1 1.1 Latar Belakang Penelitian
Terorisme dan pencegahan penyebaran senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction, WMD) merupakan fenomena baru di dunia internasional, namun bagi Amerika Serikat (AS) hal ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan dan strategi nasionalnya, AS secara agresif telah melakukan pencegahan senjata, baik itu nuklir, biologi, dan kimia yang dikenal dengan sebutan senjata pemusnah massal yang dipakai untuk melakukan tindakan terorisme. Pemerintahan George W Bush telah mengeluarkan sebuah strategi keamanan nasional yang baru bagi AS pada 2002 dalam upaya menghadapi negara maupun aktor non negara yang memiliki senjata pemusnah massal. Strategi ini secara esensial telah menggantikan pendekatan state centric AS yang untuk pertama kali mengungkapkan tentang counterproleferation dan prospektif baru untuk melakukan tindakan pre-emptive. (Ellis, 2003). AS memandang kepemilikan dan upaya dari pengembangan WMD oleh negara yang dikenal tidak bersahabat dengan AS merupakan sebuah ancaman bagi keamanan nasionalnya sehingga secara tidak langsung akan segera mengubah strategi keamanan nasionalnya.
Counterproliferation didefinisikan sebagai perlindungan militer dan aktifitas militer untuk mengurangi, melawan ancaman yang ditimbulkan oleh
senjata nuklir, kimia dan biologi. Konsep ini pertama kali di kembangkan pada masa pemerintahan Clinton (1996-2000) oleh Menteri pertahanannya Les Alpin. Pemerintahan Clinton mendefinisikan tentang kontrol senjata dan non proliferasi sebagai respon terhadap WMD. Tetapi versi Bush kemudian meneruskan konsep-konsep tersebut dengan memperkuat upaya non proliferasi, menjadi proactive counterploriferation untuk membendung dan bertahan melawan ancaman WMD sebagaimana AS juga meningkatkan upaya dalam memanajemen dampak yang akan terjadi jika WMD digunakan, dan hal ini menjadi isu yang diangkat dari strategi baru AS yang dinamakan National Strategy to Combat Weapon of Mass Destruction atau dikenal dengan sebutan strategi WMD yang resmi diumumkan kepada masyarakat nasional pada 11 Desember 2002.
Urgensitas dari strategi kemanan nasional AS memiliki dua asumsi, asumsi pertama adalah kemampuan WMD untuk terus berkembang dan yang kedua adalah WMD yang digunakan untuk menyerang AS, sekutu atau bahkan ancaman terhadap kemanan nasional yang meningkat. Dalam merespon kedua hal tersebut, AS melakukan proaktif, melakukan tekanan penuh terhadap tantangan keamanan dari proliferasi dan terorisme serta memperkuat keamanan nasional dan mentransformasikan kemampuan militer untuk membendung, melawan dan menganalisa dampak WMD.
Perang teluk pada tahun 1991 dengan jelas telah menunjukkan seberapa penting untuk mempersiapkan diri dalam sebuah perang dengan senjata pemusnah massal, walaupun Irak pada akhirnya tidak menggunakan senjata biologi ataupun senjata kimianya pada saat perang, bukti dari aktifitas WMD Irak
setelah perang berakhir mengejutkan dunia dan komunitas keamanan internasional, bahkan berhasil mengejutkan para peneliti dan menjadi ancaman serius bagi strategi keamanan regional AS dan rencana mengatasi perang.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan inspeksi terhadap senjata pemusnah massal Irak beberapa kali hanya menjadi sebuah perdebatan sempit yang bergerak menjadi sebuah diskusi untuk menemukan konsesi apa yang tepat yang bisa ditawarkan kepada pemimpin Irak, Saddam Husein untuk berkoordinasi dalam inspeksi senjata pemusnah massalnya.
Senjata kimia menjadi senjata pemusnah massal yang pernah digunakan oleh Irak selama masa perak Iran-Irak 1983-1988 (Duelfer, 2004). Program riset, pengembangan dan produksi senjata kimia telah mendapat perhatian pemerintah Irak sejak tahun 1960an. Perhatian yang besar itu merupakan bagian dari bangkitnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di Irak saat itu. Selain itu, program senjata kimia juga merupakan bagian dari persaingan militer dan perlombaan senjata dengan Iran. (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0211/04/In/kont43.htm, diakses 10 Oktober 2008).
Disamping itu, Irak merasa harus memiliki senjata kimia sebagai unsur pengimbang strategis di kawasan Teluk maupun Timur Tengah, menyusul hancurnya reaktor nuklir Irak dekat Baghdad setelah digempur Israel pada tahun 1981. Oleh karena itu, perkembangan senjata kimia Irak paling pesat terjadi pada tahun 1980an. Irak saat itu memeberi semua kemudahan keuangan, ilmu pengetahuan, teknis dan sumber daya manusia untuk program senjata kimia yang membantu tercapainya kemajuan dibidang infrastruktur untuk program tersebut.
Praktik riset dan pengembangan senjata kimia Irak yang dikenal dengan “Lembaga Produksi Obat Pembasmi Nyamuk” atau dikenal juga dengan nama “Lembaga Mashna” tak lain adalah merupakan pusat riset perkembangan senjata kimia. Praktik riset serta pengembangan dan produksi senjata kimia selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Irak (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0211/04/In/kont43.htm, diakses 10 Oktober 2008).
Program kimia Irak berhasil memproduksi beberapa jenis gas beracun seperti gas sarin dan gas VX yang merupakan jenis senjata kimia paling berbahaya. Irak secara implisit mengakui memiliki gas jenis ini pada April tahun 1990 lewat Presiden Saddam Husein pada pidatonya tentang intelijen AS, Inggris dan Israel “By God, spare us your evil. Pick up your goods and leave. We do not need an atomic bomb. We have the dual chemical. Let them take note of this. We have the dual chemical. It exists in Iraq.” (Duelfer, 2004)
Tahun 1997-1998, Saddam menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang master dalam mengatasi krisis-krisis yang terjadi. Dia dapat mengamankan konsiliasi yang secara bertahap mengurangi efektifitas program inspeksi, sambil menarik simpati dari para pendukungnya di dunia Arab bahkan Eropa yang turut mengakui bahwa Amerika mencurigai Irak tanpa alasan. Dengan berlalunya waktu, Irak mulai berkoordinasi dengan tim inspeksi dari PBB pada tahun 1998, Saddam sudah terbiasa melakukan hal-hal yang bisa menarik simpati untuk mengurangi sanksi yang di jatuhkan terhadap Irak termasuk pembatasan eksport minyak oleh PBB dan mengurangi tekanan terhadap negara tetangga Irak.
Sejarah menunjukkan bahwa keinginan Saddam untuk berkembang adalah memberikan lebih keberanian dan hanya itu yang menjadi ancaman untuk mengamankan Irak. Jika berasumsi untuk meneruskan inspeksi hal tersebut akan memberikan pelajaran kepada Saddam untuk menyembunyikan program senjata pemusnah masalnya dengan lebih efektif. Walaupun akan menimbulkan bahaya dengan memberikan informasi kepada AS bagaimana Saddam dalam upayanya mengembangkan senjata pemusnah massal. Pengamalan membuktian bahwa Saddam akan dengan hati-hati memeriksa semua informasi untuk memilih usaha-usaha mana saja yang bisa dia sembunyikan dengan sukses.
Tanpa diragukan lagi, Irak pernah dengan sukses menyembunyikan senjata pemusnah massalnya dari PBB. Bukan hanya bisa menyembunyikan program nuklirnya dari inspektor International Atomic Energy Agency (IAEA) atau badan atom internasional pada inspeksi sebelum tahun 1990, tetapi setelah 1995, menjadi lebih jelas bahwa Irak masih bisa membangun senjata kimia. (Clawson, 2002).
Selama PBB tidak hadir di Irak sejak 1998 hingga 2002, ditemukan beberapa bukti bahwa Irak mencoba kembali membangun infrastruktur-infrastruktur pendukung untuk pembuatan senjata kimia. Irak juga melalui Kementrian Energi dan Mineral menyatakan akan membangun kembali beberapa infrastruktur pada Maret 2003, sebelum akhirnya rencana tersebut gagal dilaksanakn karena adanya Operation Iraqi Freedom (Operasi Pembebasan Irak oleh Amerika Serikat pada 23 Maret 2003). (Duelfer, 2004).
Tiga hal yang dijadikan alasan Amerika dan sekutunya untuk bersikeras kembali menyerang negara yang dipimpin oleh Saddam Hussein tersebut diantaranya adalah pertama, masalah hak asasi manusia terutama kejahatan kemanusiaan terhadap para pengikut Syiah dan Kurdi. Kedua, ancaman terhadap sistem keamanan regional. Ketiga, pemilikan senjata pemusnah massal. Semenjak invasi Irak ke Kuwait, para pembuat kebijakan AS mengambil kesimpulan bahwa selama Saddam Hussein masih berkuasa, maka selama itu pula tiga hal tersebut tidak akan pernah bisa teratasi, karena itu, jalan satu-satunya adalah menyingkirkan Saddam dari kekuasaannya dengan cara apa pun. (http://www2.kompas.com/ kompas-cetak/0302/06/opini/105079.htm, diakses 10 Oktober 2008)
Perbedaan pendapat selalu muncul antara Irak dan tim inspeksi PBB tentang apakah senjata pemusnah massal Irak sudah hancur total atau tidak. Bahkan, perbedaan pendapat tersebut, juga timbul antara sesama anggota tim inspeksi PBB (UNSCOM) tentang perkiraan senjata pemusnah massal Irak sehingga menjadi sulit mengambil suatu kesimpulan akhir. Hal ini, pihak yang menjadi korban tentu Irak karena menyebabkan sanksi PBB tidak bisa dicabut.
Kedua, keyakinan AS dan beberapa negara barat bahwa Irak kembali mengaktifkan program senjata pemusnah massalnya sejak berhentinya kerja tim inspeksi PBB pada bulan Desember 1998. AS dan Inggris menuduh Irak selama masa empat tahun, dari tahun 1998 hingga 2002, telah mengembangkan lagi program senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan tidak adanya tim inspeksi PBB selama periode tersebut.
Dengan sejarah kepemilikan Irak atas senjata kimia, bagaimana Irak menyembunyikan senjatanya maka AS, selalu melontarkan opini keraguan tentang komitmen Irak melaksanakan semua resolusi DK PBB menyangkut senjata pemusnah massal agar sanksi PBB tetap berlanjut atas Baghdad.
Kemudian sejarah mengantarkan dunia pada satu titik yang menandai dimulainya fase baru dunia internasional. Peristiwa yang kini dikenal dengan istilah 11 September atau September, 11 dan lebih sering disingkat 9/11. Peristiwa pembajakan empat pesawat komersil oleh 19 orang teroris yang disebut-sebut sebagai anggota teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden ini berhasil meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) yang merupakan pusat perdagangan saham AS, serta satu pesawat berhasil menabrak Pentagon, tetapi pesawat keempat yang disinyalir akan menabrakan diri pada target lain di Washington DC berhasil digagalkan dan jatuh disebuah lapang di Pennsylvania. Secara tidak langsung peristiwa ini menunjukkan bahwa AS bukanlah negara yang terbebas dari serangan ataupun ancaman. Bush Junior pun segera merespon kejadian ini, dalam pidatonya kepada kongres pada tanggal 20 September 2001, Bush mengatakan bahwa prioritas utama di pemerintahannya sekarang adalah perang melawan teroris, dalam pidato yang sama Bush juga menghadapkan dua pilihan kepada seluruh negara di dunia apakah bergabung melawan teroris bersama-sama dengan AS atau bergabung bersama teroris. (Gjelten, 2007).
Pada Januari 2002, Bush menyebutkan tentang istilah baru bagi tiga negara yang disebut sebagai musuh besar AS dan kemungkinan AS akan
bertindak secara preemptive kepada tiga negara tersebut yaitu Irak, Iran dan Korea Utara dengan sebutan axis of evil.
"North Korea is a regime arming with missiles and weapons of mass destruction, while starving its citizens. ...
"Iran aggressively pursues these weapons and exports terror.... "Iraq continues to flaunt its hostility toward America and to support terror. ...
"States like these, and their terrorist allies, constitute an axis of evil, arming to threaten the peace of the world.
"We'll be deliberate, yet time is not on our side. I will not wait on events, while dangers gather. I will not stand by, as peril draws closer and closer. The United States of America will not permit the world's most dangerous regimes to threaten us with the world's most destructive weapons."
(http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/iraq/etc/cron.html, diakses 10 Oktober 2008)
Dari pidato tersebut bisa ditarik sebuah kesimpulan, AS meyakini bahwa Korea Utara berada dibawah rezim dengan kekuatan senjata pemusnah massal, Iran mencoba untuk mengembangkan senjata dan menciptakan terror serta Irak yang menghadirkan ancaman terhadap AS dengan mendukung aksi terror, dan AS tidak akan membiarkan ketiga negara ini untuk terus melanjutkan aktifitasnya tanpa berbuat apa-apa, AS tidak akan mentolerir negara-negara yang mengancam dengan kepemilikan senjata paling mematikan dengan daya hancur yang luas.
Hal-hal tersebut di atas mendorong peneliti untuk mengkajinya lebih jauh dalam rangka mengembangkan wawasan studi Hubungan Internasional. Dengan demikian penelitian ini diajukan dengan judul:
“Pengaruh Strategi Nasional Amerika Serikat Untuk Memerangi Senjata Pemusnah Massal Terhadap Upaya Pengembangan Senjata Kimia di Irak”
Penelitian ini berdasarkan pada beberapa mata kuliah dalam kurikulum Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, yaitu:
1. Politik Internasional, karena melalui kuliah ini dapat dijelaskan bagaimana suatu negara berinteraksi dengan negara lainnya, dimana dalam interaksi tersebut masing-masing negara membawa kepentingannya masing-masing yang dituangkan dalam kebijakan luar negerinya. Dalam hal ini akan dilihat bagaimana AS menggunakan startegi WMDnya di Irak.
2. Diplomasi hubungan internasional di Amerika Serikat, karena melalui kuliah ini dapat menjelaskan bagaimana hubungan AS dengan negara-negara di dunia, bagaimana arah kebijakan mereka dari tahun ke tahun dan bagaimana mereka memberikan respon terhadap apa yang terjadi di dunia internasional. Dalam penelitian kali ini dimana peneliti mengangkat tentang strategi AS dalam memenuhi kepentingan nasionalnya.
3. Analisis Politik Luar Negeri, karena mata kuliah ini dapat menggambarkan dan menjelaskan mengenai politik luar negeri suatu negara, termasuk kebijakan dan respon yang terkandung di dalamnya serta bagaimana tindakan yang dilakukan oleh negara tersebut terhadap lingkungan eksternalnya. Dalam hal ini bagaimana AS merespon ancaman yang hadir dari Irak.
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dapat diartikan sebagai suatu tahap awal dari suatu penguasaan masalah dimana objek dalam jalinan situasi tertentu dapat kita kenali sebagai suatu masalah. Berangkat dari definisi tersebut maka peneliti mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah signifikansi Irak dalam kepentingan nasional AS? 2. Mengapa Amerika Serikat membuat strategi khusus untuk memerangi
senjata pemusnah massal (National Strategy to Combat Weapon of Mass Destruction)?
3. Bagaimana strategi nasional Amerika Serikat untuk memerangi senjata pemusnah massal diimplementasikan di Irak?
4. Bagaimanakah keberhasilan dari strategi tersebut dalam menghentikan aktifitas upaya pengembangan senjata kimia di Irak?
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini hanya akan membahas variabel-variabel yang berkaitan dengan masalah bagaimana Irak melakukan upaya pengembangan senjata kimianya. Serta bagaimana AS dengan strategi WMD melakukan upaya untuk menghambat upaya-upaya yang dilakukan Irak tersebut. Masalah dibatasi dari sejak dikeluarkannya strategi WMD oleh AS pada Desember 2002 hingga tahun 2006 yaitu masa berakhirnya strategi ini.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada identifikasi masalah dan bertitik tolak pada latar belakang penelitian dan pembatasan masalah diatas, maka masalah penelitian ini mempunyai rumusan pernyataan penelitian sebagai berikut :
“Bagaimana pengaruh Strategi Nasional Amerika Untuk Memerangi Senjata Pemusnah Massal Terhadap Upaya Pengembangan Senjata Kimia di Irak?”
1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk:
1. Mengetahui signifikansi Irak bagi Amerika Serikat.
2. Mengetahui alasan Amerika Serikat menciptakan strategi nasional untuk memerangi senjata pemusnah massal.
3. Mengetahui bagaimana strategi WMD diimplementasikan oleh Amerika Serikat di Irak.
4. Mengetahui keberhasilan dari strategi WMD ini dalam menghentikan upaya-upaya Irak dalam mengembangkan senjata kimia.
1.5.2 Kegunaan Teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan tambahan informasi dan pembelajaran bagi para penstudi masalah-masalah internasional khususnya yang terkait dengan topik penelitian yang dibahas kali ini, dan dapat
berguna juga bagi peneliti sendiri untuk menambah informasi dan pengetahuan Hubungan Internasional.
1. 5.3 Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah data-data empiris bagi para penstudi Hubungan Internasional yang menaruh minat terhadap masalah mengenai strategi nasional Amerika Serikat khususnya mengenai strategi keamanan nasional Amerika Serikat untuk memerangi senjata pemusnah massal dan pengaruhnya terhadap senjata nuklir Irak.
1.6 Kerangka Pemikiran, Hipotesis, Definisi Operasional 1.6.1 Kerangka Pemikiran
Hubungan internasional adalah studi mengenai pola-pola aksi dan reaksi diantara negara-negara berdaulat yang diwakili oleh elit-elit pemerintahnya. (Couloumbis & Wolfe, 1986, 24). Selanjutnya Couloumbis & Wolfe menyimpulkan bahwa studi hubungan internasional sebagai studi tentang hubungan-hubungan yang ada di antara entitas politik yang berdaulat yang hampir anarkis sifatnya. Entitas atau kesatuan politik tadi menyadari bahwa tidak ada hakim atau wasit internasional yang tertinggi, dan mereka terpaksa menggunakan kekerasan atau perang seketika untuk melindungi dan memajukan apa yang mereka anggap merupakan kepentingan vital mereka.
Hubungan internasional juga tidak bisa lepas dari politik internasional. Politik internasional mengkaji segala bentuk perjuangan dalam memperjuangkan
kepentingan (interest) dan kekuasaan (power). Dimana pelaku dalam politik internasional hanya terbatas pada pelaku negara (state actor) saja. Politik internasional merupakan salah satu wujud dari interaksi dalam hubungan internasional (Perwita & Yani, 2005: 40). Sedangkan menurut Morgenthau, politik internasional lebih menekankan kepada power dan perdamaian (1990: 15).
Sedangkan hubungan antara negara mengambil peran besar dalam pemerintahan global, bagi kaum realis hal ini berarti bahwa sistem internasional adalah anarki. Hubungan internasional paling baik didefinisikan dan difokuskan kepada pendistribusian power diantara negara-negara. AS sebagai satu-satunya negara super power pasca perang dingin berakhir, benar-benar merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia internasional, AS sering menyebut dirinya sebagai polisi dunia, tetapi kemudian hal ini juga menjadikan AS target utama para teroris yang cenderung tidak menyukai kekuasaan terhadap power yang dimiliki oleh AS.
Pada penelitain kali ini penulis menggunakan paradigma realisme yang merupakan salah satu pendekatan yang paling mendominasi di dalam ilmu Hubungan Internasional. Menurut Viotti dan Kauppi (1993) ada empat asumsi utama dari pendekatan realis ini:
1. Negara adalah aktor utama dan terpenting dalam hubungan internasional, sehingga negara merupakan unit analisa utama untuk mendapatkan penjelasan atas peristiwa internasional. Studi hubungan internasional menurut kaum realis adalah studi tentang hubungan diantara unit-unit.
2. Negara dipandang sebagai aktor tunggal. Negara lah yang menentukan suatu kebijakan menganggapi isu tertentu pada suatu waktu tertentu pula.
3. Secara esensial, negara merupakan aktor rasional. Suatu proses pembuatan keputusan luar negeri yang rasional mencakup suatu pernyataan tentang kebijakan luar negeri,
4. Isu internasional utama bagi kaum realis adalah isu kemanan nasional, focus utama realis adalah pada konflik actual maupun potensial diantara aktor-aktor negara, dengan menjelaskan stabilitas internasional dapat dicapai dan dipelihara, bagaimana stabilitas ini pecah, penggunaan kekuatan sebagai alat memecahkan perselisihan dan pencegahan terhadap pelanggaran integritas territorial.
Paradigma realis mengalami perkembangan pada masa pasca perang dingin, dimana pada periode ini terjadi perkembangan-perkembangan baru, baik dalam fenomena maupun realitas hubungan internasional. Walaupun berbagai organisasi/institusi internasional sebagai aktor penting lainnya selain negara, namun dari kacamata realis, negara merupakan tetap aktor yang utama. Aktor-aktor lain di dunia politik seperti individu, organisasi internasional, organisasi internasional non pemerintah dan lain-lain bisa menjadi penting atau tidak sama sekali. AS sebagai sebuah negara besar merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia internasional, terkait dengan senjata pemusnah massal maka AS merasa pengembangan senjata itu oleh negara-negara yang dianggapnya akan menghambat kepentingan-kepentingan nasionalnya maka AS akan melakukan tindakan preventif.
Power, dalam pemikiran kaum realis merupakan suatu kemampuan untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan. Walaupun terpaksa merubah perilaku orang lain agar dapat mencapai apa yang diinginkan. Sedangkan Coulombis & Wolfe dalam bukunya Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power mendefinisikan power dan membaginya menjadi tiga unsur penting:
“Power sebagai payung konsep yang menunjukan segala sesuatu yang bisa menentukan dan memelihara kekuatan aktor A terhadap aktor B. Power sendiri memiliki tiga unsur yaitu kekuatan (force) yang bisa didefinisikan sebagai ancaman eksplisit dengan menggunakan alat-alat paksa seperti militer, ekonomi dan lain-lain. Unsur kedua pengaruh (influence) yang didefiniskan sebagai alat-alat persuasi untuk menjaga dan merubah perilaku aktor lain dengan cara-cara yang sesuai dengan preferensi dan keinginan aktor A, unsur terakhir adalah kekuasaan (authority) yang didefinisikan sebagai kerelaan aktor B untuk memenuhi keinginan aktor A.”(1986, 87-88)
Jika melihat Amerika Serikat, mereka memiliki kriteria untuk memiliki power sesuai definisi tersebut. Power AS yang begitu besar, dimana pasca perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet, mereka menjadi satu-satunya negara adi daya, dan memperluas powernya kedalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti aspek ekonomi, politik, sosial bahkan budaya.
Selain power, bagi realis hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kepentingan nasional. Menurut Morgenthau dalam Columbis & Wolfe: Konsep kepentingan nasional serupa dengan generalisasi konstitusi Amerika Serikat dalam dua artian yaitu kesejahteraan umum (general welfare) dan proses perwujudannya atau due process. Konstitusi ini mengandung makna yang tersirat dan melekat (inheren) dalam konsep itu sendiri, tapi diluar syarat minimum. Isi konstitusi ini dapat dijalankan secara keseluruhan kendati secara logika bertentangan dengan kenyataan. Isinya ditentukan oleh tradisi-tradisi politik dan seluruh konteks cultural dimana suatu negara merupuskan politik luar negerinya.
Kepentingan nasional erat kaitannya dengan politik luar negeri, menurut Rossenau dalam bukunya The Scientific Study of Foreign Policy dijelaskan bahwa dalam kajian politik luar negeri sebagai suatu sistem, rangsangan dari
lingkungan eksternal dan domestik sebagai input yang mempengaruhi politik luar negeri suatu negara dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi suatu output. Proses konversi yang terjadi mengacu pada pemaknaan situasi, baik yang berlangsung dalam lingkungan eksternal maupun internal dengan mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai serta sarana dan kapabilitas yang dimilikinya (1980: 171-173). Selain itu juga politik luar negeri merupakan sintesa dari tujuan-tujuan nasional dan alat-alat negara (Couloumbis & Wolfe, 1999: 26).
Sedangkan, Charles Kegley dan Eugene Wittkopf dalam bukunya American Foreign Policy: Pattern and Process menyebutkan bahwa:
“Kerangka kerja dari politik luar negeri Amerika Serikat sesuai dengan analisis Funnel of Casuality dimana terdapat lima input dalam mencapai sebuah output kebijakan internasional, yaitu:
1. External Sources, mengacu pada lingkungan global Amerika Serikat, termasuk semua variable yang berhubungan dengan komunitas internasional. Perubahan ini akan merangsang perubahan politik Amerika Serikat pada lingkungan eksternal.
2. Societal Sources, yaitu aspek-aspek non pemerintahan. 3. Governmental Sources, yaitu dinamika dan birokrasi serta
sifat institusi yang mendominasi yang juga merupakan bagian dari mesin pembuat politik luar negeri seperti white house, Central Intellegence Agency, congress serta department of state.
4. Roles Source, setiap negara dalam birokrasi pembuatan keputusan membawa misi, kewajiban, hak, harapan masing-masing dan tekanan terhadap individu pengambil keputusan untuk bertindak seperti yang diharapkan dan dilakukan pendahulunya.
5. Individual Sources, keahlian, karakter, gaya, kepemimpinan, dan kepribadian yang dimiliki individu.”
Input dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat merupakan sumber-sumber suatu kebijakan yang membentuk dan memberi arah kepada tindakan
Amerika Serikat di luar negeri dimana tindakan tersebut merupakan proses pembuatan politik luar negeri. Kemudian, bagian terpenting dari kebijakan luar negeri adalah strategi.
“Strategi adalah seluruh keputusan kondisional yang menetapkan tindakan-tindakan yang akan dan yang harus dijalankan guna menghadapi setiap keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Merumuskan suatu strategi berarti menperhitungkan semua situasi yang mungkin dihadapi pada setiap waktu di masa depan dan kemudian dari semenjak sekarang sudah menetapkan atau menyiapkan tindakan mana yang akan diambil atau dipilih kelak, guna menghadapi realisasi dari setiap kemungkinan tersebut. Strategi pertahanan dirumuskan untuk menghadapi gangguan-gangguan terhadap kemerdekaan nasional yang sebab inisialnya dating dari luar wilayah nasional. Strategi keamanan dirumuskan untuk menanggulangi gangguan-gangguan terhadap keamanan nasional yang timbul dari dalam negeri sendiri, diarahkan oleh elemen-elemen dari wilayah nasional guna kepentingan atau keuntungan-keuntungan elemen-elemen tersebut.” (May Rudi, 2001:1).
AS mengeluarkan strategi WMD dalam rangka melindungi negaranya dari ancaman yang datang dari kepemilikan WMD oleh negara-negara yang dikenal tidak mau bekerja sama dengan AS dan cenderung memusuhi AS.
Selain teori-teori yang sudah dipaparkan di atas, penelitian ini juga menggunakan teori pengaruh. Pengaruh (influence) didefiniskan sebagai alat-alat persuasi untuk menjaga dan merubah perilaku aktor lain dengan cara-cara yang sesuai dengan preferensi dan keinginan aktor A (Holsti, 1987: 88) Pengaruh dilihat dari aspek power pada dasarnya merupakan perangkat untuk mencapai tujuan. Beberapa pemerintahan atau negarawan akan mencari pengaruh untuk kepentingan negaranya, tetapi hanya merupakan alat. Mereka mempergunakannya terutama untuk mencapai atau mempertahankan tujuan lain termasuk prestise, keutuhan wilayah, semangat nasional, bahan mentah,
keamanan atau persekutuan. (Holsti, 1990, 201). Dari definisi ini kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa pengaruh menjadi sebuah aspek penting dalam mencapai sebuah tujuan, aspek keamanan dikedepankan pada masa pasca serangan 11 September 2001, dan militer menjadi aspek paling penting. Dimana negara dengan kekuatan militer yang besar bisa menjadi negara yang berpengaruh besar di dunia internasional, hal inilah yang sedang diupayakan AS dalam mendistribusikan power dan mencapai kepentingan nasionalnya.
Beberapa negara berlomba-lomba meningkatkan kemampuan militernya tidak terkecuali AS, sebagai sebuah bentuk respon terhadap ancaman keamanan yang ditimbulkan dari terorisme, AS mulai mengejar negara-negara yang dicurigainya sebagai negara yang mensponsori terorisme, setelah berhasil menginvasi Afganistan untuk mencari pemimpin kelompok teroris Al-Qaeda yang disebut sebagai pelaku serangan 11 September 2001, AS mengalihkan perhatiannya pada Irak yang pernah mengeluarkan ancaman untuk menggunakan senjata pemusnah massalnya pada perang teluk 1991. Sedangkan, istilah senjata pemusnah massal menurut militer AS adalah:
“Weapons those are capable of a high order of destruction and/or of being used in such a manner as to destroy large numbers of people. Weapons of mass destruction can be high explosives or nuclear, biological, chemical, and radiological weapons, but exclude the means of transporting or propelling the weapon where such means is a separable and divisible part of the weapon”
(http://www4.law.cornell.edu/uscode/html/uscode18/usc_sec_18_0 0002332---a000-.html, diakses 10 Oktober 2008).
Dalam definisi tersebut telah disebutkan bahwa senjata kimia termasuk kedalam kategori senjata pemusnah massal. Senjata kimia sendiri dalam konvensi
yang diselenggarakan oleh Organization for Prohibition of Chemical Weaons (OPCW) atau organisasi pelarangan senjata kimia memberikan deskripsi tentang senjata kimia didalam artikel kedua yaitu definisi dan kriteria, senjata kimia didefinisikan sebagai:
"Chemical Weapons means the following, together or separately: (a) Toxic chemicals and their precursors, except where intended for
purposes not prohibited under this Convention, as long as the types and quantities are consistent with such purposes;
(b) Munitions and devices, specifically designed to cause death or other harm through the toxic properties of those toxic chemicals specified in subparagraph (a), which would be released as a result of the employment of such munitions and devices;
(c) Any equipment specifically designed for use directly in connection with the employment of munitions and devices specified in subparagraph (b).” (OPCW – Convention on the prohibiton of the development, production, stockpiling and use of chemical weapons and on their destruction)
Dari definisi yang dijelaskan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa yang termasuk kedalam kriteria senjata kimia adalah: racun kimia dan bahan-bahan pendukungnya, kecuali bahan-bahan tersebut ada dengan tujuan yang jelas maka hal tersebut tidak berada dibawah perjanjian ini selama tipe dan kuantitasnya konsisten dengan tujuannya, kedua adalah alat pendukungnya terutama yang dirancang untuk menyebabkan kematian atau untuk menyakiti dengan menggunakan bahan kimia berbahaya, serta semua peralatan yang dirancang khusus dalam hubungannya dengan kedua poin sebelumnya.
Strategi AS untuk memerangi senjata pemusnah massal sendiri memiliki tiga pilar utama yaitu Counterproliferation, Non-proliferation, serta WMD consequences management. Counterproliferation adalah sebuah upaya dalam
mengatasi segala bentuk perkembangan senjata pemusnah massal dengan upaya melakukan pembendungan serta mitigasi dan pertahanan termasuk pre-emptive, sedangkan non-proliferation dilakukan melalui upaya-upaya diplomasi aktif seperti penandatangan perjanjian melalui NPT (Non Proliferation Treaty), pengontrolan materi-materi nuklir, sanksi-sanksi non-proliferasi, serta regim multilateral. Pilar ketiga adalah WMD consequences management adalah upaya dalam merespon segala kemungkinan penggunaan senjata pemusnah massal baik saat diserang dengan senjata pemusnah massal atau saat terpaksa harus menggunakan senjata pemusnah massal dalam menghadapi musuh. (WMD Strategy, 2002)
1.6.2 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran dan identifikasi masalah, maka peneliti perlu mengedepankan suatu rumusan hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dari uraian kerangka pemikiran dan asumsi dasar yang diatas, maka dapat disusun hipotesis yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
”Amerika Serikat berhasil mengimplementasikan Strategi Nasional Amerika Serikat Untuk Memerangi Senjata Pemusnah Massal melalui ketiga pilarnya yaitu counter proliferation, non proliferation dan WMD Consequences Management sehingga upaya pengembangan senjata kimia di Irak berhenti”
1.6.3 Definisi Operasional
Dalam penelitian kali ini penulis akan memberi definisi operasional dari variable Pengaruh Strategi WMD dan senjata kimia di Irak.
1. Dalam strategi WMD AS terdapat tiga pilar utama yaitu counterproliferation, non proliferation, dan WMD consequences management.
2. Istilah WMD bagi militer AS diperuntukkan bagi senjata dengan daya ledak besar dan hancur serta/atau digunakan untuk membunuh orang dalam jumlah besar. WMD bisa dalam bentuk bom dengan daya ledak besar, nuklir, senjata biologi, senjata kimia ataupun senjata radiologi, tetapi yang berhubungan dengan WMD seperti alat peluncur dan bagian-bagiannya bukan merupakan WMD.
3. Counterproliferation adalah sebuah upaya dalam mengatasi segala bentuk perkembangan senjata pemusnah massal dengan upaya melakukan pembendungan serta mitigasi dan pertahanan. Juga dilakukan melalui upaya-upaya pre-emptive.
4. Non-proliferation dilakukan melalui upaya-upaya diplomasi aktif seperti penandatangan perjanjian melalui NPT (Non Proliferation Treaty), pengontrolan materi-materi nuklir, sanksi-sanksi non-proliferasi, serta regim multilateral.
5. WMD consequences management adalah upaya dalam merespon segala kemungkinan penggunaan senjata pemusnah massal baik saat
diserang dengan senjata pemusnah massal atau saat terpaksa harus menggunakan senjata pemusnah massal dalam menghadapi musuh. 6. Senjata kimia adalah senjata yang menggunakan racun atau bahan
kimia berbahaya yang digunakan untuk memberikan efek fisik atau psikologis.
1.7 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 1.7.1 Metode Penelitian
Metode adalah teknik atau cara mengumpulkan data dengan menggunakan berbagai alat pengumpulan data. Sedangkan penelitian diartikan sebagai kegiatan ilmiah mengumpulkan pengetahuan baru dari sumber-sumber primer dengan tujuan pada penemuan prinsip-prinsip umum serta memberikan ramalan generalisasi di luar sampel yang diselidiki.
Dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Deskriptif merupakan bentuk analisa yang paling mendasar yang menggambarkan kenyataan seperti bagaimana yang tampak (Pearson & Rochester, 1992 : 22). Analisis deskriptif, memusatkan perhatian dan mengamati kejadian atau peristiwa tertentu melalui penggambaran secara logis.
Penggunaan metode deskriptif memerlukan data-data berupa data kualitatif. Data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas berlandaskan kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan data kualitatif seorang peneliti dapat memahami dan mengikuti alur peristiwa secara kronologis.
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data
Di dalam mengumpulkan data digunakan teknik pengumpulan data-data yang bersifat: studi pustaka dimana peneliti melakukan pengumpulan data-data dengan cara mempelajari bahan-bahan penelitian yang relevan dengan penelitian yang sedang diteliti, yaitu berasal dari:
1. Buku dan laporan 2. Surat kabar dan majalah 3. Jurnal dan dokumen
4. Alamat situs website yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti.
Semua bahan dan materi yang telah didapat dari berbagai sumber-sumber tersebut kemudian diolah sehingga dapat menjadi literature yang akurat dan mampu menggambarkan keadaan yang sebagaimana tampak.
1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian 1.8.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa perpustakaan, antara lain: 1. Freedom Institute
Jl. Irian No. 8, Jakarta.
2. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jl Dipatiukur 112-116
3. Perpustakaan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Jl Ciumbuleuit No 94, Bandung.
4. Perpustakaan FISIP Universitas Pasundan (UNPAS) Jl. Lengkong Besar No.68, Bandung.
5. Kedutaan Besar Republik Irak
Jl Teuku Umar No. 38, Jakarta 10350 6. Kedutaan Besar Amerika Serikat
Jl. Medan Merdeka Selatan 5 Jakarta 10110
1.8.2 Waktu Penelitian
Waktu yang dibutuhkan oleh peneliti untuk pra penelitian (tahap pengenalan, pemahaman dan pendalaman masalah) yaitu dimulai sejak bulan September 2008 dan direncanakan selesai pada bulan April 2009.
No Aktifitas
September Oktober November Febuari-Juni Juli
2008 2008 2008 2009 2009 2009 1 Penyusunan Usulan Penelitan 2 Ujian Usulan Penelitian 3 Pengumpulan Data 4 Pengolahan Data 5 Sidang Akhir
1.9 Sistematika Penelitian
Sistematika penulisan Rencana Usulan Penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I, Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran dan Hipotesis serta Definisi Operasional, Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data, serta Lokasi dan Lama Penelitian.
Bab II, Tinjauan Pustaka, berisi uraian dan penjelasan teori-teori serta konsep-konsep dalam studi Hubungan Internasional yang relevan dengan penelitian serta mendasari penelitian ini, yang terdiri dari Hubungan Internasional, Politik Internasional, Politik Luar Negeri, strategi nasional, dengan pendekatan realis.
Bab III, Obyek Penelitian, berisi obyek-obyek yang akan dikaji dalam penelitian, dalam hal ini mengenai perkembangan senjata kimia dan biologi di Irak, kebijakan-kebijkan luar negeri AS terhadap Irak serta strategi WMD yang dikeluarkan oleh AS dalam upaya mencegah dan memerangi senjata pemusnah massal.
Bab IV, Hasil Penelitian dan Pembahasan, merupakan kajian yang menganalisis dan membahas obyek penelitian (Bab III), yang didasarkan pada tinjauan pustaka pada Bab II dalam upaya pengujian hipotesis yang telah diajukan sebelumnya pada Bab I. Bab ini juga merupakan bagian inti dari penelitian. Dalam bab ini dianalisa bagaimana AS mengimplementasikan strategi WMD melalui ketiga pilarnya yaitu counterproliferation, non proliferation dan
WMD Management Consequences dalam upayanya untuk menghentikan upaya pengembangan senjata kimia yang dilakukan oleh Irak, dan bagaimana dampak dari pengimplementasian strategi ini terhadap upaya pengembangan senjata kimia yang dilakukan oleh Irak.
Bab V, Kesimpulan dan Saran, merupakan bab yang berisikan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan saran-saran dari penulis dalam konteks sebagai peneliti.