• Tidak ada hasil yang ditemukan

PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA IKAN MANFISH (Pterophyllum scalare) ASAL RAISER CIBINONG BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA IKAN MANFISH (Pterophyllum scalare) ASAL RAISER CIBINONG BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA

IKAN MANFISH (Pterophyllum scalare) ASAL

RAISER CIBINONG

BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Bolas Mangihut P Siahaan

(4)

ABSTRAK

BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan infestasi cacing yang menginfeksi ikan manfish yang diperoleh dari calon Balai Pelayanan Usaha dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser). Ikan manfish menunjukkan adanya ulserasi dan hemoragi pada kulit dekat ekor dan sirip ekor yang mengalami kerusakan. Pengamatan mikroskopis menunjukkan lesi utama pada usus ditemukannya potongan transversal dan longitudinal larva cacing pada lumen dan terbenam dalam mukosa usus. Morfologi dan ukuran cacing diamati dengan pewarnaan jaringan Hematoxilin Eosin. Bentuk dan ukuran larva cacing yang ditemukan berdasarkan studi literatur termasuk dalam kelas nematoda genus

Camallanus sp. Infestasi cacing yang parah pada usus dapat mengganggu pencernaan dan penyerapan makanan sehingga merusak organ lain dalam tubuh. Kata kunci: Cacing pada ikan; Ikan sakit; Manfish; Parasit ikan; Patologi ikan.

ABSTRACT

BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN. Pathology Camallanus sp Helminthes Infestation in Angelfish (Pterophyllum scalare) from Raiser Cibinong. Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.

The aimed of this study is to describe the helminth infestation on diseased angelfish obtained from the forerunner of the Center ofOrnamental FishBusiness Services and Marketing at Cibinong (Raiser). The angelfish showed ulceration and hemorrhage on the skin near caudal fin with damaged of tail fin. Microscopic observations showed the most severe lesions found in intestine which was have transversal and longitudinal slices of helminthes larvae within the lumen also buried in mucosa. The morphology and size of the helminthes were observed within the Hematoxylin Eosin tissue section. The shapes and the sizes of larvae as compared studies of literatures lead to reveal nematode Camallanus sp as genus of helminthes found. Severe helminthes infestation within intestine causes indigestion and absorption of food which will further cause disturbances in other organs.

Keyword: Angelfish; Fish disease; Fish helminthes; Fish parasites; Fish pathology.

(5)

PATOLOGI INFESTASI CACING Camallanus sp PADA

IKAN MANFISH (PterophyllumScalare) ASAL

RAISER CIBINONG

BOLAS MANGIHUT P SIAHAAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(6)
(7)

Judul Penelitian : Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong Nama Mahasiswa : Bolas Mangihut Parasian Siahaan

NIM : B04080048

Disetujui

drh. Dewi Ratih Ph.D, APVet. Dr. drh. Sri Estuningsih MSi, APVet. Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet.

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus oleh karena berkat dan penyertaanNya yang luar biasa, penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik serta dengan karunia dan kebaikanNya. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian studi kasus di lapangan dengan judul Patologi Infestasi Cacing Camallanus sp pada Ikan Manfish (Pterophyllum scalare) asal Raiser Cibinong.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh Dewi Ratih Agungpriyono PhD APVet dan Ibu Dr drh Sri Estuningsih MSi APVet selaku pembimbing atas dorongan, teladan, motivasi dan nasehat yang sangat membentuk karakter penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada calon Balai Pelayanan Usaha dan Pemasaran Ikan Hias Cibinong (Raiser) terutama Bapak Dadang dan Bapak Kholis yang telah membantu dalam pencarian sampel ikan, masukan dan saran untuk penelitian dan skripsi ini. Terimakasih juga pada Tenaga Kependidikan Bagian Patologi Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang dan Mbak Kiki atas segala bantuannya selama penelitian hingga skripsi ini terselesaikan.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah J Siahaan, ibu P Silalahi yang terkasih, kakak Hotnida dan Lae Joe, Abang Hisar dan Kakak Novi, Kakak Melisha, sepupuku Dosma, Adikku Daniel dan Sarina atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu terimakasih juga pada Dr Ir Etih Sudarnika atas bimbingan dan motivasi terhadap penulis. Terimakasih buat sahabat-sahabat kontrakan Lappet (Amudi, Chastro, Christian, Exas, dan Gunawan) selama masa kuliah dalam melewati berbagai hal pergumulan, selisih pendapat, teladan, kasih dan sukacita serta sahabat-sahabatku sepenelitian Desray, Rahma dan Fatma yang juga turut membantu penulis melewati suka, duka, dorongan, perhatian dan doanya selama penelitian hingga skripsi ini terselesaikan. Terimakasih juga buat Ka Amer dan adik-adik asistensi Habakukerz, Tim Kornita (Ruth, Echa, GPC, Saut), Avenzoar, KPS 45 (Samuel, Erti, Novrika, Maju, Nehemia, Mbot, Yeni, Satchi, dan AKPS lainnya), dan PMK yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

MATERI DAN METODE 3

Alat 3

Bahan 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Pembahasan 6

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan ukuran Larva Ketiga Nematoda yang menginfeksi usus ikan manfish

13

DAFTAR GAMBAR

1 Keadaan luar ikan manfish yang sakit menunjukkan ulkus dan hemoragi pada daerah kaudal disertai kerusakan pada sirip ekornya

7 2 Organ internal ikan manfish tidak memperlihatkan kelainan secara

spesifik secara makroskopis

7 3 Histopatologi potongan transversal dan longitudinal parasit di lumen

usus

8 4 Histopatologi epitel usus mengalami deskuamasi dan potongan parasit

terbenam dalam usus

8 5 Infiltrasi sel eosinofil dan limfosit pada mukosa usus 9 6 Histopatologi usus mengalami serositis/ peritonitis 10 7 Histopatologi buccal cavity pada Camallanus sp 12 8 Siklus hidup Camallanus sp 13 9 Histopatologi lesi pada epidermis organ kulit 14 10 Histopatologi insang mengalami teleangiectasis, kongesti, hyperplasia

epitel lamela sekunder dan infiltrasi sel limfosit

15 11 Lamela sekunder insang mengalami infiltrasi sel klorid 15 12 Histopatologi lesi pada organ ginjal 16 13 Histopatologi lesi pada organ hati 17 14 Histopatologi lesi pada organ pankreas 18 15 Histopatologi lesi pada organ otak 19

(11)

1

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup besar, terutama dalam perbendaharaan jenis-jenis ikan. Sekitar 16 % spesies ikan yang ada di dunia diperkirakan hidup di perairan Indonesia. Indonesia termasuk salah satu negara dengan potensi ikan hias terbesar di dunia. Total jumlah jenis ikan yang terdapat di perairan Indonesia mencapai 7000 spesies. Hampir 2000 spesies di antaranya merupakan jenis ikan air tawar. Ikan air tawar merupakan jenis ikan yang hidup dan menghuni perairan daratan (inland water) yaitu perairan dengan kadar garam kurang dari 5 per mil (0-5 ‰). Biota sebagai titik sentral perhatian pembudidayaan perlu dicermati bagaimana responnya terhadap medianya, pakannya, ancaman penyakit selama proses pembudidayaan dan lain-lain (Affandi & Tang 2002).

Ikan hias yang banyak dibudidayakan termasuk dalam kelas Pisces dan subkelas Teleostomi menurut taksonominya. Ikan yang termasuk subkelas Teleostomidiantaranya adalah ikan dari ordo Osteolepiformes, yaitu arwana dan arapaima; ikan dari ordo Perciformes yaitu discus dan manfish; ikan dari ordo Cypriniformes, yaitu mas, silver dollar dan koi; ordo Characiformes yaitu tetra; dan ordo lainnya (Axelord et al 1984).

Kekayaan ikan hias air tawar yang tersimpan di bumi Nusantara belum dapat difungsikan secara maksimal dan masih tertinggal jauh dari negara-negara lain terutama dalam hal manajemen pengelolaan industri. Belum adanya komitmen bersama antara pemerintah dan para pelaku bisnis terutama pembudidaya dan eksportir merupakan kendala lain dalam pengembangan pasar ikan hias Indonesia. Manajemen yang kurang baik akan berdampak pada kesehatan ikan dan dapat menimbulkan penyakit.

Penyakit merupakan suatu proses yang merusak atau mengganggu pada organisme dengan penyebab khusus dan mempunyai gejala-gejala yang khusus pula seperti pada manusia dan hewan terrestrial, ikan juga dapat terserang oleh suatu penyakit. Ada beberapa faktor penyebab penyakit ikan misalnya adanya perubahan kondisi lingkungan, faktor keturunan, mikroorganisme, hewan parasit, dan manajemen budidaya ikan (Supriyadi & Hardjamulia 1986).

Latarbelakang

Banyaknya spesies ikan yang ada di Indonesia juga membuat temuan berbagai jenis penyakit pada hewan baik itu yang disebabkan oleh jamur, bakteri, cacing, protozoa maupun virus. Begitu banyak agen yang menyerang spesies ikan di Indonesia diantaranya penyakit yang disebabkan oleh protozoa:

Ichtyophthirius, Trichodina, Costia. Penyakit yang disebabkan cacing:

Glossotella, Scyphidia, Epistylis, Myxobolus, Myxosoma, Thelohanellus, Plisthophora, Henneguya, Hexamita, Achteres, Salmincola, Gyrodactylus, Dactylogyrus, Clinostomum, Diplostomum, Diphyllobothrium, Ligula, Echynorhynchus, Phomphorinchus, Camallanus. Penyakit yang disebabkan jamur adalah Achlya, Ichtyophonus, Branchiomyce, Saprolegnia. Penyakit yang disebabkan bakteri yaitu Aeromonas, Pseudomonas, Mycobacteria,

(12)

2

Corynebacteria, Columnaris, Flexibacter, Myxobacteria, Edwardsiella dan penyakit yang disebabkan oleh virus adalah Infectious pancreatic necrosis,

Channel catfish virus, Spring viremia of carp, Infectious dropsy, Viral hemorrhagic septicemia, Viral hematopoietic necrosis, Swim bladder inflammation, Koi Herpes Virus (Kordi & Ghufran 2004). Budidaya ikan air tawar di Indonesia telah berumur lebih dari seratus tahun. Oleh karena itu masalah penyakit dan parasit ikan sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah baru.

Menurut Supriyadi dan Hardjamulia (1986) untuk negara Indonesia masalah penyakit ikan hanya terbatas menyerang ikan air tawar dan ikan hias, baik penyakit parasit maupun non parasit. Dengan makin intensifnya usaha budidaya perikanan di Indonesia masalah parasit dan penyakit ikan akan meminta lebih banyak perhatian pada saat ini dalam menghadapi bidang peternakan hewan-hewan terrestrial.

Patologi merupakan ilmu yang mempelajari kejadian suatu penyakit. Kata patologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “pathos” yang berarti penyakit dan “logos” yang berarti risalah (Anonim 2008). Ahli Patologi dalam dunia kedokteran hewan adalah peran spesialis untuk mendiagnosa suatu penyakit melalui pengamatan pada jaringan hewan dan cairan tubuhnya. Diagnosa terhadap penyakit dilakukan berdasarkan pengamatan makroskopis, mikroskopis, reaksi kimiawi tubuh, reaksi imunologi, serta pemeriksaan molekular organ, jaringan, dan tubuh secara keseluruhan saat post mortem (nekropsi). Pemeriksaan post mortem merupakan prosedur penting dalam mendiagnosa penyakit ikan (Roberts 2001).

Dalam rangka mendalami kasus penyakit pada ikan hias, maka ikan-ikan sakit yang ditemukan di beberapa lokasi budidaya ikan hias diambil sebagai sampel. Ikan-ikan tersebut dipilih berdasarkan keadaan gejala klinisnya yaitu perubahan pada warna kulitnya dan bentuk tubuh, perubahan bentuk sirip dan gerak renangnya di kolam budidaya atau akuarium. Perubahan yang ditemukan diamati secara makroskopis dan mikroskopis, kemudian dikaji perjalanan penyakitnya. Selain itu dipelajari juga kondisi lingkungan serta manajemen budidaya pada lokasi pengambilan sampel.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan serta mempelajari lesi patologi yang terjadi.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari studi kasus ini adalah agar dapat memahami patogenesa kejadian penyakit dan melakukan tindak pencegahan serta pengobatan yang tepat dalam mendukung manajemen pengelolaan budidaya ikan hias air tawar di tempat pengambilan sampel.

(13)

3

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, dimulai dari bulan Januari sampai Juni 2012. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel 4 ekor ikan manfish di Raiser yang didiagnosa mengalami suatu penyakit. Setelah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi, kemudian sampel ikan dijadikan sediaan histopatologi sehingga dapat diperiksa lebih lanjut. Pembuatan preparat histopatologi, pemeriksaan, dan interpretasi dilakukan di Laboratorium Diagnostik Patologi, Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah kantung plastik atau container, ember, gunting bedah, pinset anatomis, pinset fisiologis, freezer, kaset jaringan, gelas objek, inkubator, automatic tissue processor, parafin embedding console, mikrotom,

mikroskop cahaya Olympus CH-1, digital eye piece camera microscope dan kamera digital. Bahan yang digunakan adalah ikan sakit, oksigen, Buffer Neutral Formalin 10%, alkohol konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan absolut, xylol, parafin, pewarna hematoksilin C.I. 75290, eosin C.I. 45380, 5% sodium thiosulphate, dan lithiumcarbonate.

Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang akan dilakukan terdiri dari studi manajemen budidaya, pengambilan sampel, transportasi sampel ke laboratorium, pencatatan data sampel, nekropsi, fiksasi, pembuatan preparat histopatologi, dan analisis histopatologi. Interpretasi lesio dianalisa secara deskriptif dan patogenesa penyakit disusun melalui kajian pustaka.

Studi Manajemen Budidaya

Sebelum dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel, perlu dipelajari studi manajemen ikan untuk mengetahui pembenihan, perawatan serta budidaya ikan dengan baik agar dapat mengenali gejala-gejala klinis yang terjadi pada ikan serta memahami adanya penyakit infeksius ataupun non infeksius.

Pengambilan Sampel

Pengamatan ikan dilakukan terlebih dahulu untuk dapat mengetahui ikan mana yang mengalami kelainan. Pengambilan ikan manfish sebanyak 4 ekor dari 300 ekor ikan manfish yang terdapat di akuarium. Kelainan pada ikan diantaranya adanya ulkus dan hemoragi pada bagian kaudal otot dekat dengan ekor dan sirip ekor ikan yang mengalami kerusakan. Selain itu terlihat ikan berenang pasif dan

(14)

4

memisahkan diri dari populasinya. Dari keempat sampel yang diambil, hanya satu ekor ikan yang dikaji pada tulisan ini.

Transportasi Sampel ke Laboratorium

Sampel dibawa dengan plastik atau kontainer yang memiliki cukup oksigen dan tempat yang cukup luas. Saat mengganti tempat dari plastik menuju bak ikan di laboratorium harus dilakukan secara teliti, jangan sampai suhu pada air berubah. Dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu agar ikan dapat beradaptasi pada lingkungan barunya. Aklimatisasi dilakukan dengan mengapungkan kantong plastik yang berisi ikan pada bak penampungan selama 10-15 menit. Hal ini dilakukan agar suhu air dalam plastik sama dengan suhu bak penampungan. Setelah itu kantung plastik dibuka dan ikan dibiarkan keluar dengan sendirinya. Suhu yang baik untuk ikan adalah sekitar 25-28˚C.

Pencatatan Data Sampel

Setiap sampel dilengkapi dengan sejarah detail dan membuat anamnese gejala klinis. Sejarah mencakup deskripsi tempat pengambilan sampel, jumlah ikan yang terinfeksi, jumlah total kematian, angka kematian per hari, warna, tingkah laku, umur ikan yang terinfeksi, dan adanya tindakan profilaksis sebelumnya. Informasi ini untuk menentukan sampel apa yang akan diambil nanti saat nekropsi (Stoskopf 1993).

Nekropsi

Sebelum nekropsi dilakukan, ikan terlebih dahulu dieuthanasi dengan cara pendinginan dimasukkan dalam freezer. Nekropsi dilakukan dengan membuka rongga perut menggunakan gunting bedah yang dimulai memotong lewat kloaka ke arah depan sampai belakang operkulum, dilanjutkan pemotongan ke arah dorsal sampai kloaka lagi sehingga terlihat organnya dan diamati apakah terdapat perubahan atau abnormalitas, kemudian setiap lesio yang terdapat pada ikan didokumentasikan dengan kamera digital.

Fiksasi

Ikan tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berisi Buffer Neutral Formalin 10% tanpa memisahkan organ-organ tetapi rongga abdomen diinsisi. Selain itu kepala ikan juga dibuka dan diambil otaknya. Setelah dilakukan fiksasi maka organ-organ tersebut dibuat menjadi preparat histopatologi.

Pembuatan Histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi berdasarkan Bacha dan Bacha (2000) pada organ ikan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

1. Grossing

Sediaan organ ikan dan karkas yang sudah direndam dalam larutan

Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, kemudian dipotong dengan ketebalan + 3 mm dan potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan. Pemotongan karkas ikan dilakukan secara melintang yang membagi tubuh ikan menjadi empat sampai enam bagian.

(15)

5

2. Dehidrasi

Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam keranjang kaset yang kemudian dimasukkan dalam gelas-gelas pada mesin

autotechnicon untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan bertahap dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya bertingkat, dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, dan alkohol absolut. Setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke dalam xylol dua kali ulangan.

3. Infiltrasi Parafin

Jaringan direndam dalam parafin cair sebanyak tiga kali pengulangan. 4. Perendaman (embedding) dan pencetakan (block)

Sediaan yang telah diinfiltrasi parafin ditanam dalam cetakan yang telah berisi parafin cair setengah dari dinding cetakan dan organ di dalam jaringan diatur dengan membenamkan jaringan, kemudian setelah mulai membeku ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Proses ini dilakukan dengan menggunakan tissue embedding console Sakura®. Sediaan tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam freezer untuk memudahkan pemotongan.

5. Pemotongan

Jaringan dipotong 3-5 µm dengan mikrotom merk Spencer®. Hasil potongan dibentangkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya lipatan potongan. Sediaan dilekatkan di atas gelas objek kemudian dikeringkan dalam inkubator.

6. Pewarnaan Jaringan

a. Hematoksilin-Eosin (Bancroft & Stevens 1990)

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin atau HE termasuk dalam jenis pewarnaan ganda (double staining) karena menggunakan 2 jenis zat warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya pewarnaan yang digunakan satu bersifat asam, dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda bertujuan agar terjadi kekontrasan antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga pengenalan bagian tertentu dapat lebih jelas terlihat.

Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinisasi dengan melarutkan parafin dalam xylol, selanjutnya proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut, 95%, 90%, 80%, dan 70% secara berurutan masing-masing selama 2-3 menit. Sediaan kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam 5% sodium thiosulphate. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 3-5 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin selama 8 menit, kemudian dicuci kembali dalam air mengalir dan direndam dalam lithium carbonate

selama 15-30 detik. Setelah itu, sediaan diwarnai dengan pewarna eosin selama 2-3 menit dan kemudian sediaan dicuci dalam air mengalir untuk membersihkan warna eosin yang berlebihan. Selanjutnya sediaan

(16)

6

didehidrasi dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol

dua kali ulangan masing-masing selama 2 menit. Setelah semuanya selesai, sediaan dikeringkan kemudian ditetesi dengan mounting medium

dan ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diperiksa di bawah mikroskop.

Analisis Histopatologi

Preparat yang telah dibuat kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya Olympus CH-1 untuk melihat perubahan pada sel ataupun organ. Setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi terdapat 1 dari 4 ekor ikan manfish yang mengandung larva parasit nematoda pada ususnya. Analisis pengukuran larva dilakukan dengan menggunakan mikrometer dan software image J.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel ikan manfish yang diperoleh dari Raiser Cibinong termasuk ke dalam kelas Osteichthyes (ikan bertulang keras), superordo Teleostei, famili Cychlidae, spesies Pterophyllum scalare. Ikan manfish yang dewasa memiliki panjang sekitar 7 cm. Ikan manfish tersebut berasal dari beberapa kota di Indonesia yaitu Tulung Agung, Bogor, Bekasi, Jakarta, Sukabumi dan Cianjur. Adapun rute budidaya ikan manfish adalah

Petani yang sudah berhasil mengembangbiakkan larva menjadi ikan manfish yang dewasa akan menjualnya kepada pengumpul yang kemudian akan diserahkan kepada suplier. Suplier kemudian menyerahkan ikan tersebut ke Raiser. Raiser sebagai Sentra Ikan Nasional harus memperhatikan kualitas dan kesehatan dengan menyeleksi ikan-ikan yang baik sebelum di ekspor melalui eksportir yang akan mengirim ke luar negeri. Ikan manfish pada kasus ini merupakan ikan sortiran artinya yang dianggap memiliki kualitas yang tidak layak untuk diekspor. Ikan manfish yang sakit dapat memengaruhi kualitas ikan lain yang layak kirim karena dapat menjadi sumber penularan dari agen-agen infeksius. Ikan manfish di kolam Raiser ditempatkan di dalam akuarium yang berukuran sekitar 90 x 60 x 70 sentimeter bersama dengan ikan lain dalam satu genus. Air akuarium tersebut berasal dari air tanah dengan pH 6,5-7 (sedikit asam), kandungan garam 0% dan Chemical Oxygen Demand (COD) 8 ppm atau di atas 5 ppm. Kondisi tersebut merupakan habitat air yang sesuai untuk ikan manfish (Susanto 2000).

Di dalam akuarium, keadaan ikan manfish pada kasus ini menunjukkan adanya ulkus dan hemoragi pada bagian kulit kaudal dekat dengan ekor dan sirip ekor terlihat mengalami kerusakan (Gambar 1). Ikan tersebut berenang pasif dan memisahkan diri dari populasinya. Keseimbangan ikan ketika berenang masih terlihat sama seperti ikan normal lainnya.

(17)

7

Gambar 1 Keadaan luar dari ikan manfish yang sakit menunjukkan ulkus dan

hemoragi pada daerah kaudal (tanda panah panjang), disertai kerusakan pada sirip ekornya (tanda panah pendek). Insang terlihat normal berwarna merah cerah.

Setelah ikan sampel dieuthanasia, dilakukan pemotongan operkulum (bagian penutup insang) yang memperlihatkan warna insang normal, yaitu insang berwarna merah cerah. Ketika dilakukan pembukaan pada bagian abdomen, tidak terlihat kelainan spesifik pada organ interna (hati, usus, limpa, ginjal, dan pankreas) secara makroskopis (Gambar 2). Pengamatan secara mikroskopis yaitu dengan melihat jaringan (histopatologi) dilakukan dengan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin (HE). Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin merupakan pewarnaan yang paling sering digunakan dalam mewarnai jaringan karena memberikan gambaran yang jelas dari nukleus dan sitoplasma (Alwahaibi et al.

2012).

Gambar 2 Organ internal ikan manfish tidak memperlihatkan kelainan yang

spesifik secara makroskopis.

(18)

8

Gambaran mikroskopis organ interna ikan memperlihatkan adanya perubahan lesi terutama usus dan pada beberapa organ lainnya yaitu insang, kulit (epidermis), hati, pankreas, ginjal dan otak sedangkan pada limpa tidak menunjukkan kelainan. Potongan jantung ikan manfish tidak tersampling pada kasus ini karena ukurannya yang sangat kecil.

Struktur histologi usus pada ikan hampir sama dengan mamalia yaitu memiliki struktur vili, lapisan mukosa dan submukosa. Usus dilapisi epitel silindris sebaris yang memiliki nukleus sentral dan sel goblet yang menyebar (Roberts 2001). Pada organ usus ikan manfish kasus ini, ditemukan banyak potongan transversal dan longitudinal dari badan parasit cacing di dalam lumen (Gambar 3) dan terbenam di dalam mukosa (Gambar 4).

Vili usus yang seharusnya panjang menjadi memendek serta melebar, akibat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada mukosa usus ikan tersebut (Gambar 5). Eosinofil memiliki fungsi utama mensekresikan isi granularnya sebagai respon terhadap infeksi parasit (Woo 2006). Epitel permukaan vili usus juga mengalami deskuamasi akibat adanya edema peradangan pada mukosa. Kerusakan epitel dan mukosa atau jaringan yang lebih dalam oleh nematoda biasanya disebabkan gigitan mulut, buccal cavity, gigi atau tanduk. Infestasi nematoda pada ikan dapat menyebabkan luka mekanik, atropi usus akibat tekanan, penyumbatan saluran pencernaan dan pembuluh darah, intoksikasi metabolit dan gangguan penyerapan makanan, enzim, mineral serta vitamin (Woo 2006). Badan parasit akan menekan jaringan disekitarnya (Platzer & Adam 1967) dan mengubah morfologi jaringan (Molnar 1966) serta menyebabkan hemoragi, inflamasi, granuloma, ascites dan adhesi organ visceral. Efek patologi dari infestasi cacing tergantung jenis spesies dan jumlah nematoda serta pertahanan ikan juga tergantung daerah terinfeksi (Woo 2006). Infestasi nematoda pada kasus ini diduga menembus tunika muskularis usus menyebabkan perforasi hingga serosa usus sehingga terjadi serositis (peritonitis) (Gambar 6).

Gambar 3 Irisan melintang organ usus ditemukan potongan transversal (panah pendek) dan longitudinal (panah panjang) cacing nematoda lumen. Pewarnaan HE, skala 50 µm.

(19)

9

Gambar 4 Histopatologi usus yang epitelnya mengalami deskuamasi (panah merah) dan ditemukan potongan larva cacing yang terbenam dalam mukosa (panah hitam) dengan Pewarnaan HE skala 50 µm.

Gambar 5 Respon peradangan pada mukosa usus berupa infiltrasi sel eosinofil (panah merah) dan infiltrasi sel limfosit (panah hitam). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

(20)

10

Gambar 6 Histopatologi usus yang tunika muskularis mengalami perforasi hingga serosa (panah panjang) hingga menyebabkan peradangan pada serosa (serositis/ peritonitis) (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Penentuan genus dari cacing ini dilakukan dengan pendekatan morfologi, ukuran tubuh dan siklus hidup dari cacing tersebut. Potongan cacing pada kasus ini memiliki morfologi serupa dengan larva dari cacing nematoda karena memiliki

buccal cavity (rongga mulut) yang sangat jelas (Gambar 7) yang tidak dimiliki oleh Cestoda, Trematoda maupun Acanthocephala. Dalam irisan jaringan, cacing Nematoda, Cestoda, Trematoda dan Acanthocephala menunjukkan perbedaan morfologi. Cacing Nematoda memiliki tubuh yang ramping dan transparan karena ditutupi kutikula. Bagian kutikula sederhana, lapisannya homogen dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Kutikula merupakan bagian yang sangat kuat karena tersusun atas beberapa serabut (fiber). Bagian dari kutikula mengandung enzim, RNA, ATP, karbohidrat, lemak, dan substansi lain yang menunjang aktivitas fisiologi. Kutikula mengalami pergantian sebanyak empat kali selama proses perkembangan dari nematoda muda hingga dewasa dan matang dalam reproduksi (Pechenik 2000). Cacing Cestoda memiliki morfologi tubuh yang khas yaitu memiliki scolex yang terdiri atas rostellum dan sucker serta memiliki proglotid yang terlihat berbuku-buku sedangkan Trematoda memiliki satu batil hisap dorsal pada bagian dorsal (monogenea) dan 2 batil hisap pada bagian dorsal maupun ventral (digenea) serta Acanthocephala memiliki proboscis sehingga disebut “hookworm” (Brusca dan Brusca 2002)

Badan nematoda memiliki sistem digesti yang linier dengan mulut (stoma) pada bagian anterior. Saluran pencernaan dibagi menjadi buccal cavity, esofagus, usus, dan rektum (Bruno et al. 2006). Makanan masuk melalui mulut menuju

buccal cavity yang memiliki lapis kutikula dan gigi. Esofagus tersusun atas otot yang mampu melakukan kontraksi dan relaksasi menyebabkan lumen dapat meluas dan menutup. Lumen usus ditutupi oleh lapisan sel epitel yang memiliki mikrovili pada bagian permukaannya. Mikrovili kadang-kadang tidak terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya.

Studi literatur melaporkan beberapa genus cacing nematoda yang terdapat pada ikan manfish yaitu Contracaecum sp, Capillaria sp, Camallanus sp, Eustrongyloides sp (Yanong 2008). Pengukuran larva cacing dilakukan dengan

(21)

11

menggunakan mikrometer, diperoleh ukuran panjang larva dalam lumen usus adalah 1,2 milimeter dan diameter 53-111 mikrometer. Ukuran larva cacing pada kasus ini serupa dengan genus Camallanus yang ditelitioleh De pada tahun 1999 dimana larva ketiga memiliki panjang 786 sampai 3937 mikrometer dengan diameter 43 sampai 168 mikrometer. Tabel 1 berikut merangkum hasil studi literatur mengenai ukuran tubuh larva ketiga dari beberapa genus cacing nematoda.

Tabel 1 Perbedaan Ukuran Panjang dan Diameter Larva Ketiga Nematoda pada Ikan Manfish

Nematoda Ukuran panjang (mm) Ukuran diameter (µm)

Literatur

Kasus ini 1,2 53-111

Camallanus sp 0,786-3,937 43-168 De 1999

Contracaecum sp 0,291-0,457 15-18 Moravec 2009

Capillaria sp 5,41 54-60 Ohbayashi & Masegi

1972

Eustrongyloides sp 50-60 - Rowe & Kusabs 2007

Gambar 7 Buccal cavity (tanda panah) yang dimiliki oleh Camallanus pada kasus ini

(22)

12

Nematoda memiliki siklus hidup yang rumit, berbeda-beda tergantung pada spesiesnya. Organisme yang mengandung stadium dewasa kelamin dari cacing nematoda ini dikenal sebagai induk semang definitif, sedangkan organisme yang hanya dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup cacing ini tetapi tidak mengandung stadium dewasa kelamin cacing dikenal sebagai induk semang antara (Yanong 2008). Roberts (2001) menyatakan bahwa ikan dan kopepoda dapat menjadi induk semang antara dan melengkapi stadium dewasa jika dimakan oleh ikan, ataupun mamalia yang menjadi inang definitifnya. Secara umum, di dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadium dalam siklus hidupnya yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit (moulting) (Buchmann & Bresciani 2001).

Genus Camallanus menginfeksi saluran pencernaan cychlids, guppies dan

swordtails serta spesies lain ikan air tawar. Biasanya infeksi pertama ditandai warna merah dan cacing menonjol dari anus ikan. Camallanus sp dilaporkan dapat menginvasi mukosa usus karena memiliki enzim protease dan merusak mikrovili dengan menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada bagian buccal cavity (De 1999; Newton dan Munn 1999). Nematoda ini termasuk dalam ovoviviparous ("ovo berarti"telur" dan"vivipar" berarti beranak). Dalam siklus hidupnya, embrio akan berubah menjadi larva pertama di dalam telur pada tubuh cacing betina. Larva pertama kemudian akan keluar dari membran telur ketika dikeluarkan ke dalam air, sehingga dalam ikan manfish tidak ditemukan telur cacing ini (Stromberg & Crites 1973).

Menurut Yanong (2008) Camallanus memiliki inang antara kopepoda sehingga siklus hidup cacing ini disebut siklus hidup tidak langsung (Gambar 8). Kopepoda merupakan krustasea yang berukuran sangat kecil yaitu 0,3 sampai 18 mm. Kopepoda dapat hidup di air tawar, air laut dan perairan yang memiliki kadar garam yang tinggi serta dapat bertindak sebagai parasit maupun komensalisme pada berbagai jenis ikan (Hys & Boxshall 1991). Kutu air (Cyclops sp) merupakan jenis kopepoda termasuk ke dalam famili Cyclopidae (Chullarson et al. 2008). Camallanus betina dapat melepaskan larva pertama (L1) ke dalam air dan dapat bertahan di dalam air selama 12 hari (Dogiei et al. 1960) kemudian

Cyclops sebagai inang antara memakan larva ini sehingga dapat mengandung

Camallanus L1. Camallanus L1 yang dimakan Cyclops lalu masuk ke dalam tubuh kemudian akan melakukan penetrasi ke dalam haemosul melalui usus bagian belakang dalam waktu dua jam (Stromberg & Crites 1973). Haemosul merupakan rongga tubuh kopepoda yang mengandung hemosianin yang berubah warna menjadi biru ketika teroksigenasi mirip dengan hemoglobin pada vertebrata.

Larva pertama akan mengalami pergantian kulit di dalam haemosul dan mengalami perubahan ditandai dengan usus yang memanjang, lumen semakin meluas, epitel berbentuk kubus, dan ekor yang pendek (14% dari panjang tubuh) serta akan berubah menjadi larva kedua dengan ususnya yang semakin meluas serta ditemukannya bagian usus posterior dengan ukuran kecil. Larva kedua kemudian berubah menjadi larva ketiga setelah mengalami pergantian kulit di dalam tubuh kopepoda (De 1999). Larva ketiga (L3) dan larva keempat (L4) ditemukan pada inang definitif yaitu pada ikan manfish.

Larva ketiga memiliki gigi sklerotis, buccal capsul, tiga mukron pada bagian ekor dan ekor mulai memanjang menjadi 7-8% dari panjang tubuh.

(23)

13

Mukron merupakan alat reproduksi dalam melakukan kopulasi. Larva tersebut tetap di dalam tubuh sampai Cyclops atau kopepoda dimakan oleh ikan manfish. Larva ketiga akan mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 setelah infeksi pada cacing jantan dan hari ke 24 pada cacing betina. Setelah mengalami pergantian kulit maka cacing ini menjadi larva keempat ditandai dengan kutikula yang tipis (Stromberg & Crites 1973). Larva keempat jantan akan mengalami pergantian kulit pada hari ke 68 pada suhu 24-360C. Larva keempat betina mengalami pergantian kulit pada hari ke 86. Sistem reproduksi akan mengalami diferensiasi dimana ekor akan berbentuk kerucut dengan tiga mukron kecil. Cacing betina dengan telur dan beberapa larva akan ditemukan pada hari ke 187 (De 1999). Cacing tersebut merusak vili usus menggunakan gigi sklerotis yang terdapat pada

buccal cavity dan penetrasi ke dalam mukosa usus dengan mengeluarkan enzim protease. Infeksi secara intensif oleh nematoda menyebabkan perubahan patologis terutama disekitar cacing tersebut menempel.

Gambar 8 Siklus hidup Camallanus sp larva masuk ke dalam tubuh inang antara

sebelum dimakan inang definitif (Yanong 2008).

Efek patologi dari infeksi nematoda sangat sedikit diteliti dan hanya beberapa yang melaporkan kasus mortalitas akibat infeksi nematoda. Nematoda mendatangkan antibodi yang spesifik di dalam tubuh inang. Migrasi dari stadium larva pada rongga tubuh dan jaringan menurunkan sistem imun inang. Sistem imun tubuh dan nutrisi yang diambil oleh cacing tersebut akan menurunkan fungsi fisiologis usus dalam menyerap nutrisi (Woo 2006). Hal ini akan berakibat terhadap perilaku ikan dimana ikan memisahkan diri dari populasinya.

Struktur kulit pada ikan kurang lebih mirip dengan mamalia darat yang terdiri dari epidermis dan dermis serta ditunjang hypodermis atau lapisan subkutan. Kulit ikan dan lapisan mukus merupakan perlindungan pertama menghalangi agen infeksius, tekanan osmotik, dan kerusakan mekanis (Stoskopf 1993). Secara histopatologi ditemukan adanya erosi epidermis dan juga infiltrasi sel radang pada otot di daerah ulkus (Gambar 9). Tidak ditemukannya agen penyebab kerusakan pada daerah tersebut menunjukkan bahwa penyebab adanya erosi epidermis adalah tidak spesifik. Ulkus dan hemoragi yang ditemukan pada

(24)

14

kulit ikan ini diduga diakibatkan karena fungsi tubuh yang menurun sehingga mudah terserang penyakit dan stres yang dapat disebabkan oleh kepadatan populasi ketika dilakukan transportasi dari tempat pengambilan ikan sebelum tiba di Raiser. Ulkus pada otot dan kulit ikan merupakan indikasi adanya polutan dan stres dalam lingkungan perairan (Noga 2000).

Gambar 9 Organ kulit yang bagian epidermisnya mengalami erosi dan ditemukan infiltrasi sel radang pada jaringan otot di bawah kulit (tanda panah). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Lesi lain selain pada usus dan kulit ditemukan pada organ insang, ginjal, pankreas, hati dan otak. Infeksi cacing Camallanus sp pada kasus ini menyebabkan gangguan pada organ lain secara tidak langsung terhadap ikan manfish.

Ikan manfish memiliki insang yang merupakan organ respirasi utama dan vital. Epitel insang ikan merupakan bagian utama dalam melakukan fungsi pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion, dan ekskresi nitrogen. Pengamatan mikroskopis pada filamen insang terutama pada bagian lamela sekunder ditemukan banyak sel limfosit, kapiler mengalami kongesti, hiperplasia epitel lamela sekunder dan dilatasi kapiler (teleangiectasis). Teleangiectasis mirip dengan kondisi aneurisma pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Aneurisma

merupakan dilatasi yang permanen dari arteri, sedangkan teleangiectasis

merupakan suatu kondisi yang reversibel dan pasif.

Teleangiectasis dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, bahan toksik, virus, bakteri, toksin-toksin bakteri, parasit-parasit dan dalam beberapa kasus defisiensi nutrisi (Plumb 1994). Perubahan diatas mengindikasikan bahwa insang

(25)

15

mengalami peradangan (brankhitis). Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti, hemoragi, proliferasi sel klorid dan infiltrasi sel radang (Gambar 11). Menurut Noga (2000), lesio brankhitis dan hiperplasia lamella sekunder dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk, stres, kekurangan vitamin E dan infestasi parasit.

Gambar 10 Insang mengalami lesio teleangiectasis pada lamela sekunder (anak panah,

kongesti pada lamela primer (A), infiltrasi sel limfosit (B), dan hiperplasia epitel lamela sekunder (C). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Gambar 11 Lamela sekunder insang mengalami infiltrasi sel klorid (panah) pada pewarnaan HE, skala 50 µm.

Secara histologis ginjal ikan manfish memiliki struktur yang mirip dengan ginjal mamalia yang mengandung glomerulus dengan kapsula Bowman dan juxtaglomerular tetapi tidak memiliki lengkung Henle. Fungsi lengkung Henle diganti oleh tubulus distal yang berliku-liku (Stoskopf 1993). Fungsi urinasi pada ginjal ikan umumnya berlokasi pada ginjal kaudal. Ginjal kranial berisi jaringan yang tidak memiliki fungsi dalam sistem urinasi. Jaringan limfoid banyak terdapat pada ginjal kranial sebagai pembentukan sel darah. Ginjal kranial sangat tervaskularisasi dan menyimpan darah di kapilernya. Pembentukan urin dimulai

(26)

16

dengan proses filtrasi glomerulus plasma dan dinamakan ultrafiltrasi glomerulus karena filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul protein bermuatan negatif seperti albumin secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan muatan yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi glomerular. Tekanan-tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus bersifat pasif dan tidak dibutuhkan energi metabolik untuk proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta tekanan onkotik darah. Proses pembentukan urin setelah filtrasi adalah reabsorpsi selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorpsi melalui tubulus sehingga zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus (Price 2005). Ginjal ikan manfish kasus ini mengalami edema interstisialis (Gambar 12) yang ditandai renggangnya jaringan interstisialis antara tubulus. Timbulnya edema pada bagian interstitial ginjal dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu gagal jantung, sirosis hati, sindrom nefrosis, kekurangan vitamin E dan hipoproteinemia. Kekurangan protein terutama albumin dan globulin dalam darah menyebabkan terjadinya edema karena meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah (Price 2005; Stoskopf 1993). Hipoproteinemia dapat diakibatkan oleh kekurangan nutrisi maupun infeksi parasit. Beberapa tubulus mengalami degenerasi hialin. Degenerasi hialin pada tubulus proksimal dapat terjadi karena terjadinya reabsorbsi dari filtrat glomerulus akibat kerusakan glomerulus.

Gambar 12 Ginjal pada ikan yang mengalami edema interstisialis (panah panjang) dan degenerasi hialin (panah pendek). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Hepatosit pada ikan berbentuk poligonal dengan nukleus berbentuk sperikal dan umumnya memiliki satu nukleolus. Pada beberapa jenis ikan jaringan pankreas ditemukan pada hati sepanjang vena porta (Stoskopf 1993). Degenerasi

(27)

17

lemak biasanya terjadi pada ikan yang dibudidayakan. Menurut Roberts (2001) degenerasi lemak di hati disebabkan karena kondisi toksik pada perairan dan juga defisiensi vitamin A.

Gambar 13 Histopatologi organ hati yang mengalami degenerasi lemak (tanda panah) dengan pewarnaan HE, skala 50 µm.

Infiltrasi sel radang terlihat diantara kelenjar asinar pankreas yang mengalami nekrosis pada ikan manfish kasus ini (Gambar 14). Kelenjar eksokrin pankreas pada ikan memiliki struktur kelenjar tubulo-alveolar. Sel sekretori pada kelenjar eksokrin pankreas memiliki nukleus berlokasi di basal dan sitoplasma berisi banyak granul zimogen. Pulau Langerhans berada di antara kelenjar eksokrin bersamaan dengan syaraf dan pembuluh darah (Stoskopf 1993). Pada kasus ini granula zimogen sel asinar terlihat berkurang, dan sel asinar menjadi kecil (atrofi). Infiltrasi sel radang (pankreatitis) diakibatkan adanya serositis/ peritonitis yang terjadi karena perforasi serosa usus oleh larva cacing.

(28)

18

Gambar 14 Pankreas yang mengalami pankreatitis ditandai dengan adanya sel asinar yang mengalami atrofi (tanda panah) dan infiltrasi sel radang (anak panah). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Otak pada ikan dibagi menjadi 5 bagian yaitu telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan myelensefalon. Struktur otak ikan sangat mirip dengan vertebrata lainnya (Stoskopf 1993). Lesi otak ikan manfish kasus ini menunjukkan gliosis dan malacia (Gambar 15). Otak pada ikan memerlukan vitamin untuk memberi nutrisi jaringan otak dan neuron. Vitamin B1 (tiamin) merupakan koenzim untuk mengkatalisasi enzim esensial dalam memetabolisme karbohidrat. Bentuk koenzim dari tiamin adalah tiamin pirofosfat yang berfungsi dalam pencernaan, reproduksi dan otak. Ikan spesies tertentu seperti cyprinid, clupeid mengandung banyak tiaminase di dalam jaringan. Kekurangan tiaminase pada mamalia, burung dan ikan secara hispatologi ditandai dengan hemoragi dan gliosis (Roberts 2001)

(29)

19

Gambar 15 Otak mengalami gliosis (panah pendek) dan malacia (panah panjang). Pewarnaan HE, skala 50 µm.

Pencegahan dan pengobatan terhadap kasus ini perlu dilakukan untuk mengurangi kejadian kasus infeksi. Karantina ikan selama 14 hari hingga 21 hari merupakan hal yang penting dilakukan sebelum ikan baru dimasukkan dalam suatu akuarium. Ikan yang dikarantina harus diberi kualitas dan filtrasi air yang baik terutama pH dan kandungan oksigen terlarut. Pergantian air perlu juga diperhatikan untuk menghindari stres pada ikan karena perubahan suhu air yang fluktuatif dapat menyebabkan stres. Pemutusan siklus hidup dengan mengganti pakan yang bukan inang antara dari nematoda juga merupakan salah satu tindak pencegahan karena larva pertama yang dikeluarkan oleh cacing dewasa terhambat perkembangannya ke tahap yang lebih lanjut sebelum menginfeksi inang definitif. Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan formaldehid 75 sampai 100 ppm (dalam 10 liter air) yang berfungsi sebagai parasitida. Penggunaan potassium permanganate sebanyak 100 ppm dan levamisol sebanyak 2 mg/L dilaporkan efektif membunuh larva nematoda (Stoskopf 1993).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Cacing yang menginfeksi usus ikan manfish pada kasus ini termasuk ke dalam kelas nematoda dengan Genus Camallanus. Infestasi cacing ini menyebabkan deskuamasi dan infiltrasi sel radang pada mukosa usus serta menyebabkan malabsorbsi. Kondisi malabsorbsi berdampak pada malnutrisi yang menyebabkan timbulnya lesi pada organ lain.

(30)

20

Saran

Pencegahan perlu dilakukan dengan pemutusan siklus hidup cacing

Camallanus sp dengan mencari pakan alternatif ikan yang bukan merupakan inang antara dari cacing Camallanus sp serta perlu dilakukan karantina ikan untuk mencegah penyebaran infeksi cacing Camallanus sp.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: UNRI press. Hlm:57-60.

Anonim. 2008. Pathology. [internet]. [diacu 12 Mei 2012]. Tersedia dari:

Alwahaibi NY, Siham, Johannsen SK. 2012. Capability of Hematoxylin and Eosin Stain to Demonstrate Hemosiderin in Bone Marrow Trephine Biopsy. J. Biomed. (3):53-56.

Axelrod, Herbert R, Leonard PS. 1984. Handbook of Tropical Aquarium Fishes. Neptune city: T. F. H. Hlm.: 40-41.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology Second Edition. Lippincott Williams & Wilkins : United States. Hlm.: 1-3.

Bancroft J, Stevens A. 1990. Theory and Practice of Histological Techniques. New York: Churchill livingstone. Hlm.: 20-55.

Bruno BN, Elliott DG. 2006. Guide to the Identification of Fish Protozoan and Metazoan Parasites in Stained Tissue Section. 70: 1-36.

Brusca RC, Brusca GJ. 2002. Invertebrata. Humoldt State University: California. Hlm. 450-452.

Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Diseases of Freshwater Trout. DSR Publisher: Denmark. Hlm.: 201-220.

Chullarson S, Pawana K, Khawanruan P, Frank DF. 2008. Apocyclops

Ramkhamhaengi sp (Copepoda: Cyclopida) in a Culture Originating from Brackish at Chang Island, Trat Province Thailand. J. Parasitol 47(3): 326-337.

De NC. 1999. On the Development and Life Cycle of Camallanus anabantis

(Nematoda: Camallanidae), a Parasite of the Climbing Perch, Anabas testudineus. 46: 205-215.

Dogiei VA, Petruhevski GK, Polyvanski. 1960. Parasitology of Fishes. Leningrad: Moscow. Hlm.: 162-163.

Hys R, Boxshall GA. 1991. Copepod Evolution. The Ray Society: Series 159, London.Hlm.: 1-468.

Kordi KM, Ghufran. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Bina Adiaksara : Jakarta. Hlm: 3-5.

Molnár K. 1967. Morphology and Development of Philometra abdominalis

Nybelin, 1928. Acta Veterinaria Academiae Scientiarum Hungaricae 17, 293–300.

(31)

21

Moravec F. 2009. Experimental Studies on the Development of Contracaecum

rudolphii (Nematoda Anisakidae) in Copepod and Fish Paratenic Hosts.

Institute of Parasitology, Biology Centre ASCR. 56 (3): 185-193. Newton SE, Munn EA. 1999. The Development of Vaccines Against

Gastrointestinal Nematode Parasites, Particularly Haemonchus contortus. Parasitology Today 15, 116–122.

Noga EJ. 2000. Skin Ulcers in Fish: Pfresterian and Other Etiologies. J. Parasitol. 28: 807-823.

Ohbayashi M, Masegi T. 1972. Some Nematodes of the Japanese Shrew Mole, Urothrichus Talpoides Temmminck. J. Parasitol. 20: 111-116.

Pechenik AJ. 2000. Biology of The Invertebrates. Fourth Edition. Tufts University: United States of America. Hlm.: 411.

Platzer EG, Adams JR. 1967. The Life History of a Dracunculoid, Phylonema oncorhynchi, in Oncorhynchus nerka. Canadian J.Zool. 45, 31–43. Plumb JA. 1994. Health Maintenance of Cultured Fishes: Principal Microbial

Diseases. CRC Press Inc. USA. 254 p.

Price AP. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Penerbit buku EGC: Jakarta. Hlm.: 308-374.

Roberts RJ. 2001. Fish pathology.University of Stirling: Scotland. Hlm.; 264 Rowe D, Kusabs I. 2007. Taonga and Mahinga Kai of the Te Arawa Lakes: a

Review of Current Knowlede- Koaro. National Institute of water and Athmosphere Research: New Zealand. Hlm.: 21-22.

Stoskopf MK. 1993. Fish Medicine. W B Saunders Company: Philadelphia. Hlm.: 2-47.

Stromberg PC, Crites JL. 1973. Changes in the Occurrence of Camallanus oxycephalus Ward and Nagath, 1916 (Nematoda: Camallanidae) in Western Lake Erie: A Simple Model of Host Parasite Interaction. Clear Report No. 26. Supriyadi H, Hardjamulia A. 1986. Current of Programs for Health Certification

and Quarantine in Indonesia, in Arthur J.R. 1986. Fish Quarantine and Fish Disease in South and Southeast Asia. 1986. IDRC: Ottawa Kanada. Hlm.: 27-29.

Susanto H. 2000. Maanvis. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm.: 3-8.

Woo. 2006. Fish Disease and Disorders Volume 1 Protozoan and Metazoan

Infection. The second Edition. University of Guelph: Kanada. Hlm.: 417-443. Yanong RPE. 2008. Nematode (Roundworm) Infection in Fish. Sirkular 91. (1):

(32)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 November 1990 di Pematangsiantar, Sumatera Utara merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Jannus Siahaan dan Ibu Pituarap br. Silalahi.

Penulis mengawali pendidikan Sekolah dasar (SD) dan menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 121241 Pematangsiantar pada tahun 2002 dilanjutkan ke SLTP Negeri 3 Pematangsiantar pada tahun 2005. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Pematangsiantar dan pada tahun yang sama penulis berhasil lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Kedokteran Hewan.

Semasa aktif sebagai mahasiswa, penulis tercatat sebagai pengurus Persekutuan Fakultas Kedokteran Hewan (2009-2012), pengurus Himpro HKSA divisi Satwa Aquatik dan Eksotik (2009-2012), anggota UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB Komisi Pelayanan Siswa (2009-2012). Penulis pernah menjadi Pengajar kelas X dan XI SMA Kornita selama dua tahun dan menjadi

leader SMP Gabungan Ciampea selama 1 tahun. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yaitu panitia Retreat Angkatan 46 PMK IPB 2009/2010, Reatreat Siswa Kristen Se-Kota Bogor (2011), panitia Natal Persekutuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan Civitas Akademik IPB.

Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Klinik PDHB drh. Cucu Kartini di Sunter Jakarta Utara, Animal Clinic di Kemang Jakarta Selatan, dna animal clinic Bogor dan Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pengalengan. Penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan Tingkat Persiapan Bersama tahun akademik 2009/2010 dan asisten praktikum Fisiologi Hewan serta Patologi sistemik 2 FKH IPB pada tahun 2012. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa KSE, PPA, dan BBM.

Referensi

Dokumen terkait

Data dianalisa dengan uji korelasi rank spearman .Ada hubungan antara status menarche ibu (genetik), keterpaparan media massa, gaya hidup, nutrisi, status gizi dengan kejadian

Aplikasi web yang bekerja dengan Ajax, bekerja secara asynchronously yang berarti mengirim dan menerima data dari user ke server tanpa perlu

Dari hasil pengamatan, pemberian pupuk kandang kambing berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman bibit kakao namun diameter batang dan jumlah daun bibit tanaman

Kualitas pelayanan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pelanggan , ini dibuktikan dengan persamaan regresi linear sederhana Y= 3,467 + 0,218 X 1 +e

Penelitian mengenai perlakuan akuntansi pada sebuah klub ditunjukkan dari penelitian Kristianti (2014) menunjukkan bahwa perlakuan akuntansi terhadap atlet bola basket

Dipetik April 16, 2017, dari Foreign Policy News:..

Dari studi bahasa pada zaman Yunani ini kita mengenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa ini, seperti

Dokumen RPJMD Provinsi Jambi merupakan acuan dan pedoman resmi bagi Pemerintah Provinsi Jambi dalam penyusunan Rencana Strategis SKPD, Rencana Kerja Pemerintah