• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan Pulpa

Jaringan pulpa gigi merupakan suatu jaringan ikat yang berasal dari jaringan mesenkim, berada di dalam ruang pulpa dan saluran akar gigi, mirip dengan jaringan ikat lainnya di dalam tubuh tetapi memiliki karakteristik khusus (Okiji, 2012). Hal ini disebabkan karena jaringan pulpa gigi merupakan jaringan yang dikelilingi oleh jaringan mineralisasi yang keras atau low compliance environment (Okiji, 2012). Oleh sebab dibatasi oleh dinding dentin yang rigid dan kurangnya sirkulasi kolateral maka perubahan volume di dalam ruang pulpa (seperti saat terjadi inflamasi) sangat terbatas (Byers, 1999; Gulabivala, 2014). Kemampuan pulpa terhadap pertahanan dan perbaikan jaringan sangat kecil, diduga hal ini akan mengurangi aliran darah dan perbaikan sel (Pashley dan Tay, 2012).

Jaringan pulpa gigi berasal dari neural crest (jaringan ektomesenkim) (Okiji, 2012; Hargreaves, 2012; Abbott, 2007). Proliferasi dan kondensasi sel ini menyebabkan pembentukan papila dental yang akan menghasilkan pulpa yang matur (Bergenholtz, 2010). Pulpa yang matur memiliki kesamaan dengan jaringan ikat embrionik dengan lapisan sel spesialisasi tinggi yaitu odontoblas di seluruh daerah perifer (Weine, 2004). Secara fisik, pulpa memiliki banyak inervasi saraf sensori dan

(2)

kaya akan komponen mikrosirkulasi yang membuat pulpa menjadi jaringan yang unik (Buck, 1999). Pengetahuan akan fungsi pulpa normal, komponen, dan interaksinya penting dalam memberikan kerangka pengertian terhadap perubahan yang terjadi dalam kelainan pulpa (Hargreaves. 2012).

Pulpa terdiri dari jaringan ikat lunak, mengandung pembuluh-pembukuh darah dan persyarafan, dan mempertahankan vitalitas kompleks pulpa-dentin (Okiji, 2002 ). Tipe sel yang terbanyak pada jaringan pulpa adalah sel-sel fibroblast. Selain itu, pulpa juga terdiri dari sel-sel endothelial, serabut-serabut syaraf, sel-sel

mesenchymal, dan berbagai sel-sel immunokompeten (Okiji 2002; Goldberg dan

Smith, 2004).

Pada pulpa koroner, dari daerah dalam ke perifer pulpa, sel-sel fibroblast membentuk zona kaya sel (sel-sel Hohl, sel-sel subodontoblasik) yang dipisahkan dari lapisan odontoblas oleh zona tanpa sel (zone of Weil)(Abbott, 2007). Pada zona ini dijumpai kapiler-kapiler darah, jaringan kaya serabut-serabut syaraf unmyelinated (serabut syaraf C), dan processus fibroblast (Bergenholtz, 2010). Jaringan ikat pulpa sentral terdiri atas sel-sel fibroblast, pembuluh-pembuluh darah yang lebih besar dan persyarafan berada sebelah dalam zona kaya sel ( Okiji 2002 ). Sel-sel mesenchymal yang tidak berdiferensiasi, sel-sel progenitor pulpa diperkirakan mempunyai kemampuan diferensiasi menjadi fibroblast atau odontoblas, terdistribusi pada jaringan pulpa, dan sering terlokasi perivaskuler (Okiji, 2002). Beberapa tipe sel-sel

(3)

immunokompeten, termasuk sel-sel dendrit, makrofag, limfosit T, dan limfosit B (Jontell et al., 1998).

Matriks ekstraseluler pulpa ( ECM ), yang dihasilkan sel-sel fibroblast, terdiri atas kolagen, proteoglycans, dan glycoprotein yang komposisinya sama dengan jaringan ikat lunak lain (Okiji, 2012). Kolagen pada pulpa adalah fibriliar yaitu kolagen tipe I dan III merupakan 95% dari total kolagen, sedangkan kolagen non-fibriliar adalah kolagen V dan VI dijumpai lebih sedikit (Abbott, 2007).

Pembuluh-pembuluh darah dan persyarafan memasuki pulpa melalui foramen apikal atau foramina saluran akar tambahan dan kemudian bercabang ke arah koroner (Ikeda dan Suda, 2012). Vaskularisasi terbanyak dijumpai pada daerah subodontoblasik dan beberapa kapiler memasuki lapisan odontoblas tetapi tidak dijumpai pada dentin (Ikeda dan Suda, 2012). Syaraf-syaraf sensory dan syaraf

sympathetic mengikuti pembuluh-pembuluh darah dan membentuk jaringan yang

kaya ujung terminal syaraf pada regio subodontoblasic dan ruang periodontoblasic dari tubulus-tubulus dentin sepanjang 0,1 mm pada dentin koroner (Ikeda dan Suda, 2012; Byers et al.,1999). Mayoritas persyarafan pulpa adalah syaraf sensoris (Byers, 1999).Serabut-serabut syaraf sensory terutama dekat puncak tanduk pulpa (Byers et al., 1999). Daerah odontoblas dan subodotoblas secara normal tidak diinervasi oleh syaraf-syaraf symphatetic (Olgart, 1996).

(4)

2.2 Sel-sel odontoblas

Odontoblas merupakan sel pulpa yang paling khas, berasal dari jaringan mesenkim, membentuk lapisan tunggal di perifernya dan mensintesis matriks yang termineralisasi menjadi dentin (Okiji, 2012). Odontoblas banyak terdapat pada ruang pulpa bagian korona berbentuk kubus dan relatif besar. Jumlahnya 45.000 dan 65.000/mm2 (Pashley dan Tay, 2012). Di bagian servikal dan pertengahan akar, jumlahnya lebih sedikit, dan bentuknya skuamosa (Pashley dan Tay, 2012). Sel odontoblas merupakan sel akhir yang tidak mengalami pembelahan sel, sama dengan

umur vitalitas pulpa mengalami masa fase fungsional, transisional, dan istirahat (Bergenholtz, 2010; Pashley dan Tay, 2012). Odontoblas terdiri dari badan sel yang

terletak pada pulpa dan prosesus odontoblas memanjang ke luar kearah tubulus dentin dan predentin (Pashley dan Tay, 2012).Odontoblas bekerja paling aktif selama dentinogenesis primer dan selama pembentukan dentin reparatif (Pashley dan Tay, 2012). Odontoblas tumbuh jika pada zona kaya sel mengandung preodontoblas (Pashley dan Tay, 2012). Oleh karena odontoblas merupakan pembentuk dentin maka disebut juga sebagai dentinoblas (Bergenholtz, 2010).

Lapisan odontoblas yang merupakan sel khusus yang membentuk dentin membatasi bagian pulpa paling luar (Pashley dan Tay, 2012).Selain fungsi odontoblas dalam membentuk dentin, odontoblas juga terlibat dalam transduksi sensoris (Diogenes dan Henry, 2012). Adanya tight, adhering, dan gap junctions menunjukkan bahwa sel ini mempunyai hubungan satu sama lain dan apabila satu sel

(5)

mengalami perubahan maka banyak sel lain juga mengalami hal yang sama (Okiji, 2012). Gap junctions dijumpai antara odontoblas dan serabut saraf dan memberikan jalur resistensi elektrik rendah antara odontoblas dan serabut saraf (Okiji, 2012).

Pulpa dilengkapi dengan komponen seluler yang penting untuk pengenalan awal dan memproses antigen. Oleh sebab itu pulpa memiliki kemampuan untuk memicu reaksi pertahanan tubuh (Abbott, 2007; Okiji, 2012). Sel imun yang utama pada pulpa normal yaitu sel T perifer (helper/induced dan sitotoksis/suppressor).

Antigen presenting cell (APG) utama di dalam jaringan pulpa yaitu sel dendritik yang

sebagian besar terletak pada lapisan odontoblasik (Okiji, 2012). Sel-sel ini menerima, memproses, dan menghadirkan antigen asing sebagai HLA-DR antigen pada permukaan sel terhadap limfosit T CD4+ (Okiji, 2012). APC yang lain menyerupai makrofag dan terletak pada bagian tengah pulpa (Okiji, 2012). Menurut Yu dan Abbott (2007), pada gigi insisivus tikus ditemukan makrofag yang mengaktifkan antigen klas II empat kali lipat lebih banyak dari sel dendritik.Pada pulpa yang normal tidak ditemukan adanya sel B (Trowbridge, 1993).

Pulpa merupakan organ sensoris sehingga pulpa memiliki sensitifitasnya terhadap stimuli eksternal (Okiji, 2012; Abbott, 2007). Pulpa menunjukkan respon terhadap berbagai jenis stimuli sensori seperti perubahan termal, deformasi mekanis, atau trauma sebagai sensasi umum yaitu nyeri (Okiji, 2012). Kemampuan menimbulkan nyeri tersebut sangat penting karena merupakan bagian dari sistem pertahanan pulpa (Simon, 2009). Pasien dengan inflamasi pulpa akan cenderung

(6)

mencari perawatan dengan lebih cepat apabila terjadi injuri pulpa jika dibandingkan dengan gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar dimana sensasi nyeri tidak akan dialami sampai kerusakan besar telah terjadi pada jaringan sekitar gigi (Iqbal dan Kim, 2007). Selain itu fungsi proprioseptif pulpa membatasi beban berlebihan pada gigi oleh otot pengunyahan dan dengan demikian melindungi gigi dari injuri (Iqbal dan Kim, 2007).

2.3 Pulpitis Reversibel dan Ireversibel

Inflamasi jaringan pulpa gigi merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan reaksi neuro dan vaskuler yang merupakan komponen kunci dari fenomena neurogenik dan bisa menyebabkan nekrosis pulpa (Caviedes-Bucheli, 2006). Penyebab paling umum inflamasi dalam pulpa yaitu bakterial (Waterhouse, 1999). Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tubuli dentin yang terbuka, baik dari karies maupun terbukanya pulpa karena trauma, adanya kebocoran pada restorasi, dari perluasan infeksi pada gingiva atau melalui peredaran darah (Tokuda, 2004). Mikroorganisme berperan penting dalam penyakit pulpa. Ada atau tidaknya iritasi bakteri adalah faktor penentu dalam kelangsungan hidup pulpa setelah pulpa terbuka secara mekanis (Weine, 2004).

Inflamasi merupakan respons fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi dibagi menjadi dua tahap yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut

(7)

menunjukkan respons yang tiba-tiba dan durasi yang pendek, dengan demikian inflamasi akut dihubungkan dengan injuri dadakan (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi akut juga menunjukkan tipe respons yang lebih spesifik yang melibatkan reaksi eksudatif dimana cairan, protein serum dan sel darah putih meninggalkan aliran darah dan memasuki daerah injuri (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi akut dapat berkembang menjadi suatu inflamasi kronis jikalau agen penyebab injuri masih tetap ada (Trowbridge dan Emling, 1993). Apabila inflamasi akut berlangsung lebih dari beberapa hari, maka dapat berkembang menjadi reaksi inflamasi kronis (Bergenholtz, 2010). Inflamasi kronis adalah respons proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblast, endotelium vaskuler, dan influks yang dinamakan sel inflamasi kronis (limfosit, plasma sel dan makrofag) (Trowbridge and Emling, 1993).

Pulpitis adalah radang pada jaringan pulpa gigi, yang dapat bersifat akut, kronik, dan kronik eksaserbasi akut, bergantung pada proses pathogenesis dan etiologinya (Tokuda, 2004). Akhir-akhir ini akibat perawatan dan pemakaian bahan-bahan kedokteran gigi juga merupakan faktor penyebab yang perlu diteliti lebih jauh di samping penyebab lainnya seperti trauma dan lain-lain (Saad dan Clem, 1988). Letak jaringan pulpa yang terlindung oleh email dan dentin yang kuat dan keras merupakan suatu keuntungan bagi jaringan pulpa dalam mempertahankan diri terhadap rangsang (Gulabivala, 2014).

Namun jaringan keras tersebut bersifat permeabel sehingga mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, seperti suhu, tekanan, zat kimia, dan lain-lainnya

(8)

(Gulabivala, 2014). Gejala radang jaringan pulpa secara klinis sangat sukar dibedakan, karena rasa nyeri digunakan sebagai tolok ukur dalam menentukan diagnosis penyakit (Bergenholtz, 2010). Banyak peneliti mencoba mengklasifikasikan penyakit pulpa ini dengan menghubungkannya dengan jenis perawatan endodontik yaitu apakah jaringan pulpa masih dapat dipertahankan, dirawat, atau dikeluarkan (Bergenholtz, 2010).

Diagnosis tersebut sukar dan sering kurang sesuai dengan keadaan penyakit sebenarnya karena letak jaringan pulpa terlindung oleh jaringan keras gigi, yaitu email dan dentin (Iqbal, 2007). Respon jaringan dentin yang diterima jaringan pulpa juga berbeda pula. Keadaan klinik dan mikroskopik penyakit pulpa ternyata sering tidak sesuai karena diagnosis ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik dan gambar radiografi. Oleh karena itu, pemilihan jenis perawatan sering kurang sesuai apabila diagnosis tersebut digunakan sebagai pedoman (Iqbal, 2007). Walaupun tidak akurat, rasa nyeri masih dipakai sebagai indikator dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa (Bergenholtz, 2010).

Di samping rasa nyeri, tolok ukur lain dalam menentukan diagnosis penyakit pulpa secara klinik ialah faktor penyebab terbukanya jaringan pulpa atau penyebab keluhan pulpa (Hargreaves, 2012). Pulpa dapat terbuka oleh karena proses karies atau trauma. Keluhan rasa nyeri dapat disebabkan oleh rangsang termis, elektris, dan kimia (Iqbal, 2007). Riwayat rasa nyeri yaitu jenis, letak, proses terjadinya, frekuensi, serta kualitas rasa nyeri tersebut digunakan untuk menentukan diagnosis penyakit

(9)

pulpa, namun hasil rekaman tersebut belum dapat memastikan keadaan jaringan sebenarnya (Hargreaves, 2012). Hasil rekaman rasa nyeri, gambaran radiografik, serta keadaan klinik diharapkan dapat menentukan diagnosis penyakit pulpa yang lebih akurat, yaitu pulpitis atau nekrosis (Hargreaves, 2012).

Keadaan jaringan pulpa yang sebenarnya hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan mikroskopik (Weine, 2004). Jaringan pulpa sudah menunjukkan reaksi sejak lapisan email terbuka oleh cedera, mekanik, termal, kimia, atau bakteri. Reaksi tersebut berupa terdapatnya limfosit di jaringan pulpa, dan mulai terlihatnya lapisan odontoblas yang cedera (Simon, 2009). Bila intensitas rangsang lebih besar, maka dapat timbul cedera pada jaringan pulpa yang lebih luas dan dalam (Iqbal 2007). Rangsang tersebut akan mengubah sistem mikrosirkulasi dalam jaringan pulpa sehingga terjadi hambatan aliran darah dan metabolisme dalam jaringan (Gulabivala, 2014). Pada awalnya, terjadi vasodilatasi sisstem mikrovaskularisasi yang menyebabkan sirkulasi darah menjadi statis (Chandra, 2010). Di dalam arteri terjadi mobilisasi lekosit, sel-sel polimorfonukleus (PMN) mengadakan marginasi yang dilanjutkan dengan emigrasi ke jaringan sekitarnya (Gulabivala, 2014). Hal ini akan mengakibatkan pengumpulan eksudat di jaringan untuk proses fagositosis, keadaan ini disebut pulpitis akut (Bergenholtz, 2010).

Apabila proses berlanjut menjadi kronik, maka tanda-tanda mikroskopik berupa penyebaran sel-sel radang khronik seperti limfosit, sel plasma, histiosit yang aktif, dan makrofag yang menyebabkan fibrosis serta perkapuran. Ulkus terbentuk

(10)

pada tempat pulpa yang terbuka. Pada pulpitis supurativa secara mikroskopik tampak mikro abses yang kemudian mengalami kapsulasi dan menjadi abses ganda (multiple) dengan nekrosis yang mengalami lisis (Weine, 2004). Pulpitis supurativa dapat berkembang menjadi nekrobiosis akut apabila seluruh jaringan pulpa hancur karena radang akibat infeksi sekunder (Weine, 2004). Nekrobiosis kronik ditandai oleh infiltrasi sel plasma yang menyeluruh sehingga terjadi nekrosis cair yang mengandung vakuol (Gulabivala, 2014).

Weine (2004) mengklasifikasikan radang pulpa secara histopatologik ke dalam pulpitis ringan, pulpitis akut, pulpitis khronik, pulpitis supurativa, nekrobiosis akut, dan nekrobiosis kronik. Sementara itu, Seltzer dan Bender (2002) mengklasifikasikan keadaan pulpa berdasarkan pemeriksaan histologik sebagai berikut diantaranya adalah pulpa sehat, pulpa atrofik (pulposis), pulpitis akut, pulpa utuh dengan sel radang khronik (tahap transisi), pulpitis kronik dengan nekrosis cair sebagian, pulpitis kronik dengan nekrosis padat sebagian, pulpitis kronik total, dan nekrosis pulpa total.

Inflamasi pulpa secara klinis dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu pulpitis reversibel dan pulpitis ireversibel (Weine, 2004). Pulpitis reversibel adalah suatu kondisi inflamasi pada pulpa ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa stimuli, tetapi pulpa mampu kembali pada keadaan tidak terinflamasi setelah stimuli stimuli ditiadakan (Weine, 2004). Rasa sakit yang berlangsung sebentar dapat dihasilkan oleh stimuli termal pada pulpa yang mengalami inflamasi reversible tetapi

(11)

rasa sakit hilang segera setelah stimuli dihilangkan (Weine, 2004). Penyebab pulpitis reversibel disebabkan oleh iritan yang mampu melukai pulpa. Penyebab dapat berasal dari trauma oklusal yaitu termal saat preparasi kavitas dengan bur yang terlalu lama, dehidrasi kavitas dengan alkohol atau kloroform yang berlebihan, dan adanya bakteri yang masuk ke dalam pulpa (Hargreaves, 2012). Gejala pada pulpitis reversibel ditandai oleh rasa sakit yang tajam namun sebentar saat adanya rangsangan misalnya pada saat makan atau minum. Pada pulpitis reversibel rasa sakit tidak terjadi secara spontan (Chandra, 2010).

2.4 Neuropeptid dalam Inflamasi Pulpa

Neuropeptid (NP) merupakan sintesa protein dalam badan sel primer serabut saraf aferen yang kemudian dihantarkan ke CNS dan ujung saraf perifer (Wakisaka, 1990). Di dalam pulpa gigi, NP ini disimpan pada ujung sel saraf dan merupakan penghantar dari badan sel di dalam ganglion trigeminal melalui axon-axon ke ujung-ujung serabut saraf (Wakisaka, 1990). Selama terjadinya inflamasi pulpa, mediator inflamasi perifer terstimulasi dan mensensitisasi serabut saraf sensoris (nosiseptor) untuk melepaskan NPs (Henry dan Hargreaves, 2007). Beberapa NPs yang berperan penting dalam inflamasi pulpa yaitu calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P (SP), neurokinin A (NKA), neuropeptid K, neuropeptid Y, somatostatin, dan vasoactive intestinal peptide (VIP) (Byers, 2012). Neuropeptid yang berkontribusi untuk inflamasi pulpa yaitu SP, CGRP, dan VIP yang merupakan

(12)

vasodilator sedangkan neuropeptid Y merupakan vasokontriktor. (Abbott, 2007; Gomez, 2011; Wakisaka, 1990)

Neuropeptid (NP) menghasilkan beberapa efek biologis dan memunculkan diantara sirkulasi dan aksi dari imun modulasi modus, injeksi dari substansi P (SP) intradermal di dalam produksi plasma ekstravasasi (Caviedes Bucheli, 2008). SP mengeluarkan histamine dari mast sel yang di dalamnya diturunkan stimulasi pengeluaran SP (Caviedes Bucheli, 2008). Pre-treatment anti histamin mengurangi ekstravasi yang menginduksi SP (Sattari, 2010). Dengan demikian ekstravasi yang menginduksi SP dan edema tergantung dari histamine (Wakisaka, 1990). Edema diinduksi oleh oleh histamin dan bradikin adalah potensial dari CGRP dan dihambat oleh pre-treatment dengan anti-CGRP (Caviedes Bucheli, 2004). Hal ini terjadi karena CGRP pontensial mengekstravasasi SP-induced melalui penghambatan dari degradasi SP. Injeksi CGRP pada manusia menginduksi sebuah respon vaskular yang lama (Byers, 2012), pengaturan sistemik dari CGRP yang disebabkan oleh hasil penurunan tekanan darah di dalam tikus, hipotensi, dan takikardia pada manusia. Oleh karenanya, CGRP adalah salah satu diantara endogenus vasodilatasi yang paling potensial (Caviedes Bucheli, 2004).

Neuroprotein/neuropeptid (NP) yang dihasilkan saraf sensoris seperti substansi P (SP), calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A (NKA) diproduksi pada badan sel trigeminal dan dihantarkan via akson menuju terminal saraf di dalam pulpa (Caviedes-Bucheli, 2008). Penelitian Wakisaka (1990)

(13)

memumjukkan bahwa mayoritas terminal saraf ini merupakan serabut saraf C yang erat kaitannya dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa meskipun beberapa ujung saraf bebas lain juga ditemukan (Wakisaka, 1990).

Aplikasi lokal dari bradikinin di dalam kavitas dentinal kucing secara signifikan meningkatkan aliran darah pulpa pada percobaan gigi yang masih ada persarafan tapi hal ini tidak terjadi pada kelompok gigi yang sudah diangkat persafarannya (Diogenesa dan Henry, 2012). Ini mengindikasikan bahwa bradikinin tergantung sebagai vasodilator dalam neuropeptide (NP) (Diogenes dan Henry, 2012). Produksi ektravasasi plasma oleh SP dan produksi vasodilatasi oleh CGRP adalah bagian yang terpisahkan dari reaksi inflamasi (Fristad, 2010). Hal ini menyediakan area dengan prekusor plasma-borne untuk mediator inflamasi seperti asam arakhidonat dan kininogen (Trwobridge dan Emling, 1993). Enzim jaringan mengubah asam arakhi donat menjadi leukotriens dan prostaglandin, dan kininogen ke bradikinin. Hasilnya mediator inflamasi akan merangsang ujung saraf bebas dan perjalanan impuls dimulai. Hargreaves, dkk (2012) menyatakan bahwa CGRP dan SP memiliki aksi potensial dalam respon vascular dan mempertahankan reaksi inflamasi melalui sebuah mekanisme local positif feed back.

Faktanya bahwa penghambatan rangsangan aktivasi oleh obat anti inflamasi mengindikasikan perangsangan melalui prostaglandin (Fouad, 2012). Serotonin dapat merangsang serabut saraf A-delta pada pulpa (Fouad, 2012). Aplikasi serotonin ke dalam kavitas dentin dapat merangsang serabut saraf A ke stimulasi hidrodinamik

(14)

dari dentin (Fouad, 2012). Bradikinin dan histamin mengaktifkan serabut saraf C (Fouad, 2012). Perbedaan rangsangan dari saraf intradental A dan C mungkin menjelaskan perubahan tipe dan intensitas simptom nyeri selama proses inflamasi pulpa sehingga dapat didefinisikan inflammasi neurogenik adalah respon inflammasi yang diperantarai oleh neuropetid dimana dapat dilepaskan dari stimulasi nosiseptor perifer (Fouad, 2012).

CGRP dihasilkan didalam serabut saraf di dalam pulpa yang dianggap bagian mayor dari inervasi gigi (Awawdeh, 2002). Oleh karena itu, respon dari serabut-serabut menunjukkan perbedaan pemberian injuri seperti preparasi kavitas, terpaparnya pulpa, trauma oklusi, dan replantasi (Byers, 1999). Kebanyakan dari serabut saraf bertahan terhadap injuri dan meneruskan ke inervasi dentin yang hanya ditemukan terisi di tubulus dentin oleh odontoblas (Pashley dan Tay, 2012).

Byers (1999) menemukan bahwa proses faktor sintesis meningkatkan nerve

sprouting saraf CGRP dan SP. Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa nerve sprouting adalah sebuah vehicle yang membawa beberapa neuropeptid ke area

inflamasi (Caviedes Bucheli, 2008). Peneliti yang sama juga menemukan adanya

nerve sprouting dan peningkatan level neuropeptids dari CGRP gigi yang diekstraksi

(Caviedes Bucheli, 2006).

Produksi nyeri oleh prosedur inflammasi, jelas merupakan hal yang berbeda dengan nyeri yang diinduksi oleh stimulasi oleh transient non inflammatory seperti tusukan jarum (Byers, 1999). Inflamasi menyebabkan perubahan elektrofisiologis

(15)

pada nosiseptor perifer untuk menghasilkan tingkatan persepsi dari hiperalgesia (Diogenes dan Henry, 2012). Hal ini merupakan hasil rangsangan yang besar dari stimulus panas, dingin, dan mekanikal. Hargreaves (2012) mengemukakan bahwa hiperalgesia sebagai tingkatan persepsi yang ditandai dengan nyeri spontan, penurunan ambang rasa nyeri, dan peningkatan besarnya rasa nyeri yang dirasakan oleh pemberian sebuah stimulus.

Perubahan struktural dan fungsional di sistem saraf pusat yang diikuti dengan aktivasi peripheral nosiseptor terhadap respon pada injuri jaringan dan inflammasi menjadi lebih menonjol pada nyeri yang lama dari sistem nyeri (Diogenes dan Henry, 2012). Penelitian Caviedes Bucheli (2006) pada manusia menunjukkan bahwa penyebaran nyeri pada pulpitis melalui secondary hiperalgesia menuju sentral sensitisasi. Studi elektrofisiologi menemukan bahwa stimulasi yang noksious pada gigi, menghasilkan respon sitokimia yang berlainan di batang saraf trigeminal. Kesimpulannya, inflamasi dan injuri di jaringan perifer mungkin akan menghasilkan perubahan di dalam transmisi impuls dalam central pain pathways (Caviedes Bucheli, 2008).

Respons inflamasi terhadap injuri ataupun infeksi pada jaringan pulpa memiliki makna klinis yang signifikan (Fried, 2011). Injuri dapat disebabkan oleh prosedur iatrogenik, trauma, maupun atrisi. Infeksi juga dapat disebabkan oleh bakteri yang berasal dari karies, kebocoran mikro pada restorasi ataupun melalui jalan masuk lainnya ke dalam pulpa. Inflamasi dapat dibagi atas tiga tahap yaitu inflamasi

(16)

akut, inflamasi kronis, dan penyembuhan (healing) (Trowbridge dan Emling, 1993). Inflamasi pada jaringan pulpa sama seperti jaringan ikat lainnya dimana inflamasi ini dimediasi oleh faktor seluler dan molekuler (Fouad, 2012). Vasodilatasi dan peningkatan aliran darah terlihat pada fase awal inflamasi pulpa (Gomez, 2011). Pada waktu sel-sel pulpa menjadi aktif maka membran fosfolipidnya dengan cepat mengalami perubahan sehingga menghasilkan mediator-mediator inflamasi aktif secara biologis (Carrasquillo, 2004). Produk-produk tersebut berasal dari metabolisme asam arakhidonat. Jalur enzim siklooksigenase menyebabkan terbentuknya prostaglandin (Figdor, 1994). Proses inflamasi pada jaringan pulpa juga melibatkan neuropeptid. Hal ini menjadi jelas bahwa neuropeptid juga memegang peranan penting dalam inflamasi pulpa yaitu dengan menghubungkan aksi saraf sensoris dan pembuluh darah.inflamasi neurogenik menggambarkan perubahan patologis dalam hubungan neurovaskular yang menyebabkan inflamasi (Fristad, 2010).

Hanya ada dua jenis serabut saraf yaitu Aδ dan C yang secara utama menginervasi jaringan pulpa dan bersifat sebagai reseptor polimodal (Smith, 2012). Serabut saraf C berhubungan erat dengan mikrosirkulasi jaringan pulpa karena dalam hal ini serabut saraf C berperan sebagai serabut saraf parasimpatetik yang mengatur vasodilatasi dan permeabilitas vaskularisasi pulpa (Ikeda, 2012). Ketika mengalami stimulasi, bagian terminal dari serabut saraf C akan melepaskan beberapa neuropeptid

(17)

yaitu substansi P (SP),calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A (NKA) (Caviedes-Bucheli, 2005).

Pulpa gigi diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang mengandung neuropeptid, yang dilepaskan serabut saraf aferen dan berkaitan dengan inflamasi neurogenik dan penyembuhan luka (Abbott, 2007). Bentuk umum inflamasi pulpa dimediasi secara neurogenik dan pengukuran biokimia terhadap mediator inflamasi meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel dan berhubungan dengan tanda dan gejalanya telah menunjukkan bahwa SP dan CGRP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang akan meningkatkan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah (Sacerdote dan Levrina, 2012).

Sekitar 25%-50% dari serabut saraf gigi merupakan serabut saraf bermyelin A-delta yang mengandung neuropeptid CGRP dan nerve growth factor (NGF) (Henry dan Hargreaves, 2007). Sebagian besar serabut saraf ini mempersarafi dentin, predentin, dan lapisan odontoblas pada daerah korona dekat dengan enamel. Sementara itu serabut saraf C menghasilkan NGF-reseptor dan beberapa neuropeptid seperti SP, CGRP, dan NKA (Fristad et al., 2010).

2.5 Substansi P (SP) dan Jaringan Pulpa

SP merupakan bahan vasoaktif dalam bentuk powder yang pertama kalinya ditemukan oleh Von Euler dan Gaddum pada tahun 1931 (Sacerdote dan Levrini, 2012). “P” pada substansi merupakan singkatan dari “powder”. SP terdiri atas 11

(18)

Met11-NH2) dan merupakan kelompok neurokinin (NK) A dan NKB di mana semua ini juga memiliki ujung karboksil yaitu Phe-X-Gly-Leu-Met-NH2 (Sacerdote dan Levrini, 2012). SP diberi kode oleh gen preprotachykinin –A dalam perikaryon serabut saraf aferen primer pada akar dorsal dan ganglion trigeminal yang kemudian dihantarkan menuju prosesus sentralis dan perifer elemen ini (Sacerdote dan Levrini, 2012). Uniknya sekitar 80% dari SP yang disintesa pada ganglion akar dorsal akan dikirimkan menuju daerah terminal pada serabut perifer (Diogenes dan Henry, 2012). Sejumlah enzim yang berperan dalam metabolism SP ini dikarenakan lokalisasi selular spesifik yang juga merupakan endopeptidase netral dan angiotensin converting enzymes (EP dan/atau ACE) yang paling banyak berperan dalam pembelahan SP pada daerah perifer (iogenes dan Henry, 2012).

Telah umum diketahui bahwa beberapa faktor dapat mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor pada daerah injuri jaringan dan kemudian menginduksi pelepasan neuropeptid pada perifer (Okiji, 2012). Capsaicin, panas, dan proton akan mengaktifkan vanilloid reseptor 1 (VR1) yang terletak pada serabut saraf sensori berdiameter kecil yang menyebabkan terbukanya cation channel dan meningkatkan masuknya kalsium melalui channel ini dan melalui voltage gated calcium channels yang diaktivasi oleh depolarisasi yang diinduksi sodium (Suwabchai, 2011). Efek ini meningkatan pelepasan SP dari saraf menyebabkan stimulasi jalur fosfolipase C dengan aktivasi cascade protein kinase C yang telah ditunjukan dapat menstimulasi sekresi SP dari ujung saraf sensoris (Byers, 2012).

(19)

Efek biologis dari pelepasan SP diinduksi setelah berikatan dengan G

coupled-protein reseptor spesifik NK (Pozo et al., 2012). Ada tiga jenis reseptor

tachykinin yaitu NK1,NK2, dan NK3 menunjukkan preferensi untuk bahan SP, neurokinin A dan neurokinin B masing-masing (Sacerdote dan Levrini, 2012). Namun tachykinins endogen sangat tidak selektif untuk setiap reseptor dan semua dapat bertindak pada semua tiga reseptor di bawah kondisi tertentuseperti ketersediaan reseptor atau peptida konsentrasi tinggi (Sacerdote dan Levrini, 2012). Substansi P terutama bekerja pada reseptor NK1 dan simulasi reseptor NK1 menginduksi beberapa sistem second messengers, seperti fosfolipase C intraselulerinositol 1,4,5 - trisphophate (IP3) yang diikuti dengan elevasi kalsium intraseluler (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor ini dijumpai dalam konsentrasi tinggi padajaringangigi. Selain itu SP telah diketahui dapat mengaktifkan ERK 2 dan P38 protein mitogen dan dapat meningkatkan produksi PGE2 dan ekspresi COX2 (Figdor, 1994).

Interaksi SP dengan reseptornya secara langsung menginduksi vasodilatasi dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan memungkinkan ekstravasasi plasma dan degranulasi mastosit (Gomez, 2011). Granul mastosit melepaskan histamin, yang pada gilirannya lebih lanjut menguatkan proses vaskuler dan mengaktifkan nosiseptors (Isett, 2003). Limfosit, granulosit, makrofag, dan memilikireseptor untuk SP dan sel-sel ini dapat dirangsang untuk memproduksi sitokin (Rodd dan Boissonade, 2000). Makrofag distimulasi oleh SP menghasilkan

(20)

mediator inflamasi PGE2, thromboxane, sertasitokin proinflamasi IL-1, IL-6, dan TNF. Semua aktivitas molekuler akhirnya mempertahankan sintesis dan pelepasan SP sehingga menjadi suatu lingkaran yang sulit dihentikan (Gambar 2.1). Selain itu, mekanisme ini tidak hanya melibatkanserabut syaraf pada daerah kerusakan jaringan, tetapi diperluas juga untuk jaringan sekitarnya rusak, di mana hal ini juga menyebabkan hiperalgesia sekunder (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Atas dasar ini, SP dianggap sebagai mediator utama inflamasi neurogenik dan terkait hiperalgesia serta merupakan target yang menjanjikan untuk terapi yang ditujukan untuk mengontrolrasa sakit dan meminimalkan konsekuensi buruk akibat adanya injuri jaringan (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Gambar 2.1 Peranan Substansi P (SP) dalam Inflamasi Neurogenik (Sacerdote and Levrini, 2012)

(21)

SP banyak terkandung pada serabut saraf yang menginervasi jaringan pulpa dan dentin (Wakisaka, 1990). Produksi dan pelepasan molekul ini meningkat seiring dengan adanya rangsangan noksius, termal, mekanis, dan kemis pada jaringan pulpa dan ligamen periodontal (Wakisaka, 1990). Jumlah SP yang dilepaskan oleh serabut saraf sensoris mengalami peningkatan selama proses inflamasi (Wakisaka, 1990). Bowles et al. (2003) menyatakan dalam penelitian mereka bahwa konsentrasi SP pada inflamasi pulpa ireversibel mencapai 8 (delapan) kali lipat lebih besar dibanding pulpa normal. Studi lain menunjukkan bahwa konsentrasi SP pada jaringan pulpa manusia meningkat pada gigi yang mengalami karies (Rodd and Boissonade, 2000). Peningkatan konsentrasi SP lebih tinggi pada kelompok karies yang disertai dengan nyeri dibanding dengan kelompok karies yang asimptomatik (Rodd and Boissonade, 2000).

Penelitian yang dilakukan oleh Sattari et a.l (2010) menemukan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi SP secara bermakna pada pulpitis ireversibel simptomatik dan pulpitis ireversibel asimptomatik. Penelitian oleh Caviedes-Bucheli (2008) juga menunjukkan peningkatan konsentrasi SP yang sangat signifikan pada kelompok pulpa yang mengalami induksi inflamasi dan pulpitis ireversibel akut dibanding pulpa normal.

(22)

Penelitian tersebut menunjukkan ekspresi pola ekspresi reseptor tachykinin NK1, NK2, dan NK3 pada berbagai jenis sel jaringan keras gigi, sel epitel, fibroblas, endotelium, dinding pembuluh darah pada jaringan pulpa, dan jaringan pendukung mulut (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor NK1 dan NK2 telah dijumpai berada pada sel odontoblas dan ameloblas. NK1 juga banyak dijumpai pada pembuluh kapiler dan pembuluh darah lebih kecil (Sacerdote dan Levrini, 2012). Reseptor NK1 dan NK2 paling banyak dijumpai pada pleksus kapiler yang berdekatan dengan dentin (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Banyak reseptor NK2 dideteksi pada gingiva dan epitel Malasez. Reseptor NK1 dan NK2 juga didapati pada fibroblas ligamen periodontal dan jaringan pulpa gigi (Sacerdote dan Levrini, 2012). Metode yang digunakan untuk menentukan dan mengukur jenis reseptor yaitu radioreseptor assay belum dapat menunjukkan tipe reseptor yang ada (NK1, NK2, atau NK3) (Sacerdote dan Levrini, 2012). Serabut saraf sensoris berakhir dekat pembuluh darah dan reseptor SP meningkat jumlahnya pada jaringan ini (Sacerdote dan Levrini, 2012). Pada jaringan sehat, pelepasan basal SP berperan penting dalam pemeliharaan homeostasis jaringan, sementara itu pada sisi lain pelepasan yang banyak dari molekul ini sebagai akibat stimuli eksternal menginduksi terjadinya vasodilatasi yang diikuti dengan peningkatan laju aliran darah yang lama (Trowbridge dan Emling, 1993). Peningkatan produksi dan pelepasan SP memegang peran dalam inisiasi dan propagasi proses inflamasi. (Sacerdote dan Levrini, 2012).

(23)

SP berinteraksi dengan sel mast dan menginduksi pelepasan histamin yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan tekanan darah (Caviedes Bucheli, 2008). Di samping itu, limfosit, granulosit, dan makrofag mengandung reseptor SP dan sel-sel ini dapat distimulasi oleh SP untuk memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi dan sitokin (Caviedes Bucheli, 2008). SP juga berperan sebagai kemotaksis poten yang dapat menarik sel-sel inflamasi pada jaringan pulpa (Wakisaka, 1990). Sejumlah besar mediator inflamasi dan nosiseptif secara dramatis mensensitisasi dan merangsang nosiseptor untuk melepaskan jumlah SP yang lebih besar baik pada sumsum tulang belakang dan jaringan pulpa yang akan meningkatkan sensasi nyeri (Sacerdote dan Levrini, 2012).

Hampir semua keadaan patologis yang mempengaruhi jaringan mulut baik termasuk prosedur kedokteran gigi dapat meningkatkan produksi dan pelepasan SP. Hasil penelitian ex-vivo oleh Rodd dan Boissonade (2000) menunjukkan bahwa ekspresi SP banyak dijumpai pada keadaan gigi karies simptomatis dibanding yang asimptomatik. Nilai rata-rata level SP ekstraseluler delapan kali lipat lebih besar pada gigi dengan pulpitis ireversibel dibandingkan dengan pulpa normal dan peningkatan bermakna SP dikaitkan dengan adanya jaringan granuloma dibandingkan dengan kelompok kontrol (Caviedes-Bucheli, 2006).

SP menggunakan aktifitas biologiknya secara utama melalui reseptor NK1 dengan afinitas tinggi tetapi pada konsentrasi yang tinggi peptida ini dapat

(24)

lain, NK1 merupakan reseptor yang paling berperan pada kondisi fisiologis sedangkan pada kondisi patologis karena konsentrasi SP yang tinggi maka seluruh resoptor NK memegang peranan dalam mekanisme neurogenik inflamasi (Gambar 2.2 dan 2.3).

Gambar 2.2 Peranan Substansi P (SP) sebagai Imunomodulator (Caviedes-Bucheli, 2005)

(25)

Gambar 2.3 Peranan Substansi P (SP) dalam Mekanisme Nyeri (Caviedes-Bucheli 2005)

SP memiliki efek pro inflamasi yang menyebabkan plasma ekstravasasi dan edema sedangkan CGRP menstimulasi pertumbuhan sel pulpa seperti fibroblas dan sel lir odontoblas. Selain itu CGRP juga meningkatkan ekspresi bone morphogenic

protein (BMP) – dua transkrip pada sel pulpa gigi manusia dan merupakan faktor

yang berkaitan dengan induksi pembentukan dentin. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa CGRP berperan dalam fenomena inflamasi seperi pulpitis ireversibel simptomatis (Cavides-Bucheli et al., 2004, Cavides-Bucheli et al., 2005).

Caviedes-Bucheli (2006) dan Caviedes-Bucheli (2008) melaporkan bahwa SP dan CGRP meningkat secara signifikan pada pulpitis ireversibel simptomatik dan

(26)

meningkat delapan kali lipat pada pulpitis ireversibel dibandingkan pulpa normal. Dengan demikian, pulpitis ireversibel dikaitkan dengan aktivasi signifikan sistem peptidergik (Sacerdote dan Levrini, 2012). Di samping itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa SP memegang peranan penting pada inflamasi neurogenik dalam mengatur aliran darah pulpa dengan mengontrol cairan eksudat yang berkaitan dengan fenomena inflamasi (Goodale, 1981).

Aktivasi peptidergik dari nosiseptor menstimulasi reaksi vasodilatasi (Abbott, 2007). Hal ini terjadi karena adanya neuron-neuron melepaskan vasoaktif polipeptida seperti Substansi P dan CGRP dimana terjadi depolarisasi (Caviedes Bucheli, 2008).Peninggian aktivasi dari nosiseptor dimulai ketika neuropeptid dilepaskan (Caviedes-Bucheli, 2008). Sebagai contoh, peninggian level dari Substansi P terdapat di dalam pulpa pasien dengan pulpitis ireversibel (Sattari, 2010). CGRP dan Substansi P meningkatkan vasodilatasi dan ekstravasasi, secara berturut-turut hingga berpartisipasi dalam proses inflamasi (Gomez, 2011). Mekanisme untuk inflamasi neuronal yang menyeluruh disebut inflamasi neurogenik. Dalam menjelaskan proses terjadinya nyeri pada pulpa dijumpai empat faktor yang berperan yaitu yakni: inflammasi neurogenik, nerve sprouting, hiperalgesia, dan central nervous system

(CNS) (Hargreaves, 2012).

Awawdeh et al. (2002) menemukan adanya level SP, CGRP, dan NKA yang signifikan tinggi pada keadaan nyeri pulpa dibandingkan dengan pulpa sehat. NPs ini berperan dalam proses inflamasi dan nyeri pulpa. Hasil penelitian mereka mengenai

(27)

patogenesis inflamasi pulpa dapat memberikan basis untuk pendekatan yang baru dalam merawat pulpa yang mengalami inflamasi. Penggunaan antagonis CGRP dan antagonist SP/NKA dapat mengurangi inflamasi dan memicu penyembuhan pada pulpa yang mengalami injuri sehingga menjadi suatu cara penanganan nyeri pulpa (Buck, 1999).

Inflamasi pulpa neurogenik ini biasanya akan berlanjut sehingga terjadi gangguan sistem vaskuler dan perubahan membran fosfolipid (Fouad, 2012). Selanjutnya dengan bantuan enzim fosfolipase A2 akan menghasilkan asam arakidonat yang merupakan substansi pembentuk mediator-mediator inflamasi misalnya prostaglandin (PGs), leukotriene, dan thromboxane dengan bantuan enzim

cyclooksigenase (Fouad, 2012). Pada inflamasi pulpa dengan peningkatan level

substansi P akan mengakibatkan nyeri yang secara bermakna terlihat dengan peningkatan konsentrasi prostaglandin E2(PGE2) jika dibanding dengan pulpa normal (Trowbridge dan Emling, 1993).

Menurut Caviedes-Bucheli (2005), Substansi P dapat menginduksi mediator-mediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, cytokine, dan

thromboxane. Mediator-mediator tersebut dapat mengaktifkan dan mensensitisasi

sel-sel saraf maupun non saraf sehingga dapat menyebabkan proses inflamasi dan rasa nyeri (Espasito, 2003).

(28)

2.6 Macaca fascicularis

M. fascicularis merupakan salah satu hewan primata yang banyak digunakan

sebagai hewan coba dalam penelitian biomedis karena secara anatomis dan fisiologis memiliki banyak kemiripan dengan manusia (Ardith, 2008) (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995)

M. fascicularis disebut juga dengan monyet ekor panjang, memiliki berbagai

nama lain seperti monyet Cynomolgus, dan monyet pemakan kepiting (crabeatingmacague) (Fortman, 2002; Reinhardt, 1997). Taksonomi monyet ekor panjang menurut Whitney et al., (1995) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Primata Sub ordo : Anthropoidea

(29)

Infra ordo : Catarrhini

Super famili : Cercopithecoidae Famili : Cercopithecidae Sub Famili : Cercopithecinae Genus : Macaca

Species : Macacafascicularis

2.6.1 Penyebaran dan Habitat

M. fascicularis memiliki habitat beragam mulai dari hutan primer, hutan

sekunder, sepanjang pinggiran sungai, hutan pesisir laut, hutan mangrove. Hewan ini memiliki penyebaran habitat yang luas di daratan Asia (Kemp, 2003).

2.6.2 Morfologi

Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat kaki (quadrupedalism) (Napier, 1985). Hewan ini memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan, sekitar 40-65 cm (16 – 26 inchi) (Navia, 1997). Hewan jantan memiliki ekor yang lebih panjang dibanding betina (Navia, 1997). Panjang badan monyet tergantung kepada sub spesiesnya, biasanya panjang monyet jantan dewasa 41,2 cm – 64,8 cm dan betina 38,5cm – 50,3 cm (Navia, 1997). Monyet ini memiliki perbedaan ukuran bobot tubuh antara jantan dan betina (Navia, 1997). Hewan jantan 4,7 kg – 8,3 kg dan yang betina 2,5 kg- 5,7 kg (Navia, 1997). Warna

(30)

rambut badan bervariasi dari coklat kekuningan (abu-abu) sampai coklat gelap. Warna rambut di ventral tubuh lebih pucat, sedangkan warna kulit wajah abu-abu gelap.Hewan ini memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada tulang duduk (ischium) (Navia, 1997).

Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I 1C 2PM 3M/2I – IC -2PM - 3M) (Swindler, 2002). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama, sedangkan gigi seri kedua atas lebih kecil dan sering bentuknya lancip (Swindler, 2002). Gigi seri kedua bawah lebih lebar dari gigi seri pertama bawah. Gigi taring atas berukuran lebih panjang dibanding gigi taring bawah dan letaknya menonjol melebihi tepi deretan gigi lainnya (Swindler, 2002). Gigi taring pada monyet jantan lebih panjang daripada monyet betina.Bentuk premolar bawah bervariasi (Swindler, 2002). Molar disebut bilophodont yaitu pada masing-masing molar terdapat empat cuspid (2 bukal dan 2 lingual) yang dihubungkan dengan krista transversa. Geraham ketiga memiliki cuspid tambahan (Swindler, 2002).

2.6.3 Kelompok Sosial

Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok sosial monyet ekor panjang termasuk dalam multi-male group dan multi-female group yaitu dalam satu kelompok terdapat beberapa jantan dan betina dewasa serta anak-anak. Dalam satu kelompok terdapat sekitar 30 anggot (Reinhardt, 1997).

(31)

Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam kelompok sosial ini sering menimbulkan ketegangan di antara kelompok jantan (Napier, 1985). Keadaaan ini menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Hirarki dominasi yang berkembang ini dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran dan kemampuan bertarung (berkelahi) (Napier, 1985). Hewan ekor panjang ini termasuk hewan yang unik karena mempunyai kemampuan belajar dan perilaku.Hewan ini tergolong omnivora, seperti buah-buahan, kepiting, bunga, serangga, daun, jamur, dan rumput (Reinhardt, 1997).

2.7 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia

yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya fluoresensi denan menggunakan spektrofotometer (Burgess, 1995).

(32)

yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi yang kita buat pada well mcroplate akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical density dapat dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standar sehingga akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk mengestimasi kadar protein tersebut (Burgess, 1995).

Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan unruk melabel suatu antigen atau mengetahui antibodi yang ada dalam tubuh. Apabila kita ingin mengetahui antigen yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah antibodinya, begitu pula sebaliknya (Burgess, 1995).

ELISA merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisi sadanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label). Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen–enzim atau konjugat antobodi–enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai "sandwich" ELISA. Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di

(33)

antaranya adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan antigen lain. Hasil berupa false

negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada window period, yaitu waktu

pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulai sehingga jumlah antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi (Burgess, 1995).

2.8 Landasan Teori

Cedera

Pulpa normal

Pulpitis reversibel Perubahan vaskuler

dan respons imun Perubahan sistem neurogenik Perubahan membran fosfolipid

SP (?)

Sel dan substansi dasar

Saraf A delta

dan C

SP (?)

Pembuluh darah dan sistem limfatik

(34)

Pulpa merupakan jaringan ikat longgar yang mengandung substansi dasar, sel-sel, pembuluh darah, sistem limfatik dan perasarafan. Persarafan pulpa terdiri atas serabut saraf A delta dan C. Cedera yang mengenai pulpa akan menyebabkan terjadinya perubahan vaskuler dan respon imun, perubahan sistem neurogenik dan perubahan membran fosfolipid pada sel imun pulpa. Cedera yang mengenai atap pada kamar pulpa akan menyebabkan respon inflamasi lokal yang akan mengaktifkan sistem persarafan pulpa (A delta dan C) untuk melepaskan protein-protein saraf (neuropeptida) yang pro inflamasi diantaranya yaitu substansi P (SP) yang merupakan neuropeptida utama yang memegang peranan yang penting pada saat awal terjadinya inflamasi sehingga menyebabkan hiperalgesia, merangsang makrofag, serta mendegranulasi sel mast untuk mensintesis dan melepaskan mediator-mediator inflamasi lainnya seperti prostaglandin, bradikinin dan histamin. SP merupakan mediator inflamasi lini pertama yang bersifat vasodilator dan merupakan zat algogenik serta merupakan agen kemotaktik yang kuat sehingga dengan peninggian konsentrasi SP pada jaringan pulpa dapat menyebabkan perubahan laju aliran darah pulpa dan peninggian tekanan darah pulpa.

(35)

2.9 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini dilihat kadar substansi P (SP) dengan metode ELISA pada kelompok pulpa normal dan kelompok pulpitis reversibel yang diinduksi secara mekanis pada pulpa gigi M.fascicularis.

2.10 Hipotesis

Hipotesis mayor: Ada perbedaan kadar SP pada kelompok pulpa yang

mengalami pulpitis reversibel simptomatis akibat induksi secara mekanis dan kelompok pulpa normal.

Pulpa Normal

Pulpitis reversibel Konsentrasi substansi P (SP)

Induksi injuri mekanis dengan bur akses no.2 sampai terbukanya pulpa

Konsentrasi substansi P (SP)

(36)

Hipotesis minor: Kadar SP pada kelompok pulpa yang mengalami pulpitis

reversibel simptomatisakibat induksi secara mekanis lebih tinggi dibanding dengan pulpa normal.

Gambar

Gambar 2.1 Peranan Substansi P (SP) dalam Inflamasi Neurogenik  (Sacerdote and  Levrini, 2012)
Gambar 2.2 Peranan Substansi P (SP)  sebagai Imunomodulator  (Caviedes-Bucheli, 2005)
Gambar 2.3 Peranan Substansi P (SP) dalam Mekanisme Nyeri  (Caviedes-Bucheli 2005)
Gambar 2.4 Macaca fascicularis (Whitney et al., 1995)

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi yang akan dilakukan oleh penulis adalah dengan melihat data hasil radiografi periapikal pasien RSGM UMY yang sudah dilakukan perawatan kaping pulpa indirek

Mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil akan berikatan dengan reseptor yang berada di ujung saraf, endotel pembuluh darah dan

Sel dan mediator-mediator dari sistem imun sangat mempengaruhi dalam proser respon inflamasi, yang khas ditandai dengan 4 fase. Pertama, pembuluh darah didaerah sekitar

Manajemen lini pertama (low level management) atau biasa disebut first line manager adalah tingkatan manajemen yang paling rendah dalam sebuah perusahaan. Manajemen

Dermatitis atopik yang sering disebut dengan ekzema merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronik yang ditandai dengan adanya pruritus yang hebat, eritema,

Jumlah zat kimia dalam asap rokok sendiri bukan merupakan hal yang paling penting karena yang menjadi masalah adalah toksisitas dan konsentrasi dari zat kimia tersebut (Action

Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir menggambarkan hubungan antara konsentrasi zat terlarut dalam fasa cair dan fasa padat pada kondisi kesetimbangan, dapat ditulisan seperti persamaan

Adsorpsi satu lapisan terjadi karena permukaan adsorben mampu mengikat adsorbat dengan ikatan kimia Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir menggambarkan hubungan antara konsentrasi zat