KARAKTERISTIK PENDERITA KERATITIS INFEKTIF
DI RS H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2011
TESIS
Oleh:
Dr. Marina Yusnita Albar, Sp.M
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIS ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KARAKTERISTIK PENDERITA KERATITIS INFEKTIF DI RS H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2011
TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Mata
Oleh:
Dr. Marina Yusnita Albar, Sp.M
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIS ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Medan, Juli 201KATA PENGANTAR
Saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dalam bentuk tesis yang saya beri judul KARAKTERISTIK PENDERITA KERATITIS INFEKTIF DI RS H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2011 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan dan memberikan izin penelitian.
Yang terhormat dr. Delfi, Sp.M(K) sebagai Ketua Departemen IK Mata, dr. Aryani A. Amra, Sp.M sebagai Ketua Program Studi IK Mata yang telah memberikan dorongan semangat.
Orang tua saya yang sangat tersayang, (almarhum) Abul Faiz Albar dan Winda Zulchairi atas kasih sayang yang tidak terbatas, serta saudara-saudara saya Husnul F. Albar, Tauhid M. Albar, Mahmud A. Albar, dan Siti Halida.
Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya saya berharap mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua. Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amiin, Amiin Ya Robbal’alamin.
Medan, Juli 2012
ABSTRAK
Pendahuluan: Keratitis infektif merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai di Negara tropis dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi keratitis infektif di negara tropis cukup tinggi.
Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita keratitis infektif RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita keratitis infektif sebanyak 78 kasus dan besar sampel adalah seluruh kasus tersebut.
Hasil Penelitian: Proporsi penderita keratitis infektif tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 29,5%, umur di atas 18 tahun 93,6%, dengan proporsi laki-laki 61,5% dan perempuan 38,5%, pekerjaan petani 26,9%, keratitis bakterial 51,3%,, medikamentosa 97,4%. Uji statistik chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat dua sel dengan nilai di bawah lima.
Kesimpulan: Bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar perlu dilakukan penyuluhan dan pemahaman terhadap pasien tentang keratitis infektif dan.
ABSTRACT
Introduction: Infectious keratitis is one of the diseases that are common in almost all countries and a problem that causes high morbidity and lowers patient’s quality of life. The prevalence of infectious keratitis in tropical countries, including Indonesia, is quite high.
Aim: To investigate the characteristics of infectious keratitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010-2011 period.
Methods: This is a descriptive study with a case series design. Population of this research is the data of 78 patients’ eyes with diagnosis of infectious keratitis (bacterial, fungal, or viral). Data were obtained from patients’ medical records at Adam Malik Hospital.
Results: The proportion of patients with infectious keratitis is highest at the 28–35 year-old group with occurrence of 29,5%, 18-year-old group 93,6%, with the proportion of male 61,5% and female 38,5%, farmer profession 26,9%,
Conclusion: H Adam Malik Hospital needs to raise public awareness about infectious keratitis through public seminars and warn the highest risk groups about this disease.
bacterial keratitis 51,3%, and medical therapy 97,4%. Chi-square test was not performed because there were more than two cells with expected value less than five.
DAFTAR ISI
2.1 Definisi Keratitis Infektif ...……... 4
2.2 Anatomi ... 4
2.2.1 Kornea ... 5
2.3 Respon Imun Kornea …………... 8
2.4 Hipersensitivitas tipe lambat lokal ... 8
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 17
3.1 Rancangan Penelitian ……….……...….. 17
3.2 Lokasi Penelitian ………...….…... 17
3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ………...17
3.3.1 Populasi ………...… 17
3.3.2 Sampel Penelitian ………...17
3.3.3 Kerangka Konsep Penelitian …... 17
3.4 Variabel Penelitian ………..…...……... 18
3.4.1 Definisi Operasional Variabel …………...…... 19
3.5 Kerangka Kerja ………..…...… 20
3.6 Cara Analisis Data ………...……... 20
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 21
BAB 5 PEMBAHASAN ... 27
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 34
6.1 Kesimpulan ……...………... 34
ABSTRAK
Pendahuluan: Keratitis infektif merupakan salah satu penyakit mata yang sering dijumpai di Negara tropis dan menjadi masalah yang menyebabkan morbiditas dan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Prevalensi keratitis infektif di negara tropis cukup tinggi.
Tujuan Penelitian: Mengetahui karakteristik penderita keratitis infektif RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series, populasi penelitian adalah penderita keratitis infektif sebanyak 78 kasus dan besar sampel adalah seluruh kasus tersebut.
Hasil Penelitian: Proporsi penderita keratitis infektif tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 29,5%, umur di atas 18 tahun 93,6%, dengan proporsi laki-laki 61,5% dan perempuan 38,5%, pekerjaan petani 26,9%, keratitis bakterial 51,3%,, medikamentosa 97,4%. Uji statistik chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat dua sel dengan nilai di bawah lima.
Kesimpulan: Bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar perlu dilakukan penyuluhan dan pemahaman terhadap pasien tentang keratitis infektif dan.
ABSTRACT
Introduction: Infectious keratitis is one of the diseases that are common in almost all countries and a problem that causes high morbidity and lowers patient’s quality of life. The prevalence of infectious keratitis in tropical countries, including Indonesia, is quite high.
Aim: To investigate the characteristics of infectious keratitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2010-2011 period.
Methods: This is a descriptive study with a case series design. Population of this research is the data of 78 patients’ eyes with diagnosis of infectious keratitis (bacterial, fungal, or viral). Data were obtained from patients’ medical records at Adam Malik Hospital.
Results: The proportion of patients with infectious keratitis is highest at the 28–35 year-old group with occurrence of 29,5%, 18-year-old group 93,6%, with the proportion of male 61,5% and female 38,5%, farmer profession 26,9%,
Conclusion: H Adam Malik Hospital needs to raise public awareness about infectious keratitis through public seminars and warn the highest risk groups about this disease.
bacterial keratitis 51,3%, and medical therapy 97,4%. Chi-square test was not performed because there were more than two cells with expected value less than five.
BAB 1 PENDAHULUAN
Keratitis infektif merupakan penyakit yang mengancam penglihatan dan disebabkan oleh berbagai mikroorganisme infektif seperti bakteri, jamur, virus, dan protozoa.1 Penyakit ini merupakan penyebab kebutaan terbanyak di negara berkembang maupun negara maju.1, 2
Kornea dilindungi oleh lapisan palpebra, air mata, flora normal di mata dan epitel.
1
Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat menembus lapisan epitel kornea yang intak, kecuali Neisseria, Corynebacteria, Shigella dan Listeria.1 Defek epitel akan memungkinkan terjadinya adhesi patogen yang selanjutnya akan melakukan penetrasi lebih dalam. Oleh karena itu, trauma okular, penggunaan lensa kontak, riwayat operasi mata sebelumnya merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya keratitis infektif.1
Ulkus superfisial dapat memburuk dengan adanya infiltrasi stromal lebih dalam, reaksi radang di bilik mata depan, bahkan perforasi.1 Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencapai prognosis yang baik. Identifikasi patogen dan obat yang akurat harus dilakukan dengan analisis laboratorium.1 Pemahaman epidemiologi keratitis infektif menjadi penting karena penyakit ini dapat dicegah ataupun ditangani.2
mengalami ulkus kornea setiap tahunnya di India. Dengan menerapkan ekstrapolasi angka tersebut kepada benua Asia dan Afrika, didapatkan angka insidensi keratitis infektif di negara berkembang sebesar 1,5 sampai 2 juta kasus.3, 4 Andhra Pradesh Eye Disease Study (APEDS) yang dilaksanakan di LV Prasad Eye Institute, Hyderabad, memperkirakan angka prevalensi kebutaan kornea pada satu mata atau lebih sebesar 0,66% (CI, 0,49-0,86). Penyebab terbanyak adalah keratitis di masa kanak-kanak (36,7%), trauma (28,6%), dan keratitis di masa dewasa (17,7%).5
Selain tingginya insidensi, biaya terapi keratitis infektif relatif mahal dengan pemulihan tajam penglihatan yang rendah. Bahkan pada banyak negara berkembang obat-obat keratitis sulit didapatkan. Dengan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh keratitis infektif, solusi utama di masyarakat adalah strategi preventif.3
Masalah
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik keratitis infektif miopia tinggi di RSUP. Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur.
2. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin.
3. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan.
4. Mengetahui proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan diagnosis klinis.
5. Mengetahui proporsi penatalaksanaan pada penderita keratitis infektif.
Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai profil keratitis infektif pada pasien RSHAM sehingga dapat memberikan sumbangan data epidemiologi bagi angka kebutaan di Sumatera Utara.
BAB 2
KERANGKA TEORI
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea.6 Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelialm stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform, dan bentuk lainnya.6, 7
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu bakteri, jamur, virus dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan kornea.8 Kondisi ini sangat mengancam tajam penglihatan dan merupakan kegawatdaruratan di bidang oftalmologi. Pada satu penelitian, keratitis merupakan penyebab kedua terbanyak (24,5%) untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea (24,8%).9 Membedakan etiologi keratitis infektif sulit dilakukan secara klinis dan membutuhkan pemeriksaan diagnosis penunjang.1, 8
Anatomi Normal Kornea
menyerupai epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di antara susunan epitel kornea.9 Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan lapisan germinativum dan melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel wing. Lapisan sel basal juga melekat ke membran basal melalui bantuan hemidesmosom.9
Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV, proteoglikan heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin). Membran basal merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma kornea.9, 10
Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.
11
Gambar 2. Lapisan epitel skuamosa pada kornea
Respon Imun Kornea
Imunitas Permukaan Kornea Lokal
Imunitas kornea lokal bergantung pada IgM, komplemen C1, dan sel Langerhans (LC) yang seluruhnya ditemukan pada kornea perifer. IgG berdifusi ke dalam stroma dari daerah limbus dan akan mencapai konsentrasi sebesar 50% dari konsentrasi serum. Inflamasi kornea dapat merangsang migrasi LC sentripetal.10-12
dimasukkan ke dalam kantung endositik. Ini berbeda dengan sel Langerhans yang hanya dapat mencerna antigen terlarut. Limfosit T berfungsi mensekresikan sitokin di dalam jaringan yang bekerja langsung terhadap sel target. Interferon (IFN-g) menstimulasi ekspresi molekul MHC kelas II di dalam keratinosit, sel epitel, sel endotel, dan fibroblas yang semuanya dapat bertindak sebagai APCs yang memproses dan menyajikan peptida imunofenik yang bergabung sebagai kompleks dengan molekul MHC kelas II. Sel-sel tersebut memiliki kemampuan stimulasi sinyal yang berbeda-beda dan tidak dapat menstimulasi sel T yang tidak aktif karena sel T tersebut membutuhkan aktivasi oleh IL-2.4
HIPERSENSITIVITAS TIPE-LAMBAT LOKAL
Hipersensitivitas tipe-lambat (delayed hypersensitivity, DH) dapat memicu reaksi imun yang dimediasi oleh sel (cell-mediated). Contoh organisme yang menimbulkan DH adalah Onchocerca volvulus dan Staphylococcus aureus.Reaksi imun ini diekspresikan oleh sel limfosit Th1 dan dimediasi oleh sitokin. Mekanisme ini diduga menjadi penyebab ulkus kornea marjinal yang diakibatkan oleh blefaritis rekuren oleh Staphylococcus aureus. Mekanisme ini dapat dilihat pada Gambar 1.4
Keratitis Fungal/Jamur (Keratomikosis)
Keratitis infektif yang disebabkan oleh jamur merupakan diagnosis terbanyak pada negara India3, 5, 13
Aspergillus spp., Rhodotorula spp., Candida spp., Penicillium spp., Cladosporium spp., dan Alternaria spp. Insidensi keratomikosis di Amerika Serikat adalah 6-20% dan umumnya terjadi di daerah pedesaan. Aspergillus spp. merupakan penyebab terbanyak keratitis yang timbul di seluruh dunia.14 Candida spp. dan Aspergillus spp. adalah penyebab keratitis jamur terbanyak di Amerika Serikat.14
Tanda dan gejala
Fusarium spp. dilaporkan sebagai penyebab keratitis jamur di Afrika, India, China dan Jepang. Isolat terbanyak di negara India adalah Aspergillus spp., Penicillium spp., dan Fusarium spp. Identifikasi jamur yang akurat sangat penting untuk pencegahan paparan di masa yang akan datang dan penentuan modalitas terapi terbaik.
Keratitis Fungal/Jamur
Faktor risiko
Faktor risiko utama untuk keratitis jamur adalah trauma okular.15
Faktor risiko lain untuk keratitis jamur adalah penggunakan kortikosteroid. Steroid dapat mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur, baik melalui penggunaan sistemik maupun topikal. Faktor risiko lainnya adalah konjungtivitis vernal atau alergika, bedah refraktif insisional, ulkus kornea neurotrofik yang disebabkan oleh virus varicella-zoster atau herpes simpleks, keratoplasti, dan transplantasi membran amnion. Faktor predisposisi keratitis jamur untuk pasien keratoplasti adalah masalah jahitan, penggunaan steroid topikal dan antibiotik, penggunaan lensa kontak, kegagalan graft, dan defek epitel persisten.
Penyakit sistemik juga merupakan faktor risiko bagi terjadinya keratitis jamur, terutama yang berkaitan dengan imunosupresi. Suatu penelitian mencatat angka insidensi diabetes mellitus sebesar 12% pada sekelompok penderita keratitis jamur. Pasien yang menderita penyakit kronik dan menjalani perawatan rawat inap intensif juga memiliki predisposisi untuk terjadinya keratitis jamur, terutama Candida spp. Pada suatu penelitian di Afrika ditemukan bahwa pasien yang positif-HIV memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita keratitis jamur dibandingkan pasien yang HIv-negatif. Hal ini juga ditemukan pada pasien penderita kusta.
Keratitis jamur pada anak jarang dijumpai pada penelitian di luar negeri. Biasanya penyakit ini ditemukan setelah terjadi trauma organik pada mata. Pada suatu penelitian, keratitis jamur pada anak memiliki prevalensi 18% dari seluruh keratitis anak yang dikultur. Anamnesis sulit digali pada sebagian besar kasus, oleh karena itu seluruh kasus dengan kecurigaan keratitis harus menjalani pemeriksaan kultur jamur.
Prognosis
Prognosis keratitis jamur bervariasi sesuai dengan kedalaman dan ukuran lesi serta organisme penyebab. Infeksi superfisial yang kecil umumnya memiliki respon yang baik terhadap terapi topikal. Infeksi stroma yang dalam atau dengan keterlibatan sklera maupun intraokular lebih sulit untuk ditangani. Suatu penelitian intervensional prospektif mengevaluasi terapi natamisin topikal pada 115 pasien keratitis jamur. Pada penelitian tersebut, 52 pasien mengalami keberhasilan terapi, 27 menderita ulkus yang pulih walaupun lambat, dan 36 mengalami kegagalan terapi. Analisis multivariat memperlihatkan bahwa kegagalan terapi berhubungan dengan ukuran lesi yang lebih dari 14 mm2, adanya hipopion, dan Aspergillus sebagai organisme penyebab. Jika penanganan medis gagal, dapat dilakukan operasi.
Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya mekanisme pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum terjadi adalah penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea, kelainan permukaan bola mata, penyakit sistemik dan imunosupresi.8
Bakteri merupakan penyebab keratitis terbanyak di negara maju seperti Amerika Serikat.
8
Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi organisme dan durasi infeksi.2 Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma yang terlokalisir ataupun difus. Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat stromal nekrotik yang berwarna putih-keabu-abuan. Tampilan umum lainnya adalah abses stroma di bawah epitel yang intak. Infiltrat dan edema kornea dapat terletak jauh dari lokasi infeksi primer.2 Ulserasi kornea dapat berlanjut menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase menyebabkan stromal melting maka akan terbentuk descemetocele (Gambar).4 Gejala yang dikeluhkan dapat berupa rasa nyeri, pembengkakan kelopak mata, mata merah atau mengeluarkan kotoran, silau, dan penglihatan yang buram.4
Gambar 4. Descemetocele pada keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh P. aeruginosa pada
Patogenesis
Perlekatan Bakteri
Keratitis bakterial akan terjadi jika mikroorganisme dapat melawan imunitas pejamu. Patogen akan melekat kepada permukaan kornea yang cedera dan menghindari mekanisme pemusnahan oleh lapisan air mata dan refleks kedip. Setelah cedera terjadi, bakteri yang bertahan akan melekat kepada tepi sel epitel kornea yang rusak dan ke membran basalis atau stroma pada tepi luka. Glikokaliks pada epitel yang cedera sangat rentan terhadap perlekatan mikroorganisme.10
Perlekatan mikrobial diawali oleh interaksi adhesin bakteri dengan reseptor glikoprotein pada permukaan okular. Kemampuan bakteri untuk melekat kepada defek epitel tampaknya berperan terhadap seringnya kejadian infeksi oleh S. aureus, S. pneumoniae, and P. aeruginosa. Produksi biofilm akan meningkatkan agregasi bakteri, melindungi mikroorganisme yang melekat dan meningkatkan pertumbuhan pada tahap infeksi dini. Pili (fimbriae) yang terdapat pada permukaan bakteri akan memfasilitasi perlekatan P. aeruginosa dan Neisseria spp. ke epitel.
Invasi Bakteri
bakteri, integrin, protein permukaan sel epitel, dan pelepasan protease bakteri. Organisme
seperti as N. gonorrhoeaeN. meningitidis
diphtheriae, Haemophilus aegyptius, and Listeria monocytogenes dapat menembus permukaan epitel kornea yang intak melalui mekanisme ini.
Terkadang kolonisasi bakteri pada permukaan kornea dapat mendahului invasi stroma. Tanpa antibiotik atau intervensi lainnya, bakteri dapat melanjutkan proses invasi dan replikasi pada stroma kornea. Keratosit memiliki kemampuan fagositosis, namun stroma avaskular yang terpajan tidak dapat melindungi kornea. Mikroorganisme di stroma anterior akan memproduksi enzim proteolitik yang akan menghancurkan matriks stroma dan fibrilkolagen. Invasi bakteri dapat terjadi beberapa jam setelah terjadinya kontaminasi luka kornea dengan agen eksogen atau setelah penggunaan lensa kontak yang terkontaminasi. Peningkatan populasi bakterial tertinggi terjadi pada 2 hari pertama infeksi stroma.
Setelah inokulasi terjadi, bakteri akan menginfiltrasi epitel sekitarnya dan stroma yang lebih dalam di sekitar lokasi infeksi awal. Bakteri yang bertahan cenderung ditemukan pada tepi infiltrat atau di dalam pusat ulserasi kornea. Multiplikasi bakteri yang tidak terkendali di dalam stroma kornea akan mengakibatkan pembesaran fokus infeksi ke kornea sekitarnya.
Inflamasi Kornea dan Kerusakan Jaringan
komponen komplemen, amino vasoaktif, eikosanoid, neuropeptida, dan sitokin. Kaskade komplemen dapat dipicu untuk membunuh bakteri namun kemotaksin yang complement-dependent dapat mengawali inflamasi fokal.
Produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF)-alpha and interleukin-1 akan mengakibatkan adhesi dan ekstravasasi neutrofil di pembuluh darah limbus. Proses ini dimediasi oleh glikoprotein adhesi sel seperti integrin dan selektin dan anggota superfamily imunoglobulin seperti intercellular adhesion molecules (ICAMs) pada sel endotel vaskular dan leukosit.
Dilatasi vaskular konjungtival dan limbal berhubungan dengan peningkatan permeabilitas yang akan menimbulkan eksudat radang di dalam lapisan air mata dan kornea perifer. Neutrofil polimorfonuklir (PMNs) dapat memasuki kornea yang cedera melalui lapisan air mata pada defek epitel, namun umumnya PMN melewati limbus.
Perekrutan sel radang akut akan terjadi beberapa jam setelah terjadinya inokulasi bakteri. Dengan terjadinya akumulasi neutrofil pada lokasi infeksi, semakin banyak sitokin dan komponen komplemen yang dihasilkan untuk menarik lebih banyak leukosit. Makrofag akan berpindah ke kornea untuk memusnahkan bakteri dan neutrofil yang telah berdegenerasi. Inflamasi stroma yang berat dapat mengakibatkan penghancuran stroma secara proteolitik dan nekrosis jaringan.
Terapi Keratitis Bakterial Topikal
Terapi keratitis bakterial sebelumnya adalah tetes mata fortified seperti 5% cefazoline dan 1% gentamicin, namun terapi ini memiliki biaya yang mahal dan kurang nyaman digunakan oleh pasien. Selain itu sediaan komersial terapi ini tidak tersedia sehingga harus diformulasi lebih dahulu oleh dokter.
Fluorokuinolon yang merupakan antibiotik spektrum luas telah mengubah pola terapi ini. Antibiotik dari golongan ini umumnya mampu mengatasi sebagian besar bakteri Gram positif dan bakteri Gram-negatif anaerobik, oleh karena ini antibiotik ini menjadi drugs of choice untuk keratitis bakterial.4, 10, 11, 17, 18 Keratoplasti biasanya dilakukan setelah ulkus pulih dengan antibiotik dan masih meninggalkan sikatriks.10 Tindakan keratoplasti dapat dilakukan pada fase infeksi akut jika terdapat ancaman perforasi maupun telah terjadi perforasi.10 Steroid masih menjadi kontroversi dalam penatalaksanaan keratitis bakterial.19
Sistemik
Tabel 1. Derajat keparahan keratitis bakterial berdasarkan kriteria Jones
Faktor Grade I (ringan) Grade II (sedang) Grade III (berat) Lokasi Non-aksial Sentral atau perifer Sentral atau perifer Area 2 mm 2-6 mm ≥ 6 mm
Kedalaman 1/3 stroma anterior 2/3 stroma anterior > 2/3 stroma Radang di segmen
anterior
BAB 3
KERANGKA TEORI Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian Rekam Medik Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU/ RSUP H. Adam Malik-Medan pada periode tahun 2010-2011.
3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi
Seluruh data penderita dengan diagnosis keratitis infektif yang datang RSUP H. Adam Malik-Medan sejak 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2011.
3.3.2 Sampel Penelitian
3.3.3 Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik Penderita Keratitis Infektif
• Usia
• Jenis Kelamin • Pekerjaan • Diagnosis Klinis • Penatalaksanaan
3.4 Variabel Penelitian
Variabel bebas: usia, jenis kelamin, pekerjaan, diagnosis klinis, penatalaksanaan Variabel terikat: adanya keratitis infektif
Definisi Operasional Variabel
1. Keratitis infektif adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh bakteri atau jamur atau virus.
2. Usia adalah usia pasien saat pertama kali datang berobat ke RS HAM Medan dan dikategorikan menjadi di bawah 18 tahun (≤18 tahun) dan 19 tahun ke atas.
3. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien keratitis infektif yang menjadi sampel pada penelitian ini dan tercatat pada rekam medis dan dikategorikan menjadi pria atau wanita.
4. Pekerjaan adalah pekerjaan pasien keratitis infektif yang menjadi sampel pada penelitian ini dan tercatat pada rekam medis dengan kategori sebagai berikut: 5. Diagnosis klinis adalah diagnosis keratitis infektif yang ditegakkan melalui
pemeriksaan klinis tanpa dibantu pemeriksaan penunjang.
3.5 Kerangka Kerja
3.6 Cara Analisis Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk menilai persentase keratitis infektif berdasarkan umur dan jenis kelamin, pekerjaan, diagnosis klinis dan penatalaksanaan. Data yang diambil dari data Rekam Medik RS H. Adam Malik-Medan. Data akan dilakukan uji statistik Chi square.
Rekam Medis
Diagnosis Klinis Keratitis Infektif
• Keluhan Utama
• Umur
• Jenis Kelamin
• Pekerjaan
• Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
2. Operasi
a. Conjunctival Flap
b. Periosteal Graft
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain case series dimana pengambilan data dari data klinis di Bagian Rekam Medik Ilmu Kesehatan Mata FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Data penelitian adalah seluruh kasus keratitis infektif yang berobat di RSUP H. Adam Malik sejak Januari 2010 sampai dengan Desember 2011.
4.1 Analisis Data Univariat
4.1.1 Proporsi penderita keratitis infektif menurut kelompok umur tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011
Tabel 4.1.1 .Proporsi penderita keratitis infektif menurut kelompok umur tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011
Kelompok Umur
4.1.2 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur tercatat
Tabel 4.1.2. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur tercatat
Umur f (%)
≤ 18 tahun 5 (6,4)
> 18 tahun 73 (93,6)
Jumlah (%) 78 (100)
Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada umur > 18 tahun sebanyak 73 penderita (93,6%) dan terendah pada kelompok umur ≤ 18 tahun sebanyak 5 penderita (6,4%).
4.1.3 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011
Table 4.1.3. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011
Jenis Kelamin f (%)
Laki-laki 48 (61,5)
Perempuan 30 (38,5)
Jumlah (%) 78 (100)
Jenis kelamin terbanyak menderita keratitis infektif adalah laki-laki sebanyak 48 penderita (61,5%) diikuti perempuan sebanyak 30 penderita (38,5%).
Tabel 4.1.4. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan yang tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011
Pekerjaan f (%)
IRT 15 (19,2)
PNS/Pensiunan PNS 6 (7,7)
Pelajar 5 (6,4)
Mahasiswa/i 8 (10,3)
Petani 21 (26,9)
Lain-lain 23 (29,5)
Jumlah (%) 78 (100)
Proporsi pekerjaan penderita keratitis infektif terbanyak dijumpai pada petani dengan 21 penderita (26,9%), dan terendah adalah pada kelompok pelajar dengan 5 penderita (6,4 %).
Tabel 4.1.6. Proporsi keratitis infektif berdasarkan diagnosis klinis Proporsi keratitis infektif
berdasarkan diagnosis klinis
f (%)
Keratitis Bakterial 40 (51,3)
Keratitis Fungal 32 (41,0)
Keratitis Viral 6 (7,7)
Jumlah (%) 78 (100)
Tabel 4.1.6 memperlihatkan bahwa keratitis bakterial merupakan keratitis infektif terbanyak, yaitu sebanyak 40 kasus (51,3%) sedangkan keratitis viral paling sedikit ditemukan, yaitu pada 6 (7,7%) kasus.
Tabel 4.1.8. Proporsi penatalaksanaan keratitis infektif di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2010-2011
Penatalaksanaan f (%)
Medikamentosa 76 (97,4)
Operasi 2 (2,6)
Jumlah (%) 78 (100)
Proporsi penatalaksanaan pada penderita keratitis infektif adalah dengan medikamentosa pada 76 penderita (97,4% ) dan operasi 2 penderita (2,6%).
4.2
Analisis Data Bivariat
Tabel 4.2.1. Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur dan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011
Kelompok
Tabel 4.2.2. Proporsi diagnosis klinis berdasarkan umur
Keratitis Bakterial 2 (40,0) 38 (52.1)
Dari tabel 4.2.2 dapat diketahui bahwa proporsi umur penderita keratitis infektif untuk semua penyebab lebih tinggi pada umur di atas 18 tahun, yaitu 93,5% daripada umur ≤ 18 tahun 6,4%. Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (50%) expected count yang besarnya kurang dari 5.
Tabel 4.2.3. Proporsi diagnosis klinis berdasarkan jenis kelamin
Diagnosis Klinis
Keratitis Bakterial 23 (47,9)
17 (56,7) 40 (51,3) Keratitis Fungal 22
(45,8)
Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) expected count yang besarnya kurang dari 5.
Tabel 4.2.4. Proporsi pekerjaan berdasarkan diagnosis klinis pada penderita keratitis infektif
Diagnosis Klinis Pekerjaan
Jumlah (%)
Petani Bukan
Petani
f (%) f (%)
Keratitis Bakterial 7 (8,9) 33 (42,3) 40 (51,3)
Keratitis Fungal 12 (15,4) 20 (25,6) 32 (41,0)
Keratitis Viral 2 (2,6) 4 (5,1) 6( 7,7)
Total 21 (26,9) 57 78
Dari tabel 4.2.6 di atas dapat diketahui proporsi penderita keratitis bakterial, fungal maupun viral masih lebih rendah pada profesi petani (26,9%) dibandingkan profesi selain petani (57%).
BAB 5
PEMBAHASAN
Pada penelitian yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU bagian Rekam Medik RSUP H. Adam Malik didapatkan data penderita keratitis infektif pada tahun 2010-2011 sebanyak 78 penderita.
5.1 Analisis Univariat
5.1.1 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan kelompok usia tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011
Gambar 5.1.1 Penderita keratitis infektif berdasarkan kelompok umur 9 %
20,5 %
29,5 %
14,1 %
10,3 % 3,8 %
Dari gambar 5.1.1 Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebanyak 23 penderita (29,5 %) dan kelompok umur 20– 27 tahun sebanyak 16 penderita (20,5 %).
5.1.2 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan umur tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2011
Dari gambar 5.1.2 di atas didapatkan proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada umur > 18 tahun sebesar 93,6 % ( 73 orang) dan terendah pada kelompok umur < 18 tahun sebesar 6,4 % (5 orang).
6,4 %
5.1.3 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2010-2011
Dari gambar 5.1.3 didapatkan proporsi penderita keratitis infektif lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin pria, yaitu sebanyak 61,5 % sedangkan wanita sebanyak 38,5 %.
Beberapa penelitian lain sebelumnya terhadap keratitis infektif juga mendapatkan jumlah penderita lebih banyak pada laki-laki Hal ini sesuai dengan hasil yang umumnya didapatkan pada penelitian keratitis infektif baik di luar negeri maupun Indonesia.
Banyaknya penderita keratitis infektif pada laki-laki dimungkinkan karena mereka lebih terpapar terhadap berbagai faktor risiko keratitis infektif, yaitu seperti profesi di luar rumah, dan kegiatan sehari-hari yang membutuhkan tenaga fisik yang umumnya dapat menyebabkan trauma seperti petani, tukang kayu, pengrajin, dll.
38,5 %
5.1.4 Proporsi penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan yang tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2011
Gambar 5.1.4 Penderita keratitis infektif berdasarkan pekerjaan
Pada gambar di atas didapati proporsi penderita keratitis infektif terbanyak dijumpai pada petani (21 orang) sebesar 26,9 %, diikuti oleh ibu rumah tangga sebesar 19,2 % (15 orang).
Hal ini sesuai dengan banyak penelitian di negara tropis bahwa petani memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita keratitis infektif mengingat kemungkinan trauma organik yang lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya dalam penelitian ini. Selain itu petani di negara Indonesia umumnya memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik sehingga lebih mungkin untuk melakukan kesalahan dalam usaha mengobati keluhan matanya, seperti penggunaan obat tradisional yang belum jelas khasiatnya.
6,4 %
10,3 % 26,9 %
19,2 %
7,7 %
Keluhan yang paling sering dijumpai pada keratitis infektif adalah turunnya tajam penglihatan disertai mata merah. Turunnya tajam penglihatan adalah tanda yang paling umum dan paling penting pada penderita keratitis infektif.
Gambar 5.1.6 Proporsi keratitis infektif berdasarkan diagnosis klinis
51,3 %
41,0 %
5.1.7 Proporsi keratitis infektif berdasarkan derajat keparahan penyakit di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008
Gambar . Proporsi keratitis infektif berdasarkan derajat keparahan penyakit.
Dari gambar 5.1.7 dapat dilihat bahwa keratitis infektif derajat sedang paling banyak dijumpai dibandingkan derajat lainnya, yaitu sebesar 51,3 % (40 orang). Keratitis infektif derajat berat paling sedikit ditemukan, yaitu sebesar 20,5 % (16 orang).
5.1.8 Proporsi Penatalaksanaan Keratitis Infektif di RSUP H. Adam Malik-Medan Tahun 2010-2011
51,3 %
Gambar 5.1.8. Penatalaksanaan keratitis infektif di RSUP H. Adam Malik periode 2010-2011
Dari gambar di atas penatalaksanaan yang paling banyak dilakukan pada penderita keratitis infektif adalah penatalaksanaan medikamentosa, yaitu sebesar 97,4 % (76 orang). Penatalaksanaan keratitis infektif dengan medikamentosa dilakukan terlebih dahulu sesuai dengan pedoman penatalaksanaan PERDAMI. Pemilihan antimikroba disesuaikan dengan gambaran klinis dan diteruskan jika terdapat perbaikan. Satu orang penderita keratitis fungal (1,3%) harus menjalani operasi periosteal graft karena telah terjadi perforasi yang luas, sedangkan satu orang penderita keratitis bakterial (1,3%) menjalani operasi conjunctival flap karena mengalami perforasi dalam ukuran yang lebih kecil. Terapi definitif bagi keratitis yang mengalami perforasi adalah keratoplasti, namun masalah ketersediaan donor dan keterampilan ahli medis menyebabkan operasi tersebut tidak pernah dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK-USU.
97,4 %
BAB 6 KESIMPULAN
1. Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebanyak 23 penderita (29,5 %)
2. Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif terdapat pada umur > 18 tahun sebanyak 73 penderita (93,6%)
3. Proporsi jenis kelamin terbanyak menderita keratitis infektif adalah laki-laki sebanyak 48 penderita (61,5%)
4. Proporsi pekerjaan penderita keratitis infektif terbanyak dijumpai pada petani dengan 21 penderita (26,9%)
5. Proporsi keratitis infektif terbanyak adalah keratitis bakterial, yaitu sebanyak 40 kasus (51,3%)
6. Proporsi penatalaksanaan pada penderita keratitis infektif adalah dengan medikamentosa pada 76 penderita (97,4% )
7. Proporsi tertinggi penderita keratitis infektif pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun yaitu sebesar 29,5%
9. Proporsi penderita keratitis bakterial dan fungal lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki (47,9% dan 45,8%); Proporsi penderita keratitis viral lebih tinggi pada jenis kelamin wanita, yaitu sebesar 10%.
10. Proporsi penderita keratitis bakterial, fungal maupun viral pada profesi petani masih lebih rendah (26,9%) dibandingkan pada profesi selain petani (57%).
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan penyuluhan dan pemahaman terhadap pasien tentang keratitis infektif baik keluhan utama yang paling sering terjadi ataupun penatalaksanaan yang sesuai pada penderita keratitis infektif.
2. Pemeriksaan pewarnaan Gram dan KOH sebaiknya dilakukan secara rutin pada setiap kasus dengan kecurigaan keratitis infektif untuk meningkatkan ketepatan diagnosis dan keberhasilan penatalaksanaan.
DAFTAR RUJUKAN
1. Cariello AJ, Passos RM, Yu MC, Hofling-Lima AL. Microbial keratitis at a referral center in Brazil. Int Ophthalmol. Jun;31(3):197-204.
2. McLeod SD. Bacterial keratitis. In: Yanoff M, Duker JS, eds. Ophthalmology. 3rd ed. San Francisco: Mosby; 2009:262-270.
3. Vaddavalli PK, Garg P, Rao GN. Corneal diseases in the developing world. In: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ, eds. Cornea. Vol 1. 3rd ed. San Francisco: Mosby; 2011:1033-1042. 4. Seal D, Pleyer U. Ocular infection. 2nd ed. New York: informa healthcare; 2007.
5. Dandona R, Dandona L. Corneal blindness in a southern Indian population: need for health promotion strategies. Br J Ophthalmol. Feb 2003;87(2):133-141.
6. Ophthalmology AAo. Examination techniques for the external eye and cornea. Basic and Clinical Science Course. Cornea and external eye disease. Vol 8. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2009-2010:25-30.
7. Passos RM, Cariello AJ, Yu MC, Hofling-Lima AL. Microbial keratitis in the elderly: a 32-year review. Arq Bras Oftalmol. Aug 2010;73(4):315-319.
8. Edelstein SL, Wichiensin P, Huang AJ. Bacterial keratitis. In: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ, eds. Cornea. Vol 1. 3rd ed. San Francisco: Mosby; 2011:919-940.
9. Yanoff M, Sassani JW. Cornea and sclera. Ocular pathology. 6th ed. Philadelphia: Mosby; 2009:255-270.
10. AAO. Inflammations. In: AAO, ed. Ophthalmic pathology and intraocular tumors. Vol 4. San Francisco: AAO; 2011:80-90.
11. AAO. Infectious diseases/external eye: microbial and parasitic infections. In: AAO, ed. External disease and cornea. Vol 8. San Francisco: AAO; 2011:155-170.
12. Klotz SA, Penn CC, Negvesky GJ, Butrus SI. Fungal and parasitic infections of the eye. Clin Microbiol Rev. Oct 2000;13(4):662-685.
13. Sengupta S, Rajan S, Reddy PR, et al. Comparative study on the incidence and outcomes of pigmented versus non pigmented keratomycosis. Indian J Ophthalmol. Jul-Aug;59(4):291-296. 14. Alfonso EC, Galor A, Miller D. Fungal keratitis. In: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ, eds.
Cornea. Vol 1. 3rd ed. San Francisco: Mosby; 2011:1009-1022.
15. Chakrabarti A, Singh R. The emerging epidemiology of mould infections in developing countries. Curr Opin Infect Dis. Dec;24(6):521-526.
16. Illingworth CD, Cook SD, Karabatsas CH, Easty DL. Acanthamoeba keratitis: risk factors and outcome. Br J Ophthalmol. Dec 1995;79(12):1078-1082.
17. Labetoulle M, Chiquet C. [Fluoroquinolones in ophthalmology: mechanisms of action and resistance]. J Fr Ophtalmol. Oct 2008;31(8):795-801.
18. Chiquet C, Labetoulle M. [Fluoroquinolones in ophthalmology: indications and current use]. J Fr Ophtalmol. Oct 2008;31(8):803-808.
19. Srinivasan M, Mascarenhas J, Rajaraman R, et al. Corticosteroids for Bacterial Keratitis: The Steroids for Corneal Ulcers Trial (SCUT). Arch Ophthalmol. Oct 10.
Lampiran. Output Master Data
Kelompok umur
klasifikasi umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 5 6.4 6.4 6.4
2 73 93.6 93.6 100.0
Jenis kelamin
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Tata laksana
Tatalaksana
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
klasifikasi umur * Jenis Kelamin Crosstabulation
Diagnosis klinis_kelompok umur
D/ tanpa lateralitas * kelompok umur Crosstabulation
kelompok umur
Total
1 2
D/ tanpa lateralitas keratitis bakterial Count 2 38 40
% within kelompok umur 40.0% 52.1% 51.3%
keratitis fungal Count 2 30 32
% within kelompok umur 40.0% 41.1% 41.0%
keratitis viral Count 1 5 6
% within kelompok umur 20.0% 6.8% 7.7%
Total Count 5 73 78