• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pertanyaan seputar nation-building menjadi isu sentral dalam politik Malaysia. Walaupun Malaysia memiliki politik yang relatif stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tetap, proyek nation-building tetap menjadi agenda nasional yang belum terpecahkan. Konsep “Bangsa Malaysia” yang diperkenalkan oleh Mahathir tahun 1991, di dalam satu paket Malaysia vision 2020, adalah sebuah proyek nasional yang berusaha menjadikan Malaysia sebagai Negara yang maju dalam pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi sampai dengan tenggat waktu tahun 2020. Mahathir jelas menyatakan dalam Malaysia: The Way Forward, tantangan pertama untuk mencapai vision 2020 adalah bagaimana mencapai sebuah ‘bangsa Malaysia bersatu (United Malaysia Nation) yang hidup secara harmoni, terintegrasi secara etnik dengan loyalitas dan dedikasi pada bangsa’.1 Hal ini menjadi menarik mengingat sejarah pembangunan bangsa Malaysia sebelumnya lebih berfokus pada nasionalisme Melayu yang didasarkan pada kebijakan ekonomi, budayadan pendidikan Mei 1969.

Isu-isu etnis menjadi hal yang pokok dalam tema nation building Malaysia pada saat itu. Konsep Bangsa Malaysia bersatu dalam Wawasan 2020 bukanlah sebuah konsep yang baru karena sebelumnya terdapat Malaysian Malaysia yaitu sebuah konsep kewarganegaraan individu yang tidak dibentuk berdasarkan pada ciri-ciri etnik dan menolak anggapan bahwa supremasi negara ditentukan oleh komunias etnik. Perbedaannya adalah konsep Malaysian Malaysia ini berasal dari People Action Party (PAP) yang merepresentasikan etnik Cina di wilayah Singapura (sebelum berpisah dengan Federasi Malaya) sedangkan konsep Bangsa Malaysia muncul dari pidato Mahathir Muhammad sebagai Perdana Menteri Malaysia yang merupakan representasi dari orang-orang Melayu mengingat Mahathir adalah seorang yang memperhatikan kepentingan Melayu dalam bukunya, Malay Dilemma.

Konsep Bangsa Malaysia menarik karena diangap sebagai sebuah kemajuan dalam menciptakan masyarakat plural dan di satu sisi menjadi paradigma baru yang muncul dari

1Mahathir, M (1991). The Way Forward. Paper yang disampaikan dalam Malaysian Business Council, Kuala

(2)

2

representasi komunitas Melayu itu sendiri. Pada dasarnya konsep Bangsa Malaysia ini sebagai pemersatu bangsa dalam masyarakat plural Malaysia dengan menggunakan visi pembangunan ekonomi sebagai tujuan bersama yang tidak lagi menggunakan identitas-identitas yang berasal dari komunitas etnik.

Perlu dicatat bahwa dalam sejarah pembangunan bangsa Malaysia, etnisitas menjadi kunci penting pembangunan terutama pada era 1970an. Kebijakan NEP (New Economic Policy) dan NCP (National Cultural Policy) telah menunjukkan keuntungan pada Melayu dalam bidang ekonomi dan budaya. Kedua kebijakan tersebut adalah hasil dari ketidakpuasan pemimpin Melayu atas kondisi orang-orang Melayu yang tidak diuntungkan dalam periode Tunku Abdul Rahman,yang memuncak setelah hasil pemilu 1969 yang tidak memuaskan bagi Aliansi UMNO.

Para pemimpin Melayu merasa bahwa orang Melayu akan kehilangan status mereka sebagai orang asli dan hak-hak istimewa mereka. Isu kesenjangan ekonomi juga menguat dalam periode ini. Mahathir, dalam Malay Dilemma, secara tegas menyatakan kekhawatirannya terhadap orang Melayu yang terbelakang secara ekonomi dan pemerintah Abdul Rahman gagal mengatasi kesenjangan tersebut.2 Selain isu ekonomi, isu yang lebih menarik perhatian adalah isu mengenai identitas dan kewarganegaraan yang ditandai oleh munculnya konsep Malaysian Malaysia. Seperti yang telah dijelaskan bahwa konsep Malaysian Malaysia menegaskan identitas kewarganegaraan individu bukanlah berdasarkan pada ciri-ciri etnik sehingga konsep ini menolak mengakui bahwa supremasi negara berdasarkan pada salah satu komunitas etnik. Hal ini memicu reaksi dari pendukung nasionalisme Melayu karena konsep Malaysian Malaysia telah mencederai posisi dan hak-hak istimewa Melayu yang sudah diatur dalam Konstitusi Federal.3 Ketegangan yang

2UMNO muncul karena takut orang Melayu kalah dari orang Cina ... Tapi perbedaan para pemimpin yang

bertahap dari kebijakan yang telah digariskan UMNO, dan kondisi dan permintaan-pertmintaan yang lebih terus terang dari orang Cina di dalam dan di luar MCA, segera membangkitkan ketakutan lama ... Hal ini jelas bahwa dengan pendekatan pemilu 1969, semua orang kecewa dengan Pemerintah. Orang Melayu kecewa karena di mata mereka Pemerintah terus menyukai orang Cina dan telah gagal untuk memperbaiki ketidakseimbangan nyata dalam kekayaan dan kemajuan ras. Mahathir bin Mohammad. 1970. Malay Dilemma. Federal Publications. hal 10, 13

3Posisi dan hak-hak Melayu dijamin dalam Konstitusi Federal Pasal 153 ayat 1 dan 3. Pasal 153 ayat 1

berbunyi: Yang Dipertuan Agong bertanggung jawab untuk menjamin posisi dan hak-hak spesial orang Melayu dan orang Asli di Sabah dan Sarawak. Pasal 153 ayat 3 berbunyi: Yang Dipertuan Agong menjamin orang-orang Melayu dan Asli mendapatkan hak-hak spesial mereka dalam pelayanan publik dan pendidikan baik berupa beasiswa mapun berbagai macam pendidikan pelatihan. Definisi orang Melayu telah dijelaskan dalam Pasal 160 ayat 1 yang menjelaskan bahwa orang Melayu adalah orang yang beragama islam, berbicara bahasa Melayu dan mengakui adat istiadat dan budaya Melayu. Dengan kata lain, Yang Dipertuan Agung, bahasa dan

(3)

3

dihasilkan meledak menjadi kerusuhan etnis yang serius dan berimplikasi pada perubahan-perubahan kebijakan yang memperkuat dominasi Melayu dalam bidang ekonomi, budaya dan pendidikan.

Penelitian ini menggunakan premis dasar bahwa konsep Bangsa Malaysia adalah sebuah identitas nasional Malaysia yang coba dibangun oleh Mahathir Muhammad sebagai akibat dari pengalaman Malaysia atas ketegangan etnis dan konflik identitas dalam politik nation-building Malaysia. Visi nasionalisme Mahathir menggunakan pembangunan ekonomi sebagai tujuan bersama untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Untuk membuktikan keyakinan ini, penelitian ini melihat perkembangan nasionalisme Malaysia dari nasionalisme etnokultural yang ditandai oleh kebangkitan kembali nasionalisme Melayu paska kerusuhan Mei 1969 sampai munculnya konsep Bangsa Malaysia dalam pidato Mahathir, The Way Forward, pada tahun 1991 sebagai puncak ide nasionalisme kewargaan Mahathir atas tanggapannya terhadap konflik identitas dan perbedaan-perbedaan visi tentang bangsa sebelumnya.

Berdasarkan dari penjelasan di atas maka penulis merasa tertarik mengambil penelitian dengan judul “Dari Nasionalisme Etnokultural ke Nasionalisme Kewargaan: Studi Mengenai Dinamika Nation Building Malaysia”

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, ada dua pertanyaan yang ingin diajukan penulis:

1. Tipe-tipe nasionalisme apakah yang berkembang di Malaysia, terutama dari kerusuhan Mei 1969 sampai munculnya konsep Bangsa Malaysia?

2. Bagaimana nasionalisme-nasionalisme itu diwujudkan?

agama menjadi simbol identitas Melayu yang dilindungi dalam Konstitusi Federal. Malaysia. 2009. Konstitusi Federal Malaysia serta amandemennya.

(4)

4

1.3. Kerangka Teori

1.3.1. Teori-teori Nasionalisme: Bangsa, Etnisitas, Modernitas dan Nation of Intent

A.D Smith, dalam bukunya National Identity mendefinisikan bangsa sebagai ‘populasi manusia yang memiliki nama, memiliki sejarah kewilayahan yang sama, pengalaman sejarah dan mitos bersama, budaya publik bersama, hak-hak hukum dan ekonomi bersama dan kewajiban bagi setiap anggotanya4. Definisi sepert ini bekerja sesuai dengan fungsi-fungsi objektifnya baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, fungsi objektif didasarkan otonomi politik dan ekonomi, seperti dalam definisi ‘hak-hak hukum dan ekonomi dan kewajiban bagi setiap anggotanya’. Fungsi objektif internal terletak pada ikatan-ikatan kolektif seperti budaya dan teritori yang terbayangkan.

Lalu apa perbedaannya dengan komunitas etnik? Komunitas etnik memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan bangsa terutama pada identitas kolektif budaya, tradisi dan asosiasi terhadap ‘tanah air’. Tapi ada perbedaan yang mendasar antara komunitas etnikdengan bangsa. Menurut A. D Smith, perbedaan antara bangsa dan kelompok etnik (ethnie) berada dalam kondisi objektifnya. A.D. Smith menjelaskan bahwa bangsa bukanlah komunitas etnik,karena biasanya komunitas etnik tidak mempunyai rujukan politik, dan dalam banyak hal juga kekurangan budaya publik, bahkan kekurangan dimensi territorial, karena komunitas etnik belum tentu memerlukan kepemilikan fisik di dalam wilayah historisnya. Sementara itu, dalam rangka membentuk bangsa, sebuah bangsa haruslah mempunyai tanah airnya sendiri, setidak-tidaknya untuk jangka panjang tertentu. Dalam konteks penggunaan kontemporer, istilah bangsa menjadi suatu sinonim untuk total populasi dari satu negara, tanpa memandang komposisi etniknya.5

Konsep bangsa juga berbeda dengan negara. Bangsa bukanlah negara karena konsep negara berkaitan dengan kegiatan institusional,sedangkan aktivitas bangsa bercirikan suatu jenis komunitas. Konsep negara dapat ditetapkan sebagai himpunan institusi-institusi otonom, yang berbeda dengan institusi lainnya, memiliki monopoli yang sah untuk melakukan pemaksaandan perampasan di wilayah yang bersangkutan. Hal ini sangat berbeda dengan

4A nation can therefore be defined as a named population sharing an historic territory, common myths and

historical memories, a mass, public culture, a common economy and common legal rights and duties for all members. Anthony D Smth. 1991. National Identity. Penguin Books. London hal. 14.

5

(5)

5

konsep bangsa, karena bangsa adalah komunitas yang dirasakan dan dijalani dengan anggota yang berbagi tanah air serta budaya bersama.6

Bagi Smith, politisasilah yang mengubah kelompok-kelompok etnik menjadi bangsa. Proses politik dari nation-building, bagaimanapun juga memperoleh dinamismenya dari ikatan-ikatan etnik lama karena, ‘untuk menempa satu bangsa adalah vital untuk menciptakan dan mengkristalkan komponen-komponen etnik7. Salah satu dari implikasi yang paling serius dari transformasi etnik menjadi bangsa adalah satu permintaan untuk otonomi politik dan ekonomi dari kelompok tertentu yang akan muncul. Perkembangan dan penyebaran perasaan kebangsaan adalah hal yang vital bagi bangsa, yang mendapatkan kohesi internalnya melalui mitos dan simbol-simbol dari masa lalu yang dialami bersama’, yang pada dasarnya berasal dari kolektivitas etnik

Smith mennganggap bahwa proses nation building bisa dijelaskan melalui perspektif etnik. Maka kemunculan dan penyebaran nasionalisme juga terpusat pada hubungan antara etnisitas dan bangsa. Smith menganggap nasionalisme sebagai satu ideologi dan satu bentuk perilaku politik. Sebagai satu gerakan ideologi, nasionalisme melayani tujuan ‘pencapaian dan mempertahankan otonomi, kesatuan dan identitas dari suatu bangsa yang ada atau potensi suatu bangsa8. Sedangkan sebagai satu gerakan politik, nasionalisme ‘sering mendahului dan berusaha untuk menciptakan bangsa melalui mobilisasi dan partisipasi politik9. Dalam pandangan Smith,untuk mematerialkan tujuan-tujuan nasionalisme menjadi otonomi,kesatuan dan identitas, maka diperlukan komponen inti dari etnisitas. Ini mengacu pada aspek-aspek kolektif yang sama-sama dimiliki oleh orang-orang seperti kelompok kasta, sekte agama, komunitas etnik dan bahasa. Identitas kolektif yang berdasarkan pada budaya ini menjadi pengikat yang kuat karena unsur-unsur budaya yang membentuknya seperti kenangan, nilai, simbol,mitos,dan tradisi berpengaruh terhadap keterikatan keluarga. Bagaimnapun juga, perspektif etnis semacam ini tidak sama-sama dimiliki oleh beberapa pakar ahli lainnya yang menitikberatkan pada proses modernisasi seperti yang diutarakan Ernest Gellner.

Apa sumber kekuatan yang dapat memicu nasionalisme untuk berkembang? Menurut perspektif etnis, nasionalisme muncul sebagai akibat dari politisasi, yang ingin mengubah

6ibid hal 14

7A.D Smith. 1986 The Ethnic Origins of Nations. Oxford: Blackwell.hal 17 8A.D Smith. 2003. Nasionalisme.hal 11

9

(6)

6

kelompok-kelompok etnik menjadi bangsa. Ernest Gellner melihat bahwa faktor-faktor sosio ekonomi yang ada dalam proses modernisasi dan industrialisasi adalah penting dalam kebangkitan nasionalisme. Perselisihan kunci antara antara perspektif etnis dan modernis terletak dalam argument apakah keberadaan budaya etnik menyusun kondisi awal untuk munculnya nasionalisme. Bagi ‘kaum etnis’, elemen ini adalah penting karena nasionalisme mendapatkan kekuatannya dari etnisitas-etnisitas lama10.

Menurut Ernest Gellner, nasionalisme dan bangsa merupakan fenomena yang secara sosiologis diperlukan oleh jaman modern dan industrial,yang berkembang dari masa transisi yang disebut ‘modernisasi’. Bangsa-bangsa adalah ekspresi kaum ‘budaya tinggi’ yang terdidik, disalurkan melalui sekolah, serta didukung oleh para spesialis dan sistem pendidikan umum yang wajib, massal, dan terstandardisasi. Dengan melatih tenaga kerja yang mobil dan terdidik, bangsa-bangsa pada gilirannya akan mendukung industrialisme, sebagaimana industrialisme juga akan mendorong nasionalisme11. Menurut Gellner, modernisasi diartikannya sebagai industrialisasi beserta faktor sosial dan budayanya telah mentransformasikan seluruh masyarakat. Modernisasi menghasilkan jenis masyarakat industri baru, menuntut tenaga kerja yang mobil, terpelajar dan berjumlah banyak, sehingga faktor pendidikan yang menyediakan tenaga-tenaga kerja terdidik menjadi suatu hal yang penting.

Perbedaan antara perspektif etnis dan modern dalam memandang nasionalisme tidaklah begitu rumit. Saat kaum modernis mengatakan bahwa ini adalah akibat dari modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan sosio ekonomi dan perubahan politik, yang mengarahkan pada munculnya nasionalisme dan pembentukan bangsa. Sedangkan ‘kaum etnis’ berpegang bahwa nasionalisme dibentuk berdasarkan simbol-simbol etnis identitas kolektif.

Ada beberapa batasan dalam teori modernis tentang nasionalisme. Kaum modernis tidak dapar menyediakan jawaban yang memuaskan untuk kemunculan perasaan nasionalis di dalam dunia yang sedang berkembang. Tidak ada penjelasan yang menegaskan yang disediakan oleh kaum modernis tentang akar-akar primordial dari nasionalisme, dan daya tarik emosionalnya yang kuat yang muncul di negara-negara tersebut ketika isu etnis menjadi popular dalam mobilisasi massa. Masyarakat-masyarakat seperti itu banyak yang agraris,

10

AD.Smith 1986 The Ethnic Origins of Nations. Oxford: Blackwell. hal 14

11

(7)

7

non-industri dan tidak tersentralisir. Semuanya juga bukan merupakan partisipan dari gerakan-gerakan nasionalis di negara-negara tersebut yang berpendidikan umum, memiiliki bahasa standard atau sistem pendidikan yang standard. Namun, daya tarik umum untuk dukungan dalam perjuangan nasionalis adalah sangat nyata. Para anggota masyarakat dapat mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan gerakan-gerakan ini dan mereka berhubungan secara emosional dalam perjuangan tersebut.

Kedua perspektif tersebut melihat bahwa bangsa dan nasionalisme merupakan sebuah proses. Jika yang pertama dilihat dari pengaruh budaya dan akar keluarga, yang kedua lebih kepada proses modernisasi. Apapun perbedaan yang ditemukan dalam kedua perspektif tersebut konsep mengenai bangsa yang terintegrasi adalah kemauan dari seluruh pihak. Jika tidak, maka tidak ada yang namanya bangsa. Seringkali kita temukan dalam masyarakat, pendapat mengenai apa dan bagaimana sebuah bangsa seharusnya terbentuk menjadi sebuah perdebatan politik, khususnya di Malaysia. Shamsul AB mengatakan dengan jelas bahwa terdapat nation of intent yang berbeda-beda dalam sejarah nation-building Malaysia. Nation of Intent dengan kata lain sekumpulan pendapat-pendapat atau argument-argumen yang salaing bersaing mengenai apa dan bagaimana sebuah bangsa itu terbentuk.

Dalam sejarah sejarah nation building Malaysia nation of intent negara tersebut didominasi oleh setidaknya tiga argumen. Pertama mengenai bangsa Melayu menjadi bangsa yang utama dan pemilik dari tanah Malaya yang ditandai dengan perlindungan hak-hak spesial Melayu dan penegasan posisi sultan sebagai simbol Melayu dalam konstitusi. Kedua, prinsip egaliter antara Melayu dan non Melayu terutama dalam hal hak kewarganegaraan yang yang juga disebut dalam konstitusi tersebut. Hal yang paling menarik adalah Konstitusi 1948 jelas memasukkan kedua unsur argumen tersebut sebagai hasil dari negosiasi antara Melayu dengan non Melayu. Di satu sisi, non Melayu harus menerima Melayu sebagai orang asli tanah Malaysia, namun di sisi lain, orang Melayu juga harus menghargai hak-hak kewarganegaraan non Melayu untuk syarat hidup berdampingan. Namun, argumen ketiga, ada yang berpendapat bahwa Malaysia harus menjadi negara syariah dengan aturan-aturan islam yang harus diikuti juga oleh non Melayu justru menjadi permasalahan ketika negara Malaysia ingin menjadi negara multikultural. Bagaimanapun juga islam identik dengan Melayu, maka menjadikan negara islam di Malaysia berarti menghilangkan dimensi multikultural. Penulis berpendapat bahwa munculnya konsep Bangsa Malaysia oleh Mahathir

(8)

8

pada tahun 1991 bertujuan untuk meredakan ketegangan antar kelompok dan diharapkan menjadi solusi baru integrasi bangsa.

Dalam penelitian ini, penulis ingin memahami konteks perjuangan nasionalisme dengan melihat dinamika nation-building yang berkembang di Malaysia. Maka, nation of intent diperlukan untuk memahami alasan perkembangan nasionalisme Malaysia dari nasionalisme Melayu menuju pada ‘Bangsa Malaysia’

1.3.2. Model-model Nasionalisme: Nasionalisme Etnik dan Nasionalisme Kewargaan (Civic)

Penelitian ini menggunakan kategorisasi nasionalisme Brown untuk menganalisa perkembangan nasionalisme Malaysia dari kerusuhan Mei 1969 sampai munculnya konsep Bangsa Malaysia. Perspektif etnokultural melihat negara sebagai agensi perwakilan dari kelompok sosial dominan.12 Dengan kata lain, negara etnokulural pasti mendukung dan melindungi nilai-nilai komunitas mayoritas. Sebagai contoh, proses asimilasi etnik-etnik minoritas ke dalam nilai-nilai dan budaya etnik mayoritas. Brown melihat proses asimilasi budaya ini sebagai solusi atas konflik sosial yang terjadi dalam wilayah multi etnis.13 Brown berpendapat:

[Nasionalisme etnokultural] ini fokus pada kepercayaan bahwa komunitas berbagi ciri-ciri rasial, atribut agama maupun bahasa.Individu-individu yang tidak memiliki karakter tersebut (etnik, bahasa, agama dll) bisa mendapatkan identitas yang diakui (melalui pernikahan campuran, konversi agama pendidikan bahasa, dll) dan proses asimilasi ini berakhir pada pengambilan nilai-nilai sejarah bersama komunitas mayoritas. Permasalahan potensial dari kemajemukan etnis bisa diselesaikan dengan proses asimilasi.

Model yang kedua adalah nasionalisme kewargaan. Menurut Brown, “nasionalisme kewargaan memberikan visi komunitas dengan hak-hak warga negara yang sama yang dibentuk oleh kontrak, komitmen dan loyalitas. Setiap orang dengan latar belakang etnik yang berbeda-beda boleh masuk dalam komunitas tersebut dengan komitmen loyalitas

12 Brown mengatakan bahwa jika negara dilihat sebagai agensi yang mana terdapat kelompok sosial

direpresentasikan secara utuh, maka negara tersebut mengusung nasionalisme etnokultura. Representasi tersebut adalah representasi masyarakat secara keseluruhan. Brown 2000. Contemporaray Nationalism, 36

13

(9)

9

terhadap institusi publik dan nilai-nilai dari tanah kelahiran mereka”14 . Strategi dasar untuk mengakomodasi keragaman etnokultural yang ditawarkan oleh visi bangsa ini adalah netralitas etnis dalam institusi publik dan kebijakan-kebijakan yang lahir dari institusi politik.15 Setiap warga negara harus loyal terhadap institusi negara yang bukan berdasarkan pada etnis.16

Brown menggarisbawahi bahwa nasionalisme, baik itu berupa etnokultural maupun kewargaan, adalah ideologi ciptaan elit politik untuk mencari legitimasi politik atas permasalahan yang ada17 Permasalahan-permasalahan yang ada bisa berupa ancaman dari dalam seperti konflik etnis ataupun ancaman dari luar yang berupa ancaman territorial dan globalisasi. Brown mengatakan bahwa nasionalisme merupakan ideologi yang terbentuk dari elit,maka dalam skripsi ini penulis ingin menjelaskan proses nation building dalam kerangka wacana elit politik dan kebijakannya termasuk pada arah-arah kebijakan etnokultural pada tahun 1970-an dan konsep Bangsa Malaysia dan Vision 2020 yang digagas oleh Mahathir.

Berdasarkan pada penjelasan mengenai karakteristik kedua nasionalisme dan juga pengalaman nasionalisme Malaysia di atas, maka perbedaan karakteristik antara nasionalisme etnokultural dan civicmenurut Brown bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1-1: Nasionalisme etnokultural dan kewarganegaraan

Dasar Bangsa Peran Negara Identitas Etnik Nasionalisme

Etnokultural

Komunitas yang dibentuk dengan nilai-nilai sejarah dan budaya yang sama

Prioritas negara untuk memenuhi kepentingan etnik mayoritas

Etnis minoritas harus mengakui nilai-nilai dan identitas dari kelompok mayoritas sebagai nilai bersama

14Terjemahan yang berasal dari teks aslinya: Civic nationalism, at least in theory “(o)ffers a vision of kinship

community of equal citizens which is formed on the basis of contract, commitment, loyalty and love. Individuals of various ethnocultural backgrounds may enter this community by committing themselves to loyalty to the public institutions and way of life of their residential homeland” David Brown, Contemporary Nationalism, London (Routledge), 2000, hal. 128.

15

.Brown, David. 2000. Contemporary Nationalism. 128

16ibid, 4

17Pendekatan yang diambil dalam skripsi ini adalah pendekatan konstruktifis. Dalam konstruktifisme, identitas

nasional dikonstruksikan dalam kerangka institusional atau ideologi untuk mendiagnosa krisis-krisis kontemporer. David Brown, Contemporary Nationalism, London (Routledge), 2000,hal 29.

(10)

10 Nasionalisme Kewargaan(civic) Komunitas yang dibentuk dengan loyalitas dan dedikasi terhadap institusi

Peran negara netral tidak melihat latar belakang etnis dan budaya

Tidak melihat identitas etnik menjadi suatu hal yang penting

Sebenarnya kategorisasi Brown untuk membedakan antara nasionalisme etnokultural dengan kewargaan seperti pada tabel di atas bukanlah sebagai rujukan yang pasti tapi hanyalah sebagai identifikasi awal praktek-praktek nasionalisme yang terjadi di negara-negara. Menurut Brown, praktek nasionalisme yang sebenarnya adalah penggabungan antara elemen-elemen nasionalisme etnokultural dan elemen-elemen nasionalisme kewargaan.18 Untuk melihat praktek-praktek nasionalisme di sebuah negara, bukan berarti kita hanya membedakan antara nasionalisme etnokultural dan kewargaan semata, tapi bagaimana negara memediasi kelompok etnokultural dengan identitas politik kolektif yang dibangun negara melalui forward looking optimism19.

Forward loking optimism pada dasarnya adalah cara pandang negara tentang pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan sebuah harmoni dan mediasi antara komunitas etnokultural dengan visi kewarganegaraan. Konsep Bangsa Malaysia bisa kita tempatkan dalam konteks forward looking optimism karena konsep Bangsa Malaysia bisa dikatakan sebagai sebuah solusi baru dalam integrasi nasional yang berasal dari pengalaman-pengalaman kerusuhan Mei 1969 dalam isu keterbelakangan ekonomi.

Permasalahannya adalah tantangan Bangsa Malaysia datang dari kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda mengenai negara. Konflik UMNO-PAS adalah salah satu contoh bagaimana perbedaan pandangan mengenai peran islam dalam negara. PAS yang memiliki pandangan tradisional menginginkan Malaysia menjadi negara syariah dengan Hududnya, sedangkan UMNO dan Mahathir menginginkan negara moderat dengan konsep Bangsa Malaysia. Dalam konteks inilah, kita tempatkan pandangan Mahathir tentang islam

18Brown,D.200.Hal.37 19

Brown menjelaskan bahwa forward looking optimism sebagai upaya penggabungan (intertwined) antara nasionalisme etnokultural kewarganegaraan dengan komunitas etnokultural. Brown menjelaskan: During the twentieth century, nationalist elites have portrayed themselves as the agents of equitable development, so that the image of the nation has been reconstructed as the social justice community. The forward looking optimism implied in this vision has ameliorated the tension between the community of civic nationalism and the community of ethnocultural nationalism. Brown, D. 2000. Contemporary Nationalism. Hal 38

(11)

11

sebagai agama yang tidak menghalangi pembangunan dan toleran terhadap kelompok lain. Penjelalasan mengenai respon Mahathir terhadap pandangan islam konservatif tersebut akan dibahas nanti pada bab 3. Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa praktek nasionalisme kewargaan tidak serta merta menghilangkan atribut etnokultural, atau dalam hal ini islam sebagai identitas Melayu. Melalui pandangan islam progresif inilah Mahathir bisa menghubungkan atau memediasi antara modernisasi dan kebutuhan terhadap identitas Melayu dan islam

1.4. Hipotesis

Skripsi ini berargumen bahwa nasionalisme dan nation building Malaysia, khususnya pada kerusuhan Mei 1969 dan implikasi-implikasinya bisa dilihat sebagai model nasionalisme etnokultural. Kemunculan identitas-identitas etnis yang ada dalam semangat nasionalisme pada saat itu bisa dijelaskan melalui teori A.D Smith yang menggunakan perspektif etnik yang menekankan pada identitas kolektif bersumber dari latar belakang budaya.

Kedua, skripsi ini ingin berargumen bahwa konsep Bangsa Malaysia dan Wawasan 2020 bisa diartikan sebagai visi nasionalisme kewargaan. Latar belakang nasionalisme Melayu secara jelas terletak pada peristiwa kerusuhan Mei 1969, yang melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan Melayu seperti NEP, NCP dan kebijakan-kebijakan pendidikan saat itu. Konsep Bangsa Malaysia yang lahir pada tahun 1991 adalah sebuah bentuk solusi integrasi nasional akibat pengalaman konflik 1969 lalu dengan memakai visi pembangunan ekonomi danforward looking optimism.

1.5. Tujuan Skripsi

Tema penelitian ini membahas tentang nasionalisme yang berkembang di Malaysia, terutama perkembangan nasionalisme Melayu dan kewargaan. Skripsi ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui proses perkembangan nasionalisme yang terjadi di Malaysia, terutama dari nasionalisme yang berbasis pada identitas etnis menuju pada nasionalisme kewargaan.

(12)

12

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini akan ditulis dalam metode penelitian kualitatif. Sumber-sumber penelitian berasal dari buku-buku, dokumen-dokumen pemerintah dan jurnal-jurnal yang telah dipilih yang berhubungan dengan judul penelitian.

1.7. Sistematika Penulisan

Skripsi ini memiliki empat bab utnuk menjawab pertanyaandari rumusan masalah. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang permasalahan kerangka teori dan hipotesa.

Bab pertama berupa pendahuluan yang di dalamnya merupakan hal-hal apa saja yang ingin dibahas, permasalahan, kerangka teori dan hipotesis

Bab kedua membahas tentang konsep konsep bangsa yang mendominasi wacana nation-building Malaysia sampai kemunculan konsep ‘Bangsa Malaysia’ Mahathir. Bab ini menjadi sebuah konteks perjuangan nasionalisme dan dinamika nation building Malaysia. Bab ini juga menjadi latar belakang dalam pembahasan pokok transisi dari nasionalisme etnokultural menuju nasionalisme kewargaan yang dibahas dalam penelitian ini.

Bab ketiga menjelaskan tentang kebangkitan kembali nasionalisme etnokultural Melayu yang ditandai oleh isu-isu penting yang dilontarkan oleh nasionalis etnokultural khususnya Mahathir dalam Malay Dilemma pada saat itu. Bab ini juga menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan etnokultural paska kerusuhan Mei 1969 dan respon dari oposisi termasuk kelompok non Melayu.

Bab keempat menjelaskan tentang karakteristik nasionalisme kewarganegaraan Mahathir dalam yang ditandai dengan forward looking optimism. Awalnya, saya akan membahas indikasi melemahnya nasionalisme etnokultural pada tahun 1980-an sebagai dasar dari kebijkan Mahathir yang lebih liberal. Kebijakan yang dimaksud adalah bagaimana kebijakan privatisasi Mahathir mengubah paradigma etnokultural yang sudah ditetapkan dalam kebijakan NEP. Lalu kebijakan tersebut berimbas pada munculnya visi Bangsa Malaysia dan Wawasan 2020 yang mencerminkan nasionalisme kewarganegaraan. Pada bab ini juga saya sedikit menerangkan ciri-ciri forward looking optimism ini ke dalam isu perdebatan UMNO dan PAS yang berusaha mendiskreditkan kelompok-kelompok islam

(13)

13

radikal karena tidak sesuai dengan ideologi Mahathir. Bab kelima adalah kesimpulan akhir dari pembahasan penelitian ini.

1.8. Batasan Penelitian

Penulis membahas tentang proses nation-building dan nasionalisme di Malaysia.Untuk nasionalisme Melayu, penulis membatasi permasalahan pada nasionalisme era pasca kerusuhan Mei 1969. Penulis tidak melakukan studi mendalam tentang analisa kultural dalam praktek nasionalisme di Malaysia dan hanya menganalisa nasionalisme Malaysia dalam bentuk tekstual. Adanya keterbatasan ini diaharapkan akan memunculkan studi-studi baru mengenai perkembangan nasionalisme Malaysia ke depan

Gambar

Tabel 1-1: Nasionalisme etnokultural dan kewarganegaraan

Referensi

Dokumen terkait

dapat diketahui dari 37 responden yang diteliti, persentase paling banyak untuk kejadian tidak insomnia pada pekerjaan yaitu petani sebanyak 5 lansia (13.5%) dan

Seperti itulah jiwa-jiwa yang besar, mereka kaya karena memiliki “perbendaharaan” diri yang sangat berlimpah dan “kemampuan” yang besar dalam memproduksi kembali

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar TK Islam Al Madina yang telah menerima dengan baik kedatangan mahasiswa praktikan serta memberikan

Dengan kata lain, jika permasalahan RSA kuat sulit secara asimtotik berkenaan dengan distribusi ensembel atas hasil kali dua bilangan prima selamat berbeda, maka

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa nilai p value=0.495,

KIPS-162-2-127 Ira Waty Saragih Pendidikan Ekonomi Siantar Diterima KIPS-162-2-128 Nadya Meinar Simanjuntak Pendidikan Bahasa Indonesia Siantar Diterima KIPS-162-2-129 Ameilyn

Pengukuran frekuensi pukulan pendeta dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dengan metode pengukuran jumlah pukulan dalam tiga puluh