• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL (KAJIAN DAERAH SURABAYA SEMARANG YOGYAKARTA) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL (KAJIAN DAERAH SURABAYA SEMARANG YOGYAKARTA) ABSTRAK"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL

(KAJIAN DAERAH SURABAYA SEMARANG YOGYAKARTA)

Vience Ratna Multi Wijaya

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

[email protected]

ABSTRAK

Eksploitasi seksual merupakan tindakan kekerasan seksual merupakan kejahatan serius, yang dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak, kehidupan pribadi anak bahkan kesejahteraan anak maupun masyarakat. Perbuatan tersebut telah dikecam oleh seluruh wilayah yang ada di dunia. Korban dari eksploitasi seksual terhadap anak umumnya anak perempuan dan untuk itu perlu adanya perlindungan khusus yang merupakan pemerintah, negara pemda, keluarga, orang tua masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan dan negara. Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai pemberian perlindungan hukum kepada anak korban eksploitasi seksual, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan teori perlindungan hukum dan keadilan restorasi yaitu untuk melindungi hak-hak korban eksploitasi seksual dan serta memperbaiki atau merestorasi kerugian atau luka-luka yang diderita yang disebabkan oleh kejahatan. dan pemulihan korban dengan pemberian restitusi, rehabilitasi, mengembalikan fungsi sosial korban. Hasil dari pada penelitian pemberian perlindungan hukum kepada anak korban eksploitasi seksual telah dilaksanakan dalam Peraturan Daerah masing-masing daerah kajian, namun belum ada pengaturan memberikan kepuasan serta jaminan eksploitasi seksual anak akan berkurang Rekomendasi dari penelitian ini adalah, hak-hak anak yang menjadi korban eksploitasi seksual, diberikan secara tuntas, sehingga, anak-anak di daerah tersebut mendapatkan hak perlindungan, sebagaimana harkat dan martabat anak sebagai ciptaan Tuhan.

Kata kunci: Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual

(2)

I. PENDAHULUAN

Dalam pertimbangan UU No. 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 tahun 2002 bahwa menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia 19451. Hal ini karena anak

merupakan generasi penerus sangat memiliki peranan penting nasional dan wajib mendapatkan perlindungan dari negara sehingga akan diperoleh anak atau generasi penerus yang berkualitas. Berkembangnya dengan cepat globalisasi memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Dengan berkembangnya kemajuan tehnologi terlebih dalam hal informasi dan komunikasi hal ini memunculkan fenomena baru dengan meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak berupa eksploitasi seksual. Meningkatnya kekerasan seksual dalam hal eksploitasi seksual merupakan kejahatan serius (serious crime), yang dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak, kehidupan pribadi anak bahkan kesejahteraan anak maupun masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya upaya perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif. Hal ini sesuai dalam Penjelasan atas UU No. 23 tahun 2002 bahwa “dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan”2 .

Tingginya tingkat eksploitasi anak janganlah dianggap sebagai hal yang biasa saja, tetapi kasus-kasus eksploitasi anak secara seksual merupakan pelanggaran terhadap hak anak dalam bentuk kekerasan seksual dan merupakan tindakan kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas dan psikososial anak. Adapun alasan tingginya tingkat eksploitasi seksual terhadap anak umumnya berkaitan dengan aspek ekonomi atau kemiskinan. Berdasarkan M. Farid , “memperkirakan 30 % penghuni rumah bordir di Indonesia adalah perempuan berusia dibawah 18 tahun atau setara dengan 200 – 300 ribu anak-anak. bahkan di daerah Malaysia dilaporkan dari 6.750

1. Undang-Undang Republik Indodesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, 2017, Bandung , Citra Umbara, hal. 107.

(3)

pekerja seks komersial sejumlah 62,7% berasal dari Indonesia yang berusia sekitar 14 – 17 tahun”3.

ECPAT sebagai lembaga penggerak eksploitasi seksual komersial anak bekerja sama dengan kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa ada 10 tempat wisata yang sangat banyak kasus-kasus eksploitasi seksual terhadap anak seperti Sumatra Utara (Toba Samosir), Sumatera Barat (bukit Tinggi), Lombok (Nusa Tenggara Barat), Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta dan lainnya. Dalam situs resminya, ECPAT memperkirakan 100.000 anak dan perempuan di Indonesia diperdagangkan untuk tujuan seksual setiap tahunnya dan 30% dari perempuan itu bekerja sebagai pelacuran berusia di bawah 18 tahun dengan perkiraan 40.000-700.000 setiap tahun sebagai korban eksploitasi seksual komersial.4

Deklarasi dan Seruan Aksi Rio De Janeiro tahun 2008 untuk Pencegahan dan Penghentian Eksploitasi Seksual Anak dan Remaja (ESKA) mencerminkan aksi masyarakat luas secara global menentang eksploitasi Seksual komersial Anak. Bahkan Kongres Dunia 1996 di Swedia menghasilkan suatu komitmen bersama untuk mengajak pemerintah dan non pemerintah bekerja sama dalam melindungi anak-anak agar hidup bebas dari eksploitasi seksual. Sedangkan bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak menurut ECPAT Internasional sebagai organisasi internasional yang bergerak dalam hal untuk menghapus perdagangan anak dengan tujuan seksual, membagi bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial dalam bentuk pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak, pariwisata seks anak dan perkawinan anak5.

Guna mencegah meningkatnya eksploitasi seksual anak maka melihat sejarah perlindungan anak “pada tahun 1979, saat dicanangkan Tahun Internasional anak, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Tahun 1989 rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan 3. Jurnal ditjenpp.kemenkumham. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasi seksual-komersial-mengintai-anak-kita.html, diunduh Jakarta 19 September 2019, Jam 9.00 wib

4 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42534355. 'Kasus kejahatan seksual anak' ditemukan di 10 lokasi wisata di Indonesia, diunduh Jakarta, 10 Agustus 2019

5. https://www.ecpat.org/wp-content/uploads/2016/04/faq_bahasa_2008.pdf diunduh Jakarta 10 Agustus 2019

(4)

dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB (tanggal 20 November). Rancangan ini dikenal sebagai Konvensi Hak Anak (HKA)6”. Tanggal 2 September 1990, Konvensi Hak Anak

(KHA) mulai diberlakukan sebagai hukum internasional sesuai ketentuan Pasal 49 ayat 1 “ Konvensi ini akan diberlakukan pada hari ke tiga puluh sesudah tanggal penyimpanan instrumen-instrumen oleh Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dari instrumen ke dua puluh dari ratifikasi dan pengikatan”. Pada Pasal 47 KHA memuat ”konvensi ini perlu diratifikasi oleh negara-negara peserta Instrumen-instrumen ratifikasi akan disimpan oleh Sekretaris Jenderal PBB”. Oleh karenanya dengan “Keppres No. 36 /1990, tanggal 25 Agustus 1990 yang merupakan ratifikasi dari Konvensi PBB tentang Hak - Hak Anak (Convention On The Rights Of Children)7”. Tetapi berlakunya di Indonesia mulai 5 Oktober 1990. Ditinjau dari

sisi kewajiban melaksanakan KHA yaitu negara dan yang bertanggungjawab untuk memenuhi hak anak maka ada tiga kata kunci untuk memahami isi KHA Penuhi, Lindungi dan Hargai8”. Makna dari hal tersebut pemerintah maupun non pemerintah

harus memberikan aturan-aturan yang memberikan perlindungan, penghargaan terhadap anak dan harus dapat dirasakan oleh semua anak-anak Indonesia agar terhindar dari tindakan kekerasan dan pengabaian.

Perlindungan Hukum terhadap anak merupakan upaya perlindungan terhadap kebebasan hak asasi anak (Fundamental Rights and Freedom of Children) yang merupakan penjabaran dari UUD 1945 dan Amandemen pada Pasal 28 B ayat (2) mengatur “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminatif”. Adapun yang dimaksud dengan kekerasan berdasarkan Pasal 1 angka 15 a. UU No. 35 tahun 2014 merupakan “setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum”. Pengaturan ini lebih lanjut dijabarkan dalam UU No. 35

6 Unicef, Pengertian Konvesi Hak Anak, 2003, Jakarta, Harapan Prima, hal.13.

7.Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, 2012, RajaGrafindo Persada, hal. 13 8. Unicef.,Loc.Cit. hal. 19

(5)

tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 dan UU No. 17 taun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Masalah perlindungan terhadap anak diperdagangkan secara seksual maupun ekonomi sebenarnya sudah ada pengaturannya dalam KUHP Pasal 297 yaitu “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Namun anak sebagai tunas, potensi untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa maka anak diharapkan kelak mampu memikul tanggung jawab perlu ada jaminan pemenuhan hak-haknya ke dalam peraturan perundang-undangan dan menjamin pelaksanaan perlindungan tersebut maka perlu adanya perlindungan khusus terhadap anak korban eksploitasi seksual dalam peraturan perundangan khusus yang mengatur masalah perlindungan anak. Pasal 15 UU No. 35 tahun 2014 secara tegas mengatur bahwa “setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan kerusuhan sosial, pelibatan peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan dan kejahatan seksual”. Perlindungan khusus tersebut wajib dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Lembaga negara lainnya sesuai Pasal 59 UU No. 35 tahun 2014. Sedangkan perlindungan khusus dalam masalah eksploitasi ekonomi dan seksual diatur Pasal 66 UU No. 35 tahun 2014 berupa :

a. “Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual

b. Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi

c. Pelibatan berbagai perusahaan , serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual”.

Peran masyarakat baik perorangan maupun kelompok, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan anak, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa dan dunia usaha diharapkan berperan aktif dalam memberi perlindungan khusus terhadap anak, Pasal 72 UU No. 35 tahun 2014, antara lain:

(6)

a. “Memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak-hak anak dan peraturan-peraturan tentang anak

b. Memberikan masukan mengenai kebijakan masalah perlindungan anak c. Melaporkan kepada pihak berwenang terjadinya pelanggaran hak anak d. Berperan aktif menghilangkan label negatif terhadap anak korban

e. Peran media massa melalui penyebaran informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan guna kepentingan anak

f. Peran dunia usaha diharapkan turut memberikan kebijakan yang memperhatikan kepentingan anak, menciptakan produk yang aman bagi anak dan pemenuhan hak anak”.

Anak yang mendapatkan pelanggaran terhadap eksploitasi seksual merupakan anak korban tindak pidana. Adapun yang dimaksud dengan korban menurut Maya Indah dalam bukunya Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi merupakan “direct viktim of crime atau korban tindak pidana yang secara langsung dan korban tindak pidana yang secara tidak langsung (indirect victim of

crime) baik secara individu maupun kolektif yang mengalami penderitaan baik fisik,

mental maupun material serta mencakup korban dari penyalahgunaan kekuasaan9”.

Sedangkan Pasal 1 angka 3 UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban ialah “orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Sedangkan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 31 tahun 2014 memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana berupa pemberian bantuan baik medis ,rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Dalam hukum perlindungan anak secara normatif yang dimaksud anak ialah seorang nya belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 tahun 2012 (SPPA), anak mengelompokkan dalam Anak yang Berhadapan dengan Hukum terdiri anak yang berkonflik dengan hukum, anak menjadi korban tindak pidana dan anak menjadi saksi tindak pidana. Anak menjadi korban tindak pidana atau disebut anak 9 Maya Indah S. Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Jakarta, Prenada Media, 2014, hal. 30

(7)

korban merupakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana.

Dalam UU No. 35 tahun 2014 diatur dalam 3 pasal mengenai anak sebagai korban tindak pidana yaitu Pasal 76 D dan Pasal 81 yang mengatur “larangan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dikenakan sanksi paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda Rp. 5.000.000.000 serta jika dilakukan oleh orang tua, wali, pendidik atau tenaga kependidikan ancaman sanksi ditambah 1/3 dari ancaman pidana dimaksud ayat (1)”. Pasal 76 F jo Pasal 83 “larangan menempatkan, membiarkan, melakukan penculikan, penjualan dan/atau perdagangan anak, diancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 dan paling banyak Rp. 300.000.000,-“. Sedangkan Pasal 76 I dan Pasal 88 ” larangan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000”.

Walaupun aturan perlindungan anak sudah memberikan sanksi baik berupa pidana penjara maupun pembayaran denda, pada kenyataan tidak mengurangi tingkat eksploitasi anak secara seksual. Oleh karenanya Pemerintah melakukan perubahan kedua terhadap UU No. 23 tahun 2002 dengan UU No. 17 tahun 2016, dengan melakukan perubahan pada sanksi pidana jika korban anak mengalami gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu alat reproduksi dan/atau meninggal dunia maka pelaku dapat dikenakan pidana mati dan diberi pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta pemasangan pendeteksi elektronik, dan pemberian kebiri kimia.

Guna mendukung dan memantau pelaksanaan dari perlindungan terhadap anak yang wajib dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai Pasal 20 jo Pasal 23 UU No. 35 tahun 2014, agar berjalan efektivitasmaka perlu adanya lembaga independen yang dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Daerah sesuai Pasal 74 UU No. 35 tahun 2014 jo UU No. Tahun 2002 serta peraturan

(8)

pelaksana yang memberikan perlindungan secara maksimal kepada anak korban tindak pidana eksploitasi seksual.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pemberian perlindungan hukum terhadap anak mkorban eksploitasi seksual (kajian Daerah Surabaya, Semarang dan Yogyakarta)?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Menggambarkan mengenai pemberian perlindungan hukum terhadap anak korban Eksploitasi seksual (Kajian Daerah Surabaya, Semarang, Yogyakarta)

D. Metode Penelitian

Berdasarkan jenis penelitian, penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif mengandung makna penelitian yang dimaksud untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau lain-lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.

Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dengan menggunakan peraturan perundang-undangan serta didukung data primer Data primer dengan melakukan wawancara pada nara sumber yaitu Lembaga Layanan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Semarang, Yogyakarta dan Surabaya

Lokasi penelitian adalah daerah Jawa Tengah di Semarang dan Yogyakarta serta Jawa Timur di Surabaya. Data yang diperoleh dari masing-masing wilayah daerah kajian akan diolah secara kualitatif dan disajikan dengan menggunakan reduksi data analisis dan kemudian disimpulkan

II. Pembahasan

A. Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual Berdasarkan Peraturan-Peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak sebagai korban eksploitasi seksual secara umum di Indonesia

Bentuk-bentuk dari kegiatan Seksual Komersial terhadap anak, menurut Keppres RI. No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) ESKA adalah

(9)

penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan baik tunai atau dalam bentuk lain antara lain, pembelian jasas eks, perantara atau agen dan pihak lain yang memperoleh keuntungan diperdagangkan seksualitas anak10” Sedangkan

bentuk-bentuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak, Konggres Dunia menentang seksual Komersial terhadap Anak (The world Congress for Against Sexual

Commercial Exploitation of the Children) yang diselenggarakan di Stockholm,

Swedia tahun 1996, menetapkan bahwa semua bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak adalah merupakan pelanggaran mendasar atas hak-hak anak dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap negara yang menjadi peserta Konvensi Hak Anak (state Party), bila membiarkan semua bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak tanpa melakukan langkah-langkah pencegahan, perlindungan maupun pembasmian terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut, maka negara peserta Konvensi hak Anak (KHA) dapat dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Sebab, salah satu hak mendasar yang melekat dalam dari anak adalah hak mendapat perlindungan (protection Rigths) yang memadai dari negara11.

Pasal 34 dan 35 Konvensi Hak Anak (KHA), “ setiap negara di dunia yang telah meratifikasi KHA diwajibkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seks dan penyalahgunaan seksual. Kemudian untuk mengimplementasikan maksud dari pasal 34 dan 35 KHA tersebut, ketentuan KHA mensyaratkan negara-negara peserta diharuskan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral guna mencegah bujukan atau pemaksanaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan seksual, penyalahgunaan anak-anak secara eksploitasi dalam bentuk pelacuran atau praktik seksual lainnya serta penggunaan anak-anak untuk pertunjukan porno dan bahan-bahan pornografis. Deklarasi Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak maupun ketentuan KHA dan UU Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa eksploitasi seksual komersial terhadap anak meliputi kegiatan penyalahgunaan seksual anak oleh orang dewasa dengan cara paksa (coercion), pemberian uang atau sejenisnya kepada anak 10. Harrys Pratama Teguh, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum

Pidana,12018,Yogyakarta, Andi, hal. 6

11. http://ditjen pp. Kemenkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasi-seksual-komersial-mengintai-anak-kita-html

(10)

yang bersangkutan ataupun kepada pihak ketiga, anak dijadikan sebagai objek seks serta objek komersial. Eksploitasi seksual Komersial anak juga dapat dilihat dalam bentuk paksaan serta kekerasan terhadap anak-anak, dalam bentuk kerja paksa dan bentuk perbudakan modern (comtemporary form of Slavery)12.

Indonesia sudah mengadopsi seluruh peraturan-peraturan tersebut dan sudah memasukkannya ke dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang kemudian di amandemen dengan UU No 35 Tahun 2014 dan amandemen kedua UU No. 17 tahun 2016. Peraturan perundangan tersebut melindungi hak anak,

Hak-hak anak dan perlindungannya di atur dalam Pasal 5 dan 17 UU no. 35 tahn 2014 dan UU No. 23 tahun 2002, menyatakan antara lain bahwa:

a. setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan da penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya

b. setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari :penyalahgunaan dalam kegiatan politik, dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan dan pelibatan dalam peperangan;

c. berhak memperoleh perlindungan dan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu hukum yang harus memiliki kepastian hukum dan “mencegah penyelewengan yang membawa dampak negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak13”. Untuk itu

ada “dua aspek kegiatan perlindungan anak yaitu :

a. Berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak dan

b. Pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut14”.

12. ibid

13. Gosita. A, Masalah Korban Kejahatan, 2014, Jakarta, Akademika Prressindo, hal. 222 14. Nashriana. Op. Cit. Hal 3

(11)

Menurut Pasal 21 jo 22 UU No 35 Tahun 2014, Pemenuhan hak-hak anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/ atau mental. Jaminan ini diberikan dengan cara memenuhi hak-hak tersebut dan melindungi dan menghormati hak anak. Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertangggung jawab melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Kebijakan Pemerintah Daerah dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun Kabupaten/ Kota layak anak. Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan sarana, prasarana dan ketersediaan sumber daya manusia penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Peran masyarkat dalam melaksanakan kegiatan perlindungan anak, dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi dan pemerhati anak. Sedangkan dalam lingkup pendidikan, dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah dan/atau masyarakat dengan adalah wajib memberikan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya (Pasal 25 dan 54 UU No. 35 Tahun 2014).

Selain perlindungan diuraikan di atas, maka anak pun mendapat Perlindungan khusus. Adapun perlindungan khusus merupakan suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Perlindungan khusus kepada anak diberikan yaitu anak dalam situasi darurat; anak yang berhadapan dengan hukum; Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; 
Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; 
Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; 
Anak yang menjadi korban pornografi; 
Anak dengan HIV/AIDS; 
Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; 
Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis; 
Anak korban kejahatan seksual; 
Anak korban jaringan terorisme; 
Anak Penyandang Disabilitas; Anak korban perlakuan salah

(12)

dan penelantaran; Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan 
Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya. Hal ini merupakan kewajiban Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga lain yang terkait. Dengan cara: penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; 
pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan. Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan melalui: perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; pemisahan dari orang dewasa; pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; pemberlakuan kegiatan rekreasional; pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya; penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup; penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; penghindaran dari publikasi atas identitasnya. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; pemberian advokasi sosial; pemberian kehidupan pribadi; pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas; pemberian pendidikan; pemberian pelayanan kesehatan; dan pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 59 jo 59 A ayat (1) jo 66; UU No 35 tahun 2014).


Berdasarkan Pasal 66 jo 67 B jo 68 jo 69 UU No 35 tahun 2014, Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dilakukan melalui: penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi dan/atau seksual. Perlindungan Khusus bagi Anak yang menjadi korban pornografi

(13)

dilaksanakan melalui upaya pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental. Serta dibina, didampingi, serta dipulihkan keadaan sosial, kesehatan fisik dan mental. Perlindungan Khusus bagi Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi. Perlindungan Khusus bagi Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis dilakukan melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi Anak korban tindak Kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

Berdasarkan Pasal 69A jo 71 D Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; rehabilitasi sosial; pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Setiap Anak yang menjadi korban berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

Peran Masyarakat dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak dilakukan dengan cara: memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai Hak Anak dan peraturan perundang-undangan tentang Anak; memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait Perlindungan Anak; melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak; berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Anak; melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak; menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang Anak; berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban; dan memberikan ruang kepada Anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat. (Pasal 72 ayat 2 UU No 35 Tahun 2014).

Peran organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan dilakukan dengan cara mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk membantu penyelenggaraan Perlindungan Anak. (Pasal 72 ayat

(14)

4 UU No 35 Tahun 2014). Peran media massa dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak. (Pasal 72 ayat 5 UU No 35 Tahun 2014). Peran dunia usaha dilakukan melalui: kebijakan perusahaan yang berperspektif Anak; produk yang ditujukan untuk Anak harus aman bagi Anak; berkontribusi dalam pemenuhan Hak Anak melalui tanggung jawab sosial perusahaan. (Pasal 72 ayat 6 UU No 35 Tahun 2014).

Berdasarkan uraian di atas maka upaya perlindungan hukum terhadap anak khusus mengalami eksploitasi seksual, kejahatan seksual perlu adanya ganti kerugian berupa restitusi sebagai biaya pengobatan kesehatan fisik maupun mental,sampai pemulihan, rehabilitasi. Hak yang harys dimiliki korban sebagai ganti kerugian tidak saja kepada korban dewasa tetapi korban eksploitasi anak juga harus dipenuhi. Sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 31 tahun 2014 mengatur :

Pasal 5, saksi dan korban berhak :

a. Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya

b. Berhak memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan c. Memberikan tekanan tanpa tekanan

d. Bebas dari pertanyaan yang menjerat e. Mendapat penterjemah

f. Informasi mengenai perkembangan kasus g. Informasi mengenai putusan pengadilan h. Informasi dalam hal terpidana dibebaskan i. Dirahasiakan identitasnya

j. Mendapat identitas baru

k. Mendapat tempat tinggal sementara l. Mendapat tempat kediaman baru

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan n. endapat nasihat hukum

(15)

berakhir, dan/atau

p. Mendapat pendampingan

Pasal 6, memuat perlindungan khusus kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana penyiksaan, tindak kekerasan seksual dan korban penganiayaan berat berhak mendapatkan:

a. Bantuan medis dan

b. Bantan rehabilitasi, psikososial dan psikologi

Sedangkan bentuk Restitusi yang diperoleh korban sesuai Pasal 7 A berupa a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan

b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan/atau

c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Sebagai pelaksanaan dari Pasal 71 D ayat 2 UU No. 35 tahun 2014 maka diundangkanlah Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, mengatur bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana haruslah mendapat restitusi, termasuk anak korban eksploitasi seksual dan itu harus ditanggung pelaku sebagai ganti kerugian atas penderitaan yang dialami anak. Hal yang melatar belakangi diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2017 disebabkan

a. Berhak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan yang harus dihormati dan dipenuhi oleh siapa pun yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak sewajar.

b. Tindak pidana terhadap Anak bukan hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruh tumbuh kembang dan kualitas, namun juga menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi pihak keluarga

c. Selama ini apabila terjadi tindak pidana terhadap anak, pihak korban tidak hanya menanggung sendiri kerugian materiil dan kerugian immateriil (yang tidak dapat dihitungi) antara kerugian berupa rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri, kecemasan yang berkelebihan yang bersifat traumatik dalam bentuk restitusi d. Restitusi yang harus dibayarkan oleh pelaku, dilaksanakan secara tepat, tidak salah

sasaran, serta tidak disalahgunakan sesuai dengan kerugian dan kondisi anak yang menjadi korban tindak pidana

(16)

e. Pemberian Restitusi ini dilaksanakan sejak kasusnya berada pada tahap penyidikan maupun penuntutan dan diharapkan penegak hukum membantu proses permohonan pihak korban dalam hal ini anak untuk mendapatkan restitusi.

Anak yang berhak untuk mendapatkan restitusi sama dengan yang diatur dalam UU No. 31 tahun 2014 Pasal 6 jo Pasal 2 ayat 1, (2) dan (3) PP No. 43 tahun 2017). Begitu pula bentuk restitusi yang harus dibayarkan sebagaimana uraian di atas Pasal 7 A UU No. 31 tahun 2014 jo Pasal 3 PP No. 43 tahun 2017. Pihak korban yang dapat mengajukan restitusi meliputi orang tua atau wali anak yang menjadi korban tindak pidana, ahli waris, orang yang diberi kuasa orang tua dengan surat kuasa khusus (Pasal 5 ayat (1), (2), (3) PP No. 43 tahun 2017.

Restitusi berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP o. 43 tahun 2017 adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi yang diberikan pada anak korban berupa ganti kerugian kehilangan kekayaan, penderitaan sebagai akibat tindak pidana dan /atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. Pengajuan dapat diajukan korban (orang tua, wali anak, ahli waris atau orang yang diberi kuasa oleh orang tua atau ahli waris. Permohonan diajukan kepada pengadilan sebelum putusan pengadilan pada tahap penyidikan atau penuntutan. Atau cara lain setelah putusan tetap pengadilan permohonan tetap dapat diajukan melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Permohonan restitusi harus memuat identitas pemohon, pelaku, kronologis peristiwa, kerugian yang diderita dan besaran atau jumlah restitusi.

Tata cara permohonan restitusi pada tahap penyidikan, penyidik berkewajiban memberitahukan pada korban mengenai hak anak korban untuk mendapatkan restitusi atau ganti kerugian. Pihak korban paling lama 3 hari sejak diberitahukan penyidik akan hak restitusi harus segera mengajukan permohonan restitusi (Pasal 10 PP No. 43 tahun 2017). Selanjutnya Penyidik paling lama 7 hari setelah menerima permohonan memeriksa kelengkapan berkas permohonan . Dalam berkas kurang lengkap maka paling lama dalam waktu 3 hari pemohon harus segera melengkapi permohonan restitusi Penyidik dapat meminta masukan dai Lembaga sejak tanggal diterimanya pemberitahuan agar melengkapi kekurangan berkas yang dibutuhkan. (Pasal 11 ayat (1),(2),(3) PP No. 43 tahun 2017. Guna memperoleh besaran permohonan restitusi dari pemohon maka penyidik dapat mendan tata cara pengaugajukan permohonan

(17)

restitusi kepada LPSK etelah data permohonan dari pemohon dinyatakan lengkap (Pasal 12 ayat 2 PP No. 43 tahun 2017).

Permohonan restitusi yang telah lengkap dari pemohon maka penyidik mengirimkan kepada penuntut umum yang terlampir bersamaan dengan berkas perkara. Tahap penuntutan, penuntut umum memberitahukan pula pada pihak korban mengenai hak anak untuk mendapatkan Restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat sebelum dan/atau dalam proses persidangan. Jika pelaku tindak pidana merupakan anak penuntut umum memberitahukan hak anak korban untuk mendapatkan Restitusi pada saat proses diversi (Pasal 14 PP No. 43 tahun 2017).

Sebagaimana aturan saat penyidikan pada penuntutan pun sama, penuntut harus memeriksa kelengkapan data pemohon Restitusi dan untuk memperoleh besaran Restitusi maka penuntut umu dapat meminta penilaian besaran permohonan Restitusi pada LPSK (Pasal 16 dan Pasal 17 PP No. 43 tahun 2017. Kemudian Panitera pengadilan akan mengirimkan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap memuat pemberian restitusi kepada jaksa. Jaksa melaksanakan putusan pengadilan dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada pelaku untuk melaksanakan pemberian restitusi(Pasal 19 PP No. 43 tahun 2017). Pelaku setelah menerima salinan putusan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dengan memberikan restitusi pada korban paling lama 30 hari sejak menerima salinan putusan pengadilan .Pemberian restitusi dalam hal korban anak maka pemberian restitusi dilakukan oleh orang tua. Pelaku dan orang tua kemudian melaporkan pemberian restitusi pada pengadilan dan kejaksaan. Tahap terakhir pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian restitusi baik melalui media elektronik maupun non elektronik (Pasal 21 dan Pasal 22 PP No. 43 tahun 2017).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 2 tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan., dengan maksud memberikan acuan kepada pemangku kepentingan dalam upaya menangani anak korban kekerasan. Sebagai tujuan khusus aturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah : a. Tersedianya pedoman perlindungan dan penanganan bagi anak korban kekerasan (eksploitasi seksual), b.Menyamakan pemahaman bagi penegak hukum terkait dengan perlindungan dan penanganan yang optimal, c.

(18)

Adanya berbagai kebijakan daerah dalam upaya perlindungan dan penanganan yang optimal bagi anak korban kekerasan

Aturan ini membuat pedoman penanganan meliputi berbagai bidang antara lain rehabilitasi kesehatan dan sosial, bantuan hukum, reintegrasi sosial (Pasal 1 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 2 tahun 2011) Langkah-langkah yang harus diperhatikan melakukan koordinasi pelayanan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelayanan. Aturan ini merupakan acuan pedoman penanganan anak korban kekerasan termasuk kekerasan seksual atau eksploitasi seksual bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Organisasi Masyarakat, Lembaga Layanan yang menangani anak korban kekerasan, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan perlindungan anak (Pasal 2 dan Pasal 3 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 2 tahun 2011). Menurut aturan ini maka dapat juga memberdayakan masyarakat melalui : penguatan kelembagaan masyarakat, peningkatan pendidikan dan ketrampilan petugas dalam penanganan terhadap korban anak, pengembangan jaringan kerja sama dan informasi masyarakat (Pasal 5 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 2 tahun 2011)

Dalam penanganan anak korban kekerasan maka masyarakatlah sebagai garda terdepan yang harus melakukan pelaporan kepada polisi melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) dan RPK maupun langsung kepada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT). Pada PPT inilah dilakukan langkah-langkah penanganan sebagai berikut: a. Identifikasi Pengaduan korban, b.Menentukan jenis kekerasan, c. Rekomendasi layanan Lanjutan, d. Koordinasi dengan pihak terkait, e.Mengadministrasikan Proses Identifikasi Layanan

Berdasarkan Lampiran Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 2 tahun 2011 bentuk dari kekerasan seksual berupa hubungan seksual secara paksa/tidak wajar, perkosaan, penjualan anak, eksploitasi seksual, pelacuran, pencabulan/pelecehan seksual, memaksa anak untuk menikah. Sedangkan Faktor penyebab menurut aturan ini faktor kemiskinan sehingga anak dianggap sebagai aset, pola hidup konsumtif, pendidikan, faktor sosial budaya, penggunaan tehnologi informasi tanpa pengawasan, faktor lingkungan. Perbuatan kekerasan ini akan memberikan dampak pada anak seperti secara seksual anak dapat terinfeksi HIV/AID bahkan dapat mengalami gangguan fungsi reproduksi, anak menjadi takut dan tidak

(19)

percaya diri menatap masa depan, depresi yang berkepanjangan gangguan emosional tidak jarang anak ingin mengakhir hidupnya dan anak akan menutup diri dari lingkungan sosial. Tata cara penanganan dilakukan dengan membentuk Pelayanan Perempuan dan Anak RPK, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), PPT dapat berupa Rumah Aman, RPTC, RPSA, P2TP2A, dam PPT yang ada di rumah-rumah sakit

Aturan ini membuat pedoman penanganan meliputi berbagai bidang antara lain rehabilitasi kesehatan dan sosial, bantuan hukum, reintegrasi sosial. Langkah-langkah yang harus diperhatikan melakukan koordinasi pelayanan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelayanan. Aturan ini merupakan acuan pedoman penanganan anak korban kekerasan termasuk kekerasan seksual atau eksploitasi seksual bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Organisasi Masyarakat, Lembaga Layanan yang menangani anak korban kekerasan, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota.

B. Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 7 tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perda 3/2012

Dalam Peraturan Daerah Provisi Yogyakarta No. 2 tahun 2018,

menyatakan yang dimaksud penyelenggaran perlindungan anak ialah segala proses dan cara untuk melindungi anak. Dilaksanakan sesuai prinsip dalam Konvensi hak anak meliputi a. non diskriminasi, b. kepentingan terbaik bagi anak, c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, d. penghargaan terhadap pendapat anak.Hal ini sejalan dengan visi dan misi kota Yogyakarta sebagai kota yang beretika, bermoral, meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat serta memperkuat ekonomi rakyat maka target utamanya adalah menjadikan kota Yogyakarta sebagai Kota Layak Anak dan mengusahakan tidak terjadinya korban anak karena kekerasan apa pun itu termasuk eksploitasi.

Perda Prov. Jawa Tengah ini dibentuk dengan tujuan a. mewujudkan pemenuhan hak anak dan kedudukan anak, b. Memberikan jaminan bagi anak agar

(20)

terpenuhi hak anak dan kedudukannya, c. Memperkuat peran Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dalam memenuhi hak-hak anak, d. meningkatkan peran dan kapasitas orang tua, keluarga dan masyarakat.

Dalam melaksanakan tugasnya Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak anak dan perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status hukum, serta kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 7 dan Pasal 8). Orang tua, keluarga berkewajiban dan tanggung jawab memenuhi perlindungan anak melalui upaya a. memberi nafkah sesuai kebutuhan anak, b. menjaga kesehatan janin, c. mengasuh, mendidik, memelihara dan melindungi anak, d. mengurus akta kelahiran dan kartu identitas anak, e. menumbuh kembangkan anak sesuai kemampuan , bakat dan minat, f. memberikan perlindungan dari segala bentuk tindak kekerasan (Pasal 11 Perda Prov. Yogyakarta).

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat dalam pemenuhan hak anak antara lain a. menciptakan lingkungan yang aman dan ramah terhadap anak, b. Memberikan informasi dan/atau melaporkan apabila tindakan kekerasan termasuk eksploitasi, penelantaran, pekerja anak dan perlakuan yang salah, c. Memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban, pelaku dan saksi dalam hukum, d. memberikan pertolongan apabila terjadi keadaan darurat, e. memberikan advokasi terhadap pelaku, korban dan saksi tentang penanganan kasus ,kekerasan, eksploitasi perlakuan yang salah dan penelantaran terhadap anak (Pasal 13).

Pemerintah Daerah wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak dalam kondisi khusus seperti korban eksploitasi seksual, anak berhadapan dengan hukum, korban penculikan, perdagangan , korban kekerasan fisik dan/atau psikis, korban kejahatan seksual dan lainnya. Pemberian jaminan perlindungan terhadap anak dalam kondisi khusus berupa a. penanganan secara cepat dan tepat, b. pengobatan dan/atau rehabilitasi fisik, psikis dan sosial, c. Pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya, d. pendampingan psikologi pada saat pengobatan sampai pemulihan, e. pemberian perlindungan dan pendampingan saat proses peradilan, f. penyediaan sarana rumah lindung (Pasal 24 dan Pasal 25).

Pemberian pelindungan terhadap anak dalam kondisi khusus di daerah diberikan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga, Forum

(21)

perlindungan anak dan/atau masyarakat. Khusus anak yang tereksploitasi seksual dan/atau ekonomi diberikan melalui sosialisasi kepada masyarakat secara luas mengenai akibat dan dampak buruk eksploitasi terhadap anak dan/atau pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang terkait dengan adanya eksploitasi terhadap anak (Pasal 56 dan Pasal 60). Terhadap anak korban penculikan dan perdagangan perlindungan diberikan Pemerintah Daerah melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan dan rehabilitasi. Sedangkan untuk anak korban kekerasan seksual meliputi usaha-usaha a. edukasi tentang kesehatan, alat reproduksi, b. rehabilitasi sosial, c. pendampingan psikososial, d. pendampingan pada tahap peradilan (Pasal 65 dan 67).

Pemerintah Daerah memberikan pula jaminan perlindungan anak kepada masyarakat agar berperan dalam Perlindungan Anak diwujudkan dalam bentuk a. memberikan informasi terkait Perlindungan Anak, b. mencegah terjadinya kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran terhadap anak, c. pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak. Demi terselenggaranya pemenuhan pemberian perlindungan terhadap anak yang tereksploitasi maka pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat/lembaga non pemerintah dan dunia usaha. Selain itu agar semua pihak merasa berkewajiban dan bertanggung jawab secara aktif melaksanakan pemberian perlindungan anak korban eksploitasi, Pemerintah dapat memberikan piagam penghargaan (Pasal 76 dan 77 Perda Prov. Jawa Tengah No. 2 tahun 2018)

Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 7 tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga,a. memiliki tujuan mewujudkan keluarga yang religius, sejahtera, berbudaya dan modern, b. Melaksanakan proses pendidikan dalam keluarga, c. mendukung pencapaian visi dan misi pembangunan daerah, d. mendukung kerja sama dan sinergisitas antara pemangku kepentingan guna pembangunan ketahanan keluarga, e. mendukung penguatan fungsi keluarga, f. menjamin peningkatan dan pemenuhan fungsi keluarga, g. Menjamin peningkatan akses terhadap pendampingan keluarga. Hal itu dilakukan berdasarkan asan kekeluargaan, keadilan, kemanusiaan, perlindungan, partisipasi, non diskriminasi, kesetaraan.

(22)

Perwujudan ketahanan keluarga yang dituangkan dalam kebijakan langkah strategis membentuk Konselor Ketahanan Keluarga dan Forum Koordinasi Ketahanan Keluarga serta peran serta masyarakat dalam hal ini perguruan tinggi, pelaku usaha, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat (Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 40). Dalam aturan ini pembangunan Ketahanan Keluarga guna meningkatkan fungsi keluarga dalam melakukan perlindungan anak dengan memberikan pendidikan, keluarga yang sejahtera, kesetaraan tanpa diskriminasi anggota keluarga mengatur pula masalah perlindungan anak seperti hak untuk mengetahui identitas anak dengan memberikan akta kelahiran, kartu untuk menjamin terpenuhinya identitas anak, anak-anak telantar, dan anak dari keluarga rentan.

Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, memberikan definisi perdagangan orang ialah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau pemberian bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Upaya pencegahan perdagangan orang (anak) yang dilakukan secara terpadu berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melalui penguatan sistem informasi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan tenaga kerja, edukasi masyarakat dan pengendalian pelaksanaan pengasuhan dan pengangkatan anak (Pasal 6 Perda Yogyakarta No. 6 Tahun 2014).

Pemberdayaan masyarakat dilakukan Pemerintah Daerah dengan cara 1. Peningkatan mutu pendidikan baik formal dan informal bagi masyarakat, 2. Memberikan informasi, bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang nilai-nilai moral dan/atau keagamaan, 3. Meningkatkan kepastian dan kemampuan ekonomi masyarakat, 4. Membuka kesempatan kerja seluas-luasnya (Pasal 2 Perda Yogyakarta No., 6 Tahun 2014). Tugas Pemerintah Daerah dalam bidang edukasi kepada masyarakat yang dilakukan oleh SKPD meliputi 1. Mensosialisasi atau

(23)

penyebaran peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana perdagangan orang, 2. Membangun rasa kepedulian masyarakat terhadap pencegahan perdagangan orang, 3. Meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap tindak pidana perdagangan orang. Dalam hak perlindungan khusus terhadap anak maka PPT dan masyarakat berkewajiban melakukan pemenuhan hak-hak anak dasar anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan kebutuhannya (Pasal 24 Perda No. 6 tahun 2014)

Tanggung jawab dan kewajiban yang dilakukan sebagai peran serta masyarakat meliputi 1. memberikan informasi adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak berwajib, 2. Melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi, 3. Menerima kembali korban dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, 4. Melakukan pengawasan terhadap proses pengasuhan dan pengangkatan anak, 5. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai perdagangan orang, dan 6. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan perekrutan dan penempatan kerja (Pasal 30 Perda Yogyakarta N0. 6 tahun 2014)

Sebagai wujud tujuan penyelenggaraan perlindungan anak menjadikan Yogyakarta menjadi Kota Layak Anak (KLA) maka diundangkanlah Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 34 tahun 2015 tentang Rencana Aksi Daerah Pengembangan Kota Yang Layak Anak (RAN-KLA). Tujuan dari disusunnya RAD KLA guna terpenuhinya hak anak demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera, agar tercipta rasa aman, ramah dan bersahabat juga melindungi anak dari ancaman permasalahan sosial dalam kehidupannya serta mengembangkan potensi, bakat dan kreativitas anak. Tujuan lainnya dengan mengoptimalkan peran dan fungsi keluarga, membangun sarana dan prasarana kota yang mampu memenuhi kebutuhan dasar anak secara optimal.

Pada Lampiran V Peraturan Walikota Yogyakarta memuat perlindungan khusus dalam mewujudkan RAD Yogyakarta meliputi pembentukan tim advokasi perlindungan anak, optimalisasi Gugus Tugas KLA, Pelatihan pencegahan eksploitasi seksual (kekerasan anak) pada masyarakat, aparat hukum dan pendidik, mendirikan pusat-pusat krisis center, memperkuat pendidikan budi pekerti anak, sosialisasi tentang perundungan dan perlindungan anak, sosialisasi KHA dan UU Perlindungan Anak kepada penegak hukum , pelatihan KHA bagi aparat hukum, pelatihan

(24)

penanganan kekerasan terhadap anak pada masyarakat, aparat hukum dan pendidik, pengutamaan hak anak dalam proses hukum sosialisasi UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pada Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 3 tahun 2012 menyatakan tujuan dari perlindungan terhadap korban khususnya anak mencegah kekerasan terhadap anak, memberikan pelayanan kepada korban serta melakukan pemberdayaan kepada anak korban. Bentuk-bentuk kekerasan berdasarkan Pasal 5 Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 3 tahun 2012 berupa, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran, eksploitasi dan/atau kekerasan lainnya. Sedangkan eksploitasi merupakan bagian dari kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual dengan tidak wajar atau tidak disukai dengan orang lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.

Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan upaya perlindungan korban dalam bentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK), menetapkan kebijakan, menyusun perencanaan program dan kegiatan, memberikan dukungan sarana dan prasarana, mengalokasikan anggaran. Pasal 16 Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 3 tahun 2012 menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dengan standar pelayanan minimal dan menyediakan dana untuk perlindungan korban melalui APBD masing-masing daerah. Guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur memberikan wewenang kepada instansi yang bertugas dan berfungsi di bidang pemberdayaan perempuan dan anak. Upaya pencegahan bagi anak korban dilakukan dengan cara 1. Membentuk jaringan kerja, 2. Melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi pencegahan eksploitasi berdasarkan pola kemitraan, 3. Membentuk sistem pencegahan kekerasan, 4. Sosialisasi atau penyebaran peraturan perundang-undangan perlindungan anak dan hak-hak anak.

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat dan keluarga terhadap perlindungan anak melalui a. Mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, b. Melaporkan bila terjadi kekerasan, c. Melindungi korban d. Memberikan pertolongan

(25)

darurat (Pasal 18 Perda Prop Yogyakarta No. 3 tahun 2012. Peran serta masyarakat dilakukan dengan 1. membentuk mitra keluarga di tingkat kelurahan/desa, 2.membentuk unit perlindungan anak di tingkat organisasi masyarakat, 3. Melakukan sosialisasi hak anak, 4. Melakukan pertolongan pertama kepada korban, 5. Melaporkan kepada instansi yang berwenang apabila di lingkungannya terjadi eksploitasi seksual terhadap korban. Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan, lembaga sosial masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, swasta dan media massa (Pasal 50 ayat 1, ayat 3 Perda Prop Yogyakarta No. 3 tahun 2012.)

C. Pemberian Perlindungan Anak Korban Eksploitasi Seksual berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang No. 5 tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Tindak Pidana Kekerasan, Peraturan Daerah Kabupaten Semarang No. 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Walikota Semarang mengeluarkan aturan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang No. 5 tahun 2016, mengatur hak anak yang mengalami kekerasan berupa hak untuk dihormat harkat dan martabat sebagai manusia, hak pemulihan, hak untuk menentukan sendiri keputusannya, hak mendapat informasi, hak kerahasiaan, hak atas rehabilitasi sosial, hak atas penanganan pengaduan secara cepat, tepat dan nyaman hak mendapatkan kemudahan dalam proses peradilan, hak atas pendampingan dan hak rasa aman. Selain itu anak korban kekerasan memiliki hak khusus sebagai berikut hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak pelayanan dasar kependudukan, hak perlindungan yang sama, hak bebas dari berbagai stigma, dan hak mendapatkan kebebasan (Pasal 5 dan Pasal 6 Perda Kota Semarang).

Khusus untuk Kabupaten Semarang, maka Bupati Semarang, mengeluarkan peraturan khusus penyelenggaraan perlindungan anak dengan mempertimbangkan peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Semarang No. 5 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perlindungan anak. Tujuan dikeluarkan peraturan ini ialah untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan, eksploitasi,

(26)

penelantaran dan perlakuan yang salah demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak, mulia dan sejahtera.

Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah dalam melaksanakan pemberian perlindungan hukum dalam korban anak yang tereksploitasi berupa a. menetapkan melaksanakan kebijakan, program dan melakukan kerja sama kegiatan dalam penyelenggaraan perlindungan anak dari tindak pidana kekerasan, b. memfasilitasi pendirian lembaga perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan sera memberi dukungan sarana dan prasarana, c. mengalokasi anggaran dana daerah guna penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, d. membina dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, e. menyediakan pelayanan perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, f. mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat, g. menunjuk orang tua dan/atau pengasuh pengganti sebagai langkah perlindungan untuk anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Peran serta masyarakat dalam memenuhi perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan berupa mencegah terjadinya tindak kekerasan, memberikan perlindungan, informasi dan laporan terjadinya tindak kekerasan kepada penegak hukum atau pihak yang berwenang, turut serta dalam penanganan korban (Pasal 8 dan Pasal 9). Kepada setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan diharapkan segera melakukan upaya perlindungan berupa mencegah dan menghentikan tindak pidana kekerasan, memberi perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan/atau membantu proses pengajuan penetapan perlindungan (Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 Perda Kota Semarang).

Penyelenggaraan pemberian perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dengan melakukan pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat, keluarga, orang tua dengan memberikan informasi, bimbingan dan/atau penyuluhan. Sedangkan perlindungan hukum diberikan melalui a. memberikan perlindungan di rumah aman, b. Memberikan informasi hukum kepada korban, c. melakukan pendampingan pada untuk korban mulai dari penyidikan sampai putusan, d. memberikan perlindungan khusus anak korban dengan menunjuk perwalian sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 15 dan Pasal 17). Dalam rangka pemulihan anak korban maka pemberian perlindungan diberikan dengan upaya sebagai berikut

(27)

a. pemulihan fisik di lembaga pelayanan kesehatan, b. Memberikan pelayan medikolegal, c. memberikan perlindungan sementara di rumah aman, d. memberikan pemulihan dan pendampingan psikososial, e. pelayanan bimbingan rohani, f. melakukan penyiapan lingkungan keluarga, sekolah, kerja dan masyarakat (Pasal 18 ).

Peran serta masyarakat dalam memberikan perlindungan dengan upaya a. menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap kasus-kasus tindak pidana kekerasan, b. mendorong masyarakat berpartisipasi aktif memberikan informasi dan melaporkan adanya tindak pidana kekerasan anak, c. menubuhkan kearifan lokal dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan anak, d. menyelenggarakan penguatan kelompok-kelompok masyarakat dalam penanganan kasus tindak kekerasan anak, e. menyebarkan/ sosialisasi mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap anak. Sedangkan sebagai wujud pengawasan maka masyarakat melakukannya dengan menyalurkan aspirasi tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak melalui Walikota atau Kepala DPRD (Pasal 20 dan Pasal 24)

Bupati Semarang mengeluarkan pula aturan perlindungan anak untuk kabupaten Semarang No. 6 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa penyelenggaraan perlindungan anak dilakukan oleh pemerintah daerah, orang tua, keluarga, masyarakat. Kewajiban pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perlindungan meliputi antara lain, menyediakan data dan informasi anak, mencegah dan mengurangi risiko kerentanan terjadinya tindak kekerasan, eksploitasi penelantaran dan perlakuan yang salah, c. menangani anak yang menjadi korban, saksi dan pelaku, d. mendorong tanggung jawab orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan, lembaga partisipasi anak, kelompok profesi di dalam upaya pencegahan, pengurangan risiko kerentanan dan penanganan korban dan e. melakukan koordinasi dan kerja sama dalam pencegahan, penanganan terjadinya tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan yang salah. Tanggung jawab pemerintah daerah meliputi melakukan advokasi guna kebijakan perlindungan anak, mendorong partisipasi anak dalam pembuatan perlindungan anak atau yang berdampak pada kehidupan anak, memberikan advokasi terhadap korban dan/atau masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan yang salah, membantu rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial, mendirikan

(28)

dan mengelola lembaga kesejahteraan anak, memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 7).

Peran serta masyarakat diharapkan dengan ikut melakukan kegiatan yang menyelenggarakan perlindungan anak seperti melalui penyuluhan dan/atau bimbingan. Orang tua, keluarga memiliki kewajiban dan tanggung jawab pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan anak dengan mencegah, mengurangi risiko terhadap terjadinya eksploitasi seksual (Pasal 8 dan Pasal 9).

Perlindungan khusus yang diberikan kepada anak korban eksploitasi seksual dan/atau ekonomi dilakukan dalam bentuk

a. Layanan pencegahan meliputi :

1. Membuat kebijakan perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi seksual dan/atau ekonomi

2. Membuat kebijakan pemenuhan kebutuhan khusus kebijakan terhadap anak yang mengalami gangguan psikososial, korban eksploitasi seksual dan/atau ekonomi

3. Memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua dan/atau masyarakat, pers, pendidik, dan aparat penegak hukum tentang dampak buruk eksploitasi seksual dan/atau ekonomi

4. Perlindungan terhadap identitas anak korban dari stigma buruk terhadap anak 5. Sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan menegenai eksplotasi

seksual dan/atau ekonomi

b. Layanan pengurangan risiko meliputi

1. Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan, pengkajian terhadap anak dan keluarga yang berisiko mengalami eksploitasi seksual

2. Memberikan layanan bagi anak dan keluarga yang sudah teridentifikasi menjadi korban eksploitasi seksual dan/atau ekonomi yang meliputi

a). bimbingan konseling b).konsultasi hukum

c).mediasi kepada pihak terkait d).layanan psikososial

(29)

f). tempat perlindungan sementara

g).melindungi identitas korban agar tidak menjadi stigma buruh bagi anak korban

c. Layanan penanganan kasus

1. melakukan upaya penyelamatan segera terhadap korban eksploitasi seksual dan/atau ekonomi yang dalam kondisi berbahaya atas keselamatan dirinya 2. memberikan rujukan sesuai kebutuhan

3. memberikan konseling dan mendapatkan dukungan dari keluarga

4. memperlakukan anak korban eksploitasi seksual dan/atau ekonomi secara manusiawi sesuai martabat hak-hak anak

5. memberikan rasa aman dan perlindungan dari pemberitaan identitas korban untuk menghindari stigma buruk

6. menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial

7. melakukan pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi terhadap pelaku eksploitasi anak secara seksual dan/atau ekonomi

Penyelenggaraan perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan dilakukan dalam bentuk :

a. Layanan pencegahan, yang meliputi :

1. Memberikan jaminan perlindungan bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan,

2. Menyediakan mekanisme pengaduan dan penanganan kasus b. Layanan pengurangan risiko, yang meliputi :

1. Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian terhadap anak dan keluarga yang berisiko

2. Memberikan layanan bagi anak dan keluarga yang telah teridentifikasi berisiko menjadi korban penculikan, penjualan dan perdagangan meliputi :

a). bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan perilaku b). Konsultasi hukum

c). mediasi kepada pihak-pihak terkait d). layanan psikososial

e). bantuan ekonomi dan kecakapan hidup f). tempat perlindungan sementara

(30)

c. layanan penanganan kasus, yang meliputi

1. melakukan upaya penyelamatan segera terhadap anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan yang dalam kondisi bahaya atas keselamatan dirinya

2. memberikan rujukan sesuai kebutuhan

3. memberikan konseling dan mendapat dukungan dari keluarga

4 .memperlakukan anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak

5 .memberikan rasa aman dan perlindungan dari pemberitaan identitas korban untuk menghindari stigma buruk

6. Memberikan aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara

7. Menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial dan

8. Membuat database anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan

Penyelenggaraan perlindungan khusus bagi anak yang diperdagangkan dilakukan dalam bentuk, meliputi

a. Layanan pencegahan :

1. Membuat kebijakan pemenuhan kebijakan khusus bagi anak yang diperdagangkan

2. Memberikan jaminan pendidikan bagi anak yang diperdagangkan

3. Memberikan sosialisasi dan peningkatan kesadaran orang tua/masyarakat, pers, pendidik dan aparat penegak hukum tentang peraturan perundang-undangan yang melindungi anak yang diperdagangkan

4. Memberikan sosialisasi peningkatan kesadaran orang tua, masyarakat, pers, dan stigma buruk terhadap anak

5. Menyediakan mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus b. Layanan pengurangan risiko , meliputi

1. Melakukan identifikasi dini, layanan pengaduan dan pengkajian terhadap anak dan keluarga yang berisiko

2. Memberikan layanan bagi anak dan keluarga yang telah teridentifikasi berisiko menjadi anak yang diperdagangkan yang meliputi :

a). bimbingan dan konseling tentang pola asuh dan perubahan perilaku b). Konsultasi hukum

(31)

c). mediasi kepada pihak-pihak terkait d). layanan psikososial

e). bantuan ekonomi dan kecakapan hidup f). tempat perlindungan sementara

g). melindungi identitas korban agar tidak terjadi stigma buruk bagi anak c. layanan penanganan kasus, meliputi

1. melakukan upaya penyelamatan segera terhadap anak yang diperdagangkan yang dalam kondisi bahaya atas keselamatan dirinya

2. memberikan rujukan sesuai kebutuhan

3. memberikan konseling dan adanya dukungan dari keluarga

4 . perlakuan anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak

5 .memberikan rasa aman dan perlindungan dari pemberitaan identitas korban untuk menghindari stigma buruk

6. Menyediakan layanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial dan 7. Membuat database anak yang diperdagangkan

8. Melakukan, pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi bagi pelaku perdagangan anak

Dalam Perda ini memuat pula larangan bagi setiap penyelenggara usaha diskotek, usaha klab malam, usaha bar/cafe, karaoke dewasa, usaha pub/rumah musik, usaha panti pijat, mandi uap/sauna, dilarang menerima pengunjung anak. Penyelenggara hotel, usaha motel, usaha losmen, usaha wisma pariwisata, tempat kos, dan kegiatan usaha yang sejenis, dilarang menyewakan kamar kepada anak tanpa didampingi orang tua, atau anggota keluarga yang telah dewasa, guru pendamping/penanggung jawab dalam rangka melaksanakan kegiatan sekolah atau kegiatan lainnya (Pasal 40 ayat 1 dan ayat 2). Apabila larangan ini dilanggar maka akan dikenakan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.

D., Pemberian Perlindungan Hukum Anak Korban Eksploitasi Seksual berdasarkan Peraturan Kota Surabaya No. 6 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perlindungan

(32)

Anak, Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 1 tahun 2014 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Anak

Walikota Surabaya pada tahun 2011 mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 6 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, mengatur kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga, orang tua dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab meliputi a. menghormati dan menjamin hak anak tanpa diskriminasi, b. memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak, c. menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab, d. mengawasi penyelenggaraan pelindungan anak, e. menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat, f. memfasilitasi terwujudnya peran serta masyarakat dan sektor swasta dalam penyelenggaraan pelindungan anak. Sedangkan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan perlindungan anak melalui berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat. Keluarga dan orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, menjamin keberlangsungan pendidikan anak sesuai kemampuan, minat dan bakat anak, mencatat setiap kelahiran anak pada instansi yang terkait (Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Perda Kota Surabaya)

Dalam pelaksanaan perlindungan anak, Pemerintah Daerah Surabaya wajib menyediakan Rumah Aman sebagai tempat tinggal sementara bagi anak yang terancam jiwanya dan bersama dengan pihak swasta masyarakat maka Pemerintah Daerah wajib menyediakan sarana dan prasarana anak seperti tempat bermain dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dengan memperhatikan kenyamanan, keselamatan dana kesehatan anak (Pasal 16 dan Pasal 17 Perda Kota Surabaya).

Pemerintah Daerah mengharapkan adanya peran serta masyarakat dan sektor swasta melakukan pengawasan terhadap hak-hak anak baik individu, kelompok dan kelembagaan dengan cara antara lain penyediaan rumah aman dan rumah singgah, pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Anak, pendirian rehabilitasi anak korban tindak pidana, memberikan bantuan hukum dan Forum Partisipasi Anak guna

(33)

mendengar pendapat anak dalam mewujudkan kebijakan perlindungan anak (Pasal 20 dan Pasal 21 )

Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 6 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak memuat pula sanksi pidana bagi setiap pihak yang melakukan tindak pidana berupa memanfaatkan anak dalam kerja di tempat musik atau tempat bernyanyi , hotel, rumah-rumah pijat, motel tanpa didampingi orang dewasa dikenakan sanksi pidana kurungan selama 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- dan pencabutan ijin usaha (Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 27 Perda Kota Surabaya No. 6 tahun 2011)

Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 1 tahun 2014 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Anak. Tujuan dari peraturan ini untuk a. mencegah sejak dini terjadinya perdagangan atau eksploitasi orang, b. memberikan perlindungan terhadap anak dari eksploitasi dan perbudakan, c. menyelamatkan dan merehabilitasi korban perdagangan orang, d. memberdayakan pendidikan, perekonomian korban perdagangan dan keluarganya, dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut a. penghormatan dan pengakuan terhadap hak dan martabat manusia, b. Kepastian hukum, c, proporsional, d. non diskriminasi dan e. keadilan

Pencegahan terjadinya korban eksploitasi melibatkan berbagai pihak, Pemerintah Daerah, masyarakat dan keluarga melalui kebijakan pencegahan preemtif

dan kebijakan preventif. Maksud dari Kebijakan Preemtif ialah tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada tingkat kebijakan dalam mendukung rencana, program dan kegiatan dalam rangka peningkatan pembangunan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD) pada berbagai bidang antara lain pemberdayaan masyarakat, sosial, pendidikan, langsung untuk melakukan pencegahan perdagangan orang melalui pengawasan, perijinan, pembinaan dan pengendalian. Sedangkan upaya-upaya dilakukan dalam pencegahan preventif melalui upaya antara lain, mengembangkan sistem pengembangan yang efektif dan responsif, penyediaan sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses, 3. membuka pos-pos pengaduan adanya tindak pidana perdagangan atau eksploitasi orang, 4membangun jejaring dan kerja sama dengan aparat penegak hukum, aparatur pemerintah, perguruan tinggi, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) permintaan beras secara nyata dipengaruhi oleh harga riil beras Indonesia, jumlah penduduk, dan permintaan beras tahun sebelumnya,

Kedua, penelitian terapan (applied research) merupakan penelitian yang ditujukan untuk menganalisis penerapan disiplin ilmu ke aplikasi praktis. 2) Penelitian Unggulan lintas

Sebagai orang tua, kebiasaan hidup yang harus di ubah pada anaknya yang menderita asma adalah.. Mengurangi aktivitas fisik yang bisa

Berdasarkan penelitian sebelumnya terlihat masih ada kekurangan dari instansi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu penulis ingin mengembangkan

Untuk membantu peserta didik mengembangkan keahlian, mereka harus menginternalisasi pengetahuan atau kemampuan baru dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang baru

Bahtsul Masail dalam menetapkan hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah oleh pria yang menghamilinya serta menganalisis keduanya berdasarkan data-data yang

Iz toga vizualnom inspekcijom podataka moˇ zemo do- biti ideju o tome za koje se vrijednosti kovarijate izgladivaˇ c ne´ ce ponaˇsati najbolje u smislu pristranosti i u kojem smjeru