]. Tersedia di:

http://apps.who.int/iris/ bitstream/10665/69707/14/

WHO_CDS_EPR_2007.6_ind.pdf?ua=1

[Diakses pada 25 Februari 2018]

WHO. 2013. Health Effect of Particulate Matter: Poli-cy implications for countries in eastern Europe,

Caucasus and central Asia. Denmark: WHO

Re-gional Office for Europe [online] Tersedia di:

http://www.euro.who.int/__data/assets/

pdf_file/0006/189051/Health-effects-of

-particulate-matter-final-Eng.pdf [Diakses pada 6

Maret 2018]

Williams, BG., Gouwas, E., Boschi-Pinto, C., Bryce, J., Dye, C. 2002. Estimates of world-wide distri-bution of child deaths from acute respiratory

in-fections. Switzerlend: PubMed [online] Tersedia

di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pubmed/11892493 [Diakses pada 25 Februari

2018]

Yang J, McBride J, Jinxing Z dan Zhenyuan S. 2005. The urban forest in Beijing and its role in air

pol-lution reduction. Journal Urban Forestry & Urban

Greening 3 : 65–78.

Yusnabeti., Wulandari, Ririn.., Luciana, Ruth. 2010.

PM10 dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada

Pekerja Industri Mebel. Makara Kesehatan Vo.

Gambar

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
Tabel 2. Gambaran Konsentrasi PM 10
Tabel 4. Distribusi Karakteristik Lingkungan Ruang Kelas
Tabel 6. Uji Korelasi  Variabel

Referensi

Dokumen terkait

Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan

• Use Case Delete Barang : memuat proses hapus barang yang dilakukan oleh admin ke dalam sistem, dalam hal ini ke database Logistik pada tabel Barang. • Use Case Cari Barang :

Sinar Sosro Palembang dokumen standar yang dibutuhkan yaitu, bagian pertama berisi dokumen kebijakan keamanan, ruang lingkup, penilaian resiko, statement of

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai perkecambahan benih kopi robusta dengan berbagai konsentrasi ZPT Novelgro Alpha dengan tujuan

Berdasarkan hasil penelitian maka daerah resapan alamiah ditinjau dari kondisi tanah, kemiringan lereng, litologi, dan daerah luahan.. memiliki luas 6 juta m 2 , atau 36% dari

PIHAK yang menerima pemberitahuan KEADAAN MEMAKSA, maka PARA PIHAK akan meneruskan kewajiban sesuai dengan ketentuan  –   ketentuan dalam PERJANJIAN ini dan jika KEADAAN

Hakim Mahkamah Agung tidak tepat menerapkan hukum dengan mengkualifikasikan gugatan wanprestasi dari kreditur yang bernama Karsono atas tidak ada itikad baik untuk

Hasil uji statistik variabel keberadaan genangan air di sekitar rumah kurang dari 500 meter, tidak memiliki pengaruh yang signi fi kan dengan kejadian filariasis limfatik, tidak