• Tidak ada hasil yang ditemukan

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB II DASAR TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB II DASAR TEORI"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II DASAR TEORI 2.1 Umum

Jembatan kereta api merupakan sebuah sarana transportasi bebas hambatan, secara historis terdapat cukup banyak jembatan kereta api yang telah dibangun, namun perancangan jembatan kereta api sendiri pun belum cukup menjadi umum. meskipun pada dasarnya terdapat kesamaan dan tidak jauh berbeda dengan jembatan jalan raya tetapi jembatan ini memiliki perbedaan dari segi pembebanan yang diberikan serta standar acuan yang digunakan.

dari pembebanan tersebut lah maka diperlukan sebuah kajian terhadap desain mendetail dari jembatan keretaapi

2.2 Detail EngineeringDesign (DED)

Detail Engineering Design merupakan tahap perancangan yang di lakukan guna mendapatkan sebuah rencana yang sesuai dengan perencanaan secara detail atau rinci. Sebelum melakukan tahap perancangan secara rinci dibutuhkan sebuah tinjauan untuk mendapatkan data lapangan yang menunjang untuk perancangan selanjutnya.

Dengan data yang dimiliki maka tahap perancangan dapat di mulai dengan melakukan studi awal terhadap lokasi dimana proyek tersebut akan dibangun, kemudian di lakukan perencanaan dasar dengan memunculkan beberapa alternative desain yang memiliki spesifikasi yang berbeda, berdasarkan beberapa kriteriasebagai patokan terhadap desain tersebut maka munculah basic desain terpilih berdasarkan bobot atas kriteria yang diberikan, kemudian dilakukan perencanaan teknis secara rinci dari desain yang terpilih yang kemudian akan menghasilkan sebuah analisis perhitungan serta gambar secara detail

               

(2)

2.3 Tahap Perancangan

1. melakukan review terhadap desain terdahulu

2. mempelajari data dan gambar dari jembatan eksisting 3. peninjauan untuk mendapatkan data sekunder

2.4 Acuan Perancangan

Acuan Perancangan terhadap jembatan yang akan di rancang memiliki kriteria sebagai dasar pertimbangan untuk mendapatkan desain yang memenuhi pokok perencanaan, dan juga standar parameter yang tertuang dalam peraturan pemerintah sebagai berikut

2.4.1 Kriteria Desain

Perencanaan jembatan kereta api harus memenuhi pokok-pokok perencanaan sebagai berikut:

1. Kekuatan dan stabilitas struktur. 2. Kenyamanan dan Keselamatan.

3. Kemudahan (pelaksanaan dan pemeliharaan). 4. Ekonomis.

5. Pertimbangan aspek lingkungan, sosial dan aspek keselamatan jembatan. 6. Keawetan dan kelayakan jangka panjang.

7. Estetika.

8. Muka air banjir berdasarkan historis dan perhitungan.

Setelah dilakukan penilaian sesuai dengan kriteria desain, diputuskan opsi mana yang dipilih, kemudian dilanjutkan dengan melakukan perhitungan desain struktur.

2.4.2 Parameter Umum

1. Umur Rencana jembatan standar adalah 50 tahun. 2. Pembebanan Jembatan menggunakan RM 1921. 3. Geometrik:

a) Lebar jembatan minimum 5,7 meter.

               

(3)

b) Kemiringan memanjang maksimum 10 ‰.

c) Ruang bebas vertikal di atas jembatan minimal 5,1 meter.

d) Ruang bebas vertikal dan horizontal di bawah jembatan disesuaikan free board minimal 1,0 meter dari muka air banjir.

e) Untuk kebutuhan estetika tidak menjadi kriteria utama karena jembatan tidak melintasi daerah tertentu/pariwisata.

f) Geometrik jembatan tidak menutup akses penduduk. 4. Material :

a) Mutu beton lantai K-350, bangunan atas minimal K-350.

b) Mutu baja tulangan menggunakan BJTP 24 untuk < D13, dan BJTD 32 atau BJTD 39 untuk ≥ D13, dengan variasi diameter tulangan dibatasi paling banyak 5 ukuran.

c) Mutu baja struktur utama menggunakan minimal BJ37 dan jika menggunakan mutu yang lebih tinggi, tidak melampaui tegangah leleh 550 MPa.

5. Untuk memudahkan validasi koreksi atas gambar rencana, gambar rencana diusahakan sebanyak mungkin dalam bentuk gambar tipikal dan gambar standar.

2.5 Pembebanan

Beban yang ditinjau terdiri dari beban tetap (beban mati dan superimposed dead load) dan beban transien atau beban tidak tetap.

2.5.1 Jenis Beban

Jembatan didesain untuk menahan jenis beban sebagai berikut:

Tabel 2.1 Jenis beban

Tipe Beban Arah Tipe Beban Prinsip

Permanent Load (a) Beban Mati Tetap (D1) Vertikal

(b) Beban Mati Tambahan (D2) Vertikal, berupa: berat sendiri komponen struktur baja/beton; berat sendiri rel,

               

(4)

bantalan dan balas; (c) Gaya Prategang (PS) Body force

(d) Efek Susut dan Rangkak Beton (SH), (CR)

Body force Variable Load (a) Beban Kereta (L) Vertikal

(b) Beban Tumbukan (I) Horisontal (c) Beban Setrifugal (C) Horisontal (d) Beban Lateral Bakal Pelanting

dan Beban Lateral Roda (LF)

Horisontal (e) Beban Pengereman dan Beban

Traksi (B) Horisontal

(f) Beban Kereta Pemeliharaan Jalan Rel (LM)

Vertikal (g) Beban Kerumunan (Lp) Vertikal

(h) Beban Longitudinal Rel Panjang (LR)

Horisontal (i) Efek Perubahan Suhu (T) Body force (j) Beban Angin (W) Horisontal (k) Tekanan Arus Aliran

(Tekanan Air pasang) (Wp)

Horisontal (l) Tekanan Tanah (EL) Horisontal (m) Beban Selama Konstruksi (ER) Horisontal

Accidental Load (a) Efek Gempa (EQ) Horisontal

(b) Beban Tabrakan (M) Horisontal

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

2.5.2 Beban Mati

Berat jenis bahan yang biasanya digunakan dalam perhitungan beban mati adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2 Berat Jenis Bahan

Baja, Baja Cor 78.50 KN/m3

Besi Cor 72.50 KN/m3

Kayu 8 KN/m3

Beton 24 KN/m3

Aspal Anti Air 11 KN/m3

Ballast Gravel atau Batu Pecah 19 N/m3

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

               

(5)

2.5.3 Beban Hidup

Beban kereta yang digunakan sebagai beban hidup adalah 100% RM 1921, sebagaimana tertera pada tabel di bawah. Perhitungan menunjukkan bahwa biasanya 100% RM 1921 merupakan beban yang paling membahayakan. Rencana pembebanan ini berlaku baik untuk jembatan baja maupun beton.

Tabel 2.3 Skema Pembebanan RM 1921

Sumber : Rencana muatan 1921

Kemungkinan rangkaian kereta api yang ditinjau adalah: Loc + Td + Loc + Td Loc + Td + Td + Loc Td + Loc + Loc + Td Td + Loc + Td + Loc                

(6)

dengan, Td = Tender Loc = Lokomotif

Dari skema ini senantiasa dipergunakan yang memberikan hasil yang amat tidak menguntungkan (berbahaya).

2.5.4 Beban Kejut

Beban kejut diperoleh dengan mengalikan faktor i terhadap beban kereta. Faktor kejut hanya diberlakukan untuk muatan vertikal saja. Untuk jembatan baja faktor i adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a. untuk rel pada alas balas

(2.3)

b. untuk rel pada perletakan kayu

(2.4)

c. untuk rel secara langsung pada baja

(2.5)

dimana i = faktor kejut, L = panjang bentang (m).

2.5.5 Beban Horizontal

2.5.5.1 Beban Lateral Bakal Pelanting dan Beban Lateral Roda (LF)

(1) Beban lateral bakal pelanting dan beban lateral roda bekerja pada permukaan jalan rel dan bekerja tegak lurus dan arah lateral pada jalan rel. (2) Nilai karakteristik beban lateral pelanting yang digunakan untuk mengkaji

keadaan batas ultimate adalah sebagai berikut:

               

(7)

a. Beban Lokomotif

Beban serial yang terdiri dari 15% beban gandar roda pada tempat bekerjanya merupakan nilai karakteristik beban lokomotif dengan roda penggerah bogey pada masing-masing bogey pada lokomotif dua kepala (double-header) harus dianggap sebagai nilai karakteristik beban bakal pelanting.

b.Beban Kereta Listrik dan Kereta Diesel

Beban serial yang terdiri dari 20% beban gandar pada tempat pembebanan yang merupakan nilai karakteristik beban kereta dengan roda bogey pada setiap sisi kopler bakal pelanting, adalah nilai karakteristik beban lateral bakal pelanting

(3) Nilai karakteristik beban tekanan lateral roda yang digunakan untuk menganalisa keadaan batas ultimate adalah sebagai berikut:

Beban lokomotif, beban kereta listrik dan kereta diesel yang ditunjukkan pada Gambar 2.1(a) adalah nilai karakteristik yang berada pada arah di dalam (lihat Gambar 2.1b). Hal ini harus diperhitungkan untuk bagian dengan kecepatan tinggi.

(a) Untuk Kereta Biasa (b) Untuk Kereta Cepat

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.1 Nilai Karakteristik Beban Lateral Roda

(4) Hanya salah satu beban lateral bakal pelanting atau beban lateral roda yang diperhitungkan untuk jalan rel tunggal.

(5) Untuk jalan rel ganda dimana setiap jalan rel memiliki struktur balok sendiri, beban pada (1), (2), (3) harus dihitung sebagai beban untuk setiap balok. Untuk jalan rel ganda dimana setiap jalan rel memilik struktur balok monolit, beban (1), (2), dan (3) harus dilipatgandakan.

               

(8)

Amax 10 S = Amax 10 S = Amax( R-150 ) 7500 S = S = 0

Gaya menyamping karena tekanan lokomotif dan tekanan angin dianggap tidak bekerja bersama-sama.

a. Pada jalur lurus :

(2.6)

b. Pada jalur lengkungan : R  900 m (2.7) 150 < R < 900 m (2.8) R  150 m (2.9)

dengan: A = Muatan gandar terbesar (tanpa koef. kejut) R = Jari-jari lengkungan dalam (m)

Gaya menyamping ini diambil nilai yang paling menentukan dari semua nilai di atas yang memungkinkan.

2.5.5.2 Beban Rem dan Traksi (B)

(1) Posisi beban rem dan beban traksi harus diperhitungkan pada pusat gravitasi kereta atau bakal pelanting atau bekerja parallel terhadap jalan rel dan mempunyai arah horizontal pada jalan rel.

(2) Nilai karakteristik beban rem dan beban traksi yang digunakan pada keadaan beban ultimate adalah sebagai berikut.

(a) Untuk Beban Lokomotif

Beban yang ditunjukkan pada Tabel 2.4 adalah nilai karakteristik. Tabel 2.4 Nilai Karakteristik Beban Rem dan Beban Traksi pada Beban Lokomotif

Beban Rem 25% dari nilai karakteristik beban kereta

Beban Traksi 25% dari beban gandar roda sebagai nilai karakteristik beban kereta

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

               

(9)

Catatan: Panjang beban kereta harus dalam cakupan efek terbesar pada elemen

(b) Untuk beban kereta listrik atau kereta diesel, beban yang ditunjukkan pada Tabel 2.5 adalah nilai karakteristik.

Tabel 2.5 Nilai Karakteristik Beban Rem dan Beban Traksi pada Kereta Listrik dan Kereta

Diesel

Beban Rem (0,27 + 1,00 L/M) T Beban Traksi (0,25 + 0,95 L/M) T

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Catatan:

M = Panjang bakal pelanting (1 kereta)

L = Panjang beban kereta dengan efek terbesar pada elemen T = Beban gandar sebagai nilai karakteristik beban kereta

Tabel 2.6 Nilai Karakteristik Beban Rem dan Beban Traksi pada Kereta Cepat (kecepatan lebih

dari 160 km/jam)

Beban Rem (0,20 + 0,80 L/M) T Beban Traksi (0,19 + 0,76 L/M) T

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Catatan:

M = Panjang bakal pelanting (1 kereta)

L = Panjang beban kereta dengan efek terbesar pada elemen T = Beban gandar sebagai nilai karakteristik beban kereta

Sumber lain (RM 1921) menyebutkan bahwa gaya rem diperhitungkan untuk jembatan dengan bentang 20 m dan lebih. Besarnya gaya rem adalah 1/6 berat lokomotif dan 1/10 berat kereta dengan muatan penuh dimana koefisien kejut tidak diperhitungkan.                

(10)

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.2 Penempatan beban traksi dan beban rem

2.5.5.3 Beban Kereta Pemeliharaan Jalan Rel (LM)

Nilai karakteristik beban kereta pemeliharaan jalan rel yang digunakan untuk mengetahui keadaan batas ultimate harus ditetapkan berdasarkan pengaturan gandar, berat aktual dan kapasitas pembebanan maksimum termasuk kereta pemeliharaan jalan rel dengan efek terbesar pada struktur dan elemen.

2.5.5.4 Beban Kerumunan (LP)

Nilai karakteristik beban kerumunan harus ditetapkan untuk setiap kondisi batas yang terkait dengan tujuan penggunaan struktur dan elemen.

Tabel 2.7 Beban Kerumunan (kN/m2)

Elemen Klasifikasi Struktur Normal

(kN/m2) Selama Gempa (kN/m2)

Pelat dan lainnya Jembatan untuk pergantian kereta

5,0 -

Pelat tengah pada jembatan elevasi stasiun, pelat kantilever, tepi jembatan (untuk jalan rel dengan ballast)

Gelagar platform, pelat kantilever, tepi jembatan (pada jalan rel pelat atau jalan rel tanpa ballast)

3,0 -

Balok dan pilar Jembatan untuk pergantian

kereta 3,5 1,5                

(11)

Balok tengah untuk jembatan

stasiun yang dinaikkan 2,1

Balok platform 2,0 1,0

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

2.5.5.5 Beban Rel Panjang Longitudinal (LR)

(1) Nilai karakteristik beban longitudinal rela panjang per jalan rel yang digunakan untuk mengetahui kondisi batas ultimate adalah hasil panjang keseluruhan struktur menerus yang dikalikan 10 kN/m. Namun demikian nilai tersebut harus 2000 kN atau kurang.

(2) Nilai karakteristik beban longitudinal rel panjang yang digunakan untuk mengetahui kondisi batas ultimate dapat berkurang sesuai posisi sambungan pemuaian dan tipe struktur.

(3) Nilai karakteristik beban longitudinal rel panjang yang digunakan dalam kajian retak akibat daya tahan dapat dipertimbangkan sebagai pengurangan nilai beban sampai 80%.

2.5.5.6 Efek Perubahan Suhu

(1) Pada dasarnya, efek perubahan suhu dapat diketahui berdasarkan tipe struktur, kondisi lingkungan, ukuran elemen, ketebalan selimut dan komponen lainnya.

(2) Di dalam analisa struktur statis tak tentu, dapat dinilai bahwa gradien temperatur adalah sama di dalam bagian struktur atau elemen. Dalam hal ini, peningkatan nilai karakteristik dapat dinilai sebagai perbedaan antara nilai maksimum dan minimum temperatur rata-rata bulanan dan temperatur rata-rata tahunan.

(3) Gradien temperatur penampang melintang nominal pada arah vertikal untuk bentuk penampang melintang struktur atas seperti gelagar boks dianggap tidak sama.                

(12)

2.5.5.7 Beban Angin

Tekanan angin dipandang sebagai muatan terbagi rata, tidak dengan kejut. Beban angin bekerja tegak lurus rel, secara horisontal, tipikal nilainya adalah:

a. 3.0 kN/m2 pada areal proyeksi vertikal jembatan tanpa kereta di atasnya.

Namun demikian, 2.0 kN/m2 pada areal proyeksi rangka batang pada arah

datangnya angin, tidak termasuk areal sistem lantai.

b. 1.5 kN/m2 pada areal kereta dan jembatan, dengan kereta di atasnya,

pengecualian 1.2 kN/m2 untuk jembatan selain gelagar dek/rasuk atau

jembatan komposit, sedangkan 0.8 kN/m2 untuk areal proyeksi rangka

batang pada arah datangnya angin.

c. Besarnya tekanan angin adalah 100 kg/m2 atau sebesar q = V2/16 untuk

konstruksi yang melintang jalan rel, misal flyover, talang air, dimana V = kecepatan KA (km/jam).

d. Luas bidang yang tertekan angin ditetapkan sebagai berikut: - Jembatan dinding rangka

Luas bidang yang menerima tekanan angin dapat diambil sama dengan 25% x luas yang dibatasi oleh garis teoritis skema jembatan atau berdasarkan ukuran-ukuran sebenarnya

- Jembatan dinding pelat

Luas bidang yang menerima tekanan angin sama dengan luas bidang dinding pelat.

- Muatan Gerak

Luas bidang yang menerima tekanan angin adalah luas persegi empat setinggi 3 m yang titik beratnya terletak pada 1.5 m diatas kepala rel.

               

(13)

2.5.5.8 Beban Gempa

Metode paling sederhana untuk menganalisa beban gempa adalah metode pergeseran dasar (atau metoda koefiesien gempa), di mana beban ditetapkan sebagai berikut: Kh = Kr (2.10) Kv = 0.5 Kh (2.11) dengan:

Kh = Koefisien gempa horisontal

Kv = Koefisien gempa vertikal

Kr = Koefisien respons gempa

Zonasi gempa mengacu pada Standar Indonesia SNI 03-2833-1992: Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan.

Sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan (SNI 2833 -2008)

Gambar 2.3 Zona Gempa

               

(14)

Dari Gambar di atas, Jembatan KA Babat-Tuban termasuk dalam zona 4, dan respon spectrum di bawah ini akan digunakan dalam analisa dan factor reduksi gempa sudah termasuk didalamnya.

Sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan (SNI 2833 -2008)

Gambar 2.4 Respon Spektrum Zona Gempa 4

Adapun penentuan kondisi tanah mengacu pada tabel di bawah ini. Tabel 2.8 Jenis Tanah

Jenis Tanah Kedalaman Endapan (Alluvium) terhadap batuan keras – lapisan tanah keras

(SPT ≥ 40)

(a) 0 – 3 m

(b) 3,4 – 24,4 m

(c) >25 m

Sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan (SNI 2833 -2008)

2.6 Posisi Beban

Posisi beban ini dibedakan berdasarkan jenis jembatan: (a) jembatan dinding pelat, (b) jembatan dinding rangka.

               

(15)

qbs Pbs POSISI 2 POSISI 1 13.2 m 13.2 m

TENDER LOKOMOTIF TENDER

TENDER

LOKOMOTIF 2.6.1 Jembatan Dinding Pelat

a) Beban Mati

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.5 Beban Mati Untuk Jembatan Dinding Pelat

qbs = Berat sendiri gelegar utama diperhitungkan sebagai sebagai

beban merata yang bekerja sepanjang bentang jembatan; Pbs = Berat sendiri rel, bantalan, gelegar melintang, memanjang,

ikatan angin dan ikatan rem diperhitungkan sebagai beban terpusat yang bekerja pada titik gelegar melintang,

b) Beban Hidup

Posisi beban hidup yang dijadikan dasar perhitungan kekuatan struktur, ditetapkan sedemikian rupa sehingga diperkirakan akan memberikan pengaruh terbesar terhadap suatu komponen struktur.

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.6 Posisi Beban Hidup Pada Jembatan Dinding Pelat

               

(16)

Hrem

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.7 Posisi Gaya Rem Pada Jembatan Dinding Pelat

2.6.2 Jembatan Dinding Rangka

a) Beban Mati

Berat sendiri struktur jembatan baja diperhitungkan secara langsung oleh software dengan memasukkan besar berat volume material yang digunakan. Sedangkan untuk rel dan bantalan diperhitungkan sebagai beban terpusat yang bekerja di titik-titik nodal seperti yang ditunjukkan dalam gambar dibawah ini.

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.8 Beban Mati Pada Jembatan Dinding Rangka b) Beban Hidup

Posisi beban hidup yang dijadikan dasar perhitungan kekuatan struktur, ditetapkan sedemikian rupa sehingga diperkirakan akan memberikan pengaruh terbesar terhadap suatu komponen struktur.

               

(17)

8,75 t/m1 5 t/m1 POSISI 1 POSISI 2 5 t/m1 POSISI 3 POSISI 4 POSISI 5 POSISI 6 6 x 7,80 m= 46,80 m 7 x 15 t 8,0 13,2 m 2 x 13,2 = 26,4 m TENDER LOKOMOTIF

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.9 Posisi Beban Hidup Pada Jembatan Dinding Rangka

2.7 Metoda Desain Bangunan Atas Jembatan

Beberapa pedoman umum yang dapat dipertimbangkan dalam desain bangunan atas jembatan KA adalah:

1. Apabila tidak direncanakan secara khusus maka dapat digunakan bangunan atas jembatan sesuai bentang ekonomis dan kondisi lalu-lintas air di bawahnya seperti:

a. Box Culvert (single, double, triple), bentang 1 s/d 10 meter. b. Voided Slab sampai dengan bentang 6 s/d 16 meter.

c. Gelegar Beton Bertulang Tipe T bentang 6 s/d 25 meter.

d. Gelegar Beton Pratekan Tipe I dan Box bentang 16 s/d 40 meter. e. Girder Komposit Tipe I dan Box bentang 20 s/d 40 meter. f. Rangka Baja bentang 40 s/d 60 meter.

               

(18)

2. Penggunaan bangunan atas diutamakan dari sistem gelegar beton bertulang atau box culvert serta gelagar pratekan untuk bentang pendek dan untuk kondisi lainnya dapat menggunakan gelagar komposit atau rangka baja dan lain sebagainya.

Kekuatan dan Kekakuan dari struktur jembatan pada metode Desain Keadaan Batas didesain dan dinilai berdasarkan tiga keadaan batas yaitu: Keadaan Batas Ultimate, Keadaan Batas Layanan dan Keadaan Batas Fatik. Secara detail akan dijelaskan dalam sub bab berikut.

2.8 Keadaan Batas Ultimate

(1) Keadaan Batas Ultimate adalah kekuatan tertinggi struktur dan komponennya untuk menahan tingkat terbesar pembebanan eksternal. Keadaan Batas Ultimate tersebut harus dihitung dengan menggunakan faktor bahan γ, pada setiap bagian struktur, sedangkan selanjutnya adalah kombinasi pembebanan, masing-masing (i) dikalikan dengan faktor beban, ψ. Keadaan tersebut dinyatakan dalam rumus matematika sebagai berikut:

( ) (2.12)

dengan: ϒ = faktor material

Sn = kekuatan nominal

Li = masing-masing beban yang digunakan

Φ = faktor beban

n = bagian struktur yang dimaksud

i = nomor identifikasi untuk masing-masing beban

(2) Faktor beban untuk tipikal kombinasi pembebanan, seperti yang tercantum pada Tabel 2.9 Kombinasi pembebanan ini berlaku untuk jembatan baja.

               

(19)

Tabel 2.9 Faktor Beban No Kombinasi Pembebanan Faktor Beban

Tetap Beban Transien

D L (L x I i) C (L x α) LR LF B W1 W2 E 1 1,0 1,1 1,1 1,1 1,0 2 1,0 1,1 1,1 1,1 1,0 1,0 1,0 3 1,0 1,1 1,0 1,0 1,0 4 1,0 1,2 5 1,0 1,1 6 1,1 1,0 7 1,1 1,0 8 1,0 1,0 1,0 1,0 9 1,0 10 1,0 1,0 1,0

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

dengan: D = Beban Mati L = Beban Hidup I = (L x i) = Beban Kejut

C = (L x α) = Beban Centrifugal LR= Beban Rel Panjang Longitudinal

LF= Beban Lateral

B = Beban Pengereman dan Traksi W1 = Beban Angin (Tanpa Kereta)

W2= Beban Angin (Dengan Kereta)

E = Beban Gempa

(3) Faktor bahan untuk tipikal Keadaan tegangan diuraikan pada Tabel 2.10

Tabel 2.10 Faktor Bahan

Bahan Keadaan

Tegangan ϒ

400 Baja

(seperti BJ 36) Geser Tarik 1,05 1,05

Lentur 1,05 Tekan 1,05                

(20)

5000 Baja

(seperti BJ 50) Geser Tarik 1,15 1,15

Lentur 1,15

Tekan 1,0

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Catatan: Logam las pada bagian struktur yang dimaksud diberlakukan faktor bahan yang sama.Kombinasi pembebanan untuk jembatan beton diberikan dalam table 2.11 berikut.

Tabel 2.11 Kombinasi Pembebanan untuk jembatan beton

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

               

(21)

Catatan:

{ } beban variable sekunder.

[ ] beban harus diperhitungkan sesuai keperluan (ditentukan oleh perancang dan pemilik)

Apabila beban tetap yang lebih kecil tidak menentukan, beban mati harus dikalikan 0.8–1.0.

2.9 Keadaan Batas Layanan

(1) Struktur dan komponen terkait harus didesain untuk keadaan batas layanan dengan mengendalikan atau membatasi besar defleksi.

(2) Defleksi balok harus ditetapkan dengan batasan yang sesuai. Defleksi balok akibat beban mati dan beban hidup pada dasarnya tidak boleh melampui sebagai berikut:

Tabel 2.12 Tipikal Batas Defleksi

Jenis Kereta Gelagar

Rangka Batang L (m) 0 < L < 50 L ≥ 50 Seluruh Bentang Lokomotif L/800 L/700 L/1000 Kereta listrik dan/atau kereta diesel V (km/jam) V ≤ 100 L/700 100 < V ≤ 130 L/800 L/700 130 < V ≤ 160 L/1100 L/900

dengan: V = kecepatan kereta (km/jam) , L = panjang bentang (m)

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

               

(22)

2.10 Bahan

2.10.1 Sifat fisik baja struktur

Modulus Elastisitas: E = 2.10 x 105 MPa Modulus Geser: G = 81 x 103 MPa Rasio Poisson: v = 0.30

Koefisien Pemuaian Panas: 12 x 10-6 per °C

Material baja mengacu pada Standar Indonesia SNI 03-1729-2002: Desain Standar Struktur Baja untuk Bangunan, seperti dalam Tabel di bawah.

Tabel 2.13 Tabel mutu baja

Jenis

Baja Tegangan putus Minimum, fu (MPa) Tegangan leleh minimum, fy (MPa) Regangan minimum (%) BJ34 340 210 22 BJ37 370 240 20 BJ41 410 250 18 BJ50 500 290 16 BJ55 550 410 13

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

i. Kekuatan Dasar

Kekuatan Dasar bahan baja struktur adalah Tegangan Leleh sebagaimana disebutkan di dalam SNI.

ii. Kekuatan Desain

Kekuatan Desain Bahan berdasarkan Tegangan Leleh, fy adalah sebagai berikut:

a. Kekuatan tarik : σtu=fy (2.13)                

(23)

b. Kekuatan tekan tergantung pada rasio kelangsingan l/r dari komponen yang dimaksud, lihat Tabel di bawah.

Tabel 2.14 Kekuatan desain akibat gaya tekan

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Tabel 2.15 Panjang tekuk: l

Panjang Tekuk l

Batang dari rangka (truss) Panjang komponen Di luar bidang badan rangka Panjang komponen

Pada bidang badan 0.9 kali panjang komponen Kerangka lateral dan perkuatan Panjang komponen

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

c. Kekuatan geser

3τy = fy / S3 (2.14)

Tabel 2.16 Kekuatan Desain untuk Geser u (N/mm2)

Tipe Material SS 400 SM 400 SM 490 SS 490 Y SM 520 SMA 490 SM 570 SMA 570 Kekuatan Desain 135 180 205 260

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Tabel 2.17 Kekuatan Desain untuk Bearing p (N/mm2)

Tipe Material SS 400 SM 400 SMA 400 SM 490 SS 490 Y SM 520 SMA 490 SM 570 SMA 570                

(24)

Kekuatan Desain 350 470 520 570

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

2.10.2 Bahan untuk Sambungan 2.10.2.1 Baut Biasa (Ordinary Bolt)

Sifat mekanis baut biasa harus ditetapkan berdasarkan tingkat kekuatan sebagaimana disyaratkan masing-masing pada standar nasional/internasional yang ada.

Tabel 2.18 Desain Baut Biasa (N/mm2)

Kekuatan Desain

Tipe Baut Kelas 4.6

Geser

Bearing/Tumpu

140 365

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

2.10.2.2 Baut Berkekuatan Tinggi (High Strength Bolt – HSB)

Sifat mekanis dan tingkat kekuatan Baut Berkekuatan Tinggi adalah sebagaimana ditetapkan pada negara pemasok, seperti:

Amerika ASTM A325, dll

Jepang JIS, F8T, dll

Inggris (Eropa) BS Tingkat 8.8, dll.

Tabel 2.19 Kekuatan Desain untuk Tarik (kN)

Tipe Baut F 8 T F 10 T S 10 T Diameter Nominal M 16 M 20 M 22 M 24 85 133 165 192 106 165 205 238

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

               

(25)

Tabel 2.20 Kekuatan Desain untuk Tegangan Geser (N/mm2)

Tipe Baut B6T B8T

Kekuatan Desain 185 245

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

2.10.2.3 Baut-High Strength Friction Grip (HSFG)

Kekuatan Desain sampai Slip (Baut-HSFG) Pa (kN)

Tabel 2.21 Desain baut mutu tinggi

Diameter Nominal Tipe Baut F8 T Kelas 4.6 M 16 34 42 M 20 53 66 M 22 66 82 M 24 77 95

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

2.10.3 Sambungan Las

Kekuatan dasar logam las harus setara dengan bahan utama, dengan ketentuan bahwa berdasarkan sifat metalurgi cukup digunakan sebagai bahan las (electroda). Las harus direncanakan sesuai dengan cara rencana keadaan batas ultimit. Kekuatan kelompok las yang menahan beban yang bekerja, dalam pendekatan ini, kekuatan las yang ditentukan harus dikalikan dengan faktor sebagai berikut: a. las tumpul penetrasi penuh..…...……… 0,55

b. jenis las lain...…...…..……... 0,44

2.10.3.1 Las tumpul penetrasi penuh dan sebagian Ukuran Las

Ukuran las tumpul penetrasi penuh pada sambungan T atau sambungan sudut, dan ukuran las penetrasi sebagian adalah jarak antara ujung luar sampai dengan ujung dalam persiapan las, tidak termasuk perkuatan.

               

(26)

Tebal Rencana Leher

Tebal rencana leher harus sebagai berikut: a. Las tumpul penetrasi penuh

Tebal rencana leher untuk las tumpul penetrasi penuh adalah ukuran las. b. Las tumpul penetrasi sebagian

Tebal rencana leher untuk las tumpul penetrasi sebagian harus sebagai dispesifikasi dalam Tabel 2.22.

Tabel 2.22 Tebal leher dari las tumpul penetrasi sebagian

Jenis Las Tumpul

Penetrasi Sebagian Sudut Persiapanθ

Tebal Leher Rencana (mm) V tunggal θ < 60 0 θ > 60 0 d – 3 mm d V ganda θ < 60 0 θ > 60 0 d3 + d4 – 6 mm d3 + d4 d = kedalaman persiapan, (d3 dan d4 adalah untuk nilai untuk tiap sisi las) θ = sudut persiapan

Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung(SNI 03-1729-2002)

Panjang Efektif Dan Luas Efektif

Panjang efektif las tumpul adalah jumlah dari panjang las ukuran penuh dan luas efektif las tumpul adalah perkalian panjang efektif dengan tebal rencana leher.

Peralihan tebal atau lebar

Sambungan las tumpul antara bagian dengan tebal berbeda atau lebar tidak sama yang memikul tarik harus mempunyai peralihan halus antara permukaan atau tepi. Peralihan harus dibuat dengan melandaikan bagian lebih tebal atau dengan melandaikan permukaan las atau dengan kombinasi dari keduanya, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.10. Kelandaian peralihan antara bagian-bagian tidak boleh melebihi 1:1. Namun, ketentuan untuk fatik mensyaratkan kelandaian lebih kecil dari ini atau suatu peralihan lengkung antara bagian untuk beberapa kategori detil fatik.                

(27)

Penentuan Kekuatan Las Tumpul

Penentuan kekuatan las tumpul harus sebagai berikut: a. Las tumpul penetrasi penuh

Kekuatan rencana las tumpul penetrasi penuh harus diambil sama dengan kapasitas nominal bagian lebih lemah pada bagian-bagian tersambung dikalikan faktor reduksi kekuatan sesuai untuk las tumpul penetrasi penuh adalah 0,9 dengan syarat bahwa cara pengelasan sesuai dengan kualifikasi yang disyaratkan oleh yang berwenang.

b. Las tumpul penetrasi sebagian

Kekuatan rencana las tumpul penetrasi sebagian harus dihitung seperti untuk las sudut dengan menggunakan tebal rencana leher yang ditentukan. Las tumpul penetrasi sebagian tidak boleh digunakan untuk menyalurkan beban tarik atau tekan.

2.10.3.2 Las sudut Ukuran las sudut

Ukuran las sudut dinyatakan oleh panjang kakinya. Panjang kaki harus ditentukan sebagai panjang, tw1, tw2, dari sisi yang terletak sepanjang kaki segitiga yang

terbentuk oleh penampang melintang las (lihat Gambar 2.10(a) dan (b)). Apabila kaki sama panjang, ukuran dinyatakan oleh dimensi tunggal, tw. Bila terdapat sela

akar, ukuran, tw, diberikan oleh panjang kaki segitiga yang terbentuk dengan

mengurangi sela akar seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.10(c).

               

(28)

Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung(SNI 03-1729-2002)

Gambar 2.10 Ukuran las sudut

               

(29)

Ukuran Minimum Las Sudut

Ukuran minimum las sudut, selain dari las sudut yang digunakan untuk memperkuat last umpul, harus sesuai Tabel 2.23, kecuali bahwa ukuran las tidak boleh lebih besar dari bagian yang paling tipis dalam sambungan.

Tabel 2.23 Ukuran minimum las sudut

Tebal Bagian Paling Tebal t mm

Ukuran Minimum Las Sudut

twmm 3 4 5 6 8 10 12

Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung(SNI 03-1729-2002)

Ukuran Maksimum Las Sudut Sepanjang Tepi

Ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi bahan adalah:

a) Untuk bahan dengan tebal kurang dari 6 mm, diambil tebal bahan (Gambar 2.11a)

b) Untuk bahan dengan tebal 6 mm atau lebih (lihat Gambar 2.11 (b)), kecuali tebal rencana leher disyaratkan lain pada gambar (lihat Gambar 2.11 (c)), ukuran las harus diambil sebesar tebal bahan dikurangi 1 mm.

               

(30)

Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung(SNI 03-1729-2002)

Gambar 2.11 Ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi

Tebal Rencana Leher

Tebal rencana leher, tt dari las sudut adalah seperti ditunjukkan dalam Gambar

2.12. Untuk las yang dibuat dengan cara pengelasan otomatik, suatu peningkatan tebal rencana leher B dapat diijinkan seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.12, dengan syarat bahwa dapat dibuktikan melalui pengujian makro pada hasil las bahwa penetrasi yang disyaratkan telah tercapai. Bila penetrasi demikian tercapai, ukuran las yang disyaratkan dapat dikurangi sebanding dengan tebal rencana leher yang disyaratkan.

Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung(SNI 03-1729-2002)

Gambar 2.12 Las penetrasi dalam

               

(31)

Panjang Efektif

Panjang efektif las sudut adalah seluruh panjang las sudut berukuran penuh, termasuk putaran ujung. Tidak perlu mengadakan reduksi panjang efektif untuk permulaan atau kawah las bila las adalah berukuran penuh pada seluruh panjang. Panjang efektif minimum las sudut adalah 4 kali ukuran las. Namun, bila perbandingan panjang efektif las terhadap ukuran las tidak sesuai persyaratan ini, ukuran las untuk perencanaan harus diambil sebesar 0,25 kali panjang efektif. Persyaratan panjang minimum berlaku juga untuk sambungan lewatan. Tiap segmen dari las sudut tidak menerus harus mempunyai panjang efektif tidak kurang dari 40 mm atau 4 kali ukuran nominal las, diambil yang lebih besar.

Luas Efektif

Luas efektif las sudut adalah perkalian panjang efektif dan tebal rencana leher.

Jarak Melintang Antar Las Sudut

Bila dua las sudut sejajar menghubungkan 2 komponen dalam arah gaya rencana untuk membentuk unsur tersusun, jarak melintang antar las tidak boleh melebihi 32 tp, kecuali pada ujung unsur tarik jika dipergunakan las sudut terputus-putus,

jarak melintang tidak boleh melebihi 16 tp atau 200 mm, di mana tp adalah tebal

terkecil dari 2 komponen yang disambung. Agar persyaratan di atas terpenuhi, dizinkan untuk mempergunakan las sudut dalam sela dan atau lubang dalam arah gaya rencana.

Jarak Antar Las Sudut Tidak Menerus

Kecuali pada ujung unsur tersusun, jarak bersih antara las sudut terputus-putus, sepanjang garis las, tidak boleh melebihi nilai terkecil dari:

a. untuk elemen yang mengalami tekan 16 tp dan 300 mm.

b. untuk elemen yang mengalami tarikan 24 tp dan 300 mm.                

(32)

Unsur Tersusun-Las Sudut Terputus-Putus

Las sudut yang terputus-putus tidak boleh digunakan untuk sambungan, atau pada tempat dimana korosi dapat membahayakan struktur. Bila las sudut terputus-putus menghubungkan komponen untuk membentuk unsur tersusun, las harus memenuhi persyaratan berikut:

a. Pada ujung komponen tarik atau tekan dari balok, atau pada ujung unsur tarik, bila hanya digunakan las sudut pada sisi komponen, panjang las pada tiap garis sambungan paling sedikit sama dengan lebar komponen yang di sambung. Bila lebar komponen yang disambung adalah tirus, panjang las adalah nilai terbesar dari:

1. Lebar bagian yang paling besar, dan 2. Panjang bagian yang tirus

b. Pada pelat penutup atau pelat dasar unsur tekan, las harus mempunyai panjang pada setiap garis sambungan sebesar paling sedikit lebar maksimum unsur pada permukaan kontak.

c. Bila balok dihubungkan pada permukaan unsur tekan, las yang menghubungkan komponen unsur tekan harus mencakup melewati tepi atas dan tepi bawah balok dan disamping itu:

1. Untuk sambungan tidak terkekang, suatu jarak d di bawah permukaan bawah dari gelagar, dan

2. Untuk sambungan terkekang, suatu jarak d di atas dan di bawah permukaan

atas dan bawah gelagar, di mana d adalah dimensi maksimum penampang melintang dari unsur tekan.

Keadaan batas ultimit untuk las sudut

Las sudut yang memikul gaya rencana per satuan panjang las, Vw*, harus

memenuhi:

(2.15)

Gaya rencana per satuan paniang, Vw *, adalah jumlah vektor gaya rencana per

satuan panjang pada luas efektif las. Kekuatan nominal las sudut per satuan

               

(33)

panjang harus dihitung sebagai berikut:

(2.16)

dengan pengertian :

Ø adalah faktor reduksi kekuatan 0,75

fuw adalah kekuatan nominal las sudut per satuan panjang, dinyatakan

dalam Mega Pascal,(MPa).

tt adalah lebar rencana leher, dinyatakan dalam milimeter, (mm)

kr adalah faktor reduksi yang dapat dilihat pada Tabel 2.7 untuk

memperhitungkan panjang hubungan lebih yang di las, Lw. Untuk

semua jenis hubungan lain, kr =1,0

Tabel 2.24 Faktor reduksi untuk hubungan lebih yang dilas, kr

Panjang las, , (m)

1,00 0,62

Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung(SNI 03-1729-2002)

2.11 Lengkungan Lawan Lendut (Chamber)

Lengkungan lawan-lendut tidak diperlukan apabila bentang kurang dari 30 meter. Selain itu, persyaratan untuk menyeimbangkan defleksi adalah akibat beban mati dan satu pertiga atau seperempat beban hidup.

Dengan demikian untuk jembatan KA jalur Babat – Tuban, analisa terhadap lawan lendut hanya akan dilakukan untuk BH20 yang melintasi Sungai Bengawan Solo, yaitu 5 x 45 meter.

2.12 Sistem Lantai

1. Untuk membentuk sistem lantai lebih disarankan menggunakan sambungan baut

2. Pada sambungan digunakan pelat pengaku dan siku dengan penambat baut 3. Panjang siku sedapat mungkin harus cukup untuk memenuhi ketinggian

komponen sambungan.                

(34)

4. Balok lantai harus disambungkan ke balok utama atau rangka batang dengan sudut siku-siku.

5. Apabila balok memanjang ditempatkan di atas balok lantai (pada atas flens atas), harus didesain tahanan stabilitas yang cukup.

2.13 Bracing

1. Sistem lantai harus didesain cukup kaku untuk mengatasi ketidakstabilan lateral.

2. Komponen pada bracing ganda harus dapat secara efektif menahan gaya tarik dan tekan secara bersamaan.

3. Rangka batang penahan rem untuk menahan gaya rem dan traksi apabila diperlukan harus ditempatkan pada titik tengah balok memanjang tanpa sambungan expansi.

4. Pada jembatan rangka dinding, kerangka portal disarankan diletakkan untuk menahan beban lateral yang bekerja pada batang atas rangka batang yang berdekatan.

2.14 Pelat Gelagar

2.14.1 Ketebalan Pelat Badan

Rasio D/t tidak melampaui 170, kecuali apabila digunakan pengaku sesuai. dengan: D = tinggi bersih pelat badan

t = ketebalan pelat badan 2.14.2 Pelat Penutup

Areal penampang lintang pelat penutup tidak boleh melampaui dua kali tebal flens yang akan ditutup. Panjang las harus sepenuh panjang pelat penutup yang

disambungnya.                

(35)

2.14.3 Pengaku

1. Diperlukan untuk memberikan pengaku

a. pada titik beban terpusat, seperti perletakan jembatan

b. pada titik sambung dengan komponen lainnya, seperti balok lantai 2. Ujung pengaku harus berada rapat dengan flens.

2.14.4 Jarak antara Pengaku Antara

d maksimum dihitung sebagai berikut:

(2.17)

dengan: d = jarak antara pengaku (mm) t = tebal pelat badan

τ = tegangan geser pelat badan antara dua pengaku yang berdekatan

dalam kgf/mm2 atau dalam 1/10 · N/mm2)

2.15 Rangka Batang

2.15.1 Komponen Rangka Batang

1. Komponen rangka batang bagian ujung disarankan mempunyai penampang kotak.

2. Penampang melintang tipikal komponen rangka sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.13 harus memenuhi γy〉γx

               

(36)

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.13 Tipikal penampang melintang komponen batang

2.15.2 Pelat buhul sambungan

Ketebalan minimum pelat buhul sambungan pada titik buhul adalah:

(2.18)

,

atau 11mm, mana yang lebih besar dengan: t = tebal pelat buhul

P = gaya aksial maksimum yang dipikul oleh komponen (kN) b = lebar elemen komponen yang disambung ke pelat buhul (mm)

2.16 Perletakan

Perletakan jembatan ini didesain dengan menggunakan perletakan Jenis Roller atau rocker dikarenakan tipe jembatan ini menggunakan jembatan rangka dengan koefisien gesek dari perletakan ini yaitu 0,10.

               

(37)

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

Gambar 2.14 Tebal minimum perletakan

Gambar 2.15 Ruang bebas untuk batang yang berdekatan

Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia

               

Gambar

Tabel 2.1 Jenis beban
Tabel 2.2  Berat Jenis Bahan
Tabel 2.3  Skema Pembebanan RM 1921
Tabel 2.4  Nilai Karakteristik Beban Rem dan Beban Traksi pada Beban Lokomotif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Toimijoiden välille syntyvät suhteet mainonnan alan toimijaverkostossa näyttäytyvät erityisesti voimasuhteina, jotka tukevat toimijoille syntyviä roolipositioita

Enkapsulasi alga coklat menggunakan aqua-gel silika yang diperoleh dari larutan sol gel yang berasal dari serbuk kaca.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas

Permeabilitas membarana glomerulus 100-1000 kali lebih permiabel dibandingkan dengan permiabilitas kapiler pada jaringan lain laju filtrasi glomerulus (GFR= Glomerulus

bedaan nampak pada gejala penurunan berat badan, nafsu makan baik yang dalam penelitian ini tidak begitu menonjol dengan presentase yang kecil. Selain itu pada dalam

Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif

Arun LNG Lhokseumawe diperkirakan seluas 2.500 ha, terdiri dari tiga tipe habitat; areal kebun binaan yang terdiri dari vegetasi pisang dan pinang, kawasan semak belukar

Penetapan Kadar Inulin dalam Ekstrak Air Umbi Bengkuang (Pachyrhizus erosus L.) dari Beberapa Daerah di Jawa Timur berdasarkan Perbedaan Ketinggian dengan Metode

Sedangkan pada kelompok skipping hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara latihan skipping terhadap kecepatan lari 60 meter siswa Kelas V