• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Bali merupakan bahasa daerah yang masih hidup karena masih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Bali merupakan bahasa daerah yang masih hidup karena masih"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Bali merupakan bahasa daerah yang masih hidup karena masih dipelihara, dibina, dan digunakan oleh pendukungnya dalam berbagai aspek kehidupan. Bahasa Bali sebagai salah satu bahasa daerah tetap digunakan sebagai alat komunikasi lisan dan tulisan. Sebagai bahasa lisan, bahasa Bali digunakan dalam proses komunikasi baik dalam topik resmi maupun tidak resmi. (Bawa, 1991: 1 – 2).

Berdasarkan jumlah penuturnya, bahasa Bali dapat digolongkan sebagai bahasa daerah yang besar karena didukung oleh masyarakat penutur yang sangat banyak, yakni digunakan oleh kurang lebih tiga juta penutur (Artawa 2004: 2). Selain itu, bahasa Bali juga memiliki dua variasi yakni Basa Bali Alus dan Basa Bali Kasar (Pastika, 1999: 1). Perbedaan kedua variasi tersebut terletak pada tataran leksikon, serta sedikit pada tataran morfologi dan sintaksisnya. Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Artawa (2004: 2) bahwa perbedaan kedua variasi bahasa Bali tersebut ditandai oleh leksikonnya dan tata bahasa tidak memainkan peran yang besar di dalam perbedaan antara kedua variasi bahasa tersebut.

(2)

Bahasa Bali digunakan baik secara lisan maupun tertulis. Secara lisan, terbukti karena bahasa Bali digunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam bentuk tertulis banyak karya sastra yang berbahasa Bali, baik karya sastra tradisional maupun karya sastra modern yang menggunakan media bahasa Bali. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, bahasa Bali merupakan alat yang paling tepat untuk mempelajari dan menyelami kebudayaan Bali. Hal ini berguna bagi pembinaan, pemeliharaan, dan pengembangan kebudayaan daerah dan nasional. Khusus dalam bidang kesenian, bahasa Bali memiliki peranan cukup penting sebagai penyalur ekspresi masyarakat penggemar seni terutama kesenian tradisional Bali. Adapun kesenian Bali yang menggunakan bahasa Bali sebagai medianya adalah drama gong, arja, topeng, dan janger (Bawa dan Jendra, 1981 : 7).

Bahasa Bali sebagai bahasa daerah memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Bali. Berkaitan dengan hal itu, kedudukan penting bahasa Bali yang dimaksud adalah sebagai bahasa pertama yang digunakan, diajarkan di lingkungan keluarga, dan pada umumnya di daerah tempat tinggal, melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat (Samsuri, 1987 : 7). Kedudukan yang kedua sebagai bahasa daerah, yakni menjalankan tugas sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, dan (4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.

(3)

Berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali sebagai bahasa daerah, dewasa ini telah dilakukan kajian-kajian ilmiah mengenai bahasa Bali oleh para ahli bahasa terutama terhadap verba. Adapun penelitian mengenai verba bahasa Bali di antaranya membahas “Frasa Verba Bahasa Bali” oleh Purwiati dkk. (1993), “Afiksasi Verba Bahasa Bali” oleh Simpen (1995), “Verba Berkomplemen di dalam Bahasa Bali” oleh Suryati (1997), serta “Konstruksi Verba Beruntun Bahasa Bali” oleh Indrawati (2012).

Kajian lain dalam perspektif semantik juga sudah ada, baik dalam bentuk disertasi, tesis, maupun artikel. Kajian dalam bentuk disertasi di antaranya adalah “Verba Bahasa Bali: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik Alami” oleh Sudipa (2004). Dalam bentuk tesis yakni “Peran Semantis Verba Bahasa Bali” oleh Utami (2000) dan “Eksplikasi Makna Ilokusional Tuturan Wacana Mamadik di Denpasar: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik Alami” oleh Netra (2005). Adapun kajian lain yang menggunakan teori MSA dalam bentuk artikel adalah “Struktur dan Peran Semantis Verba Ujaran Bahasa Bali” oleh Sutjiati Beratha (2000) serta “Makna Mengikat dalam Bahasa Bali: Pendekatan Metabahasa Semantik” Alami oleh Sudipa (2012). Dari pemaparan hasil-hasil penelitian tersebut, tampak jelas bahwa kajian tentang semantik verba bahasa Bali masih terbatas jumlahnya, namun hal tersebut bukan merupakan alasan yang paling ditonjolkan di sini, melainkan karena verba bahasa Bali masih banyak mengandung unsur-unsur yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan secara lebih mendalam. Dengan kata lain, verba bahasa Bali memiliki peluang untuk dijadikan sebagai bahan kajian terutama dari perspektif semantiknya.

(4)

Sudipa (2004 : 6) mengatakan bahwa verba bahasa Bali seperti verba pada kebanyakan bahasa merupakan salah satu kelas kata utama yang bersifat sentral dan kompleks. Hal tersebut disebabkan oleh secara semantik verba selalu hadir di dalam tuturan. Selain itu, berdasarkan fitur semantiknya verba bersifat menentukan kehadiran argumen. Terakhir, verba memiliki kewenangan menentukan peran-peran semantik yang ada pada setiap argumen yang menyertainya. Dengan demikian, verba merupakan inti dari sebuah sistem bahasa.

Verba “memotong” adalah salah satu jenis verba bahasa Bali yang merupakan verba dengan jumlah leksikon yang sangat kaya, serta memiliki unsur-unsur makna yang khas yang terkandung di dalamnya. Selain itu, verba “memotong” mengandung banyak keunikan sehingga sangat menarik untuk diteliti. Salah satu di antaranya adalah penggunaan leksikon yang berbeda dengan medan makna yang sama, yakni “memotong” seperti murak, ningkag, nudeg, mukang, dan sebagainya, disebabkan oleh ‘tujuan’ dilakukannya tindakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh verbanya. Mengapa harus mendistribusikan leksikon yang berbeda, padahal medan maknanya sama? Hal tersebut merupakan pertanyaan yang menjadi dasar bahwa verba khususnya verba “memotong” dianggap penting untuk dikaji secara lebih mendalam guna mengetahui keunikan apa saja yang terkandung di dalamnya.

(5)

Pertimbangan lain yang juga melatarbelakangi penelitian terhadap verba “memotong” dalam bahasa Bali karena peneliti merupakan penutur bahasa Bali sendiri, yang mana memiliki kemampuan berbahasa Bali yang disebutkan oleh Chomsky sebagai kompetensi penutur asli, yang meliputi kompetensi linguistik dan kompetensi pragmatik (Chomsky, 1977: 40). Kompetensi linguistik tersebut memungkinkan peneliti dalam membuat penelitian intuitif apakah suatu kalimat di dalam bahasa Bali berterima (gramatikal) atau tidak. Sementara itu, kompetensi pragmatik dapat memudahkan peneliti sendiri untuk menginterpretasikan kalimat dengan memanfaatkan informasi nonlinguistik sehingga dapat menghasilkan pengumpulan data yang sahih dan terpercaya. Verba “memotong”, dalam bahasa Bali yang selanjutnya disingkat menjadi VMBB memiliki banyak padanan ataupun bentuk yang berbeda, tergantung pada distribusinya di dalam sebuah satuan kalimat/ klausa. Sebagai contoh, dalam penggunaan VMBB ditemukan hal berikut.

a) Ia nugel buah apel-ē ento Dia PREF-potong buah apel-DEF itu ‘Dia memotong buah apel itu’

(Abiansemal Badung)

b) Mēmē anē nektek dagdag-ē tunian Ibu REL mencincang dagdag-DEF tadi ‘ibu yang mencincang daun ketela-itu tadi’

(6)

Jika diperhatikan, kedua kalimat di atas sama-sama dipusatkan pada verba yang bermedan makna sama, yaitu “memotong”. Akan tetapi, adanya perbedaan verba yang digunakan pada keduanya memang secara alami ditentukan oleh tujuan dilakukannya tindakan “memotong” tersebut. Pada kalimat a) tujuannya adalah ‘memotong entitas menjadi dua bagian’, sedangkan pada kalimat b) tujuannya adalah ‘memotong entitas menjadi banyak bagian terpisah. Hal tersebut mengundang suatu ketertarikan untuk mengetahui apakah bentuk-bentuk verba tersebut berdistribusi berbeda, dipengaruhi oleh nomina yang menjadi argumennya ataukah sebaliknya. Apabila ditinjau secara umum, bahasa-bahasa di dunia memang memiliki core (konstituen inti) yakni verba, di mana core selanjutnya akan menghadirkan dan memengaruhi argumen di dalam satuan kalimat. Dengan kata lain, sangat umum apabila verba menghadirkan argumen, tetapi tidak apabila argumen menghadirkan verba.

Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa verba “memotong” menghadirkan argumen di dalam satuan kalimat. Akan tetapi, perbedaan bentuk verba antara kedua kalimat bukanlah karena perbedaan argumen yang menjadi objek kalimat, melainkan karena cara “memotong” yang disiratkan oleh verba. Adanya perbedaan bentuk verba dengan makna yang serupa, di samping karena perbedaan objek dan hasil yang diinginkan dari tindakan verba tersebut, secara alami juga dipengaruhi oleh cara memotong, alat yang digunakan, serta ada beberapa di antaranya terjadi verbalisasi instrumen yang digunakan sebagai alat memotong, di mana verba yang mengisi fungsi predikat berasal dari nomina alat pemotong yang diverbalkan (verba denominal).

(7)

Seperti yang telah dijelaskan di atas, VMBB memiliki banyak padanan kosa kata yang memiliki kesamaan medan makna. Karena banyaknya padanan tersebut, sangatlah memungkinkan untuk melakukan klasifikasi secara semantik berdasarkan tipe-tipe yang sesuai. Munculnya perbedaan bentuk verba, sangat dipengaruhi oleh cara “memotong”, instrumen “memotong”, objek atau entitas “memotong” (apakah itu manusia, hewan, tumbuhan, atau benda mati yang lainnya), tujuan, dan hasil “memotong”.

Hal lain yang dapat disampaikan bahwa secara alami struktur VMBB yang begitu unik menghasilkan peran-peran yang berbeda pada setiap argumennya. Secara umum, peran-peran yang dimainkan oleh argumen verba adalah subjek sebagai ACTOR dan objek sebagai UNDERGOER. Secara lebih mendalam, peran ACTOR dan UNDERGOER tersebut memiliki peran bawahan masing-masing, akan tetapi peran bawahan yang dimainkan akan berbeda tergantung dari tujuan digunakannya verba.

Dari sekelumit fenomena di atas, sangatlah menarik untuk meneliti verba, khususnya VMBB. Distribusi leksikon yang berbeda menyebabkan perbedaan struktur verba yang digunakan. Selain itu, bentuk-bentuk verba dengan kesamaan medan makna tersebut sangat banyak ditemukan di dalam percakapan sehari-hari. Karena banyaknya padanan leksikal yang ada, sering menyebabkan residu penggunaan leksikon sehingga sering terjadi kesalahan pendistribusian di dalam tuturan kalimat. Hal tersebut pada akhirnya mengundang ketertarikan penulis untuk mengkajinya secara lebih mendalam.

(8)

1. 2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, sudah jelas bahwa VMBB sangat perlu diteliti untuk memeroleh uraian yang lebih terperinci dan tuntas. Adapun masalah yang berkenaan dengan VMBB dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah realisasi leksikal dan klasifikasi VMBB secara semantik? 2. Bagaimanakah struktur VMBB beserta kandungan makna asalinya? 3. Peran semantik apa sajakah yang terkandung di dalam argumen VMBB?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan hal yang penting di dalam melakukan setiap kegiatan sebab dengan adanya tujuan maka kegiatan akan berjalan lancar. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh peneliti, yang memiliki tujuan yang jelas. Dalam penelitian ini ada tujuan yang ingin dicapai, sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk ikut serta membina, mengembangkan, dan menjaga kelestarian bahasa Bali sebagai penunjang kebudayaan nasional. Di samping itu, untuk melengkapi penelitian-penelitian mengenai bahasa Bali yang sudah ada sebelumnya.

(9)

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan realisasi leksikal VMBB. 2) Untuk mendeskripsikan struktur VMBB beserta kandungan makna asalinya. 3) Untuk menjelaskan peran semantik yang terkandung di dalam argumen verba.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua jenis manfaat, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan di bawah ini.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi dan acuan dasar dalam upaya memeroleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang linguistik, khususnya bidang semantik. Selain itu, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pembanding bagi peneliti berikutnya yang tertarik meneliti bahasa Bali dari segi semantik, khususnya dengan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Diharapkan juga, penelitian ini bermanfaat dalam dunia linguistik untuk memberikan pemahaman mengenai bentuk leksikon khusunya verba beserta makna yang sesuai dengan bentuk tersebut. Suatu penelitian yang menggunakan teori MSA ini akan sangat membantu di dalam melakukan klasifikasi tipe-tipe verba sehingga makna-makna yang serupa atau memiliki kedekatan juga akan dapat diklasifikasikan dalam hal kedalaman tingkat kedekatan atau keserupaan makna tersebut, apakah makna tersebut

(10)

sangat dekat, agak dekat, agak jauh, ataupun sangat jauh dalam arti tidak memiliki hubungan makna yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

Temuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yang berguna bagi penutur bahasa, khususnya penutur bahasa Bali untuk memahami penggunaan serta makna verba yang bermakna “memotong” dalam bahasa Bali. Analisis terhadap VMBB dengan teori MSA ini dapat memberikan konfigurasi makna yang sangat jelas sehingga dapat terpola satu makna untuk satu bentuk atau terpola satu bentuk untuk satu makna. Dengan demikian, tidak akan ada lagi kesalahan pemilihan leksikon yang tepat untuk mengungkapkan maksud yang ingin disampaikan oleh penuturnya.

(11)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian Pustaka digunakan untuk memaparkan karya-karya ilmiah khususnya yang berkaitan dengan kajian dalam bidang semantik yang menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Pemaparan ini bertujuan untuk mengetahui posisi penelitian yang dilakukan di antara penelitian yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, penelitian-penelitian yang telah ada dapat digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan penelitian ini. Adapun penelitian-penelitian yang membantu dalam mengembangkan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Sutjiati-Beratha (2000: 241 – 257) menulis artikel yang berjudul “Struktur dan Peran Semantik Verba Ujaran dalam Bahasa Bali”. Adapun isi tulisan tersebut adalah penerapan teori MSA yang menekankan analisis dari makna ke bentuk, bukan sebaliknya dari bentuk ke makna, kemudian berhasil memeroleh kajian struktur semantik yang relevan. Selain itu, teori Macrorole juga digunakan untuk menjelaskan peran umum argumen verba ujaran bahasa Bali. Akan tetapi, data yang dijadikan sebagai bahan kajian terbatas hanya pada verba ujaran bahasa Bali dan belum mencakup verba lainnya seperti verba tindakan. Kendatipun demikian, Sutjiati-Beratha telah mampu memberikan gambaran yang dapat dijadikan acuan bagi penulis karena telah menjelaskan sedemikian

(12)

ringkas dan cermat mengenai struktur semantik dan peran umum argumen. Dengan demikian, teori MSA dan Macrorole dalam artikel tersebut dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini, terutama dalam menentukan struktur dan peran semantik argumen-argumen VMBB.

Selain artikel, kajian bidang semantik yang berkaitan dengan penelitian ini adalah berupa disertasi, tesis, dan hasil penelitian lain, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Budiasa (2002) mengkaji “Struktur Semantik Verba yang Bermakna Menyakiti dalam Bahasa Bali”, dan Kajian itu hanya membatasi diri pada verba yang bermakna “menyakiti”. Dalam penelitian ini, berhasil dikelompokkan verba bahasa Bali menjadi dua tipe, yaitu (1) tipe Melakukan dengan subtipe Melakukan-Merasakan serta (2) subtipe Melakukan-Terjadi. Adapun peran semantik verba yang bermakna “menyakiti” adalah pelaku berperan sebagai agen dan penderita. Dengan demikian, penelitian ini relevan dengan apa yang penulis kerjakan, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelompokan verba bedasarkan subtipenya. Meskipun permasalahan yang terdapat di dalam penelitian ini terbatas jumlahnya, penelitian ini dianggap sangat membantu memberikan ilustrasi dalam penerapan teori MSA.

Sudipa (2005) dalam disertasi yang berjudul “Verba Dalam Bahasa Bali: Kajian Metabahasa Semantik Alami” memaparkan klasifikasi verba bahasa Bali secara semantik, struktur semantik verba bahasa Bali beserta kandungan makna asalinya, dan peran semantik yang dikandung argumen atas pertautan dengan

(13)

verba bahasa Bali. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa verba bahasa Bali dapat diklasifikasikan menjadi verba keadaan, verba proses, dan verba tindakan. Verba keadaan dapat dibagi menjadi (1) tipe Kognisi dengan subtipe Memikirkan dan Mengatakan serta subtipe Memikirkan dan Terjadi; (2) tipe Pengetahuan dengan subtipe Mengetahui dan Mengatakan, serta subtipe Mengetahui dan Merasakan; (3) tipe Merasakan dengan subtipe Merasakan dan Memikirkan, subtipe Merasakan dan Terjadi, subtipe Merasakan dan Melakukan, serta subtipe Merasakan dan Mengatakan.; (4) tipe Persepsi Melihat, dengan subtipe Melihat dan Merasakan, subtipe Melihat dan Mengetahui, subtipe Melihat dan Memikirkan, serta subtipe Melihat dan Mengatakan; (5) tipe Persepsi Mendengar dengan subtipe Sengaja dan subtipe Tidak Sengaja; (6) tipe Menginginkan , yang tidak memiliki subtipe.

Verba Proses dapat dibagi menjadi (1) tipe Kejadian, dengan subtipe Kejadian Akibat Tindakan Orang Lain, dan subtipe Kejadian Akibat Perbuatan Sendiri; (2) tipe Bergerak yang dibagi menjadi subtipe Arah Bergerak dan subtipe Kualitas Bergerak.

Verba Tindakan dapat dibagi menjadi (1) tipe Gerakan yang memiliki subtipe Arah Gerakan, sub-tipe Cara Gerakan, serta sub-tipe Tempat Gerakan; (2) tipe Ujaran dengan enam belas subtipe (Meminta, Menyuruh, Melarang, Berjanji, Memuji, Memanggil, Mengajak, Memarahi, Membujuk, Menasihati, Menyesal, Mendesak, Mengerutu, Menjawab, Bertanya, dan Menuduh); (3) tipe melakukan, yang memiliki sutipe Berpindah serta subtipe Terjadi. Selain itu, penelitian ini juga memaparkan struktur semantik verba bahasa Bali beserta

(14)

kandungan makna asalinya serta menjelaskan peran semantik yang dikandung argumen atas pertautannya dengan verba.

Dalam tulisannya, Sudipa tidak menjelaskan bentuk-bentuk argumen verba sehingga memberikan peluang kepada penulis untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam, dan sekaligus memberikan acuan dalam menelaah struktur VMBB serta mengeksplikasi tiap-tiap butir leksikon VMBB.

Vinsensius Gande (2012) dalam tesis yang berjudul “Verba Memotong Dalam Bahasa Manggarai; Kajian Metabahasa Semantik Alami” meneliti kealamiahan verba yang bermakna “memotong” dalam bahasa Manggarai. Hasil penelitian itu mampu memberikan acuan di dalam pengklasifikasian verba kepada penulis.

Dalam tulisannya, Gande mengklasifikasikan verba yang bermakna “memotong” sesuai dengan realisasi leksikalnya dengan subtipe memotong manusia / anggota tubuh manusia, binatang, pohon, rumput, buah, daun, tali, dan kain. Selain itu, Gande juga melakukan kajian terhadap struktur semantik verba dan berhasil melakukan klasifikasi atas beberapa bagian, yaitu pemetaan eksponen, pemetaan subeksponen, dan pemetaan komponen. Pemetaan eksponen mencakup leksiko-sintaktik, skenario motivasi prototipikal, instrumen, cara menggunakan istrumen, dan hasil yang diinginkan. Pemetaan subeksponen meliputi (1) seseorang melakukan sesuatu pada sesuatu “sesuatu yang baik terjadi”, dan (2) seseorang melakukan sesuatu pada sesuatu “sesuatu yang buruk terjadi”. Terakhir, pemetaan komponen dilakukan guna mengetahui makna asali setiap bentuk verba. Komponen tersebut meliputi seseorang

(15)

melakukan sesuatu mengharapkan sesuatu menjadi dua bagian, beberapa bagian, dan banyak bagian. Ketiga komponen tersebut memeroleh makna asali, seperti WANT, SOMETHING, TWO, MANY, PART, dan MUCH.

Dalam penelitiannya, Gande hanya mengkaji struktur semantik verba, sedangkan peran semantiknya tidak disentuh sehingga kajian menjadi kurang sempurna. Penelitian terhadap verba “memotong” dalam bahasa Manggarai ini menghasilkan klasifikasi yang menjelaskan satu bentuk satu makna untuk satu tipe klasifikasi. Akan tetapi, VMBB secara leksikal dapat diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi. Hal tersebut disebabkan oleh keunikan makna tersendiri yang terkandung di dalam tiap-tiap butir leksikon verba. Meskipun demikian, untuk mendapatkan hasil klasifikasi dan analisis yang memadai, tiap-tiap butir leksikon akan diklasifikasikan menurut kedekatan makna inheren yang terkandung di dalam butir leksikon. Selain itu, objek penelitian Gande diambil dari bahasa Manggarai, sehingga memberikan peluang bagi penulis untuk meneliti verba khususnya VMBB.

2.2 Konsep

Konsep merupakan terminologi-terminologi teknis yang digunakan di dalam anasisis yang mendukung teori di dalam pelaksanaan atau operasionalnya. Penelitian ini menggunakan dua teori, yakni teori MSA dan teori Peran Umum (Macroroles). Kedua teori tersebut memiliki konsepnya masing-masing. Adapun konsep yang mendukung teori MSA adalah “verba”, “parafrase” (eksplikasi), dan “makna”, sedangkan konsep yang mendukung teori

(16)

Peran Umum (Macroroles) adalah ‘peran’. Keempat konsep ini dibedakan, tetapi tidak dipisahkan karena penerapan teori MSA dan teori Peran Umum (Macroroles) nantinya saling mendukung untuk membahas permasalahan yang dikaji.

2.2.1 Verba

Secara sintaktis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar. Jadi, sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dengan perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinan satuan itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel, seperti sangat, lebih atau agak. Verba (verbs) atau kata kerja adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat. Dari bentuknya, verba dapat dibedakan seperti di bawah ini.

(1) Verba dasar bebas, yaitu verba yang berupa morfem dasar bebas.

Contoh: getep ‘potong’, ulung ‘jatuh’, punyah ‘mabuk’, bangun ‘bangun’, sirep ‘tidur’, dan sebagainya.

(2) Verba turunan, yaitu verba yang mengalami proses afiksasi, reduplikasi, gabungan proses atau paduan leksem. Sebagai bentuk turunan dapat dijumpai seperti berikut.

(a) Verba berafiks

Contoh: ngetep ‘memotong’, ngajeng ‘makan’, majalan ‘berjalan’, nyagur ‘memukul’, jagura ‘dipukul’, kajagurin ‘dipukuli’, dan sebagainya.

(17)

(b) Verba bereduplikasi

Contoh: nebih-nebih ’memotong-motong menjadi dua’ tolah-tolih ‘tolah-toleh’

(c) Verba berproses gabung

Contoh: masepeg-sepegan ‘bertebas-tebasan’, majaran-jaranan ‘berkuda-kudaan’, mamontor-montoran ‘bermobil-mobilan’, dan sebagainya.

(d) Verba majemuk

Contoh: ngaduk sera ‘mencampur adukkan’ dan sebagainya.

Verba dapat juga ditinjau dari sudut perpindahan kategori. Dengan demikian, verba dapat dibedakan sebagai berikut.

(a) Verba denominal, yaitu verba yang berasal dari nomina.

Contoh: ngarit ‘menyabit’, mataluh ‘bertelur’, majalēr ‘bercelana panjang’, mamunyi ‘bersuara’, dan sebagainya.

(b) Verba deajektival, yakni verba yang berasal dari adjektiva.

Contoh: mawakang ‘memendekkan’, nyelēkang ‘menjelekkan’, nyelemang ‘menghitamkan’, dan sebagainya.

(c) Verba deadverbial, yakni verba yang berasal dari adverbia.

Contoh: nyuudang ‘menyudahi’, ngalebihang ‘melebihkan’, dan sebagainya.

Dalam bahasa Indonesia, verba ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata “tidak’ dan tidak mungkin diawali dengan kata “sangat”, “lebih” dsb. Dalam bahasa Bali, kata “tidak” dinyatakan dengan kata tusing ‘tidak’,

(18)

nēnten ‘tidak’. Kata “sangat” dinyatakan dengan kata sanget ‘sangat’ dan kata “lebih” dinyatakan dengan kata lebih ‘lebih’ (Janiartini, 1996: 30). Untuk mengetahui apakah verba bahasa Bali juga memiliki ciri yang sama dengan verba bahasa Indonesia dibuktikan melalui beberapa data berikut.

(1) Raga sing macukur ibi (SR. 25) Saya tidak bercukur kemarin

’Saya tidak bercukur kemarin’

(2) Tiang ten nepukin anak ngarit derika (SR.110) Saya tidak melihat orang menyabit di-sana

‘Saya tidak melihat orang memotong rumput di sana’ (3) Luh Purnama ngikih nyuh (SR. 39).

Nama memarut kelapa ‘Luh Purnama memarut kelapa’

(3a) *Luh Purnama kaliwat ngikih nyuh (SR. 39 Intf.) Nama terlalu memarut kelapa

*‘Luh Purnama terlalu memarut kelapa’

(3b) *Luh Purnama lebih ngikih nyuh. (SR. 39 Intf.) Nama lebih memarut kelapa

*‘Luh Purnama lebih memarut kelapa’

Kata sing ‘tidak’ pada data (1) bentuknya berterima bergabung dengan kata macukur ‘bercukur’. Kata ten ‘tidak’ pada data (2) bentuknya gramatikal bergabung dengan kata nepukin ‘melihat’. Demikian juga pada data (3) apabila di depan predikat ditambahkan kata tusing ‘tidak’ sehingga menjadi Luh Purnama tusing ngikih nyuh ‘Luh Purnama tidak memarut kelapa’ bentuknya berterima. Kata kaliwat ‘sangat’ pada data (3a) tidak berterima bila bergabung dengan kata ngikih nyuh ‘memarut kelapa’, demikian juga pada data (3b), kata lebih ‘lebih’ tidak berterima bergabung dengan kata ngikih nyuh ‘memarut kelapa’.

(19)

Berdasarkan data di atas, dapat ditegaskan bahwa ciri-ciri verba dalam bahasa Indonesia tidak berbeda dengan ciri-ciri verba dalam bahasa Bali. Dengan demikian, verba dalam bahasa Bali tidak bisa bergabung dengan kata kaliwat ‘sangat’ dan lebih ‘lebih, tetapi bisa bergabung dengan kata ten ‘tidak’, dan tusing ‘tidak’.

2.2.1.1 Verba Tunggal

Di antara pedikat verbal, ada yang ‘tunggal’ dan ada yang ‘serial’. Predikat verbal yang tunggal adalah predikat dengan verba utama yang hanya satu. Contohnya ialah klausa Gusti Ngurah nektek bē ‘Gusti Ngurah mencincang daging’ sehingga predikat tunggal dapat diketahui dengan mudah, yakni nektek “memotong”, karena merupakan sebuah predikat yang terdiri atas satu buah verba saja.

2.2.1.2 Verba Serial

Struktur verba serial adalah struktur predikatif dengan verba utama yang lebih dari satu (biasanya dua) sedemikian rupa sehingga tak ada verba yang tergantung dari verba yang lainnya. Contoh sebagai berikut.

(aa) Bapa bah bangun ‘Ayah jatuh bangun’. (ab) Bapa bah lan bangun ‘Ayah jatuh dan bangun’. (ac) Bapa bangun lan bah ‘Ayah bangun dan jatuh’. (ad) *Bapa bangun bah ‘Ayah bangun jatuh’.

(20)

Contoh (aa) merupakan klausa yang hanya satu, sehingga berbeda dengan (ab) yang merupakan kalimat majemuk, terdiri atas dua klausa, yakni bapa bah ‘ayah jatuh’ dan bapa bangun ‘ayah bangun’, dihubungkan dengan lan ‘dan’. Perhatikanlah (aa) dan (ac) sama-sama gramatikal, sedangkan (ad) tidak, karena bah bangun ‘jatuh bangun’ merupakan hanya satu predikat, terdiri atas dua buah verba yang dirangkaikan secara serial yakni hanya dalam urutan tersebut bah bangun ‘jatuh bangun’.

2.2.2 Valensi dan Pilihan Valensi

Terdapat sejumlah konsep teoretis penting di dalam teori MSA, yaitu makna asali, aloleksi, polisemi, pilihan valensi, dan sintaksis NSM. Namun, dalam penelitian ini, hanya digunakan konsep yang relevan, yakni makna asali dan pilihan valensi.

Di dalam klausa, konstituen induk adalah verba, yang secara fungsional disebut dengan ‘predikat’. Verba itu disertai nomina atau frasa nominal. Fungsi ‘induk’ dalam klausa itu memang predikat. Predikat itu biasanya berupa verbal atau secara kategorial predikat itu berupa verba.

Verba mengungkapkan suatu keadaan, kejadian, atau kegiatan. Dalam keadaan, kejadian, dan kegiatan tersebut biasanya terlibatlah orang atau benda, entah satu atau lebih. Orang atau benda tersebut dapat disebut sebagai “Peserta-Peserta” dalam keadaan atau kejadian yang diungkapkan oleh verba di tempat predikat, dan peserta itu berupa nominal. Jumlah peserta tergantung dari jenis verba di tempat predikat.

(21)

Verba-verba dapat digolongkan menurut kemungkinan adanya satu, dua, atau tiga peserta nominal itu, dengan istilah ‘valensi’. Peserta-peserta itu disebut dengan ‘argumen’. Valensi adalah hubungan sintaktis antara verba dan unsur-unsur di sekitarnya, mencakup ketransitifan dan penguasaan verba atas argumen-argumen di sekitarnya (Kridalaksana, 2008:253).

Argumen adalah nomina atau frasa nominal yang bersama predikator membentuk suatu proposisi. Argumen itu secara fungsional ada dua jenis yaitu ‘Subjek’ dan ‘Objek’. Subjek adalah apa yang berada dalam keadaan yang diartikan oleh verba di tempat predikat atau apa yang mengalami kejadian yang diartikan oleh verba (bervalensi satu atau lebih dari satu tetapi dalam bentuk pasif) atau apa yang melakukan hal-hal yang diartikan oleh verba (Verhaar, 2006: 166). Objek adalah nomina atau kelompok nomina yang melengkapi verba-verba tertentu di dalam klausa. Lebih jelasnya lagi, objek adalah pihak yang mengalami tindakan yang diartikan oleh verba bervalensi, minimal bervalensi dua (Verhaar, 2006: 166).

2.2.3 Verba “Memotong”

Dari segi perilaku semantik, verba memiliki makna inheren ‘melakukan’ atau ‘tindakan’ yang terkandung di dalamnya (Gande, 2012: 19). Verba “memotong” adalah sebuah verba yang mengekspresikan dua makna asali, yaitu ‘melakukan’ dan ‘terjadi’. Kedua makna tersebut merupakan polisemi, tetapi memiliki kerangka gramatikal yang berbeda, kecuali hubungannya yang

(22)

menyerupai pengartian (entailment like relationship) (Wierzbicka, 1996: 28 – 29; Goddard, 1997: 12-13).

Verba “memotong” pada hakikatnya mencerminkan suatu tindakan di mana ACTOR menyebabkan UNDERGOER mengalami perubahan fisik, yang pada awalnya berupa satu buah bagian, kemudian akibat tindakan ACTOR, UNDERGOER mengalami pemisahan bagiannya menjadi dua, tiga, banyak, atau tetap satu bagian tetapi tidak utuh seperti sedia kala. Dengan demikian, tingkat kesempurnaan perubahan UNDERGOER bisa dibedakan menjadi tingkat kesempurnaan yang rendah, dan tingkat kesempurnaan perubahan yang tinggi (Pateda, 2001: 274).

Sesuai dengan hasil yang diharapkan di dalam aktivitasnya, verba “memotong” dapat dilakukan dengan cara apa saja, baik dengan merealisasikan leksikon yang murni bermakna “memotong” maupun dengan leksikon yang bermakna lain, tetapi berimplikasi menyebabkan suatu objek mengalami pemisahan wujud atau perubahan fisik menjadi bagian yang terpisah. Dengan demikian, di dalam penelitian ini dibaurkan beberapa leksikon yang pada dasarnya bermakna “menggigit”, “menarik” atau “menghentakkan”, “merobek”, dan “memetik” karena berimplikasi menyebabkan suatu objek entitas mengalami perubahan seperti apa yang tersaji dalam konsep verba “memotong”.

(23)

2.2.4 Makna

2.2.4.1 Konsep Makna

Makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Setiap tanda linguistik tersebut terdiri atas dua komponen, yakni (1) signifian “yang mengartikan” yang berupa runtutan bunyi dan komponen yang berikutnya, yakni komponen signifie “yang diartikan” yang berupa pengertian atau konsep (Saussure, 1966). Dalam bahasa yang diungkapkan oleh seseorang, akan terkandung makna-makna tertentu yang ditangkap oleh lawan tuturnya sesuai dengan konteks sosial budayanya.

Konsep makna menurut Pierce adalah (1) konsep atau pengetahuan yang dimiliki tentang suatu objek tidak bersifat absolut. Suatu objek mungkin tetap tak mungkin berubah, sementara makna kata itu mungkin berubah bagi kita kalau ada perubahan pengetahuan tentang objek itu atau perubahan perasaan kita terhadap objek itu (Ullmann, 1977: 67); (3) makna tidak hanya berada pada tataran psikologis, tetapi berada pula pada tataran komunikasi sosial yang melibatkan faktor konstekstual. Dalam kajian teori tanda, makna kontekstual menganggap makna satu tanda sebagai fungsi hubungannya dengan tanda lain dalam konteksnya (Noth, 1995: 100). Berkaitan dengan makna pragmatik, konteks penggunaan suatu kata atau kalimat ditentukan oleh faktor situasional, seperti the role of participants, discourse, time, dan intention.

(24)

2.2.4.2 Makna Asali

Makna asali adalah perangkat makna yang tidak dapat berubah karena diwarisi oleh manusia sejak lahir (Goddard, 1996: 2). Makna asali adalah refleksi dari pikiran manusia yang mendasar, dapat dieksplikasikan dari bahasa alamiah yang merupakan satu-satunya cara dalam merepresentasikan makna (Wierzbicka, 1996: 31). Eksplikasi makna tersebut meliputi makna kata-kata yang secara intuitif berhubungan atau sekurang-kurangnya memiliki medan makna yang sama dan makna yang ada dianalisis berdasarkan komponen-komponennya.

Menurut Wierzbicka (1996c: 14) dan Goddard (1996a: 25) dalam Sutjiati Beratha (2012: 24), penetapan makna asali pada teori MSA berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bertahap selama bertahun-tahun terhadap bahasa-bahasa yang ada di dunia, seperti bahasa Ewe (Nigeria-Kongo Afrika Utara), Inggris, Cina, Jepang, Yankunytjatjara (Australia), Aceh, Thai, Misulmalpan (Nikaragua), Longgu (Pulau Solomon), Perancis, Kalam (Papua), dan Mangap-Mbula (New Guinea). Penetapan sebuah kata sebagai sebuah makna asali bila kata tersebut dapat digunakan untuk menerangkan makna sejumlah kata lain dan makna konstruksi gramatikal. Makna asali dapat dijadikan dasar untuk kajian medan makna.

Suatu makna bersifat kompleks. Makna yang kompleks dapat diterangkan secara lebih sederhana. Hal ini terjadi karena di dalam makna asali terdapat suatu keteraturan. Apabila suatu leksikon dianalisis secara lebih mendalam, diperkirakan akan ditemukan suatu fitur yang teratur. Dengan kata lain, apabila

(25)

makna asali sudah bisa ditemukan, akan mempermudah menemukan makna yang kompleks sekalipun. Berikut ini sejumlah 64 butir makna asali dalam bahasa Inggris yang dikemukakan oleh Goddard dan Wierzbicka , 2002: 3). 1. Substantives I, YOU, SOMEONE, SOMETHING, PEOPLE,

BODY

2. Relation KIND OF, PART OF

3. Determiners THIS, THE SAME, OTHER

4. Quantifiers ONE, TWO, ALL, MANY/MUCH, SOME

5. Attributes BIG, SMALL, GOOD, BAD

6. Intensifiers VERY

7. Mental Predicates WANT, FEEL, THINK, KNOW, SEE, HEAR, BE

8. Speech SAY, WORDS, TRUE

9. Action, Events, DO, HAPPEN, MOVE, PUT, GO Movements

10. Existence and Possesive THERE IS, HAVE 11. Life and Death LIVE, DIE

12. Logical Concepts NOT, MAYBE, CAN, BECAUSE, IF

13. Time WHEN/TIME, NOW, AFTER, BEFORE, A

LONG TIME, A SHORT TIME, FOR SOME TIME, MOMENT

14. Space WHERE, HERE, ABOVE, BELOW, NEAR,

FAR, INSIDE, SIDE, TOUCHING

15. Augmentor MORE

16. Similarity LIKE (HOW, AS)

2.2.4.3 Polisemi Nonkomposisi

Polisemi menurut MSA merupakan bentuk leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Hal ini terjadi karena adanya hubungan komposisi antara satu eksponen dan eksponen lainnya karena eksponen tersebut memiliki kerangka gramatikal yang berbeda. Dalam verba tindakan “memotong”, ngetep ‘memotong’ terdapat polisemi nonkomposisi antara MELAKUKAN dan TERJADI sehingga pengalam memiliki eksponen “X melakukan sesuatu, sesuatu terjadi pada Y".

(26)

2.2.5 Peran Semantik 1) Agentif

Agentif adalah peran yang menyatakan perbuatan atau yang menyebabkan dan memengaruhi suatu proses yang dilakukan oleh agen (pelaku).

Contoh:

(1) Luh Purnama nuēs busung-ē (Banjarangkan, Klungkung) Nama mengiris janur-DEF

‘Luh Purnama memotong janur itu’.

Peran agentif dilakukan oleh agen yaitu Luh Purnama ‘Luh Purnama’ yang menduduki fungsi subjek.

2). Objektif

Peran objektif adalah peran yang menyatakan sasaran dari perbuatan yang digambarkan oleh predikat.

Contoh:

(1) Gedang-ē sibak-a teken i mēmē (Banjarangkan, Klungkung)

N-DEF V-PASS PAR ART FAM- TERM Pepaya-DEF dibelah oleh si ibu

’Pepaya itu dibelah oleh ibu’

Peran objektif dinyatakan oleh gedangē ‘pepaya itu’ sebagai subjek. 3) Benefaktif

Peran benefaktif adalah peran yang bersangkutan dengan perbuatan (verba) yang dilakukan untuk orang lain (Kridalaksana, 2008: 32).

(27)

(2) Lalē Dumilah tebih-ang-a apel tekēn Inaq Wira (SR. Intf.) Nama potong-kan-di apel oleh Nama

”Lale Dumilah dipotongkan apel oleh Inaq Wira”

Peran benefaktif dinyatakan oleh Lalē Dumilah ‘Lale Dumilah’ yang menduduki fungsi subjek. Peran aktif dan peran pasif masing-masing diisi oleh kata sibaka ‘dipotong’ yang menduduki fungsi predikat pada data (1). Sebaliknya peran pasif diisi oleh kata tebihanga ’dipotongkan’ dan baanga /baaŋə/ ’diberikan’ yang menduduki fungsi predikat pada data (2).

Peran semantik adalah peran yang terdapat pada argumen predikat. Foley dan Van Valin (1984) memberikan label ACTOR dan UNDERGOER untuk menerangkan hubungan semantik antara predikat dan argumen. ACTOR adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang membentuk, memengaruhi, atau mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikat. UNDERGOER adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak membentuk, tidak memengaruhi, ataupun tidak mengendalikan situasi. Dalam hal ini, ACTOR selalu memengaruhi UNDERGOER dengan berbagai cara.

2.3 Landasan Teori

Setiap penelitian ilmiah umumnya memerlukan suatu teori sebagai acuan karena teori berfungsi sebagai penuntun atau penentuan untuk mencapai tujuan penelitian. Begitu pula penelitian ini mendasarkan diri kepada suatu teori dalam rangka memecahkan problema-problema yang dihadapi. Jadi, manfaat teori dalam suatu penelitian adalah merupakan pembimbing, penuntun, dan

(28)

memberikan arah atau menggiring pendekatan dan pemahaman terhadap objek penelitian (Sudaryanto, 1982: 26).

Penelitian ini menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) yang dipelopori oleh Wierzbicka (1996) dalam bukunya yang berjudul Semantics Primes and Universals. Teori ini dapat menelaah makna leksikal, makna gramatikal, dan makna ilokusi yang bersumber dari bahasa alamiah. Selain itu, dalam penelitian ini digunakan juga teori Peran Umum / Macroroles untuk menelaah peran-peran argumen atas pertautannya dengan verba. Adapun deskripsi teori yang digunakan secara eksplisit adalah sebagai berikut.

2.3.1 Teori MSA

Salah satu sublinguistik adalah semantik. Semantik adalah subjek yang luas dalam studi umum bahasa. Semantik biasanya dipahami sebagai studi tentang makna yang dikodekan dalam struktur bahasa. Secara kasar, semantik berhubungan dengan makna yang dikodekan ke dalam bentuk linguistik. Bahkan, lebih kasar, semantik berhubungan dengan kata dan kalimat (Goddard, 1998: 15). Menurut Goddard, semantik adalah studi tentang makna berdiri di tengah-tengah upaya linguistik untuk memahami sifat bahasa dan kemampuan bahasa manusia (1998: 1). Tujuan studi semantik adalah untuk menjelaskan bagaimana urutan bahasa dicocokkan dengan makna yang tepat dan ditempatkan di lingkungan tertentu oleh penutur bahasa.

(29)

Teori MSA yang dipelopori oleh Wierzbicka adalah suatu teori semantik yang dapat merumuskan makna yang bersifat universal yang diambil dari bahasa alami untuk menentukan makna kata, makna gramatikal, dan makna wacana yang diekspresikan dalam bahasa dan pengaturan budaya. Pada dasarnya makna kompleks harus dicoba digambarkan dalam hal yang sederhana. Misalnya, untuk menyatakan makna kata semantik kompleks kita harus mencoba untuk memberikan parafrase yang lebih sederhana dan lebih mudah dipahami daripada yang asli. Metode deskripsi semantik disebut parafrase reduktif.

Teori MSA mampu memberikan kerangka kerja yang berbasis pada wacana kebudayaan, makna asali, dan sintaksis universal. Teori semantik ini dapat mengeksplikasi makna, seperti makna leksikal, gramatikal, ilokusi, atau pragmatik melalui seperangkat makna asali, yaitu seperangkat elemen sederhana yang membentuk pikiran manusia (Sutjiati-Beratha, 2012: 23).

Teori MSA digunakan untuk menjelaskan makna asali dan struktur semantik verba, khususnya VMBB. Wierzbicka mengatakan bahwa dalam sebuah bahasa, terdapat suatu keunikan sistem makna yang dapat dijelaskan dengan substansi universal bagi keunikan yang ada tersebut. Goddard (1996: 1 – 5) merumuskan adanya tujuh prinsip semantik universal yaitu sebagai berikut.

1) Asas semiotik

Sebuah tanda tidak dapat direduksi atau dianalisis ke dalam kombinasi yang bukan tanda itu, akibatnya adalah tidak mungkin mereduksi makna ke dalam kombinasi yang bukan maknanya sendiri.

(30)

2) Asas analisis pemisahan dan ketuntasan

Makna kompleks dapat dianalisis secara lengkap dengan mengikuti urutan yang jelas. Makna kompleks dapat diurai ke dalam kombinasi makna lain secara terpisah tanpa berputar-putar.

3) Asas makna asali

Makna asali adalah seperangkat makna yang tidak dapat diuraikan, memiliki sintaksis berunsur yang tersusun membentuk proposisi sederhana.

4) Asas bahasa alamiah

Makna asali dan sintaksis yang berunsur ada sebagai perangkat minimal dari suatu bahasa alamiah yang sederhana.

5) Ekuivalensi ekspresif dari MSA

MSA yang diderivasi dari bahasa yang berbeda mengekspresikan kesamaan secara semantik. Setiap proposisi sederhana yang dapat diungkapkan dalam MSA bahasa tertentu mampu diekspresikan dalam MSA bahasa yang berbeda.

6) Isomorfis MSA

Proposisi sederhana yang dapat diekspresikan melalui MSA yang didasari oleh bahasa-bahasa yang berbeda akan bersifat isomorfis secara mendasar.

7) Hipotesis leksikal kuat

Setiap makna asali dapat diungkapkan melalui kata, morfem, atau ungkapan tetap yang berbeda pada setiap bahasa.

(31)

2.3.1.1 Asumsi Dalam Teori MSA

Asumsi yang dibangun dalam teori MSA bahwa kandungan makna setiap kata atau setiap ekspresi dapat diungkapkan. Makna dianggap bersifat subjektif dan ditafsirkan sesuai dengan konteks. Namun, makna sejatinya memiliki “inti umum” yang dapat diuraikan jika metode yang digunakan adalah metode yang tepat. Sebuah “inti” dianggap sebagai sebuah metabahasa dalam pemerian dan perbandingan bahasa. Tanpa metabahasa, bahasa-bahasa lain akan dideskripsikan melalui prisma bahasa sendiri (Wierzbicka, 1996c: 22-23) sehingga terjadi bias etnosentris. Dengan menempatkan metabahasa ini secara berbeda, “inti umum” dari sebuah bahasa alamiah menyerupai sebuah bahasa mini yang berguna sebagai padanan yang sama pada bahasa-bahasa tertentu (Mulyadi, 1998: 35).

Asumsi dasar lainnya yakni analisis makna dapat menjadi diskret dan tuntas, artinya setiap makna kompleks dapat dijelaskan tanpa residu dan berputar-putar dalam kombinasi makna diskret yang lain (Sutjiati Beratha 1997: 110). Dalam teori MSA, makna asali diperlakukan sebagai elemen dan kombinasi antarmakna asalinya merupakan suatu komponen atau subkomponen dalam analisis makna. Makna asali dieksplikasi dari bahasa alami sebab bahasa alami dipercaya sebagai satu-satunya sistem penjelas dalam representasi makna.

(32)

2.3.1.2 Prinsip Dasar Teori MSA

Ada empat prinsip dasar yang dimiliki oleh teori MSA untuk menghindari kekeliruan dalam melakukan analisis makna. Pertama, definisi sebuah kata atau sebuah ekspresi harus diterangkan dengan bahasa alami. Hal ini diwujudkan dalam prinsip bahasa alami yang menyatakan bahwa makna asali dan sintaksis pada dasarnya adalah perangkat minimal bahasa alamiah (Goddard, 1994: 3). Metabahasa apa pun hanya bekerja dengan baik apabila berkolaborasi dengan bahasa alami.

Kedua, konsep-konsep manusia dipandang hierarkis di dalam teori MSA. Selain adanya konsep-konsep rumit, ada juga konsep-konsep yang relatif sederhana dan mudah dipamahi secara intuitif. Pada konsep-konsep sederhana, ada suatu konsep yang sulit dibatasi yakni makna asali. Oleh karena itu, sebuah konsep yang rumit harusnya mudah direduksi menjadi konsep-konsep yang mudah dipahami secara intuitif agar menghasilkan suatu definisi yang jelas. Ketiga, makna asali digunakan sebagai metabahasa yang bersifat universal, yang artinya konsep-konsep ini dileksikalisasikan pada bahasa alami. Konsep leksikalisasi pada teiori MSA memiliki pengertian yang luas, yakni konsep primitif tidak hanya disandi pada kata-kata atau morfem, tetapi juga disandi pada morfem terikat dan frasa. Asumsi tentang kesemestaan makna asali bersumber dari gagasan Leibniz bahwa ‘susunan pikiran manusia’ adalah bawaan sejak lahir (Goddard, 1996a: 24). Dengan demikian, makna asali secara inheren jelas dan tidak bisa dibatasi.

(33)

Keempat, teori MSA menganjurkan prinsip isomorfis dari makna asali yang berbasis pada leksikon dan sintaksis. Prinsip ini berasumsi bahwa sekalipun terdapat perbedaan di antara dua eksponen yang berbeda pada makna asali yang sama dari dua bahasa yang berbeda, kedua eksponen ini bersesuaian secara semantik. Dengan demikian, eksplikasi yang dihasilkan pada bahasa tertentu bisa dengan mudah diterjemahkan ke dalam MSA. Tanpa prinsip itu, perbandingan lintas bahasa pada sistem makna yang berbeda tidak dimungkinkan, karena perbandingan apa pun memerlukan suatu ukuran umum. Jadi, perangkat makna asali universal menjadi suatu ukuran umum untuk meneliti tingkat perbedaan makna antarbahasa (Wierzbicka, 1996c: 16).

2.3.2 Teori Peran Umum (Macroroles)

Foley dan Van Valin (1984) mengembangkan dua peran semantik, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Penentuan peran ini bukan merupakan hal yang mudah sebab analisis makna cenderung bersifat intuitif sehingga akan memungkinkan apabila sebuah argumen yang sama akan memiliki peran semantik yang berbeda. ACTOR adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang membentuk, memengaruhi, atau mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikat. Sebaliknya UNDERGOER adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak membentuk, tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhi oleh tindakan verbanya (Foley dan Van Valin, 1984).

(34)

Sesuai dengan pemaparan permasalahan di atas, hal-hal yang ingin diteliti meliputi bentuk-bentuk VMBB, bentuk-bentuk argumen VMBB berdasarkan makna asali verba, serta struktur dan peran-peran argumen verba. Teori MSA digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk VMBB dan bentuk-bentuk argumen VMBB, tetapi tidak bisa digunakan untuk menganalisis peran-peran argumen verba. Dengan demikian, teori Peran Umum (macroroles) ini digunakan untuk membantu teori MSA guna memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan peran-peran argumen VMBB.

Peran umum yang disebut dengan Macroroles mencakup kedua argumen (basic roles) di atas dan masih memiliki peran-peran bawahan seperti agen, pemengaruh, lokatif, tema, dan pasien (lih. Sudipa, 2005). Foley dan Van Valin, 1984: 59) memberikan sebuah hierarki tematis untuk memudahkan penafsiran berbagai peran semantik derivasi dan dapat menerangkan peran semantik yang kemungkinan terlibat dalam pemetaan argumennya. Hierarki tersebut adalah sebagai berikut.

ACTOR : agen

: “pemengaruh” : lokatif

: tema

UNDERGOER: pasien

(35)

Hierarki di atas mempresentasikan suatu relasi semantik. Agen tidak akan pernah sebagai UNDERGOER, demikian pula pasien tidak akan mungkin sebagai ACTOR. Secara prototipe, ACTOR adalah agen dan UNDERGOER adalah adalah pasien.

Kemudian Van Valin dan Lapolla (1999: 141) menambahkan bahwa peran-peran umum seperti ACTOR-UNDERGOER membawahi sejumlah tipe peran argumen yang spesifik. Berdasarkan contoh kalimat aktif, diperoleh uraian bahwa ACTOR yang merupakan subjek bila bergandengan dengan verba tertentu bisa berperan sebagai agen. Bila bergandengan dengan verba lain, bisa berperan sebagai experiencer (pengalam) atau dengan verba tertentu lainnya bisa menjadi peran perceiver. Begitu pula dengan UNDERGOER, yang merupakan objek langsung pada kalimat aktif bisa berperan sebagai pasien, tema, dan penerima. Adapun model yang dikemukakan oleh Van Valin dan LaPolla (1999) adalah sebagai berikut.

ACTOR UNDERGOER

(36)

2.4 Model Penelitian

PENELITIAN KUALITATIF

BAHASA BALI

VMBB

TEORI MSA TEORI MACROROLES

STRUKTUR VMBB PERAN SEMANTIS

ARGUMEN VMBB

KLASIFIKASI VMBB PERAN UMUM

ARGUMEN VMBB

TIPE DAN SUBTIPE VMBB PERAN KHUSUS

ARGUMEN VMBB

ANALISIS

TEMUAN

(37)

Berdasarkan model penelitian di atas, dijelaskan bahwa penelitian kualitatif mengenai bahasa Bali khususnya VMBB menggunakan dua teori sebagai pijakan yakni teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) yang dikemukakan oleh Wierzbicka dan teori peran umum (Macroroles) yang dikemukakan oleh Foley dan Van Vallin. Kedua teori ini saling membantu, di mana teori MSA digunakan untuk menelaah struktur VMBB, dan teori Peran Umum (Macroroles) digunakan untuk menelaah peran semantis argumen verba.

Dalam analisis struktur VMBB, terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap tiap butir leksikon VMBB, sehingga didapat pengelompokan sesuai dengan tipe dan subtipe yang tepat. Dalam penelahaan peran semantis argumen VMBB, terlebih dahulu dilakukan penentuan peran umum terhadap argumen VMBB, yang dilanjutkan dengan penentuan peran khusus. Setelah klasifikasi terhadap butir leksikon VMBB berdasarkan tipe dan subtipe serta penentuan peran umum dan peran khusus argumen VMBB dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap data yang ada. Dari hasil analisis, didapatkan temuan, yang selanjutnya akan diarahkan menuju simpulan.

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Tujuan utama penelitian kualitatif adalah berusaha untuk merumuskan tema dan pola data verbal yang dikumpulkan. Tujuan tersebut dapat dicapai karena peneliti mengembangkan suatu strategi bahwa penutur tertentu menggunakan verba “memotong” khusus pada situasi alami tertentu. Dalam hal ini, terdapat sejumlah model pertanyaan yang dirumuskan, yang menyangkut bentuk-bentuk ekspresi yang mencerminkan tindakan “memotong”, padanan atau terjemahannya, faktor pemicunya, wujud dan caranya, serta sasarannya. Pembacaan data yang dilakukan juga terperinci dan teliti sehingga penelitian yang dilakukan memerlukan suatu pengamatan yang saksama.

Secara umum di dalam metode penelitian ilmu humaniora, memang digunakan metode penelitian kualitatif dengan perincian sebagai berikut. Bab I sebagai pendahuluan membahas latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian. Bab II membahas kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan model penelitian. Bab III membahas metode penelitian. Dalam bab ini, yang menjadi titik pembicaraan adalah pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, serta metode dan teknik yang diterapkan di dalam pengumpulan data, analisis data, serta penyajian hasil analisis data.

(39)

Untuk menghindari terjadinya ketumpangtindihan dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya pembatasan pembicaraan yang jelas. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kemungkinan penyimpangan pembicaraan yang berkepanjangan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dalam penelitian ini. Penelitian ini khusus akan membicarakan realisasi dan klasifikasi leksikal VMBB, struktur VMBB, dan peran semantis argumen VMBB yang terkandung di dalamnya.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat di mana penelitian dilaksanakan, baik berupa desa, kota, maupun organisasi-organisasi di masyarakat. Penelitian ini dilaksanakan di Bali dan di Bali sendiri ditentukan beberapa kota/ kabupaten sebagai sampel. Dari tiap-tiap kota/ kabupaten, dipilih beberapa kecamatan, dari tiap-tiap kecamatan dipilih beberapa desa, dan dari tiap-tiap desa dipilih beberapa orang informan. Penentuan kecamatan, desa, dan informan pada tiap-tiap desa dilakukan secara random.

Data lisan yang berupa tuturan dalam bentuk kalimat yang berisikan leksikon VMBB dijaring dari seluruh kabupaten / kota yang ada di Bali dengan diwakili oleh satu kecamatannya yaitu Kabupaten Negara Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Buleleng Kecamatan Seririt, Kabupaten Tabanan Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Badung Kecamatan Abiansemal, Mengwi, dan Petang, Kota Denpasar Kecamatan Denpasar Timur, Kabupaten Gianyar Kecamatan

(40)

Blahbatuh, Kabupaten Klungkung Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Bangli, dan Kabupaten Karangasem Kecamatan Abang.

Tujuan dari pemanfaatan kabupaten / kota dengan diwakili oleh satu kecamatannya ini adalah untuk menghimpun data berupa tuturan kalimat yang berisikan leksikon VMBB. Data kalimat yang didapatkan digunakan sebagai data utama di dalam analisis valensi VMBB. Alhasilnya adalah, analisis valensi VMBB dari segi strukturnya persis sama dengan data kalimat yang ditafsirkan secara intuitif oleh peneliti, di mana tiap-tiap butir leksikon VMBB pada umumnya bervalensi dua yang diasumsikan oleh peneliti akibat dari prefiks N- yang melekat pada tiap-tiap butir leksikon yang digunakan dalam kalimat yang berdiatesis aktif. Dengan demikian, data kalimat yang didapatkan dari seluruh kabupaten dihimpun sebanyak-banyaknya kemudian dinilai dan dibandingkan keabsahannya dengan beberapa orang informan kunci yang berbeda, serta dinilai kebenarannya secara intuitif. Dari sekian banyak data yang diperoleh, salah satunya akan mewakili yang lainnya di dalam pemaparan analisis struktur, khususnya analisis valensi tiap-tiap leksikon VMBB di dalam kalimat.

Selain analisis valensi VMBB, analisis struktur lainnya juga diperlukan meliputi analisis entitas, keterangan alat, keterangan cara, dan keterangan hasil tindakan yang digambarkan oleh tiap butir leksikon VMBB. Dalam menghimpun informasi yang berkaitan dengan tiap-tiap butir leksikon, diperlukan beberapa orang informan yang mampu memberikan informasi yang sesuai dengan kenyataan dan tidak dibuat-buat. Oleh karena itu, diperlukan penentuan informan kunci yang dapat memberikan informasi yang dapat

(41)

dipercaya. Dalam menentukan informan kunci, terlebih dahulu ditentukan beberapa kabupaten yang akan digunakan sebagai tempat penggalian informasi meliputi kabupaten Badung Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Tabanan Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Buleleng Kecamatan Seririt, dan Kabupaten Karangasem Kecamatan Abang. Dari hasil penentuan ini, dicari seorang informan dari masing-masing kabupaten kecamatan yang dianggap mampu memberikan informasi yang sahih dan terpercaya. Adapun kriteria penentuan informan yang baik, dibahas dalam sub bab metode dan teknik pengumpulan data.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer yang memiliki fungsi dan kedudukan sebagai data utama (pokok) di dalam sumber analisis. Berkenaan dengan hal itu, yang dijadikan sumber data primer dalam penelitian ini adalah data lisan, yakni data yang didapat langsung di lapangan yang dituturkan oleh informan. Selain itu, data lain juga diperlukan untuk menunjang penelitian. Adapun data penunjang yang digunakan adalah data yang diperoleh melalui intuisi kebahasaan sebagai data pembanding, serta data yang berasal dari beberapa sumber tertulis seperti novel berbahasa Bali.

Data lisan bersumber dari informan yang merupakan penutur asli BB. Data yang dikumpulkan tergolong valid dan reliabel dalam menunjang analisis yang dilakukan sebab disajikan oleh informan yang dipilih dengan kriteria tertentu. Adapun kriteria yang dijadikan landasan dalam menentukan informan dijelaskan

(42)

pada bagian metode dan teknik pengumpulan data pada sub-bab berikutnya. Penggunaan kriteria pemilihan informan didasari kenyataan bahwa tidak semua penutur bahasa memenuhi persyaratan sebagai seorang informan, dalam arti bahwa informan bersangkutan memiliki bakat dan intuisi yang baik tentang bahasanya.

Data intuitif bersumber dari peneliti sendiri. Peneliti selaku penutur asli BB dan penutur aktif BB dalam kehidupan sehari-hari, memiliki kompetensi linguistik dalam memunculkan data penelitian secara introspektif. Selain itu, peneliti terlatih secara linguistis dalam memberikan suatu penilaian tertentu tentang bahasanya, khususnya dalam memberi keputusan tentang berterima atau tidaknya suatu data yang diberikan oleh informan. Data intuitif ini dapat dimunculkan secara sintagmatis ketika peneliti berusaha mencari tahu kadar keeratan dan keintian suatu satuan lingual yang diamati. Sebagai contoh adalah; Dia memenggal leher orang itu, secara intuitif dapat dimunculkan data seperti

*Dia memenggal kaki orang itu. Penggunaan intuisi kebahasaan oleh peneliti ditolak oleh sebagian ahli

bahasa karena intuisi dianggap sangat subjektif dan kurang terpercaya. Namun, peneliti beranggapan bahwa penggunaan intuisi kebahasaan sangat penting, terutama dalam menjustifikasi tingkat kegramatikalan atau keberterimaan suatu tuturan atau kalimat. Dalam hal ini, pemahaman peneliti diujikan dengan pemahaman informan melalui teknik triangulasi sehingga seluruh data yang diperoleh benar-benar sahih dan terpercaya.

(43)

Data leksikon yang digunakan di dalam penelitian adalah data yang berupa leksikon verba aktif. Dengan penggunaan data leksikon verba aktif tersebut, didapatkan juga data kalimat atau klausa dengan diatesis aktif (pola kalimat aktif). Hal tersebut dianggap penting mengingat bahwa salah satu rumusan masalah pada penelitian ini adalah perihal peran semantik argumen VMBB. Dalam menentukan peran-peran semantik argumen VMBB diwajibkan untuk menggunakan kalimat atau klausa yang berdiatesis aktif, karena apabila menggunakan diatesis pasif, akan terjadi kekaburan penentuan valensi yang berdampak pada tidak dapat ditentukannya peran-peran argumen yang menjadi valensi verba tersebut. Penggunaan diatesis aktif juga dianggap penting, karena konsep umum kebermarkahan suatu bahasa adalah diatesis aktif.

3.4 Instrumen Penelitian

Data primer yang berupa ujaran lisan penutur bahasa Bali dapat diperoleh melalui teknik wawancara dan observasi di lapangan. Berkenaan dengan hal ini, peneliti menyiapkan beberapa instrumen untuk kepentingan wawancara dan observasi. Adapun jenis instrumen yang disiapkan untuk tersebut adalah sebagai berikut.

1. Seperangkat daftar leksikon verba yang mengacu pada leksikon asali yang bersifat universal. Selain itu, disiapkan juga seperangkat daftar leksikon dengan makna “memotong” yang didapatkan oleh peneliti secara intuitif dan melalui penelahaan kamus bahasa Bali. Daftar leksikon-leksikon ini yang nantinya dicari keberadaannya di lapangan.

(44)

2. Seperangkat daftar pertanyaan terkait dengan penggalian informasi dari tiap-tiap butir leksikon VMBB yang digunakan untuk kepentingan wawancara. Adapun Teknik wawancara yang digunakan untuk mengimplementasikan daftar pertanyaan ini adalah teknik wawancara semi terstruktur. Proses penggalian informasi dilakukan sesuai dengan panduan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Apabila diperlukan, dikembangkan juga beberapa pertanyaan lain di luar daftar pertanyaan yang telah disiapkan dengan tujuan untuk menggali informasi sedetail mungkin mengenai tiap-tiap butir leksikon.

3. Daftar klausa / kalimat yang berisi verba bahasa Bali digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan peran semantik. Dari tataran klausa akan tampak peran-peran argumen verba atas pertautannya dengan verba sebagai inti klausa. Penyediaan data seperti ini dilakukan melalui teknik observasi dengan melihat langsung beberapa contoh yang berkaitan dengan penggunaan verba yang bermakna “memotong” oleh partisipan. Dari hasil penyediaan data yang dilakukan, diharapkan data yang diperoleh tersebut memiliki konsep satu makna satu bentuk atau satu bentuk satu makna seperti harapan ilmu makna dengan teori metabahasa semantik alami.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang peneliti dalam menuju pembenaran atau penolakan hipotesis serta penemuan asas-asas yang mengatur kerja bahasa itu (Sudaryanto, 1992: 25). Poerwadarminta (1983: 26)

(45)

mengartikan bahwa metode adalah cara yang telah teratur dan terpikir dengan- baik untuk mencapai suatu maksud. Dengan demikian, metode adalah cara kerja untuk mencapai tujuan atau maksud.

Metode dalam pelaksanaannya (operasionalnya) dijabarkan ke dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu teknik. Dengan demikian, teknik adalah jabaran metode sesuai dengan alat beserta sifat alat yang dimaksud (Sudaryanto, 1992: 26). Selain itu teknik diartikan pula sebagai usaha pemenuhan metode bersangkutan. Dengan kata lain, teknik adalah “tangan” metode (Jendra, 1981: 20).

Penggunaan metode dalam suatu tulisan hanya dapat dikenali lewat teknik-teknik yang digunakan. Secara konkret metode yang digunakan di dalam suatu tulisan hanya dapat dikenali melalui alat yang digunakan beserta sifat-sifat alat bersangkutan. Karena ada tiga proses atau tahap dalam penelitian, maka metode dan teknik yang digunakan adalah (1) metode dan teknik pengumpulan data, (2) metode dan teknik analisis data, (3) metode dan teknik penyajian hasil analisis data. Ketiga metode tersebut dibahas secara terperinci seperti berikut.

Metode dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, sangat tergantung kepada jenis data yang dikumpulkan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan dengan cara berikut ini. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah ujaran lisan yang dituturkan oleh informan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian instrumen di atas, data lisan ini diperoleh dengan cara wawancara, observasi-partisipasi, dan dokumentasi. Teknik yang digunakan adalah teknik elisitasi (teknik

(46)

pancing), perekaman, dan pencatatan. Data primer dikumpulkan dari lapangan dengan beberapa penerapan metode berikut.

3.5.1 Metode Simak

Metode simak diterapkan untuk menyimak atau mengamati pemakaian bahasa Bali oleh penuturnya. Bahasa Bali yang disimak meliputi bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan yang disimak menyangkut peristiwa-peristiwa tutur alamiah. Pada metode simak, teknik sadap digunakan sebagai teknik dasar. Dalam praktiknya, suatu proses penyimakan mustahil untuk dilakukan tanpa menyadap pemakaian bahasa dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Teknik sadap ini akan berfungsi dengan baik apabila disertai dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap (SLC), teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat.

Pada teknik SLC, peneliti ikut ambil bagian di dalam proses percakapan. Pada situasi tutur tertentu, misalnya ketika di sebuah rumah, warung, atau tempat aktivitas “memotong” biasa dilakukan, peneliti menyiapkan alat rekam sambil berusaha “mengarahkan” topik pembicaraan melalui beberapa penyelaan dan pemancingan untuk menghadirkan calon data. Ada kalanya juga peneliti dengan sengaja membiarkan subjek untuk berbicara dengan bebas sesuai dengan topik pembicaraan tanpa usaha pengarahan. Setelah selesainya proses perekaman, hasilnya didengarkan, dicatat, lalu disimpan di komputer untuk selanjutnya dilakukan organisasi terhadap data tersebut.

(47)

3.5.2 Metode Cakap

Metode cakap dilakukan dengan menciptakan suatu peristiwa tutur antara peneliti dan narasumber yang menjadi subjek penelitian. Interaksi verbal antara peneliti dan narasumber berlangsung efektif. Dengan menggunakan teknik lanjutan berupa teknik pancing, narasumber diminta untuk memunculkan fenomena lingual yang disasar. Dalam hal ini, peneliti terkadang harus bertanya sebebas-bebasnya agar narasumber bisa memunculkan apa yang diharapkan oleh peneliti, yang nantinya dapat dijadikan sebagai sebuah data. Sebagai sebuah teknik dasar dalam metode cakap, penerapan teknik pancing diikuti dengan beberapa teknik lain, yakni teknik cakap semuka (CS), teknik cakap tansemuka (CTS), teknik rekam, dan teknik catat.

Teknik wawancara terhadap informan juga penting untuk dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap data yang telah didapat, apakah dapat dianggap sahih atau tidak. Hal tersebut dilakukan karena tidak jarang seorang informan memberikan data yang bersifat residu atau dalam hal ini menempatkan sebuah leksikon verba yang salah dan tidak pada kolokasinya. Dengan demikian, di sini dianggap penting untuk menentukan seorang informan kunci dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah (1) harus sehat jasmani dan rohani, (2) alat ucap harus sempurna, (3) berusia sekitar 20 – 50 tahun, (4) pendidikan informan tidak terlalu tinggi, (5) tidak sering merantau, dan (6) harus merupakan penutur asli bahasa Bali dan menguasai dialeknya. Setelah menentukan informan kunci, selanjutnya

(48)

dilakukan proses pengumpulan data dengan mewawancarai informan sesuai dengan metode dan teknik pengumpulan data di atas.

Dalam teknik wawancara, teknik wawancara semi terstruktur merupakan teknik yang paling membantu ketika penggalian informasi mengenai data dilakukan. Teknik wawancara semi terstruktur ini dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya terkait struktur semantik VMBB. Panduan daftar pertanyaan inilah yang menjadi sumber utama penelahaan struktur semantik leksikon VMBB berikutnya. Pertanyaan lain di luar pertanyaan yang telah didaftarkan juga sering dimunculkan dengan tujuan untuk memeroleh informasi data yang sahih dan terpercaya.

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

3.6.1 Motode Distribusional

Setelah data terkumpul dan dilakukan pengklasifikasian terhadap data yang sejenis, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Dalam menganalisis data digunakan metode distribusional, yang terjabar dalam teknik dasar dan teknik lanjutan. Yang dimaksud dengan metode distribusional ialah metode yang alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, kata bantu dalam rangka kerja metode distribusional itu selalu berupa bagian atau unsur dari bahasa objek sasaran penelitian itu sendiri seperti kata, frasa, klausa (Sudaryanto, 1985: 4 – 5). Teknik dasar metode ini adalah teknik-teknik bagi unsur langsung yang pada pokoknya digunakan untuk

Referensi

Dokumen terkait

Terimakasih juga kepada seluruh staff BATAN atas ilmu yang sangat bermanfaat, nasehat yang membangun, atas motivasi dan arahan yang telah diberikan selama

Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik agar dapat meningkatkan mutu pendidikan maka guru harus memiliki kompetensi yang harus dikuasai sebagai suatu jabatan

beszámolójára Hitlernél tett látogatásukról, vagy arról a hármójuk közt lejátszott szigorú koreográfiájú hatalmi színjátékra, melyben Jány Gusztáv

Objective: To analyze the diagnostic accuracy of VAS compared to PNIF in measurement of nasal obstruction in patients with persistent allergic rhinitis. Method: This

Dari hasil dan pembahasan penelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Pelaksanaan supervisi akademis oleh pengawas sekolah kepada guru-guru selama ini telah dija-

Penelitian ini terdiri atas 2 kegiatan, yakni kemampuan multiplikasi tunas pegagan periode kultur dua sampai lima tahun dan aklimatisasi tanaman pegagan hasil in vitro di rumah

Banyak tenaga kerja yang berasal Banyak tenaga kerja yang berasal dari dari daerah di Indonesia mengadu nasib untuk daerah di Indonesia mengadu nasib untuk bekerja di luar