• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MOTIVASI, KEMAMPUAN, DAN KESEMPATAN YANG MEMBENTUK PERILAKU PEMBELIAN PRODUK ORGANIK: SEBUAH STUDI LONGITUDINAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS MOTIVASI, KEMAMPUAN, DAN KESEMPATAN YANG MEMBENTUK PERILAKU PEMBELIAN PRODUK ORGANIK: SEBUAH STUDI LONGITUDINAL"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 Ahmadi

Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat, Indonesia Basu Swastha Dharmmesta

Universitas Gadjah Mada, Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini dirancang untuk meneliti kembali pembentukan motivasi konsumen dalam membeli produk organik, kemampuannya untuk mengadopsi produk, serta kesempatan yang dimiliki konsumen untuk berperilaku didasarkan dari faktor situasional yang dirasakan. Penelitian ini menggunakan pengembangan model yang berasal dari theory of reasoned action dengan dimensi waktu longitudinal, sebab tidak hanya meneliti hingga niat beli saja namun hingga perilaku aktual. Hasil penelitian menggunakan SEM-PLS menunjukan bahwa pada dasarnya konsumen memang memiliki motivasi untuk membeli produk organik, dimana motivasi tersebut lebih didasarkan pada manfaat yang akan diterima secara individu daripada manfaat pelestarian lingkungan. Motivasi tersebut terbentuk dari sikap positif mereka terhadap produk organik ditambah dorongan dari norma subjektif yang dirasakan. Konsumen juga memiliki kemampuan untuk mengadopsi produk baru sebab memiliki pengetahuan yang cukup mengenai produk organik, seperti karakteristik dan manfaat produk organik. Namun, harga produk organik yang masih lebih mahal dari produk konvensional membuat kesempatan untuk membeli produk organik menjadi tertutup. Harga menjadi pengahalang utama yang membuat konsumen enggan untuk beranjak dari produk konvensional. Koefisien determinasi perilaku pembelian dalam model penelitian cukup kecil, sehingga masih butuh penelitian mendalam untuk menjawab kesenjangan antara sikap positif dan perilaku pembelian produk organik.

Kata Kunci: Pemasaran Hijau, Produk Organik, Teori Aksi yang Beralasan, Model Motivasi-Kemampuan-Kesempatan, Partial Least Square.

1. Pendahuluan

Perhatian konsumen mengenai isu kesehatan semakin meningkat. Mereka mulai menyadari bahaya dari penyakit yang mungkin timbul dari pola makanan, sehingga mulai memperhatikan makanan yang lebih bernutrisi dan memberikan manfaat kesehatan (Darian dan Tucci, 2011). Selain itu, isu lingkungan yang dirasa mulai rusak belakangan ini membuat konsumen juga mulai memperhatikan aktifitasnya sehari-hari (Stern dkk., 1999), termasuk dalam memilih produk. Menurut Grunret dan Juhl (1995), 40% dari kerusakan lingkungan berasal dari pola konsumsi yang tidak terkontrol. Kedua isu ini menjadi alasan kuat mengapa produk hijau diperlukan oleh konsumen saat ini (Yadav, 2016), terutama produk makanan organik. Banyak perusahaan mulai membuat produk makanan baru sebagai alternatif yang lebih sehat (Kemp dan Bui, 2011), seperti beras organik, sayur tanpa pestisida, susu rendah lemak, minuman soda rendah lemak, dan sebagainya. Isu pemasaran ini merupakan lingkup dari pemasaran hijau.

(2)

Pemasaran hijau menjadi topik penelitian tersendiri dalam ilmu manajemen pemasaran. Menurut Joshi dan Rahman (2015), penelitian mengenai pemasaran hijau belakangan ini banyak menggunakan theory of reasoned action (TRA) oleh Fishbein dan Ajzen (1975) dan atau theory of planned behavior (TPB) oleh Ajzen (1991). Hasil penelitian banyak menunjukkan bahwa sikap konsumen terhadap produk organik adalah positif dan dapat menjadi pembentuk niat beli, seperti Kalafatis dkk. (1999), Smith dan Paladino (2010), dan Wu dan Chen, (2014). Kedua teori ini memposisikan manusia sebagai mahluk rasional, dimana jika sikapnya terhadap suatu produk adalah positif, maka besar kemungkinan terbentuknya niat beli dan perilaku pembelian.

Namun, bukti empiris menunjukkan keadaan yang berbeda dari yang seharusnya. Menurut Bray dkk. (2011), pangsa pasar produk hijau secara umum hanya sekitar 1-3%, sementara produk organik sendiri, menurut data pertanian organik yang dirilis IFOAM tahun 2015, produk organik hanya memiliki pangsa pasar 1% saja. Kesenjangan antara sikap positif terhadap produk organik dan perilaku pembelian aktual produk organik diistilahkan sebagai “green attitude-behavior gap” (Joshi dan Rahman, 2015).

Terjadinya kesenjangan antara sikap positif dan perilaku pembelian aktual mungkin terjadi karena beberapa alasan. Menurut Joshi dan Rahman (2015), TRA dan TPB memang diterima secara luas sebagai teori yang baik dalam mempelajari perilaku pembelian, namun untuk pemasaran hijau, kedua teori ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, kedua teori ini memposisikan konsumen sebagai mahluk rasional yang mempertimbangkan untung dan rugi dalam berperilaku (Schwartz, 1977). Dalam pemasaran hijau, konsumen mungkin berperilaku kurang rasional, seperti membeli produk organik yang lebih mahal karena didorong oleh kesadaran lingkungan. Kedua, belum semua faktor internal dijelaskan dalam model. Menurut Jhonstone dan Tan (2015), kebiasaan mungkin saja menjadi penghalang perilaku pembelian, walaupun sikap konsumen adalah positif. Ketiga, tidak dijelaskannya secara terperinci faktor situasional yang diraskaan konsumen. Faktor situasional dapat menjadi penyebab utama mengapa sikap positif tidak cukup kuat membentuk perilaku pembelian. Kontrol perilaku yang dirasakan dalam model TPB tidak cukup menjelaskan faktor situasional yang dimaksud (Mainieri dkk., 1997). Pengembangan model penelitian tentu diperlukan untuk menutupi kekurangan yang ada, agar lebih komprehensif mempelajari perilaku pembelian produk organik.

Akademisi pemasaran hijau belakangan ini mencoba mengembangkan model yang dapat menutupi kekurangan tersebut (Joshi dan Rahman, 2015), salah satunya adalah model motivation-ability-opportunity (MAO) yang dikembangkan oleh Ölander dan Thøgersen (1995). Model MAO merupakan pengembangan dari TRA, dimana sikap dan niat beli diposisikan sebagai motivasi konsumen dalam membeli produk. Hubungan antara motivasi dan perilaku pembelian aktual akan dimoderasi oleh komponen kemampuan, yakni faktor internal lain berupa pengetahuan dan kebiasaan, dan komponen kesempatan, yakni faktor eksternal yang diterima dan dirasakan. Model MAO dapat menjadi model yang lebih baik dalam mempelajari perilaku pembelian produk organik (Joshi dan Rahman, 2015).

Metode penelitian yang digunakan juga dapat menjadi alasan mengapa kesenjangan antara sikap dan perilaku pembelian terjadi. Banyak penelitian terdahulu menggunakan time-series sebagai dimensi waktu penelitiannya, dimana ini dirasa kurang tepat sebab konsumen membutuhkan waktu dan evaluasi tambahan untuk membeli produk (Ölander dan Thøgersen, 1995). Konsumen mungkin berhadapan dengan faktor situasional yang mungkin menghalangi terealisasinya niat beli menjadi perilaku pembelian, sehingga mungkin saja niat beli tidak menjadi

(3)

perilaku pembelian. Menggunakan metode longitudinal sebagai dimensi waktu penelitian dapat menghindari penarikan kesimpulan yang berlebihan (overestimate) ini.

Selain alasan-alasan tersebut, penelitian pemasaran hijau di Indonesia juga dianggap perlu dilakukan karena menurut Yadav (2016), penelitian pemasaran hijau di negara berkembang masih sangat terbatas. Survei global yang dilakukan Nielsen (2013) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki perhatian yang besar terhadap produk hijau. Sebanyak 62% responden menyatakan bersedia membayar lebih untuk produk hijau, menjadikan Indonesia berada di peringkat lima negara yang masyarakatnya peduli dengan produk hijau. Dengan demikian, mungkin saja terdapat perbedaan temuan dari penelitian-penelitian terdahulu yang umumnya banyak dilakukan di Eropa dan Amerika.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku pembelian produk organik, mencari tahu motivasi apa yang paling kuat mempengaruhi konsumen untuk membeli, kemampuan yang dimiliki untuk membentuk perilaku pembelian, serta faktor eksternal apa yang dirasakan yang mempengaruhi kesempatan untuk membeli produk organik. Penelitian akan dilakukan menggunakan dimensi waktu longitudinal dengan menggunakan metode analsis SEM-PLS.

2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis 2.1 Teori Motivasi-Kemampuan-Kesempatan

Teori motivation-ability-opportunity (MAO) merupakan teori yang dikembangkan oleh Ölander dan Thøgersen (1995) dengan tujuan menutupi kekurangan teori pendahulunya, yakni theory of reasoned action (Fishbein dan Ajzen, 1975), khususnya pada konteks pemasaran hijau. Teori ini memiliki dasar yang sama dalam memposisikan konsumen, yakni mahluk rasional yang mengutamakan manfaat atau keuntungan sebagai dorongan untuk berperilaku (Ölander dan Thøgersen, 1995). Perilaku pembelian tersebut berasal dari niat beli konsumen, yakni keinginan untuk membeli karena didasari sikapnya terhadap produk dan dorongan sosial yang dirasakan (Ölander dan Thøgersen, 1995). Namun demikian, menganggap perilaku pembelian hanya didasarkan dari niat beli saja tentu tidak cukup, sebab banyak faktor yang mempengaruhi hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian. Model MAO dikembangkan untuk menjelaskan faktor lain yang belum ada dalam model dasar TRA.

Terdapat tiga komponen variabel dalam model ini, yakni motivasi, kemampuan, dan kesempatan. Model MAO memposisikan sikap, norma subjektif, dan niat beli ke dalam komponen motivasi, dimana motivasi adalah alasan konsumen untuk melakukan perilaku pembelian. Motivasi konsumen bisa menjadi lebih kuat atau malah menjadi lebih lemah didasarkan oleh kemampuan yang dimiliki konsumen serta kesempatan yang dirasakan. Kemampuan disini adalah komponen variabel internal konsumen lain yang belum dijelakan dalam model TRA, yakni pengetahuan dan kebiasaan, sementara kesempatan adalah komponen variabel eksternal yang dirasakan konsumen ketika hendak melakukan perilaku pembelian (Ölander dan Thøgersen, 1995).

Ölander dan Thøgersen (1995) merumuskan variabel pengetahuan dan kebiasaan ke dalam komponen kemampuan sebagai moderasi hubungan niat beli dan perilaku pembelian, didasarkan pada saran dari Pieters (1991). Pengetahuan individu mengenai suatu perilaku baru atau suatu produk baru, membuat individu memahamai mengapa harus melakukan dan atau mengapa harus membeli produk tersebut (Aertsens dkk., 2011). Sementara sebaliknya, kebiasaan membuat

(4)

hubungan antara niat beli dan perilaku menjadi lemah, karena individu merasa enggan beranjak dari kebiasaannya yang lama (Assael, 2004: 71).

Selain kemampuan, faktor situasional juga bisa menjadi moderator niat dan perilaku. Ölander dan Thøgersen (1995) memasukan variabel situasional ke dalam komponen kesempatan sebagai bagian ketiga dalam model. Ölander dan Thøgersen (1995) tidak merincikan variabel apa saja yang menjadi fokus pada bagian komponen kesempatan. Menurutnya, variabel situasional bisa apa saja sesuai dengan konteks penelitian yang dilakukan. Faktor situasional dalam komponen kesempatan pada model ini dilihat menggunakan persepktif objektif sebagai mana yang disarankan oleh Belk (1975). Namun, dalam penelitian keperilakuan tentu sulit mengobservasi atau mengukur faktor situasional dalam persepktif objektif, sebab individu memiliki penilaian yang berbeda secara subjektif. Dengan demikian, pengukuran faktor situasional dapat dilihat dari perspektif subjektif.

Ketiga bagian ini akan menjadi komponen-komponen pembentuk perilaku. ketika individu sudah melakukan suatu perilaku maka akan terbentuk feedback atau umpan balik berupa pengalaman. Ölander dan Thøgersen (1995) menjelaskan bahwa pengalaman akan mempengaruhi kepercayaan dan evaluasi karena adanya perubahan ekspektasi mengenai manfaat dan risiko setelah berperilaku. Pengalaman juga akan menjadi metode pembelajaran sehingga kemampuan individu akan meningkat.

2.2 Pengembangan Hipotesis

Komponen motivasi berisi variabel sikap dan norma subjektif, dimana kedua variabel tersebut akan membentuk niat beli (Fishbein dan Ajzen, 1975: 332). Menurut Ajzen (1991), sikap diartikan sebagai evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan atas perilaku tertentu individu. Produk organik yang bebas pupuk kimia dan pestisida akan memberikan manfaat kesehatan (Hutchins dan Greenhalagh, 1997) sehingga menjadi evaluasi positif dan membentuk sikap, terutama bagi individu yang mulai memperhatikan kesehatan (Ono dan Ono, 2015).

Namun, meskipun individu merasakan manfaat, mengonsumsi produk organik juga dirasa memiliki risiko. Menurut Chen dan Chang (2013), risiko ini terbentuk karena adanya isu kurang dipercayanya produk organik bahwa produk tersebut benar-benar “organik”, sehingga individu mungkin menganggap bahwa produk organik tidak memiliki kelebihan dari pada produk konvensional. Risiko yang dihadapi individu ini akan membentuk evaluasi negatif dan mempengaruhi pembentukan sikap (Wu dan Chen, 2014).

Selain evaluasi dari manfaat yang dirasakan dan risiko yang dirasakan (Wu dan Chen, 2014), dalam konteks pemasaran beretika seperti pemasaran hijau (Padel dan Foster, 2005; Yadav, 2016), manusia akan berperilaku kurang rasional (Schwartz, 1977). Konsumen mungkin membeli produk organik yang harganya cendrung mahal dengan isu risiko yang terdapat pada produk karena perhatiannya pada lingkungan. Hal ini terjadi karena aktifnya nilai altruistis individu terhadap lingkungan (Schwartz, 1977). Dengan demikian, nilai altruistis menjadi nilai yang dianut individu dan membentuk sikap positif. Dari penjelasan tersebut, maka dapat dibentuk hipotesis sebagai berikut:

H1: Manfaat yang dirasakan berpengaruh positif pada sikap H2: Risiko yang dirasakan berpengaruh negatif pada sikap H3: Nilai altrusitis berpengaruh positif pada sikap

(5)

Fishbein dan Ajzen (1975: 332) menjelaskan niat untuk berperilaku dibentuk dari sikap dan norma subjektif. Sikap yang dibentuk dari manfaat yang dirasakan, risiko yang dirasakan, dan nilai altrusitis terhadap produk organik akan berpengaruh positif terhadap niat beli produk organik. Selain sikap, norma subjektif yang dirasakan individu mengenai isu lingkungan juga bisa mendorong terbentuknya niat beli.

Kesadaran lingkungan membuat perhatian masyarakat terhadap pelestarian lingkungan meningkat (Nielsen, 2013), meskipun demikian, terdapat penelitian yang menunjukkan pengaruh negatif antara norma subjektif terhadap niat (Connell, 2010) dan perngaruh tidak langsung terhadap perilaku (Smith dan Paladino 2010). Joshi dan Rahman (2015) merangkum banyak artikel yang memasukan norma subjektif di dalamnya, dan menemukan lebih banyak menunjukkan berpengaruh positif terhadap niat beli. Dari uraian tersebut, maka dapat dibentuk hipotesis sebagai berikut:

H4: Sikap berpengaruh positif pada niat beli

H5: Norma subjektif berpengaruh positif pada niat beli

Niat beli umumnya dijadikan anteseden perilaku pembelian. Menurut Ajzen (1991), niat beli adalah prediktor perilaku pembelian. Wu dan Chen (2014) membuktikan hubungan positif niat beli produk organik pada perilaku pembelian aktual produk organik. Hipotesis yang dapat dibentuk adalah:

H6: Niat beli berpengaruh positif pada perilaku pembelian

Hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian aktual akan dimoderasi oleh kemampuan dan kesempatan yang dimilki konsumen (Ölander dan Thøgersen, 1995). Kemampuan konsumen untuk melakukan perilaku baru, atau mengonsumsi produk baru, didasarkan pada pengetahuan dan kebiasaan, sementara kesempatan adalah variabel situasional terkait (Belk, 1975).

Pengetahuan mengenai isu lingkungan sering diangkat dalam penelitian pemasaran hijau (Joshi dan Rahman, 2015), dimana biasanya diistilahkan menjadi pengetahuan hijau. Menurut Ölander dan Thøgersen (1995), pengetahuan individu mengenai isu lingkungan akan meningkatkan kesadaran lingkungan, yang nantinya mendorong terbentuknya perilaku pembelian. Selain itu, pengetahuan hijau mengenai produk organik, bagaimana mengidentifikasi ciri-cirnya, mengapa harganya cenderung mahal, mengapa lebih susah dicari, dan sebagainya, akan membuat manfaat yang dirasakan menjadi lebih besar dan atau membuat risiko yang dirasakan semakin kecil. Dengan demikian, pengetahuan hijau akan memperkuat hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian.

Kemampuan konsumen mengadopsi perilaku baru juga didasari oleh seberapa kuat kebiasaan konsumen dengan perilaku lama. Kebiasaan membuat individu enggan mencari informasi dan mengevaluasi perilaku alternatif (Assael, 2004: 71). Penelitian terdahulu menemukan bahwa variabel kebiasaan akan menjadi penghalang terbentuknya perilaku baru (Padel dan Foster, 2005; Jhonstone dan Tan, 2015). Hipotesis yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut:

H7: Pengetahuan hijau akan memperkuat hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian

H8: Kebiasaan akan memperlemah hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian

Selain kemampuan, kesempatan yang dimiliki individu juga menjadi pemoderasi hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian. Ölander dan Thøgersen (1995) berpendapat bahwa

(6)

kesempatan adalah faktor-faktor situasional yang mendorong maupun menghalangi terbentuknya perilaku. Penelitian pemasaran hijau belakangan ini mulai fokus pada faktor-faktor situasional, sebab meskipun sikap positif dan niat beli produk organik tinggi, namun besaran pangsa pasarnya masih tertinggal jauh dibandingkan produk konvensional. Diantara banyak faktor situasional, yang paling sering muncul dan signifikan adalah harga dan ketersediaan produk (Gleim dan Lawson, 2014; Barbarossa dan Pastore, 2015; dan Jhonstone dan Tan, 2015).

Biaya produksi yang lebih tinggi membuat harga produk organik menjadi lebih mahal dari produk konvensional. Gleim dan Lawson (2014) menemukan bahwa harga menjadi alasan mengapa konsumen tidak membeli produk organik, meskipun mereka memiliki niat beli yang tinggi. Jhonstone dan Tan (2015) juga menemukan bahwa individu menolak membeli produk organik karena harganya yang mahal. Ini terjadi karena adanya kesadaran harga dari calon konsumen, dimana mereka enggan membeli produk organik sebab harga yang tertera diluar dari harga yang bisa mereka terima. Smith dan Paladino (2010) berpendapat bahwa kesadaran harga membuat niat beli tidak selalu menjadi perilaku pembelian.

Barbarosa dan Pastore (2015) menemukan bahwa selain kesadaran harga, kurangnya ketersediaan produk juga membuat individu enggan mencari ke toko yang lebih jauh. Kedua variabel ini ditemukan dalam penelitian eksplorasi kualitatif, sehingga menurut Barbarosa dan Pastore (2015), perlu identifiksi lebih lanjut dengan metode kuantitatif agar bisa diterima lebih umum. Dari penjeleasan tersebut, maka dapat dibentuk hipotesis sebagai berikut:

H9: Kesadaran harga akan memperlemah hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian

H10: Ketersediaan produk akan memperlemah hubungan antaran niat beli dan perilaku pembelian

Model penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Model penelitian yang didasarkan pada model Motivasi-Kemampuan-Kesempatan (Ölander dan Thøgersen, 1995)

(7)

3. Metode Penelitian

3.1 Responden dan Prosedur

Penelitian ini menggunakan metode eksplanatori dengan metode kuantitatif deskriptif. Kuesioner berisi pernyataan yang menggambarkan variabel yang diteliti, yakni manfaat yang dirasakan, risiko yang dirasakan, nilai altrusitis, sikap, norma subjektif, niat beli, pengetahuan hijau, kebiasaan, kesadaran harga, ketersediaan produk, dan perilaku pembelian. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana terdapat kriteria yang harus terpenuhi untuk menjadi responden penelitian. Kriteria responden tersebut adalah mengetahui atau pernah mendengar informasi mengenai produk organik, memasak makanan utama untuk diri sendiri maupun keluarga, dan belum pernah membeli produk beras dan atau sayur organik.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian adalah structural equation model (SEM) dengan mengguankan pendeketan partial least square atau PLS. Alasan penggunaan PLS adalah karena dapat bekerja secara efektif dengan jumlah sampel yang kecil dan model yang kompleks (Hair dkk., 2014: 15). PLS dapat bekerja pada skala pengukuran nominal dan ordinal (Hair dkk., 2014: 16), serta dapat melakukan analisis jalur dengan mediasi dan moderasi di dalam modelnya (Hair dkk., 2014: 17). Jumlah besaran sampel yang dibutuhkan menggunakan saran dari Hair dkk. (2014: 20), yakni jumlah jalur dikali 10. Dengan demikian, jumlah sampel minimum yang disarankan adalah 100 responden. Jumlah sampel yang didapat dalam penelitian ini adalah 133 responden, sehingga sudah memenuhi batasan minimal sampel yang disarankan.

3.2 Pengukuran

Semua variabel menggunakan skala Likert 1 sampai dengan 5 (1= sangat tidak setuju; 5= sangat setuju), kecuali variabel perilaku pembelian yang menggunakan satu pernyataan dikotomus. Seluruh item pernyataan diambil dari literatur yang baik yang berasal dari literatur berbahasa inggris. Peneliti melakukan penerjemahan dan penerjemahan kembali, dengan dibantu penerjemah yang mumpuni.

Variabel manfaat yang dirasakan menggunakan enam item pernyataan yang diadopsi dari Wu dan Chen (2014). Variabel risiko yang dirasakan menggunakan enam item pernyataan yang juga diadopsi dari Wu dan Chen (2014). Variabel nilai altruistis menggunakan empat item pernyataan yang diadopsi dari Robert dan Bacon (1997). Variabel sikap menggunakan lima item yang diadopsi dari Wang dkk. (2013) dan Wu dan Chen (2014). Variabel norma subjektif terdapat lima item pernyataan yang diadopsi dari Chen dan Lu (2011) dan Wang dkk. (2013). Variabel niat beli menggunakan enam item pernyataan yang diadopsi dari Wu dan Chen (2014), Wang dkk. (2013), dan Yadav (2016). Variabel pengetahuan hijau terdapat lima item pernyataan yang diadopsi dari Mostafa (2006). Variabel kebiasaan menggunakan lima item pernyataan yang diambil dari Gleim dkk. (2013) dan Anderson dan Srinivasan (2003). Variabel kesadaran harga menggunakan tujuh item pernyataan yang diadopsi dari Lichtenstein dkk. (1998) dan Kukar-Kinney (2012). Ketersediaan produk menggunakan lima item pernyataan yang diambil dari Gleim dan Lawson (2014). Terkahir adalah variabel perilaku pembelian yang berisi pernyataan apakah responden sudah membeli produk organik atau tidak dalam satu bulan terkahir.

4. Hasil dan Diskusi 4.1 Hasil

Penyebaran kuesioner dilakukan sebanyak dua kali, dimana kuesioner pertama berisi butir pernyataan untuk kelompok variabel motivasi, yakni manfaat yang dirasakan, risiko yang dirasakan, nilai altruistis, sikap, norma subjektif, dan niat beli. Setelah diberi waktu jeda selama

(8)

satu bulan, kuesioner kedua disebar kepada responden yang sama, dimana berisi butir pertanyaan kelompok variabel kemampuan dan kesempatan, yakni pengetahuan hijau, kebiasaan, kesadaran harga, ketersediaan produk, dan perilaku pembelian. Jumlah kuesioner yang disebar dari kuesioner pertama mencapai 500 kuesioner, namun yang kembali dari dua titik waktu dan dapat digunakan adalah 133 kuesioner.

Analisis PLS-SEM terdiri dari dua subbab model yaitu model pengukuran (measurement model) atau sering disebut outer model dan model struktural (structural model) atau sering disebut inner model. Model pengukuran menunjukkan bagaimana variabel manifest atau observed variabel merepresentasikan variabel laten untuk diukur. Sedangkan model struktural menunjukkan kekuatan estimasi antar variabel laten atau konstruk (Ghozali dan Latan, 2015: 7). Berdasarkan hasil uji validitas konvergen, terdapat enam variabel yang belum memenuhi kriteria validitas konvergen karena nilai AVE masih dibawah 0,5, yakni manfaat yang dirasakan, risiko yang dirasakan, nilai altruistis, pengetahuan hijau, kebiasaan, dan kesadaran harga. Hair dkk. (2014: 102) menyarankan untuk mengeluarkan item pernyataan yang nilai muatan faktornya diantara 0,4 – 0,7 dengan tujuan untuk meningkatkan nilai AVE variabel. Terdapat delapan item pernyataan yang dikeluarkan dari model penelitian, yakni dua item dari variabel manfaat yang dirasakan, satu item dari variabel risiko yang dirasakan, satu item dari variabel nilai altruitis, satu item dari variabel pengetahuan hijau, dua item dari variabel kebiasaan, dan satu item dari variabel kesadaran harga. Nilai AVE masing-masing variabel setelah perbaikan model sudah berada di atas 0,5, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel dalam model penelitian sudah memenuhi validitas konvergen. Hasil pengujian validitas konvergen dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Hasil Uji Validitas Konvergen

Variabel

Jumlah

Item

Validitas Konvergen

Muatan

Faktor

Nilai AVE

Manfaat yang Dirasakan (MAN)

4

0,773 - 0,830

0,637

Risiko yang Dirasakan (RISn)

5

0,620 – 0,816

0,519

Nilai Altruistis (NA)

3

0,603 – 0,891

0,529

Sikap (SIK)

5

0,880 – 0,909

0,796

Norma Subjektif (SN)

5

0,804 – 0,896

0,674

Niat Beli (NB)

6

0,735 – 0,877

0,748

Pengetahuan Hijau (PH)

4

0,691 – 0,821

0,527

Kebiasaan (KEBn)

3

0,595 – 0,754

0,549

Kesadaran Harga (KHn)

6

0,625 – 0,884

0,556

Ketersediaan Produk (KPn)

5

0,599 – 0,827

0,561

Pengujian selanjutnya adalah pengujian validitas diskriminan. Validitas diskriminan berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkorelasi tinggi (Hair dkk., 2014:104). Untuk validitas diskriminan, pengujian dilakukan dengan menggunakan kriteria Fornell-Larcker yang melihat nilai akar kuadrat AVE suatu variabel, dimana validitas diskriminan terpenuhi jika nilai akar kuadrat AVE tersebut lebih tinggi dari variabel lain (Hair dkk., 2014:105). Hasil pengujian menunjukan bahwa nilai akar kuadrat AVE suatu variabel lebih tinggi dari variabel lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa

(9)

variabel-variabel dalam model penelitian sudah memenuhi validitas diskriminan. Hasil pengujian validitas diskriminan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2

Hasil Uji Validitas Diskriminan

KE B KH KP MA N NB NA NS PH PP RIS SIK Kebiasaan 0,74 1 Kesadaran Harga 0,29 7 0,74 5 Ketersedia an Produk 0,25 2 0,09 6 0,74 9 Manfaat Yang Dirasakan 0,32 1 0,24 8 0,05 2 0,79 8 Niat Beli 0,29 0 0,13 8 0,05 2 0,65 2 0,86 5 Nilai Altruistis 0,00 8 0,00 9 -0,01 5 0,23 3 0,18 7 0,72 7 Norma Subjektif 0,31 5 0,12 7 -0,05 4 0,52 8 0,59 5 0,10 8 0,82 1 Pengetahu an Hijau 0,08 1 0,02 5 0,02 8 0,04 2 0,05 6 0,13 2 0,02 1 0,72 6 Perilaku Pembelian 0,39 3 0,19 0 0,30 1 0,29 2 0,28 2 0,07 2 0,34 9 0,23 0 1,00 0 Risiko Yang Dirasakan 0,16 5 0,13 2 0,01 0 0,67 1 0,51 2 0,14 8 0,39 4 0,04 2 0,23 6 0,72 0 Sikap 0,34 9 0,24 7 -0,06 5 0,74 9 0,66 0 0,20 6 0,63 1 0,00 2 0,37 1 0,57 9 0,89 2 Pengujian model pengukuran selanjutnya adalah melihat nilai reliabilitas komposit untuk melihat reliabilitas variabel-variabel yang diteliti. Pengujian reliabilitas dilakukan untuk memastikan keakuratan, keseksamaan, dan konsistensi dari sebuah alat ukur (Cooper dan Schindler, 2014: 664). Pengujian reliabilitas dalam SEM-PLS dapat menggunakan metode reliabilitas komposit (composite reliability), dimana kriteria suatu variabel memenuhi reliabilitas jika nilainya lebih besar dari 0,7 (Hair dkk., 2014:107). Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua variabel memiliki nilai reliabilitas komposit yang lebih tinggi dari 0,7, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel adalah reliabel. Hasil pengujian reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 3.

(10)

Tabel 3 Hasil Uji Reliabilitas

Reliabilitas Komposit Interpretasi Manfaat Yang Dirasakan 0,875 Reliabel Risiko Yang Dirasakan 0,842 Reliabel

Nilai Altruistis 0,766 Reliabel

Sikap 0,951 Reliabel

Norma Subjektif 0,925 Reliabel

Niat Beli 0,937 Reliabel

Pengetahuan Hijau 0,815 Reliabel

Kebiasaan 0,781 Reliabel

Kesadaran Harga 0,881 Reliabel

Ketersediaan Produk 0,863 Reliabel

Setelah pengujian model pengukuran, selanjutnya adalah pengujian model struktural. Pengujian model struktural digunakan untuk melihat kekuatan estimasi antar variabel laten atau konstruk (Ghozali dan Latan, 2015: 7). Evaluasi model struktural dapat dilihat dari koefesien determinasi (R2) dan koefesien jalur (Hair dkk., 2014: 169).

Koefesien determinasi digunakan untuk mengidentifikasi seberapa besar proporsi variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen (Hair dkk., 2014:201). Menurut Hair dkk. (2014:175), untuk penelitian keperilakuan, nilai 0,75, 0,50, dan 0,25 mengindikasikan bahwa model tersebut kuat, sedang dan lemah. Terdapat tiga variabel dependen dalam penelitian ini, yakni sikap, niat beli, dan perilaku pembelian. Hasil pengujian koefesien determinasi dapat dilhat pada Tabel 4. Tabel 4 Koefesien Determinasi Variabel Dependen Variabel Independen R Square Keterangan

Sikap Manfaat yang Dirasakan, Risiko yang

Dirasakan, Nilai Altruistis 0,572

Moderat Niat Beli Sikap, Norma Subjektif 0,459 Moderat Perilaku Pembelian Niat beli, pengetahuan hijau, kebiasaan,

kesadaran harga, ketersediaan produk 0,361 Moderat Variabel sikap dalam model penelitian ini dijelaskan oleh manfaat yang dirasakan, risiko yang dirasakan, dan nilai altruistis. Nilai koefesien determinasi dari ketiga variabel tersebut terhadap sikap adalah 0,572 atau dapat diartikan bahwa proporsi ketiga variabel tersebut dalam menjelaskan variabel sikap adalah sebesar 56,2%. Variabel niat beli dijelaskan oleh sikap dan norma subjektif. Variabel niat beli memiliki nilai koefesien determinasi sebesar 0,459. Ini dapat diartikan bahwa proporsi variabel sikap dan norma subjektif dalam menjelaskan niat beli adalah sebesar 45,9%.

(11)

Variabel perilaku pembelian dijelaskan oleh lima variabel independen dan empat variabel moderator. Variabel independen yang digunakan untuk menjelaskan perilaku pembelian adalah niat beli, pengetahuan hijau, kebiasaan, kesadaran harga, dan ketersediaan produk. Variabel moderator adalah variabel yang dihasilkan dengan membuat interaksi antara niat beli dengan variabel independen lain. Nilai koefesien determinasi dari perilaku pembelian adalah 0,361, atau dapat diartikan bahwa proporsi variabel independen dan moderator dapat menjelaskan variabel perilaku pembelian adalah sebesar 36,1%.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel sikap dan niat beli berada pada rentang model dengan kekuatan sedang/moderat sementara untuk variabel perilaku pembelian berada diantara lemah dan sedang/moderat.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan melakukan perbandingan antara nilai t-hitung dan nilai kritis pada t-tabel. Hipotesis diterima jika nilai t-hitung lebih besar dari nilai t-tabel. Nilai t-hitung didapatkan melalui proses bootstrapping yang sudah dilakukan dalam pengujian analisis jalur. Nilai kritis t-tabel yang digunakan adalah nilai uji satu-ekor dengan nilai 1,645 untuk signifikansi 5% dan 2,326 untuk siginifikansi 1%. Hasil pengujian bootstrapping dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 5.

(12)

Gambar 2. Koefisien determinasi yang didapatkan dari hasil pengolahan data primer menggunakan SmartPLS 3.0

Tabel 5

Hasil Pengujian Bootsrtapping Hipotesis Nilai Estima si T Statisti cs P Value s Keputusa n Hipotesis

Manfaat Yang Dirasakan -> Sikap 0,649 7,600 0,000 Terdukun g Risiko Yang Dirasakan -> Sikap 0,136 1,620 0,053 Tidak

terdukung Nilai Altruistis -> Sikap 0,037 0,806 0,210 Tidak

terdukung Sikap -> Niat Beli 0,439 4,347 0,000 Terdukun

g Norma Subjektif -> Niat Beli 0,303 2,904 0,002 Terdukun

g Niat Beli -> Perilaku Pembelian 0,214 2,680 0,004 Terdukun

g Niat Beli * Pengetahuan Hijau -> Perilaku

Pembelian 0,215 1,691 0,045

Terdukun g Niat Beli * Kebiasaan -> Perilaku Pembelian -0,128 1,325 0,093 Tidak

terdukung Niat Beli * Kesadaran Harga -> Perilaku

Pembelian -0,234 2,241 0,013

Terdukun g Niat Beli * Ketersediaan Produk -> Perilaku

Pembelian -0,014 0,137 0,446

Tidak terdukung Hasil pengujian bootstrapping digunakan sebagai dasar memutuskan didukung atau tidak didukungnya hipotesis yang diajukan. Terdapat enam hipotesis yang terdukung dan empat hipotesis yang tidak terdukung dalam penelitian ini.

4.2 Diskusi

Tiga hipotesis pertama merupakan pengujian variabel anteseden dari variabel sikap. Hipotesis pertama menyatakan bahwa manfaat yang dirasakan berpengaruh positif pada sikap. Hasil pengujian menunjukkan bahwa memang terdapat pengaruh positif antara manfaat yang dirasakan pada sikap, dilihat dari nilai t-hitung sebesar 7,600 dengan nilai estimasi 0,649. Temuan ini mendukung pendapat Wu dan Chen (2014) bahwa manfaat yang dirasakan terhadap produk organik dapat membentuk sikap positif konsumen terhadap produk organik. Sementara hipotesis kedua, yakni risiko yang dirasakan berpengaruh negatif pada sikap tidak terdukung, sebab nilai t-hitung yang hanya 1,620 dengan nilai estimasi 0,136. Hipotesis kedua ditolak karena pengaruhnya

(13)

terbalik, yakni positif dengan nilai t-hitung yang rendah. Konsumen bisa saja memang sudah percaya produk organik, sehingga merasa produk organik tidak memiliki risiko ketika digunakan. Ini hanya dugaan sebab nilai estimasi dan nilai t-hitung yang rendah, sehingga sulit untuk disimpulkan. Pengujian kembali variabel risiko yang dirasakan masih diperlukan. Hipotesis ketiga, yakni nilai altruistis berpengaruh positif pada sikap juga tidak terdukung karena nilai t-hitung yang hanya 0,806, walaupun arahnya positif dilihat dari nilai estimasinya yakni 0,037. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai altruisitis belum bisa membentuk sikap konsumen terhadap produk organik.

Hipotesis keempat adalah sikap berpengaruh positif pada niat beli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis keempat terdukung dengan nilai t-hitung sebesar 4,347 dengan nilai estimasi 0,439. Hasil ini mendukung temuan Smith dan Paladino (2010) dan Yadav (2016). Sikap merupakan evaluasi keseluruhan konsumen untuk menilai apakah menguntungkan atau tidak atas perilaku tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975: 216). Dari tiga hipotesis pembentuk sikap, konsumen lebih melihat produk organik sebagai produk yang dapat memberikan manfaat secara pribadi atau keluarga, seperti manfaat kesehatan, dari pada manfaat kepada lingkungan. Begitu juga dengan hipotesis kelima, yakni norma subjektif berpengaruh positif pada niat beli, dimana hipotesis ini terdukung dengan nilai t-hitung sebesar 2,904 dan nilai estimasi 0,303. Ini menandakan bahwa pengaruh sosial juga berpengaruh dalam pembentukan niat beli produk organik, sejalan dengan pendapat Smith dan Paladino (2010) dan Wu dan Chen (2014). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap dan norma subjektif dapat menjadi motivasi konsumen untuk membeli produk organik.

Hipotesis keenam menyatakan bahwa niat beli berhubungan positif pada perilaku pembelian. Hipotesis ini terdukung dengan nilai t-hitung sebesar 2,680 dan nilai estimasi 0,214. Hasil penelitian ini mendukung temuan Smith dan Paladino (2010), Wu dan Chen (2014), dan Yadav (2016). Penggunaan dimensi waktu longitudinal semakin memperkuat pendapat ini. Dalam model MAO, motivasi konsumen untuk membeli produk organik dapat menjadi lebih kuat atau malah menjadi lebih lemah dilihat dari kemampuan dan kesempatan yang dimiliki konsmen.

Kemampuan konsumen dalam penelitian ini diukur dengan dua variabel, yakni pengetahuan hijau dan kebiasaan. Hipotesis ketujuh adalah pengetahuan hijau memperkuat hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian. Hipotesis ketujuh ini terdukung dengan nilai t-hitung 1,691 dan nilai estimasi 0,215, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan konsumen mengenai produk hijau, termasuk isu terkait lingkungan, memperkuat motivasi konsumen untuk membeli produk organik. Sementara hipotesis kedelapan yang menyatakan bahwa kebiasaan memperlemah hubungan niat beli dan perilaku pembelian tidak terdukung sebab nilai t-hitung hanya 1,325, walaupun nilai estimasiya -0,128. Dapat dikatakan bahwa kebiasaan tidak seutuhnya memperlemah motivasi konsumen.

Hipotesis kesembilan dan kesepuluh adalah pengujian komponen kesempatan. Hipotesis kesembilan menyatakan bahwa kesadaran harga memperlemah hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian. Hipotesis kesembilan terdukung dengan nilai t-hitung sebesar 2,241 dan nilai estimasi -0,234. Ini menandakan bahwa harga produk organik yang cendrung lebih mahal membuat konsumen enggan untuk membeli, sebab konsumen memiliki kesadaran terhadap harga. Hasil ini mendukung temuan Jhonstone dan Tan (2014), dimana individu menjadikan harga produk organik sebagai alasan untuk tidak membeli. Sementara hipotesis kesepuluh, yaitu ketersediaan produk melemahkan hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian tidak

(14)

terdukung, karena nilai thitung yang rendah yakni hanya 0,137 walaupun nilai estimasinya -0,014. Ringkasan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil Uji Hipotesis

5. Simpulan

Model penelitian yang digunakan merupakan pengembangan dari model motivation-ability-opportuinity (MAO) (Ölander dan Thøgersen, 1995), dimana model ini membagi 10 variabel menjadi tiga bagian, yakni motivasi, kemampuan, dan kesempatan. Menurut Joshi dan Rahman (2015), model ini dapat menjadi perbaikan theory of reasoned action (Fishbein dan Ajzen, 1975) khususnya dalam penelitian pemasaran hijau. Model MAO yang digunakan pada penelitian ini dapat membantu menjelaskan motivasi konsumen dalam membeli produk organik, kemampuan yang dimiliki untuk membeli produk organik, serta kesempatan yang dimiliki berdasarkan faktor situasional yang dirasakan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa memang pada dasarnya responden memiliki motivasi untuk membeli produk organik. Ini dilihat dari niat beli yang terbentuk dari sikap positif dan norma subjektif. Responden juga memiliki kemampuan untuk membeli produk organik, ditunjukkan dari pengetahuan hijau yang dimiliki. Namun, perilaku pembelian produk organik sulit terbentuk karena responden merasa belum memiliki kesempatan. Harga produk organik yang lebih mahal menjadi faktor situasional yang menghalangi mereka untuk membeli. Secara spesifik, kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sikap responden terhadap produk organik adalah positif dilihat dari pandangan konsumen mengenai manfaat yang dikandung produk. Manfaat yang dimaksud lebih kepada manfaat individual, sementara untuk manfaat pelestarian lingkungan masih belum mampu membentuk sikap konsumen terhadap produk organik. Ini dilihat dari hubungan positif dan signifikan dari manfaat yang dirasakan pada sikap, sementara hubungan antara nilai altrusitis pada sikap tidak signifikan walaupun hubungannya positif. Kemudian sikap responden ini

(15)

memiliki hubungan positif pada niat beli, sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap dapat membentuk niat beli responden.

2. Selain sikap, niat beli responden juga terbentuk karena dorongan dari norma subjektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden merasa perlu untuk membeli produk organik karena adanya dorongan dari masyarakat.

3. Sikap dan norma subjektif menjadi faktor pembentuk niat beli produk organik. Kedua variabel ini memiliki hubungan positif dan signifikan pada niat beli. Temuan ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya responden memiliki motivasi untuk membeli produk organik, baik motivasi dari diri sendiri maupun dari dorongan orang-orang terdekat.

4. Hubungan antara niat beli dan perilaku pembelian adalah positif dan signifikan. Ini menandakan bahwa motivasi konsumen untuk mengonsumsi produk organik dapat terealisasi menjadi perilaku pembelian. Hasil penelitian yang dilakukan secara longitudinal menunjukkan bahwa sebagian responden membeli produk organik dalam rentang waktu sebulan.

5. Dalam model MAO, motivasi dapat menjadi disposisi dalam membentuk perilaku pembelian, dimana pengaruhnya dalam membentuk perilaku dapat menjadi lebih kuat atau malah menjadi lemah dilihat dari kemampuan yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan hijau dapat menjadi moderator yang memperkuat niat beli responden. Semakin besar pengetahuan responden mengenai produk organik, maka semakin besar motivasi untuk membeli produk organik.

6. Selain kemampuan, motivasi responden untuk membeli produk organik lebih mudah terealisasi jika didukung oleh kesempatan yang berasal dari faktor situasional. Hasil penelitian menujukkan bahwa perilaku pembelian produk organik sulit terbentuk karena belum didukung oleh faktor situasional, yakni harga produk organik yang lebih mahal dari produk konvensional. Harga produk organik yang lebih mahal menghalangi terbentuknya perilaku pembelian produk organik.

DAFTAR PUSTAKA

Aertsens, J., Mondelaers, K., Verbeke, W., Buysse, J., & Huylenbroeck, G. V. (2011).

The influence of subjective and objective knowledge on attitude, motivations and

consumption of organic food.

British Food Journal, 113

(11), 1353-1378.

Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior.

Organizational Behavior and Human

Decision Process, 50

, 179-211.

Anderson, R. E., & Srinivasan, S. S. (2003). E-satisfaction and e-loyalty: A contingency

framework.

Psychology & Marketing, 20

(2), 123-138.

Assael, H. (2004).

Consumer Behavior A Strategic Approach.

Boston: Houghton Mifflin

Company.

Barbarossa, C., & Pastore, A. (2015). Why environmentally conscious consumers do not

purchase green products A cognitive mapping approach.

Qualitative Marketing

Research: An International Journal, 18

(2), 188-209.

Belk, R. W. (1975). Situational variables and consumer behavior.

Journal of Consumer

Research

, 157-164.

(16)

Bray, J., Johns, N., & Killburn, D. (2011). An exploraroty study into the factors

impending ethical consumption.

Journal of Business Ethics, 98

(4), 597-608.

Chen, M.-F., & Lu, T.-Y. (2011). Modeling e-coupon porneness as a mediator in the

extended TPB model to predict consumers' usage intention.

Internet Research,

21

(5), 508-526.

Chen, Y. S., & Chang, C. H. (2013). Towards green trust: The influences of green

perceived quality, green perceived risk, and green satisfaction.

Management

Decision, 51

(1), 63-82.

Connel, K. Y. (2010). Internal and external barriers to eco-conscious apparel acquisition.

International Journal of Consumer Studies, 34

, 279-286.

Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2014).

Bussiness Research Methods.

New York:

McGraw-Hill/Irwin.

Darian, J. C., & Tucci, L. (2011). Perceived health benefits and food purchase decisions.

Journal of Consumer Marketing, 28

(6), 421-428.

Dharmmesta, B. S. (2012). Pemasaran Hijau: Penyampaian Standar Kehidupan yang

Lebih Baik. In T. H. Handoko, N. Indarti, & R. Almahendra,

Manajemen Dalam

Berbagai Perspektif

(pp. 58-78). Yogyakarta: Penerbit Erlangga.

Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975).

Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An

Introduction to Theory and Research.

Reading, MA: Addison-Wesley.

Fornell, C., & Larcker, D. F. (1981). Evaluating structural equation models with

unobservable variables and measurement error.

Journal of Marketing Research,

18

(1), 39-50.

Ghozali, I., & Latan, H. (2015).

Partial Least Squares Konsep, Teknik dan Aplikasi

Menggunakan Program SmartPLS 3.0 Edisi 2.

Semarang: Badan Penerbit-Undip.

Gleim, M. R., Smith, J. S., Andrews, D., & Cronin, J. J. (2013). Against the green: A

multi-method examination of the barriers to green consumption.

Journal of

Retailing, 89

(1), 44-61.

Gleim, M., & Lawson, S. J. (2014). Spanning the gap: an examination of the factors

leading to the green gap.

Journal of Consumer Marketing, 32

(6/7), 503-514.

Grunert, S. C., & Juhl, H. J. (1995). Values, environmental attitudes, and buying of

organic foods.

Journal of Economic Psychology, 16

, 39-62.

Hair jr., J. F., Ringle, C. M., & Sarstedt, M. (2013). Partial least squares structural

equation modeling: Rigorous application, better results and higher acceptance.

Long Range Planning, 46

(2013), 1-12.

Hair, J. F., Hult, G. T., Ringle, C. M., & Sarstedt, M. (2014).

A Primer on Partial Least

Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM).

Thousand Oaks: Sage.

He, Y., Chen, Q., Lee, R. P., Wang, Y., & Pohlmann, A. (2017). Consumers' role

performance and brand identification: evidence from a survey and a longitudinal

field experiment.

Journal of Interactive Marketing, 38

, 1-11.

Henri, J.-F., Journeault, M., & Brousseau, C. (2017). Eco-control change and

environmental performance: a longitudinal perspective.

Journal of Accounting

and Organizational Change, 13

(2), 1-45.

(17)

Hutchins, R. K., & Greenhalagh, L. A. (1997). Organic confusion: sustaining competitive

advantage.

British Food Journal, 99

(9), 336-338.

International Federation of Organic Agriculture Movements. (2015).

Into The Future:

Concolidated Annual Report of IFOAM-Organics International.

IFOAM

Organics International.

International Federation of Organic Agriculture Movements. (2017).

Definition of

Organic Agriculture

. Retrieved Mei 5, 2017, from IFOAM Organics

International:

http://www.ifoam.bio/en/organic-landmarks/definition-organic-agriculture

Jacoby, J., & Kaplan, L. B. (1974). Components of perceived risk in product purchase: A

cross-validation.

Journal of Applied Psychology, 59

(3), 287-291.

Jhonstone, M. L., & Tan, L. P. (2015). An exploration of environmentally-conscious

consumers and the reasons why they do not buy green products.

Marketing

Intelligence & Planning, 33

(5), 804-825.

Joshi, Y., & Rahman, Z. (2015). Factors affecting green purchase behavior and future

research direction.

International Strategic Management Review, 3

, 128-143.

Kalafatis, S. P., Pollard, M., East, R., & Tsogas, M. H. (1999). Green marketing and

Ajzen's theory of planned behavior: A cross-market examination.

Journal of

Consumer Marketing, 16

(5), 441-460.

Kemp, E., & Bui, M. (2011). Health Brands: establishing brand credibility, commitment

and connection among consumer.

Journal of Consumer Marketing, 28

(6),

429-437.

Kotler, P., & Armstrong, G. (2016).

Principles of Marketing.

England: Pearson

Education.

Kukar-Kinney, M., & Ridgway, N. M. (2012). The role of price in the behavior and

purchase decisions of compulsive buyers.

Journal of Retailing, 88

(1), 63-71.

Lichtenstein, D. R., Bloch, P. H., & Black, W. C. (1988). Correlates of price acceptability.

Journal of Consumer Research, 15

(2), 243-252.

Lichtenstein, D. R., Ridgway, N. M., & Netemeyer, R. G. (1993). Price perceptions and

consumer shopping behavior: A field study.

Journal of Marketing Research, 30

,

234-245.

Mainieri, T., Barnett, E. G., Valdero, T. R., Unipan, J. B., & Oskamp, S. (1997). Green

buying: The influance of environmental concern on consumer behavior.

The

Journal of Social Psychology, 137

(2), 189-204.

Mostafa, M. M. (2006). Antecedents of Egyptian consumers' green purchase intention.

Journal of International Consumer Marketing, 19

(2), 97-126.

Nielsen. (2013).

Will a Desire to Protect The Environment Translate into Action?

Retrieved

Mei

1,

2017,

from

Nielsen:

http://www.nielsen.com/us/en/insights/news/2013/will-a-desire-to-protect-the-environment-translate-into-action-.html

(18)

Ölander, F., & Thøgersen, J. (1995). Understanding of Consumer Behavior as a

Prerequisite for Environmental Protection.

Journal of Consumer Policy, 18

,

345-385.

Ono, M., & Ono, A. (2015). Impacts of the FoSHU (Food for Specified Health Uses)

system on food evaluations in Japan.

Journal of Consumer Marketing, 32

(7),

542-550.

Padel, S., & Foster, C. (2005). Exploring the gap between attitudes and behavior

Understanding why consumers buy or do not buy organic food.

British Food

Journal, 107

(8), 606-625.

Pieters, R. G. (1991). Changing garbage disposal patterns of consumers: Motivation,

ability, and performance.

Journal of Public Policy & Marketing, 10

(2), 59-76.

Roberts, J. A., & Bacon, D. R. (1997). Exploring the subtle relationships between

environmental concern and ecologically conscious consumer behavior.

Journal of

Business Research, 40

, 79-89.

Schwartz, S. H. (1977). Normative influance on altruism.

Advances in Experimental

Social Psychology, 10

, 349-364.

Smith, S., & Paladino, A. (2010). Eating clean and green? investigating consumer

motivations towards the purchase of organic food.

Australasian Marketing

Journal, 18

, 93-104.

Stern, P. C., Abel, T. D., Guagnano, G. A., & Kalof, L. (1999). A value-belief-norm

theory of support for social movement: The case of environmentalism.

Human

Ecology Review, 6

(2), 81-97.

Wang, Y., Wiegerinck, V., Krikke, H., & Zhang, H. (2013). Understanding the purchase

intention towards remanufactured product in closed-loop supply chains.

International Journal of Physical Distribution & Logistic Management, 43

(10),

866-888.

Wu, S. I., & Chen, J. Y. (2014). A model of green consumption behavior constructed by

the theory of planned bahviour.

International Journal of Marketing Studies, 6

(5),

119-132.

Yadav, R. (2016). Altruistic or egoistic: which value promotes organic food consumption

among young consumer? a study in the context of developing nation.

Journal of

Retailing and Consumer Services, 33

, 92-97.

Gambar

Gambar 1. Model penelitian yang didasarkan pada model Motivasi-Kemampuan- Motivasi-Kemampuan-Kesempatan (Ölander dan Thøgersen, 1995)
Tabel 3  Hasil Uji Reliabilitas
Gambar 2. Koefisien determinasi yang didapatkan dari hasil pengolahan data primer  menggunakan SmartPLS 3.0
Gambar 3. Hasil Uji Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Sambungan balok-kolom yang ditinjau adalah pada salah satu kolom eksterior dan interior yang berada di lantai dan atap. Sambungan ini akan dirancang dengan sambungan baut

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Dwitiyanti, Hadi Sunaryo, Ika Resty, tahun 2015 menyatakan daun kelor merupakan tanaman yang sering digunakan sebagai penurun

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan mengetahui pengembangan kepemimpinan kepala sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri 15 Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan fakta bahwa skor rata-rata pre-menstruation syndrome pada responden di SMAN 3 Kota Kediri sesudah diberikan relaksasi nafas

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian sistem yang dilakukan, maka penulis dapat menarik kesimpulan yaitu Hasil deteksi dari plasmodium falciparum dengan jumlah data

Tidak ada pengatasnamaan atau jaminan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari BNI SEKURITAS atau pun pihak-pihak lain dari Grup BNI, termasuk pihak-pihak lain

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Constant is included in