• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Marliono (2008) dalam penelitiannya Analisis Peningkatan Produksi Usaha Perkebunan Kopi Kaitannya Dengan Pengembangan Wilayah di Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir (Studi Kasus : Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir). Metode analisis data yang digunakan perhitungan secara serentak untuk hubungan antara produksi, modal dan tenaga kerja. Terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dan bersama-sama antara faktor produksi, modal, luas lahan dan pengalaman bertani terhadap produksi kopi. Dimana variabel luas lahan berpengaruh dominan terhadap produksi tanaman kopi.

Pemilihan sampel dilakukan secara purposive artinya penentuan daerah dilakukan dengan sengaja. Metode analisis yang digunakan yaitu dengan menggunakan angka indeks akan dapat diketahui perkembangan produksi, luas areal, produktivitas dan harga jual kopi Arabika apakah meningkat, menurun, atau tetap dan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian sebagai berikut: Volume produksi kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara periode 2007-2012 meningkat rata-rata sebesar 265,5 ton pertahun dengan pertumbuhan sebesar 2,9% per tahun. Perkembangan luas areal kopi Arabika di Kabupaten Tapanuli Utara meningkat rata-rata sebesar 236,1 ha/tahun dengan pertumbuhan sebesar 2,7% pertahun. Sedangkan peningkatan produktvitas kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara relatif tetap yaitu sebesar 0,002 ton/ha/tahun, hal ini

(2)

masih tergolong rendah. Peningkatan volume produksi kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara semata-mata disebabkan oleh adanya perluasan areal tanaman kopi yang demikian berkembang, bukan dikarenakan oleh adanya peningkatan produktivitas. Harga jual kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara lebih rendah dibandingkan dengan harga jual di Sumatera Utara dan harga ekspor sehingga memiliki nilai daya saing di pasar domestik dan internasional. Usahatani kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara memiliki daya saing karena memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif sehingga usahatani kopi ini layak untuk dikembangkan. Kebijakan pemerintah pada harga input-output terhadap usahatani kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara berdampak negatif bagi penerimaan petani pada harga output. Namun kebijakan tersebut berdampak positif.

Hutauruk (2009) dalam penelitiannya Pengaruh Pendidikan Dan Pengalaman Petani Terhadap Tingkat Produktivitas Tanaman Kopi Dan Kontribusinya Terhadap Pengembangan Wilayah Di Kabupaten Tapanuli Utara. Pengetahuan petani sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengalaman yang dimilikinya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman petani maka diharapkan semakin tinggi pula produktivitas tanaman yang dihasilkan. Namun masalahnya adalah apakah pendidikan atau pengalaman petani kopi menentukan produktivitas tanaman kopi dan bagaimana kontribusinya terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Utara. Atas dasar itu maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan dan pengalaman terhadap tingkat produktivitas tanaman kopi dan mengetahui kontribusi produktivitas tanaman kopi terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten

(3)

Tapanuli Utara. Populasi penelitian ini adalah petani kopi yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. Penetapan sampel penelitian berdasarkan teknik Proporsional Random Sampling dengan mengambil tiga wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Siborongborong, Sipahutar dan Pangaribuan dengan total sampel berjumlah 95 orang. Teknik pengumpulan data melalui kuisioner dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendidikan (formal dan non formal) dan pengalaman berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas tanaman kopi. Sedangkan faktor pendidikan formal berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap produktivitas tanaman kopi di Kabupaten Tapanuli Utara. Kontribusi produktivitas tanaman kopi terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Utara dapat dilihat dari pendapatan, penyerapan tenaga kerja, semakin berkembangnya toko - toko pertanian dan pedagang pengumpul serta berdirinya pabrik pengolahan biji kopi di Kecamatan Siborongborong.

Kuswarsidi, M. 2010 dalam penelitiannya Analisa Produksi dan Pengembangan Kopi Rakyat di Kabupaten Jember. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Teknik budidaya kopi yang sebaiknya dilakukan oleh perkebunan kopi rakyat, (2) skala usaha dalam pengelolaan perkebunan kopi rakyat, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi produksi perkebunan kopi rakyat di kabupaten Jember, (4) prospek perkebunan kopi sampai tahun 2015 di Kabupaten Jember dan (5) peluang pasar kopi rakyat di masa yang akan 8ariab. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja di kabupaten Jember. Metode penelitian yang digunakan metode deskriptif dan metode Asosiatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variable atau lebih. Alat analisa yang digunakan adalah fungsi Cobb-Doughlas dan analisa Trend. Hasil penelitian menunjukkan

(4)

bahwa : (1) teknik budidaya usaha tani kopi rakyat di kabupaten Jember berdasarkan respon petani terhadap anjuran Dinas kehutanan dan perkebunan Jember cenderung pada sikap yang kurang melaksanakan, (2) skala usaha perkebunan kopi rakyat di kabupaten masuk dalam kategori Decreasing Return to Scale, (3) secara simultan variabel luas lahan, jumlah tanaman, jumlah tenaga kerja, pupuk organik pupuk anorganik, dan umur tanaman berpengaruh terhadap produksi perkebunan kopi rakyat di kabupaten Jember. Secara parsial, variabel jumlah tanaman, jumlah tenaga kerja, pupuk organic, pupuk anorganik, dan umur tanaman berpengaruh nyata terhadap produksi perkebunan kopi rakyat sedangkan variable luas lahan dan pupuk organic berpengaruh tidak nyata, (4) prospek pengembangan perkebunan kopi rakyat di kabupaten Jember tergolong tidak prospektif karena produktivitasnya terus menurun dan (5) peluang pasar kopi rakyat kabupaten Jember masih cukup besar karena berdasarkan hasil analisa trend kebutuhan kopi Jawa Timur masih terus meningkat sampai tahun 2015, sedangkan produksi Jawa Timur masih jauh dibawah permintaan.

Ikramuddin (2010) dalam penelitiannya Pengaruh Internal Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Kopi Di Kabupaten Aceh Utara (Studi Kasus Pembelian Kopi Pada Rumah Tangga). Konsumsi kopi domestik selama beberapa tahun terakhir tidak mengalami perkembangan yang berarti. Pasar domestik diperkirakan hanya mampu menyerap sekitar 25% dari total produksi kopi kabupaten. Oleh karena itu sudah saatnya bagi Indonesia melakukan terobosan guna meningkatkan daya serap kopi domestik dan upaya ini masih sangat terbuka karena tingkat konsumsi domestik masih sangat rendah yaitu di bawah 0,5 kg/kapita/tahun. Penelitian tentang pengaruh internal konsumen terhadap

(5)

keputusan pembelian kopi di Kabupaten Aceh Utara (studi kasus pembelian kopi pada rumah tangga) bertujuan untuk; 1) mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis terhadap keputusan pembelian produk kopi oleh konsumen rumah tangga di Kabupaten Aceh Utara. 2) mengetahui dan menganalisis faktor yang paling dominan mempengaruhi keputusan pembelian produk kopi oleh konsumen rumah tangga di Aceh Utara.

Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teori-teori yang berkaitan erat dengan perilaku konsumen, dan teori pengambilan keputusan konsumen. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan metode survey dan jenis penelitian deskriptif kuantitatif dan sifat penelitiannya adalah explanatory. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik Multi-stage Random Sampling dengan jumlah sampel 100 orang konsumen rumah tangga. Pengujian hipotesis pertama dan kedua menggunakan analisis regresi linear berganda, dengan uji serempak (uji F) dan uji parsial (t) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen pada tingkat kepercayaan 95% (á = 0.05).

Hasil penelitian dan pembahasan dijumpai variabel budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian kopi oleh rumah tangga di Kabupaten Aceh Utara, namun pengujian statistik t menunjukkan variabel kelas sosial tidak signifikan mempengaruhi keputusan pembelian. Pengujian secara simultan variabel-variabel yang diuji signifikan secara statistik. Dari hasil pengujian hipotesis pertama, dijumpai variabel budaya sebagai variabel yang paling dominan mempengaruhi

(6)

keputusan pembelian kopi oleh rumah tangga di Kabupaten Aceh Utara. Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan tidak ada perbedaan keputusan pembelian antara produk kopi tradisional/lokal dengan produk kopi turunan/instan oleh konsumen rumah tangga di Kabupaten aceh Utara.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa variabel internal konsumen berpengaruh dalam menentukan keputusan pembelian kopi oleh konsumen rumah tangga, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada keputusan pembelian konsumen kopi instan maupun kopi tradisional di Kabupaten Aceh Utara.

Fatma (2011) dalam penelitiannya Analisis Fungsi Produksi Dan Efisiensi Usaha Tani Kopi Rakyat Di Aceh Tengah. Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peranan sebagai sumber perolehan devisa, penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan bagi petani pekebun kopi maupun pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan maupun dalam mata rantai pemasaran. Salah satu daerah penghasil utama kopi Indonesia adalah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah sentra pertama penghasil kopi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini. Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah yang memiliki luas areal tanam maupun produksi kopi yang paling besar sekitar 66 persen dari luas kopi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Umumnya tanaman kopi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikelola dengan pola perkebunan rakyat. Pola perkebunan yang seperti ini pengelolaannya masih bersifat tradisional dan belum menggunakan teknologi budidaya kopi secara baik dan benar. Hal ini menggambarkan masih rendahnya pengetahuan petani kopi

(7)

tentang teknologi budidaya kopi. Permasalahan yang mendasar dalam pengelolaan usahatani kopi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah rendahnya produktivitas. Menurut Aradi (2008), beberapa hal yang diduga mempengaruhi rendahnya produktivitas usahatani kopi daerah ini adalah rata-rata tanaman kopi sudah berumur tua dan pemeliharaan secara intensif belum dilaksanakan secara sempurna karena rendahnya pengetahuan dan keterampilan petani.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi pada usahatani kopi di Kabupaten Aceh Tengah, menganalisis kondisi skala ekonomi kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah dan menganalisis efisiensi ekonomi pada usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah. Kerangka pendekatan masalah dilakukan dengan cara mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode pendugaan Ordinary Least Squares. Sedangkan analisis efisiensi dilihat dari ratio Nilai Produk Marjinal dengan Biaya Korbanan Marjinal.

Sehubungan dengan tujuan penelitian tersebut maka diharapkan hasil penelitian ini berguna sebagai bahan masukan bagi petani kopi dalam mengalokasikan faktor produksi secara efisien sehingga didapatkan pendapatan yang maksimal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi lembaga penentu kebijakan dan pengembangan usahatani kopi rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam dalam meningkatkan kesejahteraan petani kopi. Penelitian ini menggunakan metoda survai. Petani contoh ditentukan dengan teknik penarikan contoh acak sederhana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variasi produksi usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh Tengah dapat dijelaskan oleh variasi

(8)

faktor produksi sebesar 52.3%. Faktor produksi yang berpengaruh signifikan terhadap produksi kopi adalah jumlah tenaga kerja, luas lahan dan umur pohon kopi. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan, semakin luas lahan produktif dan semakin tua umur pohon maka semakin besar hasil produksi kopi. Hasil produksi kopi di lahan miring lebih menghasilkan dibandingkan di lahan datar.

Usahatani kopi di Kabupaten Aceh Tengah berada pada kondisi increasing return to scale atau berada pada kondisi produksi yang semakin meningkat. Penambahan proporsi faktor produksi dalam usahatani kopi akan menghasilkan proporsi pertambahan hasil produksi yang semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena penggunaan faktor produksi belum optimal. Fungsi produksi merupakan respon terhadap jumlah tenaga kerja, luas kebun kopi produktif, umur tanaman kopi dan lama pengalaman berusahatani kopi. Kenaikan jumlah tenaga kerja, luas kebun kopi produktif, umur tanaman kopi dan lama petani berusahatani kopi masing-masing sebesar 10 persen akan menyebabkan peningkatan produksi masing-masing sebesar 4.52 persen, 2.31 persen, 4.30 persen, dan 0.06 persen Analisis efisiensi menunjukkan bahwa ratio efisiensi tenaga kerja belum optimal, sehingga untuk mencapai hasil produksi yang maksimum maka perlu ditambah penggunaan tenaga kerja. Belum optimalnya penggunaan tenaga kerja dalam usahatani kopi rakyat di Kabupaten Aceh tengah ini disebabkan karena rata-rata kepala keluarga di Kabupaten Aceh Tengah mempunyai dan mengelola lahan perkebunan sendiri dan cenderung mencurahkan tenaga kerjanya untuk mengelola perkebunan sendiri dibandingkan bekerja pada petani pekebun lainnya terutama pada musim panen. Untuk ratio efisiensi luas lahan menunjukkan telah melampaui titik efisiensi, sehingga luas lahan tidak bisa ditingkatkan lagi dalam rangka

(9)

meningkatkan produksi.

Isabella (2012) dalam penelitiannya Peran Komoditas Kopi Lintong Terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan. Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis pengaruh luas lahan, modal, dan tenaga kerja terhadap produksi tanaman kopi lintong menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis regresi linier berganda dapat diketahui bahwa secara simultan dan parsial faktor luas lahan, modal, dan tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi tanaman kopi lintong. Faktor yang memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap produksi tanaman kopi adalah faktor luas lahan dimana nilai koefisien regresi faktor luas lahan lebih besar dari nilai koefisien regresi faktor modal dan tenaga kerja.

Murtiningrum (2013) dalam penelitiannya Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan dan penting bagi Provinsi Bengkulu. Di Kabupaten Rejang lebong, kopi merupakan komoditas yang menjadi salah satu komoditas unggulan daerah. Saat ini isu startegi daerah yang tertuang dalam RPJM Kabupaten Rejang Lebong 2010 -2015 adalah peningkatan daya saing produk pertanian. Penulisan ini bertujuan untuk 1) Menganalisis keunggulan kompetitif usaha tani kopi robusta di Kabupaten Rejang Lebong, 2) Menganalisis keunggulan komperatif usaha tani kopi robusta di Kabupaten Rejang Lebong, 3) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing kopi robusta di Kabupaten Rejang Lebong dan 4) Menganalisis sensitivitas daya saing kopi robusta terhadap perubahan input output.

(10)

Penentuan daerah penulisan dilakukan dengan sengaja dengan pertimbangan wilayah Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu wilayah di Provinsi Bengkulu yang telah menanam secara turun temurun dengan jenis utama kopi robusta dan menjadikan kopi sebagai komoditas unggulan. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode Stratified random sampling dengan jumlah sampai 32 responden. Penentuan daerah penulisan dilakukan dengan sengaja (purposive).

Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analiysis Matrix (PAM) didapatkan bahwa usaha tani kopi robusta di Kabupaten Rejang Lebong memiliki daya saing yang tinggi, (keunggulan kompetitif dan keunggulan komperatif) hal ini diketahui dengan nilai PCR dan DRCR yang kecil dari satu yaitu sebesar 0,38 dan 0,29. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dari hasil analisis dengan metode PAM diketahui bahwa nilai IT adalah negatif Rp 1.197.108,00/ha/tahun. Nilai Input Transfer (IT) menggambarkan kebijakan (subsidi atau pajak) yang terjadi pada input produksi tradable. Nilai IT yang bernilai negatif untuk usahatani kopi menunjukan bahwa terdapat kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable (pupuk anorganik) dalam pengusahaan usahatani kopi. Hal tersebut menguntungkan bagi petani kopi. Untuk nilai Transfer faktor positif 10.296 menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap input domestik berupa pajak. Untuk kebijakan input – output belum berjalan secara efektif atau kebijakan pemerintah saat ini kurang mendukung atau melindungi petani kopi di Kabupaten Rejang Lebong. Kebijakan pemerintah ini terjadi pada perdagangan kopi sehingga petani kopi belum dapat menerima harga

(11)

kopi seperti harga sosial, hal ini disebabkan rantai pemasaran kopi yang harus di lalui petani.

Hasil analisis sensitivitas menunjukan bahwa usaha tani kopi robusta tetap mempunyai daya saing yang baik (keunggulan kompetitif dan komparatif) walaupun terjadi perubahan input dan output dengan asumsi faktor lainnya tetap (ceteris paribus) yang terlihat dengan nilai PCR dan DRCR tetap di bawah 1. Analisis sensitivitas gabungan menunjukkan bahwa perubahan input dan output secara bersamaan menyebabkan turunnya daya saing usaha tani kopi robusta di Kabupaten Rejang Lebong dalam hal ini keunggulan kompetitif, ini di tandai dengan dengan PCR yang lebih besar dari 1 yaitu sebesar 2,45 dan tetap mempunyai keunggulan komperati dengan nilai DRCR <1 yaitu 0,56

Putri, M. A., A. Fariyanti dan N. Kusnadi, (2013), dalam penelitiannya berjudul Struktur dan Integrasi Pasar Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kesimpulan penelitian ini adalah pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah belum berjalan efisien (struktur pasar kopi di tingkat petani bersifat oligopsoni). Pasar ditingkat eksportir yang terkonsentrasi dan adanya hambatan masuk pasar menyebabkan perusahaan (eksportir) memiliki peran dominan dalam proses penentuan harga sehingga mempengaruhi perilaku lembaga pemasaran di tingkat lebih rendah yaitu koperasi, kolektor dan petani. Pada aktivitas pemasaran, adanya ikatan permodalan yang dilakukan petani dengan kolektor menyebabkan petani terbatas dalam memperoleh informasi harga dan terbatasnya alternatif saluran pemasaran. Seluruh petani pada setiap saluran pemasaran selalu menyalurkan produk kopi mereka melalui kolektor. Posisi tawar (bargaining position) petani

(12)

semakin lemah dalam proses penentuan harga dan petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Keterlibatan petani sebagai anggota koperasi tidak memberikan jaminan harga terhadap produk kopi yang dipasarkan. Koperasi sebagai penerima lisensi sertifikasi produk hanya membantu petani untuk terlibat dalam program sertifikasi produk (organik, fairtrade dan rainforest) yang dilakukan. Analisis kinerja pasar menunjukkan bahwa share harga kopi yang diterima petani masih rendah (≤ 30%). Perubahan harga yang terjadi di tingkat kolektor, koperasi dan eksportir pada saat ini dan waktu sebelumnya tidak mempengaruhi harga kopi di tingkat petani. Dengan demikian pendekatan struktur, perilaku dan kinerja pasar yang terjadi telah menunjukkan lemahnya posisi tawar petani dalam proses penentuan harga mengakibatkan petani sebagai penerima harga (price taker) baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Marlina (2014) dalam penelitiannya Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Harga kopi yang diterima petani kopi di Provinsi Lampung khususnya Kabupaten Lampung Barat sangat kecil jika dibandingkan dengan harga eceran di negara pengimpor utama. Rendahnya harga yang diterima petani diduga karena panjangnya rantai komoditas pemasaran komoditas kopi dan struktur pasar yang tidak kompetitif. Periode waktu yang relatif lama bagi komoditas perkebunan untuk memperoleh hasil menyebabkan petani harus mencari alternatif pendapatan di luar usaha tani kopi diantaranya dari sektor non pertanian. Kopi merupakan komoditas penting di Kabupaten Lampung Barat karena selain merupakan salah satu sentra produksi kopi sehingga kopi merupakan

(13)

salah satu komoditi unggulan daerah, juga karena usahatani kopi merupakan perkebunan rakyat dengan skala usaha yang relatif kecil. Dengan demikian, pembangunan komoditas kopi tidak hanya sebagai penopang perekonomian daerah, tetapi juga turut membangun perekonomian atau kesejahateraan rakyat.

Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut: (1) menganalisis tataniaga komoditas kopi di Kabupaten Lampung Barat; (2) mengkaji dan menganalisis sumbangan ekonomi kopi terhadap rumah tangga petani kopi di Kabupaten Lampung Barat; (3) menilai dan mengkaji peran sektor perkebunan kopi rakyat dalam mendukung perekonomian Kabupaten Lampung Barat.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2013 yang berlokasi di Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan sentra penghasil kopi terbesar di Provinsi Lampung. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, sehingga ditentukan sampel yang representatif terhadap populasi target. Adapun responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai petani kopi dan pedagang yang terlibat dalam pemasaran kopi, dan Kelompok Wanita Tani (KWT). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis pendapatan usahatani, analisis pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani, analisis pemasaran, dan analisis kewilayahan.

Terdapat tiga saluran pemasaran yang biasa ditempuh petani kopi Lampung Barat dalam memasarkan kopinya dan semua petani menjual dalam bentuk biji kopi, tidak dalam bentuk kopi olahan. Saluran pemasaran yang

(14)

terpanjang melibatkan banyak lembaga pemasaran yaitu pedagang perantara, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan serta yang terakhir adalah eksportir. Pilihan saluran pemasaran oleh petani lebih didasarkan pertimbangan jarak, ikatan ekonomi, dan kekerabatan. Harga yang relatif sama diterima petani baik dijual kepada pedagang perantara, pedagang desa maupun pedagang kecamatan menyebabkan sebagian besar petani atau 68,33% lebih memilih menjual kepada pedagang pengumpul desa. Petani kopi Lampung Barat menerima harga yang relatif rendah dari yang seharusnya diterima disebabkan rendahnya kualitas kopi yang dihasilkan terkait pengetahuan dan teknologi, keterikatan hutang dengan lembaga pemasaran terkait, struktur pasar yang tidak kompetitif serta belum berperannya kelompok tani atau koperasi sebagai wadah kerjasama petani dalam meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran. Struktur pasar yang tidak kompetitif, yaitu oligopsoni menyebabkan petani lebih sebagai

pricetaker.

Semua strata rumah tangga, baik rumah tangga petani berlahan sempit, sedang maupun luas memiliki pola nafkah ganda dan usahatani kopi memberikan peranan penting dalam ekonomi rumah tangga mereka. Pendapatan usahatani kopi menyumbang lebih dari 60% terhadap total pendapatan rumah tangga dan sumbangan terbesar terjadi pada rumah tangga petani luas. Petani berlahan sempit dan sedang mengandalkan sektor non farm sebagai sumber pendapatan tambahan karena dengan keterbatasan lahan tersebut sulit untuk petani berusahatani selain kopi sehingga alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan adalah bekerja pada sektor yang tidak terkait dengan pertanian. Sedangkan petani dengan penguasaan lahan yang luas, sektor on farm non kopi merupakan salah sumber pendapatan

(15)

yang tinggi selain kopi.

Ditinjau dari tingkat pendapatan rumah tangga, berdasarkan kategori Bank Dunia serta kemampuannya dalam melakukan investasi, rumah tangga petani berlahan sempit tergolong kurang sejahtera sedangkan rumah tangga petani berlahan sedang dan luas tergolong sejahtera. Namun demikian, ditinjau dari tingkat pengeluaran rumah tangga, hanya petani berlahan luas yang relatif sejahtera. Pada rumah tangga petani berlahan sempit dan sedang pengeluaran masih terkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan dasar, sedangkan pada rumah tangga petani berlahan luas pengeluaran tertinggi adalah untuk pemenuhan kebutuhan tersier.

Ditinjau dari beberapa indikator, komoditas kopi mempunyai peranan penting dalam perekonomian wilayah. Sektor perkebunan kopi di Lampung Barat merupakan sektor basis (memiliki daya saing) dan komoditas yang maju, serta mempunyai kontribusi yang besar terhadap nilai PDRB dan penyerapan tenaga kerja, serta adanya potensi tambahan pendapatan dari hasil kopi sebesar Rp. 2.908.425.000,- jika diolah di wilayah Kabupaten Lampung Barat, ini menunjukkan terjadinya kebocoran wilayah.

Temuan di atas menunjukkan bahwa komoditas kopi merupakan sektor basis di Kabupaten Lampung Barat serta mempunyai peranan besar dalam ekonomi rumah tangga petani kopi, maka komoditas tersebut dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi regional serta rumah tangga. Untuk dapat meningkatan peranannya tersebut maka peningkatan produktivitas dan mengefisienkan tataniaga kopi menjadi utama. Dalam hal ini pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi masyarakat petani untuk melakukan peremajaan

(16)

tanaman, memperbaiki teknik budidaya dan pasca panen serta mendorong berkembangnya industri pengolahan kopi yang berdayasaing yang mampu meningkatkan nilai tambah kopi. Disamping itu dalam mengefisienkan pemasaran juga diperlukan peran kelembagaan seperti kelompok/koperasi agar petani mampu meningkatkan bargaining position, economic of scale serta untuk dapat memotong jalur pemasaran.

Muzendi, 2014 dalam penelitiannya yang berjudul Integrasi Pasar dan Dampak Kebijakan Non Tarif Terhadap Permintaan Ekspor dan Daya Saing Kopi Indonesia di Pasar Internasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) integrasi pasar kopi Indonesia dengan pasar eksportir dan importir utama kopi; (2) posisi daya saing kopi Indonesia di pasar dunia dibandingkan dengan Brazil, Kolombia dan Vietnam; (3) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor dan daya saing kopi Indonesia; (4) dampak integrasi pasar dan kebijakan non tarif terhadap permintaan ekspor dan daya saing kopi Indonesia.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1970 sampai 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah uji kointegrasi pendekatan Error Corection Model (ECM) untuk menganalisis integrasi pasar; Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Revealed Symetric Comparative Advantage (RSCA) untuk menganalisis daya saing ekspor kopi dan model ekonometrik persamaan simultan yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar integrasi pasar dan dampak kebijakan non tarif terhadap permintaan ekspor dan daya saing kopi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Harga ekspor kopi Indonesia terkointegrasi dengan pasar importir maupun eksportir utamanya. Selanjutnya

(17)

analisis ECM menunjukkan adanya integrasi jangka pendek dengan pasar importir maupun eksportir utama, dimana kecepatan penyesuaian ke keseimbangan 87.33 % pada pasar importir dan 65.33 % pada pasar eksportir. Variabel yang signifikan mempengaruhi harga ekspor kopi Indonesia pada jangka pendek adalah harga impor kopi Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura serta harga ekspor kopi Brazil dan Vietnam; (2) Kopi Indonesia memiliki keunggulan komparatif dilihat berdasarkan nilai RCA dan RSCA, namun masih lebih rendah dibandingkan Brazil, Kolombia dan Vietnam; (3) Penerapan kebijakan SPS lebih efektif menghambat permintaan ekspor kopi Indonesia dibandingkan TBT. Kebijakan SPS secara keseluruhan memiliki pengaruh menghambat dan menurunkan ekspor negara eksportir utama serta permintaan ekspor dan daya saing kopi Indonesia. Sedangkan kebijakan TBT secara keseluruhan memiliki pengaruh yang positif atau bersifat tidak menghambat; dan (4) Kebijakan peningkatan areal dan produksi tanaman kopi memberikan dampak positif bagi permintaan ekspor dan daya saing kopi Indonesia di pasar importir utama (Amerika Serikat, Jerman, Italia, Jepang, Malaysia dan Singapura), sedangkan kebijakan peningkatan konsumsi domestik dan harga domestik berdampak pada penurunan permintaan ekspor dan daya saing kopi Indonesia di pasar importir utama. Selanjutnya kebijakan peningkatan harga ekspor Vietnam, harga kopi dunia dan konsumsi Singapura cenderung memberi dampak penurunan permintaan ekspor dan daya saing kopi Indonesia di pasar importir utama. Dan sebaliknya kebijakan peningkatan produksi kopi Brazil lebih memberi dampak positif.

Rahmayanti (2014) dalam penelitiannya Dampak Komoditi Kopi Gayo Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Di Bener Meriah. Salah satu

(18)

komoditi unggulan Aceh yang kini mendunia adalah komoditi Kopi yang saat ini menjadi komoditi primadona bagi petani di Bener Meriah khususnya dan dataran tinggi Gayo pada umumnya. dibuktikan hampir 90 % masyarakat didaerah ini penghidupannya tergantung pada perkebunan kopi dimana hamparannya sekitar 49,187 hektar bahkan kemungkinan lebih luas lagi bila diukur secara detail, Kemegahan dan keunggulan komoditi ini belum sepenuhnya mampu mensejahterakan masyarakat petani dikarenakan prosfek pemasaran yang pluktuatif dan tidak adanya pihak penjamin hasil komoditi pada saat musim panen. Akibatnya petani selaku produsen mengalami delematis, selain berdampak juga pada penerapan pola olah kopi pasca panen, yang berdampak pada kualitas dan cita rasa produk ditambah lagi dengan perilaku eksportir kopi kita ada yang bermoral rendah, di mana mereka rata-rata mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga pembeliannya kepada petani kopi di daerah. Di sisi lain adanya pedagang pengumpul maupun eksportir lokal sering memanfaatkan uang kopi yang telah dibayar tunai atau kontan oleh pembeli, akan tetapi kenyataannya mereka selalu menyatakan uang belum keluar. Modus lainnya ada di antara mereka yang menggandakan atau melakukan investasi ke usaha lain. Dalam upaya mencari jawaban atas permasalahan penelitian, dilakukan berbagai metode penelaahan terhadap berbagai literatur yang ada. Hasil informan kunci yang sudah diwawancarai secara mendalam dikumpulkan dan dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan teori yang ada serta fakta-fakta yang muncul dilapangan sehingga menghasilkan kesimpulan yang komprehensif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa nasib petani kopi Gayo saat ini masih belum bisa dikatakan sejahtera bila dibandingkan dengan nama besar kopi

(19)

gayo yang mendunia, di samping itu juga masih minimnya peran Pemerintah Daerah dalam menangani permasalahan kopi, walaupun sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan bibit, hingga biaya perawatan dan pupuk, tapi setelah panen petani kopi bingung Karena petani belum dapat menentukan harga.

Sitorus (2014) dengan judul tesis Analisis Penentuan Komoditi Perkebunan basis di Wilayah Masing-masing Kecamatan Kabupaten Simalungun. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertumbuhan wilayah dan keseimbangan antar wilayah dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada perlu dilaksanakan. Seiring berjalannya otonomi daerah maka masing-masing kecamatan di Kabupaten Simalungun memiliki kesempatan yang terbuka dalam menentukan kebijakan pembangunan dan mengembangkan sumber-sumber pendapatan baru sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya sebagai upaya untuk dapat memajukan sub sektor perkebunan dalam pembangunan daerahnya dan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi komoditi perkebunan yang menjadi basis, mengetahui pertumbuhan proporsional dan pertumbuhan pangsa wilayah komoditi perkebunan basis dan mengidentifikasi prioritas pengembangan komoditi perkebunan basis di wilayah masing-masing kecamatan Kabupaten Simalungun. Data yang digunakan adalah data sekunder. Analisis data yang digunakan yaitu analisis Location Quotient, analisis Shift Share, serta gabungan analisis Location Quotient dan Shift Share.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang menjadi basis di Kabupaten Simalungun yaitu karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, cokelat, cengkeh,

(20)

kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan tembakau. Kecamatan yang paling banyak menghasilkan komoditi perkebunan basis adalah Kecamatan Sidamanik dan Panei yaitu sebanyak sembilan jenis komoditi perkebunan. Komoditi basis yang mempunyai pertumbuhan cepat di Kabupaten Simalungun yaitu: Karet, kopi, kelapa, cokelat, cengkeh, lada, pinang, vanili tembakau. Komoditi perkebunan basis yang berdaya saing adalah karet, kelapa sawit, kopi, kelapa, cokelat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, aren, pinang, vanili dan tembakau. Komoditi perkebunan basis yang paling banyak menjadi prioritas utama yaitu komoditi pinang sebanyak 12 kecamatan, prioritas kedua adalah komoditi kopi, ada 16 kecamatan, prioritas ketiga yaitu kulit manis, kemiri dan aren.

2.2. Kopi (Coffee)

Tanaman kopi adalah spesies tanaman berbentuk pohon yg termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman kopi tumbuh tegak, bercabang dan tingginya dapat mencapai 12 m. Tanaman ini memiliki daun yang bentuknya bulat telur dengan ujung agak meruncing. Daunnya tumbuh berhadapan pada batang, cabang dan ranting.

Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan yang pada umumnya memiliki perakaran dangkal. Karena itu tanaman ini mudah mengalami kekeringan pada musim kemarau. Akan tetapi untuk tanaman kopi yang berasal dari bibit semai, atau bibit sambung (okulasi) yang batang bawahnya berasal dari bibit semai, memiliki akar tunggang sehingga tidak mudah rebah. Tanaman kopi berbunga

(21)

setelah berumur kurang lebih dua tahun. Bunga keluar dari ketiak daun yang terletak pada batang utama.

Lebih dari 90% tanaman kopi di indonesia diusahakan oleh rakyat. Penerapan teknologi yang digunakan masih sederhana, hal ini mengakibatkan produksi dan mutu kopi menjadi rendah. Untuk mengatasi hal tersebut maka langkah yang perlu ditempuh oeh petani adalah sebagai berikut (Najiyanti, 2008) :

1. mengembangkan varietas kopi arabika unggul pada lahan yang sesuai. 2. mengganti tanaman tua dengan tanaman muda varietas unggul yang

dianjurkan (peremajaan).

3. menerapkan teknik budi daya yang benar, baik sistem penanaman, pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit maupun pengaturan naungan.

4. menerapkan sistem pemanenan dan pengolahan yang benar, baik cara pemetikan, pengolahanm pengeringan maupun sortasi.

2.3. Kopi Arabika

Kopi Arabika merupakan salah satu komoditas yang diprioritaskan pengembangannya oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Hal ini didasarkan pada adanya fakta bahwa ekspor kopi Arabika dari Indonesia sebagian besar dipasarkan ke segmen spesialiti karena mutu citarasanya khas dan digemari oleh para penikmat kopi di Negara-negara konsumen utama. Di segmen spesialiti harga kopi lebih mahal dan fluktuasinya tidak terlalu tajam, hal ini tentu saja akan berdampak terhadap pendapatan petani dan devisa Negara.

(22)

Kopi Arabika dari dataran tinggi Gayo di pasar dunia dikenal memiliki citarasa khas dengan ciri utama antara lain aroma dan perisa (flavor) kompleks dan kekentalan yang kuat.

Kopi Arabika di kawasan ini semuanya merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani sekitar 47.000 KK., adapun luas kepemilikan sebagian besar antara 1-2 ha per KK. Sumbangan kopi Arabika terhadap pendapatan keluarga bervariasi mulai anatara 50-90%. Pendapatan lain bersumber dari tanaman pangan, sayur-mayur, usaha perdagangan, jasa, dan lain-lain.

2.4. Nilai Tambah (Added Value)

Pengertian nilai tambah (value added) adalah suatu penciptaan pendapatan/kemakmuran kegiatan komoditas yang bertambah nilainya karena melalui proses pertanaman, pengolahan, pengangkutan, perdagangan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi atau kegiatan jasa.

Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai akibat suatu kegiatan dan bagi suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, penanaman, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi ataupun kegiatan jasa yang memiliki nilai jual. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya(input antara) selisihnya berupa nilai tambah yaitu upah tenaga kerja di laba. Dalam beberapa kegiatan apabila menggunakan modal sendiri dan tidak menyewa lahan, maka nilai tambah adalah berupa: upah/gaji dan laba pengusaha. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang

(23)

digunakan yaitu tenaga kerja,laba pengusaha dan sewa atau bunga yang dibayarkan (Hayami et al, 1987).

Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan baku yang telah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yang diperoleh, marjin dapat dihitung dan selanjutnya imbalan bagi faktor produksi dapat diketahui. Nilai tambah yang semakin besar atas produk pertanian khususnya kelapa sawit dan karet tentunya dapat berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang besar tentu saja berdampak bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan masyarakat yang muara akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Indikator nilai tambah adalah produktivitas atau nilai tambah per tenaga kerja (Wirabrata, 2000). Di samping indikator produktivitas, ada nilai tambah yang dalam jangka pendek belum dapat diukur secara kuantitatif. Keterlibatan lembaga dalam suatu kegiatan dapat memberi peluang, seperti peluang perluasaan kesempatan kerja dan peningkatan pengetahuan masyarakat. Konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input yang diperlakukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan terjadinya nilai tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan-perubahan pada komoditas tersebut, yaitu perubahan bentuk, tempat, dan waktu.

Menurut Hayami et. al (1987), terdapat dua cara dalam menghitung nilai tambah, yaitu dengan menghitung nilai tambah selama proses pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran. Nilai tambah (value added) adalah penambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam suatu proses produksi.

(24)

Menurut Hayami et. al (1987) defenisi dari nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada komoditi bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa proses pengubahan bentuk (form utility), pemindahan tempat (place utility), maupun penyimpanan (time utility). Nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, moda,aset dan manajemen.

Tujuan dari analisis nilai tambah adalah untuk mengukur balas jasa yang diterima pelaku sistem (pengolah) dan kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh sistem tersebut. Nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan non teknis (faktor pasar). Faktor teknis terdiri dari jumlah dan kualitas bahan baku serta input penyerta, kualitas produk, penerapan teknologi, kapasitas produksi, dan penggunaan unsur tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar meliputi harga bahan baku, harga jual output, upah tenaga kerja, modal investasi, informasi pasar, dan nilai input lain (selain bahan bakar).

Menurut Hayami et. al (1987) menyatakan bahwa nilai tambah adalah selisih antara komoditas yang mendapat perlakuan pada tahap tertentu dan nilai korbanan yang digunakan selama proses berlangsung. Sumber-sumber dari nilai tambah tersebut adalah dari pemanfaatan faktor- faktor seperti tenaga kerja, modal, aset, sumberdaya manusia, dan manajemen. Dari besaran nilai tambah yang dihasilkan dapat ditaksir besarnya balas jasa yang diterima faktor produksi yang digunakan dalam proses perlakuan tersebut.

Dalam analisis nilai tambah terdapat tiga komponen pendukung, yaitu faktor konversi yang menunjukkan banyaknya output yang dihasilkan dari satu satuan input, faktor koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknnya tenaga

(25)

kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input, dan nilai yang menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input.

Distribusi nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan dalam proses pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan keterampilan, serta kualitas bahan baku. Apabila penerapan teknologi cendrung padat karya maka proporsi bagian tenaga kerja yang diberikan lebih besar dari proporsi bagian keuntungan bagi perusahaan, sedangkan apabila diterapkan teknologi padat modal maka besarnya proporsi bagian manajemen lebih besar dari proporsi bagian tenaga kerja.

2.5. Input dan output

Analisis input-output (analisis masukan-keluaran) adalah suatu analisis atas perekonomian wilayah secara komprehensif karena melihat keterkaitan antar sektor ekonomi di wilayah tersebut secara keseluruhan. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan tingkat produksi atas sektor tertentu, dampaknya terhadap sektor lain dapat dilihat. Selain itu, analisis ini juga terkait dengan tingkat kemakmuran masyarakat di wilayah tersebut melalui input primer (nilai tambah). Artinya, akibat perubahan tingkat produksi sektor-sektor tersebut, dapat dilihat seberapa besar kemakmuran masyarakat bertambah/berkurang.

Setiap produk pasti membutuhkan input agar produk itu dapat dihasilkan. Hasil produk dapat langsung dikonsumsi atau sebagai input untuk menghasilkan produk lain atau input untuk produk yang sama pada putaran berikutnya, misalnya bibit. Input dapat berupa output dari sektor lain (termasuk sektor sendiri tetapi dari putaran sebelumnya) yang sering disebut input antara berupa bahan baku dan

(26)

input primer berupa tenaga kerja, keahlian, peralatan, dan modal. Keikut sertaan faktor-faktor produksi akan mendapat imbalan yang menjadi pendapatan masyarakat sesuai dengan peran/keterlibatannya (Tarigan, 2012).

Fungsi produksi menggambarkan suatu hubungan antara input dan output atau menjelaskan transformasi input (sumberdaya) menjadi output (komoditas). Secara simbolik, fungsi produksi dapat ditulis sebagai: Y=f (X1, X2, X3,…, Xn), dimana Y adalah output, X1…Xn adalah input yang digunakan untuk menghasilkan Y (Debertin, 1986; Doll dan Orazem, 1984; Saragih, 2012).

Fungsi produksi menggambarkan respon produksi pada semua tingkat dan kombinasi input dalam kaitannya dengan teori penawaran, dan memperhatikan variasi dalam masing-masing input. Fungsi produksi merupakan model ekonomi yang berfungsi dalam membantu pembuatan prediksi, rekomendasi kebijakan dan proyeksi (Lewis, 1969; Saragih, 2012).

Dalam sektor pertanian, Diskin (1997) memperkenalkan delapan indikator kinerja produktivitas pertanian secara umum, yaitu hasil panen per hektar, kesenjangan antara hasil aktual dan potensial, variabilitas hasil dengan berbagai kondisi, nilai produksi per rumah tangga, jumlah ketersediaan per bulan pangan rumah tangga, kehilangan hasil selama penyimpanan, luas lahan dengan perbaikan budidaya, dan jumlah fasilitas penyimpanan yang dibangun dan digunakan.

Komisi Eropa (2001) merilis indikator efisiensi produksi yang antara lain adalah: produktivitas modal, produktivitas tenaga kerja, dan produktivitas lahan. Produktivitas parsial dapat berupa produktivitas lahan (output/ha), produktivitas tenaga kerja (output/tenaga kerja), dan rasio lahan-tenaga kerja (luas lahan

(27)

pertanian/tenaga kerja). Sementara input umumnya terdiri dari lahan, tenaga kerja, ternak, modal dan pupuk (Saragih, 2012).

2.6. Efek Pengganda (Multiplier Effect)

Konsep multiplier effect merupakan konsep yang mengkaji tentang suatu dampak. Konsep ini mempunyai beberapa pandangan yang berbeda-beda khususnya dalam mengkaji dampak-dampak dalam pengembangan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Dalam pengembangan ekonomi dibutuhkan kebijakan untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja karena pada akhirnya akan menyebabkan multiplier effect yang lebih besar (bartik, 2003).

Menurut Moretti (2010), mengungkapkan bahwa multiplier effect dapat ditentukan berdasarkan selera konsumen, teknologi, kemudian juga ditentukan oleh kemampuan pekerja dan pendapatan yang diterima oleh masyarakat.

Multiplier Effect dapat dilihat melalui pertumbuhan usaha yang mampu meningkatkan pendapatan pajak daerah yang pada akhirnya dapat digunakan untuk memperbaiki infrastuktur daerah dan pelayanan terhadap masyarakat.

Menurut pendapat para ahli multiplier effect dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dapat disederhanakan ke dalam dua bidang yaitu di bidang ekonomi dan sosial.

Multiplier effect dibidang ekonomi dapat dilihat dari PDRB, peningkatan pendapatan masyarakat, kemampuan menciptakan atau membuka lapangan kerja bagi masyarakat (Domanski dan Gwosdz, 2010). Serta adanya keterkaitan antar sektor terkait yang diakibatkan oleh adanya penambahan permintaan terhadap produksi di sektor tertentu (Tarigan, 2002).

(28)

Dampak di bidang sosial baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu mempengaruhi tingkat kemiskinan atau taraf hidup masyarakat setempat, solidaritas masyarakat setempat, pelayanan terhadap masyarakat seperti mengakses pendidikan dan kesehatan kemudian juga infrastruktur yang mendukung.

2.7. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Produksi Berkelanjutan

Sistem pertanian mengacu pada suatu susunan khusus dari kegiatan usahatani (misalnya budidaya tanaman, peternakan dan perikanan) yang dikelola berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki seperti sumber daya biologi, fisik, dan manusia. Fokus sistem pertanian yang berkembang yakni berorientasi pasar. Usahatani yang dilakukan harus memahami implikasi kekhasan biofisik (sumber daya biologi dan fisik) yang ada bagi pembangunan pertanian berkelanjutan.

Sistem pertanian juga ditentukan oleh ciri-ciri ekonomi dan sosial yang berkaitan dengan efisiensi dan nilai tambah dalam proses produksi dan ikatan sosial antar masyarakat. Sistem pertanian yang dinamis dapat diantisipasi dengan pencapaian tujuan keamanan, kesinambungan dan identitas yang bersaing dengan produktivitas sehingga pencarian keseimbangan dalam usahatani perlu dilakukan. Keseimbangan usahatani yakni tingkat produksi yang memenuhi kebutuhan material (produktivitas) dan kebutuhan sosial dalam batas-batas keamanan tertentu dan tanpa penurunan sumber daya dalam jangka panjang dan menjamin keberlanjutan usahatani (Reijntes et al, 1992).

(29)

2.8. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Ilmu wilayah merupakan ilmu yang relatif baru yang muncul sebagai kritik terhadap ilmu ekonomi neoklasik. Kritik muncul sebab teori ekonomi dianggap menyederhanakan permasalahan hanya melihat dari sisi penawaran dan permintaan secara agregat yang seolah mengabaikan aspek ruang. Secara spasial, permintaan dan penawaran tidak tersebar merata karena berdimensi ruang (Rustiadi et al, 2011).

Hakekat dari pengembangan wilayah adalah pelaksanaan pembangunan pada suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik/potensi dan sosial wilayah tersebut. Intinya adalah adanya pembangunan yang pada akhirnya berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk didalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta perluasan kesempatan kerja (Widodo, 2006).

Perencanaan mengacu pada proses untuk memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Perencanaan terjadi pada banyak tingkatan. Setiap hari keputusan dibuat oleh individu, keluarga sampai kepada keputusan yang kompleks oleh para pebisnis dan pemerintah. Perencanaan yang baik memerlukan proses metodologis yang secara jelas mendefinisikan tahapan-tahapan untuk mencapai solusi yang optimal. Proses tersebut harus merefleksikan prinsip-prinsip: komprehensif, efisien, inklusif, informative, terpadu, logis dan transparan (Litman, 2011).

(30)

Perencanaan berkelanjutan memerlukan analisis komprehensif yang menghitung semua dampak signifikan, termasuk didalamnya mempertimbangkan jarak, ruang dan waktu. Keberlanjutan menekankan keterpaduan antara aktifitas manusia dengan alam dan dengan demikian memerlukan keseimbangan antara sasaran ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam hal ini, yang terpenting untuk dicapai adalah pengembangan (peningkatan kualitas) daripada hanya sekedar pertumbuhan (peningkatan kuantitas) dengan mempertimbangkan kelangkaan sumberdaya dan resiko ekologis (Litman, 2011).

Perencanaan wilayah menyangkut ke dalam dua aspek utama, yaitu perencanaan ruang dan aktifitas di atas ruang tersebut berkaitan dengan ruang berkembang menjadi perencanaan tataruang, dan yang berkenaan dengan aktifitas berhubungan dengan perencanaan pembangunan dalam aspek sosial, ekonomi, kelembagaan dan ekologi (Tarigan, 2012; Sirodjuzilam dan Mahalli, 2006).

Miraza (2005) menyatakan bahwa pembangunan daerah berorientasi pada pengembangan wilayah pada suatu daerah yang dilakukan secara gradual, yang menyangkut fisik dan nonfisik wilayah dimana tercipta penataan ruang yang efisien dan infrastruktur publik yang cukup serta kondisi lingkungan yang nyaman. Dengan demikian keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik (Rustiadi et al., 2011).

(31)

Pembangunan ekonomi dilaksanakan secara terpadu, selaras, seimbang dan berkelanjutan dan diarahkan agar pembangunan yang berlangsung merupakan kesatuan pembangunan nasional, sehingga dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional perlu adanya pembangunan ekonomi daerah yang pada akhimya mampu mengurangi ketimpangan antar daerah dan mampu mewujudkan kemakmuran yang adil dan merata antar daerah (Wijaya dan Atmanti, 2006).

Pengembangan ekonomi lokal (PEL) mengacu pada proses di mana pemerintah lokal atau organisasi berbasis masyarakat berusaha menggerakkan dan memelihara aktivitas bisnis dan/atau kesempatan kerja. Tujuan utama PEL adalah merangsang kesempatan kerja lokal pada sektor tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. PEL berorientasi proses, yaitu pengembangan institusi baru, industri alternative, memperbaiki kapasitas tenaga kerja, identifikasi pasar baru, transfer pengetahuan (knowledge), dan memelihara perusahaan dan usaha yang baru (Blakely, 1994).

Tidak ada teori atau seperangkat teori yang cukup menjelaskan PEL atau pengembangan ekonomi wilayah (PEW). Namun ada beberapa teori yang dapat membantu untuk memahami alasan rasional PEL. Gabungan teori-teori dimaksud dinyatakan dalam persamaan berikut (Blakely, 1994):

PEL/PEW =f(sumberdaya alam, tenaga kerja, modal investasi, kewirausaan, transfortasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, skala, pasar ekspor, kondisi ekonomi internasional, kapasitas pemerintah lokal, pengeluaran wilayah dan negara, factor pendukung pembangunan)

Semua faktor di atas mungkin penting dalam PEL, namun para praktisi pembangunan ekonomi tidak pernah yakin faktor mana yang memiliki bobot terbesar dalam suatu kondisi tertentu. PEL dapat dikaji berdasarkan beberapa

(32)

teori, diantaranya: teori ekonomi neoklasik, teori basis ekonomi, teori lokasi, teori tempat pusat, teori kausasi kumulatif dan model atraksi. Namun teori-teori pengembangan ekonomi eksisting ini tidak cukup menjadi “template” bagi aktifitas PEL, sehingga perlu dilakukan sintesis dan reformulasi alternative pendekatan PEL (Blakely, 1994).

PEL adalah aktifitas lokal yang merupakan proses pembangunan partisipatif di wilayah administratif lokal melalui kemitraan para pemangku kepentingan publik dan swasta. Pendekatan PEL menggunakan sumberdaya lokal dan keunggulan kompetitif untuk menciptakan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fokus PEL adalah potensi lokal, kemitraan strategis, kemandirian ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pemerataan pembangunan, pengembangan UKM, kapasitas dan kualitas SDM, reduksi disparitas (antar golongan, antar sektor, dan antar wilayah). Kapasitas dan reduksi dampak negatif terhadap lingkungan (ILO, 2010).

Pemberdayaan ekonomi masyarakat amat penting sebagai prasyarat pemberdayaan sosial dan politik. Permasalahan pokok dasar pemberdayaan masyarakat adalah rendahnya tingkat keterampilan dan pengetahuan masyarakat, yang mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Hambatan utama bagi masyarakat adalah terbatasnya sumberdaya ekonomi berupa modal, lokasi usaha, lahan, informasi pasar dan teknologi. Hambatan lain yang signifikan berupa rendahnya kemampuan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat dalam mengelola sumberdaya untuk meningkatkan kompetensinya. Kemampuan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat untuk mengembangkan kegiatan usaha yang

(33)

kompetitif disertai dengan penguasaan dalam proses produksi, pengolahan dan pemasaran juga sangat terbatas (Haeruman, 2001).

2.9. Kerangka Pemikiran

Sektor pertanian merupakan sektor yang secara tradisional memegang peranan penting dan menjadi leading sektor (sektor utama terhadap total PDRB) dalam perekonomian Aceh Tengah saat ini. Sebagai daerah yang memiliki keadaan geografis yang berbukit-bukit, dan ketinggian antara 500-1.400 meter di atas permukaan laut, sangat wajar jika kurang lebih 80 persen penduduk Kabupaten Aceh Tengah bekerja di sektor pertanian. Sebagai daerah dengan basis ekonomi pertanian, pengembangan sektor pertanian di daerah ini menjadi sangat strategis dalam upaya meningkatkan perekonomian rakyat. Pengembangan sektor pertanian dalam hal ini juga berarti pengembangan ekonomi rakyat dan ekonomi daerah secara keseluruhan.

Komoditas hasil perkebunan yang paling banyak menjadi okupasi masyarakat adalah usaha dalam bidang perkebunan kopi, meskipun dalam pengelolaannya cenderung secara ekstensifikasi, di samping itu luas lahan petani sebagian di bawah 0,5 ha. Potensi luas areal tanaman kopi menghasilkan akan semakin bertambah dan meningkat jumlahnya dengan adanya cadangan areal tanaman kopi yang saat ini masih belum menghasilkan, meskipun demkian luas areal tanaman kopi menghasilkan yang ada selama ini juga menurun seiring terus bertambahnya usia tanaman.

Pengembangan tanaman kopi tergantung pada lahan, modal, tenaga kerja, faktor prosesing dan faktor pemasaran sehingga akan memberikan dampak

(34)

terhadap faktor produksi. Peningkatan produksi tanaman akan memberikan dampak positif terhadap kemakmuran karena pengembangan tanaman kopi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Faktor prosessing pasca panen belum optimal dalam usaha pertanian dan perkebunan di tingkat petani dalam upaya penciptaan nilai tambah bagi pendapatan masyarakat dan pendapatan regional di Kabupaten Aceh Tengah. Oleh karena itu upaya yang dilakukan oleh pemerintah, swadaya masyarakat maupun stakeholder mempunyai tujuan utama yaitu dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk kopi arabika dengan perbaikan kualitas produk yang berstandar internasional dan berdaya saing. Persyaratan kualitas ini merupakan jaminan atau garansi bagi konsumen baik konsumen di pasar domestik maupun pasar internasional yang semakin kompetitif.

Beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap kegiatan pemasaran antara lain: a) Organisasi, faktor ini biasanya berasal dari dalam usaha itu sendiri yang memberikan pengaruh terhadap kegiatan pemasaran. b) Manajemen, dalam menerapkan manajemen harus diperhitungkan dan dianalisis dengan baik agar tujuan usaha dapat tercapai serta berkembang dengan baik dimasa mendatang. c) Kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam pemasaran produk kopi baik di pasar domestik dan internasional, misalnya kebijakan kualitas, kuota perdagangan (ekspor dan impor), kebijakan tarif dan non tarif, misalnya produk yang dihasilkan harus mendapatkan sertifikat produk. Kegiatan pemasaran diharapkan dapat memberikan efek pengganda output terhadap pendapatan masyarakat.

(35)

Kedua faktor yaitu prosessing dan pemasaran saling terkait dalam upaya pengembangan wilayah yang diharapkan dapat memberikan efek pengganda pendapatan dan efek terhadap penyerapan tenaga kerja, meningkatkan perekonomian masyarakat dan berdampak terhadap pengembangan wilayah kabupaten Aceh Tengah.

Ada berbagai tingkatan kegiatan dalam penanaman, pengolahan, dan pemasaran produk. Tiap tingkatan kegiatan menciptakan nilai tambah terhadap PDRB. Begitu juga tiap tingkatan kegiatan itu menciptakan efek pengganda baik karena faktor backward linkages maupun karena faktor forward linkages.

Kerangka pemikiran dapat digambarkan seperti yang tertera pada gambar :

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Operasional Penciptaan

Lap. Kerja

Kabupaten Aceh Tengah

Tanaman Perkebunan

Kopi Arabika

Penanaman Baru Koperasi/Eksportir

Total Nilai Tambah

Petani Produsen pedagang Desa/ kolektor

Nilai Tambah Nilai Tambah Nilai Tambah

Efek Pengganda

Pengembangan Wilayah

PDRB

PDRB Nilai Tambah

(36)

2.10. Hipotesis Penelitian

a. Pertanian kopi arabika di kabupaten Aceh tengah memiliki nilai tambah yang signifikan terhadap PDRB.

b. Prosesing dan pemasaran kopi arabika di Kabupaten Aceh Tengah memiliki nilai tambah yang signifikan terhadap PDRB.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Operasional Penciptaan

Referensi

Dokumen terkait

banyak berdiri bangunan kolonial baik dalam kategori kawasan utama yang paling prioritas maupun kawasan lain baik kota maupun pedesaan yang dapat menjadi bahan pertimbangan

Atribut-atribut warna, jenis garis, jenis tanda dan fill pattern dapat di diatur untuk setiap nilai pada daftar environment yang benar atau Cycle , yang mengkhususkan

Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan,

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Seram Bagian Barat mengalami

209 Tegal, kafe Wijikopi hadir untuk mengenalkan kepada masyarakat apa yang belum ada di kota Tegal, banyaknya persaingan usaha kafe di Tegal membuat cara pandang

Dapat dilihat bahwa angka porositas terbesar terletak pada spesimen B yang merupakan hasil pengecoran dari almuniun yang menggunakan media pasir cetak dengan campuran pasir

noise .Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumiyana berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Fama &amp; French (1992) yang menyatakan bahwa perilaku harga

Elen berusaha memberikan pelayanan yang baik kepada pembeli dengan menjalin komunikasi yang baik dengan.. merespon chat di Shopee segera mungkin ketika sedang online