• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. proses saling ketergantungan antarbangsa. Hal ini terlihat dalam berbagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. proses saling ketergantungan antarbangsa. Hal ini terlihat dalam berbagai"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.3 Latar Belakang

Abad XXI merupakan masa dengan bahasa memegang peranan penting dalam proses saling ketergantungan antarbangsa. Hal ini terlihat dalam berbagai perkumpulan bangsa, seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN, maupun APEC, yang mengutamakan bahasa Inggris tanpa mengabaikan bahasa yang lain dalam komunikasi antarbangsa. Pada konteks ini, bahasa tidak hanya menjadi urusan ahli bahasa dan mahasiswa ilmu bahasa, melainkan juga menjadi urusan pebisnis, politikus, negarawan, dan ahli-ahli ilmu alam untuk menyampaikan dan menyerap informasi. Bahkan, peristiwa yang diinformasikan oleh surat kabar, televisi, dan internet dalam bahasa tertentu dengan cepat diterjemahkan dalam bahasa penerima informasi, sehingga segenap unsur suatu bangsa dapat dengan cepat dan tepat mengambil sikap atas informasi tersebut. Hasil terjemahan tersebut harus sesuai antara yang disampaikan dengan yang diterima oleh seseorang. Oleh karena itu, proses penerjemahan bahasa tidak semata-mata pengalihaksaraan melainkan juga pemindahan budaya secara tepat dengan padanan budaya dalam bahasa masyarakat asal bahasa dan penerima hasil terjemahan bahasa tersebut.

Budaya mencakup pola pikir masyarakat, baik yang tersirat maupun tersurat. “I define culture as the way of life and its manifestations that are peculiar to a

(2)

1988:94). Budaya merupakan cara hidup suatu bangsa yang terbentuk karena pola pikir masyarakat yang meliputi kesenian, masyarakat, kepercayaan, adat, nilai-nilai, hasil penemuan, dan bahasa. Di dalam hal ini, bahasa menjadi bagian dari budaya sekaligus menjadi sarana penyampaian budaya, baik dengan menggunakan bahasa sumber maupun bahasa translasi

Di dalam hubungan bahasa dan budaya, di satu sisi bahasa merupakan objek kajian penerjemahan sedangkan di sisi lain bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa penerjemahan melibatkan unsur budaya, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Budaya penerjemah akan mempengaruhi hasil translasi, khususnya struktur translasinya. Itulah sebabnya ditemukan bahwa suatu ide yang sama tidak akan direalisasikan ke dalam struktur, khususnya Tema yang sama dalam bahasa yang berbeda. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan budaya penutur bahasa tersebut, sehingga tidak bisa satu ide disampaikan dalam dua bahasa dengan struktur Tema yang sama. Hal inilah yang menjadi kendala ataupun kesulitan di dalam menerjemah. Dengan demikian, kemampuan menerjemah memerlukan pengetahuan dan wawasan yang luas tidak hanya mencakup aspek pengetahuan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga budaya pemakai bahasa tersebut.

Ditinjau dari segi sejarah, menurut Newmark (1994:4), kegiatan penerjemahan telah dilakukan sejak 3000 SM, pada masa pemerintahan kerajaan Mesir Tua di daerah Riam Pertama, Elephantin, dengan ditemukannya batu-batu bersurat yang ditulis dalam dua bahasa. Pada 300 SM, penerjemahan menjadi kegiatan yang penting di

(3)

dunia Barat, khususnya orang-orang Roma yang menyerap unsur budaya Yunani, termasuk keagamaan mereka. Pada abad ke-12, dunia Barat berhubungan dengan Islam di Spanyol semasa kekuasaan bangsa Moor di Spanyol.

Hubungan Barat dengan Islam membawa pengaruh terhadap kegiatan translasi. Yusuf (1994:34-35) mengatakan bahwa sebelum Islam meluaskan pengaruh ke Eropa, maka Kota Baghdad menyandang julukan sebagai kota terjemah, tempat orang-orang dari Timur Tengah menerjemahkan karya-karya klasik Aristoteles, Plato, Hippocrates, dan lain-lain ke dalam bahasa Arab. Akan tetapi, penyerbuan bangsa Mongolia telah menghancurkan Baghdad, sehingga kegiatan ilmiah ini berpindah ke Eropa. Kota Toledo di Spanyol pun mendapat julukan sebagai kota para penerjemah, tempat naskah-naskah karya ilmuwan muslim diselamatkan dari kehancuran dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Penerjemahan yang besar-besaran, baik di Baghdad maupun Toledo, memiliki perbedaan dalam hal bahasa dan budaya. Menurut Storig (1963) dalam Newmark (1994:3), kondisi seperti itu menimbulkan (1) perbedaan budaya dari segi nilai (budaya Barat lebih rendah tetapi suka mencari informasi secara objektif dan mudah menerima buah pikiran yang baru); dan, (2) hubungan dunia Barat dan Islam berterusan antara kedua bahasa.

Meskipun demikian, penerjemahan dari bahasa dan budaya yang satu ke dalam bahasa dan budaya yang lain tidak selamanya berlangsung baik. Newmark (1994:3) mengatakan bahwa penerjemahan Kitab Injil oleh Luther pada tahun 1522 telah meletakkan asas bagi bahasa Jerman modern dan terjemahan Kitab Injil King James

(4)

pada 1611 memberi pengaruh dalam mendorong bahasa dan sastra Inggris. Akan tetapi, Yusuf (1994:34) mengatakan bahwa penerjemahan Kitab Suci Perjanjian Baru ke dalam bahasa Latin pada tahun 384 mendapat tantangan dan tentangan dari sekelompok manusia yang tidak menyetujui penerjemahan dan penafsiran secara bebas. Bahkan, translasi Al Qur’an ke dalam bahasa Perancis dan bahasa lain di Eropa banyak yang tidak diakui kebenarannya oleh ulama Islam dan diminta oleh dinasti Muwahiddin untuk dimusnahkan. Hal itu karena penerjemahan kitab suci umat Islam tersebut tidak dikerjakan dari bahasa aslinya, melainkan bersumber dari terjemahan Jerman dan Italia.

Berbagai kasus dalam proses penerjemahan dan penerimaan masyarakat terhadap hasil penerjemahan telah menjadikan translasi atau penerjemahan menemukan bentuk yang lebih sistematis. Hal itu terlihat pada abad ke-20 yang menjadi ‘zaman penerjemahan’ atau ‘zaman penyalinan semula’. Pada abad ini penerjemahan merupakan kegiatan yag sangat penting mengingat peranan atau manfaatnya. Pertama, dalam ilmu pengetahuan (khususnya sastra dan bahasa). Kedua, dalam bidang politik, sejak adanya pembentukkan perserikatan atau organisasi antarbangsa. Ketiga, peningkatan teknologi yang berlipat ganda (dari segi paten, arahan pembuatan, perbahanan), usaha membawa masuk teknologi tersebut ke dalam negara-negara berkembang, penerbitan buku-buku yang sama secara serentak di berbagai negara, dan meningkatnya hubungan saling ketergantungan masyarakat dunia telah menimbulkan keperluan penerjemahan yang semakin bertambah.

(5)

Newmark (1994:4) membuktikan dalam tahun 1967, sebanyak 80.000 jurnal saintifik diterjemahkan setiap tahun. Sebagian penulis ‘antarbangsa’ mendapati karya mereka yang diterjemahkan mengalami perluasan pesan dibandingkan dengan karya asli mereka. Demikian juga di Italia dan beberapa negara kecil di Eropa, mereka bergantung hidup pada penerjemahan karya asli mereka selain hasil translasi yang dilakukan pada karya orang lain. Penerjemahan karya penulisan dalam bahasa-bahasa ‘sedikit’ terutama di negara-negara berkembang masih amat terbengkalai. Secara umum, penerjemahan pada masa ini dibicarakan dari segi (1) pertentangan antara translasi bebas dengan translasi harfiah dan (2) pertentangan antara kemustahilan sejadinya dengan keperluan mutlaknya.

Di dalam pertentangan translasi, Cicero (55 SM) dalam Newmark (1994:5) pertama kali memperjuangkan pendekatan dengan fokus pengertian lebih utama daripada perkataan dan menyatakan seorang penerjemah haruslah bersifat sebagai penafsir atau orang yang pintar menggunakan bahasa yang berkesan. Tylor (1790) dalam Newmark (1994:5) menulis buku pertama tentang pentingnya penerjemahan. Ia menyatakan bahwa satu-satuya translasi yang baik merupakan satu hasil yang dapat menyerap kebaikan/pesan karya asal ke dalam bahasa lain, sehingga dapat dipahami oleh penutur asli tersebut seolah-olah hasil translasi itu merupakan hasil asli dalam bahasa tersebut.

Newmark (1994:5) membagi para penerjemah abad ke-19 dalam dua kelompok. Kelompok pertama cenderung pada translasi yang harfiah sebagaimana dilakukan oleh Goethe (1813 dan 1814), Humboldt (1816), Novalis (1798)

(6)

Scheleirmacher (1813), dan Nietzshce (1882). Kelompok kedua lebih menyenangi gaya translasi yang mudah dan langsung sebagaimana dilakukan oleh Mattew Arnold (1928). Kegiatan penerjemahan abad 19 tersebut mendapat tantangan pada abad ke-20 karena Croce (1922), Ortegay Gassett (1937), dan Valery (1946) mempersoalkan apakah mungkin akan ada translasi yang memuaskan, terutama bagi karya puisi. Di antara kedua kelompok ini, Benjamin (1923) mencadangkan translasi harfiah dengan suatu ungkapan bermakna bahwa, “Ungkapan merupakan dinding yang menjadi benteng pemisah bagi bahasa asal, sedangkan translasi perkataan demi perkataan adalah lorongnya.” Inilah pandangan yang terdapat pada zaman translasi pralinguistik. Selanjutnya, dengan bertambahnya jumlah penerjemah dan kumpulan translasi, maka teori penerjemahan juga bertambah. Teori penerjemahan berpuncak pada bidang linguistik bandingan dan bidang linguistik itu sendiri.

Translasi dalam kaitannya dengan Tema dan Rema merupakan sumber untuk menentukan kaitan pemikiran, ide, atau makna. Tema menyatakan subjek wacana yang biasanya dirujuk atau berturutan secara logis terhadap ungkapan sebelumnya. Rema adalah unsur yang baru, predikat leksikal, yang memberi informasi tentang Tema. Pengenalan Tema dan Rema bergantung pada konteks yang lebih luas. Misalnya ungkapan “He discussed this subject” diterjemahkan “Dia membincangkan perkara ini,” adalah rentetan logis yang merupakan parafrase seperti “This subject offered him the opportunity he required for discussing it.“ (Perkara ini memberi peluang yang diperlukan olehnya untuk membincangkannya.) Dari segi leksikal, this subject, “perkara ini” adalah Tema dan he discussed “yang dibincangkannya” adalah

(7)

Rema. Dengan demikian, ada konflik di antara rentetan logis (“He discussed this subject”) dan bentuknya yang lebih berpadu mungkin berbentuk “This was the subject he discussed” yang perlu diselesaikan oleh penterjemah. Penerjemah perlu mempertimbangkan antara rentetan logis yaitu subjek/bernyawa, kata kerja, objek tepat yang tak bernyawa, yang jelas dan bebas konteks dan rentetan yang ditentukan oleh tekanan dan faktor kepaduan.

Dalam kaitannya dengan penjelasan Tema dan Rema dalam translasi di atas, penelitian ini juga berkonsentrasi pada tematisasi di dalam translasi bahasa Inggris dan Indonesia. Yang dikaji di dalam tematisasi ini adalah unsur Tema dan Rema yang terdapat di dalam teks dan translasinya. Unit bahasa yang terletak di awal klausa disebut sebagai Tema dan Rema terdapat sesudah Tema. Kajian tematisasi ini berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman sebelumnya, ketika membaca berbagai teks, seringkali ditemukan pergeseran Tema dalam bahasa Inggris dan Indonesia di dalam translasinya. Hal inilah yang menjadikan peneliti tertarik meneliti pergeseran Tema ini.

Penelitian terhadap data diolah dengan menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang menyatakan bahwa bahasa berkaitan dengan konteksnya, saling menentukan teks dan merujuk kepada konteks. Hubungan teks dan konteks ini disebut dengan hubungan konstrual semiotik. Menurut Martin (1992) dalam Saragih (2006:226), hubungan teks dan konteks terjadi dalam konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks ideologi (ideology). Menurut Saragih (2006:227), konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena berhubungan dengan teks,

(8)

sedangkan konteks yang sangat abstrak adalah konteks ideologi, dan di antara keduanya terdapat konteks budaya.

Systemic Functional Linguistics adalah suatu model tata bahasa yang dikembangkan oleh Michael Halliday pada 1960-an yang merupakan bagian dari sosial semiotik bahasa yang disebut pendekatan sistemik linguistik. Istilah “sistemik” mengacu pada pandangan tentang bahasa sebagai “suatu sistem jaringan, atau rangkaian yang saling terkait untuk membuat pilihan yang berarti” sedangkan istilah “fungsional” menunjukkan bahwa pendekatan ini berkaitan dengan konteks, praktis yang menggunakan bahasa berfokus pada komposisi semantik, sintaksis, dan kelas kata seperti kata benda dan kata kerja.

Berikut ini merupakan pendapat yang diutarakan oleh Halliday dan Hassan (1985:11) tentang teks.

A text is a form of exchange, and the fundamental form of text is dialougue of interaction between speakers. It means that every text is meaningful because it can be related to interaction among speakers, and ultimate to normal everyday spontaneous dialougue. In view of that, text is a product of envirenment, a product of a continous process of choices in meaning that can be represented in language.

(Teks adalah sebuah bentuk pertukaran dan bentuk teks yang fundamental adalah dialog interaksi antar pembicara. Ini berarti setiap teks memiliki makna karena bisa dihubungkan dengan interaksi antar pembicara dan satu-satunya alat bagi percakapan umum sehari-hari yang spontan. Oleh karena itu, teks merupakan produk lingkungan yang bisa diwakili dalam bahasa.)

Dengan demikian, untuk memahami jenis teks, seseorang harus terbiasa dengan ciri konteks situasi, yaitu konteks yang di dalamnya teks diekspresikan dan lingkungan tempat makna itu dipertukarkan. Di dalam hal ini, Halliday dan Hassan (1985:12) mengajukan suatu prinsip yang sesuai dalam menggambarkan konteks

(9)

situasi sebuah teks yang disebut dengan tiga ciri konteks situasi, yaitu medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse) dan sarana wacana (mode of discourse).

Penelitian ini dilakukan dengan berorientasi pada kompetensi tekstual. Kompetensi ini mengacu pada kemampuan mengenai bagaimana satu unit bahasa dirangkai dengan unit bahasa yang lainnya. Salah satu yang peneliti perhatikan dalam translasi ini adalah masalah perbedaan Tema dalam bahasa Indonesia dan Inggris tidaklah sama. Penelitian dilakukan dalam lima sumber teks yang berbeda agar mencapai hasil yang lebih representatif. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya kesulitan dalam penerjemahan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran/target, sehingga diperlukan lebih dari satu teks dalam translasi dwibahasa untuk uji kelayakan kajian tematisasi dalam translasi bahasa Inggris-Indonesia).

Translasi sebagai fenomena bahasa dapat diaplikasikan secara khusus dalam beberapa jenis, sehingga dapat diminimalkan tingkat kesulitan penerjemahan suatu bahasa. Menurut Jakobson dalam Munday (2001:5), translasi itu sendiri bisa dikategorikan menjadi tiga jenis yang disebut translasi intralingual, interlingual, dan intersemiotik. Walaupun para ahli telah berusaha keras mencoba berbagai cara dan pendekatan dalam penerjemahan, namun usaha mereka belum memberikan solusi yang tepat bagi penerjemahan. Hal ini semakin menegaskan bahwa proses penerjemahan bukanlah proses yang mudah dan sederhana.

Soemarno (2003:1) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang membuat aktivitas penerjemahan sulit dilakukan. Di antaranya adalah bahwa ilmu penerjemahan

(10)

merupakan ilmu interdisipliner. Ilmu ini memerlukan pengetahuan lain yang bersifat mendukung. Ilmu-ilmu tersebut misalnya ilmu budaya, sosiolinguistik, psikolinguistik, pengetahuan umum, dan sebagainya. Seorang penerjemah perlu membekali dirinya dengan ilmu tersebut, termasuk mempelajari perbedaan budaya sehingga bisa menghasilkan karya yang lebih bermutu dan produktif.

Kesulitan dalam melakukan aktivitas penerjemahan menghasilkan perbedaan hasil translasi. Perbedaan hasil translasi ini dijelaskan oleh Nababan (2003:56) yang menyatakan bahwa setiap bahasa mempunyai sistem sendiri. Jadi, tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang mempunyai sistem yang sama, baik ditinjau dari sudut struktur sintaksis, leksikal, dan morfem. Kalimat nominal bahasa Indonesia, misalnya, tidak selalu mewajibkan kata adalah. Kata adalah baru wajib hadir dalam suatu kalimat nominal bahasa Indonesia yang mengungkapkan suatu definisi, misalnya, “Bahasa adalah alat komunikasi.” Sebaliknya kehadiran to be (is, am, are, was, were) dalam bahasa Inggris merupakan keharusan, misalnya dalam kalimat nominal, “He is my brother”.

Demikian pula pada tataran frase, terdapat kesulitan pada penerjemahan unsur inti (head) dalam frasa nomina bahasa Indonesia. Menurut Nababan (1997:40-41), unsur inti tersebut pada umumnya hadir sebelum unsur pewatas atau penjelas (modifier), kecuali jika unsur pewatasnya berupa kata yang menunjukkan kuantitas atau jumlah seperti satu, dua, sebuah, sebutir, beberapa, dan lain sebagainya. Sebaliknya, unsur pewatas dalam frase nomina bahasa Inggris bisa hadir sebelum

(11)

(premodifier) dan setelah (postmodifier) unsur inti. Misalnya, the president of the country dan a very popular president of the United States.

Perbedaan struktur frase nomina bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebenarnya merupakan masalah-masalah di dalam penerjemahan. Belum lagi masalah penentuan makna suatu pewatas atau penjelas yang bentuk, fungsi, dan posisinya sama, namun makna atau konsepnya sangat berbeda satu sama lain. Misalnya, kata walking dalam walking stick dan kata dalam running man mempunyai bentuk, fungsi, dan posisi yang sama tetapi berbeda dalam hal makna dan konsep. Menurut Nababan (1997:41) masing-masing kata itu dibangun dari kata kerja plus –ing dan terletak sebelum unsur inti. Kata walking dalam walking stick menjelaskan kegunaan atau fungsi unsur inti stick (stick for walking), sedangkan kata running dalam frase running man menjelaskan sifat atau suatu aktivitas yang dilakukan oleh unsur inti man (man who is walking).

Pada hakikatnya terjemahan juga merupakan pengungkapan sebuah makna yang dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target sesuai dengan makna yang dikandung dalam bahasa sumber. Perspektif tersebut menjadikan penerjemahan suatu fenomena yang tidak sederhana. Penerjemahan muncul tidak saja sebagai pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa (struktur luar) tetapi juga pengalihan makna (apa di balik struktur luar). Fitur-fitur umum yang dimiliki oleh translasi adalah pengertian (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasa target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan, (c) adanya keharusan atau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan fitur-fitur keasliannya

(12)

Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya, penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga hambatan dari segi budaya.

Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dan tergantung pada besarnya perbedaan antara kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun secara teoritis penerjemahan tidak mungkin dilaksanakan akibat di samping adanya perbedaan sistem dan struktur juga semantik serta kebudayaan yang melatarbelakanginya, namun secara praktik kegiatan penerjemahan sampai batas-batas tertentu bisa dilakukan dengan cara mencari dan menemukan padanan di dalam bahasa target. Hal ini dimungkinkan akibat adanya sifat-sifat universal bahasa serta konvergensi kebudayaan-kebudayaan di dunia (Hoed, 1992:80). Individu yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap objek yang sama. Hasil terjemahan oleh dua orang yang berbeda, sampai batas-batas tertentu, akan berbeda pula. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena adanya perbedaan perspektif dalam menangkap dunia bahasa sumber, kemampuan dan kreativitas berbahasa, pemahaman (lintas) budaya, pengetahuan penerjemah serta sasaran hasil terjemahan (target reader) yang ingin dituju.

Bertolak dari gagasan bahwa bahasa merupakan lambang lisan dan tertulis suatu kebudayaan, maka tidak ada bahasa yang tidak sempurna untuk mengungkapkan kebudayaannya (Moeliono, 1995:1). Suatu pikiran, gagasan atau pesan tentu saja dapat diungkapkan dalam bahasa apapun yang digunakan oleh berbagai suku bangsa. Ini

(13)

berarti bahwa suatu pikiran, gagasan, atau pesan yang diungkapkan dalam suatu bahasa semestinya dapat pula diungkapkan atau dialihkan ke dalam bahasa lain. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa pikiran, gagasan, atau pesan yang diungkapkan dalam suatu bahasa dapat pula diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Walaupun secara teoritis kesepadanan bisa dicapai akibat adanya sifat universal bahasa dan konvergensi budaya, tetapi fakta menunjukkan, bahwa suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yang memiliki suatu budaya sering amat berbeda dengan budaya penutur bahasa lain (sumber), sehingga sulit menemukan padanan leksikalnya. Untuk menangani masalah kesenjangan atau perbedaan (mismatch) ini perlu dilakukan penyesuaian (adjustment). Penyesuaian ini memerlukan suatu strategi yang sangat ditentukan oleh kompetensi penerjemah, metode penerjemahan, dan sasaran terjemahan.

Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan teks sedangkan prosedur berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frase, kata). Oleh karena itu, Baker (1991:17) menilai pilihan padanan selalu tergantung tidak hanya pada sistem bahasa atau sistem yang sedang ditangani oleh seorang penerjemah, tetapi juga pada bagaimana cara, baik penulis teks sumber maupun penerjemah, memanipulasi sistem bahasa bersangkutan. Dalam hal ini, penerjemahan menjadi tidak bisa terlepas dari campur tangan penerjemah dan memiliki dinamika.

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini menggunakan teori Linguistics Functional Systemic. Dengan teori tersebut, di dalam penelitian ini dibahas tentang tematisasi dalam lima teks bilingual (Bahasa Inggris dan Indonesia) yang berasal dari

(14)

sumber yang berbeda. Lima teks bahasa Inggris dan Indonesia dikaji berdasarkan perbedaan pada unsur Tema yang ditemukan dalam kelima sumber data tersebut. Jadi, dalam proses kajian ini akan melibatkan fungsi bahasa tekstual serta juga melibatkan konteks bahasa seperti konteks situasi [medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)], budaya, dan ideologi. Dengan demikian, kajian teks ini berkonsentrasi pada kajian struktur Tema (Tematisasi atau Penemaan) dalam kaitannya dengan konteks tersebut. Dengan memahami peran konteks di dalam memahami makna teks, maka akan dapat membantu proses penerjemahan baik yang intralingual khususnya, maupun penerjemahan interlingual (bilingual dan multilingual).

1.4 Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada fungsi tekstual Tema dan Rema dalam lima sumber tulisan dalam dua bahasa Inggris-Indonesia. Kelima sumber tulisan yang menjadi data penelitian ini tertera di bawah ini.

(1) Dua teks dalam British Council (edisi Oktober-Desember 2007). (2) Satu teks pidato politik dalam Foreign Affairs (23 Mei 1994). (3) Satu teks tentang teknologi dalam Connexions (2007).

(4) Tiga teks dalam Majalah Pelangi (1993).

(5) Satu Ceramah dalam buku Pidato 3 Bahasa oleh M.Azar (2007).

Tema yang berupa unit kata atau frase dalam tiap-tiap klausa diidentifikasi berdasarkan jenis-jenisnya, yaitu Tema sederhana dan Tema kompleks. Tema

(15)

kompleks terbagi atas Tema Tekstual, Topikal, dan Antarpersona. Selain itu, Tema juga diidentifikasi berdasarkan Tema Tunggal-Bermarkah, Tunggal tidak Bermarkah, Majemuk Bermarkah dan Majemuk tidak Bermarkah dengan menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Selanjutnya, dalam tataran sintaksis, Tema dianalisis pergeserannya dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

1.3 Pembatasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dibatasi dalam hal Tema yang dominan terdapat dalam teks bahasa Inggris-Indonesia dan translasinya. Selain itu juga akan dibahas masalah pergeseran Tema dalam dua teks berbahasa Inggris dan Indonesia tersebut, sehingga dapat dijawab masalah pergeseran Tema apa saja yang terdapat di dalam dua teks bahasa tersebut. Selanjutnya, masalah mengapa terjadi pergeseran itu juga menjadi bagian dari penjelasan dalam penelitian ini.

1.4 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan dalam empat hal sebagai berikut.

(1) Jenis Tema apakah yang dominan dalam teks translasi bahasa Indonesia-Inggris/Inggris-Indonesia?

(2) Pergeseran jenis Tema apakah yang dominan dalam teks translasi bahasa Indonesia-Inggris/Inggris-Indonesia?

(16)

(3) Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya dominasi jenis Tema tersebut?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, menjelaskan dan membahas beberapa hal di bawah ini.

(1) Tema yang dominan dalam translasi teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, dan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

(2) Jenis-jenis pergeseran Tema dominan teks bahasa Inggris ke teks bahasa Indonesia sebagai translasinya.

(3) Faktor penyebab terjadinya pergeseran Tema dalam teks bahasa Inggris dan Indonesia tersebut.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai,

(1) masukan bagi para penerjemah atau yang berminat dalam penerjemahan dan ilmu analisis wacana;

(2) deskripsi struktur penerjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris; dan,

(3) kajian lanjut analisis wacana, khususnya terhadap kajian Tema dan Rema dengan teori Systemic Functional Linguistics.

(17)

1.8 Klarifikasi Istilah

Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk dapat memperjelas penggunaan istilah tersebut dan untuk lebih memudahkan pembaca memahami maksud istilah tersebut, berikut ini diberikan penjelasan tentang istilah-istilah yang dipakai dalam pembahasan hasil penelitian ini.

(1) Tematisasi (Thematization)

Tematisasi adalah proses pengaturan unit-unit bahasa sedemikian rupa sehingga penegasan atau penekanan terletak pada tempat yang wajar dalam kalimat.

(2) Tema (Theme)

Tema adalah titik awal pesan dalam satu unit klausa. Tema dalam bahasa Inggris dan Indonesia direalisasikan oleh unsur pertama atau bagian terdepan dallam klausa (the starting point of a message).

(3) Rema (Rheme)

Rema adalah unsur yang terdapat sesudah Tema. (4) Tema Bermarkah (Unmarked Theme)

Tema Bermarkah yaitu Tema yang berupa nomina (students), frase nomina (London Bridge) dan pronomina (I, you, she, he) yang pada saat yang sama berfungsi sebagai subjek.

(5) Tema Tak Bermarkah (Marked Theme)

Tema Tak Bermarkah adalah Tema yang berupa frase adverba (merrily), dan frase preposisi (in spring) yang tidak berfungsi sebagai subjek tetapi adjunct,

(18)

ataupun frase nomina (what they could not eat that night) yang berfungsi sebagai komplemen.

(6) Tema Sederhana (Simple Theme)

Tema Sederhana atau Tema Dasar merujuk pada satu unit fungsi saja yang berfungsi sebagai Tema dalam klausa. Unit bahasa ini bisa berupa partisipan, proses ataupun sirkumstan. Tema sederhana ini di dalam analisisnya cukup dinamakan Tema saja.

(7) Tema Kompleks (Complex Theme)

Tema Kompleks mengindikasikan Tema yang klausa ditemukan lebih dari satu unit bahasa yang berfungsi sebagai Tema. Tema kompleks ini di bagi ke dalam tiga jenis yaitu Tema Tekstual, Tema Antarpersona, dan Tema Topikal.

a. Tema Tekstual (Textual Theme)

Tema Tekstual adalah Tema yang mencakupi,

(a) penghubung (misalnya: walaupun demikian, karena itu); (b) konjungsi (misalnya: dan, atau, tetapi);

(c) penerus (continuative) (misalnya: oh, baik, ya, mm…mmm, e…e.., a…aa); dan,

(d) kata ganti relatif (relative pronoun) (misalnya: yang, yang…-nya). b. Tema Antarpersona (Interpersonal Theme)

Tema Antarpersona merujuk pada Tema berupa,

(a) vokatif yaitu nama orang atau objek yang pernyataan itu ditujukan kepadanya;

(19)

(b) keterangan modus berfungsi memberi tanggapan pribadi, misalnya: sebaiknya, sesungguhnya, sejauh ini:

(c) pemarkah pertanyaan, misalnya: apakah; dan,

(d) kata tanya pertanyaan informasi, misalnya: kapan, mengapa, di mana, siapa. Kata tanya ini dipakai dalam modus interogatif.

c. Tema Topikal (Topical Theme)

Tema Topikal yakni Tema yang berupa Proses, Partisipan, atau Sirkumstan. Dikatakan Tema Topikal karena ada lebih dari satu unit bahasa yang berupa proses, partisipan, atau sirkumstan yang ditemukan dalam klausa.

(8) Tema Tunggal (Singular Theme)

Tema Tunggal merujuk pada Tema yang terdapat di dalam klausa berbentuk tunggal.

(9) Tema Majemuk (Plural Theme)

Referensi

Dokumen terkait

Program adaptasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif, terutama untuk tanaman pangan, seperti penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul yang adaptif

Hasil penelitian secara empirik menunjukkan bahwa skor maksimum 21 dan minimum 13 dan skor rata-rata adalah 17.7 Kedelapan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kecerdasan

[r]

Metode peramalan Exponential Smoothing merupakan salah satu model ramalan data berkala ( time series ) yang dalam penelitian ini digunakan sebagai metode dalam

[r]

Apa tujuan pengajaran bahasa Arab utamanya Qo’idah al -lughoh al-arabiyyah yang bapak

Kesimpulan perancangan ini diperoleh bahwa nilai laju ekstraksi air spesifik (Spesific Moisture Extraction Rate) untuk mesin pengering pakan ternak sistem pompa kalor adalah

Pada pangkalan trayek 43 terdapat warung yang juga bekerja sama dengan para pemilik angkutan kota yang berfungsi untuk menyediakan makanan, minuman serta rokok untuk para sopir