• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB PRODUK DALAM KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANGGUNG JAWAB PRODUK DALAM KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB PRODUK DALAM KEJADIAN LUAR BIASA

KERACUNAN PANGAN

Bisma Khairifadil

Pembimbing : Henny Marlyna ABSTRAK

Kejadian Luar Biasa keracunan pangan (KLB) merupakan kasus keracunan yang melibatkan lebih dari dua korban keracunan. Biasanya pada kasus-kasus yang terjadi, tidak kurang korban keracunan mencapai puluhan atau bahkan ratusan. Berkaitan dengan kasus keracunan makanan, hukum tanggung jawab produk atau product liability dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya hak atas keselamatan, keseshatan, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap konsumen, dimana kedudukannya masih lemah dibandingkan pelaku usaha. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang bagaimana tanggung jawab produk atas pangan yang sudah teracun dan kemudian meracuni konsumennya. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa Hukum Tanggung Jawab Produk masih merupakan hal yang masih harus menjadi perhatian serius, demi menjamin adanya kepastian hukum konsumen terhadap pelaku usaha.

Kata Kunci : Hukum Tanggung Jawab Produk, Kejadian Luar Biasa keracunan

(2)

PENDAHULUAN

Salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di Indonesia adalah penyakit yang disebabkan oleh pangan. Pangan merupakan jalur utama penyebaran

patogen dan toksin yang diproduksi oleh mikroba patogen.1 Patogen adalah agen

biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya.2 Pangan juga dapat

menimbulkan masalah serius jika mengandung racun akibat cemaran kimia, bahan berbahaya maupun racun alami yang terkandung dalam pangan, yang sebagian diantaranya menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan. KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi terbukti makanan tersebut sumber keracunan. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dengan wilayah sangat luas berbentuk kepulauan memiliki keterbatasan dalam pengawasan dan pengendalian suatu produk seperti makanan dalam upaya melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen. Hal ini dibuktikan dengan sering terjadinya kasus racunan di tengah masyarakat, baik yang dilaporkan maupun tidak dilaporkan

Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menyebutkan bahwa di tahun 2011 dari sejumlah insiden keracunan nasional yang terjadi berdasarkan segala jenis penyebab, insiden tertinggi berasal dari kelompok makanan jauh melebihi kelompok penyebab lainnya.

Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857, yang dimana terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Jumlah tersebut juga adalah jumlah konsumen pangan, karena setiap orang pasti membutuhkan pangan untuk hidup.

                                                                                                                         

1 Laporan Investigasi KLB Keracunan Pangan di SDN 1 Tangeban Desa Tangeban

Kecamatan Masama Kabupaten Banggai 01 Oktober 2011.

www.dinkes.sulteng.go.id/.../LAPORAN%20INVESTI diakses pada tanggal 28 Juni 2013 pukul 18.34. 2 Warren Levinson, Review of Medical Microbiology & Immunology Tenth Edition, New York: The McGraw-Hill Companies Inc 2008. Id.wikipedia.org/wiki/Patogen diakses pada tanggal 28 Juni 2013 18.37

(3)

Hukum tanggung jawab produk dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya hak atas keselamatan, keseshatan, dan

hak untuk mendapatkan ganti kerugian.3 Instrumen ini diperlukan, karena

pengaturan di bidang cara berproduksi (quality control techniques) dan perdagangan barang, belum memadai untuk mencegah atau menghindari serta melindungi konsumen yang menderita kerugian, baik kerugian berupa cacat atau kerusakan pada tubuh konsumen (bodily/personal injury), maupun kerusakan pada harta benda lain (property damages), dan kerusakan yang berkaitan dengan produk itu sendiri (pure economic loss). Sehingga di samping, peraturan mengenai cara berproduksi, masih tetap dibutukan instrumen hukum yang secara khusus menjamin perolehan

ganti kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk,4 yang dikenal dengan hukum

tentang tanggung jawab produk.

Berkaitan dengan kasus keracunan makanan, hukum tanggung jawab produk atau product liability dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya hak atas keselamatan, keseshatan, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap 259.940.857 penduduk Indonesia.

Berdasarkan pemaparan yang diuraikan di dalam latar belakang, masalah yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan tanggung jawab produk keracunan pangan di Indonesia dan perbandingannya penerapan pengaturan tanggung jawab produk atas keracunan pangan di Amerika?

2. Bagaimana kemungkinan diterapkannya strict liability dalam kasus keracunan pangan di Indonesia demi menjamin keadilan dan kepastian hukum kepada konsumen?

TINJAUAN TEORITIS

                                                                                                                         

3 Kerangka pemikiran ini dijelaskan pula oleh Norbert Reich yang mengatakan bahws hak untuk mendapatkan ganti kerugian dan hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan merupakan bagian dari hukum tentang tanggung jawab produk. Sedangkan hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan dan hak untuk memiliki perwakilan lebih merupakan masalah-masaaah politik. Lihat Norbert Reich, Protection of Consumer’s Economic Interest, hal 25. Dikutip dari Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal 9.

(4)

Tanggung jawab dalam perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan kepada konsumen diberikan untuk melindungi konsumen dari cacat produk. Cacat produk sendiri di definisikan sebagai berikut:

“Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam

penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.”5

Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena:

1. Cacat produk atau manufaktur; 2. Cacat desain;

3. Cacat peringatan atau cacat industri6

Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya

berada di bawah tingkat harapan konsumen. Cacat desain adalah cacat

sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh, atau jiwa konsumen. Sebab, kalau desain produk itu dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi.

Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Produk yang tidak memuat peringatan atau instruksi tertentu sebagaimana yang di utarakan diatas, termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk tersebut. Tetapi disamping produsen, dengan syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan di atas pundak pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor atau pedagang pengecernya.

Jadi, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada

                                                                                                                         

5 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001, hal. 248.

(5)

tanggung jawab pelaku usaha, karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung

jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.7

Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian secara fisik, kematian, maupun harta benda.

Pada perkembangannya prinsip tanggung jawab berkembang menjadi tiga prinsip, yaitu:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam

hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365,

1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.8 Teori murni dalam prinsip

tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah suatu tanggung jawab yang di dasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract). Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian merupakan yang paling merugikan konsumen, karena gugatan konsumen dapat diajukan kalau telah memenuhi dua syarat tersebut. Yaitu adanya unsur kesalahan atau kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.

2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi

Di samping mengajukan gugatan berdasarkan kelalaian produsen, ajaran hukum memperkenalkan pula konsumen mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi (breach of warranty). Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak (contractual

liability).9 Dengan demikian, suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya pertama-pertama melihat isi dari kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun

lisan.10 Namun pada dasarnya, sebagaimana lazim dasar gugatan breach of

warranty yang umum diterapkan dalam praktik perdagangan, wanprestasi

                                                                                                                         

7 Ibid., hal. 250.

8 Shidarta, op.cit., hal 44.

9 Etsuko Fujimoto, Products Liability in the US s. 44 The Federal Products Liability, Seattle: University of Washington, School of Law, 1992, hal.4

(6)

sebagai dasar tuntutan ganti kerugian dihadapkan dengan berberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terhadap

kepentingan konsumen, yaitu berupa pembatasan waktu gugatan, 11

persyaratan pemberitahuan,12 kemungkinan adanya bantahan (disclaimer)13

dan persyaratan hubungan kontrak, baik hubungan kontrak secara

horisontal,14 maupun vertikal.15

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen, secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajibbertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas

penggunaan produk yang dipasarkan.16

Tanggung jawab mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupaka lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.

Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupu tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian

                                                                                                                         

11 Batas waktu pengajuan gugatan di Amerika Serikat tidaklah sama, di negara bagian Missouri misalnya gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 4 tahun setelah penyerahan barang, sedangkan di negara bagian New Jersey batas waktu pengajuan gugatan adalah 6 tahun dari waktu pembeli mengalami kerusakan harta benda dan 2 tahun setelah adanya personal injury. Dalam Abdul Halim Barkatullah, loc.cit..

12 Persyaratan pemberitahuan artinya pembeli harus memberitahukan kepada penjual mengenai adanya wanprestasi dalam waktu yang layak (reasonable time) setelah pelanggaran ditemukan. Lihat Mo. Rev State. Article 400.2 316 (2) (1978). Dalam Abdul Halim Barkatullah, loc.. cit. 13 Disclaimer atau bantahan merupakan hambatan dalam express warranty karena kalau hal itu digunakan dalam express warranty itu berarti tidak konsisten dengan pernyataan dalam express

warranty. Lihat Mo. Rev State. Article 400.2 316 (2) (1978). Dalam Abdul Halim Barkatullah, loc.. cit.

14 Kimberly Jade Tillman, “Product Defects Resulting in Pure Economic Loss: Under What Theory Can Consumer Recover?”, Journal of Products Liability, Vol. 9 (1986), hal. 286.

15 Abdul Halim Barkatullah, loc.. cit. 16 Shidarta, op.cit., hal. 84.

(7)

yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip tanggung jawab mutlak

(strict liability).17

PEMBAHASAN

Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat tiga Pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal 23, dan Pasal 28 UU No. 8 Tahun 1999.

Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atas diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tuujuh hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntunan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Ketentuan Pasal 19 kemudian dikembangkan pada Pasal 23 yang meenyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/atau memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui BPSK atau mengajukan gugatan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

                                                                                                                         

(8)

Rumusan Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 nampaknya muncul berdasarkan dan kerangka pemikiran, yaitu pertama, bahwa Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 menganut prinsip praduga lalai/bersalah (presumption of negligence). Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak mengalami kerugian, berarti produsen telah melakukan kesalahan. Sebagaimana konsekuensi dari prinsip ini, maka UU No. 8 Tahun 1999 menerapkan batas waktu pembayaran ganti kerugian tujuh hari setelah transaksi. Dilihat konteks Pasal 23, maka batas waktu tujuh hari tidak dimaksudkan untuk menjalani proses pembuktian. Tetapi hanya memberikan kesempatan kepada produsen untuk membayar atau mencari solusi, termasuk penyelesaian sengketa melalui

pengadilan.18

Pemikiran bahwa UU No. 8 Tahun 1999 menganut prinsip praduga bersalah paling tidak didasarkan pada perbedaan rumusannya dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: pertama, Pasal 1365 KUHPerdata sscara tegas memuat dasar tanggung jawab karena kesalahan atau karena kelalaian seseorang, sedangkan Pasal 19 ayat (1) tidak mencantumkan kata kesalahan. Dalam hal ini, Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan bahwa tanggung jawab produsen muncul apabila mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang diperdagangkan. Kedua, Pasal 1365 KUHPerdata tidak mengatu jangka waktu pembayaran, sedangkan Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan jangka waktu pembayaran, yaitu tujuh hari.

Analisis Konsumen / Korban Keracunan

Menurut UU No. 8 Tahun 1999 konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Menurut Permenkes No. 3 Tahun 2013 korban keracunan pangan adalah seseorang yang menderita sakit/meninggal dengan gejala dan tanda sakit dan/atau ditemukannya bahan beracun dalam organ tubuhnya, karena mengonsumsi atau diduga mengonsumsi pangan mengandung cemaran biologis atau kimia.

                                                                                                                         

(9)

Analisis Pelaku Usaha / Produsen

Dalam UU No. 18 Tahun 2012 pelaku yang bertanggung jawab dalam kasus keracunan pangan termasuk dalam kualifikasi setiap orang. Setiap orang yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1999 pelaku usaha yang dalam hal ini bertanggung jawab atas keracunan pangan adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dalam kasus-kasus yang terjadi keracunan terjadi akibat makanan kantin yang dimasak oleh orang luar yang menjual masakannya di kantin, hidangan pernikahan, dan nasi kotak dalam acara pengajian. Hasil pengujian untuk kasus keracunan di sebuah sekolah sudah jelas bahwa keracunan timbul dari si pembuat nasi kuning walaupun penjual dalam hal ini adalah kantin sekolah, sehingga Pasal 24 ayat (2) dimana pelaku usaha sebagaimana dimaksud ayat (1) (yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang menjual kembali kepada konsumen melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut, tidak berlaku.

Pengaturan dalam UU No. 18 Tahun 2012 hanya mensyaratkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan untuk mengendalikan risiko bahaya pada pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan akan mendapatkan sanksi administratif. Begitu juga dengan setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran juga wajib memenuhi persyaratan sanitasi dan

menjamin keamanan pangan dan/atau keselamatan manusia.19 Dengan penafsiran

seperti itu dimana setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik

                                                                                                                         

19 Indonesia, Undang-undang tentang Pangan, UU No.18 Tahun 2012, LN No. 227 Tahun 2012 TLN No. 5360, Pasal 71.

(10)

yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum,20 maka semua yang berada dalam rantai pangan dapat dikenakan pertanggung jawabsn atas perbuatannya.

Sedangkan untuk penafsiran Pasal 19 ayat (1) menyebutkan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Lebih lanjut lagi Pasal 24 menyebutkan pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut, dan pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

Melihat dari UU No. 18 Tahun 2012 dan UU No. 8 Tahun 1999, menurut hemat penulis pelaku usaha yang bertanggung jawab adalah pelaku yang terbukti sebagaimana dimaksud UU No. 18 Tahun 2012 melanggar ketentuan dan juga pelaku usaha sebagaimana UU No. 8 Tahun 1999 menyebutkan harus bertanggung jawab. Sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1999 juga bahwa setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kenyamananm keamanan, dan kesalamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa dan ganti rugi, dimana dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Kerugian yang dialami konsumen mencakup kerugian materi maupun yang mencakup diri (sakit, cacat,

bahkan kematian) konsumen.21

Kewajiban pelaku usaha juga adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.22 Selain itu pelaku usaha

juga berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi

                                                                                                                         

20 Ibid., Pasal 1 angka 38.

21 Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, Pasal 4 huruf a dan huruf h.

(11)

dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku.23

Analisis Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pada umumnya, asas yang dilalilkan dalam tanggung jawab pembuktian adalah siapa yang mendalilkan ia yang harus membuktikan dalilnya tersebut. Dalam suatu perkara, seorang penggugat mengatakan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi, maka penggugat tersebutlah yang harus membuktikan atas peryataannya. Hal tersebut juga berlaku sama terhadap perkara pidana umum (kecuali yang diatur khusus).

Di dalam UU No. 8 Tahun 1999 berlaku beban pembuktian terbalik di mana pembuktian atas kesalahan dibebankan kepada pelaku usaha. Dasar hukumnya adalah Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa

menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”24 dan Pasal 28

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban

dan tanggung jawab pelaku usaha.”25

Rumusan Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 muncul berdasarkan dua kerangka

pemikiran26, yaitu pertama, bahwa Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 menganut prinsip

praduga lalai/bersalah (presumption of negligence). Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak mengalami kerugian, atau dengan rumusan lain, apabila konsumen mengalami kerugian, berarti produsen telah melakukan kesalahan. Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, maka UU No. 8 Tahun 1999 menerapkan batas waktu pembayaran ganti kerugian tujuh hari setelah tanggal transaksi. Di lihat dari konteks Pasal 23, maka batas waktu tujuh hari tidak dimaksudkan untuk menjalani proses pembuktian, tetapi                                                                                                                          

23 Ibid., Pasal 7 huruf d. 24 Ibid., Pasal 22. 25 Ibid., Pasal 28.

(12)

hanya memberikan kesempatan kepada produsen untuk membayar atau mencari

solusi lain, termasuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan.27

Menurut Inosentius Samsul, UU No. 8 Tahun 1999 menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan dua modifikasi, yaitu pertama prinsip tanggng jawab berdasarkan praduga bersalah/lalai atau produsen sudah dianggap bersalah, sehingga tidak perlu dibuktikan kesalahannya (presumption of

negligence) dan kedua adalah prinsip untuk selalu bertanggung jawab dengan

beban pembuktian terbalik (presumption of liability principle).28

Kontruksi hukum yang demikian belum sepenuhnya menganut prinsip tanggung jawab mutlak sebagaimana yang secara tegas-tegas dirumuskan dalam

beberapa hukum positif di negara lain.29

Analisis Menurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Terdapat perbedaan antara UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dengan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dalam hal sistem tanggung jawab produk. UU No. 7 Tahun 1996 menggunakan sistem tanggung jawab produk berdasarkan kesalahan. Pasal 41 ayat (3) dan (4) UU No. 7 Tahun 1996 menyatakan:

“(3) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan.”

“(4) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha dan atau orang perorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian.” Penjelasan kedua Pasal tersebut masing-masing adalah sebagai berikut:

                                                                                                                         

27 Ibid.

28 Ibid., hal. 146.

29 Bandingkan dengan rumusan prinsip tanggung jawab mutla dalam Restatement (Second)

pf Torts Art. 402A Amerika Serikat, atau dengan Republic Act No 7394 Art. 97, The Consumer Act of The Philipines, atau dengan Product Liability Act No. 85 tahun 1994 di Jepang. Dalam Inosentius

(13)

“(3) Pembuktian di sini terutama dilakukan secara laboratories, tapi tidak menutup penggunaan cara pembuktian lain dengan tetap melindungi kepentingan pihak yang beritikad baik.”

“(4) Tergugat mempunyai hak untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah, atau bahwa alasan yang mendasari gugatan bukan disebabkan oleh kesalahan atau kelalainya, atau bahwa kerugian yang diderita penggugat diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak lain.”

Sedangkan menurut UU No. 18 Tahun 2012 terjadi perubahan mengenai pengaturan dalam hal sistem tanggung jawab produk tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2) yaitu:

(1) Setiap orang yang terlibat dalam rantai Pangan wajib mengendalikan risiko bahaya Pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan sehingga keamanan pangan terjamin.

(2) Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan wajib:

a. Memenuhi persyaratan sanitasi; dan

b. Menjamin keamanan pangan dan/atau keselamatan manusia.

Adapun Pasal 72 kemudian mengatur mengenai ketentuan bagi pelanggar Pasal 71. Pasal 72 menyebutkan:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa: a. Denda;

b. Penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atai peredaran;

c. Penarikan pangan dari perederan oleh produsen; d. Ganti rugi; dan/atau

e. Pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran benda, tata cara, dan mekanisme sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Jelas terdapat perubahan dalam pemberian sanksi atau terkait dengan pembuktian antara pengaturan UU No. 7 Tahun 1996 dengan UU No. 18 Tahun 2012. UU No. 18 Tahun 2012 menggunakan pendekatan sanksi

(14)

administratif. Pengajuan gugatan kerugian dalam UU No. 7 Tahun 1996 adalah gugatan berdasarkan kesalahan yang dalam beban pembuktiannya membebankan kepada penggugat. Sedangkan di dalam UU No. 18 Tahun 2012 yang menggunakan pendekatan sanksi administratif, seperti disebutkan dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, yang belum diundangkan sampai penelitian ini berlangsung.

Selain itu dari sisi tanggung jawab produk secara pidana rumusan UU No. 18 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:

Pasal 135

Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud Pasal 71 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 140

Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Kekurangan tanggung jawab produk secara pidana dalam UU No. 18 Tahun 2012 adalah pembuktian unsur kesengajaan. Pasal 135 sendiri tidak mencamtukan unsur kesengajaan sehingga jika unsur-unsur Pasal tersebut terpenuhi maka tanggung jawab produk secara pidana dapat diterapkan. Tanggung jawab ini dapat menjadi alternatif dalam memberikan hukuman kepada pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas produknya yang dalam hal ini adalah pangan.

Pasal 140 mensyaratkan unsur kesengajaan. Dalam kasus keracunan pangan justru banyak kejadian yang tidak disengaja oleh pelaku usaha. Keracunan yang terjadi adalah pada umumnya adalah didasarkan pada kelalaian pelaku usaha. Pasal 140 merupakan pasal yang memiliki substansi penting. Oleh karenanya syarat unsur kesengajaan menurut penulis membuat pelaku usaha sulit untuk dijerat dengan Pasal 140.

Analisis Perbandingan Penerapan Tanggung Jawab Produk Antara Indonesia dengan Negara Bagian Washington Amerika Serikat

(15)

Penerapan Doktrin Strict Liability dalam Hukum Tanggung Jawab Produk di Indonesia

Menurut Insosentius Samsul, sebelum lahirnya UU No. 8 Tahun 1999, tanggung jawab produk yang berlaku adalah tanggung jawab murni berdasarkan kesalahan yang didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 1234 KUHPerdata mengenai kelalaian yang menyebabkan wanprestasi. Kedua dasar tuntutan tersebut menempatkan unsur kesalahan dan itikad baik produsen sebagai faktor utama                                                                                                                          

30 Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, Pasal 1 angka 4.

31 Indonesia, Undang-undang tentang Pangan, UU No.18 Tahun 2012, LN No. 227 Tahun 2012 TLN No. 5360, Pasal 1 angka 1.

32 Inosentius Samsul, op.cit., hal. 146.

Para Pihak 1. Consumer 2. Product Seller 3. Manufacturer 1. Konsumen 2. Pelaku Usaha 1. Setiap Orang Definisi Produk/Barang

Langkah pertama dalam membangun kewajiban entitas bawah WPLA adalah untuk menentukan apakah kerugian penggugat itu disebabkan oleh produk

WPLA mendefinisikan produk sebagai benda yang memiliki nilai intrinsik, dan didistribusikan, baik sebagai suatu keseluruhan atau sebagai bagian komponen, dan diproduksi untuk dimasukkan kedalam perdagangan.

Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.30

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.31

Sistem Pembuktian Strict Liability Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan Dengan Prinsip Presumption

of Negligence dan Prinsip Presumption of Liability Principle.32

Tidak diatur secara jelas mengenai tanggung jawab UU No. 18 Tahun 2012 mengatur mengenai Sanksi Administratif.

UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan sebelumnya mengatur mengenai tanggung jawab berdasarkan kesalahan.

(16)

lahirnya tanggung jawab, seperti halnya ketentuan Pasal 823 ayat (1) KUHPerdata

Jerman dan Pasal 709 KUHPerdata Jepang.33

Pemikiran tentang prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi tiga bagian penting, yaitu pertama, faktor-faktor eksternal hukum yang akan mempengaruhi perkembangan dan pembaruan hukum perlindungan konsumen termasuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak. Kedua, faktor internal sistem hukum, yaitu elemen struktur dan budaya hukum dalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia. Ketiga, adalah ruang lingkup materi atau substansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu diatur undang-undang.

Pemikiran tentang penerapan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia mencakup dua masalah penting, yaitu pertama mengenai bentuk pengaturan dan kedua adalah materi yang terkait dengan prinsip

tanggung jawab mutlak.34

Inti dari prinsip tanggung jawab mutlak adalah bahwa konsumen tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan produsen. Namun pada sisi lain sebenarnya konsumen berkewajiban untuk membuktikan cacatnya produk dan hubungan antara cacatnya produk dengan cidera atau kerugian yang dideritanya. Oleh karena, itu dalam prinsip tanggung jawab mutlak konsumen masih dibebani tanggung jawab untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh

cacatnya produk yang digunakan.35

Dalam kasus keracunan pangan dengan instrumen hukum yang ada sekarang belum dapat menjamin untuk diterapkannya strict liability atau tanggung jawab mutlak. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya untuk pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1999 adalah menganut tanggung jawab berdasarkan kesalahan. UU No. 18 Tahun 2012 pun tidak mengakomodir mengenai tanggung jawab mutlak.

Oleh karenanya dalam mengajukan gugatan kerugian tanggung jawab produk, konsumen dapat melakukannya bedasarkan UU No. 8 Tahun 1999. Sedangkan UU No. 18 Tahun 2012 sendiri tidak mengkomodir mengenai gugatan kerugian yang jelas. Adapun pemberian hukuman atau sanksi beradasarkan UU No. 18 Tahun 2012 adalah berdasarkan sanksi administratif.

                                                                                                                         

33 Ibid., hal. 134. 34 Ibid., hal. 304.

(17)

Kesimpulan

Kesimpulan berikut ini merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan dalam bab pertama sekaligus menjadi inti penelitian dalam skripsi ini:

1. Penerapan tanggung jawaab produk di Indonesia masih mengakomodir penggugat untuk menggunakan tanggung jawab berdasarkan kesalahan. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak. UU No. 8 Tahun 1999 menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, yaitu prinsip praduga lalai (presumption of negligence) dan praduga bertanggung jawab dengan beban pembuktia terbalik (presumption

of liability).

Tanggung jawab produk di Amerika sendiri penerapannya menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Konsumen tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan produsen. Namun pada sisi lain sebenarnya konsumen berkewajiban untuk membuktikan cacatnya produk dan hubungan antara cacatnya produk dengan cidera atau kerugian yang dideritanya. Oleh karena, itu dalam prinsip tanggung jawab mutlak konsumen masih dibebani tanggung jawab untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh cacatnya produk yang digunakan.

2. Pada hakikatnya tanggung jawab mutlak, konsumen tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan produsen. Namun pada sisi lain sebenarnya konsumen berkewajiban untuk membuktikan cacatnya produk dan hubungan antara cacatnya produk dengan cidera atau kerugian yang dideritanya. UU No. 8 Tahun 1999 seperti telah dijelaskan sebelumnya menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan bukan tanggung jawab mutlak (strict liability). Penerapan strict liability sendiri bukan sebuah prinsip asing di Indonesia. Undang-undang nasional seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

Harapan penerapan strict liability terdapat di dalam undang-undang yang mengatur masalah pangan. Pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan diatur mengenai tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Namun sayangnya pada UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan tidak lagi terdapat pengaturan mengenai

(18)

tanggung jawab pelaku usaha/orang yang bertanggung jawab. Hal yang diatur adalah mengenai sanksi administratif.

Saran

Berdasarkan analisis dari penelitan diatas, penulis memiliki beberapa saran untuk hal-hal tersebut khususnya dalam lingkup perlindungan konsumen.

1. UU No. 8 Tahun 1999 masih belum menerapkan tentang sistem tanggung

jawab produk dengan jelas atau tidak menjawab persoalan dengan jelas. Oleh karena itu, perlu dirumuskan secara tegas tentang hukum tanggung jawab produk, yang intinya melakukan perubahan terhadap sistem tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Pasal 1365 KUHPerdata) ke sistem tanggung jawab berdasarkan cacatnya produk dan risiko yang diderita konsumen (tanggung jawab mutlak) atau tanggung jawab berdasarkan risiko/kerugian yang diderita konsumen (risk based liability) atau tanggung jawab berdasarkan produk (objective liability).

2. Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan (KLB) merupakan kejadian yang

mengkhawatirkan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan dalam data rilis dari BPOM, tingkat kasus keracunan tertinggi yang terjadi di Indonesia masih merupakan makanan sebagai penyebab utamanya. Dari penelitian yang penulis lakukan, tidak terdapat keistimewaan atau kekhususan atas penanganan kasus keracunan luar biasa. UU No. 18 Tahun 2012 tidak mengakomodir sistem tanggung jawab yang jelas dan menggantinya dengan sanksi administratif yang sampai saat penelitian ini dilakukan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai teknis pemberian sanksi administratif belum dikeluarkan.

3. Penulis berpendapat Pemerintah perlu membentuk pengaturan mengenai

tanggung jawab produk yang jelas demi menjamin kepastian hukum kepada konsumen. Hal ini juga dilakukan agar kedudukan konsumen semakin dapat setara dengan pelaku usaha. Penulis juga berpendapat Pemerintah perlu untuk melakukan revisi atas UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. UU No. 18 Tahun 2012 menurut hemat penulis tidak mengakomodir kepastian hukum kepada konsumen atau setiap orang pengguna pangan.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.

Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Perlindungan Konsumen : Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pikiran. Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008.

David. A. Fisher dan William Powers, Jr.. Product Liability: Cases and Materials. Minnesota: West Publishing Company. 1998.

David G. Owen, M. Stuart Madden, Maru J. Davis. Madden & Owen on Products

Liability. Third Edition. Volume I. St. Paul Minnesota: West Group. 2000.

Fujimoto, Etsuko. Products Liability in the US s. 44 The Federal Products Liability. Seattle: University of Washington. School of Law. 1992.

Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. 2001.

Rahmadi, Usman. Hukum dan Ekonomi dalam Dinamika. Jakarta: Djambatan. 2000. Samsul, Inosentius. Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia. 2004.

Shaw, Jessie Yuan. Comparative Study of Product Liability Law in the United States

and the Present Product Liability System in the Republic of China. Temple

University Law School. 1988.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2004.

Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.

_______. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori & Praktik

Penegakan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2003.

2. Peraturan

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821.

(20)

_______. Undang-Undang Pangan. UU No. 18 Tahun 20012. LN No. 227 Tahun 2012. TLN No. 5360.

_______. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Keamanan, Mutu, dan

Gizi Pangan. PP No. 28 Tahun 2004. LN No. 107 Tahun 2004. TLN No. 4424.

Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Kejadian Luar Biasa

Keracunan Pangan. Permenkes No. 3 Tahun 2013. BN No. 127 Tahun 2013.

3. Disertasi

Miru, Ahmad. “Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia.” Disertasi Doktor Universitas Airlangga. Surabaya. 2000.

4. Jurnal

Coughlin, Paulee A. “The Movements of Consumer Protection in the European Community: A Viyal Link in the Establishment of Free Trade and a Paradigm for North America”. Ind. Int’l & Comp. L. Rev. Vol. 5. 1994.

Tillman, Kimberly Jade. “Product Defects Resulting in Pure Economic Loss: Under What Theory Can Consumer Recover?”. Journal of Products Liability. Vol. 9. 1986.

Spacone, Andrew Carl. “The Emergence of Strict Liability: A Historical Perspective and Other Consideration, Including Senate 100”. Journal of Products Liability. vol. 8. 1985.

5. Makalah

Arrianto Mukti Wibowo, et.al.. Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic

Commerce. Grup Riset Digital Security dan Electronic Commerce. Depok.

Jawa Barat: Fakultas Ilmu Komputer UI. 1999.

Nasution, AZ.. Perlindungan Hukum Konsumen, Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun

1999. Makalah Disampaikan Pada Diklat Mahkamah Agung. Batu Malang. 14

Mei 2001. 6. Internet

Laporan Investigasi KLB Keracunan Pangan di SDN 1 Tangeban Desa Tangeban

Kecamatan Masama Kabupaten Banggai 01 Oktober 2011.

www.dinkes.sulteng.go.id/.../LAPORAN%20INVESTI diakses pada tanggal 28

Juni 2013 pukul 18.34

Warren Levinson, Review of Medical Microbiology & Immunology Tenth Edition, New York: The McGraw-Hill Companies Inc 2008. Id.wikipedia.org/wiki/Patogen diakses pada tanggal 28 Juni 2013 18.37

(21)

Madigan MT, Martinko JM, Brock TD, Brock Biology of Microorgnisms. New Jersey: Pearson Prentice Hall. 2006. Id.wikipedia.org/wiki/Patogen diakses pada tanggal 28 Juni 2013 18.40.

Referensi

Dokumen terkait

This study aims to find out how the expectations of each ethnic group in maintaining the issue of inter-ethnic life harmony in the Province of West Kalimantan, especially in

*ritik dan saran !ma,a san$at kami harakan untuk!ny!murnaan makaah m!man$un. *ritik dan saran !ma,a san$at kami harakan untuk!ny!murnaan

Setelah divalidasi, produk yang dikembangkan akan diuji coba lapangan kecil menggunakan 12 peserta didik yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan seorang pembina

Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (the humanities), baik

 Guru mengkondisikan siswa berkemampuan tinggi untuk menerima bahan materi atau percobaan yang akan dilakukan secara kelompok Siti Mardiah , 2013 UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR

Semua madzhab fiqih dan para ulama salaf kontemporer secara tegas dan jelas telah menyatakan di banyak pendapat mereka, bahwa yang menghalalkan pembunuhan terhadap

Menyimak Bertanya  Menjawab  Pertanyaan . Papan Tulis 

Para guru memiliki peran dan andil besar akan hasil dari proses pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren, oleh sebab itu setiap individu guru harus