• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA LAKSANA PEMBERIAN PAKAN DAN TINGKAT KEMATIAN ANAK PRA-SAPIH PADA DOMBA DI DESA PASIRIPIS, KAB. MAJALENGKA DAN DESA TEGALSARI KAB.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TATA LAKSANA PEMBERIAN PAKAN DAN TINGKAT KEMATIAN ANAK PRA-SAPIH PADA DOMBA DI DESA PASIRIPIS, KAB. MAJALENGKA DAN DESA TEGALSARI KAB."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

_____________________________________________________________________________________________

TATA LAKSANA PEMBERIAN PAKAN DAN TINGKAT KEMATIAN

ANAK PRA-SAPIH PADA DOMBA DI DESA PASIRIPIS, KAB.

MAJALENGKA DAN DESA TEGALSARI KAB. PURWAKARTA

DWI YULISTIANI, MUCHJI MARTAWIJAYA, ISBANDI, BAMBANG SETIADI danSUBANDRIYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 22,. Bogor 16002

ABSTRACT

Feeding management of sheep and mortality rate of preweaning sheep in Pasiripis Village, Majalengka District and Tegalsari village, Purwakarta District

A study was conducted in Tegalsari village, Tegalwaru Sub District of Purwakarta District dan Pasiripis Village, Kertajati Sub District of Majalengka District, West Java. The purpose of the study was to obtain the initial information (ex-ante) on the feeding management and mortality rate of preweaning sheep as a series activity of the research on participatory of sustainable parasite control. Study was conducted through a survey using structured questionaire method, respondents interviewed were 38 from Desa Pasiripis and 27 from Desa Tegalsari. Information explored was farmers characteristicts, sheep ownership, sheep management, farmers income from farming system. In this paper were reported on the feeding management and mortality rate of preweaning sheep in both villages. Results of the study showed that sheep rearing management in both villages was mixed of grazing and confining system. Feed offered to their sheep was mixture between native grass, agricultural by-products and legume trees; however there was 29%and 33% respectively, for farmers in Pasiripis and Tegalsari that only offered native grass to their sheep. The type of agricultural by-products is influenced by land used in each village which affected the availability of agricultural by-products. The type of legume trees feed offered to sheep was influenced by farmers knowledge that was possible to use as sheep feed. Farmers in Pasiripis gave more varieties of legume trees forage as feed than in Tegalsari. Mortality rate of preweaning sheep in Tegalsari was 40.24% and Pasiripis was 32.09%, where the highest contribution of this mortality was from triplet lambs. Due to the high mortality rate of preweaning sheep, sheep management needs to be improved.

Key words: Feeding management, lamb, mortality, parasite

PENDAHULUAN

Populasi domba dan kambing saat ini berturut turut adalah 13,045 juta ekor dan 7,661 juta ekor, hampir seluruhnya dipelihara oleh peternak di pedesaan dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional dimana pada umumnya dikandangkan atau digembala (STATISTIK PETERNAKAN, 2002). Domba ataupun

kambing memiliki nilai ekonomis dalam upaya

peningkatan kesehatan manusia serta merupakan ternak yang paling mudah dipergunakan untuk upaya pengentasan kemiskinan di pedesaan, terutama di daerah tropis (SENGAR, 1980). Usaha ternak domba di pedesaan masih merupakan usaha yang bersifat sampingan dengan skala kepemilikan 1-15 ekor, dan merupakan usaha komplementer dari usaha pertanian tanaman pangan (POND et. al., 1994) sehingga peternak cenderung tidak memanfaatkan teknologi yang semestinya dapat diadopsi untuk meningkatkan produktivitas ternak domba. Usaha peningkatan produktivitas ternak domba dimulai dengan memanfaatkan bibit yang memadai, tatalaksana perkembangbiakan, tatalaksana pemberian pakan dan kontrol kesehatan serta aspek pemasaran.

Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Ketersediaan pakan ternak terutama hijauan sepanjang tahun sangat menentukan keberhasilan pengembangan ternak ruminansia, yang pakannya sangat tergantung pada hijauan sebagai pakan utama. Pada sistem pemeliharaan integrasi antara ternak ruminansia kecil dengan tanaman perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit, karet, kelapa, dan tebu, domba digembalakan dibawah pohon, ataupun rumput di perkebunan merupakan sumber hijauan yang bisa diarit (POND et. al., 1994). Namun produksi hijauan ini sangat berfluktuasi setiap tahun, dimana pada musim hujan produksi berlimpah, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekurangan. Untuk mengatasi masalah kekurangan pakan, salah satu alternatifnya adalah diversifikasi hijauan dengan memanfaatkan limbah pertanian.

Pola pemberian pakan sangat berpengaruh terhadap keragaan produktivitas terrnak, pemberian pakan yang dikombinasikan dengan berbagai jenis hijuan akan mempunyai pengaruh yang lebih baik, dibanding pakan yang hanya satu macam, hal ini disebabkan pleh berbagai jenis hijauan mempunyai nilai gizi yang beragam sehingga dengan mengkombinasikan berbagai

(2)

_____________________________________________________________________________________________ hijauan ini akan saling melengkapi kekurangan gizi

pada hijauan yang lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tatalaksana pemberian pakan domba di Desa Tegalsari, Kabupaten Purwakarta dan Desa Pasiripis, Kabupaten Majalengka dalam kaitannya dengan mortalitas anak prasapih.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik petani pada awal penelitian (ex-ante analysis) dan untuk mengetahui informasi yang berhubungan dengan tatalakasana pemberian pakan di Desa Pasiripis, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka dan Desa Tegalsari, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta, yang merupakan lokasi terpilih untuk rencana kegiatan penelitian partisipatif pengendalian penyakit parasit pada saluran pencernaan pada domba. Hasil ex-ante analysis digunakan sebagai parameter untuk mengukur dampak dari penelitian partisipatif dalam jangka waktu 2 atau 3 tahun ke depan (ex-post analysis). Kegiatan ini dilakukan setelah lokasi penelitian ditentukan melalui pendekatan RRA (Rapid Rural Appraisal).

Penelitian dilakukan melalui survai menggunakan kuestioner berstruktur, meliputi karakteristik peternak, sumber daya ternak dan sumber pendapatan yang berasal dari kegiatan usaha. Responden yang diambil sebanyak 38 responden di Desa Pasiripis dan 27 responden di Desa Tegalsari. Responden diambil secara acak sederhana berpedoman pada tingkat kepemilikan ternak dan sistem pemeliharaannya. Data yang terkumpul diolah secara deskriptif dan nilai rataan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Manajemen pemeliharaan

Manajemen pemeliharaan domba di Desa Pasiripis dan Tegalsari ada tiga macam yaitu digembalakan tanpa diaritkan; digembalakan dan diaritkan dengan pakan diaritkan; dan dikandangkan. Dalam musim kemarau pemeliharaan domba sebagian besar dilakukan dengan cara digembalakan, dimana di Desa Tegalsari 68% peternak menggembala dombanya di sawah yang bera ataupun di perkebunan karet sedangkan di desa Pasiripis hampir semua (94%) peternak menggembala domba di sawah yang diberakan. Hanya sebagian kecil domba dikandangkan dan pakan diaritkan (cut and carry system) serta cara kombinasi (digembalakan dan diaritkan). Dalam musim penghujan di Tegalsari pemeliharaan domba dilakukan merata dengan ketiga cara pemeliharaan tersebut, sedangkan di Pasiripis sebagian besar (95%) digembalakan, namun demikian domba induk yang baru beranak tidak dibawa ketempat

penggembalaan sampai dengan 7-10 hari setelah beranak, sehingga untuk domba induk ini peternak tetap mengaritkan rumput ataupun hijauan yang lain.

Tempat penggembalaan ternak di Desa Tegalsari pada musim penghujan di areal perkebunan karet karena lahan persawahan ditanami padi, sedangkan pada musim kemarau domba digembalakan sebagian di perkebunan sebagian di sawah tadah hujan setelah padi dipanen. Sedangkan di Desa Pasiripis pada musim penghujan domba digembalakan di areal perkebunan tebu, tanggul sungai, sedangkan pada musim kemarau hampir sebagian besar (80%) ternak digembalakan di areal sawah sehabis dipanen. Kecukupan hijauan yang bisa dikonsumsi oleh domba menjadi masalah pada saat musim penghujan hal ini disebabkan oleh semua sawah tadah hujan ditanami padi, sehingga satu-satunya ladang pangonan hanya di perkebunan tebu yang jaraknya cukup jauh dan memakan waktu tempuh yang lama sebagai akibatnya domba tidak cukup lama diangon. Untuk Desa Tegalsari, lahan perkebunan karet yang jaraknya tidak jauh dari pemukiman merupakan sumber hijauan yang tersedia cukup melimpah, sehingga masih mampu menyediakan hijauan untuk kebutuhan pakan ternak dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang ada sekarang.

Dengan sistim pemeliharaan digembalakan tanpa diaritkan, ternak hanya mendapatkan dari jenis hijauan yang tumbuh di padang gembalaan. Sehingga kualitas pakan sangat tergantung pada jenis hijauan yang tumbuh pada padang gembalaan tersebut. Namun demikian sebagian peternak juga memberikan/ mengaritkan hijauan untuk diberikan di kandang maupun di pangonan, dengan berbagai macam variasi bahan pakan, seperti tercantum pada Tabel 1.

Manajemen pakan

Dari Tabel 1 terlihat masih ada 29% dan 33% masing-masing peternak di Pasiripis dan Tegalsari yang hanya memberikan rumput alam saja pada dombanya, yaitu pada saat diangon. Sedangkan peternak yang lain sudah berusaha memberikan hijauan tambahan berupa limbah pertanian ataupun hijauan leguminosa pohon. Dilihat dari variasi komposisi pakan yang diberikan untuk pakan domba, terlihat bahwa peternak di Desa Pasiripis sudah memberikan pakan yang lebih bervariasi pada domba dibanding peternak di Desa Tegalsari (Tabel 1), karena sudah mengkombinasikan antara limbah pertanian dan hijauan leguminosa pohon, sedangkan untuk peternak di Desa Tegalsari pemberian hijauan pakan hanya mengambil salah satu alternatif antara leguminosa pohon atau limbah pertanian. Di lain pihak, 34,1% peternak di Desa Pasiripis memberikan kan penguat atau konsentrat pada dombanya disamping limbah pertanian ataupun leguminosa pohon.

(3)

_____________________________________________________________________________________________ Tabel 1. Persentase peternak yang memberikan berbagai macam komposisi pakan hijauan dan konsentrat pada ternak domba

Pasiripis (N=38) Tegalsari (N=27) Jenis pakan

N % N %

Rump. alam 11 29 9 33

Rump. alam + leg. pohon 1 2 5 18,5

Rump. alam + limb. pertanian 3 7,9 7 26

Rump. alam + konsentrat 5 13,1 3 11

Rump. alam + leg. pohon + limb. pertanian 5 13,1 3 11

Rump. alam + leg. pohon + konsntrat 8 21 - -

Rump. alam + limb. Pertanian + konsentrat 2 5,2 - -

Rump. alam + leg. pohon + limb. Pertanian + konsentrat 3 7,9 - -

Beberapa jenis hijauan dan pakan tambahan yang diberikan disajikan dalam Tabel 2. Jenis hijauan yang diberikan tentunya merupakan tanaman yang dapat tumbuh di desa setempat dan peternak sudah mengetahui manfaatnya. Dari Tabel 2, terlihat bahwa variasi jenis hijauan yang sudah dikenal dan sudah diberikan sebagai pakan domba, di Desa Pasiripis sudah banyak jenisnya baik dari limbah pertanian maupun hijauan leguminosa pohon, dibandingkan dengan peternak di Desa Tegalsari.

Leguminosa pohon sudah banyak digunakan secara luas sebagai sumber protein pakan di daerah tropis (POND et. al., 1994). Beberapa karakteristik dari kelebihan hijauan leguminosa pohon yang sangat cocok untuk sistem pertanian di daerah tropis adalah leguminosa pohon umurnya lama sehingga menjamin ketersediaanya, memberikan sumber protein; mengurangi erosi, bisa dimanfaatkan untuk kayu ataupun kayu bakar; dan dapat dipakai sebagai pagar hidup. Namun peternak di Desa Tegalsari belum banyak memberikan jenis hijauan leguminosa pohon, meskipun tanaman tersebut tersedia di desa seperti glirisidia ataupun lamtoro. Hal ini mungkin disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan peternak tentang manfaat hijauan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan untuk memperkenalkan beberapa jenis hijauan dan manfaatnya sebagai hijauan pakan ternak.

Pola tanam dan kondisi lahan berpengaruh terhadap variasi jenis hijauan terutama limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Di Pasiripis majoritas (46%) penggunaan lahan adalah sawah tadah hujan, sedangkan persentase penggunaan lahan sawah setengah teknis sebesar 14%, kedua jenis lahan ini mempunyai pola tanam terdiri dari penanaman padi 2 kali panen kemudian ditanami palawija. Jenis palawija yang ditanam adalah kacang panjang, semangka, timun, jangung. Sebagian tanah tegalan ditanami singkong. Namun demikian hanya limbah dari tanaman jagung, kacang, daun singkong dan ubi jalar yang dipakai untuk pakan ternak. Desa Tegalsari mayoritas lahan (75%) berupa perbukitan. Penggunaan lahan adalah untuk lahan tegalan/lahan kering, dengan tanaman yang

dominan adalah tanaman tahunan seperti bambu, dan kayu, sebagai akibatnya ketersediaan sumber pakan baik dari hijauan leguminosa maupun limbah pertanian sangat terbatas. Namun dengan kondisi lahan yang didominasi oleh perbukitan, akan sangat cocok apabila ditanami leguminosa pohon disamping dapat dipakai untuk mencegah erosi dapat pula dipakai untuk persediaan sumber pakan ternak. Lahan dataran (25% dari seluruh luas desa) dimanfaatkan untuk sawah tadah hujan dengan pola tanam padi 2 kali panen, ada pula sebagian kecil petani yang mengusahakan penanaman kacang kedelai setelah panen padi yang kedua. Sedangkan singkong di tanam di lahan tegalan.

Tingkat kematian anak prasapih

Jenis pakan baik hijauan maupun pakan tambahan dengan kualitas dan kuantitas yang baik akan memperbaiki tingkat produktivitasnya karena pakan merupakan faktor lingkungan yang utama yang menentukan produktivitas ternak. Kebutuhan gizi untuk masing-masing ternak ruminansia kecil berbeda sesuai dengan umur, bobot badan, periode fisiologi dan tingkat produktivitasnya (ENSMINGER danPARKER, 1986). Pada fase pra-sapih keberhasilan anak domba untuk hidup, tumbuh dan berkembang akan sangat bergantung pada susu yang dihasilkan oleh induk. Keterbatasan penyediaan air susu induk terutama bagi anak kembar dua atau lebih merupakan penyebab utama tingginya kematian anak prasapih. Oleh karena itu pemberian pakan yang baik dan benar setelah melahirkan akan memberikan hasil yang memuaskan. Fase laktasi merupakan periode dimana domba membutuhkan nutrien yang lebih banyak (TREACHER, 1979).

Pada pemeliharaan domba di pedesaan dengan sistem pemeliharaan digembalakan seperti di Desa Pasiripis dan Tegalsari laju mortalitas anak pra-sapih selain dipengaruhi oleh produktvitas susu induk dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan lain diluar pakan seperti musim, dan penyakit. Disamping itu laju

(4)

_____________________________________________________________________________________________ Tabel 2. Persentase peternak dan jenis hijauan dan pakan tambahan yang diberikan untuk ternak domba di Desa Pasiripis dan

Tegalsari Desa Pasiripis Tegalsari Jenis pakan % N % N Rumput Rumput lapangan 100 38 100 27 Rumput gajah 5,2 2 - - Rumput setaria 2,6 1 - - Leguminosa pohon Daun glirisidia 10,5 4 11,1 3 Daun Lamtoro 2,6 1 3,7 1 Kaliandra 10,5 4 - - Daun sengon 23,7 9 3,7 1 Daun turi 2,6 1 - - Limbah pertanian Daun singkong 7,9 3 33,3 9 Daun jagung 7,9 3 7,4 2 Daun kacang 10,5 4 - - Daun ubi 5,2 2 - - Pakan penguat Dedak padi 15,8 6 7,4 2 Singkong - - 3,7 1 Bubur 2,6 1 3,7 1

mortalitas anak prasapih juga dipengaruhi oleh besar litter (jumlah anak sekelahiran), meningkatnya besar litter cenderung meningkatkan laju mortalitas (BELLet. al., 1983), sedangkan menurut KARAM (1959) kematian anak prasapih juga dipengaruhi umur induk yang berhubungan dengan paritas (urutan kelahiran anak), namun pengaruh umur induk ini tidak nyata. Menurut pengamatan peternak di Desa Pasiripis terhadap persentase mortalitas anak prasapih (0 – 3 bulan) menunjukkan mortalitas anak kembar 2 lebih besar dibanding anak tunggal namun mortalitas anak kembar dua menurun dengan meningkatnya paritas, terutama penurunan baru terjadi pada paritas ke 4 dan ke 5. Sedangkan untuk kembar 3 meskipun hanya ada 2 induk dengan anak kembar 3 yang terjadi pada paritas ke 5 ternyata 66,6% anaknya mati. Sedangkan pengamatan di Desa Tegalsari menunjukkan kematian anak tunggal ataupun anak kembar 2 menurun mulai dari paritas ke 3. Kelahiran anak kembar lebih dari 2 banyak terjadi di Desa Tegalsari bahkan sudah mulai dari paritas 1. Namun tingkat kematiannya tinggi yaitu 33% paritas pertama meningkat menjadi 83% pada paritas ke 2 kemudian menurun lagi mulai dari paritas ke 3. Kejadian induk beranak kembar 4 terjadi juga pada paritas 1 namun hanya 1 ekor dari 4 ekor yang

dilahirkan yang bisa bertahan hidup sampai sapih. Kematian yang tinggi pada anak kembar 3 atau lebih ini kemungkinan karena peternak kurang mampu dalam menangani anak kembar lebih dari 2. Hal ini terlihat dari jawaban peternak yang menyatakan bahwa 44,7% dari peternak di Desa Pasiripis membiarkan anak domba kembar 3 menyusu pada induknya, sedangkan di Desa Tegalsari 56,5% dari peternak membiarkan anak kembar lebih dari 2 menyusu ke induknya. Dengan cara yang dilakukan peternak tersebut dalam menangani anak kembar lebih dari dua, maka untuk mendapatkan susu dari induknya anak-anak tersebut harus bersaing satu sama lain, apabila ada anak yang lemah tidak akan mendapatkan kesempatan untuk menyusu.

Apabila dilihat dari tatalaksana pemberian pakan terutama untuk peternak di Desa Tegalsari, dalam memberi pakan dombanya belum diberikan dengan berbagai campuran, sehingga untuk memenuhi gizinya kurang mencukupi, sebagai akibatnya pakan induk laktasi tidak mencukupi untuk produksi susu yang mencukupi untuk kebutuhan anaknya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan tingginya kematian anak kembar 3 atau lebih. Selain kemungkinan kekurangan pakan pada induk, dengan sistim pemeliharaan digembalakan, kematian anak prasapih sebagian besar

(5)

_____________________________________________________________________________________________ Tabel 3. Rataan jumlah anak perkelahiran pada domba dan persentase mortalitas berdasarkan paritas pada domba yang

dipelihara oleh peternak di Desa Pasiripis dan Tegalsari

Kelahiran anak ke Peubah I II III IV V rataan Pasiripis: Jumlah induk 144 118 80 48 40 Induk beranak Tunggal 118 104 68 41 34 Kembar-2 26 14 12 7 4 Kembar-3 2

Mortalitas anak prasapih (%)

Tunggal 1,7 6,7 5,9 17 8,8 8,02 Kembar-2 19 21 25 - - 21,66 Kembar-3 66,6 66,6 Rataan 32,09 Tegalsari: Jumlah induk 48 38 23 13 5 Besar liter Tunggal 37 23 16 7 3 Kembar-2 11 13 4 5 2 Kembar-3 4 2 3 1 Kembar-4 1 Mortalitas anak (%) Tunggal 21 8,7 6,2 0 0 11,96 Kembar-2 9 38,4 12,5 0 0 19,96 Kembar-3 33 83 66,6 33,3 54,05 Kembar-4 75 75 Rataan 40,24

(70%) terjadi pada musim penghujan. Kematian anak prasapih yang terjadi pada musim penghujan disebabkan oleh induk dan anak kekurangan pakan hal ini sebagai akibat dari lebih pendeknya waktu mengangon, dimana untuk Desa Pasiripis pada musim penghujan satu-satunya tempat mengangon di kebun tebu yang berjarak 8 km dan memakan waktu perjalanan sekitar 2 jam. Disamping jarak yang jauh juga waktu mengangon menunggu agak siang setelah ada matahari dan pulangnya juga lebih siang, hal ini menyebabkan ternak kurang cukup mendapatkan pakan di tempat penggembalaan..

Di samping itu pada musim penghujan kemungkinan besar ternak domba akan terinfeksi parasit cacing dari tempat penggembalaan kemudian dibawa ke dalam kandang melalui feses yang dikeluarkan ternak, sehingga dengan pemeliharaan tanpa adanya pengendalian penyakit, menyebabkan anak yang masih lemah kondisinya terinfeksi penyakit akan memperlemah kondisi anak domba prasapih yang pada akhirnya dapat mempertinggi tingkat kematian anak. BERIAJAYA dan COPEMAN (1996) melaporkan bahwa kejadian infeksi parasit cacing saluran pencernaan lebih tinggi pada musim penghujan dibanding musim kemarau. Oleh karena itu untuk

menekan angka kematian anak prasapih induk perlu diberikan pakan tambahan di kandang baik berupa hijuan maupun konsentrat, disamping itu perlu dilakukan juga kontrol penyakit terutama penyakit parasit saluran pencernaan. Pada penelitian domba

prolifik di pedesaan yang dilaporkan oleh

PUSLITBANGNAK (1994) dengan perbaikan tatalaksana kontrol terhadap penyakit, rataan angka kematian anak prasapih dapat diturunkan menjadi 20%, dimana sebagian besar kematian terjadi pada anak kembar 3.

Pada penelitian terhadap domba komposit di stasiun percobaan Cilebut yang dilaporkan oleh YULISTIANI et al. (2000) didapatkan kematian anak pra-sapih kembar dua 18,2%, sedangkan anak kembar tiga mortalitasnya

35,5%. Sedangkan LUBIS et al. (1995) melaporkan

angka mortalitas anak kembar 2 atau lebih pada domba prolifik lokal sebesar 60%. Pada pemeliharaan domba pembibitan yang dilakukan oleh peternak di Desa Pasiripis dan Tegalsari, yang ditandai dengan lebih banyaknya populasi induk, maka sumber utama pendapatan adalah dari penju alan anak, maka untuk meningkatkan produktivitas induk dan meningkatkan pendapatan peternak adalah dengan menekan tingkat kematian anak. Namun apabila dilihat dari tingginya angka kematian anak prasapih yang terjadi pada anak

(6)

_____________________________________________________________________________________________ kembar lebih dari 2 maka untuk mengurangi mortalitas

anak, peternak bisa memilih antara meningkatkan manajemen pemberian pakan atau peternak hanya memelihara induk yang mempunyai anak tunggal atau kembar dua saja.

KESIMPULAN

Sistim pemeliharaan domba di Desa Pasiripis dan Tegalsari adalah dengan dikandangkan pada malam hari dan digembalakan pada waktu siang hari. Selain rumput alam yang didapat ternak dari tempat penggembalaan, peternak di Desa Pasiripis sudah lebih banyak memberikan berbagai jenis limbah pertanian dan hijuan leguminosa pohon, dibanding peternak di Desa Tegalsari. Kematian anak prasapih sebagian besar terjadi pada anak kembar 3, namun kematian anak kembar 2 masih cukup tinggi, dan sebagian besar terjadi pada musim penghujan. Untuk mengurangi angka kematian anak maka manajemen pakan perlu ditingkatkan dengan pemberian pakan baik kuantitas maupun kualitas yang disesuaikan dengan status phisiologisnya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dengan International Livestock Research Insttitute, melalui proyek penelitian ILRI-IFAD TAG 443.

DAFTAR PUSTAKA.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2002. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

BELL, M . I. INOUNU, B. TIESNAMURTI andSUBANDRIYO. 1983. Variability in reproductive performance of sheep among twenty two farms in Tenjonegara and Sindangratu villages, District of Garut, West Java. Working Paper No. 18. SR-CRSP/Balai Penelitian Ternak, Bogor.

BERIAJAYA andD.B. COPEMAN. 1996. Seasonal differences in the effect of nematode parasitism on weight gain of sheep and goats in Cigudeg, West Java. J.I.T.V. 2 : 66 – 72.

DWI YULISTIANI, SUBANDRIYO, BAMBANG SETIADI dan M. RANGKUTI. 2000. Produktivitas fase laktasi induk domba komposit hasil persilangan antara domba lokal Sumatera dengan domba rambut. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Oktober 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

ENSMINGER, M.E. and R.O. PARKER. 1986. Sheep and Goat Science. The Interstate Printers and Publisher, Inc. U.S.A.

KARAM, H.A. 1959. Some factors affecting lamb mortality in Rahmani sheep. Empire J. Exp. Agric. 27 (106) : 133 – 137.

LUBIS, D.M., M. MARTAWIDJAJA, I.W. MATHIUS, B. HARYANTO dan A . WILSON. 1995. Studi tatalaksana pemberian pakan dan kebutuhan pakan induk domba pada fase laktasi. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian APBN. T.A. 1994/1995. Ternak Ruminansia Kecil. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Hal : 168 – 177. POND, K.R., M.D. SANCHEZ, P.M. HORNE, R.C. MERKEL, L.P.

BATUBARA, T. IBRAHIM, S.P. GINTING, J.C. BURNS and D.S. FISHER. 1994. In Subandriyo and R.M. Gatenby (eds). Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and The Pasific. Proceeding of a Synposium held in Conjunction with 7th Asian-Australasian Association of Animal Production Socities Congres. July 11-16, 1994. Denpasar, Bali. Indonesia. SR-CRSP, University of California Davies. U.S.A. pp 77-97.

PUSLITBANGNAK. 1994. Penelitian Pengembangan Pemuliaan Domba Prolifik di Pedesaan. Laporan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. SENGAR, O.P.S. 1980. Indian research on protein and energy

requirements of goats. J. Dairy Sci. 63 : 1655 –1670. TREACHER, T.T. 1979. The Nutrition of the lactating ewe. In

The British Council (Ed). Management and Diseases of Sheep. The British Council.

DISKUSI

Pertanyaan:

Angka kematian tinggi; berapa induk yang punya 3 anak ke atas? Apakah kegiatan ini dilakukan pada musim kemarau atau hujan? Penyebab kematian?

Jawaban:

Dari 48 induk yang diamati ada 6 ekor beranak, kematian pada induk ini terjadi pada kedua musim. Penyebab tingginya tingkat kematian karena gangguan pencernaan, yaitu kembung dan mencret.

Gambar

Tabel 1. Persentase peternak yang memberikan berbagai macam komposisi pakan hijauan dan konsentrat pada ternak domba  Pasiripis (N=38)  Tegalsari (N=27)  Jenis pakan
Tabel 2. Persentase peternak dan jenis hijauan dan pakan tambahan yang diberikan untuk ternak domba di Desa Pasiripis dan  Tegalsari  Desa  Pasiripis  Tegalsari Jenis pakan  %  N  %  N  Rumput       Rumput lapangan  100  38  100  27       Rumput gajah  5,2
Tabel 3. Rataan jumlah anak perkelahiran pada domba dan persentase mortalitas berdasarkan paritas pada domba yang  dipelihara oleh peternak di Desa Pasiripis dan Tegalsari

Referensi

Dokumen terkait

Pada kelompok kontrol tidak dilakukan intervensi dengan pemberian yoghurt kedelai hitam dan hanya diberikan konseling seperti pada kelompok perlakuan sehingga

Berdasarkan hasil wawancara dengan home industry Bapak Ali Toha yaitu Limbah kaca didapat dari pabrik yang berada di daerah Jakarta dan Bandung dengan prosedur

Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah daun diatas tongkol, umur keluar bunga jantan, umur keluar bunga betina, umur panen, laju pengisian biji,

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan metode Admiralty data pasang surut lapangan menunjukan bahwa nilai K1 yang merupakan pasang surut diurnal yang

Prosedur penerimaan kas merupakan dana yang diterima perusahaan dari sewa kendaraan yang jasanya digunakan oleh Koperasi Karyawan Utama PT PLN (Persero) WS2JB

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi)

Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rimpang Temu mangga Stok larutan ekstrak rimpang temu mangga 500 ppm - Dibuat pengenceran larutan ekstrak rimpang temu mangga dengan

Berdasarkan hasil penelitian uji mortalitas Sitophilus Zeamais Motsch yang terdiri dari mortalias menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak rumput