• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSTRAKSI KALIUM DARI FELSPAR DAN LEUSIT DENGAN PERBANDINGAN METODE AKTIVASI: MEKANIS (MILLING) DAN SUHU TINGGI (ROASTING)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSTRAKSI KALIUM DARI FELSPAR DAN LEUSIT DENGAN PERBANDINGAN METODE AKTIVASI: MEKANIS (MILLING) DAN SUHU TINGGI (ROASTING)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

EKSTRAKSI KALIUM DARI FELSPAR DAN LEUSIT DENGAN

PERBANDINGAN METODE AKTIVASI: MEKANIS (MILLING)

DAN SUHU TINGGI (ROASTING)

Agus Wahyudi, Dessy Amalia, Hadi Purnomo,

I Gusti Ngurah Ardha, Siti Rochani, Sariman

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara “

tek

MIRA”

wahyudi@tekmira.esdm.go.id

S A R I

Salah satu unsur terpenting dalam pupuk adalah kalium yang dapat diperoleh dari felspar dan leusit. Kedua bahan galian ini terdiri atas berbagai mineral sehingga harus dipisahkan mineral yang diinginkan dengan mineral pengotornya. Untuk mempermudah proses ekstraksi, maka terlebih dulu dilakukan proses aktivasi pada mineral tersebut. Pada penelitian ini dilakukan uji perbandingan aktivasi mineral dengan dua metode yang berbeda, yaitu aktivasi secara mekanis (milling) dan aktivasi yang menggunakan suhu tinggi (roasting). Hasil aktivasi dilanjutkan dengan proses ekstraksi kalium yang dilakukan melalui proses pelindian menggunakan asam sulfat 6 N 20% padatan selama 2 jam tanpa penambahan panas. Hasil ekstraksi terbaik diperoleh dari leusit yang diaktifasi secara mekanis (milling) selama 60 jam dengan kondisi pelindian tanpa pemanasan. Untuk mengetahui kemudahan kelarutan kalium dalam tanah jika diaplikasikan sebagai pupuk, dilakukan uji kelarutan dalam asam sitrat yang dianalogikan dengan asam humus dalam tanah. Kelarutan terbaik diperoleh dari produk hasil proses milling selama 60 jam. Hasil penelitian menunjukkan leusit dengan proses milling lebih mudah diekstrak kaliumnya, namun masih perlu penelitian lebih lanjut untuk lebih mengoptimalkan perolehan hasil ekstraksi kalium.

Kata kunci : aktivasi mekanis, aktivasi suhu tinggi, ekstraksi, metode aktivasi 1. PENDAHULUAN

Salah satu unsur pokok pupuk yang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh tanaman (unsur makro) adalah kalium (K) dan masih mengandalkan impor dari luar negeri. Data Impor pupuk kalium tahun 1996-1998 adalah rata-rata 435.000 ton/ tahun (61,6 juta USD) (Aziz, M. dkk, 2001). Mineral-mineral di alam yang berpotensi dimanfaatkan sebagai sumber kalium diantaranya adalah felspar dan leusit (Kusdarto, dkk, 2008). Cadangan felspar menyebar mulai dari Aceh hingga Flores dan beberapa bagian di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah,

diperkirakan cadangannya mencapai 271.693 ribu ton (Mandalawanto, 1997). Sedangkan cadangan leusit tidak terlalu menyebar di Indonesia, salah satunya berada di Kabupaten Situbondo, dengan cadangan sekitar 57.060 ribu ton (Kusdarto, dkk, 2008).

Kadar kalium dalam felspar cukup bervariasi, antara 4%-6%, sehingga perlu ditingkatkan kadarnya. Metode yang selama ini digunakan untuk meningkatkan kadar felspar adalah flotasi (Ardha, 1994, 1997), yang mampu meningkatkan kadar kalium hingga 12%. Sedangkan kadar kalium dalam leusit relatif lebih

(2)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

tinggi, yaitu sekitar 6-12% (Kusdarto, dkk, 2008),

sehingga dengan proses flotasi diharapkan diperoleh peningkatan yang lebih baik. Metoda flotasi membutuhkan reagen kimia yang harganya cukup mahal, sehingga tidak sebanding dengan kadar kalium yang ingin ditingkatkan. Untuk itu, perlu dicari proses peningkatan kadar alternatif yang sesuai untuk kedua bahan tersebut.

Beberapa peneliti di luar negeri telah mencoba mengekstraksi kalium dari mineral alam dengan metode aktivasi mekanis (Kleiv dkk, 2007; Alacova, 2004). Metode ini bertujuan untuk menghancurkan material hingga sangat halus (skala nanometer) sehingga akan merusak strukturnya. Dengan demikian proses pengambilan (ekstraksi) unsur-unsur yang diinginkan, dalam hal ini kalium, akan lebih mudah dilakukan.

2. METODOLOGI

Batuan felspar diperoleh dari kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, dengan kondisi berwarna coklat muda dan pada beberapa bagian terdapat bintik-bintik berwarna abu-abu. Sedangkan leusit diperoleh dari Kecamatan Bungatan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dengan kondisi berwarna hitam kecoklatan dan dipenuhi dengan bintik-bintik putih yang diindikasikan sebagai kalium. Sampel tersebut kemudian dikeringkan pada suhu 105 0C dan digerus hingga berukuran -200 mesh dengan alat peremuk rahang (jaw crusher) dan penggerus jenis cincin (ring mill). Sampel yang telah halus kemudian dibagi dua dan dilakukan proses aktivasi yang berbeda, yaitu dengan metode aktivasi mekanis (milling) dan aktivasi suhu tinggi (roasting). - Proses aktivasi mekanis (milling), Dilakukan dengan menggunakan planetary ball mill yang dilengkapi bola-bola alumina dan chamber baja. Jumlah bahan baku yang

diumpankan sebanyak 50 gram pada atmosfir udara, dengan perbandingan berat sampel: bola alumina adalah 1:8. Penggilingan dilakukan secara basah (wet milling) menggunakan metanol berlangsung dari 0 (nol) menit hingga 60 jam dengan kecepatan 15 Hz.

- Proses aktivasi suhu tinggi (roasting) Sampel berukuran -200 mesh sebanyak 100 gram dalam cawan gerabah kemudian dimasukkan ke dalam furnace pada variasi suhu 300, 500, 700, 900, dan 1.100 0C selama 2 jam. Sampel yang sudah

di-roasting kemudian dikeluarkan dari furnace, dibiarkan dalam udara terbuka dan kemudian disimpan dalam wadah tertutup.

Produk hasil aktivasi tersebut kemudian dilakukan pelindian dengan prosedur sebagai berikut: 5 gram sampel yang telah digiling dilarutkan dalam 200 ml larutan asam sulfat (H2SO4) 6 N tanpa pemanasan dan dengan pemanasan pada suhu 85 - 90ºC dengan waktu pelindian 2 jam. Setelah pelindian, 100 ml akuades ditambahkan ke dalam sampel dan didinginkan selama 30 menit. Suspensi disaring dan dikeringkan pada 100 ºC selama satu malam.

Untuk mengetahui kemudahan kelarutan kalium dalam tanah jika diaplikasikan sebagai pupuk, dilakukan uji kelarutan dalam asam sitrat yang dianalogikan dengan asam humus dalam tanah, yaitu dengan prosedur: 2 gram sampel dimasukkan dalam 10 ml asam sitrat 2% kemudian dikocok selama 5 jam setelah itu disaring dengan kertas saring whatman no 42. Filtrat yang diperoleh kemudian dianalisis kadar kaliumnya dengan alat AAS.

Produk-produk hasil proses tersebut dikarakterisasi secara kimia untuk melihat kadar kalium yang diperoleh. Selain itu juga dilakukan karakterisasi secara fisis berupa pengukuran partikel untuk hasil milling dan difraksi sinar X untuk hasil roasting.

(3)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan baku yang dipakai terdiri atas felspar dan leusit. Keduanya dikarakterisasi secara fisik berupa analisis difraksi sinar x (XRD) dan SEM, serta secara kimia untuk mengetahui komposisi kimia masing-masing bahan.

Berdasarkan data XRD, felspar Jepara terindikasi sebagai mineral sanidin (KNaAlSi3O8)

Tabel 1. Komposisi kimia felspar Jepara

dengan komposisi perbandingan K:Na sekitar 7:5. Data XRD dan foto SEM felspar Jepara dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2, sedangkan komposisi kimia felspar Jepara tampak pada Tabel 1.

Sedangkan untuk batuan leusit, berdasarkan analisis XRD, mineral yang terdapat didalamnya adalah ortoklas (KAlSi3O8) dan phlogopite [KMg3(AlSi3O10)(OH)2]. Ortoklas disebut juga

Gambar 1. Difraktogram felspar Jepara, terindikasi sebagai mineral sanidin

Gambar 2. Foto SEM sanidin dalam felspar bongkah

SiO2(%) Al2O3 (%) Fe2O3(%) K2O (%) CaO (%) Na2O (%) MgO (%)

(4)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

pseudoleusit, yaitu leusit yang telah mengalami

pelapukan oleh alam (Berry L. G. dan Brian Mason, 1961). Ortoklas termasuk ke dalam golongan mineral felspatoid, dicirikan dengan perbandingan K:Na yang cukup jauh, dalam sampel yang diperoleh 7,86 : 0,62 atau sekitar 12:1. Sedangkan phlogopite termasuk kategori mineral mika. Komposisi kimia leusit Situbondo tersaji dalam Tabel 2, sedangkan data XRD dan foto SEM tampak pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Tabel 2. Komposisi kimia leusit Situbondo

Gambar 3. Puncak ortoclas dan phlogopite dalam difraktogram leusit Situbondo

Gambar 4. Foto SEM ortoklas dalam leusit bongkah

Kedua bahan tersebut kemudian dilakukan proses aktivasi melalui proses roasting, yang dimaksudkan untuk memecah ikatan-ikatan dalam mineral felspar dan leusit sehingga diharapkan pada saat ekstraksi senyawa kalium yang diinginkan akan lebih mudah. Proses

roasting mineral felspar dan leusit ditunjukkan pada Gambar 5, sedangkan produk hasil

roasting ditampilkan pada Gambar 6.

SiO2(%) Al2O3 (%) Fe2O3(%) K2O (%) CaO (%) Na2O (%) MgO (%)

(5)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

T = 300 0C T = 500 0C T = 700 0C T = 900 0C T = 1100 0C

Gambar 5. Proses roasting mineral felspar dan leusit

Gambar 6. Hasil roasting felspar pada suhu 300-1100 0C Pada Gambar 6 memperlihatkan bahwa pada

suhu 300-900 0C sampel hasil roasting masih berupa bubuk sedangkan pada suhu 1100 0C sampel telah mengalami sinter sehingga mengeras dan melekat kuat pada wadah. Oleh sebab itu, untuk

Tabel 3. Struktur mineral felspar dan leusit hasil roasting

sampel leusit dilakukan roasting dari 300-900 0C saja untuk menghindari terjadi produk yang sinter. Berdasarkan data XRD, diperoleh struktur hasil roasting seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Suhu Roasting 300 0C 500 0C 700 0C 900 0C 1100 0C

Felspar Sanidin Sanidin Sanidin Sanidin Amorf (rusak)

Leusit Ortoklas Phlogopite Ortoklas Phlogopite Hematite Ortoklas Phlogopite Ortoklas Phlogopite Hematite

(6)

-Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Untuk mengetahui komposisi kimia mineral

felspar hasil roasting, maka dilakukan analisis kimia menggunakan alat XRF (Tabel 4). Kadar kalium dan LOI yang diperoleh dibuat grafik untuk melihat fenomena yang tejadi berdasarkan suhu operasi proses roasting yang dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 7. Kadar K2O pada felspar dan leusit hasil roasting

Tabel 4. Kompsisi kimia felspar hasil roasting

Berdasarkan data hasil roasting felspar di atas, belum dapat diambil kesimpulan pada temperatur roasting berapa didapat kadar K2O tertinggi, karena pada data tersebut nilai K2O yang diperoleh hampir sama pada tiap variasi suhu roasting. Walapun pada temperatur 900 0C menunjukkan nilai LOI terkecil (Gambar 8),

Unsur SiO2(%) Al2O3 (%) Fe2O3 (%) K2O (%) CaO (%) Na2O (%) LOI (%) Suhu Felspar Leusit Felspar Leusit Felspar Leusit Felspar Leusit Felspar Leusit Felspar Leusit Felspar Leusit 300C 64,23 53,87 19,39 22,52 2,21 6,72 7,24 8,45 1,13 1,30 4,09 0,16 1,49 4,80 500C 64,57 55,04 19,68 23,20 2,21 6,92 7,26 8,70 1,13 1,31 4,13 0,19 0,80 2,41 700C 64,65 55,19 19,85 23,40 2,3 6,88 7,26 8,72 1,14 1,30 4,16 0,20 0,42 2,05 900C 64,87 56,11 20,05 23,85 2,21 7,07 7,26 8,87 1,14 1,33 4,09 0,20 0,15 0,30 1100C 64,39 - 20,06 - 2,41 - 7,2 - 1,13 - 4,05 - 0,51

(7)

-Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Gambar 8. Kadar LOI pada felspar dan leusit hasil roasting

namun belum memperlihatkan nilai K2O yang signifikan. Sedangkan untuk leusit, semakin tinggi suhu roasting, maka kadar K2O bertambah. Hal ini dapat dilihat dari hasil XRD, mulai dari suhu 700 oC, terlihat mineral hematit yang sebelumnya tidak terdeteksi pada hasil XRD bahan baku. Kemungkinan mineral K2O yang tadinya berikatan dengan hematit terlepas, sehingga kadar K2O bertambah. Dengan demikian tujuan roasting untuk memecahkan ikatan fisik antar mineral tercapai untuk leusit. Selain roasting, juga dilakukan proses aktivasi mekanis berupa milling. Sampel felspar dan leusit yang berukuran -200 mesh digiling dengan alat PBM (planetary ball mill) dengan variasi waktu milling 10, 30, dan 60 jam. Tabel 5 dan 6 menyajikan ukuran partikel felspar dan leusit

Tabel 5. Ukuran partikel felspar hasil milling Tabel 6. Ukuran partikel leusit hasil milling

hasil milling yang diukur dengan alat PSA (Particle Size Analyzer) beserta kurva (Gambar 9 dan 10).

Gambar 9. Kurva hasil milling felspar terhadap waktu

Kode Lama milling

(jam) Ukuran partikel (mikron) FM 10H 10 2,26 FM 30H 30 2,68 FM 60H 60 0,081

Kode Lama milling (jam) Ukuran partikel (mikron) LM 10H 10 1,65 LM 30H 30 1,76 LM 60H 60 2,13

(8)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Gambar 10. Kurva hasil milling leusit terhadap waktu

Dilihat dari hasil pengukuran PSA, terlihat bahwa proses milling untuk felspar bisa mencapai 81 nm, sedangkan untuk leusit ukuran partikel bertambah besar. Hal ini bisa dilihat dari rumus kimia masing-masing mineral; felspar yang digunakan mengandung mineral sanidin yang memiliki rumus kimia (KNaAlSi3O8), sedangkan leusit yang digunakan mengandung mineral ortoklas yang memiliki rumus kimia (KAlSi3O8). Dilihat dari rumus kimia mineral-mineral tersebut, mineral sanidin lebih stabil dibanding

ortoklas yang kekurangan 1 muatan, sehingga untuk menuju kestabilan mineral ortoklas akan saling berikatan satu sama lain membentuk partikel lebih besar. Sedangkan sanidin lebih mudah dikecilkan ukurannya karena sudah stabil. Proses pelindian sampel hasil milling dan hasil

roasting dilakukan menggunakan asam sulfat 20% selama 2 jam tanpa pemanasan dan dengan pemanasan pada 85 - 90 oC. Setelah melalui tahap filtrasi, baik filtrat maupun residu, kemudian dilakukan analisis kimia untuk mengetahui berapa kadar kalium yang diperoleh. Data komposisi kimia filtrat pelindian pada sampel hasil milling dan roasting tampak pada Tabel 7 dan 8.

Berdasarkan data di atas, kadar K2O yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Pada Gambar 11 terlihat bahwa mineral leusit lebih mudah dilindi dengan asam sulfat untuk diekstrak kaliumnya. Pada waktu milling 30 jam tampak kadar K2O leusit sebesar 1,39%, sedangkan pada felspar sebesar 0,25% pada waktu milling yang sama. Demikian pula pada hasil pelindian mineral yang telah di-roasting

Tabel 7. Komposisi kimia filtrat pelindian tanpa pemanasan dari sampel hasil milling

Keterangan:

FO (felspar awal/bahan baku ukuran -325#) LO (leusit awal/bahan baku ukuran -325#) FM (felspar milling) LM (leusit milling) KODE MILLING FILTRAT Fe2O3 Na2O K2O SiO2 Al2O3 (%) (%) (%) (%) g/L FO 20% 0,366 0,008 0,027 0,010 0,08 LO 20% 1,523 0,004 0,282 0,064 0,33 FM 10H 20% 0,909 0,163 0,533 0,035 0,34 FM 30H 20% 2,126 0,322 1,026 0,083 0,68 FM 60H 20% 3,862 0,552 1,738 0,208 1,06 LM 10H 20% 2,526 0,016 0,891 0,042 0,61 LM 30H 20% 3,554 0,029 1,797 0,224 1,12 LM 60H 20% 4,970 0,029 2,062 0 1,23

(9)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Tabel 8. Komposisi kimia filtrat pelindian tanpa pemanasan dari sampel hasil roasting

Keterangan:

FO (felspar awal/bahan baku tanpa roasting) LO (leusit awal/bahan baku tanpa roasting) FR (felspar roasting) LR (leusit roasting) 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 0 10 20 30 40 50 60 70 Ka d ar K2 O ( % )

Waktu Milling (jam) Leusit Felspar

Gambar 11. Kadar K2O filtrat hasil pelindian pada mineral felspar dan leusit yang telah di milling pada beberapa variasi waktu milling

KODE ROASTING FILTRAT Fe2O3 Na2O K2O SiO2 Al2O3 (%) (%) (%) mg/L g/L FO 20% 0,20 0,01 0,021 0,010 0,08 LO 20% 0,84 0,005 0,22 0,064 0,33 FR 300C 20% 2,13 0,01 0,024 0 0,067 FR 500C 20% 0,29 0,02 0,04 0,013 0,28 FR 700C 20% 0,42 0,04 0,05 0,045 0,35 FR 900C 20% 0,018 0,011 0,012 0,003 0,015 LR 300C 20% 0,74 0,006 0,21 0,010 0,27 LR 500C 20% 0,46 0,01 0,38 0,045 0,68 LR 700C 20% 0,34 0,01 0,40 0 0,81 LR 900C 20% 0,053 0,003 0,072 0,042 0,053

(10)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

(Gambar 12), kadar K2O yang diperoleh pada

mineral leusit lebih besar daripada mineral felspar, misal sampel yang telah di-roasting

pada suhu 500 0C tampak kadar K

2O pada filtrat pelindian leusit sebesar 0,38% sedangkan pada felspar hanya sebesar 0,04%. Hal ini membuktikan bahwa unsur kalium pada leusit lebih mudah diekstrak dibandingkan dalam mineral felspar. Namun secara umum dapat dilihat bahwa kadar K2O pada filtrat pelindian hasil milling lebih tinggi dibandingkan filtrat pelindian hasil roasting. Hal ini dimungkinkan karena pada proses milling hingga berpuluh-puluh jam telah mengalami proses liberasi yang baik, sehingga unsur yang diinginkan dapat diekstrak dengan lebih efektif. Sedangkan pada proses roasting yang dilakukan dimungkinkan kurang sempurna, sebab mineral yang telah

di-Gambar 14. Foto SEM felspar sebelum dan setelah di-roasting 500 0C Gambar 13. Foto SEM felspar sebelum dan setelah di-milling 30 jam

roasting sempat mengalami kontak dengan udara cukup lama sebelum dilindi sehingga berpotensi kembali ke struktur semula. Hal ini dapat dilihat pada gambar SEM (Gambar 13 dan Gambar 14).

Dari hasil di atas diperoleh bahwa unsur kalium mudah diekstrak pada mineral leusit dengan proses milling yang diikuti dengan proses pelindian tanpa pemanasan. Untuk melihat apakah hasil pelindian tanpa pemanasan sudah optimum atau belum dilakukan pembanding proses pelindian dengan pemanasan (Tabel 9). Pada Tabel 9 dapat dilihat nilai unsur K2O hasil pelindian dengan pemanasan selama 2 jam pada 85 - 90o C tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan pelindian tanpa pemanasan untuk

(11)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Keterangan:

FO (felspar awal/bahan baku ukuran -325#) LO (leusit awal/bahan baku ukuran -325#) HLM (pemanasan leusit milling)

hasil milling. Kemungkinan pemanasan membantu pengkrisatalan unsur yang sudah terekstrak.

Leusit dan felspar hasil proses yaitu milling dan

roasting di uji dalam asam sitrat yang dianalogikan sebagai asam humus dalam tanah. Hal ini dilakukan untuk dilihat seberapa besar unsur kalium yang mampu diserap oleh tanah dari hasil proses tersebut. Untuk itu dilakukan analisis kimia untuk unsur Kalium terhadap hasil kelarutan (Tabel 10).

Hasil proses kelarutan diatas menunjukkan bahwa kalium pada leusit dari proses hasil

milling lebih mudah larut dalam asam sitrat dibanding hasil felspar. Selain itu, proses milling

memberikan hasil jauh lebih baik dari proses

roasting. Hal itu terjadi kemungkinan karena semakin kecil ukuran maka akan mempermudah kelarutan dalam suatu larutan. Selain itu ikatan kimia leusit lebih mudah dirusak dibanding felspar.

4. KESIMPULAN

Leusit memiliki kadar K2O lebih tinggi daripada felspar dan perbandingan K:Na dalam leusit (12:1) lebih tinggi daripada dalam felspar (7:5).

Tabel 10. Jumlah kelarutan Kalium dalam Asam Sitrat 2%

Keterangan :

LO = Leusit tanpa pengolahan FO = Felspar tanpa pengolahan M = Milling

R = Roasting

Untuk memperoleh hasil ekstraksi kalium yang baik perlu dilakukan aktivasi mineral melalui proses roasting.

Proses roasting yang dihasilkan tidak memberikan hasil yang signifikan, sedangkan melalui proses milling memberikan kemudahan dalam proses ekstraksi kalium dengan proses KODE MILLING FILTRAT Fe2O3 Na2O K2O SiO2 Al2O3 (%) (%) (%) (%) g/L FO 20% 0,366 0,008 0,027 0,010 0,08 LO 20% 1,523 0,004 0,282 0,064 0,33 HLM 10H 20% 4,56 0,03 1,25 0,07 0,48 HLM 30H 20% 5,28 0,04 1,88 0,05 0,71 HLM 60H 20% 4,25 0,05 1,87 0,42 0,12

Tabel 9. Komposisi kimia filtrat pelindian dengan pemanasan dari sampel hasil milling

Kode K2O (%) Leusit Feslpar LO 0,051 -FO - tt M 10 H 0,45 0,30 M 30 H 0,87 0,51 M 60 H 1,02 0,81 R 300C 0,084 0,003 R 500C 0,12 tt R 700C 0,12 0,004 R 900C 0,022 tt

(12)

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

Mineral dan Batubara

0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0 200 400 600 800 1000 Ka d ar K2 O( % ) Suhu (OC) Leusit Felspar

Gambar 12. Kadar K2O filtrat hasil pelindian pada mineral felspar dan leusit yang telah di roasting pada beberapa variasi suhu roasting

pelindian. Hasil pelindian terbaik didapat dari hasil milling leusit dibanding felspar karena leusit lebih mudah dirusak ikatan kimianya dan ukuran partikel kecil memudahkan kelarutan kalium. Hal itu juga berlaku untuk kelarutan yang dianalogikan dengan asam humus di tanah.

5. SARAN

Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilakukan perbaikan dengan cara melakukan proses

quenching (pendinginan mendadak) setelah proses roasting felspar dan leusit, diharapkan struktur mineral tersebut tidak kembali ke struktur awal sehingga proses pelindian/ ekstraksi diharapkan dapat berjalan dengan lebih baik. Selain itu, untuk meningkatkan kadar felspar dan leusit dapat dilakukan dengan cara pemisahan unsur-unsur pengotor seperti mineral besi (hematit) dan clay terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Alacova A, Ficeriova J, dan Golja M. 2004, Mechanochemistry and preparation of nanocrystalline materials, Metalurgija 43 (4), 305-309.

Ardha, Ngurah, 1994, Felspar Grade Improvement by Flotation, Using Dobled Collectors and Non-Hydrofluoric Acid System, Indonesian Mining Journal.

Ardha, Ngurah, 1997, Tests of a New Flotation Technique for Felspar-Quartz Separation from Feldspatic Sand, Indonesian Mining Journal.

Berry, L.G., Brian Mason, 1961, Mineralogy (Concepts, Descriptions, Determinations), W.H. Freeman and Company, San Francisco, 491-492.

Kusdarto, dkk., 2008, Eksplorasi Umum Agromineral di Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan Tahun 2008, Pusat Sumber Daya Geologi.

Aziz, Muchtar, dkk, 2001, Ekstraksi Kalium dari Batuan Sedimen Jabar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara.

R.A. Kleiv, 2007, Production of Mechanically Activated Rock Flour Fertilizer by High Intensive Ultrafine Grinding, Minerals Engineering.

Mandalawanto, Yudi, 1997, Felspar (Bahan Galian Industri), Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral. 151-165.

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR RIWAYAT HIDUP.. Pesan Syariat dalam Rubrik Tafakkur Tabloid Tabangun Aceh sepanjang Tahun 2016 .... Dakwah melalui tulisan atau bil qalam adalah salah satu jenis dakwah

Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Mozarta (2007) yang menyatakan bahwa selain penekanan berlebihan saat menyikat gigi, yang menjadi

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai konsentrasi dan LC50 ekstrak tanaman lenca (Solanum nigrum) dan biji pepaya (Carica papaya) terhadap larva Culex sp dan Aedes

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan mekanisme LBT pada LTE-LAA terhadap Wi-Fi pada frekuensi 5 GHz, serta untuk dapat menganalisis kinerja layanan LBT

Pengamatan dilakukan sebelum, selama dan sesudah kejadian gerhana matahari menggunakan stasiun pengamatan cuaca otomatis (AWS) secara periodik dengan interval

laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan priming menggunakaan bahan aquades dan PGPR dengan lama perendaman (4, jam, 8 jam, 12 jam, 16 jam) dapat meningkatkan

[r]