• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori

Pengertian Keluarga

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, anak laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.

Mattessich dan Hill (1987) diacu dalam Zeitlin et al. (1995) mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dimana anggotanya memiliki kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat erat. Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola keseimbangan atau pemeliharaan keluarga artinya adalah bahwa dalam mempertahankan eksistensi institusinya, keluarga dalam melaksanakan tugas-tugasnya tidak lepas dari pola keseimbangan (Megawangi 1999).

Teori Struktural Fungsional

Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang dapat diterapkan dalam institusi keluarga. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999).

Pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan untuk menganalisa peran anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat (Muflikhati 2010). Menurut teori struktural fungsional, keluarga juga dapat dilihat sebagai subsistem dalam masyarakat (Megawangi 1999). Keluarga dalam subsistem masyarakat tidak akan terlepas dari interaksinya dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat, misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan dan agama.

(2)

Dalam interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrum state).

Salah satu aspek penting dari perspektif struktural-fungsional adalah bahwa setiap keluarga yang sehat terdapat pembagian peran atau fungsi yang jelas, fungsi tersebut terpolakan dalam struktur hirarki yang harmonis dan ada komitmen terhadap terselenggaranya peran atau fungsi itu. Peran adalah sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa dilakukan oleh setiap anggota keluarga sebagai subsistem keluarga dengan baik untuk mencapai tujuan sistem. Sejumlah kegiatan atau aktivitas yang memiliki kesamaan sifat dan tujuan dikelompokkan ke dalam sebuah fungsi.

Teori Ekologi Keluarga

Konsep Ekologi manusia menyangkut saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan. Pendekatan ekologi atau ekosistem menyangkut hubungan interdependensi antara manusia dan lingkungan di sekitamya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut. Konsep ekologi manusia juga dikaitkan dengan pembangunan. Keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan sangat bergantung pada faktor manusianya yaitu seluruh penduduk dan sumberdaya alam yang dimiliki serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaidah ekologi menetapkan adanya ketahanan atau ketegaran (resilience) suatu sistem yang dipengaruhi oleh dukungan yang serasi dari seluruh subsistem (Soerjani, 2000 dalam Puspitawati, 2009)

Pendekatan ekologi keluarga merupakan teori yang dapat digunakan untuk mengkaji beragam masalah berkaitan dengan keluarga dalam hubungannya dengan beragam lingkungan. Nilai moral dasar ekologi keluarga terletak pada saling ketergantungan manusia dengan alam, kebutuhan manusia untuk hidup berdampingan satu sama lain dan kebutuhan untuk hidup lebih baik. Nilai moral dasar tersebut diimplementasikan dalam kemampuan adaptasi, daya untuk hidup (survival) dan pemeliharaan keseimbangan (equilibrum atau homeostatis) untuk mengkaji kehidupan manusia yang lebih baik (Sunarti, 2007)

Menurut Deacon dan Firebaugh (1988), lingkungan keluarga dapat diklasifikasikan menjadi lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro adalah kondisi-kondisi di sekitar keluarga baik dalam arti lokasi maupun kontak individu. Lingkungan mikro berupa lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

(3)

Kedua lingkungan ini menjadi penyangga dalam menyerap berbagai masukan dari lingkungan makro. Lingkungan makro atau larger enviroment merupakan aspek yang ada di luar sistem keluarga dan lingkungan mikronya. Keluarga akan mempunyai efek yang kecil terhadap atau bahkan tidak bisa mengontrol keadaan dari lingkungan makro. Pada hakekatnya, lingkungan makro dapat dikelompokkan menjadi (a) lingkungan yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan, yaitu sosial budaya, politik, ekonomi dan teknologi dan (b) lingkungan alam dan buatan disekitarnya, yaitu Kondisi alam (sumberdaya alam) serta struktur yang melingkupi seluruh ekosistem seperti struktur sosial dan kebijakan pemerintah

Teori Perkembangan Keluarga

Teori perkembangan keluarga menjelaskan perkembangan keluarga secara dinamis dan mengklasifikasikannya ke dalam satu rangkaian tahap perkembangan yang jelas. Tahap-tahap perkembangan dianggap sebagai masa-masa stabilitas relatif yang berbeda secara kuantitatif dan kualitatif diantara tahap-tahapnya. Empat asumsi dasar tentang teori perkembangan keluarga: (1) Keluarga berkembang dan berubah dari waktu ke waktu dengan cara-cara yang sama dan dapat diprediksi; (2) Manusia menjadi matang karena berinteraksi dengan orang lain, sehingga mereka memulai tindakan-tindakan serta reaksi terhadap tuntutan lingkungannya; (3) Keluarga dan anggotanya melakukan tugas-tugas tertentu yang ditetapkan oleh mereka sendiri atau oleh konteks budaya dan masyarakat;(4) Kecenderungan keluarga untuk memulai dengan sebuah awal dan akhir yang kelihatan jelas.

Teori perkembangan keluarga meningkatkan pemahaman tentang keluarga pada titik yang berbeda dalam berbagai siklus kehidupan mereka dan menghasilkan deskripsi yang khas tentang kehidupan keluarga dalam berbagai tahap perkembangannya. Setiap fase perkembangan keluarga menghadapi tugas-tugas baru dan belajar teknik adaptasi yang sesuai. Duvall (1962) menggambarkan tipe siklus keluarga dari keluarga utuh dengan lingkaran yang memiliki 8 sektor. Lingkaran ini dapat membantu menempatkan keluarga berada difase yang mana dan memprediksi kapan setiap fase akan dicapai. Dalam fase perkembangan Duvall, lansia memasui fase kehidupan ke 8 yaitu masa tahap terakhir perkembangan keluarga ini dimulai saat salah satu pasangan pensiun, berlanjut saat salah satu pasangan meninggal sampai keduanya meninggal. Proses lanjut usia dan pensiun merupakan realitas yang tidak dapat dihindari

(4)

karena berbagai stressor dan kehilangan yang harus dialami keluarga. Stressor tersebut adalah berkurangnya pendapatan, kehilangan berbagai hubungan social, kehilangan pekerjaan serta perasaan menurunnya produktivitas dan fungsi kesehatan.

Menurut Duvall tugas perkembangan lansia meliputi: (1) Menemukan rumah yang memuaskan untuk akhir-akhir tahun kehidupan; (2) Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun; (3) Membentuk rutinitas rumah tangga yang nyaman; (4) Saling menjaga satu sama lain sebagai suami istri; (5) Menghadapi kehilangan pasangan; (6) Mempertahankan hubungan dengan anak dan cucu; (7) Menjaga minat terhadap orang di luar keluarga; (8) Saling merawat antara satu sama lain sesama lansia; (9) menemukan makna hidup (life review). Mempertahankan penataan kehidupan yang memuaskan merupakan tugas utama keluarga pada tahap ini.

Berdasarkan teori perkembangan Erikson (Latifah 2000), lansia dikelompokkan kedalam tahap perkembangan psikososial yang disebut ego integrity versus despair. Ego integrity mengacu pada kemampuan untuk melihat kebelakang tentang kekuatan dan kelemahan seseorang dengan rasa harga diri (dignity), optimis dan kearifan. Sementara despair mengacu pada keputusasaan sebagai akibat masalah fisik, kesulitan ekonomi, isolasi sosial dan kurangnya pekerjaan yang berarti dalam kehidupan di usia lansia. Dalam hal ini, tentu saja yang diharapkan adalah lansia yang mampu mencapai ego integriity dan bukan sebaliknya. Jika individu tersebut sukses mencapai tugas ini maka dia akan berkembang menjadi individu yang arif dan bijaksana (menerima dirinya apa adanya, merasa hidup penuh arti, menjadi lansia yang bertanggung jawab dan kehidupannya berhasil). Namun jika individu tersebut gagal mencapai tahap ini maka dia akan hidup penuh dengan keputusasaan (lansia takut mati, penyesalan diri, merasakan kegetiran dan merasa terlambat untuk memperbaiki diri).

Lanjut Usia

Pengertian Lansia

Lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock 1994). Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang

(5)

kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.

Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat (Suhartini 2004). Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. (Suara Pembaharuan 14 Maret 1997 dalam Suhartini 2004)

Batasan Lanjut Usia (lansia)

Ada berbagai macam batasan kapan seseorang dikatakan lansia. Di Indonesia, lanjut usia dimulai sejak usia 60 tahun sesuai dengan yang tertera pada Undang-Undang no : 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia (pasal 1 ayat 2). Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 1 ayat 3 dan 4 bahwa lansia itu ada dua macam, yaitu Lansia potensial dan lansia tidak potensial. Lansia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau Jasa. Sedangkan Lansia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah schingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Di Amerika, usia 65 tahun digunakan sebagai benchmark dalam mengelompokkan penduduk berusia lanjut.

Hawari (dalam Mulia, 2009) menyebutkan bahwa di dalam gerontologi, lansia dikelompokkan menjadi 2 kelompok umur, yaitu :(1) Young old (65-74 tahun); (2) Old-old (yang berusia di atas 75 tahun). Lebih lanjut Hawari

(6)

menjelaskan bahwa dari segi kesehatan, lansia dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu : (1) Kelompok well old, yakni sehat, tidak sakit-sakitan; (2) Kelompok sick old, yakni lansia yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris.

World Health Organization (WHO) membagi umur tua sebagai berikut : (1) Usia pertengahan (middle age), yakni kelompok usia 45-59 tahun; (2) Usia lanjut (elderly) kelompok usia 60-74 tahun; (3) Tua (old) antara 75-90 tahun; (4) Sangat tua (very old) kelompok usia di atas 90 tahun. Sedangkan Wattie (2007 )menjelaskan bahwa konsep lansia dapat dijelaskan dari usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis mengacu pada usia yang sebenarnya, yakni usia dihitung berdasarkan jumlah tahun yang telah dilalui dalam kehidupan seseorang. Sedangkan Usia biologis diperhitungkan berdasarkan faktor fisik, mental, dan sosial yang dialami oleh individu, yang ditentukan oleh faktor genetik, kualitas gizi, gaya hidup, dan kesakitan.

Burnside (1979) diacu dalam Arisanti (2010) menentukan batasan lanjut usia berdasarkan usia kronologisnya sebagai berikut : (a) Young-old (60-69 tahun); dianggap sebagai masa transisi utama dari masa dewasa akhir ke masa tua. Biasanya ditandai dengan penurunan pendapatan dan keadaan fisik yang menurun. Sehubungan dengan berkurangnya peran, individu sering merasa kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan; (b) Middle-age-old (70-79 tahun); identik dengan periode kehilangan karena banyak pasangan hidup dan teman yang meninggal. Selain itu ditandai dengan kesehatan yang semakin menurun, partisipasi dalam organisasi formal menurun, muncul rasa gelisah dan mudah marah serta aktifitas seks menurun; (c)Very Old (80-89 tahun) ; Pada masa ini lanjut usia telah mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu ketergantungannya terhadap orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari semakin besar; (d) Very-very old (lebih dari 90 tahun); lebih parah dari masa sebelumnya dimana individu benar-benar tergantung pada orang lain dengan kesehatan yang semakin buruk. Untuk keperluan penelitian kali ini pengelompokkan usia berdasarkan Burnisude yang akan digunakan.

Proses Menua (Aging)

Menua (menjadi tua/aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan

(7)

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap lesion/luka (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides dalam Darmojo dan Martono 2004).

Proses menua merupakan proses yang terus-menerus secara alamiah dimulai sejak lahir dan setiap individu tidak sama cepatnya. Menua bukan status penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Aging proses adalah suatu periode menarik diri yang tak terhindarkan dengan karakteristik menurunnya interaksi antara lansia dengan orang lain di sekitarnya. Individu diberi kesempatan untuk mempersiapkan dirinya menghadapi ketidamampuan dan bahkan kematian (Cox 1984 dalam Miller1995).

Teori Penuaan

Teori yang berhubungan dengan penuaan dari teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia. Teori psikososiol terdiri dari:

1) Teori disengangement (pembebasan)

Teori ini menyatakan bahwa orang yang menua menarik diri dari peran yang biasanya dan terikat pada aktivitas yang lebih intropeksi dan berfokus diri sendiri. Empat konsep dadar teori ini yaitu : (i) individu yang menua dan masyarakat secara bersama saling menarik diri, (ii) disengangement adalah intrinsik dan tidak dapat diletakkan secara biologis dan psikologis, (iii) disengangement dianggap perlu untuk proses penuaan, (iv) disengangement bermanfaat baik bagi lansia maupun bagi masyarakat (Potter & Perry, 2005). Dalam kaitannya dengan lansia, teori mengandung arti bahwa lansia yang bahagia adalah lansia yang mampu melepaskan diri dari aktivitas-aktivitas yang selama ini ditekuninya, misalnya bekerja sebagai pimpinan perusahaan, petani atau pedagang, kemudian beralih kepada aktivitas-aktivitas baru yang lebih sesuai dengan kemampuannya terutama kemampuan fisik (Latifah, 1999).

2) Teori aktifitas

Lanjut usia dengan keterlibatan sosial yang lebih besar memiliki semangat dan kepuasan hidup yang tinggi, penyesuaian serta kesehatan mental yang lebih positif dari pada lanjut usia yang kurang terlibat secara sosial (Potter & Perry, 2005).

(8)

3) Teori kontinuitas (kesinambungan)

Teori kontinuitas atau teori perkembangan menyatakan bahwa kepribadiaan tetap sama dan perilaku menjadi lebih mudah diprediksi seiring penuaan. Teori kontinuitas berdasarkan pada asumsi bahwa identitas merupakan fungsi dari hubungan serta interaksi dengan orang lain. Seseorang yang sukses sebelumnya, pada lanjut usia akan tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta tetap memelihara indentitas dan kekuatan egonya.Teori tahap-tahap perkembangan manusia dari Erickson menerangkan bahwa pada tahap akhir manusia harus memilih antara sense of integrity atau sense of despair, sedangkan Peck menambahkan bahwa pada usia lanjut seseorang harus memilih antara ego differentiation melawan work role preoccupation (pensiun). Juga harus memilih antara memulihkan hubungan yang baik dengan orang lain dan tetap aktif kreatif atau terikat pada pikiran yang terpusat pada kemunduran fisiknya (Rusilanti 2006)

Kesejahteraan Lansia

Kesejahteraan lansia menurut UU no. 13 tahun 1998 pasal 1 adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila. Kesejahteraan merupakan harapan dan tujuan hidup setiap orang. Tingkat kesejahteraan setiap orang dapat berbeda-beda dalam arti keadaan kesejahteraan yang dialami seseorang belum tentu sama bagi orang lain. Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan ( Andriani 2009).

Penanganan dan upaya peningkatan kesejahteran sosial Lansia merupakan tanggung jawab bersama, keluarga - masyarakat - pemerintah. Oleh sebab itu segenap lapisan masyarakat dihimbau untuk lebih meningkatkan kesadaran dan kepeduliannya sehingga dapat berperan nyata baik secara perorangan, kelompok maupun dalam wadah organisasi. Pola penanganan Lansia di dunia telah bergeser dari service ke participation approach. Perubahan

(9)

ini perlu menjadi pemikiran kita karena sebagai negara yang penduduknya sudah berstruktur tua, peran serta setiap warga negara sangat membantu Pemerintah dan kepentingan Lansia. Pemberdayaan dan pendaya gunaan Lansia potensial merupakan amanat undang-undang dalam mewujudkan “ dunia untuk segala usia”. Harapan kita: Mereka tidak selalu menjadi obyek pembangunan tetapi juga sebagai subyek /pelaku pembangunan (Komnas Lansia 2009).

Kesejahteraan sulit didefinisikan dan lebih sulit untuk diukur. Secara umum, ukuran kesejahteraan diklasifikasikan menjadi dua katagori, yakni kesejahteraan objektif dan subjektif. Pada penelitian ini yang akan digunakan untuk mengukur kesejahteraan lansia adalah kesejahteraan subyektif. Kesejahteraan secara subyektif menggambarkan evaluasi individu tentang kehidupannya, yang mencakup kebahagian, kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya semangat dan emosi yang tidak menyenangkan ( Simanjuntak , 2010).

Secara operasional Sumarwan dan Hira (1993) dalam Andriani (2009), variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagian, karena dapat melihat gap antara aspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Guhardja et al (1992) puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang diinginkan. Apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan nilai yang dianut maka diharapkan kepuasan akan terpenuhi. Kepuasan merupakan “output” yang telah diperoleh keluarga akibat kegiatan manajemen. Ukuran kepuasan ini dapat berbeda-beda untuk setiap individu atau bersifat subjektif

Kualitas Hidup

Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup merupakan persepsi individu dari posisi laki-laki/wanita dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana laki-laki/wanita itu tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian. Hal ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan dengan karakteristik lingkungan (WHO, 1994) Menurut Unit Penelitian Kualitas Hidup Universitas Toronto (Anonimous 2011), kualitas hidup adalah tingkat dimana seseorang menikmati hal-hal penting yang

(10)

mungkin terjadi dalam hidupnya. Masing-masing orang memiliki kesempatan dan keterbatasan dalam hidupnya yang merefleksikan interaksinya dengan lingkungan. Sedangkan kenikmatan itu sendiri terdiri dari dua komponen yaitu pengalaman dari kepuasan dan kepemilikan atau prestasi

Menurut Calman diacu oleh Silitonga (2007) konsep dari kualitas hidup adalah bagaimana perbedaan antara keinginan yang ada dibandingkan perasaan yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan sebutan “Calman’s Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui perbedaan antara perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya. Jika perbedaan antara kedua keadaan ini lebar, ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang ada antara keduanya kecil.

Ruang Lingkup Kualitas Hidup

Kualitas hidup dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu; (1) Internal individu yang terdiri dari fisik, psikologis dan spiritual; (2) Kepemilikan yang berkaiatan dengan hubungan individu dengan lingkungannya yang dibagi dua yaitu secara fisik dan sosial; (3) Harapan yang berupa prestasi dan aspirasi individu dapat dibagi dua yaitu secara praktis dan secara pekerjaan. (Universitas Toronto 2011)

Menurut Ventegodt, Merriek & Anderson (2003) , kualitas hidup dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yang berpusat pada suatu aspek hidup yang baik, yaitu: (1) Kualitas hidup subjektif, yaitu bagaimana suatu kehidupan yang baik dirasakan oleh masing-masing individu yang memilikinya. Masing-masing individu secara personal mengevaluasi bagaimana gambaran sesuatu dan perasaan mereka; (2) Kualitas hidup eksistensial, yaitu seberapa baik hidup seseorang merupakan level yang dalam. Ini mengasumsikan bahwa individu memiliki suatu sifat yang lebih dalam yang berhak untuk dihormati dan dimana individu dapat hidup dalam keharmonisan; (3) Kualitas hidup objektif, yaitu bagaimana hidup seseorang dinilai oleh dunia luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.

Kualitas hidup dalam penelitian ini mengacu pada aspekl-aspek kualitas hidup yang terdapat pada WHOQOL-BREF (Skevington, Lotfy & O’Connell 2004) dimana terdapat 4 ranah yang terbagi dalam beberapa fase. Ranah-ranah tersebut adalah tersebut: (1) kesehatan fisik; (2)kesehatan psikologik; (3)

(11)

hubungan sosial; (4)lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut :

1. Ranah kesehatan fisik terdiri atas sub ranah, yaitu: (a) Aktivitas sehari-hari ; menggambarkan kesulitan dan kemudahan yang dirasakan individu ketika melakukan aktivitas sehari-hari; (b) Ketergantungan pada obat-obatan atau bantuan medis ; mengambarkan ketergantungan individu pada obat-obatan atau bantuan medis dalam aktivitas sehari-hari; (c) Energi dan kelelahan ; menggambarkan tingkat energi yang dimiliki individu dalam menggambarkan kehidupan sehari-hari; (d) Mobilitas ; menggambarkan tingkat mobilitas individu; (e) Sakit dan ketidaknyamanan ; sejauh mana ketidaknyamanan individu terhadap rasa sakit yang dimiliki; (f) Tidur dan istirahat ; menggambarkan kualitas istirahat individu; (g) Kapasitas kerja ; menggambarkan kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas; (h) Aktivitas seksual ; menggambarkan kehidupan seksual individu.

2. Ranah Psikologis, terdiri dari sub ranah, yaitu: (a) Gambaran tubuh dan penampilan (Bodily image and appearance) ; menggambarkan bagaimana individu memandang keadaan tubuh (body image) dan penampilannya; (b) Penghargaan terhadap diri ; menggambarkan bagaimana individu menilai dan memandang dirinya; (c) Berpikir, belajar, memori dan konsenterasi; menggambarkan aspek kognitif individu yang memungkinkan untuk berkonsentasi, belajar dan menjalankan fungsi kognitif lainnya.

3. Ranah sosial, terdiri dari sub ranah, yaitu: (a) Relasi personal ; menggambarkan hubungan individu dengan anak, menantu, cucu dan kerabat; (b) Relasi sosial ; menggambarkan hubungan sosial dengan tetangga , teman dan dukungan sosial yang dapat diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya. 4. Ranah lingkungan (enviroment), terdiri dari sub ranah, yaitu: (a) Sumber financial ; menggambarkan keadaan financial individu; (b) Keamanan dan kenyaman fisik lingkungan: menggambarkan situasi kondisi keamanan dan kenyaman lingkungan fisik disekitar individu yang dapat mempengaruhi kebebasan dirinya, seperti polusi/kebisingan/iklim; (c) Perawatan kesehatan dan social care ; menggambarkan ketersediaan perawatan kesehatan dan social care yang dapat diperoleh individu; (d) Lingkungan tempat tinggal; menggambarkan keadaan rumah-tempat tinggal individu; (e) Akses informasi, transportasi, dan keterampilan baru : Kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru, ketersediaan transportasi sebagai penunjang kegiatan sehari-hari, dan

(12)

keterampilan (skill) baru; menggambarkan ada atau tidaknya kesempatan bagi individu untuk mendapatkan informasi dan meningkatkan keterampilan yang diperlukan; (f) Partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi atau aktifitas lain pada waktu luang: menggambarkan kegiatan menyenangkan; menggambarkan sejauhmana individu memiliki kesempatan dan dapat berpartisipasi untuk berekreasi atau menikmati waktu luang.

Dukungan Bagi Lansia

Dukungan yang diperlukan lansia agar bisa menikmati masa tuanya penuh kebahagiaan dan keceriaan atau dengan perkataan lain memiliki kualitas hidup yang baik sangat beragam baik bentuk maupun sumbernya. Bentuknya bisa berbentuk dukungan sosial dan atau dukungan ekonomi. Sumbernyapun bisa berasal dari individu/perorangan dalam keluarga atau luar keluarga, dan institusi baik pemerintah maupun non pemerintah

Dukungan Sosial

Dukungan sosial bagi lansia sangat diperlukan selama lansia sendiri masih mampu memahami makna dukungan sosial tersebut sebagai penyokong atau penopang kehidupannya. Namun dalam kehidupan lansia seringkali ditemui bahwa tidak semua lansia mampu memahami adanya dukungan sosial dari orang lain, sehingga walaupun ia telah menerima dukungan sosial tetapi masih saja menunjukkan adanya ketidakpuasan, yang ditampilkan dengan cara menggerutu, kecewa, kesal dan sebagainya (Kuntjoro,2002). Padahal menurut Taylor (1999) dukungan sosial merupakan sesuatu yang memberikan pengaruh yang menguntungkan. Seperti yang juga dinyatakan oleh Hoffman (1994) bagi kondisi lansia yang mengalami tekanan yaitu bahwa :

”...having friends or some other kinds of social support make it much easier for older adults to cope with stress” (Hoffman, 1994; 543).

yang jika diterjemahkan adalah memiliki teman atau beberapa macam dukungan social lain membuat lansia lebih mudah melakukan koping terhadap stress.

Demikian juga Smet (1994) menjelaskan bahwa jika seorang individu merasa didukung oleh lingkungan maka bagi individu tersebut segalanya akan menjadi lebih mudah pada waktu ia mengalami kejadian-kejadian yang tidak

(13)

menyenangkan.

Gottlieb (dalam Smet, 1994) mendefinisikan dukungan

social secara operasional sebagai berikut :

“Social support consist of the verbal and/or non verbal information or advice tangible aid or action that is proffer by social intimates or inferred by their presence and has beneficial emotional or behavioral effect on the recipient “

Jika diterjemahkan secara bebas, “dukungan sosial terdiri dari informasi verbal atau non verbal atau nasehat, bantuan yang terlihat atau tindakan yang ditawarkan oleh orang yang memiliki hubungan social dekat/akrab atau mereka yang kehadirannya dirasakan dekat dan memiliki pengaruh emosional dan perilaku yang menguntungkan pada penerima bantuan”.

Definisi lain dikemukan oleh Siegel (dalam Taylor, 1999) :

”Social support has been defined as information from other that one is love and care for esteemed and valued, and part of a network of communication and mutual obligation from parents a spouse or lover, other relatives, friend, social and community contact such as churches or clubs or even devoted pet

Yang terjemahannya: dukungan sosial adalah informasi dari orang lain yang sayang dan memiliki perhatian, menghormati dan menghargai dan merupakan bagian jaringan komunikasi dan kewajiban timbal balik dari orang tua, pasangan hidup atau kekasih, relasi, teman, kontak social dan lingkungan seperti keanggotan gereja atau club atau bahkan binatang peliharaan.

Sarafino (1996) mengartikan dukungan social adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Bentuk dukungan sosial, menurut Sarafino(1996) terdiri dari : dukungan emosi, penghargaan, informasi dan instrumental

Dukungan Emosi. Dukungan emosi merupakan ekspresi kasih sayang dan rasa cinta orang-orang di sekitar individu (Russel, et al.,1994) dalam Puspitawati(2009). Individu dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga menimbulkan rasa aman dan percaya (Weiss, Cutrona & Russell, 1987; Witty et al, 1992) dalam Conger (1994). Turner (1983) mengemukakan bahwa dukungan emosi ini sangat penting dan dibutuhkan setiap individu dalam setiap perode kehidupan, curahan perhatian yang mendalam membuat individu dapat mencurahkan perasaannya, hal ini sangat

(14)

membantu kesehatan mental dan kesejahteraan individu (Mirowsky & Ross 1989). Demikian pula Sarafino (1996) dalam Tati (2004) mengatakan bahwa dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini melipuyi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan ini biasanya dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti keluarga, tetangga atau mungkin teman.

Dukungan Penghargaan. Dengan adanya pengakuan dari orang lain atas kemampuannyadan kualitas personelnya, maka individu sebagai penerima dukungan merasa memiliki nilai terhadap dirinya dan ia merasa dihargai atas segala yang telah dilakukannya (Cutrona et al, 1994; Felton & Berry, 1992). Dukungan ini dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau performa orang lain atau mau menerima atas segala kekurangan pada dirinya.

Dukungan Informasi. Dukungan informasi memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain (Felton & Berry, 1992 dalam Conger 1994) . Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini, maka individu dapat menyelesaikan masalahnya atau menambah pengetahuan baru. Hasil studi Cobb (1976) dalam Puspitawati (2009) mengemukakan bahwa pengalaman menunjukkan dukungan informasi yang menuntun dan dinilai serta memiliki jaringan tugas-tugas yang saling menguntungkan. seseorang pada sebuah keyakinan bahwa ia diperhatikan, dihargai.

Dukungan Instrumental. Bentuk dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu (Sarafino, 1996). Dukungan berupa materi atau jasa yang diberikan oleh orang lain kepada individu sebagai penerima dukungan (Borgatta, 1992 dalam Tati 2004). Dukungan dapat berbentuk uang, barang kebutuhan sehari-hari atau bantuan praktis, seperti memberikan fasilitas transportasi, memberi pinjaman uang atau barang rumah tangga lainnya, menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak.

Collins et al, (1993) membagi dukungan sosial dalam tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu :

(15)

a. The significant other help the individual mobilize his psychological resources and master his emotional burdens.

b. They share his tasks; and

c. They provide him with extra supplies of money, materials, tool, skills and cognitive guidance to improve the handling of his situation.

Terjemahan bebasnya adalah: a) Pasangan hidup, atau teman dekat membantu individu memobilisasi sumber-sumber psikologisnya dan penguasaan beban emosionalnya; b) Mereka berbagi dalam mengerjakan pekerjaan yang menjadi tugas individu tersebut; dan selanjutnya c) mereka membantunya dengan memberi uang tambahan, material, peralatan, keterampilan-keterampilan dan petunjuk yang bersifat kognitif untuk memperbaiki cara menangani situasinya.

Dikaitkan dengan sumbernya dukungan sosial merupakan segala sesuatu yang berjalan secara kontinyu dan dimulai dari unit keluarga, kemudian bergerak secara progresif dari individu-individu anggota keluarga, dimana keluarga merupakan anggota kelompok yang dianggap penting dalam memberikan dukungan sosial.

Secara operasional sumber-sumber dukungan sosial dibagi ke dalam dua golongan, yaitu :

a. Sumber dukungan informal, antara lain :

Sumber dukungan individu seperti suami/istri, tetangga, saudara, teman. Dukungan yang dapat diperoleh antara lain berupa dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, material dan informasi.

1. Sumber dukungan kelompok yaitu dari kelompok-kelompok sosial seperti PKK, BKB, Posbindu, Karangtaruna.

b. Sumber dukungan formal, dapat diperoleh dari bidang :

1. Profesional seperti psikiatri, psikolog, pekerja sosial atau spesialis lainnya.

2. Pusat-pusat pelayanan antara lain ; rumah sakit, BP4, panti sosial atau lembaga-lembaga pelayanan lainnya.

Sumber utama dukungan sosial yang potensial terdapat dalam keluarga, sebab dalam keluarga mempunyai fungsi-fungsi dukungan tertentu yang tidak dapat berubah, seperti dukungan suami terhadap istri untuk melaksakan perannya sebagai istri atau terhadap istri dalam memerankan seorang ibu untuk

(16)

melaksanakan pengasuhan anak dengan cara suami memberikan simpati, perhatian, kepercayaan yang dilandasi kasih sayang.

Dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang berasal dari keluarga individu yang menerima bantuan. Bentuk bantuan dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang sangat penting artinya bagi para lansia. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kumpulan orang-orang yang dapat diandalkan kesinambungan dukungannya di saat seorang lansia mulai terpisah dari lingkungan luarnya, seperti dari teman sekerja, rekan bisnis, ataupun orang lainnya di luar keluarga

Dukungan Ekonomi

Pada umumnya para lanjut usia adalah pensiunan atau mereka yang kurang produktif lagi. Secara ekonomis keadaan lanjut usia dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu golongan mantap, kurang mantap dan rawan (Trimarjono, 1997 dalam Suhartini, 2004). Golongan mantap adalah para lanjut usia yang berpendidikan tinggi, sempat menikmati kedudukan/jabatan baik. Mapan pada usia produktif, sehingga pada usia lanjut dapat mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Pada golongan kurang mantap lanjut usia kurang berhasil mencapai kedudukan yang tinggi , tetapi sempat mengadakan investasi pada anak-anaknya, misalnya mengantar anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi, sehingga kelak akan dibantu oleh anak-anaknya. Sedangkan golongan rawan yaitu lanjut usia yang tidak mampu memberikan bekal yang cukup kepada anaknya sehingga ketika purna tugas datang akan mendatangkan kecemasan karena terancam kesejahteraan.

Dalam hal bantuan finansial bagi lansia beberapa penelitian menunjukkan perbedaan antara negara maju dan dan negara sedang berkembang. Clark dan Spengler (1980) mengemukakan bahwa standar kehidupan yang dapat dicapai oleh lansia di negara maju ditentukan sebagian besar oleh pendapatan perkapita nasional, transfer pemerintah untuk lansia dan kecenderungan dan kemampuan lansia untuk terus bekerja. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Ai Ju dan Jones (1989). Di negara-negara Barat, social security merupakan sumber pendapatan yang lazim untuk lansia. Misalnya di US tahun 1974, lebih 90 % dari keluarga dengan kepala keluarga lansia mendapatkan jaminan sosial dari

(17)

pemerintah dan sebaliknya dukungan pendapatan langsung dari anggota keluarga bukan hal yang penting.

Situasi tersebut berbeda dengan negara-negara sedang berkembang, menurut survai WHO, hampir di semua negara di Asia, sumber utama pendapatan lansia berasal dari keluarga. Walaupun lansia menerima pensiun dari pemerintah dan pendapatan lainnya, namun proporsi pendapatan yang terbesar adalah dari keluarganya (Ogawa 1985). Secara lebih terperinci, penelitian yang dilakukan Ai Ju dan Jones (1989) di negara-negara Asean menunjukkan bahwa anak atau cucu merupakan sumber utama bantuan material untuk sebagian besar lansia wanita, meskipun di Indonesia dan Thailand pendapatan dari aktivitas ekonomi mereka juga relatif dominan. Untuk laki-laki, peran anak dan cucu relatif kurang, tetapi walaupun demikian, di Singapore dan Thailand tetap menjadi sumber utama Selanjutnya jika dibedakan antara desa dengan kota, terlihat bahwa di semua negara, untuk pedesaan sumber utama proporsi pendapatan lansia dari aktivitas ekonomi sendiri dan anak cucu lebih besar dari kota dan untuk kota berasal dari pensiun atau cadangan hari tua lebih besar dibandingkan desa.

Tipe tempat tinggal berpengaruh terhadap bentuk dukungan/bantuan yang dapat diberikan keluarga kepada lansia. Bagi lansia tinggal serumah dengan keluarga, dperkirakan bantuan keluarga akan lebih intensif terhadap lansia. El-Badry (1987) mengemukakan pemenuhan berbagai kebutuhan lansia, relatif tidak akan terlalu menjadi masalah selama penduduk usia lanjut masih tinggal dengan keluarganya. Cowgill (1986) juga mengemukakan bahwa hidup dengan dan dekat keluarga memberikan jaminan fisik dan ekonomi yang kuat. Berdasarkan analisis data The General Household Survey (GHS) 1980 di USA, tipe rumah tangga penduduk lansia mencakup: a). hidup sendiri, b). tinggal dengan lansia lain di rumah tangga (baik hanya dengan pasangan lansia, dengan lansia bukan pasangan, maupun dengan pasangan dan anggota rumah tangga dewasa yang belum kawin), dan c). hanya satu lansia di rumah tangga (baik lansia dengan anggota rumah tangga dewasa yang belum kawin, lansia dengan pasangan non-lansia, maupun lansia dengan pasangan non-lansia serta anak-anak) (Arber dan Gilbert,1989).

Keluarga sebagai Sumber Dukungan

Dukungan keluarga merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya dan berada dalam

(18)

lingkungan keluarga yang dapat membuat individu tersebut / penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai. Dukungan keluarga meliputi tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima individu bahkan kehidupan akan terpenuhi. Dukungan keluarga merupakan dukungan alamiah yang memiliki makna penting dalam kehidupan seseorang sehingga individu tersebut dapat menerima dukungan sesuai dengan situasi dan keinginan khusus yang tidak didapatkan dari lingkungan luar.

Keluarga merupakan tempat yang paling nyaman bagi para lansia. Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat. Dukungan keluarga merupakan salah satu jenis dari dukungan sosial. Interaksi timbal balik antara individu atau anggota keluarga dapat menimbulkan hubungan ketergantungan satu sama lain. Dukungan keluarga dapat berupa informasi atau nasehat verbal dan nonverbal, bantuan nyata, tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau adanya perasaan bahwa kehadiran orang lain mempunyai nilai emosional atau mempunyai peran terhadap perilaku bagi pihak penerima dukungan sosial. Friedman (1998) menyatakan bahwa. pemberian bantuan dari keluarga dapat berupa tingkah laku atau materi atau hubungan sosial yang akrab sehingga individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai

Keluarga termasuk dalam program kesehatan masyarakat yang berperan dalam mendukung peningkatan derajat kesehatan seseorang, dimana dukungan keluarga dalam bentuk perhatian, waktu, empati sangat berpengaruh dalam menentukan status kesehatan seseorang yang sedang mengalami masalah, upaya dukungan keluarga muncul dalam beragam dukungan, misalnya dari suami, orang tua, teman, anak, lingkungan tempat tinggal. Dukungan keluarga merupakan suatu strategi interven premitif yang paling baik dalam membantu anggota keluarga mengakses dukungan sosial yang belum digali untuk suatu strategi bantuan yang bertujuan untuk meningkatkan dukungan keluarga yang adekuat. Dukungan keluarga mengacu pada dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses misalnya dukungan bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998).

Referensi

Dokumen terkait

PDVDODK HNRQRPL PDV\DUDNDW ORNDO VHNLWDU '$6 6HPHQWDUD SDGD NHQ\DWDDQQ\D SHUWLPEDQJDQ HNRQRPL GDODP NHJLDWDQ UHKDELOLWDVL GDQ SHQJKLMDXDQ DGDODK PHUXSDNDQ VWLPXOXV EDJL PDV\DUDNDW

Berdasarkan Hasil korelasi Pearson dan regresi logistik faktor-faktor yang menunjukkan adanya hubungan positif terhadap akses pembiayaan dari lembaga keuangan dan

2.1. Sejarah Perusahaan Alfamart merupakan salah satu perusahaan retail local yang saat ini menjadi yang terbaik di

pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Koperasi Primer UPN “Veteran” Jawa Timur dalam mempertanggungjawabkan kinerja koperasi selama satu periode yang telah

Busana yang tetap mengikuti pakem (aturan) salah satu budaya lokal yaitu Jawa tetapi tidak menyimpang dari aturan berbusana umat Islam tersebut dikonsumsi oleh para

Dengan demikian, dalam proses kegiatan belajar menjadi terhambat karena kondisi kelas yang kurang kondusif untuk pembelajaran Sosiologi karena para siswa cenderung

Husni Rahim (2001: 151) mejelaskan bahwa metode Bandongan adalah metode pembelajaran yang mendorong santri untuk belajar mandiri. Dalam metode ini kyai atau ustadz