• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETARUNGAN IDEALISME DALAM EKRANISASI PADA KESUSASTRAAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETARUNGAN IDEALISME DALAM EKRANISASI PADA KESUSASTRAAN INDONESIA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PETARUNGAN IDEALISME DALAM EKRANISASI PADA KESUSASTRAAN INDONESIA

Hilda Septriani

Program Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung septrianihilda@yahoo.co.id

Abstrak

Isu alih wahana dalam kajian ilmu sastra memang bukan merupakan sesuatu yang baru. Transformasi bentuk dari satu medium ke medium lain yang dilakukan disinyalir sebagai wujud kreativitas para penggiat sastra dan pelaku seni untuk menciptakan karya yang mampu berkontribusi secara komprehensif. Perkembangan kesusastraan Indonesia yang diwarnai fenomena alih wahana tentu saja memiliki karakteristik tersendiri. Namun untuk pemfokusan batasan masalah, proses alih wahana yang akan dibahas lebih jauh dalam penelitian ini adalah ekranisasi. Ekranisasi ialah pengadaptasian karya sastra (wahana tulis) ke dalam film (wahana audio visual). Dalam ekranisasi, akan ada persamaan dan perbedaan yang mungkin saja menunjukkan ketidaksesuaian atau penyimpangan dari karya aslinya karena menggunakan medium yang berbeda. Munculnya kreativitas dalam proses ekranisasi dijadikan sebagai jalan pintas untuk membantu masyarakat yang tingkat kemampuan literasinya rendah untuk memahami cerita. Kendati demikian, konsekuensi dari ekranisasi adalah terjadinya pertarungan idealisme antara novel dan film. Pada awal tahun 2000-an, proses ekranisasi banyak terjadi pada novel-novel populer. Penelitian ini akan memfokuskan kajian ekranisasi novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (2003) karya Ahmad Tohari ke dalam film Sang Penari yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah (2011). Tujuan penelitian ini adalah untuk menunjukkan pertarungan idealisme yang diejawantahkan melalui perbedaan yang muncul pada novel dan film tersebut dengan melihatnya dari berbagai sudut pandang.

Kata kunci : alih wahana, ekranisasi, pertarungan idealisme

PENDAHULUAN

Terdapat banyak medium dalam menciptakan suatu karya seni yang terus bergerak ke arah yang modern. Para penggiat seni, termasuk di dalamnya yang berkecimpung dalam dunia sastra juga harus meningkatkan kreativitas yang dimilikinya agar perkembangan kesusastraan dapat terus

(2)

berjalan. Beragam cara yang dapat dilakukan dalam mendukung khasanah sastra di Indonesia, salah satu contohnya ialah dengan mentransformasi media penyampaiannya. Penggubahan ini diterapkan tentu saja bukan tanpa alasan. Kepopuleran suatu karya aslinya tampaknya juga memegang peranan penting dalam proses adaptasi yang dilakukan. Teks sastra yang dianggap sangat berhubungan dengan persoalan kontekstual kemudian mengalami perluasan perspektif ketika ditransformasikan ke dalam medium yang berbeda.

Keberadaan karya sastra di tengah-tengah pembacanya juga tidak terlepas dari ungkapan yang menyatakan bahwa “sastra lahir bukan dari alam kekosongan”. Sebuah karya sastra tercipta dari karya sastra yang lain bisa saja terjadi karena setiap karya pasti mempunyai referensi dari karya lain sebelum karya itu lahir dan menjadi karya yang baru. Karya yang baru tersebut secara otomatis mempunyai hubungan terhadap karya yang sebelumnya telah ada dan hubungan tersebut disebut dengan intertekstual. Adapun yang menarik ialah bahwa di antara berubahnya medium tersebut bukan berarti dari teks sebelumnya ke teks selanjutnya yang hanya berupa wacana. Akan tetapi lebih jauh dari itu, kreativitas yang dimiliki oleh para penggiat film pun kemudian berbondong-bondong untuk membuat film yang didasarkan pada karya sastra yang dipandang fenomenal pada masa tertentu.

Pada awal tahun 2000-an, penggubahan cerita yang ada dalam teks sastra ke medium yang dinamakan film juga berkembang cukup pesat, baik itu dari teks cerpen atau novel yang memiliki kompleksitas cerita di dalamnya. Karya-karya populer di sekitar tahun tersebut memang cukup banyak yang digemari oleh para pembaca setianya. Hal ini juga lah sekiranya yang mendorong Ifa Isfansyah untuk membuat film yang berjudul Sang Penari di tahun 2011 dengan mencantolkan ceritanya pada novel yang dibuat oleh Ahmad Tohari beberapa tahun ke belakang. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan film Sang Penari karya Ifa Isfansyah adalah suatu hasil produksi karya yang saling berhubungan karena film Sang Penari tercipta dari inspirasi novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang telah diterbitkan jauh sebelumnya.

(3)

Berbicara mengenai proses peralihan dari teks sastra ke dalam film memang bukan merupakan hal yang baru, termasuk di Indonesia. Pengadaptasian karya sastra ke dalam film mulai marak ada pada dekade 70-an (istilah ekranisasi belum digunakan saat itu). Ekranisasi sebenarnya adalah suatu proses pemindahan atau pengadaptasian dari novel ke film. Eneste (1991: 60) menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayar-putihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti ‘layar’). Ia juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan. Sementara itu, Damono (2005: 96) menyebutnya dengan istilah alih wahana. Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa alih wahana adalah pengalihan karya seni dari satu wahana ke wahana lain. Alih wahana kemudian dipahami lebih jauh dan lebih luas lagi jika dibandingkan dengan istilah ekranisasi.

Ekranisasi sebenarnya adalah suatu pengubahan wahana dari kata-kata menjadi wahana gambar. Di dalam novel, segalanya diungkapkan dengan kata-kata. Pengilustrasian dan penggambaran dilukiskan dengan kata-kata sehingga semua aspek dalam unsur yang membangun teks diwakilkan dengan kata-kata tersebut. Sedangkan dalam film, ilustrasi dan gambaran diwujudkan melalui gambar. Gambar dalam hal ini bukan hanya berkisar pada gambar mati, melainkan gambar hidup yang bisa ditonton secara langsung dan menghadirkan sesuatu rangkaian peristiwa yang langsung. Sebuah novel yang mungkin dibaca dalam beberapa hari bisa dinikmati dalam waktu yang relatif lebih singkat yakni dengan durasi film rata-rata yang hanya 90 - 120 menit.

Dalam kajian ekranisasi, upaya utama yang dilakukan adalah menemukan perbedaan-perbedaan/perubahan-perubahan dengan cara membandingkan karya ekranisasi (Sang Penari) dengan karya yang diinspirasi (novel Ronggeng Dukuh Paruk). Pembandingan seperti itu dikatakan oleh para ahli akan menemukan tiga kemungkinan perubahan yaitu hakikat penciutan/pengurangan, hakikat penambahan dan hakikat perubahan variasi. Kemungkinan-kemungkinan itu berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan tertentu dan idealisme yang dimiliki oleh para penggiat film tersebut. Tanpa mempertimbangkan durasi film yang memang

(4)

terbatas sehingga diperlukan kecermatan seorang sutradara dalam memilih adegan-adegan yang akan ditampilkan dan dirasa mampu menjadi agensi dari cerita yang sedang diadaptasi tersebut.

Akan tetapi, yang menjadi menarik dalam proses adaptasi film Sang Penari ialah bahwa film ini dianggap lebih mewakili isi cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk jika dibandingkan dengan film sebelumnya yang berjudul Mahkota Ronggeng (1983) yang juga sama-sama terinspirasi oleh novel Ahmad Tohari tersebut. Penilaian ini dicetuskan setelah membandingkan bahwa Sang Penari lebih kental dalam mengemas kekuatan lokalitasnya. Namun sebenarnya Ifa Isfansyah selaku sutradara film dalam sebuah wawancara pernah mengemukakan bahwa ia membebaskan dirinya untuk berimajinasi di film tersebut. Proses pembebasan itulah yang sekiranya banyak menghadirkan unsur-unsur kebaruan dan improvisasi yang tertangkap oleh kamera. Hal tersebut memang sudah menjadi hak sutradara ketika suatu karya digubah ke dalam film, maka pertarungan idealisme pun tidak dapat terelakkan lagi dalam penyajiannya. Berikut akan dipaparkan bagaimana kepentingan-kepentingan tertentu dan proses pertarungan idealisme tersebut ditampilkan dalam perbedaan-perbedaan antara film Sang Penari dan novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Hakikat Penciutan/Pengurangan

Penciutan dikenal juga dengan istilah penghilangan. Penghilangan dalam kajian ini disesuaikan dengan ekranisasi itu sendiri. Eneste (1991: 61) menyatakan bahwa ekranisasi berarti pula yang dinikmati berjam-jam atau berhari-hari harus diubah menjadi apa yang dinikmati (ditonton) selama sembilan puluh sampai seratus dua puluh menit. Jika suatu karya ingin difilmkan (filmisasi) memang cenderung akan dilakukan pengurangan atau penciutan beberapa adegan peristiwa yang digambarkan dalam karya sastra atau novelnya. Contoh yang dapat diperhatikan dalam novel ialah penggambaran saat Rasus yang sudah menjadi tentara saat itu menembak maling yang ingin mencuri di salah satu rumah yang ada di Dukuh Paruk. Sejak kejadian tersebut, maka Rasus mendapat apresiasi yang tinggi karena keberaniannya untuk menembak pencuri tersebut. Deskripsi pada bagian itu sama sekali tidak ditampilkan dalam film Sang Penari. Hal ini mungkin disinyalir karena keterbatasan waktu yang harus disiasati oleh tim pembuat film. Contoh lainnya yang juga dikurangi dan tidak digambarkan dalam film Sang Penari

(5)

yakni saat Srintil menjalani proses Gowok. Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa dan menjelang pernikahan dengan seorang wanita yang sudah dipilihkan oleh sang ayah tersebut. Seperti dalam kutipan berikut:

“Sampean berdua jangan khawatir. Aku menyediakan upah yang tidak bakal mengecewakan. Asal gowok itu memang cantik seperti Srintil itu.” (Tohari, 2011: 214)

Perkataan di atas diucapkan oleh Sentika kepada Sakarya dan Kartareja ketika ia meminta Srintil untuk menjadi gowok bagi putranya. Gambaran Srintil menjadi gowok dan kejadian saat Rasus menembak maling yang masuk ke daerah Dukuh Paruk memang tidak direka ulang dalam film Sang Penari karena dengan durasi yang sangat terbatas maka diperlukan kejelian sang sutradara dalam mengambil keputusan untuk melakukan pengurangan dan memotong adegan-adegan yang sudah cukup terwakilkan dengan adegan-adegan lain sehingga tidak mengurangi makna keseluruhan cerita. Di samping itu, novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari dan Jantera Bianglala. Maka hampir tidak mungkin bahwa semua peristiwa yang digambarkan dalam novel dapat di audio visualisasikan dalam kurun waktu yang sangat singkat yakni maksimal hanya dalam waktu dua jam.

Hakikat Penambahan

Novel dan film memang merupakan dua karya yang berbeda medium dalam penyajiannya. Kedua karya ini diciptakan oleh novelis dan sutradara dengan memodifikasi sedemikan rupa sehingga mampu melahirkan karya yang bermanfaat untuk dibaca, indah dan menarik saat ditonton. Eneste dalam bukunya yang berjudul Novel dan Film (1991: 64) memberikan pandangan bahwa penulis skenario dan sutradara telah menafsirkan terlebih dahulu novel yang hendak difilmkan, ada kemungkinan terjadi penambahan-penambahan di sana-sini. Misalnya penambahan pada cerita, alur, penokohan, latar atau suasana. Dalam film Sang Penari dapat terlihat penambahan sudah dilakukan di awal cerita ketika film ditayangkan. Misalnya, usia ketika Srintil dinobatkan menjadi seorang ronggeng yang berbeda dengan cerita di novelnya.

Kemudian penambahan selanjutnya terdapat saat hadirnya tokoh Surti dalam film yang sedang menari layaknya ronggeng sebelum Srintil. Padahal di dalam novel sama sekali tidak digambarkan mengenai tokoh Surti dan hanya diceritakan bahwa di Dukuh Paruk selalu

(6)

mengagungkan perempuan yang menjadi ronggeng. Hal ini dikarenakan dalam kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk bahwa tidak semua perempuan dapat menari seperti ronggeng sebab diharuskan ada indang ronggeng yang bersemayam dalam diri perempuan tersebut. Namun sudah bertahun-tahun lamanya sebelum kemunculan Srintil, Dukuh Paruk tidak memiliki ronggeng pengganti Surti. Penambahan-penambahan adegan ini sengaja ditampilkan nampaknya untuk mengisi ruang-ruang yang kosong di benak penontonnnya ketika mereka belum membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk sebelumnya. Tujuannya jelas untuk menyampaikan makna cerita secara lebih menyeluruh. Akan tetapi sekalipun banyak terjadi perubahan cerita, baik itu pengurangan maupun penambahan dalam film, Sang Penari tidak dapat begitu saja dilepaskan dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karena sejauh unsur cerita yang terlihat memang masih memiliki satu ikatan yang berkelindan satu sama lain.

Hakikat Perubahan Variasi

Selain dua hal yang telah dijelaskan di atas, Eneste (1991) juga menjelaskan kecuali adanya penciutan dan penambahan, ekranisasi juga memungkinkan terjadinya variasi-variasi tertentu antara novel dan film. Oleh karena adanya proses pengurangan dan penambahan dalam adaptasi tersebut, maka hakikat perubahan variasi juga cenderung dilakukan, namun secara garis besar tetap tidak mengubah inti dari cerita dalam novel. Pemindahan cerita novel ke dalam film divariasikan oleh novelis dan sutradara untuk membuat daya tarik dan bermanfaat bagi pembaca dan penontonnya. Hal ini juga sangat membantu untuk menimbulkan esensi yang berbeda jika sebelumnya penonton sudah pernah membaca novel yang menjadi sumber inspirasi terciptanya film tersebut, walaupun ada juga penonton yang mengharapkan kesan yang sama ketika mereka menonton film yang digubah dari novel. Akan tetapi, proses perubahan variasi yang dimunculkan memang seperti dua sisi mata uang yang bisa saja membuat film menjadi lebih menarik atau justru sebaliknya. Hal ini bergantung pada selera penonton yang menikmati cerita yang disajikan melalui tangkapan gambar dan proses editing yang cukup panjang.

Transformasi medium yang diterapkan dalam produksi film Sang Penari memang mengalami beberapa perbedaan dan perubahan variasi, baik itu dalam tokoh yang digambarkan sampai pada akhir ceritanya. Contoh elemen novel yang diubah adalah usia Srintil ketika tragedi

(7)

racun tempe bongkrek melanda desa Dukuh Paruk. Dalam novel, peristiwa itu diceritakan ketika Srintil masih bayi, sedangkan di dalam film Srintil ditampilkan sudah berusia di atas lima tahun pada saat itu. Selain itu, perubahan variasi yang dimunculkan adalah tokoh Sersan Binsar (Tio Pakusadewo) sebagai tentara yang berasal dari Medan yakni seseorang yang merekrut Rasus menjadi tentara. Nama dan karakter Sersan Binsar tersebut, menggantikan nama dan karakter Sersan Slamet (dalam novel, berasal dari Jawa) yang digambarkan juga sebagai seseorang yang merekrut Rasus untuk menjadi tentara. Di samping itu, alur linear dalam novel diubah menjadi alur linear yang agak meloncat dan maju mundur dalam film.

Sang sutradara yakni Ifa Isfansyah mencoba untuk membongkar konteks dan motivasi peristiwa novel tersebut untuk membangun salah satu adegan film Sang Penari yang menggambarkan peristiwa serupa tapi tak sama. Deskripsi Ahmad Tohari dalam novelnya tentang peristiwa perjuangan Rasus, Darsun dan Warta di tengah kondisi kekeringan, kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di Dukuh Paruk di bagian awal novel disajikan berbeda dengan di filmnya. Seperti dalam kutipan berikut:

“Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal. “Cari sebatang cungkil,” kata Rasus kepada dua temannya. “Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.” “Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini,” ujar Warta. “Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini. Pasti nanti kita mudah mencabutnya.” “Air?” ejek Darsun, anak yang ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?” “Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.” Tiga ujung kulup terarah pada titik yang sama. Currrr. Kemudian Rasus, Warta dan Darsun berpandangan. Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang singkong itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan hentakkan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut halus terputus. Perlahan tanah merekah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak Dukuh Paruk itu jatuh terduduk. Tetapi sorak-sorai segera terhambur. (Tohari, 2011: 10-11)

Dalam film Sang Penari, deskripsi keadaan desa Dukuh Paruk ditampilkan sama sekali berbeda dengan kutipan novel di atas. Hal ini tercermin pada saat Rasus, Warta dan Darsun yang

(8)

masih kecil ingin mengambil singkong di ladang, dengan mudahnya mereka dapat mencabut singkong yang tertanam pada tanah yang baru saja diguyur hujan. Padahal pada konteksnya, Dukuh Paruk adalah desa yang digambarkan serba kekeringan, namun hal itu menjadi terpatahkan karena adegan di dalam film pada bagian tersebut.

Perbedaan lainnya juga terpancar dari keberanian sutradara yang menampilkan drama politik yang ada dalam Dukuh Paruk patut diacungi jempol, padahal dalam novel yang dituliskan oleh Ahmad Tohari ini tidak begitu berani menceritakan mengenai pembunuhan orang-orang komunis yang diduga PKI oleh tentara dan penggambaran bagaimana ada orang yang dibunuh dan mayatnya mengambang di sungai. Akan tetapi, terdapat juga keberanian Ahmad Tohari dalam bercerita, sekalipun hanya menggunakan simbol. Hal ini diungkapkan ketika Sakarya mendapati makam Ki Secamenggala diporak-porandakan oleh orang yang mereka pikir adalah orang-orang kelompok Bakar. Namun tiba-tiba ditemukannya caping hijau yang seluruh masyarakat Dukuh Paruk tahu bukan berasal dari kelompok Bakar karena Bakar dan kelompoknya justru identik dengan warna merah (PKI). Dari peristiwa tersebut, keberanian Ahmad Tohari dapat teridentifikasi. Ia memunculkan simbol “caping hijau”, yang telah kita ketahui bersama bahwa warna hijau identik dengan atribut kelompok NU (Nahdlatul Ulama), kelompok agama terbesar yang diperintahkan oleh militer untuk membasmi anggota PKI pada saat itu. Kelompok NU tidak sepenuhnya menjadi pelaku dalam cerita ini, mereka juga menjadi korban karena mereka diperdaya oleh militer agar mau membasmi anggota PKI. Dengan menggunakan simbol “caping hijau” secara berani Ahmad Tohari membentangkan pedoman lain selain kemiliteran dan komunis, yaitu juga persoalan kelompok keagamaan.

Contoh lainnya yaitu di bagian akhir cerita yang menggambarkan perbedaan yang bertolak belakang. Dalam novel, cerita berakhir dengan tragis dan menyedihkan karena Srintil dideskripsikan mengalami gangguan kejiwaan dan dibawa ke rumah sakit oleh Rasus, tetapi di dalam film yang terjadi adalah sebaliknya karena cerita berakhir dengan keceriaan dan keromantisan. Srintil muncul kembali bersama Sakum (pemain gendang) sebagai ronggeng pengamen. Pada adegan tersebut, Rasus ditampilkan tengah memberikan kembali keris kecil yang pernah diberikannya pada saat Srintil pertama kali memutuskan untuk menjadi ronggeng. Keceriaan yang tergambar dalam adegan paling akhir juga terpancar ketika Srintil bersama Sakum

(9)

menari bersama sambil berjalan pulang ke desa Dukuh Paruk melalui jalan pematang sawah yang terlihat sangat panas dan kering. Meskipun memang menjadi kebebasan sutradara dalam mengemas film sesuai dengan kreativitas yang dimilikinya, namun film yang diadaptasi dari novel jelas mengusung kepentingan ideologis tertentu. Adanya variasi-variasi yang digambarkan seperti dalam film Sang Penari yang sebelumnya sudah dibahas menjadi cara tersendiri yang dilakukan oleh penggiat film dalam menuangkan idenya melalui perspektif yang dimiliki oleh mereka. Perihal tersebut pun kemudian dianggap sebagai hal yang sah-sah saja dalam menciptakan karya, sekalipun ada proses transformasi medium yang sedang dilakukan.

KESIMPULAN

Fenomena alih wahana yang berkembang dalam ranah kesusastraan Indonesia memang bukan hal yang baru. Isu tersebut telah ada dari beberapa dekade ke belakang, namun di tahun 2000-an cukup b2000-anyak karya sastra y2000-ang kemudi2000-an ditr2000-ansformasik2000-an ke dalam film. Salah satu di antaranya adalah novel sastra yang yang mendulang banyak perhatian yakni Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis oleh Ahmad Tohari dan dibuat film pada tahun 2011 oleh Ifa Isfansyah dengan judul Sang Penari. Terbatasnya durasi yang dimiliki oleh film mengakibatkan sejumlah perbedaan dengan karya yang dinspirasinya, seperti adanya pengurangan peristiwa yang tidak digambarkan, tetapi ada juga penambahan adegan yang dirasa dapat mewakili esensi cerita yang sesungguhnya. Selain itu, terdapat pula perubahan variasi, baik itu melalui peristiwa, tokoh ataupun latar suasana yang ditampilkan dalam filmnya, yang sebelumnya tidak ada atau berbeda dengan yang dideskripsikan dalam novel. Hal tersebut memang tidak dapat dihindari karena kemudian akan terjadi pertarungan idealisme dalam proses penciptaan film tersebut yang bisa saja berbeda dengan versi novel yang menjadi acuan.

DAFTAR PUSTAKA

Tohari, Ahmad. 2007. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah.

(10)
(11)

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ ANALISIS

[r]

Apabila kabupaten/kota yang menentukan jumlah tertentu atau dengan kriteria tertentu sebagai wilayah studi, sebelum melakukan random sampling dalam menentukan RT/desa

Demikian juga dengan penentuan wilayah negara kesatuan Indonesia, sebagai negara kepulauan yang telah diakomodasi dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut PBB (United

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persepsi kemudahan, persepsi kegunaan, dan kepercayaan terhadap nilai kesenangan dan minat beli ulang pada pelanggan

pegawai yang telah memenuhi persyaratan masa kerja untuk naik pangkat dan golongan setingkat lebih tinggi. 2 Pegawai yang akan naik pangkat melengkapi persyaratan dan menyerahkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media sapih hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, sedangkan parameter lain seperti persentase hidup,

Menurut Munawir (2012), laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau