• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Strongyloidiasis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Strongyloidiasis"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti

Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti  Ascaris  Ascaris lumbricoideslumbricoides,, Trichuris trichuira

Trichuris trichuira, cacing tambang (, cacing tambang ( Ancylostoma  Ancylostoma duodenaleduodenale  dan  dan  Necator Necator americanus

americanus), dan), dan Strongyloides stercoralisStrongyloides stercoralis.. (Adi Sasongko, 2009).(Adi Sasongko, 2009).

Soil Transmitted Helminths ini ditularkan menghasilkan berbagai gejala Soil Transmitted Helminths ini ditularkan menghasilkan berbagai gejala termasuk manifestasi usus (diare, sakit perut), malaise dan kelemahan umum, yang termasuk manifestasi usus (diare, sakit perut), malaise dan kelemahan umum, yang dapat mempengaruhi kemampuan bekerja dan belajar dan merusak pertumbuhan dapat mempengaruhi kemampuan bekerja dan belajar dan merusak pertumbuhan fisik. Cacing tambang usus kronis menyebabkan kehilangan darah yang fisik. Cacing tambang usus kronis menyebabkan kehilangan darah yang mengakibatkan anemia.

mengakibatkan anemia. (WHO, 2009).(WHO, 2009).

Strongiloides stercoralis pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam Strongiloides stercoralis pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam tinja tentara Perancis yang mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina. tinja tentara Perancis yang mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina. Strongiloides terutama ditemukan di daerah beriklim tropik dan subtropik dimana Strongiloides terutama ditemukan di daerah beriklim tropik dan subtropik dimana  pada daerah

 pada daerah tersebut tersebut terdapat kelembaban terdapat kelembaban yang tinggi, yang tinggi, sedangkan didaerah sedangkan didaerah beriklimberiklim dingin jarang ditemukan tetapi dapat bertahan didalam iklim yang dingin ( dingin jarang ditemukan tetapi dapat bertahan didalam iklim yang dingin ( 1 1 )) Penyakit diare yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis disebut Penyakit diare yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis disebut Strongyloidiasis (diare Cochin China).

Strongyloidiasis (diare Cochin China). ( 2 )( 2 )

Beberapa peneliti menyelidiki klasifikasi perbedaan siklus hidup dan mungkin Beberapa peneliti menyelidiki klasifikasi perbedaan siklus hidup dan mungkin  patogenesisnya dar

 patogenesisnya dari i cacing cacing ini ini selama selama awal awal tahun tahun 1900. Nigishori 1900. Nigishori (1928) (1928) dan dan FaustFaust De Groat (1940) menjelaskan terjadinya autoinfeksi interna yang merupakan bagian De Groat (1940) menjelaskan terjadinya autoinfeksi interna yang merupakan bagian  penting

 penting dalam dalam siklus siklus hidupnya, hidupnya, terutama terutama bila bila berhubungan berhubungan dengan dengan pasien pasien yangyang rentan.

rentan.

Stongyloides terutama ditemukan di daerah panas tetapi dapat hidup di daerah Stongyloides terutama ditemukan di daerah panas tetapi dapat hidup di daerah  beriklim

 beriklim dingin. dingin. Daerah Daerah geografisnya geografisnya lebih lebih sering sering tumpang tumpang tindih tindih dengan dengan infeksiinfeksi cacing tambang.

cacing tambang. ( 1, 2, 3 )( 1, 2, 3 ) Frekuensi di Amerika Serikat masih jauh dari dari dataFrekuensi di Amerika Serikat masih jauh dari dari data sebenarnya disebabkan oleh gejalanya yang asimptomatis. Data terbaru diduga 100 sebenarnya disebabkan oleh gejalanya yang asimptomatis. Data terbaru diduga 100  –  –  200 juta orang terinfeksi oleh parasit ini dan ini tersebar kurang lebih di 70 negara. 200 juta orang terinfeksi oleh parasit ini dan ini tersebar kurang lebih di 70 negara. (( 6, 7 , 8 , 9 )

6, 7 , 8 , 9 )

Cacing yang menyukai lingkungan kotor dan lembab ini sering ditemui pada Cacing yang menyukai lingkungan kotor dan lembab ini sering ditemui pada lingkungan yang kumuh dan lembab. Mahluk yang tergolong parasit ini masuk ke lingkungan yang kumuh dan lembab. Mahluk yang tergolong parasit ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau secara langsung menembus kulit tubuh. Bila dalam tubuh melalui makanan atau secara langsung menembus kulit tubuh. Bila melalui makanan berarti telur atau larva cacing berada pada makanan yang tidak melalui makanan berarti telur atau larva cacing berada pada makanan yang tidak higienis (sayur dan daging yang tidak dimasak matang, misalnya). Jika masuk secara higienis (sayur dan daging yang tidak dimasak matang, misalnya). Jika masuk secara

(2)

langsung, cacing bisa masuk lewat telapak kaki saat anak bermain di tempat-tempat kotor seperti di tanah tanpa alas kaki. (Hindra Irawan Satari, 2009)

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Strongyloidiasis 2.1.1 Etiologi

Strongyloidiasis pada manusia disebabkan oleh parasit nematode Strongyloides stercoralis, cacing nematode yang termasuk Soil Transmitted  Helminth (STH). Organisme penyebab strongyloidiasis pertama kali ditemukan oleh  Norman (1876) pada feses prajurit colonial Prancis yang menderita diare tidak terkontrol di Cochin-China. Pada autopsy prajurit yang meninggal tadi, awalnya diduga spesies yang dijumpai pada fesesnya berbeda dengan spesies yang diperoleh dari dinding ileum, saluran empedu dan pankreasnya.

Baru di kemudian hari Grassi (1879), Perronto (1880) dan Leuchart (1882) mendemonstrasikan bahwa keduanya sebenarnya merupakan satu spesies yang sama namun merupakan bagian yang berbeda dalam siklus organism ini. Disebutkan juga  bahwa ada beberapa spesies dari genus  Strongyloides  pada hewan yang dapat juga

menginfeksi manusia(1,2,3,4).

2.2.2 Faktor Resiko

Faktor host dan lingkungan merupakan faktor resiko infeksi cacing pada manusia diantaranya:

1. Faktor individu a. Genetik

Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen yang dapat mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil pemindain terakhir tentang genom memberikan gambaran kemungkinan adanya kromosom 1 dan 13 untuk mengendalikan Ascaris lumbricoides (Hotez et al., 2006).

 b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri)

Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya. Pedagang dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).

(4)

Menurut Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang, tangan yang kotor dan kuku jari tangan kotor yang telah terinfeksi telur cacing akan tertelan ketika makan (Onggowaluyo, 2002).

c. Perilaku

Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing yang tinggi.

Selain itu, perilaku manusia yang seringkali kurang memperhatikan  pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan terhadap

terjadinya infeksi cacing (Hotez et al., 2006).

d. Faktor sosial

Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko terinfeksi cacing (Hotez et al., 2006).

2. Faktor Lingkungan a. Iklim dan Suhu

Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan telur Ascaris lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur Trichuris trichiura pada suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus adalah 28-32°C, sedangkan Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C (Sutanto, 2008).

 b. Tanah

Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari cahaya matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2

(5)

μm, mampu menyerap air dan mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan basah dapat saling lengket dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan cacing tambang karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya (Suriptiastuti, 2006).

c. Sinar matahari

Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar matahari langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari (Brown, 1979).

d. Angin

Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan telur cacing bersama debu (Brown, 1979).

2.2.3 Patogenesis dan Patologi

Transmisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat terjadi transplacental (dari ibu ke janin yang dikandungnya) dan transmammary (dari ibu ke bayinya melalui air susu) oleh karena pernah ditemukan kasusnya  pada hewan mamalia lain. Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit

menimbulkan Cutaneus Larva Migran dan Visceral Larva Migrans.

Larva ini kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler  pulmonal dan penetrasi ke dalam alveoli paru. Di duga saat keluar dari kapiler  pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan dan menimbulkan infiltrasi seluler  pada paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrat yang menyebar pada gambaran radiologis paru ( Loeffler pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang ditimbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran  pernafasan disebut dengan Sindroma Loeffler.

Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esophagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus. Di sana parasit ini dengan cepat berkembang menjadi dewasa. Betina lalu berkembang biar secara

(6)

 parthenogenensis (Kraust, 1932 dan Faust berpendapat bahwa ada bentuk  parasitik jantan, dan bahwa juga betina berkembang biak melalui kopulasi yang tejadi di duodenum atau yeyunum. Walaupun para ahli selain mereka belum ada yang dapat menemukan parasitik jantan). Betina kemudian membuat lubang di mukosa saluran cerna untuk menaruh telur-telurnya.

Pada infeksi berat gambaran mukosa dapat terlihat seperti gambaran sarang tawon (“honeycombed appearance”). Telur yang menetas mengeluarkan larva rhabditiform yang lalu akan keluar melalui feses. Saat parasit ini berada di saluran cerna, timbulah gejala-gejala saluran cerna seperti nyeri abdomen, kram, malabsorbsi dan sebagainya. Prepaten period (=masa inkubasi ekstrinsik) ±1  bulan. Keadaan terjadinya autoinfeksi internal maupun eksternal akan mengarah ke hiperinfeksi. Hal ini akan menyebabkan parasit ini dapat bertahan lama  bahkan sampai bertahun-tahun pada tubuh seseorang sehingga dapat bertahan hidup di belahan dunia manapun dan dalam iklim apapun. Hal ini pula yang diduga sebagai penyebab sering rekurennya gejala klinis yang merupakan cirri dari penyakit ini.

Pada akhir masa inkubasi dan pada tahap awal infeksi aktif terjadi leukositosis (s/d 25.000) dengan eosinofilia (>40%). Kemudiam, saat infeksi menjadi kronis leukositosis berganti menjadi neutropenia dan monositosis relative, sementara eosinofilia moderat tetap betahan selama bertahun-tahun. Pada keadaan kurangnya eosinofilia, disertai dengan leukopenia, pada kasus kronis menunjukkan prognosa yang buruk.

Pada keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluar dari kapiler  pulmonal paru menuju alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan masuk ke sirkulasi sistemik tubuh. Hal ini dapat mengarah kepada “ disseminated infection” yang dapat menyerang organ-organ lain seperti paru, hati dan jantung.  Namun keadaan “disseminated (menyebar)” ini sendiri tidak berhubungan

dengan beratnya infeksi. Kasus “disseminated” biasanya terjadi pada penderita dengan immunosupresi/ immunocompromised.

Hiperinfeksi Strongyloides stercoralis  merupakan sindrom autoinfeksi yang meningkat dan gejala-gejalanya disebabkan oleh peningkatan migrasi larva Strongyloides stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda hiperinfeksi adalah peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses. Faktor resiko

(7)

hiperinfeksi strongyloidiasis adalah pasien yang immunocompromized, diantaranya:

 Pengguna kortikosteroid

Diduga ikatan anatara kortikosteroid dengan reseptor hormone steroid mempercepat transformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform infektif. Kortikosteroid juga menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi limfosit.

 Penggunaan obat-obat immunosupresif untuk terapi kanker  Penderita infeksi virus HTLV-1

Ko-infeksi Strongyloidiasis dengan infeksi virus HTLV-1 ( Human T cell  Lymphotropic Virus type 1) mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV-1.

Antigen strongyloidiasis mempercepat leukemogenesis.

Pengidap HIV/AIDS yang dengan keadaan imunodefisiensinya awalnya diduga memiliki angka kejadian hiperinfeksi Strongyloidiasis yang tinggi, ternyata angka hiperinfeksi ini tidaklah sesignifikan atau pun sebesar yang diperkirakan dan penyebab penyimpangan ini juga measih belum diketahui pasti. Sedangkan pasien yang mendapat transplantasi organ memiliki angka hiperinfeksi yang tidak tinggi walaupun memakai obat-obat immunosupresif. Hal ini kemungkinan dikarenakan obat yang dipakai untuk menekan sistem imun tubuh pasien (untuk menekan reaksi penolakan tubuh terhadap organ yang baru ditransplantasikan) adalag cyclosporine yang juga mempunyai efek antihelmentik.

Beberapa ahli ada yang menyebutkan tentang adanya kaitan antara Stringyloidiasis dengan arthritis, namun mekanisme pastinya belum diketahui  pasti. 1,3,4,8,9,10,11,12,13,14

2.2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO, 2012). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai adatidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging,

(8)

empedu, sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing (Swierczynski, 2010).

Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation method), Metode Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz. Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui  jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa  prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.

Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan  perhitungan telur cacing. Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat

kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas rin gan.

Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses) (Glinz et al., 2010). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Klasifikasi intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing  jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan  berat. Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel berikut :

(9)

 Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara kualitatif dengan Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau negatif cacing pada feses . Angka kejadian infeksi cacing dapat berupa seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.

Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah  penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematoda lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.

2.2.5 Penegakkan Diagnosis

 Menemukan larva rhabditiform atau pun larva filariform pada sediaan feses,

cairan duodenum, cairan ascites, dan sputum (pada kasus yang disseminated). Larva rhabditiform biasanya dijumpai pada sediaan tinja segar. Larva filariform dapat dijumpai pada pembiakan tinja dan pembiakan sekret duodenum yang diambil dengan duodenal sonde.

 Serologis dengan Antibody Detection Assay termasuk EIA, IFA, dan IHA

dengan sensitivitas terbesar pada teknik EIA (7,8).

 Diagnosis klinis tidak pasti, karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala

klinis yang nyata. Diagnosis pasti yaitu apabila menemukan larva rabditiform dalam tinja segar dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum. Biakan tinja selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva rabditiform dan cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas. (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

(10)

2.2.6 Tatalaksana 2.2.6.1 Farmakologi

Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk Strongiloidiasis, oleh karena efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100%) serta pemberiannya cukup dosis tunggal baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek samping sedikit.

Dosis ivermectin 0,2 mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis tunggal. Angka kesembuhan 98,7%, sebagai terapi alternative adalah albendazole dan thiabendazole, sedangkan di Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah albendazole.

Dosis albendazole 25 mg/kgBB/hari, pemberiannya biasa berupa albendazole 400 mg 2x per hari (anak <2 tahun : 200 mg) selama 3-5 hari. Untuk kasus hiperinfeksi, pemberian dapat dilakukan hingga 15 hari. Angka kesembuhan 78,8%.

Efek samping pengobatan berupa diare, gatal-gatal dan mengantuk lebih sering dijumpai pada ivermectin dibandingkan dengan albendazole.

2.2.6.2 Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi di lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan adalah 1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan menggunting kuku secara rutin.

2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan kurangi intensitas memegang makanan dengan menggunakan tangan.

3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir terlebih dahulu.

4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan menggunakan sabun.

5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk memakai alas kaki.

(11)

2.2.6.3 Pengendalian Infeksi Nematoda Usus

Pemberian obat cacing Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi cacing di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk anak usia 12 – 24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pirantel pamoat (10 mg / kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram).

Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk mengeluarkan infeksi cacing adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole  bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun albendazole dan mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat perbedaan penggunaanya dalam klinik. Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis tunggal. Sebaliknya, albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis. Obat cacing benzimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan. Pirantel  pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris ,

walaupun pirantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur.

Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa  pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan  prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil  pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%, dilakukan  pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi  bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada

orang dengan hasil positif saja.

a. Pendidikan Kesehatan (Edukasi)

Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi nematoda usus, tujuannya adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui  promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan

(12)

 buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan  penyebaran infeksi kecacingan. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya  pengendalian infeksi cacing dan terjadinya reinfeksi (Suriptiastuti, 2006).

 b. Sanitasi Perbaikan

Sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan infeksi kecacingan, tetapi supaya intervensi ini efektif harus mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas. Lagipula bila digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif (Suriptiastuti, 2006).

(13)

BAB III KESIMPULAN

(14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Lynne S Garcia. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. EGC Jakarta. 1996. Hal : 155 –  161

2. Soedarto. Helmintologi Kedokteran. EGC Jakarta 1995. Hal : 91 –  93 3. Harison. Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Hal : 1040 –  1041

4. Srisari Gandahusada. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta. Edisi 3. 2004. Hal : 20 –  23

5. Harold W Brown. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta. 1979. Hal : 183 –  189

6. Emily Carpenter. Strongyloides stercoralis. 1996. Last up date March, 27 2006

7. Cohen, Powderly : infectious Disease. 2nd ed. 2004 : 503  –   515, 1186  –  1187

8. Goh SK, Chow PK, Chung AY, et all : Strongyloides colitis in patient with Cushing Syndrom. Gastrointest Endosc 2004 May ; 59(6): 738 –  741

9. Ly MN, Bethel SL : Cutaneus strongyloidiasis infection. An usual  presentation. J Am Acad Deramtol 2003 Augt ; 49.

10. Moon TD, Oberhelm RA: Antiparasitic therapy in child. Pediadtric Journal 2005 Jun ; 52 (3): 917 - 948

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh pH dalam proses koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut : penurunan kekeruhan yang terjadi pada rentang pH optimum terutama disebabkan oleh kehadiran

Banyak kritik yang ditujukan pada cara guru mengajar yang terlalu menekankan pada penguasaan sejumlah informasi/konsep belaka. Penumpukan informasi/konsep pada siswa

Rapat penutup, difasilitasi oleh ketua tim audit, sebaiknya diadakan untuk menyajikan temuan audit dan kesimpulan. Peserta dalam rapat penutup sebaiknya mencakup manajemen

• Distribusi atau partisi terjadi dg kompartemen Distribusi atau partisi terjadi dg kompartemen terdekat &gt;&gt; fase padat, gas, cair dg fase cair terdekat &gt;&gt; fase padat,

Penelitian mengenai perjanjian kemitraan pada peternakan ayam memang pernah dilakukan sebelumnya oleh penulis lain, seperti yang dilakukan oleh Agus Edi Dewanto, S.H

Mengetahui metode yang menentukan krisis likuiditas Bank Century merupakan kesulitan perbankan biasa sebagaimana diatur Pasal 37 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

3 elektron membentuk covalent bond, shg terbentuk sebuah hole yg bersifat sama dgn elektron donor  konsentrasi hole bebas meningkat di pita valensi.. Bahan tsb disebut akseptor

Studies on noodle quality of potato and rice starches and their blends in relation to their physicochemical, pasting and gel textural properties..