• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

13

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu pihak lain atau lebih”. Pengertian perjanjian mengandung unsur :

1) Perbuatan

Kata “perbuatan” lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

2) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih

Paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadapan dan saling memberikan pernyataan yang sepakat satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum;

3) Mengikatkan dirinya;

4) Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri (Handri Raharjo, 2009:41).

Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian akan melahirkan kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih pihak kepada satu atau lebih pihak lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.

Menurut para sarjana hukum perdata perumusan perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki kelemahan yaitu tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan terlalu luas

(2)

karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga tetapi sifatnya berbeda (Mariam dkk, 2001:65).

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting disamping sumber-sumber yang lain. Suatu perjanjian juga disebut sebagai persetujuan, karena dua belah pihak itu saling setuju untuk melaksanakan sesuatu.

b. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, meliputi :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal”.

Syarat-syarat tersebut dapat dibedakan menjadi dua syarat yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat pertama dan kedua termasuk ke dalam syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Syarat ketiga dan keempat dimasukkan dalam syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dan perbuatan hukum yang dilakukan. Menurut Mariam dkk (2001:65) syarat-syarat perjanjian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Kesepakatan Kedua belah pihak sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Orang dikatakan telah memberikan persetujuan/sepakat jika orang tersebut memang menghendaki apa yang disepakati. Jadi, sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Dalam hal ”kesepakatan” maka kedua belah pihak harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan dirinya. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk sahnya perjanjian.

(3)

b) Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa.

c) Adanya obyek perjanjian

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi obyek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri atas:

(1) Memberikan sesuatu; (2) Berbuat sesuatu; (3) Tidak berbuat sesuatu; (4) Suatu sebab yang halal. d) Adanya sebab yang halal

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud sebab yang halal dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu bukanlah sebab yang menyebabkan atau mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

c. Asas-asas Perjanjian

Asas-asas umum dalam hukum perjanjian menurut Daeng Naja (2006: 8-14) terdiri dari:

(4)

Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan : ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ”. Maksud dari asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang berhak mengadakan perjanjian dalam hal apapun dan dengan siapapun baik yang sudah diatur dalam Undang-Undang maupun yang belum diatur dalam Undang-Undang. Terhadap asas kebebasan berkontrak dikenal pembatasannya yaitu dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang isinya bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan Undang-Undang.

2) Asas konsensualisme

Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan adanya kata sepakat

(consensus) maka mengikat para pihak. Konsensualisme, selain

merupakan sifat hukum perikatan juga merupakan asas hukum perjanjian. Kata sepakat harus dinyatakan dalam bentuk tertulis/lisan/tanda-tanda yang dapat diterjemahkan.

3) Asas itikad baik

Itikad baik atau artinya kedua belah pihak harus berlaku terhadap yang lain berdasarkan kepatutan diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, dan tanpa akal-akalan, tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri.

4) Asas kepribadian atau asas personalia

Disebut juga asas personalitas, bahwa persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, tidak dapat membawa kerugian maupun manfaat karenanya bagi pihak ketiga.

5) Asas pacta sunt servanda

Asas ini disebut juga asas kepastian hukum, yang pada intinya perjanjian mengikat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya dan juga kepentingan orang lain. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda

(5)

merupakan asas kepastian hukum dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya Undang-Undang.

d. Wanprestasi

Perjanjian yang telah disepakati maka akan melahirkan perikatan. Perikatan disini akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang disebut prestasi. Prestasi sendiri harus dipenuhi sebagaimana dengan yang diperjanjikan sedang tidak dipenuhinya prestasi yang sudah diperjanjikan akan menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi berasal dari istilah bahasa belanda “wanpretatie”, yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan. Kalau debitur tidak memenuhi janji nya atau tidak memenuhi sebgaimana mestinya dan dapat dipersalahkan kepadanya, maka dapat dikatakan bahwa debitur wanprestasi (J.Satrio, 1999:122).

Wujud wanprestasi bisa berupa :

1) debitur sama sekali tidak berprestasi; 2) debitur keliru berprestasi;

3) debitur terlambat berprestasi.

Debitur dapat dikatakan wanprestasi setelah diberikan somasi oleh kreditur atau jurusita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau jurusita, apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan wanprestasi tersebut. Penentuan atas dasar wanprestasi tersebut harus dilakukan kreditur atas dasar-dasar yang jelas. Somasi sendiri isinya dapat berupa :

1) Apa yang dituntut; 2) Dasar tuntutan ;

3) Tanggal yang ditentukan, sebagai deadline (batas akhir) dalam pemenuhan tuntutan (http://www.negarahukum.com di akses tangal 24 desember 2015).

(6)

e. Berakhirnya Perjanjian

Menurut R.Setiawan (1999:69), perjanjian dapat berakhir karena hal-hal seperti berikut :

1) Telah lewat batas waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;

2) Undang-Undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian, misal dalam Pasal 1066 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan akan tetapi waktu persetujuan tersebut oleh Pasal 1066 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dibatasi waktu berlakunya hanya 5 (lima) tahun;

3) Para pihak atau Undang-Undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya suatu peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus;

4) Adanya pernyataan penghentian perjanjian oleh salah satu pihak maupun kedua belah pihak;

5) Dikeluarkannya putusan hakim; 6) Tujuan perjanjian telah tercapai;

7) Para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian. 2.Tinjauan Umum Kredit

a. Pengertian Kredit

Perkataan kredit tidak saja dikenal oleh masyarakat kota-kota besar, tetapi sampai di desa-desa pun kata kredit tersebut sudah sangat populer. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan.

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, memberikan pengertian kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang

(7)

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Daeng Naja,2006:52).

b. Jenis-jenis Kredit

Dalam praktek perbankan, kredit dapat dibedakan berdasarkan faktor- faktor yang terdapat dalam pemberian kredit tersebut, yaitu : 1) Jenis kredit menurut penggunaan kredit ( Malayu Hasibuan 2002:89)

a) Kredit investasi

Kredit yang diberikan kepada nasabah untuk keperluan penanaman modal, yang bersifat ekspansi, modernisasi maupun rehabilitasi perusahaan.

b) Kredit modal kerja

Kredit yang diberikan untuk kepentingan kelancaran modal kerja nasabah. Jadi kredit ini sasarannya untuk membiayai biaya operasi usaha nasabah.

c) Kredit konsumtif

Kredit yang diberikan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan hidup.

2) Jenis kredit menurut jangka waktu kredit

Dilihat dari segi jangka waktu, artinya lamanya masa pemberian kredit mulai dari pertama sekali diberikan sampai masa pelunasannya, jenis kredit ini adalah:

a) Kredit jangka pendek: Kredit yang berjangka waktu paling lama satu tahun.

b) Kredit jangka menengah: Kredit yang jangka waktunya antara satu sampai tiga tahun.

c) Kredit jangka panjang: Kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun.

c. Unsur-unsur Perkreditan

Suatu lembaga kredit baru akan memberikan kredit apabila benar-benar yakin bahwa penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang

(8)

diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua pihak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam kredit adalah (Johannes Ibrahim,2004:13) :

1) Kepercayaan

Kepercayaan yaitu keyakinan dari pihak bank bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.

2) Waktu

Jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dan pelunasannya dimana jangka waktu tersebut sebelumnya sudah disepakati bersama. 3) Prestasi

Obyek tertentu berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat tercapainya kesepakatan perjanjian pemberian kredit antara bank dan debitur.

4) Resiko

Suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya.

d. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit

Permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur harus segera diproses melalui penilaian dan selanjutnya diberikan keputusannya oleh bank. Pemberian kredit harus disertai dengan analisis kredit yang memuat aspek yang berkaitan dengan calon debitur. Dalam dunia perbankan ada lima faktor internal dan eksternal perusahaan yang menjadi bahan pertimbangan bagi pihak bank dalam memberikan fasilitas kredit. Menurut Johannes Ibrahim (2004:16-17) faktor internal dan eksternal perusahaan tersebut meliputi:

(9)

Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan reputasi baik calon debitur untuk melunasi pinjaman.

2) Modal (capital)

Penilaian terhadap harta kekayaan perusahaan yang digunakan dalam operasional.

3) Kemampuan (capacity)

Kemampuan debitur untuk mengelola usaha yang akan dibiayai dengan kredit. Bank perlu mengetahui apakah calon debitur mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup di bidang usaha tersebut.

4) Jaminan (collateral)

Untuk keamanan pelunasan kredit, calon debitur diharuskan menyediakan harta kekayaan milik calon debitur tersebut sebagai jaminan kredit. Jaminan merupakan langkah terakhir bila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya lagi.

5) Keadaan ekonomi (condition of economic)

Keadaan ekonomi dan iklim usaha yang berhubungan dengan usaha calon debitur, sehingga bank dapat mengetahui prospek dari usaha yang dibiayai.

e. Fungsi Kredit

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian maupun pengelolaan kredit itu sendiri. Fungsi kredit bagi masyarakat menurut Malayu Hasibuan (2002:88) antara lain :

1) menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan perekonomian;

2) memperluas lapangan kerja bagi masyarakat; 3) memperlancar arus uang dan arus barang; 4) meningkatkan produktivitas dana yang ada; 5) meningkatkan daya guna;

6) meningkatkan gairah berusaha masyarakat;

(10)

f. Tujuan Kredit

Pemberian kredit dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kapada nasabahnya dalam bentuk kredit, jika ia benar-benar merasa yakin bahwa nasabah yang akan menerima kredit itu mampu dan mau mengembalikan kredit yang diterima.

Tujuan penyaluran kredit antara lain untuk (Malayu Hasibuan, 2002:87) : 1) memperoleh pendapatan bank dari bunga kredit;

2) memanfaatkan dan memproduktifkan dana yang ada; 3) melaksanakan kegiatan operasional bank;

4) memenuhi permintaan kreditmasyarakat; 5) memperlancar lalu lintas pembayaran; 6) menambah modal kerja perusahaan. 3. Tinjauan Umum Jaminan

a Pengertian Jaminan

Jaminan adalah segala sesuatu yang diterima oleh kreditur dari debitur berkenaan dengan utang piutangnya, diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya yang timbul dari perikatan (Budi Untung,2005:56). Hukum jaminan adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jaminan dalam hubungan hutang-piutang. Adanya jaminan memang diperlukan oleh pihak kreditur karena dalam perikatan antara kreditur dan debitur, pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya dalam perikatan tersebut. Dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan ”Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”.

“Loan transactions typically involve the risk of borrower default, and lenders therefore pursue various procedures to reduce default risk

(11)

Transaksi pinjaman biasanya melibatkan risiko gagal bayar oleh peminjam dan oleh karena itu pemberi pinjaman menerapkan berbagai prosedur untuk mengurangi risiko gagal bayar dan untuk meminimalkan kerugian yang mungkin timbul dalam kasus gagal bayar (Feder,G. Onchan,T. and Raparla,T,1988:231).

b. Penggolongan Jaminan 1) Menurut cara terjadinya

a) Jaminan yang lahir karena Undang-Undang

Jaminan yang lahir karena Undang-Undang disini adalah yang bersumber dari Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dimana kebendaan debitur menjadi jaminan pelunasan hutang terhadap kreditur.

b) Jaminan yang lahir karena perjanjian

Selain jaminan yang ditunjuk oleh Undang-Undang, sebagai bagian dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian, Undang-Undang memungkinkan para pihak untuk melakukan perjanjian penjaminan yang ditujukan untuk pelunasan atau pelaksanaan kewajiban debitur kepada kreditur. Perjanjian penjaminan ini merupakan perjanjian accesior yang melekat pada perjanjian pokok yang menerbitkan utang piutang diantara debitur dan kreditur. 2) Menurut sifatnya

a) Jaminan umum dan jaminan khusus

Penggolongan jaminan menjadi jaminan umum dan jaminan khusus ini masih terkait dengan cara terjadinya jaminan dimana jaminan umum lahirnya berasal dari Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan jaminan khusus merupakan jaminan yang terjadinya ditetapkan melalui perjanjian. Jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur. Jaminan khusus timbul karena perjanjian antara pihak kreditur dengan pihak debitur.

(12)

b) Jaminan yang bersifat kebendaan dan perorangan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang obyeknya berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang khusus diperuntukkan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila di kemudian hari utang tersebut tidak dapat dibayar oleh debitur (Gatot Supramono, 2013:59). Jaminan yang bersifat kebendaan mempunyai sifat asas prioritas yaitu bahwa hak kebendaan yang lebih dahulu terjadi diutamakan daripada hak kebendaan yang terjadi kemudian.

Jaminan kebendaan yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada dua yaitu gadai dan hipotek. Selanjutnya muncul jaminan lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yaitu hak tanggungan dan fidusia.

(1) Gadai

Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian mengenai gadai. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahakan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seseorang yang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada pihak yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.

(2) Hipotek

Ikatan jaminan pada barang-barang tidak bergerak seperti tanah, rumah dan kapal laut di atas ukuran tertentu. Menurut Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ”Hipotek adalah suatu hak kebendaan atau benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi

(13)

pelunasan suatu perikatan”. Hipotek seperti halnya gadai, merupakan suatu hak bersifat accessoir karena mengikuti suatu perikatan pokok yang telah ada antara debitur dengan kreditur, yang berupa utang-piutang.

(3) Hak Tanggungan

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, bahwa:

”Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.

Obyek hak tanggungan berbeda dengan obyek hipotek yang hanya meliputi hak-hak atas tanah saja tidak meliputi benda-benda yang melekat dengan tanah seperti bangunan, tanaman, dan segala sesuatu di atas tanah.

(4) Fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata "Fides" yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata tersebut, maka hubungan hukum antara debitur dan kreditur merupakan hubungan hukum berdasarkan kepercayaan. Pembahasan mengenai fidusia akan dijabarkan lebih lengkap di pembahasan selanjutnya.

c) Jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak

Apabila benda yang dijaminkan adalah benda bergerak, maka lembaga jaminan yang dipergunakan adalah fidusia, apabila benda yang dijaminkan benda tidak bergerak selain tanah dan bangunan maka lembaga jaminan yang digunakan adalah hipotek, untuk tanah dan bangunan lembaga jaminan yang dapat dipergunakan adalah hak tanggungan.

(14)

d) Jaminan menurut kewenangan menguasai benda jaminannya Jaminan dengan hak menguasai benda dan tanpa hak

menguasai benda. Jaminan yang diberikan dengan menguasai bendanya misalnya pada gadai, sedangkan jaminan yang diberikan tanpa menguasai bendanya pada hipotek dan fidusia. 4. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia

a. Pengertian Jaminan Fidusia

Istilah jaminan berasal dari kata „„jamin”, yang berarti tanggung, tanggungan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan yaitu bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan (Budi Untung,2005:56). Tanggungan atas segala perikatan seseorang disebut jaminan secara umum, sedangkan tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang disebut jaminan khusus.

Jaminan khusus biasa disebut dengan jaminan kebendaan. Salah satu bentuk dari jaminan kebendaan adalah jaminan fidusia. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia bersedia mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah hutang pemberi fidusia terlunasi. Pihak penerima fidusia juga mempunyai kepercayaan bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasan pemberi fidusia.

Pengertian jaminan fidusia menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah:

”Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Praktek fidusia sendiri dapat berkembang dalam masyarakat yang pertumbuhan ekonominya relatif baik, karena bila dibandingkan dengan gadai maka fidusia menguntungkan pihak debitur oleh karena disamping

(15)

ia memperoleh pinjaman ia juga tetap menguasai barangnya sehingga kelangsungan usahanya tidak terganggu.

b. Obyek Jaminan Fidusia

Pada umumnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda yang dapat menunjang kelancaran jalannya suatu usaha. Barang-barang tersebut seperti benda inventaris, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Barang dalam jaminan fidusia diserahkan secara constitum posseeorium, artinya barang diserahkan sebagai jaminan kredit tetap berada dalam kuasa pihak debitur karena yang diserahkan adalah hak miliknya saja (Budi Untung,2005:96).

Oleh karena itu guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang maka menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda bergerak yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa benda-benda yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut:

1) benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum; 2) benda berwujud;

3) benda tidak berwujud termasuk piutang; 4) benda bergerak;

5) benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan; 6) benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotek; 7) baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan

diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian tidak diperlukan suatu akte pembebanan fidusia tersendiri;

8) dapat atas satu satuan atau jenis benda;

9) dapat atas lebih dari satu jenis atau satuan benda; 10) hasil dari benda yang telah menjadi obyek fidusia;

(16)

11) hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; 12) benda persediaan/stock perdagangan.

c. Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Untuk memenuhi suatu prestasi yang dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, dan yang kesemuanya tersebut dapat dinilai dengan uang. Oleh karena jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan memiliki hak yang didahulukan serta memiliki juga kesempatan parate eksekusi, maka pembebanan benda atau barang dengan jaminan fidusia wajib dan harus dibuat dalam suatu akta notaris. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat:

1) identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; 2) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

3) uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; 4) nilai penjaminan;

5) nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia . d. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Pendaftaran fidusia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Menerangkan mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara elektronik. Mencakup permohonan pendaftaran jaminan fidusia, permohonan perbaikan sertifikat jaminan fidusia, permohonan perubahan sertifikat jaminan fidusia dan pemberitahuan penghapusan sertifikat jaminan fidusia.

(17)

Permohonan pendaftaran jaminan fidusia tersebut wajib menyertakan identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia. Kemudian terdapat tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Jangka waktu permohonan pendaftaran jaminan fidusia menurut pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia:

‟‟Permohonan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembuatan akta Jaminan Fidusia”.

Setelah melakukan permohonan, pemohon memperoleh bukti pendaftaran. Bukti pendaftaran tersebut mencakup nomor pendaftaran, tanggal pengisian aplikasi, nama pemohon, nama kantor pendaftaran fidusia, jenis permohonan dan biaya pendaftaran jaminan fidusia. Untuk pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia bisa dilakukan melalui bank. Pendaftaran jaminan fidusia ini dicatat secara elektronik setelah pemohon melakukan pembayaran biaya pendaftaran. Setelah itu, jaminan fidusia sudah bisa diterbitkan. Sertifikat jaminan fidusia tersebut ditandatangani secara elektronik oleh pejabat kantor pendaftaran fidusia dan dapat dicetak pada tanggal yang sama sertifikat tersebut tercatat. Jaminan fidusia dihapus karena hapusnya utang yang dijamin fidusia, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia dan musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

(http://www.hukumonline.com di akses tangal 20 desember 2015) Tujuan pendaftaran jaminan fidusia adalah:

1) Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan;

(18)

2) Memberikan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia terhadap kreditur yang lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk tetap menguasai bendanya yang menjadi obyek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.

e. Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cedera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun mereka telah memberikan somasi. Eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dijalankan dengan cara :

1) Pelaksanaan titel eksekutorial, karena dalam akta sertifikat jaminan fidusia tercantumkan kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

2) Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum;

3) Penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia, dan diumumkan dalam dua surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan.

f. Hapusnya Jaminan Fidusia

Hapusnya jaminan fidusia yang tercantum dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia , yaitu:

1) Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia;

2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia;atau 3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Dalam hal jaminan fidusia hapus, maka penerima fidusia, kuasa atau wakilnya, wajib memberitahukan kepada menteri dalam jangka waktu

(19)

paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal hapusnya jaminan fidusia.

Menurut Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, pemberitahuan penghapusan jaminan fidusia paling sedikit memuat :

1) keterangan atau alasan hapusnya jaminan fidusia; 2) nomor dan tanggal sertifikat jaminan fidusia; 3) nama dan tempat kedudukan notaris; dan 4) tanggal hapusnya jaminan fidusia.

5. Tinjauan Efektifitas Hukum

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto (2008:8) adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh lima faktor, yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

(20)

b. Faktor penegak hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Bagian-bagian itu adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.

Aparatur penegak hukum menyangkut pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.

Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Tetapi dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.

(21)

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.

d. Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwa penegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.

Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Oleh karena itu, dipandang dari sisi tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

e. Faktor kebudayaan

Kebudayaan/sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut. Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

(22)

kebudayaan. Kebudayaan, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

(23)

2.Kerangka Pemikiran

Bagan 1. 2. Kerangka Berpikir Nasabah / Debitur PD BPR BKK WONOGIRI Cabang Jatipurno Perjanjian Kredit Pemberian Jaminan

Jaminan Perorangan Jaminan Kebendaan

Prosedur pemberian kredit dengan jaminan fidusia

Fidusia Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pelaksanannya Sesuai dengan Undang-Undang Ada permasalahan yang terjadi pada

pelaksanaan nya

(24)

Keterangan Kerangka Berpikir

Keberadaan BPR di Indonesia terasa semakin penting sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan akan jasa perbankan bagi masyarakat pedesaan. Dalam kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan bahwa terbentuknya perjanjian pinjam meminjam harus diawali dengan adanya kesepakatan para pihak. Para pihak dalam hal ini adalah Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (PD BPR BKK) Wonogiri Cabang Jatipurno selaku kreditur dan nasabah selaku debitur.

Jaminan yang sering digunakan dalam perjanjian kredit antara lain adalah jaminan kebendaan berupa jaminan fidusia. Dalam jaminan fidusia terdapat pengalihan hak kepemilikan atas barang dari debitur ke kreditur. Pengaalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dalam pelaksanaan pemberian jaminan fidusia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan pelaksanaan pemberian jaminan fidusia yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka akan memberikan hak dan kewajiban yang seimbang antara pihak bank (kreditur) dengan nasabah (debitur). Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka penulis ingin mengetahui pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia di Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (PD BPR BKK) Wonogiri Cabang Jatipurno terkait dengan prosedur timbulnya perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, serta permasalahan-permasalahan yang timbul akibat wanprestasi dan risiko dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.

Referensi

Dokumen terkait

tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap pelaporan. Hasil penelitian: 1) Jenis kesulitan belajar pada mata

Rekapitulasi Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bangka Tengah Tahun 2014-20171. Sumber: Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Bangka Tengah,

Menyimak permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang tuntas ke dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “Kebebasan Pers Dalam Meliput

Jarak antara sensor tersebut dihitung dengan cara mengalikan setengah waktu yang digunakan oleh sinyal ultrasonik dalam perjalanannya dari rangkaian pengirim (Tx)

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah dengan langkah-langkah sebagai berikut: Heuristik (pengumpulan data), Verifikasi (mengkritisi

Allen & Meyer (1990) juga menyatakan bahawa beberapa variabel berkorelasi terhadap komitmen ahli organisasi antaranya ialah keadilan dan kesukaran matlamat. Oleh

bahasa Indonesia tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan peserta didik dan kesiapan pengajar (guru). Sehingga kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan

Dalam hal ini yang menjadi kajian peneliti adalah yang berkaitan dengan objek jaminan fidusia yang disita oleh Negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur