• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terminologi Wasat}iyah dalam al-qur an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Terminologi Wasat}iyah dalam al-qur an"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Terminologi Wasat}iyah dalam al-Qur’an

Muttaqin

Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo Email: muttaqin@unida.gontor.ac.id

Abstract

This paper discusses the concept of wasat}iyah as one of seminal concept in several verses of al-Qur’an. The research focuses on five verses of al-Qur’an representing words of wasat}iyah. The words are: wasat}an (fair and chosen people) in al-Baqarah [2]: 143, fawasat}na (middle) in al-‘A<diya>t [100]: 5, awsat} (from average food) in al-Maidah [5]: 89, awsat}uhum (the most moderate of them) in al-Qalam [68]: 28, and al-wust}a (salah of wust}a) in al-Baqarah [2]: 238. According to its etymology, there is no strong correlation among these words. However, if it approached further by study tafseer, the correlation of one another will be found. Wasat}iyah is the seminal concept, which should be existed in every Muslim life. It has its own characteristics, which demonstrate the existence of people who admitted themselves as Muslim. Such as to be justice, to avoid the despot, to be truthful, and the all of these features prove is them as good people. In other hand, these words have similarity in accordance with the terms of definition and terminology. It can be traced from the views of Muslim Scholars such as Abdullah Abdul Muhsin al-Turkiy, Abdullah bin Sulaiman al-Ghafili, and Ali Muhammad al-Salabiy.

Keywords: Wasat}iyah, al-Qur’an, Hadis, Tafsir, Islamic Scholar.

Abstrak

Makalah ini membicarakan tentang terminologi wasat}iyah sebagai salah satu konsep seminal yang terdapat dalam beberapa ayat al-qur’an. Fokusnya pada lima ayat al-qur’an yang mewakili kata wasat}iyah. Kelima kata tersebut adalah wasat}an (umat yang adil dan pilihan) dalam QS. al-Baqarah [2]: 143, fawasat}na (tengah-tengah) dalam QS. al-‘Adiyat [100]: 5, awsat} (dari makanan yang biasa) dalam QS. al-Maidah [5]: 89, awsat}uhum (seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka) dalam QS. al-Qalam [68]: 28, dan alwust}a (salat wust}a) dalam QS. al-Baqarah [2]: 238. Sekilas, jika dipandang dari segi lafaz, tidak terdapat korelasi yang kuat antara lima kata tersebut. Namun jika ditelusuri lebih dalam, terutama melalui pendekatan studi ilmu tafsir al-qur’an, maka akan terlihat korelasi yang saling berkaitan di antaranya. Wasat}iyah sebuah konsep seminal, yang pada praktiknya ia harus ada dalam setiap pribadi umat Islam. Ia memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Dimana ciri-ciri tersebut akan menunjukkan eksistensi seseorang yang mengaku dirinya sebagai Muslim. Ciri-ciri itu seperti: berbuat adil, tidak menzalimi, berkata jujur, yang semuanya itu menunjukkan bahwa ia adalah orang baik. Demikian DOI: http://dx.doi.org/10.21111/klm.v15i2.1488

(2)

juga halnya ketika dilihat dari segi definisi bahasa dan istilah, ia memiliki kesamaan makna secara konseptual. Hal ini bisa dilacak dari pendapat beberapa ulama Muslim seperti Abdullah Abdul Muhsin al-Turkiy, Abdullah bin Sulaiman al-Ghafiliy, dan Ali Muhammad al-salabiy.

Kata Kunci: Wasat}iyah, al-Qur’an, Hadis, Tafsir, Ulama.

Pendahuluan

A

l-Qur’an sebagai kitab suci memuat berbagai konsep yangsangat mendasar, salah satunya yang berkaitan dengan hidup sederhana. Maksudnya adalah sebuah konsep yang mengajarkan bagaimana mengatur kehidupan sehingga sesuai dengan kebutuhan. Ia sarat dengan keadilan, kesederhanaan, juga kebaikan. Dalam al-Qur’an disebut juga dengan istilah wasat}iyah. Bagi seorang Muslim, konsep wasat}iyah perlu dipahami dengan baik. Karena dengannya, cara hidup akan lebih teratur. Mampu menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya, yang pada akhirnya kesejahteraan dalam hidup pun dapat dicapai.

Konsep wasat}iyah ini pula menjadi salah satu ciri khas pribadi Muslim. Ciri dari pribadi yang sederhana dalam memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Bahkan, kesederhanaan dari konsep wasat}iyah ini juga terdapat dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan sesamanya. Tidak cukup sampai disitu, seorang Muslim juga harus memahami bahwa banyak hal di alam semesta ini berjalan dengan konsep keseimbangan, yang jika keseimbangan itu terganggu maka akan menimbulkan ketidakserasian. Dengan demikian, jika konsep wasat}iyah tidak dipahami dan diamalkan dengan baik, maka akan mengakibatkan ketimpangan-ketimpangan yang dapat berpengaruh dalam tatanan kehidupan.

Untuk itu, makalah sederhana ini akan berusaha

memapar-kan konsep wasat}iyah yang termaktub dalam al-Qur’an. Pemaparan

akan diawali dengan menjelaskan terminologi wasat}iyah beserta

pendapat para ulama, kemudian dilanjutkan dengan tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan wasat}iyah dalam al-Qur’an.

Terminologi Wasat}iyah

Istilah wasat}iyah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ) yang

(3)

dibaca dalam dua bentuk; pertama, “ ” huruf sin-nya disukun, yang berarti “antara,” seperti kalimat; “seseorang duduk di antara

teman-temannya.”1 Kedua, “ ” huruf sin-nya difath}ah}, memiliki

arti “adil” atau “keadilan” atau bisa diartikan juga dengan “antara

baik dan jelek.”2

Derivasi dari kata kerja wasat}a-yasit}u menghasilkan beberapa

bentuk kata yang lain, di antaranya: al-tawsi>t}; “menjadikan sesuatu

di tengah” dan “memotong sesuatu menjadi dua bagian,” wa>sit}atun;

“bagian tengah dari kalung,”3 wa>sit}; nama sebuah tempat antara

Jazirah dan Najd, juga nama sebuah tempat antara Basrah dan

Kufah.4 Sekilas -terutama dari segi bahasa- arti dari turunan kata

wasat}a-yasit}u tidak saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Namun secara konseptual, ia berhubungan dengan kata keadilan, kebaikan, kemuliaan, dan kesederhanaan.

Adapun keadilan dalam Bahasa Arab disebut al-‘adl, al-mi>za>n atau al-qist}. Kata al-‘adl berasal dari akar kata ‘adala-ya’dilu-‘adl, yang mengandung arti berbuat adil; keadilan; kejujuran; sama, rata;

sepadan; tengah-tengah;5 lurus; menetapkan hukum dengan

benar;6 bertindak sama dalam memberikan balasan; jika baik maka

balasannya baik, dan jika buruk maka balasannya buruk.7 Sampai

disini dapat dipahami bahwa wasat}iyah bermuara kepada kebaikan

dan kemuliaan. Dalam prosesnya harus ada sifat-sifat positif berupa kejujuran, keadilan, membalas kebaikan orang dengan yang setimpal, dan lain sebagainya.

1 Mujamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam al-Wasi>t}, (Kairo: Maktabah

al-Syuruq al-Dauliyah, 1425H), 1031.

2 Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abd al-Qadir al-Razy, Mukhta>r al-S{ih}a>h}, (Beirut:

Maktabah Lubnan, 1986), 300.

3 Ibid.

4 Dinamakan demikian karena letak tempat itu benar-benar di antara dua kota.

Sibawaih mengatakan, “tempat itu dinamakan Wa>sit} karena dia adalah pertengahan antara kota Basrah dan Kufah, jika ingin diucapkan dalam bentuk muannas, maka disebut

Wa>sit}atun.” Sementara menurut Jauhari Wa>sit merupakan suatu daerah yang dibangun oleh}

al-Hajjaj, terletak di antara Kufah dan Basrah. Lihat: Ibnu Manzur, Lisa>n al-‘Ara>b, (Kairo: Dar al-ma’arif, 1119), 4834.

5 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif,

1984), 971-972.

6 Ibnu Manzur, Lisa>n ..., 123-125.

7Ibid., juz 6, 125-128, dan Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Fa>z}i

(4)

Setelah mengetahui kata yang berhubungan dengan wasat}iyah, perlu juga diketahui kata yang berlawanan dengannya

(antonim). Kata yang berlawanan langsung dengan wasat}iyah

(wasat}) adalah ja>nib, yang berarti sisi, pinggir, segi, dan sebelah. Ja>nib memiliki padanan kata dengan ghuluw, tasahhal, dan jawr (z}ulm).

Kata ja>nib merupakan derivasi dari kata kerja janiba-yajnabu

atau januba-yajnubu yang artinya ba’uda (menjauh).8 Kata kerja

ini menurunkan beberapa bentuk kata yang lain seperti: ja>nabahu; “menjauh ke pinggir” atau “berjalan ke pinggir,” al-ajnab; “yang jauh dari hubungan (seperti hubungan kekeluargaan),” jana>bah; “keadaan seseorang yang sedang keluar mani,” al-janu>b; “sisi yang menghadap ke arah utara,” al-mujannabah; “sisi pinggir atau sisi depan dari suatu pasukan tentara,” dalam sebuah hadis dikatakan, Rasulullah SAW menyuruh Khalid bin Walid ke sisi kanan tentara (mujannabah yumna) dan Zubair ke sisi kirinya (mujannabah yusra).9

Sementara ghuluw berasal dari kata ghala>-yaghlu, artinya

bertambah, menaik, meninggi, dan melebihi atau melewati batas.10

Sementara tasahhal berasal dari kata sahula-yashulu artinya sama dengan sahula yaitu condong kepada kelembutan dan mengurangi

kekasaran.11 Adapaun al-z}ulm (al-jawr) berasal dari z}alama-yaz}limu,

bermakna meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.12

Dari paparan di atas terlihat bahwa ja>nib dan kata-kata yang sepadan dengannya mengandung konotasi negatif, mengarah kepada situasi tidak adil. Meskipun tasahhal sekilas terlihat baik karena ia lebih condong kepada kelembutan daripada kekasaran (yang berkonotasi jelek), namun justru karena sifatnya yang condong ke salah satu sisi itulah yang membuat ia bernilai tidak

adil. Sementara wasat}iyah dan padanan kata darinya mengandung

konotasi positif.

Para ulama juga punya pendapat terkait dengan makna wasat}iyah. Menurut Abdullah Abdul Muhsin al-Turkiy, wasat}iyah merupakan suatu sikap dalam Islam. Sikap pertengahan antara

8 Mujamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam…, 138. 9 Ibid., 138-139.

10 Ibid., 660. 11 Ibid., 458.

(5)

orang yang berlebihan memandang dunia dan tidak memperduli-kan urusan akhirat, dengan orang yang berlebihan memandang akhirat serta memandang remeh dan menjauhi urusan dunia.

Menurutnya lagi, wasat}iyah membawa kepada keseimbangan yang

nyata antara dunia dan agama, antara akal dan wahyu, antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, antara fisik dan

non-fisik. Konsep wasat}iyah yang seperti ini umum dikenal dalam

pemikiran Islam, baik dalam bidang akidah, syariah, ibadah, dan

dakwah. 13

Sementara Abdullah bin Sulaiman al-Ghafili berpendapat

bahwa maksud wasat}iyah dalam syariat berarti keadilan dan

keseimbangan antara dua hal atau dua kutub yang berseberangan, yaitu antara sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan.

Sehingga wasat}iyah disini adalah keadilan itu sendiri, juga jalan

tengah yang berkumpul padanya segenap keutamaan.” 14 Maka

dapat dipahami, wasat}iyah dalam syariat memiliki unsur kebaikan,

pertengahan sikap, tidak berlebihan dan tidak meremehkan. Adapun Ali Muhammad al-Salabiy mendefinisikan wasat}iyah dengan keadilan dan pilihan terbaik. Lebih spesifik lagi

ia menjelaskan wasat}iyah itu bukan sekadar menengahi dua hal

saja, tetapi lebih kepada makna yang lebih besar, yaitu mencari

dan meraih sikap yang benar, serta mengambil manfaat darinya.15

Dari tiga definisi wasat}iyah ini dapat dipahami bahwa tidak

ada perbedaan yang mendasar di antara ulama dalam

mendefinisi-kan term wasat}iyah. Hanya saja, nampaknya definisi yang diberikan

oleh Ali Muhammad al-Salabiy memiliki nilai lebih dari yang lain.

Karna menurutnya, wasat}iyah bukan sekadar konsep keadilan.

Mencari pilihan yang terbaik juga termasuk dalam unsur wasat}iyah.

Sehingga dalam kondisi tertentu wasat}iyah tidak selamanya harus

sama rata (fifty-fifty).

13 Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turkiy, Al-Ummah al-Wasat} wa Manhaj

al-Nabawiy fi> al-Da’wah ila Allah, (Riyadh: Al-Karamah, 1997), 13-14 .

14 Abdullah bin Sulaiman al-Gafiliy, “Wasat}iyah ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah fi>

Ba>b al-Qadr”, dalam Majallah al-Buh}u>ts al-Isla>miyah, Nomor 76, (T.K: T.P, 1426 H),

174-175.

15 Ali Muhammad al-Salabiy, Al-Wasat}iyah fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, Cet. I, (Kairo:

(6)

Wasat}iyah dalam al-Qur’an

Istilah wasat}iyah dalam al-Qur’an diwakili oleh lima kata;

wasat}an (umat yang adil dan pilihan) fawasat}na (tengah-tengah) awsat} (dari makanan yang biasa) awsat}uhum (seorang yang paling

baik pikirannya di antara mereka) dan alwust}a (salat wustha).

Kata wasat}an terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 143, Allah

berfirman:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Wasat}an dalam ayat ini bermakna adil.16 Menurut hemat

penulis, sifat adil disini dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad SAW. Namun sifat adil disini tidak berdiri sendiri, ia disandingkan juga dengan kata umat pilihan. Apa kaitan antara adil dan umat pilihan dalam ayat ini?

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah yang melewati berbagai jalur dari al-A’masyi menjawab pertanyaan ini. Imam Ahmad mengata-kan; “telah menceritakan kepada kami Waqi’, dari al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa’id yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Nabi Nuh kelak dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan kepadanya, “Apakah engkau telah menyampaikan (risalah-mu)?” Nuh menjawab, “Ya.” Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, “Apakah dia telah menyampaikan (nya) kepada kalian?” Mereka menjawab, “kami tidak kedatangan seorang pemberi peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami.” Lalu ditanyakan kepada Nuh, “siapakah yang bersaksi untukmu?” Nuh

16 Abu Fida Isma’il bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsi>r Ibnu Katsi>r, (T.K: Sinar Baru

(7)

menjawab, “Muhammad dan umatnya.” Abu Sa’id mengata-kan bahwa yang demikian itu adalah firman-Nya, “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil” (al-Baqarah: 143), al-wasat} artinya adil. Kemudian kalian dipanggil dan kalian mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksian-nya pula terhadap kalian.”17

Imam Ahmad mengatakan; “telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa’id al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Seorang nabi datang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki atau lebih dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, “apakah nabi ini telah menyampaikan (nya) kepada kalian?” mereka menjawab, “tidak” maka dikatakan kepada si nabi, “apakah kamu telah menyampaikan (nya) kepada mereka?” nabi menjawab, “ya” lalu dikatakan kepadanya, “siapakah yang menjadi saksimu?” nabi menjawab, “Muhammad dan umatnya.” lalu dipanggillah Muhammad dan umatnya dan dikatakan kepada mereka, “apakah nabi ini telah menyampaikan kepada kaumnya?” mereka menjawab, “ya” dan ditanyakan pula, “bagaimana kalian dapat mengetahuinya?” mereka menjawab, “telah datang kepada kami nabi kami, lalu beliau menceritakan kepada kami bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalahnya” yang demikian itu adalah firman-Nya, “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian”18

Al-Hafiz Abu Bakar bin Murdawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Abdul Wahid bin Ziad, dari Abu Malik al-Asyja’i, dari al-Mughirah bin Utaibah bin Nabbas yang mengatakan bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadis kepada kami dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi SAW bahwa beliau pernah bersabda:

“Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di atas sebuah bukit yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada

17 Ibid., 10-11.

(8)

seorang pun di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara kami, dan tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya.”19

Tiga hadis di atas menjelaskan sebab penyebutan adil dan pilihan kepada umat Islam. Nabi-nabi terdahulu yang diutus oleh Allah SWT telah menyampaikan risalah dakwahnya kepada umat mereka. Namun umat itu mendustainya. Umat Islam mengetahui perkara ini melalui Nabi Muhammad SAW. Sehingga ketika umat Islam diminta persaksiannya, mereka pun mampu memberikan persaksian yang benar. Kebenaran yang disampaikan oleh umat Islam menunjukan sifat jujur yang dimiliki umat Islam. Pengertian adil, —sebagaimana telah dijelaskan di atas— adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Artinya, ketika umat Islam memberikan persaksian yang jujur atas disampaikannya risalah dakwah oleh para nabi terdahulu kepada kaumnya, umat Islam telah berbuat adil. Maka pantaslah umat Islam digelari sebagai ummatan wasat}an (umat yang adil).

Adapun penyebutan sebagai umat pilihan, karena hanya umat Islamlah yang menjadi pilihan para nabi tersebut sebagai saksi bagi mereka. Dimana ketika itu umat mereka sendiri mendustai mereka. Disini terlihat bahwa salah satu ciri khas umat Islam adalah berbuat adil dengan berkata jujur. Sehingga dapat dipahami, ketika seorang Muslim tidak jujur, berarti ia telah menghilangkan salah satu ciri keislaman yang ada pada dirinya.

Kata kedua yang berkaitan dengan istilah wasat}iyah dalam

al-Qur’an adalah fawasat}na. Kata ini terdapat dalam QS. al-‘A<diyat

[100]: 5, Allah berfirman; “Dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.”

Kata wasat} dalam ayat ini bermakna penengah antara dua

sisi, namun lebih memperhatikan pada sisi yang terbaik.20

Sementara kata awsat}, terdapat dalam QS. al-Maidah [5]: 89,

Allah berfirman;

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka

19 Ibid., 13.

(9)

kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh

orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”

Awsat} dalam ayat ini bermakna penengah atau tempat di antara dua tempat dan setengah antara dua sisi. Sehingga dapat

dipahami sesuatu yang berada di antara (diapit) oleh dua hal.21

Lebih detailnya, ayat ini menerangkan tentang jenis makanan yang harus diberikan kepada orang miskin oleh pelanggar sumpah (kaffarat). Makanan tersebut adalah yang kategorinya awsat} (bukan makanan yang terlalu mewah, bukan juga makanan yang tidak layak) yang dikonsumsi oleh penduduk negeri si pelanggar sumpah berada. Atau, makanan itu merupakan makanan sehari-hari yang

biasa dikonsumsi,22 makanan yang sederhana seperti beras di

Indonesia.

Ibnu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy dalam Tafsir al-Tabari menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang contoh jenis

makanan yang awsat}. Pendapat-pendapat tersebut mencontohkan

jenis makanan (yang dikategorikan (awsat}) di Timur Tengah,

umumnya seperti; roti (khubz), kurma (tamr), minyak (zait), mentega (samn), dan cuka (khallun). Sementara daging termasuk

makanan yang dianggap mewah.23 Namun demikian, ada juga

ulama yang berpendapat bahwa daging termasuk dalam jenis awsat}. Pendapat ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Dahaki.24

Meski fokus ayat ini menerangkan jenis makanan yang sederhana, namun ia juga bermakna yang paling adil. Seperti yang dikemukakan oleh Yunus; “... ia berkata; dari Ibnu Wahab, dari Ibnu Jarij, ia mengatakan aku telah mendengar ‘Ata’ berkata tentang ayat ini, bahwa maksud awsat}uhu adalah yang paling adil di

antaranya.”25

21 Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m Qur’a>n, (Kairo: Dar

al-Riyan li al-Turats, Cet. II, 1966), 179.

22 Ibnu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Tafsi>r al-T{abariy, Juz 8, (Kairo: Hajw,

Cet. I, 1422, 624.

23 Ibid., 624-627. 24 Ibid., 626.

(10)

Awsat}uhum terdapat dalam QS. al-Qalam [68]: 28, Allah berfirman; “Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu).”

Dalam ayat ini makna awsat} adalah yang paling adil,26 yang

paling adil perkataannya,27 juga yang paling baik.28 Tafsir al-Tabari

menjelaskan bahwa makna awsat} lebih condong kepada yang

paling adil. Dengan demikian, awsat} merupakan seseorang yang

memiliki sifat yang paling adil di antara kaumnya, yang keadilannya bisa dilihat dari segi perkataannya juga sifatnya. Dari segi perkataan, tentunya ia tidak berbohong. Nabi Muhammad SAW yang mendapat gelar al-ami>n merupakan contoh manusia yang

memiliki sifat awsat}. Bahkan beliau yang paling baik dalam hal

ini, karena beliau menjadi uswah bagi segenap umatnya. Dalam menetapkan sebuah peraturan, beliau tidak pilih kasih. Seandainya keluarganya sendiri melanggar peraturan, tetap saja yang

bersangkutan mendapat hukuman.29

Terakhir alwust}a. Kata ini terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]:

238, Allah SWT berfirman; “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wust}a. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.”

Secara khusus, Allah SWT menyebutkan salat wust}a dengan

sebutan yang lebih kuat kedudukannya.30 Namun secara umum,

Allah memerintahkan agar semua salat dipelihara dalam waktunya 25 Ibnu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Tafsi>r ..., 624.

26 Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turkiy, Al-Ummah ..., 13. 27 Ibnu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Tafsi>r ..., 181.

28 Muhammad al-Raziy Fakhruddin, Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>ziy, Juz 30, (Dar al-Fikr,

Cet. I, 1401), 90.

29 Bukhari meriwayatkan dari Urwah, di masa Rasulullah SAW, saat Fath} Makkah,

ada seorang perempuan mencuri. Datanglah kaumnya pada Usamah untuk meminta syafaat. Urwah berkata, “ketika Usamah membicarakan hal itu pada Nabi, seketika itu berubahlah wajah beliau dan langsung bersabda, apakah kami berbicara kepadaku minta keringanan

dalam salah satu h}udu>d (hukuman) Allah? Usamah langsung berkata, mohonkanlah ampunan

pada Allah untukku, wahai Rasulullah. Malamnya, Rasulullah berdiri memberi khutbah, beliau memuji pada Allah dengan sebaik-baik pujian, lalu bersabda; “Amma ba’du, sesungguhnya hancurnya manusia adalah karena jika ada orang terpandang mencuri mereka membiarkan, tetapi jika rakyat kecil yang lemah mencuri mereka menerapkan hukuman baginya, Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (lihat: Said Hawwa, Al-Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, (Jakarta: GIP, 2003), 92.

(11)

masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya

di dalam waktunya masing-masing.31 Sehingga bisa dipahami,

meskipun salat wust}a memiliki kekhususan karena disebut sebagai

salat yang lebih kuat kedudukannya, tidak berarti salat yang lain dimarjinalkan. Dari penjelasan ini timbul sebuah pertanyaan, salat

apakah yang dimaksud dengan salat wust}a itu?

Terdapat penafsiran yang berbeda antara ulama khalaf dan

salaf mengenai makna salat wust}a. Sebagaimana yang disebutkan

dalam Tafsi>r Ibnu Katsir, salat wust}a adalah salah satu dari salat fardu

yang lima waktu. Pendapat lain mengatakan ia adalah semua salat yang lima waktu. Ada juga yang berpendapat ia adalah salat berjama’ah, salat Jum’at, salat Khauf, salat Idul Fitri, salat Idul Adha,

salat Witir, bahkan ada yang mengatakan salat Duha.32

Masing-masing pendapat ini memiliki alasan dan dalil tersendiri.

Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada

satu poin penting yang bisa dipahami mengenai salat wust}a. Salat

wust}a merupakan salat yang sangat dipentingkan. Alasannya karena Allah SWT menyebut salat ini sebagai salat yang lebih kuat

kedudukannya. Dalam kaitannya dengan istilah wasat}iyah, dapat

dipahami bahwa wust}a merupakan ungkapan untuk

menunjuk-kan sesuatu yang diutamamenunjuk-kan. Hal ini menunjukmenunjuk-kan bahwa wasat}iyah itu tidak selamanya ditengah, tapi lebih kepada posisi yang utama. Posisi utama adalah posisi terbaik.

Dari lima ayat al-Qur’an yang mewakili term wasat}iyah, dapat

diambil kesimpulan bahwa konsep wasat}iyah yang ditujukan

kepada umat Islam memiliki ciri khas tersendiri. Dimana ciri-ciri ini akan menunjukkan eksistensi seseorang yang mengaku dirinya sebagai Muslim. Ciri-ciri ini seperti; berbuat adil, tidak menzalimi, berkata jujur, yang semuanya itu menunjukkan bahwa ia adalah orang baik.

Terdapat juga beberapa ayat lain yang berkaitan dengan wasat}iyah.33 Bila ditinjau dari segi lafaznya, ayat-ayat ini tidak

memiliki kesamaan dengan wasat}iyah. Namun jika dilihat dari segi

31 Ibid., 594. 32 Ibid., 595-616.

33 Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 68, “Mereka menjawab:

“Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” QS. al-Furqan: 67, “Dan orang-orang yang apabila

(12)

makna yang terkandung di dalamnya, kita akan menemukan pesan

yang sama dengan konsep wasat}iyah sebagaimana yang telah

dijelaskan dalam lima ayat di atas.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, wasat}iyah

merupa-kan suatu konsep dalam menata hidup yang lebih sederhana. Tidak berlebihan, tidak pula kekurangan. Sederhana tidak berarti melarat, juga tidak berarti mewah.

Konsep hidup sederhana dalam kehidupan sehari-hari menuntun manusia, khususnya Muslim untuk bijak dalam mengambil berbagai keputusan. Seperti dalam berbelanja: membeli yang dibutuhkan, bukan membeli yang diinginkan.

Istilah wasat}iyah pada intinya mengandung dua makna

dasar yang tidak boleh dipisahkan; kebaikan dan pertengahan. Kedua makna ini melahirkan keseimbangan dalam hidup. Jika salah satu dari dua sifat tadi ditinggalkan (kebaikan tanpa per-tengahan, atau sebaliknya), maka hal yang demikian belum

termasuk dalam istilah wasat}iyah. Untuk itu, wasat}iyah harus

senantiasa diiringi atau didampingi dengan kebaikan. Dengan kata lain, setiap urusan yang di dalamnya ada unsur kebaikan maka ia

termasuk dalam kategori wasat}iyah dan tidak bisa dikatakan

wasat}iyah jika tidak ada unsur kebaikan di dalamnya. Kebaikan juga diiringi dengan pertengahan sehingga terciptalah konsep wasat}iyah yang sempurna.[]

membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” QS. al-Isra’: 29, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” Maksudnya janganlah kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu pemurah. QS. al-Isra’: 110, “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah al-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai

al-asma>’ al-H{usna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu

dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” Maksudnya janganlah membaca ayat al-Quran dalam salat terlalu keras atau terlalu perlahan tetapi cukuplah sekedar dapat didengar oleh ma’mum. QS. al-Baqarah: 201, “Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang Muslim.

(13)

Daftar Pustaka

al-Asfahani, al-Raghib. Mu’jam Mufrada>t fi> al-Fa>z}i al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Dimasyqi, Abu Fida Isma’il bin Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Sinar Baru Algensindo. Juz 2 al-Baqarah 142 s.d. al-Baqarah 252. Fakhruddin, Muhammad al-Raziy. 1401. Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>ziy.

Dar al-Fikr. Juz 30. Cet I.

Al-Gafiliy, Abdullah bin Sulaiman. 1426 H. “Wasat}iyah ahl

Sunnah wa Jama>’ah fi> Ba>b Qadr”. Dalam Majallah al-Buh}u>ts al-Isla>miyah. T.K: T.P. Nomor. 76.

Hawwa, Said. 2003. Al-Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jakarta: GIP.

Manzur, Ibnu. 1119. Lisa>n al-‘Ara>b. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Mujamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. 1425H. Al-Mu’jam al-Wasi>t}.

Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif.

Al-Qurtubiy, Muhammad bin Ahmad. 1966. Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m

al-Qur’a>n. Kairo: Dar al-Riyan li al-Turats. Cet 2.

Al-Razy, Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abd al-Qadir. 1986. Mukhta>r al-S{ih}a>h}. Beirut: Maktabah Lubnan.

Al-Salabiy, ‘Ali Muhammad. 1986. Al-Wasat}iyah fi> Qur’a>n

al-Kari>m. Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy. Cet I.

Al-Tabariy, bin Ja’far Muhammad bin Jarir. 1422. Tafsi>r al-T{abariy.

Juz 8. Kairo: Hajw. Cet I.

Al-Turkiy, Abdullah bin Abdul Muhsin. 1997. Al-Ummah al-Wasat}

wa Manha>j Nabawiy fi> Da’wah Ila Allah. Riyadh: al-Karamah.

(14)
(15)

Teologi Asy’ari dalam Kitab Tafsir

(Analisa Metode Ta’wil Tafs}i>li> dalam Memahami

Ayat Istiwa>’)

Abdulloh Dardum

*

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember Email: dardum87@gmail.com

Abstract

Among the mutasya>biha>t verses, there are verses which speak about Allah SWT substances, such as verses about hands, eyes, face, istawa’, and so on. This article specifically tries to expose and review the ta’wi>l tafs}i>li method used by the mufasir in understanding the Istiwa’ verses. Some of the mufasir mentioned in this article are Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), Abu Bakr Ahmad al-Razi al-Jassas al-Hanafi (w. 370 H), Abu al-Laith Nasr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi (w. 375 H), Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi (w.450 H), Abu Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi (w. 468 H), Abu Muhammad Abdul Haq bin’ Athiyyah al-Andalusiy (w. 541 H), Fakhruddin Razi Shafi’i (w. 606 H), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurthubi (w. 671 H), Nasiruddin Abdul Khair Abdullah bin Umar ibn Muhammad al-Baidawi al-Shafi’i (w. 685 H), Abu al-Barkat Abdullah bin Ahmad al-Nasafi (w. 710 H), Abu Hayyan al-Andalusiy (w. 754 H), and Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf Abu Zaid al-Tha’alabi (w. 875 H). Using the ta’wi>l method, it was found that the majority of the mufasir did not understand istawa’ literally. They do not believe that the meaning of istawa’ is that Allah sits or stays at the ‘Arsy. They turn the meaning of istawa’ from its literal meaning to another meaning which corresponds to His greatness traits. They interpret istawa’ with istawla or qahara which means to dominate or to conquer. The choice of the ta’wil method is a logical consequence to reinforce Asy’ari’s ideology which believes that Allah exists without any place.

Keywords: Ta’wi>l, Istiwa>’, Mutasya>biha>t, Asy’ari, Muh}kam.

Abstrak

Di antara ayat-ayat mutasya>biha>t adalah ayat yang berbicara tentang zat Allah SWT, seperti ayat tentang tangan, mata, wajah, istawa>, dan sebagainya. Secara spesifik, tulisan ini mencoba untuk memaparkan dan mengulas metode ta’wil tafs}i>li> yang

* Fak. Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Jember, Jl. Mataram No. 1, Mangli,

(16)

digunakan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Istiwa>’. Beberapa mufasir yang disebutkan dalam tulisan ini adalah, Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jassas al-Hanafi (w. 370 H), Abu al-Laith Nasr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi (w. 375 H), Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H), Abu Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi (w. 468 H), Abu Muhammad Abdul Haq bin ‘Athiyyah al-Andalusiy (w. 541 H), Fakhruddin al-Razi al-Syafi’i (w. 606 H), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi (w. 671 H), Nasiruddin Abdul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad Baidawi Syafi’i (w. 685 H), Abu al-Barkat Abdullah bin Ahmad al-Nasafi (w. 710 H), Abu Hayyan al-Andalusiy (w. 754 H), dan Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf Abu Zaid al-Tha’alabi (w. 875 H). Dengan menggunakan metode ta’wil, ditemukan bahwa mayoritas mufasir tersebut tidak memahami istawa’ secara literal. Mereka tidak meyakini bahwa maksud istiwa’ adalah Allah duduk atau menetap di ‘Arsy. Mereka memalingkan makna istawa’ dari makna literalnya kepada makna lain yang sesuai dengan sifat-sifat keagungan yang dimiliki-Nya. Mereka mengartikan istawa’ dengan istawla atau qahara yang bermakna menguasai atau menundukkan. Pilihan metode ta’wil tersebut merupakan konsekuensi logis untuk menguatkan ideologi Asy’ari yang meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat.

Kata Kunci: Ta’wil, Istiwa’, Mutasya>biha>t, Asy’ari, Muh}kam.

Pendahuluan

Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang memancarkan berbagai disiplin ilmu keislaman. Kitab suci ini senantiasa mendorong

pembacanya untuk melakukan pengamatan dan penelitian.1 Dalam

konteks inilah lahir berbagai usaha untuk memahami kandungan al-Qur ’an dari berbagai aspeknya, usaha tersebut kemudian menghasilkan aneka disiplin ilmu dan pengetahuan yang sebelumnya belum dikenal atau terungkap.

Al-Qur’an sebagaimana diketahui menggunakan bahasa Arab, yang lazim digunakan oleh masyarakat di Jazirah Arab. Dengan keindahan bahasanya, al-Qur’an terbukti sebagai mu’jizat yang tidak dapat diragukan. Sepanjang sejarah belum ada seorang

manusia yang mampu menciptakan karya tulis yang setara.2

Namun demikian harus diakui bahwa keindahan dan keunikan bahasa al-Qur’an terkadang menimbulkan perbedaan pemahaman yang cenderung melahirkan perdebatan di kalangan

1 QS. Muhammad [47]: 24 dan QS. al-Nisa’ [4]: 82.

2 Dalam QS. al-Tur [52]: 34, QS. Hud [11]: 13 dan QS. al-Baqarah [2] :23 disebutkan

bahwa Allah memberikan tantangan yang ditujukan kepada mereka yang meragukan bahwa al-Qur’an adalah firman-Nya, untuk membuat kitab yang serupa dengan al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak pernah mampu melakukannya.

(17)

ulama. Sekalipun al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang merupakan bahasa para sahabat, namun tingkat pemahaman di antara mereka berbeda-beda, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang di antara mereka boleh jadi diketahui oleh orang

lain.3 Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ubaidah dari

Anas, bahwa Umar bin Khattab pernah membaca di atas mimbar surat ‘Abasa ayat 31 yang berbunyi, “wa fa>kihatan wa abba”. Umar berkata, “Arti kata fa>kihah (buah) telah kita ketahui, tetapi apakah arti kata abb?” Kemudian ia menyesali diri sendiri dan berkata, “Ini suatu pemaksaan diri, takalluf, wahai Umar.”

Abu Ubaidah juga meriwayatkan melalui Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Dulu saya tidak tahu apa makna “fa>t}ir al-sama>wa>ti wa al-ard}”, sampai  datang  kepadaku  dua  orang  dusun  yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka berkata, “ana fatartuha”, maksudnya “ana ibtada’tuha” (akulah yang

membuat-nya pertama kali).4

Di antara faktor tersebut adalah karena pembicaraan al-Qur’an terhadap suatu masalah sangat unik, tidak tersusun seperti sistematika buku-buku ilmu pengetahuan yang dikarang manusia. Di samping itu, al-Qur’an juga sangat jarang menyajikan suatu masalah secara rinci dan detail. Pembicaraan al-Qur’an terhadap suatu masalah umumnya bersifat global, parsial dan seringkali menampilkan masalah dalam substansinya saja (seminal concept). Keadaan demikian sama sekali tidak mengurangi nilai al-Qur’an, sebaliknya justru di sanalah letak keunikan sekaligus keistimewa-annya. Dengan keadaan seperti itu al-Qur’an menjadi objek kajian yang tidak pernah kering oleh para cendekiawan, baik Muslim maupun non-Muslim.

Faktor lainnya adalah keberadaan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang terkadang diungkapkan dengan gaya bahasa yang umum (‘amm) atau khusus (khas}), global (mujmal) atau terperinci (mufas}al). Demikian pula di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat

yang diungkapkan dengan bahasa yang terang maknanya (muh}kam)

dan ada juga yang menggunakan bahasa yang samar (mutasya>bih).

3 Muhammad Husein al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassiru>n, Vol. 1 (Kairo:

Maktabah Wahbah, 2000), 29.

4 Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Vol. 1 (Kairo: Matba’ah Hijazi,

(18)

Terkait muh}kam dan mutasya>bih, disebutkan dalam QS. Ali Imran [3]: 7.

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muh}kama>t. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasya>biha>t. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasya>biha>t dari padanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya seraya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasya>biha>t, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Ayat muh}kama>t ialah ayat-ayat yang jelas, terang dan tegas

maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat mutasya>biha>t ialah ayat yang kurang jelas maksudnya.5 Di antara

ayat-ayat mutasya>biha>t adalah ayat yang berbicara tentang sifat-sifat

Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Thaha [20]: 5.6

“(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.”

Selanjutnya, berkenaan dengan zat Allah SWT, pengikut Abu Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyyah) memiliki ideologi bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah, Allah juga tidak menyerupai makhluk. Teologi Asy’ari ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penafsiran ayat-ayat mutasya>biha>t khususnya yang berhubungan dengan sifat dan zat Allah. Berangkat dari persoalan inilah tulisan

ini mencoba untuk memaparkan dan mengulas metode ta’wil tafs}i>li>

yang digunakan oleh para mufasir dalam memahami ayat istiwa>’ yang berkaitan dengan zat Allah SWT.

Kajian Seputar Ta’wil

Kata ta’wi>l secara etimologis merupakan mas}dar dari awwala

yu’awwilu ta’wi>lan, yaitu fi’il ma>d}i yang muta’addi>. Sedangkan bentuk lazim-nya adalah ala yau>lu awlan yang berarti raja’a (kembali atau mengatur), seperti awwala ila>hi al-sya>i’ berarti

5Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqa>n fi> Ulu>m..., Vol. 2, (Kairo: Matba’ah Hijazi, T.Th), 2. 6 Lihat contoh ayat mutasya>biha>t lainnya dalam Manna’ Khalil al-Qat}t}a>n, Maba>hits

fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riyad: Manshurat al-‘Asr al-Hadits, T.Th), 216.

(19)

mengembalikan kepadanya.7

Sedangkan al-Suyuti ketika menjelaskan makna ta’wi>l ia mengatakan bahwa ta’wi>l berasal dari al-aul yang artinya kembali, maka seakan-akan seseorang memalingkan ayat kepada beberapa makna yang memungkinkan. Dikatakan juga dari al-iya>lah yang berarti sama dengan siya>sah (aturan), maka kalimat kana al-mu’awwil al-kala>m sama dengan sa>sa kala>m (mengatur pembicaraan

dan meletakkan arti pada tempatnya).8

Adapun secara istilah, menurut ulama salaf, ta’wi>l berarti

tafsir. Maka ta’wi>l al-Qur’a>n kadang diucapkan tafsir al-Qur’an

dengan makna yang sama. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir al-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-kata “para ahli ta’wi>l berbeda pendapat tentang makna ayat itu” dan “pendapat

tentang ta’wi>l firman Allah ini”.9 Yang dimaksud dengan kata ta’wi>l

di sini adalah tafsir.10 Pendapat ini juga merujuk kepada perkataan

Mujahid, “Sesungguhnya para ulama mengetahui ta’wi>l al-Qur’an”,

maksudnya adalah tafsirnya.11

Ulama muta’akhiri>n mendefinisikan ta’wi>l dengan: “Memaling-kan makna lafaz yang kuat (ra>jih) kepada makna yang lemah (marju>h) karena ada dalil yang menyertainya”.12 Sementara itu,

menurut al-Zarkasyi, ta’wi>l adalah: “Memalingkan ayat kepada

makna-makna lain yang dimilikinya”.13 Al-Jurjani mendefinisikan

ta’wi>l sebagai: “Memalingkan lafaz dari makna zahirnya kepada makna lain yang dimilikinya, dimana makna tersebut tidak

bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah”.14

8 Jalaludin al-Suyuti, Al-Itqa>n..., Vol. 2, 173. 9 Dalam lafaz aslinya:

10 Muhammad Husein al-Dhahabi. Al-Tafsi>r wa..., 15.

11 Abdul ‘Azim al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Vol. 2 (Beirut:

Darul Kitab al-‘Arabi, 1995), 7.

12 Dalam lafaz aslinya: Lihat:

Muhammad Husein al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa..., 15.

13 Dalam lafaz aslinya: Lihat: Zarkasyi,

Al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Vol. 2, (Kairo: Maktabah Dar al-Turath, T.Th), 148.

14 Dalam lafaz aslinya:

(20)

Dengan demikian, dalam pandangan ulama muta’akhiri>n, ta’wil pada dasarnya merupakan suatu bentuk pengalihan makna>

suatu ayat kepada makna lain yang dimilikinya, dimana makna tersebut tidak bertentangan dengan kandungan al-Qur’an dan hadis serta dikenal dalam istilah Arab. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Daqiq al-‘Id saat menengahi dua pendapat antara yang menolak dan menerima ta’wi>l.15 Lebih jelasnya, ta’wi>l dapat dicirikan

sebagai berikut: pertama, suatu lafaz yang tidak difahami secara literal atau zahir. Kedua, makna yang difahami dari lafaz tersebut adalah makna yang juga dimiliki oleh lafaz itu sendiri. Ketiga, makna

yang dimiliki lafaz tersebut tidak bertentangan dengan nas} al-Qur’an

dan hadis. Keempat, pengalihan makna lafaz tersebut didasarkan kepada petunjuk yang ada (dalil). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh banyak pakar seperti al-Juwaini, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi,

Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, al-Syaukani.16

Makna Kata Istawa’dalam Tinjauan Bahasa

Dalam Mu’jam Maqa>yi>s al-Lughah dijelaskan bahwa kata istawa’ berasal dari kata sawiya (sin, wau dan ya‘) yang menunjuk-kan arti tegak dan lurus (istiqa>mah). Selain itu, juga menunjukmenunjuk-kan arti serupa di antara dua hal, sebagaimana ungkapan hadza> la> yusa>wi kadza> (hal ini tidak menyerupai yang ini) atau ungkapan fula>n wa fula>n ‘ala> sa>wiyatin min hadza> al-amr (si fulan dan si fulan

sama dari segi ini).17

Di dalam al-Qur’an, kata istawa’ yang berkaitan dengan sifat Allah muncul sebanyak 9 kali, yaitu dalam QS. al-’Araf [7]: 54, QS. al-Furqan [25]: 59, QS. Thaha [20]: 5, QS. Yunus [10]: 3, QS. Fushilat [41]: 11, QS. al-Sajdah [32]: 4, QS. al-Baqarah [2]: 29, QS.

al-Hadid [57]: 4 dan QS. al-Ra’d [13]: 2.18

Kata istawa’ sendiri dalam ungkapan Arab memiliki banyak

makna. Di antaranya sebagai berikut:19 pertama, Al-tamam (telah

15 Jalaludin al-Suyuti, Al-Itqa>n..., Vol. 2, 6.

16 Husam bin Hasan Sorsur, Aya>t al-S{ifa>t wa Manhaj Ibn Jari>r al-T{abari> fi> Tafsi>r

Ma’a>ni>ha> (Beirut: Dar al-Kutub, 2001), 113.

17 Ibnu Faris, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lughah, Vol. 3 (Beirut: Darul Fikr, 1979), 112. 18 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} Qur’a>n

al-Kari>m (Kairo: Dar Kitab al-Misriyyah, T.Th), 373.

19 Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Fayumi al-Muqarri, Al-Misba>h} } al-Muni>r (Beirut:

Maktabah Lebanon, 1978), 113. Lihat juga dalam Ibnu Manzur, Lisa>n al-‘Arab, Vol. 14 (Beirut: Dar Sadir, T.Th), 408, Muhammad Basam Rushdi Zayn, Al-Mu’jam

(21)

al-mencapai kesempurnaan). Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Qashas [28]: 14. “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Kedua, Al-tamakkun wa al-istiqra>r (bertempat atau menetap). Sebagaimana disebutkan dalam QS. Hud [11]: 44. “Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim”. Ketiga, Al-istiqa>mah wa al-i’tida>l (lurus dan tegak). Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Fath [48]: 29.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang-orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Keempat, Al-‘uluww wa al-irtifa>‘ (berada di arah atas atau tempat yang tinggi). Sebagaimana dalam QS. Al-Mu‘minun [23]: 28. “Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim”. Kelima, Istawla> atau qahara (menguasai). Sebagaimana disebutkan dalam sebuah sya’ir: “Bishr bin Marwan telah menguasai dan menundukkan Iraq dengan tanpa kekuatan pedang dan tanpa

adanya darah yang mengalir”. Keenam, Qas}d al-shay’i (menuju

sesuatu). Sebagaimana dalam QS. al-Baqarah [2]: 29. “Dia-lah Allah,

Mufahras li Ma’a>ni al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 103. Zainuddin al-Razi,

Mukhta>r al-S{ih}h}a>h}, (T.K: Maktabah Syamilah, T.Th), 156 dan Al-Fairuz Abadi, Al-Qa>mu>s

(22)

yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Ketujuh, (Al-tama>thul wa al-tasawi> (sepadan). Sebagaimana dalam QS. Al-Zumar [39]: 9. “Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima

pelajaran”. Kedelapan, Nad}uja (matang). Sebagaimana dalam

ungkapan bahasa Arab: “Makanan sudah matang (siap dimakan)”. Kesembilan, Al-ruku>b wa al-isti>’la>’ (menaiki kendaraan dan duduk di atasnya). Sebagaimana dalam QS. al-Zukhruf [43]: 13. “Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya”.

Metode Para Ulama dalam Memahami Kata Istawa

Ada dua metode yang digunakakan para ulama dalam memahami kata istawa dan ayat-ayat mutasya>biha>t lainnya secara

umum:20

Pertama, metodologi tafwi>d} yang diikuti oleh mayoritas ulama salaf. Yaitu tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks tersebut, namun mencukupkan diri dengan penetapan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi dzat-Nya, serta menyucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap hal-hal yang baru. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengikuti metode ta’wi>l ijma>li21 terhadap teks-teks tersebut dan menyerahkan pengetahuan

maksud yang sebenarnya kepada Allah SWT.22

20 Muhyiddin al-Nawawi, Syarh} S{ah}i>h} Muslim, Vol. 3 (Kairo: Al-Matba’ah

al-Misriyyah, 1929), 19.

21 Ta’wi>l ijma>li> artinya ta’wi>l yang bersifat umum, yaitu mengalihkan maksud

teks-teks yang mutasya>biha>t tersebut dari makna literalnya, tanpa memberikan maksud yang pasti terhadapnya, dengan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Allah SWT. Muhammad Said Ramadan al-Buti, Kubra al-Yaqiniyya>t al-Kauniyah, (Damaskus:> Dar al-Fikr, 1997), 138. Lihat juga Husam bin Hasan Sorsur, Aya>t al-S{ifa>t, 119.

(23)

Mayoritas ulama salaf dengan mengikuti metodologi tafwi>d}

atau ta’wi>l ijma>li, tidak mengartikan istiwa’ dengan bersemayam dan bertempat di ‘Arsy. Mereka memandang bahwa istiwa’ memiliki makna tersendiri yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak mengandung penyerupaan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Penggunaan metode tafwi>d} atau ta’wi>l ijma>li ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya tentang arti istawa. Al-Baihaqi meriwayatkan melalui Jalur Yahya bin Yahya sebagai berikut: “Suatu ketika kami (Yahya bin Yahya) berada di majelis Imam Malik. Kemudian seseorang laki-laki datang lalu

bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, “al-Rah}ma>n ‘ala>

al-‘Arsh istawa>, bagaimanakah istawa Allah?” Kemudian Imam Malik menundukkan kepala hingga badannya bergetar dan mengeluarkan keringat, lalu beliau berkata, “Istiwa’ telah jelas (penyebutannya dalam al-Qur’an), dan bagaimana (kaif) tidak logis ditanyakan kepada Allah, beriman kepadanya wajib dan mempermasalahkan istiwa’ adalah bid’ah. Engkau adalah seorang ahli bid’ah. Lalu Imam Malik memerintahkan agar orang tersebut

dikeluarkan dari majelisnya”.23

Jawaban tegas Imam Malik di atas disebabkan pertanyaan “bagaimana” yang ditanyakan si laki-laki. Pertanyaan itu menunjukkan bahwa laki-laki tersebut memahami istiwa’ secara zahir, sehingga dia bertanya kepada Imam Malik bagaimanakah (kaif) sebenarnya istiwa’ Allah. Padahal makna

istawa secara zahir adalah duduk bertempat. Makna zahir

inilah yang dipahami oleh laki-laki tersebut. Dengan begitu dia sudah menetapkan kaifiyyah bagi Allah yang merupakan suatu bentuk tasybih. Karenanya Imam Malik menyebutnya sebagai ahli bid’ah lalu beliau mengusirnya.

Kedua, metodologi ta’wi>l yang diikuti oleh mayoritas ulama khalaf dan sebagian ulama salaf, yaitu memalingkan pengertian

23 Dalam lafaz aslinya:

Lihat: Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Al-Asma>’ wa al-S{ifa>t, Vol. 2 (T.K: Maktabah al-Sawadi li al-Tawzi’, T.Th), 305-306.>

(24)

teks-teks yang mutasya>biha>t tersebut dari makna-makna literalnya dan meletakkan maksud-maksudnya dalam satu bingkai pengertian yang sejalan dan seiring dengan teks-teks lain yang muh}kama>t yang memastikan kesucian Allah dari arah, tempat dan anggota tubuh seperti makhluk-Nya (ta’wi>l tafs}i>li>). Oleh karena itu, mereka menafsirkan istiwa’ dalam ayat di atas dengan kekuasaan Allah, menafsirkan tangan dalam ayat lain dengan kekuatan dan kedermawanan, menafsirkan ‘ain (mata) dengan

pertolongan (‘ina>yah) dan pemeliharaan (ri’a>yah), menafsirkan dua

jari-jari dalam hadis dengan kehendak (ira>dah) dan kekuasaan

(qudrah) Allah dan lain sebagainya.24

Sebenarnya antara pendapat salaf dengan pendapat khalaf

memiliki kesamaan25, dalam artian sama-sama tidak mensifati Allah

SWT dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk-Nya. Mereka sama-sama tidak berpegangan dengan arti-arti literal ayat-ayat dan hadis-hadis mutasya>biha>t tersebut. Mereka sepakat untuk menyucikan Allah dari sifat-sifat yang menjadi ciri khas makhluk-Nya dan bahwa maksud mutasya>biha>t tersebut bukanlah makna yang dikenal makhluk-Nya. Jadi tidak seorang pun dari kalangan mereka yang meyakini bahwa maksud istiwa’ adalah Allah itu duduk atau menetap di ‘Arsy. Argumentasi yang mereka bangun ini didasarkan kepada firman Allah SWT QS. al-Syura [42]: 11. “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat”.

Ayat di atas menegaskan kesucian Allah yang bersifat mutlak dari menyerupai apapun, sehingga ayat-ayat dan hadis- hadis lain yang mutasya>biha>t dan mengesankan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya harus dikembalikan maksudnya terhadap ayat tersebut, sebab kedudukannya yang termasuk dalam kategori ayat muh}kama>t.26

Badruddin al-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n menyebutkan tiga metode yang digunakan dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t:

24 Al-Buti, Kubra al-Yaqi>niyyat..., 140.

25 Sa’id Abdul Latif Faudah, Al-Farq al-‘Az}i>m baina al-Tanzi>h wa al-Tajsi>m, (Oman:

Dar al-Razi, 2004), 42.

26 Lihat Zarkashi, Al-Burha>n, Vol. 2, 71. Lihat juga Sa’id Faudah, Al-Farq

(25)

“Para pakar berbeda pendapat tentang teks mutasya>biha>t dalam ayat-ayat al-Qur ’an dan hadis-hadis menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh ditakwil, tetapi diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan kami tidak melakukan takwil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran

Musyabbi-hah (paham yang menyerupakan Allah dengan

makhluk-Nya). Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh ditakwil, tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan menafikan sifat-sifat yang ada dalam teks-teks tersebut. Kami ber-keyakinan, bahwa takwil terhadap teks-teks tersebut hanya Allah yang mengetahuinya. Mereka adalah aliran salaf. Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut harus ditakwil. Mereka mentakwilnya sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah. Mazhab yang pertama, yaitu madzhab Musyabbihah adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi SAW”.27

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Muhammad bin

Ali al-Syaukani dalam kitabnya Irsyha>d al-Fuh}u>l, sebagai berikut:

“Bagian kedua, tentang teks yang dapat ditakwil, yaitu ada dua bagian. Pertama, teks yang berkaitan dengan furu>’ (cabang dan ranting) yang sebagian besar memang ditakwil, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh kalangan ulama. Kedua, teks-teks yang berkaitan dengan us}u>l (pokok-pokok agama) seperti akidah, dasar-dasar agama dan sifat-sifat Allah SWT. Para pakar berbeda pendapat mengenai bagian kedua ini menjadi tiga aliran. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh ditakwil, tetapi diber-lakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan tidak boleh melakukan takwil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah (paham yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh ditakwil, tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan menafikan sifat-sifat yang ada dalam teks-teks tersebut, karena firman Allah, “tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah”. Ibnu Burhan berkata, ini adalah pendapat ulama salaf. Ketiga, kelompok yang berpandangan

(26)

bahwa teks-teks tersebut harus ditakwil. Ibnu Burhan berkata, mazhab yang pertama, dari ketiga mazhab ini adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua mazhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi SAW. Bahkan mazhab yang ketiga ini diriwayatkan dari Sayyidina Ali, bin Mas’ud, bin Abbas dan Ummu Salamah”.28

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode tafwi>d}

dan ta’wi>l merupakan metode yang digunakan oleh ulama salaf

dan sahabat Nabi SAW dalam memahami teks-teks mutasya>biha>t, seperti istawa dan sebagainya. Penafsiran terhadap teks-teks mutasya>biha>t tersebut tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna zahirnya, sebab hal itu dapat mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Karena itulah mayoritas

mufasir memilih metode ta’wi>l dengan mengalihkan makna

tekstual, yaitu memaknainya sesuai dengan sifat-sifat keagungan yang dimiliki Allah SWT dan tidak menyerupai sifat-sifat

makhluk-Nya.29 Mereka lebih memilih melakukan ta’wi>l dari pada terjatuh

ke dalam tajsi>m dan tasybi>h sebab memahami teks-teks mutasya>biha>t tersebut secara literal.30

Takwil Para Mufasir Terhadap Kata Istawa

Berikut akan disebutkan beberapa bentuk ta’wi>l tafs}i>li> para mufasir terhadap kata istawa di dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat Tuhan. Di antaranya adalah: pertama, Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) menjelaskan bahwa istiwa‘ dalam ungkapan

Arab memiliki banyak makna, di antaranya ih}tiya>z (bertempat)

dan isti>la>‘ (menguasai). Al-Thabari menafsirkan istiwa>’ dalam surat al-Baqarah ayat 29 dengan memiliki dan menguasai, bukan

bergerak dan berpindah.31 Kedua, Abu Bakar Ahmad Razi

al-Jassas al-Hanafi (w. 370 H) mentakwil istawa dalam surat Thaha

ayat 5 dengan istawla.32 Ketiga, Abu al-Laith Nasr bin Muhammad

28 Muhammad bin Ali al-Shaukani, Irsya>d al-Fuh}u>l ila> T{ah}qi>q al-H{aqq min ‘Ilm

al-Us}u>l, Vol. 2 (Riyad: Dar al-Fadilah, 2000), 756-757.

29 Abdullah al-Harari, Al-S{ira>t} al-Mustaqi>m, (Beirut: Dar al-Masyari, 2004), 174. 30 Badruddin bin Jama’ah, I>d}a>h al-Dali>l fi> Qat}’i Hujaj Ahl al-Ta’t}i>l, (Damaskus: Dar

Iqra’, 2005), 80.

31 Ibnu Jarir al-Tabari, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n, Vol. 1 (Kairo:

Maktabah Ibnu Taimiyyah, T.Th), 430.

32 Ahmad bin Ali Al-Jassas al-Hanafi, Ah}ka>m al-Qur’a>n, Vol. 7 (T.K: Maktabah

(27)

bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi (w. 375 H) mentakwil kata istawa dalam surat Thaha ayat 5 dengan istawla.33 Keempat, Abu

Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H) ketika menafsirkan surat al-A’raf ayat 54 menyebutkan dua penafsiran

terhadap kata istawa, di antaranya adalah istawla.34 Kelima, Abu

Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi (w. 468 H) mentakwil istawa dalam surat Thaha ayat 5 dengan istawla. Keenam, Abu Muhammad Abdul Haq bin ‘Athiyyah al-Andalusiy (w. 541 H)

mentakwil istawa dalam surat al-Baqarah ayat 29 dengan istawla.35

Ketujuh, Fakhruddin al-Razi al-Syafi’i (w. 606 H) mentakwil istawa dalam surat al-Ra’d ayat 2 dengan al-qahr (menundukkan)

wa al-qudrah (menguasai).36 Kedelapan, Abu Abdillah Muhammad

bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi (w. 671 H) mentakwil istawa

dengan istawla.37 Kesembilan, Nasiruddin Abdul Khair Abdullah

bin Umar bin Muhammad al-Baidawi al-Syafi’i (w. 685 H)

mentakwil istawa dalam surat al-A’raf ayat 54 dengan istawla.38

Kesepupuh, Abu al-Barkat Abdullah bin Ahmad al-Nasafi (w. 710

H) mentakwil istawa dalam surat Thaha ayat 5 dengan istawla.39

Kesebelas, Abu Hayyan al-Andalusiy (w. 754 H) dalam tafsirnya menyebutkan beberapa pendapat tentang makna istawa,

diantaranya adalah istawla.40 Kedua belas, Abdurrahman bin

Muhammad bin Makhluf Abu Zaid al-Tha’alabi (w. 875 H)

mentakwil istawa dalam surat al-Baqarah ayat 29 dengan istawla.41

Dari beberapa contoh ta’wil di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas mufasir tidak memahami kata tersebut secara literal. Mereka memahami istawa dengan menggunakan metode

33 Al-Samarqandi, Bah}r al ‘Ulu>m, Vol. 2, (T.K: Maktabah Syamilah, Isdar

al-Thani, T.Th), 116.

34 Al-Mawardi, Al-Nukat wa ‘Uyu>n, Vol. 1 (T.K: Maktabah Syamilah, Isdar

al-Thani, T.Th), 490.

35 Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib bin ‘Atiyyah, Al-Muh}arrar al-Waji>z fi>

Tafsi>r Kita>b al-‘Azi>z, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 115.

36 Fakhruddin al-Razi, Mafa>tih} al-Gaib, Vol. 18 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 237-238. 37 Al-Qurtubi, Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, T.Th), 255. 38 Nasiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad Baidawi, Anwa>r

al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l, Vol. 3 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 15-16.

39 Abu al-Barkat Abdullah bin Ahmad al-Nasafi, Mada>rik al-Tanzi>l wa H{aqa>iq

al-Ta’wi>l, Vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, T.Th), 48.

40 Abu Hayyan al-Andalusi, Bah}r al Muhi>t} }, Vol. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1993), 280.

41 Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf Abu Zaid al-Tha’alabi al-Maliki, Jawa>hir

(28)

ta’wi>l tafs}i>li>, yaitu dengan cara memalingkan makna istawa dari

makna literalnya kepada makna lain yang sesuai dengan sifat-sifat keagungan yang dimiliki Allah SWT. Upaya ini dilakukan agar tidak mengantarkan kepada tajsi>m atau tasbi>h. Dalam hal ini Imam Ahmad menegaskan: “Allah beristiwa’ sebagaimana dia sendiri memberitakannya (dalam al-Qur’an), bukan seperti apa yang terlintas dalam akal pikiran manusia”.42

Teologi Asy’ari: Allah Ada Tanpa Tempat

Bertolak dari QS. al-Syura ayat 11 di atas, Asy’ariyyah meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena itulah para mufasir mentakwil istawa dengan istawla dan qahara yang memberikan pemahaman bahwa Allah menguasai ’Arsy, bukan Allah berada di ’Arsy. Hal ini dikarenakan dua makna tersebut layak

bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat yang muh}kama>t.

Penetapan makna tersebut dinilai sesuai dengan sifat Allah yang ‘azali (tidak mempunyai permulaan) dan tidak menginter-pretasikan makna secara tekstual, serta dengan makna ini dinilai tidak terjebak pada paham antropomorfisme.

Mengomentari surat al-A’raf ayat 54, Ibnu Katsir menjelaskan bagaimana sikap ulama salaf dalam memahami istawa. Mereka meyakini sifat tersebut dengan tanpa takyif, namun mereka juga mengingkari mujassimah yang menafsirkan istiwa’ dengan duduk atau berada di ‘Arsy, karena hal itu masuk dalam kategori tajsim. Ketika mereka ditanya arti istiwa’, mereka menjawab bahwa Allah ber-istiwa’ sesuai dengan makna yang layak bagi Allah tanpa ta’til dan tajsim. Namun, ketika dalam kondisi tertentu, para ulama mentakwil istiwa’ dengan makna yang sesuai petunjuk bahasa Arab, di mana makna tersebut cocok dengan keagungan dan kesempurnaan Allah dan jauh dari tasybih dan tajsi>m, seperti istawla (menguasai) dan qahara (menundukkan). Karena itulah secara tegas Ibnu Katsir -sebagaimana dikutip dari Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i- mengkafirkan orang

yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.43

Argumentasi rasional (‘aqli) yang menunjukkan bahwa Allah tidak bertempat adalah, jika adanya Allah sebelum diciptakannya 42 Taqiyuddin al-Husni, Daf’u Man Syabbaha wa Tamarrada, (Kairo: Al-Maktabah

al-Azhariyyah li al-Turath, T.Th), 17.

43 Abu al-Fida’ Isma’il Ibnu Kathir, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, Vol. 6 (T.K: Muassasah

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 160 Ayat 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri

Seluruh kayu bulat yang diterima PT Dong Shin Indonesia selama periode Juni 2016 s/d Mei 2017 telah dilengkapi dengan dokumen angkutan hasil hutan yang sah (nota angkutan)

Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang pada Alat Tangkap Bubu (Trap) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.. [Skripsi] (Tidak

Keterampilan gerak tari siswa kelas V SDN 183 Pekanbaru meningkat karena adanya kolaborasi antara guru dan peneliti pada aspek perencanaan tindakan yang disertai oleh

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua

Pertunjukan tayub biasanya dipandu oleh seorang pengarih, tetapi apabila pertunjukan itu melibatkan beberapa orang joged (biasanya lebih dari empat orang joged) maka

Peraturan Presiden RI nomor 97 Tahun 2016 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017... Dana Alokasi Khusus Non Fisik Untuk Bantuan

Pembelajaran dengan penerapan pembelajaran metode penemuan terbimbing di SMP Laboratorium UM Kota Malang dikatakan dapat meningkatkan hasil belajar siswa jika