• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEKSTUALISASI KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK RUMAH TANGGA SAKINAH (Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONTEKSTUALISASI KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK RUMAH TANGGA SAKINAH (Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung)"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)KONTEKSTUALISASI KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK RUMAH TANGGA SAKINAH (Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung). SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Dalam Ilmu Syari’ah. Oleh Audia Pramudita NPM :1421010025. Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah. FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1439 H / 2018 M.

(2) ABSTRAK KONTEKSTUALISASI KONSEP KAFA’AH DALAM MEMBENTUK RUMAH TANGGA SAKINAH (Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung) Oleh Audia Pramudita Kafa’ah adalah kesepadanan antara calon suami dan calon istri dalam faktor-faktor tertentu. Islam menganjurkan adanya kafa’ah ini merupakan hal yang perlu diperhatikan saja agar tujuan pernikahan dapat terwujud menjadi keluarga yang bahagia dan abadi. Ulama sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak seorang perempuan dan walinya. Pengutamaan Islam dalam faktor agama tentu saja tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Dalam hal ini dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung berbeda pendapat tentang konsep kafa’ah, hal ini yang membuat penulis tertarik memilih permasalahan melalui penulisan ini. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung terhadap konsep kafa’ah dalam perkawinan dan bagaimana tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai namun tidak sekufu’. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui untuk menggali informasi dari pandangan dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung terhadap konsep kafa’ah dalam perkawinan dan Untuk mengetahui tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai namun tidak sekufu’ Dalam penelitian ini digunakan metode lapangan yang bersifat deskriptif dengan menggunakan metode analisis kualitatif kemudian cara berfikir menggunakan cara deduktif. Yang menekankan pada teknik pengambilan sampling dengan cara purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Berdasarkan data hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa Pandangan dosen mengenai konsep kafa’ah dalam perkawinan merupakan hal yang dapat menunjang terjadinya keharmonisan rumah tangga, tetapi ada dosen yang mengatakan bahwa kafa’ah hanya sebagian kecil saja untuk mewujudkan keharmonisan rumah tangga, karena penentu keharmonisan adalah hak dan kewajiban. Sedangkan mengenai kriteria kafa’ah, para dosen sepakat bahwa agama menjadi faktor utama dalam kafa’ah, sedangkan kriteria yang lain mereka berselisih pendapat.Sedangkan, ketika dalam memilih calon pasangan tidak ada kafa’ah diantara kedua pasangan, hal ini tidak menjadi permasalahan dalam melangsungkan pernikahan, karena kafa’ah bukan termasuk syarat sah pernikahan. Apabila rukun dan syarat terpenuhi maka pernikahan tersebut dapat dikatakan sah.Dengan demikian disarankan agar orang tua harus memberikan pemahaman tentang kafa’ah kepada anaknya supaya tercapainya tujuan pernikahan yang sakinah mawaddah warahmah tanpa melebihkan aspek tertentu diluar aspek agama..

(3)

(4)

(5) MOTTO. ‫ َتخَيَرُوْا نِ ُنطَ ِف ُك ْم‬: ‫ قَالَ رَ سُىْ ُل اهللِ صَ َم اهللُ عَهَيْهِ َوسََه َم‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَا ن‬،َ‫عنْ عَا ِئشَة‬ َ ْ‫وَا ْن ِكحُىْا األَ كْفَاءَ وَأَ ْن ِكحُىْا إِنَيْ ِهم‬. Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda,”Pilihkanlah bagi anak-anak gadis kalian (jodoh yang baik). Menikahlah kalian dengan yang sekufu’ dan nikahkanlah anak-anak gadis kalian dengan mereka.”1. 1. Abdullah Shonhaji, Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993). h. 688.. v.

(6) PERSEMBAHAN. Karya skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta dan terkasih yang ada dikehidupan saya, mereka adalah: 1. Orang tuaku, Ibu Sita Kusumawatidan Bapak Widada (Alm) yang telah mendidik dengan penuh kesabaran, memberikan motivasi dengan nasihatnasihatnya dan selalu mendoakan dengan penuh ketulusan pada setiap saat, serta selalu mendukung dalam mewujudkan cita-citaku. 2. Saudariku tercinta Rima Widyawati S.Pd dan Annisa Ulya yang telah memberikan semangat dan keceriaan. Semoga kita dapat membanggakan kedua orang tua kita. Amin.. vi.

(7) RIWAYAT HIDUP. Nama lengkap Audia Pramudita, lahir di Pringsewu pada tanggal 02 Mei 1996, merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Widada (Alm) dan Ibu Sita Kusumawati. Pendidikan yang pernah ditempuh dimulai dari sekolah dasar di SD Negeri 01 Pringsewu Selatan, lulus pada tahun 2008. Melanjutkan pendidikan menengah pertama pada SMP Muhammadiyah Pringsewu, lulus pada tahun 2011. Melanjutkan pendidikan menengah atas pada SMA Muhammadiyah Pringsewu, lulus pada tahun 2014. Pada tahun 2014 melanjutkan pendidikan di Universitas Raden Intan Lampung, mengambil program Strata 1 (S1) Jurusan Ahwal Syakhsiyah pada Fakultas Syari’ah.. vii.

(8) KATA PENGANTAR. Alhamdulilah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan Iman, Islam dan Ihsan serta nikmat kesehatan jasmani dan rohani, sehingga skripsi dengan judul “Kontekstualisasi Konsep Kafa’ah Dalam Membentuk Rumah Tangga Sakinah” dapat diselesaikan. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung. Dalam skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu melalui skripsi ini ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Alamsyah , S.Ag, M.Ag. selaku dekan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung 2. Bapak Marwin, S.H., M.H. selaku ketua jurusan Ahwal Syakhsiyah UIN Raden Intan Lampung dan Bapak Gandhi Liyorba Indra, S.Ag., M.Ag. selaku sekertaris jurusan Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung 3. Bapak Drs. Maimun, S.H., M.A. selaku pembimbing I dan Ibu Dra. Firdaweri, M.H.I. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi hingga skripsi ini selesai. 4. Segenap dosen dan pegawai Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan kontribusi dalam mendapatkan materi-materi selama ini, guna menyelesaikan skripsi ini.. viii.

(9) 5. Pimpinan dan karyawan baik perpustakaan Fakultas Syari’ah maupun perpustakaan pusat UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan informasi, referensi dan lain-lain. 6. Kuucapkan terimakasih juga kepada Suyanti, Hasti Ani, Anisa Nurbaiti, Regita Tari Lisena, Rita Sari, Supratna Sari, Rizky Silvia Putri, Mia Adelina dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat, menemani serta membantu selama proses belajar di bangku perkuliahan. 7. Sahabat-sahabat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Panjerejo kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu. 8. Rekan-rekan. mahasiswa. yang. telah. ikut. membantu. proses. penyelesaian skripsi ini. Semoga jerih payah dan amal bapak-bapak dan ibu-ibu serta teman-teman sekalian akan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumya.. Bandar Lampung, Mei 2018. Audia Pramudita NPM. 1421010025. ix.

(10) DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i ABSTRAK ...................................................................................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v MOTTO ......................................................................................................... vi PERSEMBAHAN .......................................................................................... vii RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... viii KATA PENGANTAR ................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................. xi. BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul .......................................................................... 1 B. Alasan Memilih Judul ................................................................. 3 C. Latar Belakang ....................................................................... .... 4 D. Rumusan Masalah ....................................................................... 9 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................ 9 F. Metode Penelitian ....................................................................... 10 BAB II KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN A. Pengertian Kafa’ah ...................................................................... 14 B. Historisitas Kafa’ah .................................................................... 15 C. Status Kafa’ah dalam Perkawinan ............................................. 19 D. Konsep Kafa’ah Menurut Para Ulama dan Perundang Undangan Indonesia ................................................................... 22 E. Penerapan Kafa’ah dalam Membangun Rumah Tangga Sakinah ........................................................................................ 32 F. Kedudukan Kafa’ah Dalam Membentuk Rumah Tangga Sakinah ....................................................................................... 34 x.

(11) BAB III GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN DOSEN TERHADAP KONSEP KAFA’AH A. Gambaran Umum Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung .................................................................................... 37 B. Dosen Tetap Yang Menjadi Narasumber di Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung ......................................................... 46 C. Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung Terhadap Konsep Kafa’ah ......................................................... 47. BAB IV ANALISIS DATA A. Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung Terhadap Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan ........................... 65 B. Tanggapan Dosen Mengenai Seseorang Yang Saling Mencintai Namun Tidak Sekufu’ ................................................................. 67. BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 69 B. Saran .......................................................................................... 70. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN. xi.

(12) xii.

(13) 1 BAB I PENDAHULUAN. A. Penegasan Judul Judul merupakan suatu gambaran dalam karya ilmiah, untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul skripsi ini, maka terlebih dahulu menguraikan pengertian dari istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi yang berjudul Kontekstualisasi Konsep Kafa’ah dalam Membentuk Rumah Tangga Sakinah (Menurut Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung). Dengan judul tersebut maka istilah-istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut: 1. Kontekstualisasi Konsep Kafa’ah a. Menurut Emanuel Gerrit Singgih Kontekstualisasi adalah sebuah proses berteologi. dalam. kesadaran,. perjumpaan. dan. kehendak. untuk. mendengarkan suara-suara apapun dan siapa pun dari konteks, baik konteks masa kini, masa lalu, dan masa depan. Kontekstualisasi merupakan proses mendengar, memahami, mempertimbangkan dan menerima. secara. kritis. konteks.1Kontekstualisasi. 1. juga. suara-suara. yang. merupakan. tindakan. ada. dalam. atau. proses. Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, Pemikiran-Pemikiran Kontekstualisasi Teologi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung mulia, 2000), h. 178-185.

(14) 2 menempatkan informasi dalam konteks, membuat rasa informasi dari situasi atau lokasi di mana informasi itu ditemukan.2 b.. Konsep adalah rancangan atau ide yang diabstrakan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami ha-hal lain.3. c.. Kafa’ahberarti sama, sederajat, sepadan, atau sebanding. Yang dimaksud dengan kafa’ah di sini adalah pernikahan yang sebanding, baik itu kedudukan, kekayaan, maupun akhlak.4 Jadi yang dimaksud dengan kontekstualisasi konsep kafa’ah adalah. penerapankonsep kesepadanan antara suami dan istri ketika melangsungkan pernikahan. 2.Rumah Tangga Sakinah a.. Rumah tangga adalah bangunan untuk tempat tinggal yang berkenaan dengan keluarga.5. b.. Sakinah secara bahasa artinya ketenangan atau kedamaian. Sakinah berasal dari kata sakana artinya menjadi tenang, mereda, hening, tinggal. Dalam Islam, kata sakinah menandakan ketenangan dan kedamaian secara khusus, yaitu kedamaian dari Allah yang berada di dalam kalbu.6. 2. http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=contextualization diakses 30 April 2018 3. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Edisi keempat, PT Gramedia Pustaka Utama), h. 725. 4 Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh (Jakarta: Amzah, 2013), h. 114. 5 Peter Salim, Yani Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Lentera Basritama, 1990), h. 1189. 6 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Quran (Jakarta: Amzah, 2012), h. 263..

(15) 3 Jadi yang dimaksud dengan rumah tangga sakinah adalah keluarga yang hidup dengan rasa kasih sayang, ketenangan dan kedamaian yang dibangun berdasarkan ajaran Islam serta mendapat rahmat dari Allah SWT. 3. Pandangan DosenFakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung Pandangan adalah paham, pendapat atau pendirian.7 Dosen adalah seorang tenaga pengajar pada perguruan tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan pandangan dosen adalah suatu pemahaman yang dipahami oleh dosen di fakultas syari‟ah UIN Raden Intan Lampung. Dengan demikian maksud judul secara keseluruhan adalah penerapan mengenai konsep kafa’ahdalam pernikahan yang mana penulis ingin mengetahui bagaimana pendangan dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung mengenai kesepadanan tersebut.. B. Alasan Memilih Judul Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Alasan Objektif a.. Kafa’ah merupakan suatu kriteria untuk memilih calon suami dan calon istri, tetapi bukan menjadi rukun maupun syarat dalam pernikahan.. b.. Menurut. dosen. Fakultas. Syari‟ah. konsep. kafa’ahmenjadi. bahan. pertimbangan saja ketika akan memilih calon pasangan yang diutamakan adalah kriteria agama sedangkan selain dari kriteria agama hanya sebatas faktor pendukung. 7. Haizar MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Referensi Perpustakaan, 2013),. h. 442..

(16) 4 2. Alasan subyektif a.. Penelitian. ini. didukung. oleh. literatur. yang. memadai. sehingga. dimungkinkan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan. b.. Mengenai kafa’ah menurut pandangan dosen belum ada yang membahas, khususnya dilingkungan Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.. c.. Judul skipsi ini relevan dengan disiplin ilmu yang dipelajari di Fakultas Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga).. C. Latar Belakang Dengan seiring berkembangannya zaman, bahwa kafa’ah dimaknai dengan berbagai macam, dimana dahulunya hanya berfokus pada kekayaan, keturunan, kecantikan dan agama. Namun hal ini cukup meresahkan bagi sebagian masyarakat, terutama bagi kalangan akademis, yakni terjadi pergeseran makna dalam pemikiran masyarakat, terutama dikalangan menengah kebawah yang sudah dipengaruhi dengan kesukuan, adat, organisasi masyarakat, ataupun akibat latar belakang pendidikan yang rendah. Dalam sebagian masyarakat, kafa’ah masih banyak dimaknai haruslah sekufu’ atau sepadan dalam hal segalanya, misalnya apabila dari golongan kaya, maka harus mendapatkan yang kaya, apabila dari kalangan berpendidikan, maka mencari pasangan yang berpendidikan juga. Apabila dari kalangan dosen maka dapatnya dari dosen juga. Dalam hal ini dosen-dosen Fakultas Syari‟ah antara satu dengan yang lainnya pun berselisih pendapat dengan adanya konsep kafa’ah. Yang mana bahwa kafa’ah memang memiliki kriteria yang dapat dijadikan.

(17) 5 sebagai. bahan. pertimbangan. untuk. memilih. calon. pasangan.. Sehinggadaribeberapa kriteria yang dikemukakan, mereka berpendapat bahwa lebih memprioritaskan kepada faktor agama dan kriteria lainnya mereka berpendapat bahwa hanya dikesampingkan saja. Namun bukan berarti kriteria yang lainnya tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam memilih pasangan sebagai kesepadanan diantara mereka, hanya saja yang diutamakan adalah agama. Agama merupakan suatu pedoman bagikehidupan manusia di semua segi terutama dalam segi pernikahan karena manusia diciptakan oleh Allah itu berpasang-pasangan yang tujuannya untuk menjadikan manusia berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasiberikutnya. Islam mengatur manusia dalam hidup berpasang-pasangan itu melalui jenjang pernikahan.8 Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan rasa kasih sayang, dan berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangga seperti mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan.9 Dalam Islam, setiap akan memulai pernikahan dianjurkan untuk diadakan pinangan terlebih dahulu. Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. Meminang termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan pernikahan, agar kedua belah pihak saling mengenal sehingga pelaksanaan pernikahan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilain. 8. Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008), h. 12. Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian (Yogyakarta: Ladang Kata, 2017), h.. 9. 70..

(18) 6 yang jelas.10Peminangan ini juga bertujuan, salah satunya untuk mengetahui apakah calon suami dan istri mempunyai tingkatan sepadan atau kafa’ah. Dalam hukum Islam, keseimbangan, keserasian, dan kesepadanan antara calon suami dan istri disebut dengan kafa’ah atau kufu’, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Artinya laki-laki sepadan dengan calon istriya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah seimbang, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab kalau kafa‟ah diartikan persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah swt adalah sama.11 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur‟an Surat Al-Hujurat Ayat 13 :.       . “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”12 Kebiasaan yang terjadi dalam menilai kafa’ahini dalam praktek di masyarakat Indonesia sangat relatif karena dasar dan pedoman peninjauan bukan berdasarkan hukum Islam, namun pada prakteknya dasar pedomannya adalah pertimbangan hukum adat, tradisi, dan kekuasaan masyarakat setempat, biasanya. 10. Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),. h 41. 11. Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit. h. 96. Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2011), h. 517. 12.

(19) 7 memiliki pengaruh yang lebih kuat dan besar. Jika calon suaminya tidak setara dengannya, ikatan hubungan antara keduanya biasanya tidak bisa berlanjut. Ikatan rasa kasih antara keduanya dapat terlepas. Seperti itu juga wali perempuan, mereka merasa enggan untuk berbesanan dengan orang yang tidak sesuai dengan mereka karena mereka akan merasa terhina dengan hal itu. Dengan demikian, ikatan besanan akan terlepas dan menjadi rapuh sehingga membuat tujuan sosial dan hasil yang dituju dari perkawinan tidak akan terwujud. Ulama sepakat menyatakan bahwa kafa’ah merupakan hak seorang wanita dan walinya. Apabila seorang wali menikahkan seorang wanita dengan seorang pria yang tidak sekufu dengannya maka wanita ini berhak membatalkan perkawinan tersebut. Sebaliknya, apabila seorang wanita memilih jodohnya seorang pria yang tidak sekufu dengannya maka wali berhak menolak dan menuntut pembatalan perkawinan tersebut.13 Sebagaimana sabda Rasulullah saw:. ‫ حَخَ َيشُْٗا ىِ ُْطَفِنٌُْ َٗا ّْنِحُْ٘ا األَ مْفَا َء‬: ٌََ‫عيَئِْ َٗسَي‬ َ ُ‫صوَ اهلل‬ َ ِ‫ قَاهَ سَ سُْ٘ هُ اهلل‬: ْ‫ قَا ىَج‬،َ‫عَِْ عَائِشَت‬ .ٌِْٖ‫َٗأ ّْنِحُْ٘ا ِإىَ ْي‬ َ Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda,”Pilihkanlah bagi anak-anak gadis kalian (jodoh yang baik). Menikahlah kaliandengan yang sekufu‟ dan nikahkanlah anak-anak gadis kalian dengan mereka.”14. Seseorang yang baik kehidupan agamanya tidak sepadan menikah dengan yang tidak baik kehidupan agamanya. Orang yang mempuyai ketakwaan tinggi, 13. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006), h. 846. 14 Abdullah Shonhaji, Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV (Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1993). h. 688..

(20) 8 tidak layak menikah dengan orang yang tidak mempunyai taqwa. Orang yang mempunyai budi pekerti yang mulia tidak kufu’ mempunyai teman hidup orang jahat atau tidak berakhlak mulia. Itulah sebabnya implementasi kafa’ah ini seyogyanya dikaitkan dengan kehidupan keagamaan dan akhlak.15 Untuk dapat terbina dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrohmah, islam menganjurkan akan adanya kafa’ah atau kesepadanan antara calon suami istri. Tetapi ini bukan sesuatu hal yang mutlak, melainkan suatu hal yang perlu diperhatikan guna terciptanya tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi. Mencari pasangan hidup sebagai suami istri tidaklah mudah, karena cukup banyak masalah-masalah yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan oleh masing-masing pihak, sehubung dengan itu hendaklah masing-masing calon suami istri untuk dapat mencari atau mempelajari sifat-sifat atau tingkah laku serta memperhatikan watak kepribadian dari calon tersebut, agar tidak ada penyesalan kemudian hari. Oleh karena itu, saya terdorong untuk meneliti bagaimana pandangan dosen Fakultas Syari‟ahUIN Raden Intan Lampung mengenai konsep kafa’ah. Apakah menurut dosen Fakultas Syari‟ah mengenai kafa’ahtersebut sebagai syarat dalam perkawinan. Adapun titik fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana pandang. dosen. Fakultas. Syari‟ahUIN. Raden. Intan. Lampung. tentang. kontekstualisasi konsep kafa‟ah dalam membentuk rumah tangga sakinah.. 15. A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (Badung: Al-Bayan, 1995), h. 42..

(21) 9. D. Rumusan Masalah Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian ini, maka dirumuskan beberapa masalah: 1. Bagaimana pandangan dosen Fakultas Syari‟ahUIN Raden Intan Lampung terhadap konsep kafa’ah dalam perkawinan? 2. Bagaimana tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai namun tidak sekufu’?. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menggali informasi dari pandangan dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampungterhadapkonsep kafa’ah dalam perkawinan. 2. Untuk mengetahui tanggapan dosen mengenai seseorang yang saling mencintai namun tidak sekufu’ Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan tentangkafa’ahdalam perkawinan. 2. Secara praktis Penelitian ini penulis gunakan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar serjana pada jurusan al-ahwal al-syakhsiyah Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung..

(22) 10. F. Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian a.. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang datanya diperoleh melalui wawancara dengan beberapa informan yang sudah dipilih dan ditentukan. Pandangan dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung yang menjadi data pokok yang telah dipilihdengan berbentuk hasil wawancara. Jenis penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu proses penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif yaitu kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diwawancarai dan perilaku yang diamati.16 Dimana data-data deskriptif tersebut merupakan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.17 Jadi penulis berusaha semaksimal mungkin menjabarkan mengenai kontekstualisasi konsep kafa’ah dalam membentuk rumah tangga sakinah yang mana dari pandangan dosen memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya.. b.. Kemudian sifat penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas, peristiwa pada masa. 16. Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999). h. 3 17 Ibid. h. 6..

(23) 11 sekarang.18Yang dimaksud dengan subjek penelitian adalah dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung. 2. Sumber Data Sumber data adalah tempat dimana data itu diperoleh. Adapun sumber data pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dilengkapi dengan dokumen yang memuat pandangan dosen mengenai konsep kafa’ah. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pembacaan terhadap literarur-literatur tentang konsep kafa’ah dan yang berkaitan dengan kajian ini. 3. Metode Pengumpulan Data a.. Metode wawancara Wawancara adalah alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Ciri-ciri utama dari wawancara adalah kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi dengan sumber informasi.19Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa dosen yang ada di Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung.. b.. Dokumentasi Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, ledger,. 18. Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 63. Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 54.. 19.

(24) 12 dan sabagainya.20metode ini digunakan untuk memperoleh data yang berhubungan dan yang berkaitan dengan kafa’ahdalam membentuk rumah tangga sakinah. 4. Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari atas obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.21Yang menjadi populasi dari penelitian ini yaitu pada dosen Fakultas Syari‟ah UIN Raden Intan Lampung yang kurang lebih berjumlah 91 orang dengan perincian dosen tetap 47 orang.22 Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti. Dalam penelitian ini tidak semua populasi akan dijadikan sumber data melainkan diambil sampelnya saja, antara lainbeberapa dosen tetap Fakultas Syari‟ah yang memiliki kompetensi dalam bidang ilmu fiqh. Dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.23. 20. Suharsimi Arikunto, Prosedur Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka Cipta, 1991),. h. 188. 21. Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: Alfabeta, 2001), h. 57. Buku Profil Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung 2016. 23 Sugiono, Statistika Untuk Penelitian (Bandung: Alfabeta CV, 2011), h. 64. 22.

(25) 13 5. Metode Pengolahan Data a.. Editing Editing adalah data yang diperoleh, diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.. b.. Penandaan data (coding) Penandaan data adalah pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik berupapenemuan, simbol atau kata tertentu menurut jenis dan sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna.. c.. Sistematis Sistematis adalah melakukan penyusunan pokok bahasan secara sistematis atau berurutan sehingga memudahkan pembahasan.. 6. Metode Analisis Data Untuk menganalisa data dilakukan secara kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tulisan atau lisan dari orang-orang yang berperilaku yang dapat dimengerti.24 Setelah analisa data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu suatu penjelasan dan penginterpretasikan secara logis, sistematis. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan menggunakan cara berfikir deduktif.. 24. Lexy J. Moeloeng, Loc.Cit..

(26) 14 Cara berfikir deduktif adalah metode analisa data dengan cara bermula dari data yang bersifat umum tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.25. 25. Sutrisno Hadi, Methologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1984), h.. 42..

(27) 15 BAB II KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN. A. Pengertian Kafa’ah Menurut kamus Kontemporer Arab Indonesia karangan Ahmad Zuhdi Muhdor ‫ مَفَاءَة‬,‫ مَفَاء‬,‫مُفُ٘ء‬artinya sama, persamaan, dan kesepadanan.26 Sedangkan kata kufu’ berarti sesuatu atau seorang yang setara atau sepadan dengan sesuatu atau seorang lainnya. Adapun yang dimaksud disini adalah sepadannya seorang suami dengan istrinya dalam kedudukan, pendidikan, kekayaan, status sosial, dan sebagainya.27 Kata kufu’ ataukafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki, sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut harus ada pada laki-laki yang mengawininya.28 Kafa’ah adalah suatu hal yang dianggap penting didalam pernikahan, bukan dalam syahnya akad nikah, bahkan karena hal itu menjadi hak calon istri dan wali, maka mereka bisa menggugurkannya.29 Beni Ahmad Saebani menjelaskan bahawa pengertian kafa’ah ialah kesepadanan atau setingkat, yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan suami istri yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal, yaitu: 26. Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus kontemporer Arab-Indonesia,Cet II (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), h. 1511. 27 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), h. 48. 28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2014), h. 140 29 Aliy As‟ad, Fathul Mu’min Jilid 3, Penerjemah Moh. Tolchah Mansoer (Yogyakarta: Menara Kudus, 2006), h. 73..

(28) 16 1. Keduanya beragama Islam 2. Memiliki rupa yang tampan dan cantik 3. Keduanya dari keturunan yang baik 4. Keduanya orang kaya 5. Keduanya berpendidikan30 Sedangkan menurut M. Ali Hasan kafa’ah adalah kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan istri, agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri secara mantap dalam menghindari cela dalam masalah-masalah tertentu.31 Menurut H.S.A Alhamdani kafa’ah adalah suami seimbang kedudukannya dengan istrinya dimasyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan istri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan.32 Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kafa’ahadalah kesepadanan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan istri agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri dalam rangka menghindarkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang nantinya menuju keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.. B. Historisitas Kafa’ah Memilih seseorang untuk menjadi pendamping yang sesuai dengan kriteria memang tidak mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk menentukan 30. Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 200. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, cet ke-4 (Jakarta: Predana Media Group, 2003), h. 33. 32 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h. 98. 31.

(29) 17 siapa orang yang tepat. Namun Agama Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk urusan jodoh. Menurut hadist Nabi Muhammad saw, setidaknya ada 4 kriteria ketika seseorang ingin mencari pendamping hidup yaitu:. ‫ حُ ْنَحُ اْى ََ ْشأَ ةُ ىَِأسْ بَعٍ ِىََا‬:َ‫ قَاه‬،ٌََّ‫سي‬ َ َٗ ِْٔ‫عيَي‬ َ ُ‫ اهلل‬َّٚ‫صي‬ َ ِ‫ عَِِ اىَْبِي‬،ُْٔ َ‫ ُٕشَ ْيشَةَ سَضِيَ اهللُ ع‬ِٚ‫عَِْ أَب‬ .َ‫ج يَذَاك‬ ْ َ‫ِ َح ِش ب‬ ِ ْ‫ث اى ِذ ي‬ ِ ‫جََا ِىَٖا َٗىِ ِذ يْ َِْٖا فَاظْ َف ْش بِزَا‬ َ َٗ ‫حسَ ِبَٖا‬ َ ِ‫ِىَٖا َٗى‬ Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: “Wanita dikawini karena empat hal: Karena hartanya, karena status sosialnya, karena kecantikannya, dan karena ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu akan beruntung.”33. Latar belakang historis dari hadis diatas yaitu Jabir menceritakan bahwa ia menikah di zaman Rasullah saw, maka Rasullah saw bertanya: “Hai Jabir, sudah menikahkah engkau?” sudah, wahai Rasullah, jawab Jabir. Rasullah bertanya lagi: “Apakah isterimu perawan atau janda?” Jabir menjawab: “Sudah janda, wahai Rasullah”. Maka nabi bersabda: “Kenapa tidak engkau nikahi saja perempuan yang masih perawan, sehingga engkau dapat bermain dan menggaulinya dengan mesra?” Jabir menjawab: “Wahai Rasullah, saya ini punya beberapa orang saudara perempuan. Aku khawatir bahwa isteriku masuk antara saya dengan mereka (merenggangkan saya dengan saudara-saudara perempuan saya itu).” Rasul bersabda: “Yah, sudahlah, itu sudah baik. Sesungguhnya perempuan itu dinikahi . . . .” dan seterusnya bunyihadis diatas.. 33. Zainuddin Hamidy, Terjemahan Hadits Shahih Bukhari, (Jakarta: Widjaya, 1992), h.. 10..

(30) 18 Perempuan itu dinikahi karena faktor-faktor kebaikan dan ketakwaannya, kekayaan material dan kecantikannya. Maka Nabi menyuruh faktor mana saja yang disukai. Akan tetapi faktor yang (taat) beragama adalah yang paling penting terpenuhi oleh wanita itu, meskipun dia kaya atau miskin dan keduanya (calon suami dan istri) akan berantakan (rumah tangganya) bila faktor agama itu tidak diindahkan. Maka memilih jodoh karena faktor agama menolong suami istri sendiri, serta akan menjadi teladan bagi anak kelak, karena faktor agama akan mendatangkan kebaikan yang banyak sekali.34 Faktor tersebut adalah unsur ideal kenapa seseorang perempaun dipilih untuk dijadikan pedamping hidup. Namun yang terpenting dari keempat unsur tersebut adalah unsur agamanya, karena agama akan menjadi fondasi utama dalam membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Berbicara tentang sejarah kafa’ah, sedikitnya dimunculkan ada dua teori. Teori pertama oleh M. M. Bravman yang berpendapat, konsep ini muncul sejak masa pra Islam. Untuk mendukung teori ini, Bravman menulis beberapa kasus yang pernah terjadi. Misalnya kasus rencana pernikahan Bilal. Disamping itu, dia juga menulis dua kasus lain, yang didalam pernikahan itu sendiri dapat dilihat adanya kafa’ah. Bahkan didalam rencana pernikahan tersebut kata kafa’ah disebutkan dengan jelas. Teori kedua, dipaparkan oleh Coulson dan Farhat J. Ziadeh mengatakan, kafa’ah bermula dari Irak, khususnya Kufah dari Abu Hanafi hidup. Abu Hanafi adalah tokok pendiri mazhab Hanafi. Beliau adalah pencetus pertama dari konsep kafa‟ah ini, konsep ini muncul karena kekomplekan masalah 34. Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, Penerjemah Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 19..

(31) 19 dalam masyarakat yang hidup di Irak kala itu. Kompleksitas sebagai akibat urbanisasi yang terjadi di Irak ketika itu. Urbanisasi melahirkan percampuran sejumlah etnik, seperti percampuran orang Arab dan non-Arab yang baru masuk Islam. Untuk menghindari salah pilih dalam pasangan. Teori kafa’ah ini menjadi niscaya.35 Kafa’ah menjadi sebuah ketentuan yang khas didalam mazhab fiqih yang ada di Kufah. Kafa’ah menjadi usaha untuk melindungi kepentingan wali didalam perkawinan demi menjaga nama baik keluarga. Di Kufah, Abu Hanifah menemukan masyarakat yang sangat beragam dan kompleks dengan kesadaran kelas yang tinggi, yang tidak dirasakan oleh masyarakat Madinah. Di Kufah, kelompok-kelompok etnis bercampur baur, tradisi urbanisasi telah lama ada, Arab dan non-Arab berhadapan, diferensiasi sosial benar-benar memiliki hasil.Hal ini merupakan faktor penting dikembangkannya konsep kafa’ah oleh mazhab Hanafi dan kemudian menyebar didaerah lain serta diadopsi oleh mazhab-mazhab lain.Maka secara historis kontekstual, kafa’ah muncul sebagai respon terhadap kondisi sosial kemasyarakatan yang berkembang dan kemudian muncul sebagai aturan hukum, sebagai akibat logis dari aturan hukum perkawinan lain yang sudah ditetapkan. Pendek kata, argumentasi kemaslahatan perkawinan diterapkan secara berbeda, karena perbedaan respon terhadap situasi sosial kemasyarakatan dan logika hukum yang sudah ada.36. 35. Siti Jahroh, “Reinterpretasi Prinsip Kafa‟ah SebagainNilai Dasar Dalam Pola Relasi Suami Istri” https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/ahwal/article/viewFile/05203/999diakses 15 Mei 2018 36 Siti Fatimah, “Konsep Kafa‟ah Dalam Pernikahan Menurut Islam” tersedia di: http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index.php/assalam/article/view/56/53diakses 15 Mei 2018.

(32) 20 C. Status Kafa’ah dalam Perkawinan Dalam proses menuju suatu pernikahan yang merupakan pintu gerbang dalam membangun suatu keluarga yang sakinah, lantaran memilih jodoh yang tepat sudah merupakan separuh (sebagian) dari suksesnya suatu pernikahan. Bahkan hal ini penting sekali apabila memang mendambakan suatu kehidupan keluarga yang harmonis dan melahirkan generasi penerus bangsa.37 Pada dasarnya, suatu pernikahan terjadi apabila saling mencintai, suka sama suka, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanita itu. Sesudah itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu dapat diterima atau tidak.38Sebelum diadakan peminangan, hendaklah benar-benar memperhatikan dan memilah milih calon pasangan secara teliti dan jeli, berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dianjurkan oleh agama melalui nashnashnya baik al-Qur‟an maupun Hadis nabi. Hal ini harus sepenuhnya diperhatikan dikarenakan berhubungan dengan kehidupan berumah tangga nantinya diharapkan tidak ada hal-hal yang akan mengecewakan atau bahkan memberi dampak buruk bagi perjalanan rumah tangga pasangan suami istri.. ُٔ َ‫ إِرَا أَحَا مٌُْ ٍَِْ حَشْ ضََُْ٘ خُيُق‬: ٌََ‫سي‬ َ َٗ ِْٔ‫عيَي‬ َ ُ‫ اهلل‬َٚ‫ قَاهَ َسسُ٘هُ اهللِ صَي‬: َ‫عَِْ أَبِي ُٕشَ ْيشَةَ قَاه‬ .ٌ‫ع ِش يْض‬ َ ‫ض َٗ َفسَا ٌد‬ ِ ‫أل ْس‬ َ ‫ِ فِخَْْ ٌت فِي ا‬ ْ ُ‫ إِّالَ حَ ْف َعيُْ٘ا َحن‬،ُُْٓ٘‫َٗدِيَْْ ُٔ َف َز ِٗج‬ Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seseorang yang kalian telah rela perihal akhlaqnya dan agamanya datang (meminang anak 37. Dedi Junaedi, Keluarga Sakinah (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 45. M. Ali Hasan., Op.Cit. h. 23.. 38.

(33) 21 gadis) kalian, maka kawinkanlah (anak kalian) dengannya. Jika kalian tidak kerjakan, niscaya akan timbul fitnah dibumi dan kerusakan yang sangat luas (besar).”39 Dalam hal memilih pasangan hidup, masalah kafa’ah juga sangat penting. Hal. ini. dimaksudkan. sebagai. upaya. untuk. menghindarkan. terjadinya. ketidakharmonisandidalam rumah tangga. Dengan adanya kafa’ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapat keserasian dan keharmonisan. Walaupun keberadaan kafa’ah sangat diperlukan dalam kehidupan perkawinan, namun dikalangan para ulama berbeda pendapat baik mengenai status kafa’ah ini, apakah penting dalam sebuah perkawinan atau tidak. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa’ah tidak penting dalam sebuah perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam yang lainnya adalah sama. Semua orang Islam asalkan dia tidak pernah berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita muslim yang tidak pernah berzina.40 Sebagian ulama mengatakan mengatakan bahwa kafa’ah bukanlah salah satu syarat sah perkawinan. Namun sebagian lainnya, Khusus ulama Mazahab Hanafi mutakhir, mengatakan bahwa kafa’ah merupakan salah satu syarat sah perkawinan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Apabila seorang wanita baligh berakal menikahkan dirinya sendiri dengan seorang yang tidak sekufu’ dengannya atau dalam perkawinan itu terdapat unsur penipuan yang besar, maka dalam hal seperti ayah dan kakek, berhak. 39. Abdullah Shonhaji, Terjemahan Sunan Ibnu Majah Jilid IV (Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1993), h. 687. 40 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, terjemahan oleh Moh. Thalib (Bandung: PT Alma‟arif, 1987), h. 36..

(34) 22 untuk tidak menyetujui perkawinan tersebut sebelum melangsungkannya akad. 2. Apabila seorang wanita yang tidak cakap bertindak hukum, seperti anak kecil atau orang gila, dinihkahkan oleh walinya selain ayah atau kakek dengan seseorang yang tidak sekufu’, maka perkawinan itu rusak, karena tugas wali terkait dengan kemaslahatan anak wanita tersebut. 3. Apabila ayah dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu buruk menikahkan anak wanita yang belum dewasa dengan seseorang yang tidak sekufu’, misalnya orang gila atau fasik, maka ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan ini batal.41 Begitu juga dengan al-Hasan al-Basri, as-Sauri, dan al-Karkhi berpendapat bahwa kafa’ah bukanlah faktor penting dalam perkawinan dan tidak termasuk syarat sah atau syarat lazim perkawinan. Menurut mereka, ketidaksekufu’an calon suami dan calon istri tidak menjadikan penghalang kelangsungan perkawinan tersebut. Sedangkan jumhur fuqaha, diantaranya adalah ulama empat mazhab berpendapat bahwa kafa’ah sangat penting dalam perkawinan meskipun kafa’ah bukan merupakan syarat sah suatu perkawinan dan hanya merupakan syarat lazim suatu perkawinan.42 Karena kafa’ah tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu‟ akan tetap dianggap memiliki legalitas hukum. Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja.. 41. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006), h. 845. 42 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 9, Abdul Hayyie al-Kattani dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011) , h. 902..

(35) 23 Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan yang lainnya kecuali dengan takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa penghormatan dan penghargaan terhadap darah seorang dalam hukum pidana ialah sama saja. Jika yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang dibunuh adalah orang jelata, maka hukum qishas tetap dijalankan. Jika kekufu’an diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam perkawinan seharusnya tidak ditetapkan.. D. Konsep Kafa’ah Menurut Para Ulama dan Perundang-Undangan Indonesia Tidak disebutkan secara jelas tentang konsep kafa’ah perkawinan dalam al-Qur‟an, sehingga kriteria yang digunakan untuk menentukan kafa’ah, ulama berbeda pendapat. perbedaan pendapat dikalangan para ulama ini selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana ulama tersebut tinggal, juga disebabkan karena adanya perbedaan menggunakan dalil-dalil dan cara berijtihad diantara mereka, sehingga keadaan berijtihad mengakibatkan perbedaan dalam fiqih sebagai hasil ijtihad, yang secara lengkap diuraikan sebagai berikut:43. Hanafi Nasab Islam Hirfah Diniyah Kemerdekaan Kekayaan 43. Maliki Diniyah Bebas dari cacat. Wahbah az-Zuhaili, Ibid. h. 223.. Syafi‟i Nasab Diniyah Kemerdekaan Profesi. Hambali Diniyah Profesi Kekayaan Kemerdekaan Nasab.

(36) 24 Ulama sepakat menempatkan diniyah atau tingkat ketaatan beragama sebagai kriteria kafa’ah bahkan menurut ulama Maliki hanya inilah satu-satunya yang dapat dijadikan kriteria kafa’ah itu.44 Kesepakatan tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat as-Sajdah ayat 18:.           “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama.”45. Abu Hanifah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ahmad,berpendapat bahwakriteria kafa‟ah hanya terbatas pada faktor agama dannasab saja. Akan tetapimenurut riwayat lain, madzhab ini juga mengakuikriteria kafa‟ah dari segi agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dankekayaan. Sama halnya dengan madzhab Syafi‟i, mereka mengakui beberapasegi yang perlu diperhatikan dalam kafa‟ah yaitu agama, nasab, kemerdekaandan pekerjaan.Namun di kalangan para sahabat Syafi‟i juga ditemukanpendapat yang menyatakan bahwa mereka juga mengakui kriteria kafa‟ah darisegi bebas cacat.Sedangkan dari kalangan Hanabilah ditemukan dua sumberyang berbeda. Sumber pertama mengatakan bahwa Ahmad mempunyai ideyang sama dengan Syafi‟i, dengan catatan Ahmad mengeluarkan urusan bebasdari aib secara jasmani. Sumber kedua menyebutkan Ahmad hanyamencantumkan unsur taqwa dan nasab sebagai kriteria kafa‟ah.46. 44. Amir Syarifuddin, Op.Cit. h. 141. Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 416. 46 Muhammad Abū Zahrah, Al-Ahwāl Asy-Syakhsiyyah (Kairo: Dār al-Fikr alArabi,1957), h. 163. 45.

(37) 25 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masalah kafa’ah dalam perkawinan menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama. Masing-masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah ini. Jika diamati, perbedaan ini terjadi karena perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melestarikan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, jika suatu segidipandang maupun menjalankan peran dan fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak mungkin segi tersebut dimasukkan dalm kriteria kafa’ah. Dari penjelasan kriteriakafa’ah diatas dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Agama Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah yang paling esensial. Penempatan agama sebagai unsur kafa’ah tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Hal ini karena Islam menjadi syarat sah dalam melangsungkan pernikahan. Agama juga dapat diartikan dengan kebaikan, istiqamah. Mengenai kafa’ah dalam agama, lelaki harus sama dengan perempuan dalam kesucian dan istiqamah. Apabila lelaki fasik pezina, maka ia tidak sekufu’ bagi perempuan yang suci, walaupun lelaki telah bertaubat dan taubatnya sungguh-sungguh, karen taubat dari zina tidak menghapus nama buruk. Apabila lelaki fasik selain fasik zina, seperti peminum khamar dan pendusta kemudian bertaubat, maka ia kufu’ bagi perempuan istiqamah. Maka sepatutnyalah perempuan sekufu’ dengan laki-laki yang menjaga kehormatan dan kesuciannya.47. 47. Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Al Hidajah, 1388), h. 75..

(38) 26 2. Nasab Maksud nasab disini adalah keturunan seseorang yang berkenaan dengan latar belakang keluarganya baik menyangkut suku, kebudayaan, maupun status sosialnya. Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan „Ajam, kedua golongan Arab. Riwayat Hakim dari Ibnu Umar bahwa Rasullah saw, telah bersabda:. َ‫ضٌُْٖ أ‬ ُ ْ‫عيَئِْ َٗ سَيٌََ ا ْى َعشَبُ َبع‬ َ ُ‫صوَ اهلل‬ َ ِ‫ قَاهَ سَسُْ٘ هُ اهلل‬: َ‫ع ََشَ سَضِيَ اهللُ عَْ ََُٖا قَاه‬ ُ ِِْ‫َٗعَِِ اب‬ }ٌَِ‫ {سََٗا ُٓ اىْحَا م‬.ًٌ‫ل أَ ْٗ حَجَّا‬ ًٙ ِ ‫ ِإىَا حَا‬،ٍ‫ضٌُْٖ َأمْفَا ُء َبعْض‬ ُ ْ‫ بَع‬ِٚ‫ َٗا ْىَََ٘ا ى‬،ٍ‫مْفَا ُء َبعْض‬ Dari. Ibnu. Umar. Radhiyallahu. „anhuma. bahwa. Rasulullah. saw.. Bersabda,“Bangsa Arab itu sama derajatnya satu lain, dan kaum mawali (bekas hamba yang telah dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenun dan tukang bekam.” (HR. al-Hakim).48 Dengan ditetapkannya nasab sebagai kriteria kafa’ah, maka orang ajam dianggap tidak sekufu’ dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku Quraisy dipandang tidak sekufu’ dengan orang Arab yang berasal dari suku Quraisy. Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari keturunan yang sama, tidak hanya lainnya.49. 48. Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram dan Dalil-Dalil Hukum, terjemahan Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin (Jakarta: Gema Isnani, 2013), h. 438. 49 Ahmad bin „Umar Ad-Dairabi, Fiqih Nikah, Penerjemah Heri Purnomo dan Saiful Hadi (Jakarta: Mustaqiim, 2003), h. 199..

(39) 27 3. Kemerdekaan Kriteria tentang kemerdekaan ini sangat erat kaitannya dengan masalah perbudakan. Jumhur ulama selain Malikiyyah memasukkan merdeka dalam kafa‟ah berdasarkan Al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 75:.                                 “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama?”50. Ayat diatas mejelaskan bahwa seorang budak dimiliki oleh orang tuanya dan dia tidak dapat melakukan sesuatu pun termasuk menafkahkan hartanya sesuai dengan kenginginannya kecuali atas perintah tuannya. Akan tetapi orang merdeka bebas melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa menunggu perintah dari siapapun. Jadi budak laki-laki tidak sekufu‟ dengan perempuan merdeka, budak laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu‟ dengan perempuan yang merdeka sejak lahir.51Menurut Hanafi laki-laki bangsa „Ajam yang alim, lagi miskin sekufu’ dengan perempuan bangsa Arab yang jahil lagi kaya, bahkan sekufu’ juga dengan perempuan Syarifah keturunan „Alawiyah.. 50. Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 272. Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 59. 51.

(40) 28 Karena kemuliaan ilmu pengetahuan diatas dari kemuliaan kebangsaan dan kekayaan. Demikian pendapat Ibnu Hamman dari ulama Hanafiah.52 4. Pekerjaan Yang dimaksudkan dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan segala sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik perusahaan. maupun. yang. lainnya.. Pekerjaan. seseorang. adakalanya. menimbulkan perasaan kebanggaan ataupun kehinaan pada dirinya. Oleh sebab itu, apabila ada seorang wanita dan suatu keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak sekufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaanya itu hampir bersamaan tingkatnya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan terhormat pada suatu tempat, kemungkinan satu ketika dipandang tidak terhormat disuatu tempat dan masa yang lain.53 5. Kekayaan Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan manusia terdapat statifikasi sosial, diantara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Para ulama mazhab Syafi‟i berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ada yang menjadikannya ukuran kufu’. Jadi orang fakir menurut mereka tidak kufu’ dengan perempuan kaya. Mereka berkata pula bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai istrinya adalah dibawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu‟ 52. Mahmud Junus, Op.Cit. h. 76. Muhammad Bagir Al-Habsyi, Op.Cit. h. 50.. 53.

(41) 29 karena kekayaan itu sifatnya datang dan pergi sewaktu-waktu, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan. Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan menjadi ukuran kufu’. Dan ukuran kekayaan disini yaitu memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah. Bagi orang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah, atau salah satu diantaranya, maka dianggap tidak kufu’. Dan yang dimaksud dengan kekayaan untuk membayar mahar yaitu sejumlah uang yang dapat dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta. Tetapi menurut Abu Yusuf, kemampuan atas mahar tidak merupakan syarat kafa’ah dalam kekayaan. Selama seorang suami mampu memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan nafkah dari satu hari ke hari berikutnya, maka ia dianggap termasuk kedalam kelompok yang mempunyai kafa’ah. Abu Yusuf beralasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah yang lebih penting untuk menjalin kehidupan rumah tangga kelak. Sementara mahar dapat dibayar siapa saja di antara keluarganya yang mempunyai kemampuan misalnya bapak atau kakek. Karena kalau perempaun yang kaya bila berada ditangan suami yang melarat akan mengalami bahaya. Sebab suami menjadi susah dalam memenuhi nafkahnya dan jaminan anak-anaknya. Masyarakat juga menganggap kekayaan merupakan suatu kehormayan sebagaimana keturunan, bahkan nilainya lebih tinggi.54 6. Bebas dari cacat. 54. Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 46..

(42) 30 Sebagai kriteria kafa’ah, bebas dari cacat ini hanya diakui oleh ulama Maliki tapi dikalangan sahabat Imam Syafi‟i ada juga yang mengakuinya. Sementara mazhab Hanafi maupun Hambali, keberadaan cacat tersebut tidak menghalangi kufu’nya seseorang. Walaupun cacat tersebut dapat menghalangi kesekufu’an seseorang, namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan. Karena keabsahan bebas dari. cacat sebagai kriteria kafa’ah hanya diakui. manakala pihak wanita tidak menerimanya. Hanaya pihak perempuan yang mempunyai hak untuk menerima atau menolak, dan bukan walinya. Karena resikonya tentu dirasakan oleh perempuan. Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan untuk manuntut fasakh.55 Adapun yang dapat menentukan kufu‟ adalah laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki yang dikenai syarat bahwa ia harus kufu‟ dengan perempuannya, bukan sebaliknya perempuan harus kufu’ dengan laki-laki.. .ُِ‫جشَا‬ ْ َ‫حسََِ ِاىَ ْيَٖا ثٌَُ اَعْخَ َقَٖا َٗ َحزَ َٗجََٖا َفئَُ ا‬ ْ َ‫ٍَِْ ماََُ عِ ْذَ ُٓ جَاسِ يَتٌ َف َعَيَََٖا َٗاَحْسََِ َح ْعيِ ْي َََٖا َٗ ا‬ }ٌ‫ ٍٗسي‬ٙ‫{سٗا ٓ اىبخا س‬ “Barang siapa yang mempunyai seorang budak perempuan lalu diajarkannya dengan pelajaran yang baik kepadanya, kemudian dimerdekakan terus dinikahinya, maka baginya dua pahala.”(H.R. Bukhari dan Muslim)56. 55. Sayyid Sabiq, Ibid. h. 47. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu Wal Marjan, Penerjemah H. Salim Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 488. 56.

(43) 31 Latar belakang keturunan dan harta kekayaan menjadi pertimbangan dalam memilih calon suami, dimana perempuan yang ingin menikah harus meminta persetujuan dari orang tua ataupun walinya. Meskipun perempuan boleh memilih pasangan hidupnyanamun diupayakan agar ia tidak menikah dengan laki-laki yang derajatnya berada di bawahnya atau di bawah keluarganya. Sebab menikahkan perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu’ berarti memberi aib kepada keluarganya. Karena itulah hukumnya tidak boleh kecuali walinya ridha. Jika wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dinikahkan, sebab wali berhak menghalangi nikahnya perempuan dengan lakilaki yang tidak sekufu’. Jadi kalau kalau mereka semua setuju semua sudah setuju maka hilanglah halangannya. Kafa’ah diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu dan tidak membatalkan apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikah, karena syarat-syarat pernikahannya hanya diukur ketika berlakunya akad nikah. Jika pada waktu akad nikah pekerjaan suami itu mulia dan mampu memberi nafkah istrinya atau orang yang saleh, kemudian dikemudian hari terjadi perubahan, maka akad nikahnya tetap sah. Bila terjadi suami seperti ini, maka istri hendaklah bersabar dan bertakwa kepada Allah karena dengan sabar dan takwa kepada Allah SWT niscaya pertolongan akan datang.57 Kafa’ah menjadi perbincangan hampir disemua kitab fiqih dan sama sekali tidak disinggung oleh undang-undang perkawinan tetapi disinggung sekilas dalam 57. Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),. h. 62..

(44) 32 Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 61 dalam membicarakan pencegahan perkawinan dan yang diakui sebagai kriteria kafa’ah itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama, yaitu kualitas beragama. Pasal 61 Tidak se-kufu‟ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu‟ karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.58. Oleh karena itu konsep kafa’ah yang masih memprioritaskan nasab bertentangan dengan peraturan yang terdapat didalam Kompilasi Hukum Islam yang hanay bersandar pada agama yang artinya bahwa, tidak ada pencegahan perkwinan atas dasar tidak sekufu kecuali memiliki perbedaan agama. Pencegahan perkawinan hanya dapat dilakukan kalau dilakukan atas dasar hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa perkawinan antar suku atau antar daerah di Indonesia dengan latar belakang adat yang berbeda sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat, sehingga tolak ukurnya tidak lagi suku tetapi agama. Hal ini diperkuat lagi Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Kata “itu” diakhiri ketentuan ini berarti bahwa kepercayaan yang dimaksud terkait dengan agama yang dianut oleh seorang warganegara.. 58. Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2011), h. 36..

(45) 33 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaan itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.59. Jadi pemilah-milahan antar bangsawan dengan bukan bangsawan atau keturunan raja dengan bukan keturunan raja merupakan peninggalan dari kebudayaan tertentu yang melihat orang berkasta-kasta. Hal ini tidak relevan dengan pandangan kesetaraan dalam Islam.60 Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan soal mengenai orang-orang yang bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga merupakan kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat adatpun ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Bagi hukum adat perkawinana itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan.61. E. Penerapan Kafa’ah dalam Membangun Rumah Tangga Sakinah Pada hakikatnya manusia tidak bisa berkembangbiak dengan baik tanpa adanya perkawinan, karena perkawinan menyebabkan keturunan, dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang di masyarakat.Perkawinan juga merupakan suatu hubungan yang sangat mendasar bagi manusia. Salah satu. 59. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2. Yaswirman, Hukum Keluarga (Jakarta: Raja wali Pers, 2013), h. 203. 61 Taufiqrrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinaan di Indonesia (Jakarta: Kecana, 2015), h. 64. 60.

(46) 34 persoalan yang menjadi berdebatan dan sering di perbincangkan dalam bidang perkawinan yaitu tentang masalah kafa’ah. Kafa’ah sangat menarik dan sering diperbincangkan karena kafa’ah merupakan salah satu unsur terpenting yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan. dan. keharmonisan. dalam. rumah. tangga. karena. dengan. adanyakafa’ah akan lebih menjamin perempuan dari kegagalan dan kegonjangan dalam rumah tangga.62Para ulama empat mazhab menyetujui bahwa yang pokok dalam kesekufuan adalah segi agama. Kenapa agama itu paling penting dalam membentuk keluarga, karena apabila calon suami dan calon istri memiliki perbedaan agama, dalam hal ini akan mengakibatkan tidak terciptanya keharmonisan dan akan menimbulkan perselisihan. Dalam kondisi masyarakat Indonesia, misalkan kafa’ah hanyalah dalam hal agama, lain halnya adanya adat budaya yang mempengaruhi aspek kafa’ah ini berkembang sesuai adat istiadat misalkan seseorang yang bersuku Lampung harus menikah dengan yang bersuku Lampung pula, suku Jawa dengan Jawa dan lain-lain, hal ini juga terjadi dalam masyarakat Arab dimana seseorang laki-laki Arab harus menikah dengan perempuan bersuku Arab pula, karena dimungkinkan jika memiliki kesamaan suku akan lebih mudah bersosialisasi baik antar personal suami dan istri, begitu pula bergaul dan berinteraksi dengan kedua keluarga besar. Pada masa modern sekarang ini pendidikan juga memiliki andil dalam kafa’ah, Jika seseorang memiliki pendidikan yang sama akan lebih mudah utuk bersosialisasi dalam berbagai hal, baik dalam interaksi, interpersonal maupun lingkungan disekitar. 62. Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 36..

(47) 35 dalam keluarga dan masyarakat.63Meskipun demikian Allah swt menempatkan manusia sama dalam hal derajat dan kedudukannya. Hal ini disebutkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 :.                        “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”64. Apabila pernikahan yang dilakukan oleh dua calon pasangan suami istri tidak memerhatikan prinsip kesetaraan, rumah tangganya akan mengalami kesulitan untuk saling beradaptasi, sehingga secara psikologi keduanya akan terganggu. Misalnya, suaminya anak konglomerat, sedangkan istrinya anak orang melarat. Kemungkinan besar jika terjadi konflik, pihak istri yang miskin akan mudah dihinakan oleh pihak suaminya. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, prinsip kesetaraan dilaksanakan untuk dijadikan patokan dalam membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.65 Namun keadaan manusia itu tidak selalu sempurna dan selalu saja ada kekurangannya, sehingga jarang sekali didapati seseorang calon suami atau calon 63. Siti Fatimah, “Konsep Kafa‟ah Dalam Pernikahan Menurut Islam” tersedia di: http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index.php/assalam/article/view/56/53diakses 15 Mei 2018 64 Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 517. 65 Beni Ahmad Saebani, Op.Cit. h. 200..

(48) 36 istri yang memiliki faktor-faktor tersebut secara menyeluruh. Apabila faktorfaktor tersebut tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus diutamakan adalah faktor agama. Sebab berbeda agama mempunyai kemungkinan kegagalan yang lebih besar daripada yang seagama. Tercapainya tujuan pernikahan memang tidak mutlak ditentukan oleh faktor kesepadanan semata, tetapi hal tersebut bisa menjadi penunjang yang utama dan faktor agama serta akhlaklah yang lebih penting dan harus diutamakan.. F. Kedudukan Kafa’ah Dalam Membentuk Rumah Tangga Sakinah Salah satu pertimbangan dalam menentukan calon pasangan baik suami maupun istri adalah pertimbangan kafa’ah. Tujuan disyari‟atkannya kafa’ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang mempelai yang tidak sekufu’ (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan pasangan suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin kelangsungan kehidupan rumah tangga.66 Para Imam empat mazhab menyatakan bahwa kafa’ah adalah syarat lazim dalam perkawinan bukan syarat sah sebuah akad pernikahan. Jika perempuan yang tidak setara maka akad tersebut sah. Sedangkan syarat sahnya pernikahan adalah apabila syaratnya terpenuhi, maka terjadilah pernikahan. Syarat pertama adalah halalnya seorang perempuan bagi suami yang menjadi pendampingnya. Artinya tidak diperbolehkan perempuan yang hendak dinikahi itu berstatus. 66. Mufidah, Psikologi Keluarga Islam (Malang: UIN Maliki Press, 2013), h. 77..

(49) 37 sebagai muhrimnya dengan sebab apapun, yang mengharamkan pernikahan mereka berdua, baik itu bersifat sementara maupun selamanya. Syarat yang kedua adalah saksi yang mencakup hukum kesaksian dalam pernikahan. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan.67 Islam pada dasarnya tidak menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikah dengan perempuan yang sama dengannya. Islam juga tidak menjadikan perbedaan kedudukan, harta, pendidikan, suku maupun fisik sebagai penghalang dalam pernikahan, karena Islam tidak membuat aturan mengenai kafa’ah, tetapi manusialah yang menetapkannya, sebab yang menjadi ukuran dalam Islam adalah agamanya dan Islam memandang bahwa manusia diciptakan adalah sama. Ada hal yang dapat mempengaruhi terjadinya kerukunan dalam rumah tangga yaitu antara suami istri memiliki kesepadanan. Keharmonisan dan kebahagiaan dalam suatu rumah tangga sangat ditentukan oleh keharmonisan pasangan tersebut. Tidak diragukan lagi jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sapadan, maka suami istri akan terhindar dari kegagalan atau kegoncanan rumah tangga.68 Bahwa manusia itu sama dalam hak-hak dan kewajiban, mereka tidak lebih utama dari kecuali dengan ketakwaan. Sedangkan selain ketakwaan yang berdasarkan nilai kepribadian yang berlandaskan tradisi dan adat istiadat, maka pasti diantara manusia saling memiliki perbedaan. Ada perbedaan dalam sisi rezeki dan kekayaan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalan surat an-Nahl ayat 71: 67. Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit. h. 223. Anshari Taslim, Indahnya Nikah Sambil Kuliah, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 181. 68.

(50) 38.          “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki”69. Secara akal pun, yang namanya kafa’ah ini sangat diterima, karena sudah menjadi pengetahuan umum yang semua orang tahu, bahwa kesamaan status dan kesepadanan strata antara kedua pasangan itu menjadi salah satu faktor keharmonisan keluarga, karena bagaimana pun kafa’ah mempunyai pengaruh atas lancar atau tidaknya sebuah hubungan keluarga. Maka kafa’ah ini sebagai faktor yang dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan menjadi bahan perhitungan juga. Namun walaupun kafa’ah ini dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami dan calon istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita dan walinya dan kafa’ah atau tidaknya pasangan tersebut dilihat dari perempuannya bukanya dari laki-laki. Perempuanlah yang dijadikan patokan apakah laki-laki jodohnya itu sekufu’ dengannya atau tidak. Karena sesuatu perkawinan yang tidak seimbang atau serasi akan menimbulkan problema berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Namun semua itu juga tergantung kepada pasangan tersebut yang akan menjalankan bahtera kehidupan rumah tangga kedepannya. Kisah pernikahan Fathimah binti Qais dengan Usamah bin Zaid merupakan gambaran bahwa kedudukan dan kehormatan bukan merupakan aspek utama kafa’ah, Fathimah. 69. Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 274..

(51) 39 binti Qais adalah perempuan terhormat, cantik dan termasuk golongan orang hijrah yang pertama, sedangkan Usamah bin Zaid adalah seorang budak, padahal ketika itu Mu‟awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm datang meminang. Mu‟awiyah adalah seorang bangsawan. Dilihat dari aspek ini, Mu‟awiyah sangat pantas untuk memperistrinya, tetapi Rasulullah menyuruh Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usman bin Zaid.70 Sehingga ketika itu Allah swt berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13:.                       . “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”71. Ayat diatas menegaskan bahwa orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa kemuliaan itu ditentukan oleh ketakwaan kita. Sebenarnya menurut Iman Malik, kafa’ah ini khusus untuk kesepadanan dalam agama, iman taqwa dan juga akhlaknya. Bahwa orang yang bagus agamanya, ia sekufu’ dengan pasangan yang. 70. Mohammad Fuazil Adhim, Di Ambang Pernikahan (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),. h. 74. 71. Departemen Agama RI, Op.Cit. h, 517..

(52) 40 bagus pula agamanya. Imam Syafi‟i pun mendukung pendapat ini. Bahwa kafa’ah berlaku dalam bidang agama..

(53) 41 BAB III GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN DOSEN TERHADAP KONSEP KAFA’AH. A. Gambaran Umum Fakultas SyariahUIN Raden Intan Lampung 1. Sejarah dan Perkembangan Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung merupakan salah satu dari lima Fakultas di lingkungan IAIN Raden Intan Lampung saat ini. Keberaaan Fakultas ini mempunyai sejarah yang panjang sejak didirikan pada tahun 1968. Sejarah berdirinya Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung tidak terlepas dari sejarah berdirinya IAIN Raden Intan Lampung, yaitu melalui musyawarah Alim Ulama Daerah Lampung di Metro sebagai ibu kota Lampung Tengah ketika itu, dalam rangka membentuk Yayasan Sejahtera Islam Lampung (YKIL) pada tahun 1963, yang membidani berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Pada tahun itulah (1963) berdirinya PTAI dengan membuka 2 (dua) Fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari‟ah di Lampung di bawah binaan dan santunan YKIL dengan lokasi perkantoran dan perkuliahan ditempatkan di aula Fakultas hukum Unsri jalan Hasanuddin No. 1 Telukbetung. Setelah berjalan beberapa bulan perkuliahan kedua Fakultas tersebut dialihkan ke Masjid Jami‟ Lungsir Telukbetung, yang sekarang bernama masjid Jami‟ al-Furqon. Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan didirikan bersama dengan peresmian IAIN Raden Intan Tanjungkarang dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nnomor 187 Tahun 1968 tanggal 26.

(54) 42 Oktober 1968 pada masa kepemimpinan Rektor pertama Muktamar Hasan, S.H. yang berlokasi di Jalan Raden Fattah Kaliawi Tanjungkarang.Pada masa transformasi menjadi perguruan tinggi negeri berdasarkan SK Menteri Agama RI No. 187 tahun 1968, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung memiliki dua jurusan yaitu Jurusan Peradilan Agama atau Qodho‟ dan Jurusan Perdata Pidana Islam. Sesuai dengan kebijakan Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) pada tahun 1995, maka dua jurusan tersebut dikembangkan menjadi tiga program studi, yaitu al-Ahwal al-Syakhsiyah (AS) atau hukum keluarga/perdata, Mu‟amalah (M) atau Hukum Ekonomi dan Bisnis, dan Jinayah Siyasah (JS) yang kemudian berubah menjadi jurusan Siyasah (S) atau Hukum Tata Negara. Pada tahun 2006 fakultas Syari‟ah membuka lagi jurusan Ekonomi Islam (EI) dan pada tahun 2013 dibuka lagi jurusan baru Perbankan Syari‟ah (PS). Jadi sampai pertengahan tahun 2015 Fakultas Syari‟ah menyelenggarakan lima jurusan, yaitu Hukum Keluarga, Hukum Ekonomi dan Bisnis, Hukum Pidana dan Politik, Ekonomi Islam dan Perbankan Syari‟ah, sedangkan pada tahun 2016 Fakultas Syari‟ah menyelenggarakan konsentrasi ilmu hukum dan kelas internasional. Sejalan dengan pengembangan kelembagaan yang dilakukan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Islam (Dirjen Pendis), maka pada tahun 2015 dibuka fakultas baru yaitu Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) sebagai pengembangan (pecahan) dari Fakultas Syari‟ah. Dua jurusan yang ada sebelumnya ada di Fakultas Syari‟ah yaitu Ekonomi Islam dan Perbankan Syari‟ah turut dipindah keseluruhannya, baik mahasiswa lama dan baru.

(55) 43 maupun dosennya, ke FEBI tersebut. Dengan demikian Fakultas Syari‟ah menyelenggarakan empat jurusan, yaitu Hukum Keluarga (AS), Hukum Ekonomi dan Bisnis (M), Hukum Pidana dan Politik yang berubah menjadi Hukum Tata Negara atau Siyasah (S) dan Ilmu Hukum (IH), tersebut dibentuknya kelas internasional untuk jurusan Siyasah.72. 2. Visi, Misi dan Tujuan Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung a. Visi : Menjadikan Fakultas yang unggul dan komperatif dalam pendidikan, pengkajian dan pengembangan hukum Islam dan ilmu hukum secara integratif, yang berwawasan keIslamian, kemanusiaan, dan keindonesiaan, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. b. Misi : 1)Melaksanakan pendidikan yang berkualitas dalam hukum Islam dan ilmu hukum terkait secara integratif, baik dalam bidang hukum perdata atau keluarga, hukum ekonomi, hukum tata negara, hukum pidana, dan sebagainya. 2) Melakukan penelitian, pengkajian dan pengembangan hukum Islam dan ilmu hukum terkait di bidangnya. 3) Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat sesuai bidangnya serta kerjasama yang simbiotif dengan berbagai lembaga dalam dan luar negeri.. 72. Buku Profil Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung 2016..

Referensi

Dokumen terkait