PROPOSAL KEGIATAN PENYULUHAN “STIGMA GANGGUAN JIWA”
PADA ACARA TAHLILAN WANITA RT 32 DESA SUMBER BENING KECAMATAN BANTUR KABUPATEN MALANG
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Profesi Ners Departemen Jiwa di Kecamatan Bantur
Oleh :
Anggota Kelompok 5 PSIK A FKUB:
1. Auliasari Siskaningrum 105070204111005 2. Yuniar Valentine P105070207111011
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KEGIATAN PENYULUHAN
“STIGMA GANGGUAN JIWA”
Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Jiwa di Desa Sumberbening, Kab. Malang
Auliasari Siskaningrum 105070204111005 Yuniar Valentine P 105070207111011
Telah diperiksa kelengkapannya pada : Hari : Rabu
Tanggal : 17 Desember 2014
Perseptor Akademik Perseptor Klinik
( Ns. Retno Lestari S.Kep, MN ) (Ns. Soebagijono, S.Kep, M.MKes ) NIP. 198009142005022001 NIP. 1968109 1999003 1003
Pokok Bahasan : STIGMA Gangguan Jiwa
Sasaran : Jamaah Tahlil Wanita RT 33 Desa Sumberbening Tempat : Rumah Warga
Hari/Tanggal : Kamis, 18 Desember 2014
Waktu : 30 menit
Penyuluh : Auliasari siskaningrum dan Yuniar Valentine P
A. Latar Belakang
Dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa, keperawatan melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperaawatan. Asuhan keperawatan jiwa merupakan asuhan keperawatan spesialistik, namun tetap dilakukan secara holistik ketika dilakukan asuhan keperawatan kepada klien. Berbagai terapi keperawatan telah dikembangkan dan difokuskan kepada klien secara individu, kelompok, keluarga, maupun komunitas. masyarakat menjadi salah satu jawaban untuk mencegah timbulnya kejadian gangguan jiwa. Masyarakat diharapkan mampu merawat anggota keluarga yang sudah sakit (menderita gangguan jiwa), dan mampu mencegah terjadinya gangguan jiwa baru dari masyarakat yang beresiko terjadi gangguan jiwa. Penanganan yang tepat terhadap konsumen jiwa sehat dan masyarakat yang beresiko akan dapat menekan terjadinya kejadian gangguan jiwa (CMHN, 2005).
Kecamatan Bantur merupakan salah satu kecamatan dengan konsumen jiwa sehat terbanyak di Jawa Timur. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh mahasiswa Keperawatan Brawijaya program A bekerja sama Puskesmas Bantur Maret 2014 didapat data track record pasien konsumen jiwa sehat sebanyak 202 orang yang tersebar di 5 Desa yaitu Desa Bantur 66 orang, Wonorejo 14 orang, Srigonco 30 orang, Sumber Bening 17 orang, dan Bandung Rejo 61 orang.
Banyaknya konsumen jiwa sehat di Kecamatan Bantur disebabkan banyak faktor, salah satunya disebabkan oleh stigma. Stigma didefinisikan sebagai penolakan lingkungan terhadap seseorang atau kelompok (Jones & Corrigan, 2012). Gangguan jiwa yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk mendapatkan stigma yaitu jenis gangguan yang menunjukkan abnormalitas atau penyimpangan (deviasi) pada pola perilakunya. Stigma masyarakat terhadap kelompok konsumen jiwa sehat juga terjadi di Desa Sumber Bening. Oleh karena itu diperlukan stigma masyarakat pada kelompok konsumsi jiwa sehat supaya tidak terjadi perburukan kondisi pada konsumen jiwa sehat yang ada di Desa Sumber Bening.
Mengingat pentingnya peranan masyarakat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan jiwa yang bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan jiwa di masyarakat, maka diperlukan suatu penyuluhan tentang stigma terhadap klien yang mengalami gangguan jiwa. Penyuluhan ini merupakan kegiatan pemberian pendidikan bagi masyarkat dalam menjaga kesehatan jiwa di lingkungan sekitar.
B. Tujuan instruksional 1. Tujuan umum
Setelah mengikuti penyuluhan tentang Stigma Gangguan Jiwa selama 30 menit diharapkan peserta mengerti tentang Stigma Gangguan Jiwa. 2. Tujuan khusus
Setelah mendapat penyuluhan tentang Stigma Gangguan Jiwa, diharapkan peserta mampu :
1) Peserta dapat mengetahui pengertian Stigma Gangguan Jiwa 2) Peserta dapat mengetahui Faktor Penyebab Stigma Gangguan Jiwa 3) Peserta dapat mengetahui Dampak Stigma Gangguan Jiwa
4) Peserta dapat mengetahui Stigma Gangguan Jiwa
5) Peserta dapat mengetahui Strategi untuk Mengubah Stigma
C. Materi Penyuluhan
1. Menjelaskan pengertian Stigma Gangguan Jiwa 2. Menjelaskan Faktor Penyebab Stigma Gangguan Jiwa 3. Menjelaskan Dampak Stigma Gangguan Jiwa
4. Menjelaskan Stigma Gangguan Jiwa
5. Menjelaskan Strategi untuk Mengubah Stigma
Sasaran : Sasaran penyuluhan adalah ibu-ibu tahlilan
Metode :Metode yang digunakan adalah ceramah dan tanya jawab Media : Media yang digunakan adalah leaflet dan banner.
D. Kegiatan Penyuluhan
Tahap Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan peserta Metode Media Pembukaan 5 menit •Membuka dengan salam
•Memperkenalkan diri
•Menjelaskan maksud dan tujuan penyuluhan •Kontrak waktu •Menggali pengetahuan peserta sebelum dilakukan penyuluhan •Mendengarkan •Memperhatikan •Menjawab pertanyaan Ceramah
-Penyajian 15 menit • Menjelaskan pengertian Stigma Gangguan Jiwa • Menjelaskan Faktor
Penyebab Stigma Gangguan Jiwa
• Menjelaskan Dampak Stigma Gangguan Jiwa • Menjelaskan Stigma
Gangguan Jiwa
• Menjelaskan Strategi untuk Mengubah Stigma • Memberi kesempatan untuk bertanya/diskusi tentang materi penyuluhan •Mendengarkan •Memberikan tanggapan dan pertanyaan mengenai hal yang kurang dimengerti Ceramah, Tanya jawab Leaflet Dan lembar balik
Penutup 10 menit •Menggali pengetahuan peserta setelah dilakukan penyuluhan
•Menyimpulkan hasil kegiatan penyuluhan •Menutup dengan salam
•Menjawab pertanyaan •Memberikan tanggapan balik Ceramah, Tanya jawab Leaflet dan lembar balik E. Evaluasi 1. Struktur :
Adanya koordinasi dengan Ketua Jamaah Tahlil untuk menentukan waktu dan tempat penyuluhan
Adanya persiapan yang baik terkait materi dan sarana yang akan digunakan
Adanya informasi yang disampaikan pada ibu-ibu sebelum pendidikan kesehatan
2. Proses :
a. Jumlah peserta penyuluhan minimal 5 peserta b. Media yang digunakan adalah leaflet, banner c. Waktu penyuluhan adalah 30 menit
d. Persiapan penyuluhan dilakukan beberapa hari sebelum kegiatan penyuluhan
e. Pembicara diharapkan menguasai materi dengan baik
f. Tidak ada peserta yang meninggalkan ruangan saat kegiatan penyuluhan berlangsung
g. Peserta aktif dan antusias dalam mengikuti kegiatan penyuluhan 3. Hasil :
Pelaksanaan pre dan post test dapat terlaksana dengan cukup baik karena dilakukan di dalam ruangan.
F. Materi (lampiran 1)
G. Daftar Pustaka (lampiran 2)
H. Lampiran 3 (Pre Test dan Post Test)
Materi Penyuluhan
1. Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah kelainan perilaku yang disebabkan oleh rusaknya fungsi jiwa (ingatan, pikiran, penilaian/persepsi, komunikasi, aktivitas, motivasi, belajar) sehingga menyebabkan adanya hambatan dalam melakukan fungsi sosial (interaksi/bergaul). Penyebab gangguan jiwa adalah ketidakmampuan seseorang beradaptasi dengan masalah. Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Perilaku yang menunjukkan seseorang mengalami gangguan jiwa adalah sangat beragam (lihat table 2). Tabel 2.1 Perilaku yang menunjukkan tanda gangguan jiwa
CIRI PERILAKU Sedih berkepanjangan dalam waktu lama
Kemampuan melakukan kegiatan sehari – hari (kebersihan, makan, minum, aktivitas) berkurang
Motivasi untuk melakukan kegiatan menurun (malas) Marah – marah tanpa sebab
Bicara atau tertawa sendiri Mengamuk
Menyendiri
Tidak mau bergaul
Tidak memperhatikan penampilan/kebersihan diri Mengatakan atau mencoba bunuh diri
2. Stigma Gangguan Jiwa
2.1 Definisi Stigma Gangguan Jiwa
Seringkali penderita gangguan jiwa justru dihindari atau dikucilkan oleh masyarakat. Istilah penghindaran pada dasarnya berbeda dengan stigma. Label penghindaran mengacu pada keadaan dimana individu memilih tidak menggunakan fasilitas kesehatan untuk menyelesaikan masalah kejiwaan yang dialami untuk menghindari label negatif padanya (Corrigan, et al., 2011).
Sedangkan stigma didefinisikan sebagai penolakan lingkungan terhadap seseorang atau kelompok (Jones & Corrigan, 2012).
Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai (judge) orang lain. Bedasarkan penilaian tersebut, kategorisasi atau stereotip dilakukan tidak berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang masyarakat anggap sebagai tidak pantas, luar biasa, memalukan, atau tidak dapat diterima. Stigmatisai terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat dikenai stigma karena penyakit yang diderita, cacat fisik, pekerjaan dan status ekonomi, atau gangguan jiwa yang dialami. Gangguan jiwa mengacu pada ketidakmampuan yang bersifat serius dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan atau kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber dari gangguan jiwa ini dapat bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat (Syaharia, 2008).
Gangguan jiwa yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk mendapatkan stigma yaitu jenis gangguan yang menunjukkan abnormalitas atau penyimpangan (deviasi) pada pola perilakunya. Stigma yang lebih memberatkan yaitu gangguan jiwa yang mempengaruhi penampilan (performance) fisik seseoran daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh pada penampilan fisik seseorang (Syaharia, 2008).
2.2 Faktor Penyebab Stigma Gangguan Jiwa
Stigma sosial yang berhubungan dengn masalah kesehatan jiwa muncul karena beberapa penyebab. Selama ini, seseorang dengan masalah kesehatan jiwa selalu diperlakukan berbeda, dikucilkan, bahkan diperlakukan dengan buruk. Perlakuan ini mungkin berasal dari pemikiran masyarakat yang menganggap bahwa penderita gangguan jiwa dapat bersikap kasar atau jahat atau tidak terduga dibandingkan dengan seseorang yang sehat secara jiwa. Selain itu, kepercayaan terhadap kekuatan jahat atau hal-hal yang gaib sebagai penyebab gangguan jiwa merupakan salah satu alasan munculnya ketakutan dan diskriminasi pada penderita gangguan jiwa (Davey, 2013).
Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadi atau munculnya stigma gangguan jiwa antara lain sebagai berikut:
a. Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa yang disebabkan kurangnya pemahaman tentang gangguan jiwa sehingga muncul anggapan bahwa gangguan jiwa identik dengan istilah “gila”
b. Adanya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap hal-hal gaib sehingga ada asumsi bahwa gangguan jiwa disebabkan hal-hal yang bersifat supranatural, seperti makhluk halus, setan, roh jahat, atau akibat terkena pengaruh sihir.
2.3 Dampak Stigma Gangguan Jiwa
Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat berdampak pada penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Menurut Corrigan dan Watson (2002), dampak stigma dapat dibagi menjadi dua, yaitu dampak stigma publik dan dampak stigma diri (self-stigma). Stigma publik dapat diartikan sebagai reaksi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa. Sedangkan self-stigma merupakan penilaian penderita gangguan jiwa terhadap dirinya sendiri. Baik stigma public dan self-stigma dapat digambarkan dalam tiga komponen, yaitu stereotip, anggapan (prejudice), dan diskriminasi. Perbedaan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Stigma Publik Stereotipe
Prejudice
Diskriminasi
keyakinan negative tentang kelompok (seperti berbahaya, ketidakmampuan, kelemahan karakter)
kesepakatan antara keyakinan dan/atau reaksi emosi negative (respon marah, ketakutan)
respon terhadap prejudice (menghindari, mengucilkan penderita gangguan jiwa)
Self-stigma Stereotipe
Prejudice
keyakinan negative tentang diri sendiri (kelemahan karakter, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu
kesepakatan antara keyakinan dan/atau reaksi emosi negative (harga diri rendah)
Diskriminasi
Jika dilihat dari stigma yang dialami oleh penderita gangguan jiwa, maka dampak yang muncul dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama penanganan pada klien dengan stigma bahwa orang yang menderita gangguan jiwa karena kesurupan sedangkan stigma yang kedua adalah bahwa penderita gangguan jiwa merupakan aib keluarga.
Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa mereka mengalami penyakit yang berhubungan dengan kekuatan supranatural yaitu mereka akan segera diberi pengobatan dengan memanggil dukun atau kyai yang dapat mengusir roh jahat dari tubuh penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa memakan waktu sebentar ataupun lama. Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan jiwa yang terjadi pada penderita tersebut akan semakin berat tanpa pertolongan dengan segera.
Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib yaitu dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari masyarakat. Mereka tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut ke profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan tersebut dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang terlambat dapat memeperparah keadaan gangguan jiwanya.
Dengan adanya stigma di masyarakat, penderita gangguan jiwa lebih memilih tidak memberitahukan kondisinya pada masyarakat, sehingga cenderung menarik diri dan hal ini akan memperparah keadaannya. Disamping itu, terjadi pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa baik yang baru ataupun yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini dapat berakibat pada gangguan yang lebih parah yang dapat berdampak pada kekambuhan yang lebih cepat.
Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat di sekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa.
Sehingga tidak jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan.
2.4 Stigma Gangguan Jiwa
Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah. Namun tetap diperlukan usaha untuk menurunkan stigma tersebut dengan harapan di masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma memerlukan pendidikan dan keinginan yang keras dari individu-individu di masyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut.
Beberapa kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma gangguan jiwa antara lain:
1. Melakukan kampanye pendidikan kesehatan tentang kesehatan jiwa. Kampanye tersebut dapat dilakukan di masyarakat melalui program desa siaga ataupun dengan media massa. Kita berikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat ataupun wartawan secara akurat dan terbaru tentang kesehatan jiwa.
2. Menanamkan pendidikan kesehatan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui sekolah-sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah atau melalui kegiatan kurikuler. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan sekolah untuk menurunkan stigma yaitu:
a. Memberikan kesempatan pengembangan profesional bagi para karyawan, mengenai keragaman, masalah kesehatan mental dan memupuk lingkungan sekolah inklusif.
b. Pantangan untuk menggunakan istilah yang digunakan dalam merujuk kepada orang-orang dengan penyakit mental, atau terkait dengan istilah kata-kata yang digunakan sebagai cemoohan, seperti psikopat, gila, atau menderita skizofrenia.
c. Membuat suatu modul guna lebih meningkatkan pemahaman terhadap penyakit mental.
d. Menyertakan penyakit mental dalam diskusi-diskusi yang membahas tentang keanekaragaman masyarakat.
e. Mengajak profesional kesehatan atau orang yang menderita gangguan mental untuk berbicara dengan para siswa
3. Melibatkan keluarga ataupun masyarakat dalam pelaksanaan tindakan terhadap pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan masyarakat tentang cara pandang mereka pada pasien gangguan jiwa dapat berubah dan dapat membantu menanganinya.
4. Pemerintah ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ataupun orang-orang-orang-orang yang telah sembuh dari gangguan jiwa.
5. Tenaga kesehatan maupun tokoh masyarakat harus mampu menunjukkan atau memberi contoh bahwa tidak melakukan stigma tersebut. Kita harus menentang kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan menunjukkan fakta-fakta bahwa penyakit mental sangatlah umum dan dapat disembuhkan dengan tindakan yang tepat.
2.5 Strategi untuk Mengubah Stigma
Terdapat lima prinsip dalam strategi untuk mengubah stigma gangguan jiwa dalam masyarakat, yaitu:
1) Kontak atau hubungan merupakan hal yang mendasar dalam strategi mengubah stigma publik
Kontak atau hubungan dengan penderita gangguan jiwa harus dibedakan dengan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang gangguan jiwa. Edukasi merupakan bentuk antistigma paling umum dan membedakan antara mitos gangguan jiwa dengan fakta yang ada. Kontak meliputi interaksi yang terencana antara penderita gangguan jiwa dengan kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa interaksi langsung dengan penderita gangguan jiwa dapat memberikan efek yang lebih besar daripada pemberian edukasi dalam mengurangi stigma gangguan jiwa dalam masyarakat
2) Kontak harus memiliki target
Daripada berfokus pada populasi secara umum, kontak lebih efektif jika ditujukan pada target tertentu, seperti kelompok kunci atau yang berpengaruh dalam masyarakat, seperti seseorang yang memiliki jabatan dalam masyarakat, tenaga kesehatan, atau kader kesehatan.
Minat dari kelompok yang menjadi target dipengaruhi oleh kebutuhan yang mendesak secara lokal. Lokal memiliki beberapa pengertian, namun dapat meliputi faktor geopolitik dan perbedaan.
4) Contact must be credible 5) Contact must be continuous
Lampiran 2
DAFTAR PUSTAKA
Buckles, dkk. (2008). Beyond Stigma and Discrimination : Challenges for Social Work Practice in Psychiatric Rehabilitation and Recovery, Journal of Social Work in Disability & Rehabilitation, vol. 7, no. 3, hal. 232-283 Dadang Hawari. 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
Gaya Baru. Jakarta
Sibitz, dkk. (2009). Stigma Resistance in Patients with Schizophrenia. Schizophrenia Bulletion, vol. 10, no. 1093, hal. 1-8
Lampiran 3
PRE & POST TEST
1. Apa yang dimaksud dengan STIGMA gangguan jiwa? a. Penolakan lingkungan
b. Penerimaan masyarakat c. Penganiayaan fisik
2. Yang merupakan faktor penyebab STIGMA gangguan jiwa adalah... a. Kepercayaan terhadap hukum
b. Kepercayaan terhadap hal-hal ghaib c. Kepercayaan terhadap pemerintah
3. Yang merupakan dampak dari STIGMA gangguan jiwa adalah... a. Penghormatan terhadap penderita gangguan jiwa
b. Dukungan terhadap penderita gangguan jiwa c. Diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa
4. Di bawah ini yang merupakan kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma gangguan jiwa antara lain...
a. Bersih desa
b. Kampanye sehat jiwa c. Kampanye partai politik
5. Berikut ini yang merupakan salah satu dari lima prinsip dalam strategi mengubah stigma gangguan jiwa dalam masyarakat adalah...
a. Perpisahan b. Perjanjian
DAFTAR HADIR PENYULUHAN “STIGMA GANGGUAN JIWA”
Hari/ Tanggal :
Waktu :
Lokasi :