• Tidak ada hasil yang ditemukan

داللة االلفاظ على االحكام (PENUNJUKAN LAFADZ TERHADAP HUKUM) Helmi Kamal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "داللة االلفاظ على االحكام (PENUNJUKAN LAFADZ TERHADAP HUKUM) Helmi Kamal"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

(PENUNJUKAN LAFADZ TERHADAP HUKUM) Helmi Kamal

Abstract: Sign purpose or signal, well with font or another sign, there are many is utilized deep life. Between fathoms a meaning to be subject to be language thrift. By it, there fore such a lot of intention that is passed on in communication can be abbreviated by use of device in shaped one font or sign. Amongst those as sign as at environmental ABRI and traffic light sign. Directing as it is called “wadh’iyah” its comprehensive: )ةﯿلﻘ ةللاﺪلﺮﯿﻏةل لاﺪ). Both of dilalah's form upon (dilalah lafziyah and ghairu lafziyah), besides is worked through deep Mantiq's knowledge (logic), also been assessed deep ushul fiqh's knowledge, even between they there is difference in utilize about terminology it. Extensive dilalah form its purpose is dilalah lafziyah because contain intention that directly and clear about law. dilalah's form with “silents” deep dilalah ghairu lafzhiyah also being utilized deep pointing to sentence, but inviting a lot of difference of opinion among ulama fikih's suggestion.

Keywords: Lafaz's directing, Mantiq's knowledge, Law.

Abstrak: Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan. Di antara maksudnya adalah untuk penghematan bahasa. Dengan cara itu, maka demikian banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan menggunakan lambang dalam bentuk sebuah huruf atau tanda. Di antaranya seperti tanda kepangkatan di lingkungan ABRI dan tanda rambu lalu lintas. Penunjukan seperti ini disebut “wadh’iyah” secara lengkapnya : )ةﯿلﻘ ةللاﺪلﺮﯿﻏةل لاﺪ). Kedua bentuk dilalah di atas (dilalah lafziyah dan ghairu lafziyah), selain dibahas dalam ilmu Mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu ushul fiqh, meskipun di antara mereka ada perbedaan dalam menggunakan peristilahannya. Bentuk dilalah yang luas penggunaannya adalah dilalah lafziyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu lafzhiyah juga digunakan dalam penunjukan terhadap hukum, tetapi mengundang banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama usul fikih.

Kata kunci: Penunjukan Lafaz Ilmu Mantiq, Hukum. I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam menghadapi tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fiqh, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena ternyata warisan fiqh yang terdapat dalam buku-buku klasik, bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya, tetapi di sana sini mungkin terdapat pendapat-pendapat yang tidak atau kurang relevan dengan abad kemajuan ini.

Dalam konteks ini, ijtihad menjadi sebuah kemestian dan metode ijtihad mutlak harus dikuasai oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad itulah yang dikenal dengan ushul fiqh. Ushul fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum-hukum Islam. Atau ushul fiqh adalah himpunan kaidah dan bahasan

(2)

yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terinci.1 Tegasnya, ushul fiqh membahas tentang kaidah-kaidah kulli (umum) yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum syara’ melalui dalil-dalil yang terperinci. Salah satunya adalah memahami lafad dari segi dilalah (penunjukan) terhadap hukum.

Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah. Pada makalah ini penulis membicarakan tentang lafad dari segi dilalah (penunjukan) terhadap hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan dari makalah ini sebagai berikut :

1. Apa pengertian Dilalah?

2. Bagaimana macam-macam Dilalah?

3. Bagaimana lafad dari segi Dilalah (penunjukan) terhadap Hukum? II. Pembahasan

A. Pengertian Dilalah

Arti Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu atas sesuatu. Dilalah secara umum adalah : “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlul” (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri. Kata “sesuatu” disebutkan kedua kalinya disebut “dalil” (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”.

Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.2

B. Macam-macam Dilalah

Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah.

1. Dilalah lafzhiyah (penunjukan yang berbentuk lafad) yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafad, suara atau kata. Dengan demikian, lafad, suara dan kata menunjukkan kepada

1Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang, Diana Utama, 1994), h. 2. 2

(3)

maksud tertentu. Penunjukannya kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal :

a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang di seluruh alam ini. Umpamanya “rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suatu rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Penunjukan (dilalah) seperti ini disebut “thab’iyyah” secara lengkap biasa disebut dilalah lafdhiyah thabi’iyyah.

b. Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan tertentu yang lewat di belakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertentu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukan secara suara tersebut dinamai “aqliyah”, secara lengkap biasa disebut dilalah lafdhiyyah ‘aqliyah c. Melalui “istilah’ yang dipahami dan diungkapkan bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya kalau kita mendengar ucapan, “Binatang yang mengeong”, kita akan mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu, yaitu “kucing”. Hal ini dimungkinkan karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu untuk memberi istilah kepada “kucing”. Penunjukan bentuk ini disebut “wadhi’iyah”, secara lengkap biasa disebut “dilalah lafdhiyyah wadhi’yyah”.

2. Dilalah Ghairu lafzhiyyah atau dilalah bukan lafad, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafad dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu. Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut :

a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang di mana saja. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseorang berada dalam ketakutan, maka mukanya akan pucat. Pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa takut itu. Penunjukan seperti ini disebut “thabi’iyah”. Secara lengkapnya.

b. Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu. Umpamanya asap yang mengepul dari sesuatu menunjukkan ada api didalamnya. Meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut

(4)

pertimbangan akal: di mana ada asap pasti ada api. Penunjukkan dalam bentuk ini disebut “aqliyyah”.

c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Umpamanya huruf H di depan mana seorang muslim menunjukkan bahwa orang itu sudah melakukan ibadah haji. Hal ini dapat diketahui karena sudah menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya. Meskipun tidak ada yang mengatakan bahwa ia sudah haji, namun dari adanya huruf H di depan namanya, maka semua orang tahu bahwa ia sudah haji.

Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan. Di antara maksudnya adalah untuk penghematan bahasa. Dengan cara itu, maka demikian banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan menggunakan lambang dalam bentuk sebuah huruf atau tanda. Di antaranya seperti tanda kepangkatan di lingkungan ABRI dan tanda rambu lalu lintas. Penunjukan seperti ini disebut “wadh’iyah” secara lengkapnya :

Kedua bentuk dilalah di atas (dilalah lafziyah dan ghairu lafziyah), selain dibahas dalam ilmu Mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu ushul fiqh, meskipun di antara mereka ada perbedaan dalam menggunakan peristilahannya. Bentuk dilalah yang luas penggunaannya adalah dilalah lafziyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu lafzhiyah juga digunakan dalam penunjukan terhadap hukum, tetapi mengundang banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqhi. 3

C. Lafaz dari Segi Dilalah (Penunjukan) atas Hukum

Menurut jumhur ulama ushul fiqh bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw dilihat dari segi penunjukan (dilalah) terhadap hukum terbagi kepada mantuq dan mafhum.

1. Lafad Mantuq a. Pengertian Mantuq

Kata mantuq secara bahasa sesuatu yang ditunjuki lafad dan ucapan lafad itu sendiri. Secara istilah dilalah mantuq4 adalah : penunjukkan lafad terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafad). Dari definisi ini diketahui apabila suatu hukum dipahami langsung lafad yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada QS. Al-Isra’ : 23.

      Terjemahnya : 3Ibid., h. 126-129 4

(5)

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka…”5

Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini. Para ahli ushul fiqh membagi mantaq kepada dua macam, yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih Menurut Wahbah Zuhaili6 yang dimaksud dengan mantuq sharih ialah penunjukkan lafaz nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafaz nash.

Adapun definisi mantuq sharih secara istilah seperti yang dikemukakan Musthafa Said al-Khin7 adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafad sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya.

Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah QS. al-Baqarah/2 : 275 :

     Terjemahnya :

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”8

Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.

Adapun mantuq ghairu sharih adalah petunjuk lafad kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafad tersebut. Arti yang ditunjuki dengan dilalah mantuq ghairur sharih ini dapat berupa : a) arti yang dikehendaki oleh pembicaraan lafaz (syara’) akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh tuturan lafadnya, dan b). arti yang disebutkan oleh tuturan lafaz adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan (syara’).

Misalnya, firman Allah pada QS. Al-Baqarah/2 : 233:

      

5Departemen Agama, RI Al-Qur’an dan Terjemahannya, (PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009) h. 284.

6 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 360. Lihat pula : Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, h. 147.

7Musthafa Said al-Khin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1981) Cet. Ke-2, h. 249-250.

8Riba itu ada dua macam : nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang diisyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

(6)

Terjemahnya :

“Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian secara patut untuk istri dengan cara yang ma’ruf…9

Ibarat lafaz di atas menunjukkan kewajiban ayah (suami) untuk memberi nafkah dan pakaian yang layak untuk istrinya atau jandanya dalam masa ‘iddah. Ungkapan tersebut yang berarti ayah sebagai pengganti dari lafaz yang digunakan Allah dalam ayat ini oleh sebagian mujtahid yang teliti menjadi titik perhatian. Meskipun kedua lafaz (ungkapan) yang sama artinya, namun kenapa Allah menggunakan lafaz tertentu, tersendiri yang mungkin tidak terlihat oleh orang biasa. Ungkapan ini arti asalnya berarti “anak untuk ayah”. Rangkaian lafad tersebut menurut hasil telaah mujtahid memiliki maksud lain, yaitu bahwa anak adalah kepunyaan ayahya, atau dalam istilah hukum “anak dinasabkan kepada ayahnya” Dengan pemahaman tersebut terlihat bahwa ayah tersebut yang menurut “ibaratnya mengandung maksud tertentu, juga mengisyaratkan kepada maksud lain, yaitu “hubungan nasab anak adalah kepada ayahnya”. Bukan kepada ibunya.10

Dari ayat ini dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada bapak bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan bapak. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.

Arti yang ditunjuk dengan dalalah mantuq ghairu sharih ini dapat berupa11

1. Arti yang dikehendaki oleh pembicaraan lafad (syara’) akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh tuturan lafadnya. Bentuk pertama ini dapat berupa : a. Petunjuk lafad kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab

kebenaran atau keabsahan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya. Dalalah semacam ini menurut ulama Hanafiah disebutkan dengan idalalah iqtidhaun nash.

b. Petunjuk lafad kepada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan ‘illat (alasan) bagi adanya arti tersebut. Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. Al-Maidah/5: 38:     Terjemahnya :

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya… “.12

9 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 37. 10Amir Syarifuddin, op,cit.,h.133

11Totok Sumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta, AMZAH, 2005), h. 47 12

(7)

Adapun hukuman potong tangan pada ayat di atas, disertai dengan alasan pencurian. Arti yang dapat dipahami dengan dalalah ini adalah bahwa pencurian menjadi ‘illat bagi adanya hukuman itu bukan merupakan ‘illat bagi adanya hukum potong tangan, maka penyebutannya sudah barang tentu tidak ada artinya. Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Penjelasan untuk yang dimaksud dengan “tangan” ini ditentukan dalam hadis Rasulullah. Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang mana yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.13

Dilalah ini disebut pula dengan dalalatun tanbih wa’alima (memberi tahu dan memberi isyarat secara halus).

2. Arti yang disebutkan oleh tuturan lafad adalah tidak dimaksudkan oleh pembicaraan syara’. Contohnya QS. Al-Ahqaf : 15:

     … Terjemahnya:

“Mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan…14

Dan firman-Nya :    … Terjemahnya :

“… dan menyapihnya dalam usia dua tahun. (QS. Luqman : 14)

Dari yang diturunkan oleh lafad dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah arti yaitu masa hamil paling sedikit enam bulan.

a) Pembagian Mantuq

1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi. Seperti firman Allah :

“…Maka hendaklah puasa tiga hari”.

2. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada pentakwilan. Seperti firman Allah QS. Ar-Rahman : 27:    … Terjemahan :

13Harun Nasution, Ushul Fiqh, (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 33 14

(8)

“Dan kekal wajah Tuhan engkau”.15

Wajah dalam ayat diartikan dengan zat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah.

2. Lafal Mafhum

Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut:16 yaitu penunjukkan lafad yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafad terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau ketetapan pengertian kebalikan dari pengertian lafad yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan). Mafhum menurut Nazar Bakry ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafad tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.17 Penerapan definisi ini dapat diamati dari firman Allah QS. Al-Isra’ : 23:       Terjemahnya :

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… “18

Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan selain ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah swt.

Di kalangan jumhur, yaitu Syafi’iyah dilalat al-mafhum ini dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah ialah penunjukkan lafaz atau suatu ketetapan hukum yang disebutkan oleh nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan, karena antara

15Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 532.

16Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut : Dar al-Fikr, 2001) Jilid 1, Cet. Ke-2, h. 340

17Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003) Cet. 4, h. 179. 18

(9)

keduanya yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat persamaan ‘illat. Tegasnya, mafhum muwafaqah itu adalah ketentuan hukum atas sesuatu yang tidak disebukan bersesuaian dengan ketentuan hukum yang disebutkan oleh nash. Mafhum muwafaqah dapat dibagi menjadi19:

1. Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang artinya “Jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada dua orang ibu bapakmu. Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

2. Lahnal Kitab, yaitu apabila tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti firman Allah swt. QS. An-Nisa’ : 10:

     .         Terjemahnya :

“Mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka”.20

Secara mantuq, ayat ini menjelaskan tentang haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukum. Alasan larangannya karena tindakan tersebut dapat merusak atau melenyapkan harta anak yatim. Sementara melalui mafhum muwafaqah dapat diketahui dari ayat ini dilarang setiap perbuatan yang dapat merusak dan menghabiskan harta anak yatim, seperti membakar dan menipu. Konsep mafhum muwafaqah ini dikenal di kalangan jumhur ulama ushul fiqh. Konsep ini sama dengan dilalah al-nash di kalangan Hanafiyyah.

Sedangkan mafhum mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda-beda dari ucapan baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafad yang diucapkan. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Jumu’ah: 9 :

                       Terjemahnya :

“Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.21

19Nazar Bakry, op. cit. h. 180-181

20Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 78. 21

(10)

Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan shalat. Dinamakan juga mafhum kukhalafah ini Dalil Khitab.

Mafhum mukhalafah ini terdiri dari lima22 macam yaitu :

1) Mafhum al-shifah (sifat), yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan sifat yang terdapat pada lafaz dan menetapkan sebaliknya bila berlawanan dengan sifat dimaksud. Contohnya firman Allah QS. al-Nisa’ : 25:

                 Terjemahnya :

“Dan barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka mukmin, maka ia boleh menikahi wanita beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”.

Mantuq dari ayat ini ialah boleh menikahi hamba sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi wanita merdeka mukmin. Mafhum sifat nya dari ayat ini ialah tidak boleh menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.

2) Mafhum al-syarth (syarat), yaitu menetapkan hukum kebalikan dari yang disebutkan yang dikaitkan dengan syarat. Tegasnya bila syarat terpenuhi maka berlaku hukum dan bila tidak terpenuhi maka tidak dapat ditetapkan hukum sebaliknya. Contohnya firman Allah QS. ath-Thalaq : 6:

          … Terjemah :

“Jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah nafkah mereka sampai mereka melahirkan”.23

Mantuq ayat ini menetapkan bahwa wajib memberi nafkah bagi perempuan yang dicerai dengan syarat bila ia dalam keadaan hamil. Mafhum syarat ayat ini tidak wajib memberi nafkah pada isteri yang diceraikan bila ia tidak sedang dalam keadaan hamil.

3) Mafhum al-qhayah (batasan), yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan hinggaan atau limit waktu. Tegasnya, menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang

22Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 153-155, Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh

al-Islami, Juz 1, h. 362-368, dan Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 11, h. 149-152.

(11)

tidak disebutkan melalui batasan yang terdapat pada mantuq. Contohnya ialah firman Allah : QS. al-Baqarah/2: 230:

           … Terjemahnya :

“Jika suami mentalak isterinya (talak tiga), tidak halal baginya bekas isterinya hingga bekas isterinya itu menikah dengan laki-lain lain)”.

Mantuq ayat ini ialah tidak boleh menikah isteri yang telah ditalak tiga sampai ia menikah dengan laki-laki lain. Mafhum al-ghuyah-nya bila bekas isteri itu telah menikah dengan laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu serta habis masa ‘iddah-nya, maka ia boleh menikah kembali dengan bekas isterinya tersebut.

4) Mafhum al-‘adad (bilangan), yaitu penetapan hukum yang merupakan kebalikan dari ketentuan hukum yang disebutkan dengan dikaitkan dengan jumlah atau bilangan. Contohnya firman Allah swt pada QS. al-Nur : 2 :

         … Terjemahnya :

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki hendaklah masing-masing mereka dicambuk sebanyak seratus kali“.24

Mantuq ayat ini adalah wajib hukumnya mencambuk pezina baik laki-laki maupun perempuan sebanyak seratus kali. Mafhum ‘adad-nya ialah tidak sah cambukan terhadap pezina tersebut bila cambuknya itu lebih atau kurang dari seratus kali.

5) Mafhum al-laqab (gelar) yaitu menetapkan atau menyebutkan suatu ketentuan hukum atas suatu nama atau jenis tertentu dan tidak berlakunya hukum itu untuk sebaliknya (orang lain), misalnya ayat pada QS. Ali Imran : 97:

                  Terjemahnya :

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang yang mampu pergi ke Baitullah…”25

Mantuq ayat ini menjelaskan bahwa mengerjakan haji itu adalah pergi ke Baitullah di Makkah al-Mukarramah. Mafhum al-laqab-nya adalah tidak sah dan tidak diterima pergi menunaikan haji ke tempat lain selain ke Baitullah.

III. Simpulan

24Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 36. 25

(12)

Dari pembahasan tersebut di atas tentang Dilalah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Arti dilalah secara umum adalah : memahami sesuatu atas sesuatu. Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu atas sesuatu.

2. Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. a. Dilalah lafzhiyah (penunjukan yang berbentuk lafad) yaitu dilalah dengan

dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafad, suara atau kata. Dengan demikian, lafad, suara, dan kata, menunjukkan kepada maksud tertentu.

b. Dilalah Ghairu lafzhiyyah atau dilalah bukan lafad, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafad dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.

3. Menurut jumhur ulama ushul fiqh Lafad dari segi Dilalah (penunjukan) atas hukum terbagi kepada mantuq dan mafhum.

a. Dilalah mantuq adalah : penunjukkan lafad terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafaz)

b. Dilalah mafhum yaitu penunjukkan lafad yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafad terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau ketetapan pengertian kebalikan dari pengertian lafad yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan).

Daftar Pustaka

al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 1, Cet. Ke-2 Beirut : Dar al-Fikr, 2001.

Bakry, Nazar, Fiqh & Ushul Fiqh, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta : PT. Sigma Examedia Arkaleema, 2009.

Khallaf, Abdul Wahhab, , Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, 1994. Nasution, Harun Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.

Said Khin,Musthafa Atsar Ikhtilaf fi Qawa’id Ushuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, Beirut : Muassasah al-Risalah, 1981.

Sumantoro,Totok Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, AMZAH, 2005. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999. Zahrah M. Abu, , ushul Fiqh, Beirut : Dar al-Fikr al-Arabi, 1985.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis ragam (tabel 3) terhadap bobot kering total tanaman menunjukkan bahwa pada pengamatan umur 28 hari setelah tanam, pemberian pupuk kandang

Pergerakan arus geostropik permukaan pada peralihan musim timur ke musim barat bergerak dengan dominasi arah, di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa arus

Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Kegiatan-kegiatan pokok RKP 2006: Dalam rangka pelaksanaan program ini

Kajian mengenai masalah pendidikan telah dilakukan sebelumnya oleh Pramana (2015) dengan menggunakan metode cluster hierarchy, yang menyebutkan bahwa Kabupaten

Ia menduga pe­ rusahaan itu cuma mengandalkan modal fiktif untuk menguasai lahan Pemprov DKI Jakarta yang akan dibangun pusat perbelanjaan lalu disewakan dengan harga sangat

Logam berat menjadi berbahaya disebabkan oleh sistem bioakumulasi.Bioakumulasi berarti peningkatan konsentrasi unsur kimia tersebut dalam tubuh makhluk hidup sesuai

Selaku pembimbing penelitian di Rumah Sakit Haji Surabaya yang telah memberikan banyak saran dan memberikan bimbingan dalam pengambilan data di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya

Apabila investor menilai bahwa laba, nilai buku ekuitas (NBE) dan arus kas operasi (AKO) pada suatu perusahaan buruk, maka investor akan kurang berminat dengan saham