• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Keratitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Keratitis"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

KERATITIS

Pembimbing :

dr. Siti Fatimah Sah Rahmadhani, Sp.M

Disusun oleh :

Vanessa Priscillia

406152064

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT SUMBER WARAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

PERIODE 5 JUNI – 15 JULI 2017

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian media refraksi yang terletak di bagian anterior mata. Sebuah kornea yang sehat, dengan lapisan air mata di atasnya, berperan penting dalam menyediakan permukaan refraksi yang baik serta perlindungan mata. Bentuk kornea lebih rata di tepi dan lebih terjal di bagian tengah, sehingga membentuk sistem optik asferis.1 Kornea terdiri atas 5 lapisan, yaitu epitel, membrane Bowman, stroma, membrane Descemet, dan endotel. Lapisan endotel tidak dapat melakukan regenerasi sehingga kerusakannya menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan kornea. Sebaliknya, lapisan epitel yang memiliki sifat regenerasi akan menyebabkan edema lokal sesaat bila terjadi kerusakan.2

Keratitis adalah keadaan peradangan kornea yang disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Keratitis oleh karena infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Keratitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda.3

Gejala yang timbul pada keratitis adalah rasa sakit yang berat, karena kornea memiliki serat sakit yang banyak. Rasa sakit juga diperparah oleh gerakan kelopak mata sebab terjadinya gesekan antara kornea dan palpebral. Rasa silau (fotofobia) juga dan penglihatan yang menurun terutama bila letak lesi di sentral kornea juga dirasakan penderita. Keratitis juga menyebabkan mata merah dan rasa mengganjal atau kelilipan.2

Keratitis merupakan penyakit yang serius karena dapat mengancam ketajaman penglihatan. Penanganan yang tidak sempurna atau terlambat akan mengakibatkan gangguan penglihatan permanen berupa penglihatan yang kabur ringan hingga kebutaan.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KORNEA

Kornea merupakan jaringan avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea merupakan sumber astigmatisme pada system optik. Asupan nutrisi dan pembuangan produk metabolik terutama melalui humor akuos di posterior dan lapisan air mata di anterior, dengan gradien oksigen yang menurun secara anterior-posterior. 1

Gambar 1. Lapisan kornea

Kornea memiliki ujung-ujung saraf terbanyak, dengan pleksus subepitel dan lapisan dalam stroma dimana keduanya dipersarafi oleh divisi pertama nervus trigeminalis. Tebal kornea (0.6 – 1.0 mm) terdiri atas lima lapisan: 3

1. Epitel

Epitel kornea merupakan lapis paling luar kornea dan berbentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Ini terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5% (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan

(4)

makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Lapisan in berasal dari ectoderm pemukaan, daya regenerasi epitel cukup besar sehingga apabila terjadi kerusakan, akan diperbarui dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan parut. Bagian ujung saraf kornea berakhir pada epitel, sehingga setiap gangguan epitel akan memberikan gangguan sensibilitas kornea berupa rasa sakit atau mengganjal.

2. Membran Bowman

Membran Bowman terletak di bawah epitel bersifat jernih dan aselular. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.

3. Stroma

Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea, yang merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang. Di antara serat-serat kolagen ini terdapat matriks. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan. Bila terjadi gangguan dari susunan serat di dalam stroma maka akan mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah dan kornea terlihat keruh. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma kurang leih 70%. Kadar air dalam stroma relatif tetap yang diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel. Apabila fungsi sel endotel kurang baik maka akan terjadi kelebihan kadar air sehingga timbul sembab korena.

(5)

Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur dan bening; terletak di bawah stroma dan mempunyai tebal kurang lebih 40 mm. Lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20 – 40 mm melekat erat pada membran Descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh humor akuos. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.

G

(6)

2.2 FISIOLOGI KORNEA2

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil

2.3 KERATITIS 2.3.1 Definisi

(7)

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.3

2.3.2 Etiologi

Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan keratitis. Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik. 4

2.3.3 Klasifikasi

Menurut lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi:

i. Keratitis superfisialis, jika mengenai lapisan epitel dan membrane Bowman

a. Keratitis pungtata superfisialis

Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi virus antara lain virus herpes, herpes zoster, dan vaksinia.

b. Keratitis flikten

Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan untuk menyerang kornea.

c. Keratitis sika

Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimal atau sel goblet yang berada di konjungtiva.

d. Keratitis lepra

Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga keratitis neuroparalitik.

(8)

Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multipel dan banyak didapatkan pada petani. ii. Keratitis profunda, jika mengenai lapisan stroma

a. Keratitis interstisial luetik atau keratitis sifilis kongenital b. Keratitis sklerotikans

2.3.4 Patofisiologi 1,5

Beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi padakornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea, dry eyes, penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topikal maupun sistemik.

Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata, lisosim+ epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskular dan lapisan Bowman mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesikornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:

 Lesi pada kornea

 Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea  Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi pathogen

 Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea

 Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion, umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan  Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

(9)

 Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membaran Descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimanahanya membran descement yang intak.  Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membran

descement terjadidan akuos humor akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

2.3.5 Tanda dan Gejala Umum

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah:4

 Keluar air mata yang berlebihan  Nyeri

 Penurunan tajam penglihatan

 Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)  Mata merah

 Sensitif terhadap cahaya.

Kornea adalah jaringan avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak

(10)

jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea. 2

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada keba¬nyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya me¬nyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulent. 2

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat. 2

2.3.6 Diagnosa

Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit-penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus. 2

(11)

Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulasan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop (slit lamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini. 2

Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur. Hapusan dan kultur sering membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis. 1

Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi. 5

Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran slit lamp.

Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika infiltrat terletak di pertengahan atau

(12)

dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat. Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan slit lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikan ke laboratorium secara tepat waktu. 5

2.4 KERATITIS BAKTERIAL

Ciri-ciri khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari penyakit ini.

2.4.1 Patogen

Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi

Klebsiella, Enterobacter, Serratia, and Proteus) dan golongan

Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri. Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri oportunistik, seperti Streptococcus alfa-hemolitikus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan superfisial. 2

2.4.2 Patofisiologi

Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non-fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium

(13)

inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma.

Difusi produk-produk inflamasi (meliputi sitokin) di bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea. 1

2.4.3 Temuan Klinis 2

i. Keratitis Pneumokokus

Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif.

Gambar 3. Ulkus Pneumokokus

ii. Keratitis Pseudomonas

Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat

(14)

biasanya menyertainya. Lesi ini cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik untuk infeksi P. aeruginosa.

Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan organisme ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi.

iii. Keratitis Streptokokus

Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh S. pneumoniae.

2.4.4 Terapi 2, 5

i. Terapi antibiotika

Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada penyebaran segera

(15)

ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.

Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik anterior mata.

Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun, fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri.

Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.

(16)

ii. Terapi kortikosteroid

Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.

Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai.

2.4.5 Komplikasi 1

Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya penglihatan.

2.4.6 Prognosis 1

Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini, dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.

 Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis  Luas dan lokasi ulkus kornea

(17)

2.5 KERATITIS VIRUS

2.5.1 Keratitis Herpes Simpleks

Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus. 6

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik (Vaughan, 2009). Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas. 7

Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion N. trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.2

Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan.

(18)

2.5.1.1 Gejala Klinis

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens. 2

Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia. 6

2.5.1.2 Lesi

Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial. 2

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi

(19)

seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam satu dua hari. 2

Gambar 6. Lesi dendritik

Gambar 7. Lesi geografik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil. 6

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering

(20)

bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal. 2

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder. 2

(21)

Gambar 9. Lesi dengan Wessely Ring

2.5.1.3 Patogenesa

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak. 2

2.5.1.4 Terapi 1,2,5

Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek merusak akibat respon radang.

i. Debridement

Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada

(22)

stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat. ii. Terapi obat

Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum).

Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.

(23)

iii. Bedah

Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.

Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek.

iv. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV

Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira-kira sepertiga kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.

(24)

Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.

2.5.2 Keratitis Virus Varisela Zoster

Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi. 2

Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris. 2

Gambar 10. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N. Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh

(25)

edema dan sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata. 2

Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri. 2

2.6 KERATITIS FUNGI

Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur. 1

2.6.1 Etiologi 1

Secara ringkas dapat dibedakan :

1. Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.

a) Jamur bersepta: Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.

b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.

2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

(26)

2.6.2 Faktor Resiko 1

Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular. Trauma umumnya terjadi di lingkungan luar rumah dan melibatkan tumbuhan. Faktor risiko lain untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicella zoster atau herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion.

Faktor predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek epitel persisten. Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi.

2.6.3 Manifestasi Klinik 1,2,5

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi berwarna putih kekuningan.

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :  Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.  Lesi satelit.

(27)

 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.

 Plak endotel.

 Hypopyon, kadang-kadang rekuren.  Formasi cincin sekeliling ulkus.  Lesi kornea yang indolen.

Gambar 11. Keratitis Aspergilus

Gambar 12. Keratitis Candida

2.6.4 Diagnosa Laboratorik

Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi

(28)

sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa. 8

2.6.5 Terapi 1,2,5

Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:

1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.

Topikal Amphotericin B 1,0¬2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.

2. Jamur berfilamen.

Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).

3. Ragi (yeast).

Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 %

4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati. Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik

Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.

Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

(29)

2.7 KERATITIS ACANTHAMOEBA

Acanthamoeba adalah protozoa yang hidup pada air yang terkontaminasi bakteri dan materi organic. Infeksi kornea pada Acanthamoeba biasanya berhubungan dengan pengunaan lensa kontak, termasuk lensa silicon hydrogel atau pemakaian berkepanjangan lensa kontak keras untuk koreksi kelainan refraksi. Pada orang yang tidak memakai lensa kontak, infeksi ini dapat terjadi akibat kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi. 1

Gejala awalnya adalah sakit yang berlebih daripada penemuan klinis, mata merah, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea yang indolen, cincin stroma, infiltrate perineural, tapi perubahan hanya terbatas pada epitel. 2

Diagnosis dipastikan dengan kultur pada media yang khusus, agar non-nutrien dengan E. coli di atas agar. Hasil yang lebih baik didapat melalui biopsy kornea dan kerokan kornea untuk pemeriksaan histopatologik bentuk amoeba. 2

Penanganan tahap awal adalah debridement epitel. Terapi obat biasanya dimulai dengan propamidine isethionate topical (solusio 1%) dan polyhexamethylene biguanida (solusio 0,01% - 0,02%) atau tetes mata neomisin. 2

(30)

DAFTAR PUSTAKA

1. Yanoff M., Duker J.S. Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. 2014.

2. Vaughan, Daniel. General Opthalmology. 18th edition. McGraw Hill. 2014.

3. Ilyas, et. Al. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Keokteran. Edisi kedua. CV. Sagung Seto. 2002.

4. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 56

5. Kanski. Clinical Opthalmology: A Systemic Approach. 7th edition. Elsevier. 2011.

6. Ilyas, Sidarta. 2013. Ilmu penyakit Mata. Edisi keempat. FKUI. Jakarta. 7. American Academy of Ophthalmology. External disease and cornea. San

Fransisco 2007

8. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. INDIAN Journal of Opthalmology 2006 56:3;50-56

Gambar

Gambar 1. Lapisan kornea
Gambar 2. Lapisan kornea
Gambar 3. Ulkus Pneumokokus
Gambar 6. Lesi dendritik
+5

Referensi

Dokumen terkait

Komplikasi yang paling sering muncul pada kasus-kasus uveitis anterior adalah glaucoma yang dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intra okuler yang disebabkan oleh adanya sinekia

Pada ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri menunjukkan demarkasi epitel yang jelas dengan dense yang mendasarinya, suppurative stromal inflammation memiliki tepi yang tidak

Jamur penyebab ulkus kornea biasanya oleh karena Aspergillus, Candida,  Fusarium, PenicilUum yang berkaitan dengan trauma ( terutama yang melibatkan  batang pohon, atau

Selain terapi pada keratokonus, CXL dapat digunakan pada kasus infeksi seperti keratitis atau ulkus kornea yang diberi nama PhotoActivated Chromophore for infectious

Biasanya bersamaan dengan kasus ulkus kornea yang purulent yang terjadi disebabkan absorpsi toxin pada anterior chamber.

Ulkus diabetika terutama terjadi pada penderita Diabetes mellitus yang telah menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul

Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan tetapi

Keratitis yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi seperti peradangan kornea kronis, timbulnya jaringan sikatrik, infeksi virus kronis atau berulang pada kornea,