• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP KAFA’AH DALAM PERKAWINAN

D. Konsep Kafa’ah Menurut Para Ulama dan Perundang

Tidak disebutkan secara jelas tentang konsep kafa’ah perkawinan dalam al-Qur‟an, sehingga kriteria yang digunakan untuk menentukan kafa’ah, ulama berbeda pendapat. perbedaan pendapat dikalangan para ulama ini selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana ulama tersebut tinggal, juga disebabkan karena adanya perbedaan menggunakan dalil-dalil dan cara berijtihad diantara mereka, sehingga keadaan berijtihad mengakibatkan perbedaan dalam fiqih sebagai hasil ijtihad, yang secara lengkap diuraikan sebagai berikut:43

Hanafi Maliki Syafi‟i Hambali

Nasab Islam Hirfah Diniyah Kemerdekaan Kekayaan Diniyah

Bebas dari cacat

Nasab Diniyah Kemerdekaan Profesi Diniyah Profesi Kekayaan Kemerdekaan Nasab 43Wahbah az-Zuhaili, Ibid. h. 223.

24

Ulama sepakat menempatkan diniyah atau tingkat ketaatan beragama sebagai kriteria kafa’ah bahkan menurut ulama Maliki hanya inilah satu-satunya yang dapat dijadikan kriteria kafa’ah itu.44 Kesepakatan tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat as-Sajdah ayat 18:



















“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama.”45

Abu Hanifah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ahmad,berpendapat bahwakriteria kafa‟ah hanya terbatas pada faktor agama dannasab saja. Akan tetapimenurut riwayat lain, madzhab ini juga mengakuikriteria kafa‟ah dari segi agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dankekayaan. Sama halnya dengan madzhab Syafi‟i, mereka mengakui beberapasegi yang perlu diperhatikan dalam kafa‟ah yaitu agama, nasab, kemerdekaandan pekerjaan.Namun di kalangan para sahabat Syafi‟i juga ditemukanpendapat yang menyatakan bahwa mereka juga mengakui kriteria kafa‟ah darisegi bebas cacat.Sedangkan dari kalangan Hanabilah ditemukan dua sumberyang berbeda. Sumber pertama mengatakan bahwa Ahmad mempunyai ideyang sama dengan Syafi‟i, dengan catatan Ahmad mengeluarkan urusan bebasdari aib secara jasmani. Sumber kedua menyebutkan Ahmad hanyamencantumkan unsur taqwa dan nasab sebagai kriteria kafa‟ah.46

44Amir Syarifuddin, Op.Cit. h. 141.

45Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 416.

46Muhammad Abū Zahrah, Al-Ahwāl Asy-Syakhsiyyah (Kairo: Dār Fikr al-Arabi,1957), h. 163.

25

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masalah kafa’ah dalam perkawinan menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama. Masing-masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah ini. Jika diamati, perbedaan ini terjadi karena perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana

kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melestarikan kehidupan rumah tangga.

Dengan demikian, jika suatu segidipandang maupun menjalankan peran dan fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak mungkin segi tersebut dimasukkan dalm kriteria kafa’ah. Dari penjelasan kriteriakafa’ah diatas dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Agama

Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah yang paling esensial. Penempatan agama sebagai unsur kafa’ah tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Hal ini karena Islam menjadi syarat sah dalam melangsungkan pernikahan. Agama juga dapat diartikan dengan kebaikan, istiqamah. Mengenai kafa’ah dalam agama, lelaki harus sama dengan perempuan dalam kesucian dan istiqamah. Apabila lelaki fasik pezina, maka ia tidak sekufu’ bagi perempuan yang suci, walaupun lelaki telah bertaubat dan taubatnya sungguh-sungguh, karen taubat dari zina tidak menghapus nama buruk. Apabila lelaki fasik selain fasik zina, seperti peminum khamar dan pendusta kemudian bertaubat, maka ia kufu’ bagi perempuan istiqamah. Maka sepatutnyalah perempuan sekufu’ dengan laki-laki yang menjaga kehormatan dan kesuciannya.47

26

2. Nasab

Maksud nasab disini adalah keturunan seseorang yang berkenaan dengan latar belakang keluarganya baik menyangkut suku, kebudayaan, maupun status sosialnya. Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan „Ajam, kedua golongan Arab. Riwayat Hakim dari Ibnu Umar bahwa Rasullah saw, telah bersabda:

َس َهاَق : َهاَق اَََُْْٖع ُللها َيِضَس َشََُع ِِْبا َِِعَٗ

َأ ٌُُْٖضْعَب ُبَشَعْىا ٌََيَس َٗ ِْٔيَيَع ُللها َوَص ِللها ُه ُْ٘س

،ٍضْعَب ُءاَفْمَأ ٌُُْٖضْعَب ِٚى اَََْ٘ىاَٗ ،ٍضْعَب ُءاَفْم

}ٌَِم اَحْىا ُٓاََٗس{ .ًٌاَّجَح َْٗأ ًلِٙاَح اَىِإ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu „anhuma bahwa Rasulullah saw. Bersabda,“Bangsa Arab itu sama derajatnya satu lain, dan kaum mawali (bekas hamba yang telah dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenun dan tukang bekam.” (HR. al-Hakim).48

Dengan ditetapkannya nasab sebagai kriteria kafa’ah, maka orang ajam dianggap tidak sekufu’ dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku Quraisy dipandang tidak sekufu’ dengan orang Arab yang berasal dari suku Quraisy. Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari keturunan yang sama, tidak hanya lainnya.49

48

Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram dan Dalil-Dalil Hukum, terjemahan Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin (Jakarta: Gema Isnani, 2013), h. 438.

49Ahmad bin „Umar Ad-Dairabi, Fiqih Nikah, Penerjemah Heri Purnomo dan Saiful Hadi (Jakarta: Mustaqiim, 2003), h. 199.

27

3. Kemerdekaan

Kriteria tentang kemerdekaan ini sangat erat kaitannya dengan masalah perbudakan. Jumhur ulama selain Malikiyyah memasukkan merdeka dalam kafa‟ah berdasarkan Al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 75:

























































“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama?”50

Ayat diatas mejelaskan bahwa seorang budak dimiliki oleh orang tuanya dan dia tidak dapat melakukan sesuatu pun termasuk menafkahkan hartanya sesuai dengan kenginginannya kecuali atas perintah tuannya. Akan tetapi orang merdeka bebas melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa menunggu perintah dari siapapun. Jadi budak laki-laki tidak sekufu‟ dengan perempuan merdeka, budak laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu‟ dengan perempuan yang merdeka sejak lahir.51Menurut Hanafi laki-laki bangsa „Ajam yang alim, lagi miskin sekufu’ dengan perempuan bangsa Arab yang jahil lagi kaya, bahkan sekufu’ juga dengan perempuan Syarifah keturunan „Alawiyah.

50Departemen Agama RI, Op.Cit. h. 272.

28

Karena kemuliaan ilmu pengetahuan diatas dari kemuliaan kebangsaan dan kekayaan. Demikian pendapat Ibnu Hamman dari ulama Hanafiah.52

4. Pekerjaan

Yang dimaksudkan dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan segala sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik perusahaan maupun yang lainnya. Pekerjaan seseorang adakalanya menimbulkan perasaan kebanggaan ataupun kehinaan pada dirinya. Oleh sebab itu, apabila ada seorang wanita dan suatu keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak sekufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaanya itu hampir bersamaan tingkatnya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan terhormat pada suatu tempat, kemungkinan satu ketika dipandang tidak terhormat disuatu tempat dan masa yang lain.53

5. Kekayaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan manusia terdapat statifikasi sosial, diantara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Para ulama mazhab Syafi‟i berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ada yang menjadikannya ukuran kufu’. Jadi orang fakir menurut mereka tidak kufu’ dengan perempuan kaya. Mereka berkata pula bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai istrinya adalah dibawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu‟

52Mahmud Junus, Op.Cit. h. 76.

29

karena kekayaan itu sifatnya datang dan pergi sewaktu-waktu, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.

Golongan Hanafi menganggap bahwa kekayaan menjadi ukuran kufu’. Dan ukuran kekayaan disini yaitu memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah. Bagi orang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah, atau salah satu diantaranya, maka dianggap tidak kufu’. Dan yang dimaksud dengan kekayaan untuk membayar mahar yaitu sejumlah uang yang dapat dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta.

Tetapi menurut Abu Yusuf, kemampuan atas mahar tidak merupakan syarat kafa’ah dalam kekayaan. Selama seorang suami mampu memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan nafkah dari satu hari ke hari berikutnya, maka ia dianggap termasuk kedalam kelompok yang mempunyai

kafa’ah. Abu Yusuf beralasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah

yang lebih penting untuk menjalin kehidupan rumah tangga kelak. Sementara mahar dapat dibayar siapa saja di antara keluarganya yang mempunyai kemampuan misalnya bapak atau kakek. Karena kalau perempaun yang kaya bila berada ditangan suami yang melarat akan mengalami bahaya. Sebab suami menjadi susah dalam memenuhi nafkahnya dan jaminan anak-anaknya. Masyarakat juga menganggap kekayaan merupakan suatu kehormayan sebagaimana keturunan, bahkan nilainya lebih tinggi.54

6. Bebas dari cacat

54Sayyid Sabiq, Op.Cit. h. 46.

30

Sebagai kriteria kafa’ah, bebas dari cacat ini hanya diakui oleh ulama Maliki tapi dikalangan sahabat Imam Syafi‟i ada juga yang mengakuinya. Sementara mazhab Hanafi maupun Hambali, keberadaan cacat tersebut tidak menghalangi kufu’nya seseorang. Walaupun cacat tersebut dapat menghalangi kesekufu’an seseorang, namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan. Karena keabsahan bebas dari cacat sebagai kriteria kafa’ah hanya diakui manakala pihak wanita tidak menerimanya. Hanaya pihak perempuan yang mempunyai hak untuk menerima atau menolak, dan bukan walinya. Karena resikonya tentu dirasakan oleh perempuan. Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan untuk manuntut fasakh.55

Adapun yang dapat menentukan kufu‟ adalah laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki yang dikenai syarat bahwa ia harus kufu‟ dengan perempuannya, bukan sebaliknya perempuan harus kufu’ dengan laki-laki.

َجَٗ َزَح َٗ اََٖقَخْعَا ٌَُث اَْٖيَىِا ََِسْحَا َٗ اَََْٖيِيْعَح ََِسْحَاَٗ اََََٖيَعَف ٌتَي ِساَج ُٓ َذِْْع ََُام ٍَِْ

.ُِاَشْجَا َُٔيَف اَٖ

}ٌيسٍٗ ٙس اخبىا ٓ اٗس{

“Barang siapa yang mempunyai seorang budak perempuan lalu diajarkannya dengan pelajaran yang baik kepadanya, kemudian dimerdekakan terus dinikahinya, maka baginya dua pahala.”(H.R. Bukhari dan Muslim)56

55Sayyid Sabiq, Ibid. h. 47.

56Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu Wal Marjan, Penerjemah H. Salim Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 488.

31

Latar belakang keturunan dan harta kekayaan menjadi pertimbangan dalam memilih calon suami, dimana perempuan yang ingin menikah harus meminta persetujuan dari orang tua ataupun walinya. Meskipun perempuan boleh memilih pasangan hidupnyanamun diupayakan agar ia tidak menikah dengan laki-laki yang derajatnya berada di bawahnya atau di bawah keluarganya. Sebab menikahkan perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu’ berarti memberi aib kepada keluarganya. Karena itulah hukumnya tidak boleh kecuali walinya ridha. Jika wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dinikahkan, sebab wali berhak menghalangi nikahnya perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu’. Jadi kalau kalau mereka semua setuju semua sudah setuju maka hilanglah halangannya.

Kafa’ah diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu dan tidak membatalkan apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikah, karena syarat-syarat pernikahannya hanya diukur ketika berlakunya akad nikah. Jika pada waktu akad nikah pekerjaan suami itu mulia dan mampu memberi nafkah istrinya atau orang yang saleh, kemudian dikemudian hari terjadi perubahan, maka akad nikahnya tetap sah. Bila terjadi suami seperti ini, maka istri hendaklah bersabar dan bertakwa kepada Allah karena dengan sabar dan takwa kepada Allah SWT niscaya pertolongan akan datang.57

Kafa’ah menjadi perbincangan hampir disemua kitab fiqih dan sama sekali

tidak disinggung oleh undang-undang perkawinan tetapi disinggung sekilas dalam

57Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 62.

32

Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 61 dalam membicarakan pencegahan perkawinan dan yang diakui sebagai kriteria kafa’ah itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama, yaitu kualitas beragama.

Pasal 61

Tidak se-kufu‟ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu‟ karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.58

Oleh karena itu konsep kafa’ah yang masih memprioritaskan nasab bertentangan dengan peraturan yang terdapat didalam Kompilasi Hukum Islam yang hanay bersandar pada agama yang artinya bahwa, tidak ada pencegahan perkwinan atas dasar tidak sekufu kecuali memiliki perbedaan agama.

Pencegahan perkawinan hanya dapat dilakukan kalau dilakukan atas dasar hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa perkawinan antar suku atau antar daerah di Indonesia dengan latar belakang adat yang berbeda sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat, sehingga tolak ukurnya tidak lagi suku tetapi agama. Hal ini diperkuat lagi Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Kata “itu” diakhiri ketentuan ini berarti bahwa kepercayaan yang dimaksud terkait dengan agama yang dianut oleh seorang warganegara.

33

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaan itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.59

Jadi pemilah-milahan antar bangsawan dengan bukan bangsawan atau keturunan raja dengan bukan keturunan raja merupakan peninggalan dari kebudayaan tertentu yang melihat orang berkasta-kasta. Hal ini tidak relevan dengan pandangan kesetaraan dalam Islam.60 Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan soal mengenai orang-orang yang bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga merupakan kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat adatpun ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Bagi hukum adat perkawinana itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan.61

Dokumen terkait