• Tidak ada hasil yang ditemukan

ECOLOGY S ROLE OF DUNG BEETLES AS SECONDARY SEED DISPERSER IN LAMPUNG UNIVERSITY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ECOLOGY S ROLE OF DUNG BEETLES AS SECONDARY SEED DISPERSER IN LAMPUNG UNIVERSITY"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

115

ECOLOGY’S ROLE OF DUNG BEETLES AS SECONDARY SEED

DISPERSER IN LAMPUNG UNIVERSITY

Bainah Sari Dewi*, dan Ida Pari Purnawan

Forestry Department Faculty of Agriculture Lampung University

*E-mail: bainahsariwicaksono@yahoo.com

ABSTRACT

The ecology’s role of dung beetle s as secondary seed disperser had been identified in Lampung University, Bandar Lampung, Indonesia, March 2012. Lampung University area is cover by green trees and arboretum around 30%. It is the important habitat for dung beetle s. Research had been investigated in five plots of area. Traps method for capture dung beetle s and literatures study where done for analyzes data. It was found that the characteristic of dung beetle s as the secondary seed disperser in Lampung University. From the three type of dung beetle s (Tunneller, Dweller, Roller) had been found Tunneller type in Lampung University as Scarabaeid, consist of

Apodhius marginellus (2), Onthophagus sp 1 (119), Onthophagus sp 2 (5), and Pachylister chinensis (13).

Keywords: Dung beetle, Secondary seed disperser, Trap, Lampung University.

1. PENDAHULUAN

Keanekaragaman kumbang kotoran di Indonesia sangat tinggi dan memiliki endemisme jenis pada setiap pulau.

Diperkirakan sekitar 1.500 spesies

kumbang kotoran Scarabaeidae ditemukan di Indonesia dan hingga kini baru sekitar 450 jenis dideskripsi (Hanski & Krikken 1991). Sebagian besar Scarabaeidae

terutama sub famili Scarabaeinae

berasosiasi dengan kotoran mamalia (sapi,kerbau, gajah, rusa dll.), unggas (ayam, burung) dan manusia.

Kumbang tinja (dung beetles) merupakan anggota kelompok Coleoptera dari suku Scarabaeidae yang lebih dikenal sebagai scarab. Kumbang-kumbang ini mudah dikenali dengan bentuk tubuhnya yang cembung, bulat telur atau memanjang dengan tungkai bertarsi 5 ruas dan sungut 8-11 ruas dan berlembar. Tiga sampai tujuh ruas terakhir antena umumnya meluas menjadi struktur-struktur seperti lempeng yang dibentangkan sangat lebar atau bersatu membentuk satu gada ujung yang padat. Tibia tungkai depan membesar dengan tepi luar bergeligi atau berlekuk. Pada kelompok kumbang pemakan tinja bentuk kaki ini khas sebagai kaki penggali (Borror et al., 1989). Semua kumbang tinja adalah scarab tetapi tidak semua scarab merupakan kumbang tinja.

Dari berbagai spesies kumbang yang sering ditemukan pada kotoran hewan, yang termasuk kumbang tinja sejati adalah dari superfamili Scarabaeoidea famili Scarabaeidae, Aphodiidae dan Geotrupidae (Hanski and Cambefort 1991). Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 1000 jenis kumbang scarab (Noerdjito, 2003).

Kumbang tinja scarabaeids (scarabaeids

dungbeetles) merupakan salah satu

kelompok dalam famili Scarabaeidae (Insecta: Coleoptera) yang dikenal karena hidupnya pada tinja. Anggota dari famili Scarabaeidae yang lain sebagai pemakan tumbuhan (Borror et al., 1992). Beberapa

famili lain misalnya: Histeridae,

Staphylinidae, Hydrophilidae dan Silphidae juga hidup pada tinja namun tidak termasuk kelompok kumbang tinja karena mereka tidak mengkonsumsi tinja tetapi predator dari Arthropoda yang hidup pada tinja (Britton, 1970; Hanskin and Cambefort, 1991; Hanskin and Krikken, 1991; Krikken, 1989).

Keberadaan kumbang tinja erat kaitannya dengan satwa, karena ia sangat tergantung kepada tinja satwa sebagai sumber pakan

dan substrat untuk melakukaan

reproduksinya. Kumbang tinja scarabaeids merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan tropis (Hanskin and

(2)

116

Cambefort, 1991; Hanskin and Krikken, 1991).

Kekayaan jenis kumbang tinja dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan terutama oleh tipe vegetasi, tipe tanah, dan jenis kotoran (Doube, 1991).

Faktor lainnya seperti garis lintang (Hanski dan Cambefort, 1991), ketinggian tempat, ukuran kotoran hewan, dan musim (Hanski dan Krikken 1991) turut menentukan

keragaman spesies kumbang tinja.

Lumaret dan Kirk (1991) melaporkan terjadinya perubahan kelimpahan relatif spesies kumbang tinja mengikuti tipe vegetasi yang ada di wilayah temperate (iklim sedang), tetapi kelimpahan dari kelompok fungsional yang berbeda relatif

tetap. Dilaporkan juga terjadinya

penurunan keragaman spesies kumbang tinja mengikuti peningkatan penutupan tajuk tumbuhan (vegetation cover) dan hal ini mengindikasikan adanya pengaruh intensitas cahaya. Meskipun demikian hasil studi pada beberapa wilayah tropis tidak

menunjukkan adanya perbedaan

keragaman kumbang tinja pada tingkat penutupan tajuk yang berbeda.

Kumbang tinja tersebar luas pada berbagai ekosistem (ubiquitous), spesiesnya

beragam, mudah dicuplik dan memiliki peran yang penting secara ekologis sehingga merupakan salah satu indikator yang baik terhadap kerusakan hutan tropis yang diakibatkan oleh aktifitas manusia (Nummelin dan Hanski 1989; Davis dan Sutton, 1998).

Doube (1983) menjelaskan bahwa bentuk kanopi tumbuhan dan tipe tanah sangat

berpengaruh terhadap spesies dan

keaktifan kumbang tinja. Di daerah yang bersemak, populasi serta spesies kumbang tinja jauh lebih banyak, jika dibandingkan dengan daerah padang rumput. Hal ini disebabkan di daerah bersemak lebih sesuai untuk aktifitas terbang. Sementara itu pada daerah yang bersemak yang bertanah liat lempung populasi dan spesies- spesies kumbang jauh lebih banyak dari pada yang dijumpai di tanah liat berpasir. Hal ini diakibatkan karena kemampuan tanah liat lempung untuk

mengikat dan menahan air yang

merupakan kebutuhan kumbang tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah liat berpasir. Tipe tanah juga berpengaruh terhadap kelompok kumbang tinja yang

ada. Pada tanah yang gembur lebih banyak ditemukan kelompok endokoprid dibandingkan kelompok dweller (Hanski dan Cambefort, 1991).

Kumbang tinja berperan dalam menjaga penyebaran ‘biji’, sehingga turut menjaga kemampuan regenerasi hutan (Estrada et al., 1999). Kumbang tinja juga dilaporkan membantu penyerbukan tumbuhan tertentu seperti Orchidantha inouei (Lowiaceae, Zingiberales). Tumbuhan ini mengeluarkan bau mirip kotoran hewan sehingga menarik kedatangan kumbang tinja. Kumbang tinja

juga memiliki kemampuan untuk

mensintesis senyawa antimikroba, terbukti dari kemampuannya untuk tetap hidup dan berkembang biak pada kotoran hewan yang dipenuhi berbagai jenis mikroba (jamur dan bakteri) serta nematoda parasit (Vulinuc, 2000). Dengan demikian salah satu potensi kumbang tinja yang belum terungkap adalah sebagai sumber senyawa antimikroba.

Universitas Lampung (Unila) yang dikenal dengan sebutan Kampus Hijau (Green

Campus) memiliki ruang terbuka hijau

dengan vegetasi berupa pepohonan, semak belukar, padang rumput dan tumbuhan rawa, sehingga menciptakan habitat yang berfungsi sebagai cover (tempat berlindung, bersarang, bermain dan beristirahat) serta penyedia pakan bagi berbagai jenis satwa.

Mengingat manfaat keberaadan kumbang tinja yang sangat penting bagi ekosistem

dan peran kumbang tinja sebagai

secondary seed dispersal ini belum banyak

diteliti di Indonesia khususnya di Unila maka penelitian ini menjadi penting untuk dilaksanakan sehingga dapat diketahui berbagai jenis dan jumlah dung beetles sebagai secondary seed disperser di Unila.

2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah

traps method. Menurut Furubayashi et al

(2004), traps method adalah metode dengan pembuatan perangkan untuk hewan kecil, sehingga dengan perangkap tersebut diperoleh hasil yang nyata berkaitan dengan jenis , kemelimpahan,

diversitas/keanekaragaman, dan tipe

kumbang yang menyukai umpan yang diberikan.

(3)

117

2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Selasa, 27 Maret 2012 – Selasa, 2 April 2012, pukul 06.00-08.00 WIB dan 16.00-18.00 WIB di Rawa Universitas Lampung, Tegakan pohon disekitar Fakultas Kedokteran, Arboretum

Fakultas Pertanian, Tegakan pohon

disekitar Jurusan Peternakan Unila, Tegakan pohon disekitar perpustakaan Universitas Lampung.

2.2. Alat dan Bahan

Adapun Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: ember sebanyak 50 buah ( 5 lokasi, dengan 1 lokasi sebanyak 10 ember), gelas aqua 50 buah ( 5 lokasi, dengan 1 lokasi sebanyak 10 ember), fresh feces rusa, plastik gula, spidol, kawat, alat tulis, dan cangkul

2.3. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah kerja dalam penelitian ini yakni dengan menyiapkan ember diameter minimal 20-25 cm sebanyak 50 buah untuk 5 lokasi dengan 10 trap / lokasi, kawat, gelas aqua 50 buah. Fresh feces diambil dan diletakkan di aqua gelas yang telah merekat diember. Tanah dicangkul tanah untuk meletakkan ember yang telah berisi

fresh feces dan air. Feces tersebut diamati

apakah terdapat dung beetle pada setiap pagi hari pukul 06.00-08.00 WIB dan pada sore hari 16.00-18.00 WIB selama 1 minggu.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dung beetle yang memakan feces rusa sambar di traps yang telah dipasang di lokasi penelitian, dung beetle yang berhasil diperoleh adalah dung beetle jenis

Apodhius marginellus (2), Onthophagus sp 1 (119), Onthophagus sp 2 (5), dan Pachylister chinensis (13) yang termasuk

dalam tipe tunneller.

Hanski dan Krikken (1991)

mengklasifikasikan dung beetle menjadi tiga tipe di dunia, yaitu tipe roller, tipe

tunneller, dan tipe dweller. Klasifikasi ini

berlaku di seluruh dunia untuk

membedakan tipe dung beetle berdasarkan caranya memperlakukan feces.

Kumbang tinja dapat berfungsi sebagai pendegradasi materi organik yang berupa tinja satwa liar terutama mamalia, dan

kadang-kadang burung dan reptil. Tinja diuraikan oleh kumbang menjadi partikel dan senyawa sederhana dalam proses yang dikenal dengan daur ulang unsur hara atau siklus hara. Peran lain dari kumbang tinja di alam adalah sebagai penyebar pupuk alam, membantu aerasi tanah, dan pengontrol parasit. Oleh karena fungsinya yang sangat penting dalam ekosistem, kumbang tinja merupakan jenis kunci (keystone species) pada suatu ekosistem.

Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan feces Rusa Sambar (Cervus

unicolor). Feces Rusa Sambar ini diganti

setiap dua periode waktu pengamatan yaitu pada pagi dan sore hari, hal ini dikarenakan agar mendapat feces Rusa yang masih segar. Feces Rusa Sambar yang masaih segar berwarna hijau mengkilap. Segarnya

feces ini menarik Dung beetle untuk berada

di tempat ini dengan membuat perangkap dan mengamati hewan apa saja yang masuk kedalam perangkap.

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan 4 spesies dung

beetle yaitu: Ontophagus sp.1 sebanyak

119 ekor, Ontophagus sp.2 sebanyak 25 ekor, Aphondius marginallus sebanyak 2 ekor, dan Pachylister chiensis sebanyak 13 ekor. Total spesies dung beetle yang ditemukan yaitu 4 spesies dengan total individu dung beetle 137 ekor.

Pengamatan yang dilakukan selama

seminggu berdasarkan waktu aktifitasnya baik nocturnal maupun diurnal diperoleh bahwa jumlah dung beetle pada kurun waktu nocturnal lebih banyak dibandingkan dengan waktu diurnal. Hal ini dikarenakan pengaruh tidak adanya aktivitas manusia di malam hari, diduga akan mengurangi jumlah dung beetles di permukaan tanah sehingga jumlah dung beetles yang mampu tertangkap oleh trap bisa berkurang jumlahnya. Selain itu juga bisa disebabkan oleh pada malam hari cuaca tidak panas sehingga fecesnya tidak kering (lembab). Lokasi yang paling banyak ditemukan dung

beetle yaitu di lokasi Arboretum Unila, hal

tersebut dikarenakan lokasi Arboretum Unila merupakan daerah yang tertutup, mempunyai tingkat kelembaban yang tinggi. Daerah yang lembab mengakibatkan feces rusa tersebut segar dan tetap mengeluarkan bau yang cukup menyegat untuk mengundang berbagai jenis satwa terutama dung beetle untuk mengahampiri tempat tersebut. Lokasi yang paling sedikit

(4)

118

ditemukan dung beetle yaitu di bawah

tower di samping Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Unila. Hal tersebut dikarenakan lokasinya terbuka dan tidak terdapat tajuk yang menutupi sekitar trap, selain itu lokasi tersebut pada saat

pengamatan juga baru selesai di

bersihkan/dibabat sehingga dung beetle banyak yang berpindah tempat.

Pada Saat pengamatan selama 1 minggu, cuaca hanya cerah dan mendung. Jika di sepanjang malam hari tidak turun hujan, maka jumlah dung beetle yang ditemukan keesokan paginya cukup banyak, akan tetapi jika malam harinya terjadinya hujan maka pagi harinya jumlah dung beetle yang ditemukan sedikit. Hal tersebut dikarenakan dung beetle yang tidak keluar di saat hujan, selain itu dung beetle yang telah terperangkap sebelum turun hujan akan masuk kedalam air semakin dalam (tenggelam) jika hujan turun,sehingga cukup menyulitkan peneliti menemukan

dung beetle tersebut.

Ada beberapa faktor yang menentukan keberadaan dung beetle untuk masuk ke dalam trap. Faktornya seperti cuaca, air, ketinggian tempat, penutupan tajuk. Jika air didalam trap dalam kondisi masih bersih tanpa ada hewan yang mati hingga membusuk sedikit memiliki pengaruh dalam hal menarik dung beetle ke trap tersebut, akan tetapi jika kondisi air dalam keadaan bau karna adanya hewan mati yang hampir busuk, maka dung beetle yang ditemukan pada trap tersebut akan lebih banyak. Trap yang paling banyak terdapat dung beetle nya karena faktor air ini adalah di lokasi aboretum Unila pada trap 7,8,9,10. Peneliti juga mengalami kendala jika air dalam keadaan kotor atau terdapat satwa mati yang membusuk, yakni selain baunya yang cukup mengganggu juga menyulitkan peneliti menemukan dung beetle .

Kondisi ketinggian tempat juga

mempengaruhi terperangkapnya dung

beetle . Dari pengamatan dan hasil yang

didapat, dapat dilihat bahwa pada lokasi yang relatih lebih tinggi seperti di bawah tower, jumlah dung beetle yang ditemukan sangat sedikit, akan tetapi faktor ini tidak terlalu berpengaruh. Hal yang lebih berpengaruh yaitu kondisi tajuk di lokasi

trap.

Dalam hal keseimbangan ekosistem di Unila, keberadaan dung beetle yang kurang

ini dapat menjadi sebuah parameter keseimbangan ekosistem pada areal bawah tower Unila. Kurang seimbangnya ekosistem di areal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh gangguan manusia seperti pengerusakan lingkungan. Jika keberadaan

dung beetle semakin berkurang maka

proses-proses ekologis lainnya akan terganggu, penyebaran biji juga akan sedikit terganggu.

4. SIMPULAN

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian di berbagai tipe vegetasi Universitas Lampung terdapat

dung beetle . Peran dung beetle ini sangat

penting sebagai secondary seed disperser dengan memakan feces satwa liar,

membuat bola feces sekaligus

menyelamatkan biji-biji yang terdapat dalam feces menjadi seed bank di dalam habitat Universitas Lampung.

Dung beetle yang berhasil diperoleh di

lapangan menunjukkan dung beetle tipe tunneller dan termasuk dalam Scarabaeid.

PUSTAKA

Borror DJ, Triplehorn CA and Johnson NF. 1992. Introduce to Entomology.

Diterjemahkan oleh S.

Partosoedjono. Edisi ke-6. UGM Press.

Borror, D.J., C.A. Triplehorn, and N.F. Johnson. 1989. An Introduction to the Study of Insects. 7th edition. New York: Saunders College Publishing.

Britton EB. 1970. Coleoptera. The Insects

of Australia Division of Entomology,

CSIRO Canberra. 495-621.

Davis, A.J. and S.L. Sutton. 1998. The effects of rainforest canopy loss on arboreal dung beetle s in Borneo: implications for the measurement of biodiversity in derived tropical ecosystems. Diversity Distribution 4: 167- 173.

Doube B.M.1983. Habitat preference of some bovine dung beetle s

(Coleoptera: Scarabaeide) in

Hluhluwe Game Reserva, South Africa. Bulletin Entomological Research 73 (3): 357-371.

(5)

119

Doube, B.M. 1990. A functional

classification for analysis of the

structure of dung beetles

assemblages. Ecological

Entomology 15: 371-383.

Estrada, A., A. Anzures, and R. Coates-Estrada. 1999. Tropical rain forest fragmentation, howler monkeys (Alouatta pallieta), and dung beetle s at Los Tuxtles, Mexico. American Journal of Primatology 48: 253-262. Furubayashi, K., S. Koike, S. Kasai, and Y. Goto (2004) The role of the Asiatic Black Bear (Ursus thibetanus) in the seed dispersal process of Prunus jamasakura. (in Japanese

with an English summary).

Kankyou Kagaku Sougou

Kenkyujou (An Annual Report of Interdisciplinary Research Institute of Environmental Science) 23: 73-94.

Hanski, I., and J. Krikken (1991) Dung

beetle in tropical forest in

South-East Asia in Hanski, I and Y. Cambefort (eds): Dung beetle ecology. Princeton University Press, Princeton, New Jersey. 179-197p.

Hanskin’s I and Cambefort Y (Eds.). 1991.

Dung beetle Ecology. Princeton

University Press.

Hanskin’s I and Krikken J. 1991. Dung

Beetles in Tropical Forests in Southeast Asia. Dalam: Dung beetle Ecology. Hanskin’s I and

Cambefort Y (Eds.). Hlm 179-197.

Krikken J. 1989. Scarabaeid Dung and

Carrion Beetle (Coleoptera:

Scarabaeidae) and Their Ecological Significance. Petunjuk Identifikasi

Kumbang Scarabaeidae. Sulawesi Tengah.

Lumaret J.P. dan A.A. Kirk. 1991. South temperate dung beetle s.I n: Hanski, I. and Y. Cambefort (eds.).

Dung beetle Ecology. Princeton:

Princeton University Press.

Noerdjito, W.A. 2003. Keragaman kumbang (Coleoptera).Dal am: Amir, M. dan S. Kahono. (ed.). Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa

Bagian Barat. Bogor: JICA

Biodiversity Conservation Project. Nummelin, M. and I. Hanski. 1989. Dung

beetle s of the Kibale Forest,

Uganda: a comparison between

virgin and managed forests.

Journal of Tropical Ecology5:349- 352.

Vulinuc, K. 2000. Dung beetle s

(Coleoptera: Scarabaeida),

monkeys, and conservation in Amazonia. Florida Entomologist 83 (3): 229-241.

Referensi

Dokumen terkait

Atmaja (1988: 14) mengatakan kaitannya dengan kesusastraan, nilai tidak lain dari persepsi dan pengertian yang diperoleh penyimak melalui suatu karya sastra yang

Bayi kurang bulan lanjut sesuai usia kehamilan dan sesuai usia koreksi mempunyai risiko gangguan perkembangan neurologis 4,086 kali lebih besar dibanding dengan bayi cukup bulan..

Banyu Biru untuk tahun 2003 dan 2004, apabila kita lihat dari kondisi keuangan dari beberapa rasio di atas, terlihat bahwa asset dan modal perusahaan belum dimanfaatkan

Jadi, metode mempunyai hubungan dengan prosedur, proses atau teknis yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar menganggap trend gaya busana di era modern yang ada saat ini memang

Penelitian dengan menggunakan model pembelajaran Problem Basde Laerning ini dapat memberikan pengetahuan baru dan pilihan model pembelajaran alternatif bagi guru,

Dari tabel di atas dilihat bahwa skor rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Wonomulyo kabupaten Polman sebesar 67,13. Dengan rentang skor 51 ini

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Salim (2014) yang menunjukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap perataan laba, hal ini berarti tindakan perataan