• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RITUAL PERLAWANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II RITUAL PERLAWANAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

RITUAL PERLAWANAN

Bagian ini merupakan uraian teroritis, yakni merupakan bagian yang saling terkait antara konsep-konsep yang tertuang dalam judul penelitian, yang kemudian coba dipahami secara teoritis untuk memahami ritual perlawanan dalam penolakan terhadap PT. Elgary Resources Indonesia yang melakukan aktivitas penambangan, maka terlebih dahulu peneliti mendeskripsikan teori-teori mengenai ritual, ritus, fungsi ritus dan ritual sebagai resistensi. Sehingga dari sana akan terlihat keterkaitan dengan ritual perlawanan yang digunakan dalam penolakan tambang.

2.1. Ritual secara Umum

Tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara ritual. Karena itu, maka dapat dikatakan bahwa ritual merupakan agama dalam tindakan. Tindakan agama ini merupakan tindakan simbolis sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius. Simbol itu sendiri menjadi pokok ketegangan dan dilema yang terwujud dalam agama.1 Manusia melakukan suatu tindakan karena mereka menyadari bahwa melakukan hal tersebut untuk mencapai apa yang mereka kehendaki.2 Susanne Langer mengemukakan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing.3 Ritual menjadi nyata dari kenyataan bahwa dia berkaitan dengan pengertian-pengertian mistis yang merupakan pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri adi rasa. Gejala itu

1

Dhavamony, Fenomenologi Agama , 167.

2 Max Weber, Sosiologi Agama terj.The Sociology of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 97. 3 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 174.

(2)

10

sendiri atau sebagian darinya tidak diperbolehkan lewat pengamatan atau tidak dapat disimpulkan secara logis dari pengamatan itu serta tidak dimiliki oleh pola-pola pikiran itu sendiri.4

Sementara itu, Goody mendefenisikan ritual sebagai suatu kategori perilaku yang dibakukan, di mana hubungan antara sarana-sarana dengan tujuan tidak bersifat intrinsik. Dengan kata lain, sifatnya entah irasional atau nonirasional. Tindakan-tindakan magi maupun religious termasuk dalam defenisi ini, meskipun keduanya dapat dibedakan karena kriteria yang lain.5 Mircea Eliade, antara lain mengatakan, bahwa ritual mengakibatkan suatu perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikan kepada situasi keberadaan yang baru; misalnya, penempatan ke dalam lingkup yang kudus.6

Sedangkan Nicholas Dirks, mendefenisikan ritual sebagai hal yang sakral dan istilah ini sekaligus juga menandai sebuah keadaan atau ruang yang mana memiliki makna yang khusus. Ritual dapat menjadi bagian dari keseharian hidup, tetapi secara fundamental ritual bukan aktivitas hidup sehari-hari. Ritual mungkin telah dipandang sebagai suatu proses yang mendalam yang diintegrasikan ke dalam dunia sosial yang kompleks, tetapi ritual juga masih merupakan bagian utama dari konstruksi budaya, dan budaya secara fundamental bicara tentang makna bersama dan nilai-nilai sosial. Selain itu, ritual bisa menjadi simbol bagi tatanan sosial masyarakat namun juga dapat menjadi pemicu resistensi.7

Secara khusus, dalam makna religiusnya ritual merupakan gambaran prototype yang suci, model-model teladan, arketipe primordial; sebagaimana dikatakan, ritual merupakan pergulatan tingkah laku dan tindakan makhluk ilahi atau leluhur mistis. Ritual mengingatkan

4 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 175.

5 J. Goody, “Religion and Ritual: The Definitional problem”, The British Jurnal Of Sociology, (Juni 1961), 145-157.

6

Mircea Eliade, Rites and Symbols of Initiation: The Mysteries of Birth and Rebirth (New York: Harper & Row, 1965), 132.

(3)

11

peristiwa-peristiwa primordial dan juga memelihara serta menyalurkan dasar masyarakat.8 Sebuah ritual tidak dapat terlaksana tanpa turut andil dari masyarakat. Menurut Van Gennep, ritual bermaksud untuk membawa orang melintasi setiap krisis kehidupan yang melanda manusia.9

Van gennep secara lebih luas menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap: perpisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap pemisahan, individu dipisahkan dari satu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan ke pada suatu tempat, kelompok atau status baru.10

Tujuan pelaksanaan ritual itu biasanya untuk mencegah perubahan yang tidak diinginkan. Kadang target dari pelaksanaan ritual itu adalah suatu aspek hakikat bukan manusia, kadang manusiawi, kadang individu, atau suatu kelompok. Perubahan yang dimaksud kadang merupakan perubahan yang kecil, suatu koreksi yang akan memulihkan keseimbangan dan status quo, melestarikan gerakan sistem ikatan-ikatan, misalnya ritual pernikahan; kadang menyangkut perubahan sistem yang radikal, tercapainya level keseimbangan yang baru, atau bahkan kualitas baru dalam organisasi, misalnya ritual masuk sekolah atau kenaikan pangkat.11

Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri sebagai individu ataupun individu bayangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol, secara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan

8 Eliade, Rites and Symbols of Initiation, 133.

9 Arnold Van Gennep, The Rites of Passage (London and Henley: Rouledge and Kegan Paul, 1960), 56.

10

Dhavamony, Fenomenologi Agama , 179. 11 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 180.

(4)

12

nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan. Selanjutnya, ritus merupakan suatu kegiatan, biasanya dalam bidang keagamaan, yang bersifat seremonial dan bertata.12

Secara global ritual dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu: ritual-ritual (upacara-upacara) yang bersifat musiman dan bukan musiman. Ritual musiman terjadi pada acara-acara yang telah ditentukan, dan kesempatan untuk melaksanakannya selalu merupakan suatu peristiwa dalam siklus lingkaran alam siang dan malam, musim gerhana, letak planet-planet dan bintang. Sedangkan ritual yang bukan musiman dilaksanakan pada saat kritis, namun tetap mengikuti kalender (waktu) lingkaran hidup. Menurut Dhavamony ritual musiman hampir selalu bercorak komunal dan menyelesaikan secara teratur kebutuhan-kebutuhan yang berulang dari masyarakat sosial; ritual bukanlah musiman namun mungkin tidak bercorak komunal.13

2.2. RITUS

Bagi Turner, ritus berkaitan erat dengan masyarakat, yang dilakukan untuk mendorong orang-orang melakukan dan menaati tatanan sosial tertentu. Ritus memberikan motivasi dan nilai pada tingkat yang paling dalam. Oleh sebab itu, ritus mempunyai peran dalam masyarakat, antara lain: menghilangkan konflik, mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas masyarakat, menyatukan prinsip yang berbeda-beda dan memberi motivasi serta kekuatan baru untuk hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.14 Sependapat dengan itu, Dhavamony juga menjelaskan bahwa ritus merupakan suatu sarana bagi manusia religius berkomunikasi dengan hakekat tertinggi, yang Kudus yang diyakini

12 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 180. 13

Dhavamony, Fenomenology Agama, 178-179.

14 Victor Turner, The Ritual Process, Structure and Antistructure (New York: Cornell University Press, 1969), 92-93.

(5)

13

sungguh ada, penuh kekuatan, serta menjadi sumber kehidupan dan dapat mempengaruhi nasib manusia secara baik atau buruk.15

Dengan konstatasi (gejala) ritus yang demikian maka jelas bahwa ritus memperlihatkan sebuah tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan yaitu bersifat sakral yang oleh manusia religius dijadikan wahana pengungkapan perilaku (behavioral) dan perasaan (feeling) terhadap eksistensi hakekat yang suci untuk mengatasi berbagai problematika hidup dengan membentuk disposisi pribadi para pemuja yang disesuaikan dengan karakteristik dari masyarakat tersebut. Melalui pengobyekkan terhadap simbol-simbol sakral terdapat kepentingan untuk melanjutkan eksistensi individu dan kolektivitas dalam kelompok keagamaan.16

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa: [1] Ritus merupakan sarana bagi manusia untuk melakukan komunikasi dengan hakekat tertinggi dalam penggunaan simbol-simbol sakral, [2] Ritus mengikat klan-klan menjadi satu, [3] Ritus dalam pelaksanaannya secara kolektif untuk membangun rasa solidaritas pada suatu komunitas.

Ritus dan agama merupakan dua hal yang tak terpisahkan.17 Ritus melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam religi atau sistem kepercayaan. Ritus adalah tingkah laku formal yang diakui sebagai sesuatu yang benar dan menyatakan secara tidak langsung kepercayaan terhadap kekuasaan supranatural. Ritus mempresentasikan tingkah laku tradisional yang mereflesikan kepercayaan secara implisit maupun eksplisit.18

Ritus mempengaruhi, membentuk dan menjaga perilaku manusia dalam masyarakat. Emile Durkheim mengatakan bahwa ritus merupakan aturan tentang perilaku yang

15 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 176. 16 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 174. 17

Catherine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice (New York: Oxford University Press, 1992), 19. 18 Brenda Z. Seligman, Notes and Queries on Anthropology (London: Routledge and Kegan Paul, 1951), 175.

(6)

14

menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral.19 Ritus merupakan salah satu bagian penting dalam tata upacara atau perayaan keagamaan. Ritus selalu dihubungkan dengan gejala-gejala yang mempunyai ciri-ciri mistik. Inilah yang membedakan ritus dari upacara (seremoni). Upacara atau seremoni lebih menekankan relasi horizontal dengan sesama dan mengungkapkan relasi struktur sosial, sedangkan ritus lebih menekankan relasi vertikal.20 Dalam ritus, relasi-relasi yang menghubungkan manusia dengan yang melampaui dirinya terbuka dan bisa dijembatani. Artinya, ritus berusaha untuk menghadirkan dan mengungkapkan pengalaman mistik kepada orang-orang yang menjalaninya.

Di dalam konteks demikian, khususnya dalam masyarakat tradisional ritus senantiasa dihubungkan dengan mitos-mitos. Evan Pritchard menjelaskan bahwa (rites, it is true, were connected to myths, but myths do not explain rites) ritual berhubungan dengan mitos, meskipun demikian mitos tidak menjelaskan ritual. Karena memiliki hubungan dengan mitos maka ritus berusaha untuk mengungkapkan mitos-mitos itu melalui tindakan. Simbol-simbol yang dipakai di dalam ritus karenanya dipilih sedemikian rupa sehingga memiliki arti tertentu yang menjelaskan mitos tersebut.21

Pada sisi lain, ritus dalam masyarakat tradisional bertujuan untuk menguatkan rasa kebersamaan anggota (sub) klan. Di dalamnya perasaan solidaritas kelompok diafirmasikan dan ditingkatkan, menjauhkan individu-individu dari kehidupan profan dan mengangkat mereka kepada suatu suasana di mana mereka merasakan ada kontak dengan kekuatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, ritus memiliki fungsi sosial untuk mempersatukan seluruh anggota (sub) klan.22

19 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York: Pree Press, 1995. terj. Inyak Ridwan Muzir, Sejarah Agama, Ircsod, Yogyakarta, 2003), 172.

20

Dhavamony, Fenomenologi Agama, 175.

21 E.E. Evans Pritchard, Theories of Primitive Religion (Oxford: Claredon Press, 1972), 53. 22 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka, 1959), 134.

(7)

15

2.2.1. Fungsi Ritus

Ritus memiliki banyak fungsi, baik pada tingkat individu maupun kelompok dan masyarakat. Ritus dapat berguna sebagai sarana untuk menyalurkan dan mengekpresikan emosi, menuntun dan menguatkan bentuk-bentuk perilaku, memberi dukungan dan mengembangkan status quo, dan membawa perubahan juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam penyembahan. Ritus-ritus dapat digunakan untuk memelihara kesuburan tanah dan untuk menjamin hubungan yang benar dengan dunia yang tak terlihat roh-roh leluhur atau kekuatan-kekuatan supranatural lainnya.23

Ritus juga berfungsi mempersatukan komunitas atau klen-klen yang memiliki kepercayaan yang sama. Ritus juga berfungsi menghilangkan ketegangan-ketegangan psikologis dan menyeimbangkan kembali pola-pola yang telah terganggu.Oleh karenanya, pelaksanaan ritus dan upacara hingga saat ini masih ditemukan dalam berbagai agama suku, karena ritus merupakan perwujudan dari kepercayaan suatu masyarakat kepada sesuatu yang dianggap transenden.24

Fungsi dari ritus adalah menjadi sarana pengungkapan emosi terutama ritus-ritus yang berhubungan dengan saat-saat krisis seperti kematian, penderitaan dan bencana. Ia menjadi sarana untuk menenangkan hati mereka yang mengalaminya.

Ritual can clearly express powerful and primitive emotions of fear and conflict; and they exemplify a commonly felt need to make propitiation and seek escape from bondage to the fears and disasters of human life.25

Seringkali saat-saat krisis hal ini mengungkapkan ketidakberdayaan manusiawi di hadapan yang ilahi. Sebab itu, ritus berfungsi untuk memohon kepada yang ilahi untuk menghentikan atau menjauhkan krisis tersebut. Jadi, ritus memiliki peranan yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ia mengarahkan manusia untuk mampu melihat

23 Fiona Bowie, The Anthropology of Religion: An Introduction, Third Edition (Oxford: Blackwell Publisher, 2002), 151.

24

Robert B. Taylor, Cultural Ways: A Compact Introduction to Cultural Anthropology (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1971), 114-117.

(8)

16

dirinya dalam konteks yang lebih luas dan menyadarkan ketidakberdayaannya di tengah dunia. Ritus mampu mempersatukan semua manusia dan mengarahkan klan manusia menuju kepada hal-hal yang sakral, yang kudus, dan yang ilahi. 26

2.3. Pemahaman tentang Kurban

Manusia religius yakin, bahwa kehidupan di alam semesta tak dapat berlangsung tanpa dipelihara dan dirangsang oleh ritus yang menjamin keserasian dengan kekuatan ilahi. Baik kejadian sangat penting dalam hidup (kelahiran, perkawinan, kematian) maupun aktivitas kerja rutin (berburu dan bertani) memperoleh kemanjuran dan kekuatan ritus yang mengiringinya. Di antara berbagai ritus yang dilaksanakan, upacara kurban menempati posisi utama, karena dengannya manusia mengadakan persembahan diri kepada dewa lewat suatu pemberian. Hubungan manusia dengan dewa ditetapkan lewat keikutsertaan dalam persembahan yang disucikan. Upacara kurban lalu menjadi ritus religius penting, yang pada banyak suku kurban darah merupakan tindakan religius inti.

Jeffrey Carter dalam buku Understanding Religious Sacrifice, memaparkan banyak hal mengenai pengorbanan yang dilakukan sebagai elemen terpenting dari sebuah kepercayan.27 Pengorbanan berasal dari kata dasar korban yang menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti: (1) sebuah pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, (2) orang, binatang yang menderita akibat suatu kejadian atau peristiwa; (3) binatang yang disembelih untuk dipersembahkan sebagai wujud mendekatkan diri pada Tuhan.28 Jadi pengorbanan merupakan sebuah proses, cara atau tindakan memberikan korban. Ada lima teori yang diajukan untuk memahami makna kurban yaitu, the gift theory, the sacramental communion theory, the homage theory, the symbol theory, dan the piacular theory.

26 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 103-104. 27

Jeffrey Carter, Understanding Religious Sacrifice A Reader (London & New York: Continuum, 2003), 189.

(9)

17

2.3.1. (The gift theory) Teori Pemberian

Kurban dipandang sebagai hadiah-hadiah atau pemberian kepada dewa untuk memelihara hubungan yang baik dan mendapat perlindungan. Motif serupa juga melatarbelakangi banyak praktik kurban dalam pengalaman keagamaan masyarakat Indonesia.29 Teori ini tidak cukup memberi jawaban terhadap pertanyaan mengapa persembahan haruslah berupa kurban binatang berdarah.

Di dalam teori pemberian, upacara kurban digambarkan sebagai persembahan ritual berupa makanan dan minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi makhluk supernatural. Secara ritual, dia merupakan suatu bentuk pertukaran antara manusia dengan makhluk adikodrati. Manusia pengurban memberikan barangnya dan penerima ilahi bereaksi dalam bentuknya yang sederhana, dewa diberi suatu hadiah baik sebagai ucapan syukur maupun sebagai balas jasa atas sesuatu hal. Persembahan itu berupa buah pertama, hasil ternak atau hasil buruan, sebelum seseorang mengambil keuntungan bagi dirinya. Bagian tertentu dari kurban diberi untuk dewa dan sisanya dimakan bersama oleh para peserta.30

Segi persembahan dari kurban itu penting sebagai kewajiban dari tingkah laku sosial. Persembahan dilakukan dengan pengharapan yang jelas, bahwa ganjaran akan diberikan lewat suatu cara. Oleh karena itu persembahan dalam upacara kurban meliputi suatu

perjanjian do ut des (saya memberi supaya engkaupun memberi). Gerardus Van der Leeuw,

menjelaskan tentang hakekat dari suatu pemberian, bahwa memberikan sesuatu kepada seseorang adalah memberikan bagian dari dirinya sendiri, demikian pula, menerima sesuatu dari seseorang berarti mengambil alih (menerima) sesuatu dari esensi dirinya sendiri. Orang

29

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri, Tetapi Pantang Berdiam Diri, Suatu Upaya Berdogmatika Kontekstual di Indonesia ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 296.

(10)

18

yang memberi dan orang yang menerima saling bertalian satu sama lain, karena hakekatnya sama-sama memberikan.31

2.3.2. (The sacrmental-communion theory) Teori Sakramen Persekutuan

Latar belakang teori ini adalah pemujaan terhadap totem. Komunitas ibadah bertemu pada saat menyembelih binatang totem untuk dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka dengan ilahi sembahan mereka, sekaligus menerima khasiat ilahi dari totem itu. Freud melihat sakramen perjamuan kudus dalam gereja sebagai yang bertolak dari paham ini, padahal gagasan ini sama sekali tidak dikenal dalam ibadah Israel maupun dalam perayaan sakramen Kristen.32

2.3.3. (The homage theory) Teori Penghormatan

Kurban sejatinya adalah ungkapan penghormatan dan ketergantungan. Manusia mendekatkan diri kepada Allah bukan karena perasaan bersalah, melainkan karena merasa bergantung pada dan menunjukkan hormat kepada Allah. Walaupun paham ini mendekati pemahaman Kristen, ia tidak dapat menjelaskan mengapa kurban haruslah dalam wujud berdarah.33

2.3.4. (The symbol theory) Teori Simbol

Pada konteks ini kurban dipahami sebagai simbol pemulihan relasi dengan Allah yang telah terusik. Kehadiran darah binatang kurban merupakan simbol kehidupan yang memulihkan kembali relasi tersebut. Banyak praktik kurban dalam agama suku di Indonesia juga memperlihatkan kesejajaran dengan paham ini. Sayangnya, praktik kurban Abraham dan Nuh memperlemah teori ini karena alasan tadi tidak kena-mengena dengan ibadah kurban mereka.34

31 G. Van der Leeuw, “Religion in Essence and Manifestation” Vol.1, No.3 (New York: Harper & Row Publisher, 1963).

32

Nuban Timo, Allah Menahan Diri, 296. 33 Nuban Timo, Allah Menahan Diri, 296. 34 Nuban Timo, Allah Menahan Diri, 297.

(11)

19

Upacara kurban adalah usaha untuk membangun komunikasi antara dewa dan manusia melalui kurban yang sudah disucikan. Menurut mereka, upacara kurban adalah tindakan religius, yang mengubah keadaan moral para pelakunya ataupun keadaan benda-benda tertentu yang dimaksudkan. Setiap upacara kurban selalu mengimplikasikan suatu penyucian, karena dengan itulah sesuatu benda berubah dari status profan ke status suci, tindakan dan hadiah berpindah dari wilayah umum menuju wilayah religius.

2.3.5. (The piacular theory) Teori Penebusan

Teori Piacular, ritus kurban dipahami sebagai sebuah akta penebusan. Binatang kurban yang disembelihkan berperan sebagai penebusan yang menggantikan atau menutupi dosa dari pemberi kurban. Elemen pemaknaan lain yang terkandung dalam teori-teori sebelumnya memang ada, tetapi utamanya kurban dilihat dalam arti penebusan. Pemaknaan ini mengakomodir semua praktik kurban, baik yang ditemukan dalam ibadah Israel maupun ibadah di berbagai agama lainnya.35

Evan Pritchard, membedakan antara upacara untuk mensakralkan peristiwa-peristiwa sosial secara religius, dan upacara untuk memisahkan kejahatan seseorang kepada binatang kurban sebagai perwakilan dirinya. Menurutnya, dalam teori pemberian terjadi suatu proses pertukaran. Sesuatu diberikan kepada Tuhan, dan Tuhan akan memberikan imbalan atau tukarannya. Tujuan utamnya adalah memberikan sesuatu yang berharga kepada Tuhan, walaupun Tuhan sendiri tidak akan mengambil apa yang sudah menjadi milikNya. Oleh karena itu yang terpenting ialah bahwa manusia, baik dalam keadaan taat maupun berdosa, pasti pernah melakukan kesalahan, suatu pengingkaran terhadap hati nurani, sehingga manusia mengekspresikan keinginan untuk menghapus, menebus dan membersihkan dosa-dosanya. Hal ini tidak saja untuk meredakan kemarahan Tuhan, melainkan usaha manusia untuk memisahkan kejahatan dalam diri seseorang kepada hewan kurban sebagai

(12)

20

“perwakilan” dirinya. Dengan kematian binatang itu, kejahatan dihilangkan dan mengalir bersama darahnya saat disembelihkan.36

Dari kelima teori di atas, dua hal akan membingkai kajian-kajian berikut, yaitu: pertama, kelima teori tersebut telah bertolak dari asumsi, bahwa dalam memberi, sesuatu benda tidak hanya dilepaskan, melainkan mempunyai hubungan dengan pemiliknya dalam arti suatu partisipasi tertentu.37 Ketika sutau benda diberikan, pemilik baru mendapat bagian kekuatan dari pemilik sebelumnya lewat pertukaran. Benda, sebagai media pertukaran, itu menciptakan suatu hubungan mistis antara pemberi dan penerima, serta penerima termasuk dalam pengaruh kekuatan pemberi. Hadiah lalu menciptakan suatu ikatan, dan membuat kekuatan mengalir secara timbal balik untuk menghubungkan pemberi dan penerima. Kedua, bahwa darah menyatakan hadiah sangat berharga yang dapat dipersembahkan kepada dewa. Dalam arti sepenuhnya, darah melambangkan kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada satu pihak, kurban darah menciptakan suatu ikatan baru di antara para peserta upacara, di lain pihak, kurban darah untuk para dewa diyakini menghidupkan lagi obyek untuk siapa persembahan itu dilakukan.38

Selain itu Evan Pritchard juga memaparkan beberapa tahap dalam melakukan ritual tahap pertama, presentasi adalah tahap menyiapkan kurban persembahan. Tahap kedua, tahap menguduskan kurban sembelihan dengan cara mengusapkan debu pada belakang kurban ini bertujuan untuk membangun hubungan antara manusia dan hewan. Tahap ketiga, menyampaikan doa, hal ini bertujuan untuk menyampaikan apa yang menjadi tujuan persembahan. Tahap keempat, tahap membunuh kurban hal ini menunjukkan bahwa leluhur

36

Pritchard, Theories of Primitive, 59. 37 Leeuw, Religion in Essence.

(13)

21

telah mengambil kehidupan dari si kurban dan manusia mengambil dagingnya untuk di makan.39

2.4. Resistensi (Perlawanan)

Resistensi atau perlawanan menjadi sesuatu yang menarik bagi para ilmuwan sosial. Di akhir tahun1980-an, resistensi menjadi trend topic dalam menelaah kasus-kasus yang mudah diamati serta bersifat empiris. Bagi para peneliti sosial, resistensi dianggap berciri kultural, sebab ia muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan perilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan sosial. Lebih lanjut Abu Lughod menganjurkan resistensi perlu untuk dipandang sebagai sebuah strategi untuk menganalisa kuasa (resistance as diagnostic of power). Hal tersebut ia dapat setelah terinspirasi dari tulisan Foucault, sesungguhnya dimana ada kekuasaan di situ terdapat resistensi (where there is power, there is resistance).40

Di kalangan ilmuwan sosial, resistensi terkadang dimaksudkan dalam paradigma konflik, padahal keduanya memiliki bentuk yang berbeda. Lazimnya resistensi menjadi titik tengah dari dinamika teori konflik Marxian dan teori konflik Non-Marxian. Jika konflik masih berkutat pada frame teoritis dalam melihat realitas, maka resistensi menekankan pada aspek empiris serta melakukan dialog secara kreatif terhadap realitas sosial.41 Inilah yang kemudian menjadi titik tengah atau jalan keluar dari kecenderungan teori konflik yang lebih melihat persoalan dari atas sehingga sarat dengan adanya generalisasi. Berdasarkan hal tersebut maka penekanan pada resistensi semacam ini lebih menekankan pada aspek

39 Carter, Understanding Religious, 191. 40

Lila Abu-Lughod, The Romance of Resistance: Tracing Transformation of Power Through Bedouin Women (Princeton University, 1990), 53.

(14)

22

manusia.42 Hal ini kemudian selaras dengan lahirnya studi etnografi baru (new etnography) yang telah mengalami pergeseran terutama terhadap cara memandang manusia yaitu dari obyek ke subyek.43 Antropolog Clifford Geertz sendiri mengatakan bahwa antropolog tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya yang tidak melulu pemikiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata.44 Hal ini terlihat dari bagaimana ia melakukan metode etnografi dalam melakukan studi atas Islam di Mojokuto, Geertz melakukan partisipasi lapangan dalam kehidupan bermasyarakat di Jawa, ikut merasa sehingga dapat menggambarkan bagaimana sistem sosial yang hadir dalam keseharian masyarakat.

Sejarah resistensi memang bermula pada khazanah antropologi karena memang gagasan tersebut berada pada posisi di tengah-tengah antara pemikiran Marxisme dalam antropologi dan pemikiran antropologi simbolik yang lebih berorientasi pada kebudayaan atau yang memiliki sensitivitas budaya. Dalam keilmuwan sosiologi hal ini sepertinya bermula ketika terjadi kritik internal oleh Mazhab Frankfurt Jerman, sosiologi dikritik karena saintisme-nya, karena menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan itu sendiri, selain itu sosiologi juga dituduh melanggengkan status quo sehingga keilmuan ini tidak mampu menyumbangkan hal-hal bermakna bagi perubahan politik yang dapat melahirkan masyarakat yang adil dan manusiawi. Resistensi bermaksud melakukan rekonsiliasi dari dua kutub pemikiran antropologi. Jika jalan dengan ini diterima, maka isu materi yang ada pada kajian Marx bisa tercermin dalam kajian antropologi yang menganalisis berbagai peristiwa lokalitas.45

42 Abu-Lughod, The Romance of Resistance, 57-58.

43 Scott, Senjatanya Orang-orang yang kalah, Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari kaum tani. terj. A. Rahman Zaenuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), 18.

44

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Group, 1973), viii.

45 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai

(15)

23

2.4.1. Bentuk Resistensi

James Scott dalam bukunya Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance tentang resistensi petani di Malaysia, Scott menjelaskan selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang dipakai oleh petani. Terlebih pada bentuk perlawanan di antara kelompok sosial dalam civil society.46 Berbeda dengan studinya yang sebelumnya yang mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkah laku masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan Scott membuat tiga level perbedaan atas resistensi:

a. Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada petani namun hal tersebut jauh dari kerangka sosial yang diharapkan oleh para petani.

b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma dalam kehidupan masyarakat sekitar.

c. Dan yang terakhir, terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari masing-masing individu.47

Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka, dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan negara dan agen perusahaan ekonomi. Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu teknik rendah diri (low-profile techiques). Sebagian bersembunyi dan menghindar, mengidentifikasikan diri dengan menyeret kaki mereka (foot-dragging evasions) dan pasif, daripada penolakan terbuka atau perlawaman terbuka (open rejection or struggle). Meskipun menurut Scott bentuk-bentuk

46 Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven and London: Yale University Press, 1985), 185

47 John Martinussen, Society, State and Market: A guide to competing theories of development (London & New York: Zed Book Ltd, 1999), 316.

(16)

24

perlawanan tersebut kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin tergabung kedalam pola produksi kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.48

Lebih lanjut, resistensi dalam studi yang dilakukan James Scott berfokus pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum minoritas lemah. Mereka yang tidak punya kekuatan dalam melakukan penolakan terbuka ternyata mempunyai cara lain dalam menghindari intervensi dari negara dan perusahaan. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk resistensi yaitu:

a. Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis) yaitu gossip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa.

b. Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demonstrasi)

c. Resistensi terbuka, merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi, sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi adalah cara-cara kekerasan (Violent) seperti pemberontakan.49

Perlawanan sehari-hari dan bentuknya merupakan gejala yang terjadi di sekitar kita, yang kadang sering terlupa bahwa perlawanan atau penolakan akan suatu hal tidak harus terbuka, karena memang secara tidak sadar manusia melakukan perlawanan secara diam-diam (tak terbuka).50

Di dalam sejarah peradaban manusia, bentuk-bentuk perlawanan merupakan hal yang umum dan dapat ditemukan dalam setiap babak sejarah. Resistensi sendiri merupakan sebuah fenomena yang merujuk kepada situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan dalam

48

Martinussen, Society, State and Market, 317.

49 Scott, Perlawanan Kaum Tani (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), 54-55. 50 Scott, Perlawanan Kaum Tani, 318.

(17)

25

struktur sosial masyarakat kemudian melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya. Globalisasi sendiri dinilai sebagai sebuah proses yang telah banyak mengubah berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Kaitannya antara globalisasi dan resistensi terjadi apabila globalisasi mentransformasikan aspek-aspek kehidupan masyarakat, maka resistensi sebagai sebuah fenomena yang kemunculannya terikat dengan situasi dalam masyarakat yang juga terpengaruh oleh globalisasi.51

Menurut Michael Hardt dan A. Negri dalam bukunya yang berjudul War and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa resistensi memiliki bentuk yang berbeda-beda di sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar karena adanya perubahan di dalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentuk resistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentuk organisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi muncul dari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksi membentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melalui kelas-kelas sosial di dalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat perekonomiannya, hal ini secara implisit menjelaskan posisinya dalam struktur organisasi produksi di masyarakat.52

Resistensi juga memiliki konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada dasarnya hal tersebut ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya. Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi

51

Scott, Perlawanan Kaum Tani, 325.

52 Michael Hardt and Antonio Negri, War and Democracy in the Age of Empire (New York: Penguin Press, 2004), 4.

(18)

26

pengetahuan atau kekuasaan.53 Menurut Scott definisi resistensi adalah setiap semua tindakan para anggota kelas masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.54

Bentuk resistensi sangat beragam dan dapat dilihat adalah suatu bentuk ketidakpatuhan, penolakan terhadap kondisi yang mereka tidak sukai. Berbagai upaya mereka lakukan untuk tetap bertahan dan mencari penghidupan yang layak. Resistensi yang mereka lakukan bermacam-macam, resistensi secara terbuka atau terang-terangan; resistensi secara terselubung atau secara diam-diam dan tersembunyi; dan secara negosiasi. Bentuk resistensi secara diam-diam atau terselubung dari eksploitasi adalah lebih umum daripada melawan secara terang-terangan.55

Resistensi rakyat menurut Scott dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi. Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil yang lebih besar dibandingkan resistensi yang dilakukan secara terang-terangan.56

Berdasarkan segala bentuk resistensi di sepanjang sejarah, perlu digaris-bawahi bahwa pada dasarnya resistensi muncul sebagai usaha untuk mencapai demokrasi yang secara nyata memberikan kebebasan dan kesetaraan. Keberagaman yang ada dalam pihak-pihak

53 Alisjahbana, Sisi Gelap Perkembangan Kota, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2005), 38-39. 54

Scott, Domination and the Arts, ix. 55 Scott, Domination and the Arts, 38-39. 56 Scott, Perlawanan Kaum Tani, 322.

(19)

27

yang turut serta dalam protes WTO di Seatte, Amerika Serikat tahun 1990 menjelaskan bahwa seluruh kelompok ini memiliki tujuan yang sama yaitu demokrasi beserta kebebasan dan kesetaraan. Hal ini mengindikasikan bahwa perjuangan ideologi di dalam globalisasi masih relevan karena keseluruhan kelompok resistensi ini memperjuangkan ideologi liberalisme yang mempromosikan demokrasi, kebebasan dan kesetaraan. Globalisasi dengan

fitur networks-nya, menyediakan jaringan resistensi yang luas dan tak terbatas dan dengan demikian tidak membuat usang kesempatan untuk melakukan revolusi bagi kaum resistensi namun justru semakin memberikan kesempatan baru bagi kelompok-kelompok resistensi untuk melakukan revolusi untuk mewujukan demokrasi secara murni. Bahwa struktur jaringan terdistribusi menyediakan model untuk organisasi demokratis mutlak dan juga senjata yang paling ampuh melawan struktur kekuasaan yang berkuasa.57

Bentuk resistensi dalam globalisasi yang sangat terdistribusi dan berbasiskan pada networks dan tidak memiliki suatu center menjadikan kelompok-kelompok resistensi dengan mudah terhubung antara satu sama lain. Prospek solidaritas dalam globalisasi dengan demikian menjadi sangat tinggi antara satu sama lain selama setiap kelompok masih berada dalam basis yang sama yaitu untuk demokrasi, kebebasan dan kesetaraan sehingga tidak menghancurkan otonomi kelompok tertentu dan melarang perbedaan yang ada.58

Kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan Weber merupakan kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain walaupun ada penolakan melalui perlawanan. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai gerakan sosial atau sosial movement, yang akan mengakibatkan terjadinya

57 Hardt and Negri, War and Democracy,12. 58 Hardt and Negri, War and Democracy,13-14.

(20)

28

perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.59

Terkait dengan itu, Scott mendefinisikan perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau kelompok superdinat terhadap mereka. Scott membagi perlawanan tersebut menjadi dua bagian, yaitu: perlawanan publik atau terbuka (public transcript) dan perlawanan tersembunyi atau tertutup (hidden transcript).60

Kedua kategori tersebut, oleh Scott, dibedakan atas artikulasi perlawanan; bentuk, karekteristik, wilayah sosial dan budaya. Perlawanan terbuka dikarakteristikan oleh adanya interaksi terbuka antara kelas-kelas subordinat dengan kelas-kelas superordinat. Sementara perlawanan sembunyi-sembunyi dikarakteristikan oleh adanya interaksi tertutup, tidak langsung antara kelas-kelas subordinat dengan kelas-kelas superordinat. Untuk melihat pembedaan yang lebih jelas dari dua bentuk perlawanan di atas, Scott mencirikan perlawanan terbuka sebagai perlawanan yang bersifat: Pertama, organik, sistematik dan kooperatif. Kedua, berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri. Ketiga, berkonsekuensi revolusioner, dan atau Keempat, mencakup gagasan atau maksud meniadakan basis dominasi.61 Dengan demikian, aksi demonstrasi atau protes yang diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa, mogok makan dan lain-lain merupakan konsekuensi logis dari perlawanan terbuka terhadap pihak superordinat.62

Menurut Fakih, gerakan sosial diakui sebagai gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial yang ada. Karena memiliki orientasi pada

59

Sidney Tarrow, Power In Movement, Social Movement, Collective Action and Politics, Ed. 2 (New York, Ithaca: Cornell University Press, 1994), 78.

60

Scott, Moral Ekonomi PetaniPergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1981), 69.

61 Scott, Moral Ekonomi Petani, 70-71. 62 Tarrow, Power In Movement, 37.

(21)

29

perubahan, yang dianggap lebih mempunyai kesamaan tujuan, dan bukan kesamaan analisis. Mereka tidak bekerja menurut prosedur baku, melainkan menerapkan struktur yang cair dan operasionalnya lebih diatur oleh standar yang muncul saat itu untuk mencapai tujuan jangka panjang. Mereka juga tidak memiliki kepemimpinan formal, seorang aktivis gerakan sosial tampil menjadi pemimpin gerakan karena keberhasilannya mempengaruhi massa dengan kepiawaiannya dalam memahami dan menjelaskan tujuan dari gerakan serta memiliki rencana yang paling efektif dalam mencapainya.63

Soekanto dan Broto Susilo memberikan empat ciri gerakan sosial, yaitu: Pertama, tujuannya bukan untuk mendapatkan persamaan kekuasaan, akan tetapi mengganti kekuasaan. Kedua, adanya penggantian basis legitimasi, Ketiga, perubahan sosial yang terjadi bersifat masif dan pervasive sehingga mempengaruhi seluruh masyarakat, dan Keempat, koersi dan kekerasan biasa dipergunakan untuk menghancurkan rezim lama dan mempertahankan pemerintahan yang baru. J. Smelser menyatakan, bahwa gerakan sosial ditentukan oleh lima faktor. Pertama, daya dukung struktural (structural condusiveness) di mana suatu perlawanan akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan (seperti lingkungan kampus, buruh, petani, dan sebagainya). Kedua, adanya tekanan-tekanan struktural (structural strain) akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan.64

Ketiga, menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas untuk membangun perasaan kebersamaan dan juga dapat menimbulkan kegelisahan kolektif akan situasi yang dapat menguntungkan tersebut. Keempat, faktor yang dapat memancing tindakan massa karena emosi yang tidak terkendali, seperti adanya rumor atau isu-isu yang bisa

63 Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi Tentang Idiologi, Isu, Strategi, dan Dampak

Gerakan (Yogyakarta: Insist Press, 2002), 25.

64 Riza Sihbudi dan Moch Nurhasim, Kerusuhan Sosial di Indonesia, Studi Kasus Kupang, Mataram

(22)

30

membangkitkan kesadaran kolektif untuk melakukan perlawanan. Kelima, upaya mobilisasi orang- orang untuk melakukan tindakan tindakan yang telah direncanakan.65

Sedangkan perlawanan sembunyi-sembunyi dapat dicirikan sebagai perlawanan yang bersifat: Pertama, tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual, Kedua, Bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri, Ketiga, tidak berkonsekuensi revolusioner, dan; atau Keempat, lebih akomodatif terhadap sistem dominasi. Oleh karena itu, gejala- gejala kejahatan seperti: pencurian kecil- kecilan, hujatan, makian, bahkan pura- pura patuh (tetapi dibelakang membangkang) merupakan perwujudan dari perlawanan sembunyi sembunyi. Perlawanan jenis ini bukannya bermaksud atau mengubah sebuah sistem dominasi, melainkan lebih terarah pada upaya untuk tetap hidup dalam sistem tersebut sekarang, minggu ini, musim ini. Percobaan- percobaan untuk menyedot dengan tekun dapat memukul balik, mendapat keringanan marjinal dalam eksploitasi, dapat menghasilkan negosiasi-negosiasi tentang batas-batas pembagian, yang dapat mengubah perkembangan, dan dalam peristiwa tertentu dapat menjatuhkan sistem. Tetapi, semua itu hanya merupakan akibat-akibat yang mungkin terjadi, sebaliknya, tujuan mereka hampir selalu untuk kesempatan hidup dan ketekunan.66

Meskipun demikian, kebanyakan dari tindakan ini (oleh kelas-kelas lainnya) akan dilihat sebagai keganasan, penipuan, kelalaian, pencurian, kecongkakan singkat kata semua bentuk tindakan yang dipikirkan untuk mencemarkan orang-orang yang mengadakan perlawanan. Perlawanan ini dilakukan untuk mempertahankan diri dan rumah tangga. Dapat bertahan hidup sebagai produsen komoditi kecil atau pekerja, mungkin dapat memaksa beberapa orang dari kelompok ini menyelamatkan diri dan mengorbankan anggota lainnya.67

Scott menambahkan, bahwa perlawanan jenis ini (sembunyi-sembunyi) tidak begitu dramatis, namun terdapat di mana-mana, melawan efek-efek pembangunan kapitalis asuhan

65

Sihbudi, Kerusuhan Sosial di Indonesia, 48-49. 66 Scott, Moral Ekonomi Petani, 60-61.

(23)

31

negara. Perlawanan ini bersifat perorangan dan seringkali anonim. Terpencar dalam komunitas-komunitas kecil dan pada umumnya tanpa sarana-sarana kelembagaan untuk bertindak kolektif, menggunakan sarana perlawanan yang bersifat lokal dan sedikit memerlukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah konsep koordinasi yang dipahami selama ini, yang berasal dari rakitan formal dan birokratis. Namun merupakan suatu koordinasi dengan aksi-aksi yang dilakukan dalam komunitas dengan jaringan- jaringan informasi yang padat dan sub kultur-sub kultur perlawanan yang kaya.68

Nicholas Dirks memberikan penjelasan yang berbeda mengenai ritual perlawanan. Penolakan dan perlawanan yang terjadi dalam ritual merupakan lambang atau bentuk aksi perlawanan terhadap hegemoni lembaga penguasa termasuk kepada hegemoni kolonial di mana masyarakat menolak adanya dominasi dalam pelaksanaan ritual yang mungkin saja dapat memberi keuntungan bagi pihak-pihak penguasa dan memberi kerugian bagi masyarakat biasa.69

Ritual perlawanan merupakan bagian utama konstruksi budaya dan budaya secara fundamental berbicara tentang makna hidup bersama dan nilai-nilai sosial di dalamnya. Selain itu ritual sebagai sebuah perayaan juga dapat dimengerti sebagai ruang kontestasi dan perlawanan antar kelas sosial untuk saling merebut kekuataan politik. Terkait ide tentang ketertiban atau keteraturan, maka ritual dapat dimengerti sebagai suatu alat (ideologis) yang digunakan untuk sedapat mungkin menekan subversi atau perlawanan terhadap penguasa. Ironisnya, umumnya peneliti yang menganut ide-ide mengenai diskursus tentang dominasi merujuk pada Foucault atau pun hegemoni seperti pengertian Gramsci seperti yang dikutip dalam Dirks seolah memberikan pengertian bahwa ketertiban sudah selalu antipati terhadap

68 Scott, Perlawanan Kaum Tani, 27. 69 Dirks, Ritual And Resistance, 3.

(24)

32

kritik. Dalam hal ini kekuasaan dianggap bersinonim dengan ketertiban atau keteraturan sosial.70

Ritual dalam kaitannya dengan ketertiban sosial bukan hanya persoalan mencapai ketertiban saja tetapi sekaligus merupakan konsepsi sosial dari masyarakat tentang hal-hal apa saja yang sepantasnya mereka sadari dan hidupi. Melalui ritual ketertiban sosial diandaikan terjadi sebab masyarakat membagikan rasa solidaritasnya sehingga struktur masyarakat yang telah terbentuk sebelumnya makin mendapatkan penguatan. Maka dari itu hal yang perlu diperhatikan ialah pengalaman kehidupan keseharian yang berkaitan dengan ritual tentu saja dapat meningkatkan resistensi.71

Penolakan dan perlawanan terjadi dalam ritual dan hal ini sebenarnya melambangkan perlawanan terhadap hegemoni lembaga penguasa termasuk kepada hegemoni kolonial. Menurut Dirks, ide tentang kepemilikan adalah aspek lain dalam praktek ritual yang sudah selalu subversif. Perlawanan ini hanya dapat terjadi apabila di dalamnya terkandung politik representasi. Jika peran ini melekat dalam ritual maka tentu perayaannya akan mendapatkan dukungan sebagai tindakan yang menjadi simbol dari kebutuhan tertentu. Merujuk pada Turner maka drama dalam ritual bisa dianalisis sebagai representasi dari kenyataan kekuasaan yang ingin dibicarakan melalui tindakan aktor dan segala tindakan gaib dalam ritual.72

Apa yang Dirks saksikan pada ritual di India ialah sangat berbeda dari apa yang telah diterima sebagai pementasan ritual di Barat. Dalam ritual ini simbolisasi perlawanan melalui setiap tindakan dalam ritus secara unik sulit dimengerti oleh mereka yang menjadi oposisi. Bahkan mereka tidak dapat menangkap apa kekuatan yang sangat luar biasa yang disebar

70

Dirks, Ritual And Resistance, 11. 71 Dirks, Ritual And Resistance, 15. 72 Dirks, Ritual And Resistance, 16.

(25)

33

melalui pengalaman ritual ini. Ritual menunjukan nilai atau ide yang urgen dalam ketidakpastian perform dalam drama yang membuat metafora teater terlalu dramatis dan mungkin sangat sakral. Salah satu implikasi tak terhindarkan dari ritual ini ialah kita tidak mengetahui dengan begitu saja secara otentik lembaga atau kekuasaan mana yang beresiko menerima perlawanan. Sebab pengertian terhadap makna simbol dalam ritual hanya dimengerti oleh mereka yang merasakan resistensi itu. Sekali lagi dengan demikian, sesungguhnya partisipasi dalam ritual ini sangat dipolitisasi.73

Memang, bahkan peran sebagai penguasa dalam ritual sehingga ritual itu rentan dipolitisasi, ingat fungsi sebagai penghubung pada dewa yang membuat pemimpin ritual seolah merupakan dewa itu sendiri. Namun hal itu menarik bahwa kontestasi dan komponen berbahaya dari drama ritual tidak hanya mengajak penonton ritual untuk hanya melihat ritual itu, tetapi sekaligus mengajar mereka bersaing satu sama lain untuk berpartisipasi lebih aktif untuk merayakan, untuk mengontrol, dan menafsirkan makna ritual.74

73 Dirks, Ritual And Resistance, 19. 74 Dirks, Ritual And Resistance, 22.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan pelayanan jasa Notaris terhadap orang tidak mampu tidak sesuai harapan seperti yang tercantum dalam Undang- undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004

kandungan N-total rendah, begitu juga dengan tersedia P, walaupun ketersediaannya sangat tinggi namun P terbanyak dijerap oleh ion logam di dalam tanah seperti

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang penanganan diare dengan kejadian diare pada balita di kelurahan Korong Gadang

usaha baru berskala mikro, kecil dan menengah tersebut, akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dan dengan adanya lapangan pekerjaan baru ini, secara tidak sadar

Pengujian aplikasi dalam penelitian ini dilaksanakan oleh pihak user maupun pengguna yaitu (1)Pengembang adalah pembuat aplikasi dan peneliti dalam perancangan

Pengambilan kedua prasasti tersebut sebagai data pembanding karena memiliki kriteria tertentu, yaitu (1) dikeluarkan pada tahun sebelum prasasti Pandān dikeluarkan (964 Śaka); (2)

Bermani Ulu Raya, Perda No.5/2005 Bangun Jaya Menjadi wil.. Bermani Ulu Raya, Perda No.5/2005 Babakan Baru

Film jenis ini tidak memerlukan perlakuan pencucian film, film ini juga memiliki resolusi yang tinggi dan dapat digunakan untuk dosimetri pada energi tinggi..