• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Penderita Skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skabies merupakan penyakit infes tasi ektoparasit pada manusia yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varietas hominis, biasanya terjadi di daerah yang sanitasi dan higienitas lingkungannya buruk . Skabies dapat menyerang siapa saja, namun lebih banyak ditemukan pada anak -anak usia sekolah dan yang berjenis kelamin laki-laki.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita skabies. Populasi adalah seluruh pasien yang didiagnosis menderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010-2012. Sampel diperoleh dengan menggunakan metode total sampling. Data dikumpulkan melalui pencatatan rekam medik responden dan diolah secara statistik.

Hasil penelitian dari 226 penderita skabies didapatkan 129 penderita berjenis kelamin laki-laki (57,1%), 95 penderita adalah anak -anak dengan usia 6-18 tahun (57,1%), 82 penderita adalah pelajar (36,3%), dan 6-183 penderita berasal dari Kota Medan (81%).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa skabies umumnya terjadi pada laki-laki dan usia anak-anak (6-18 tahun). Hal ini mungkin karena laki-laki kurang telaten menjaga kebersihan dirinya sendiri dan anak -anak yang belum mengetahui cara untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri secara mandiri atau kurang menyadari tentang pentingny a kebersihan pribadi.

(2)

ABSTRACT

Scabies is an infestation of ectoparasites on human disease caused by Sarcoptes scabiei variety hominis, usually occur s in areas with poor sanitation and inadequate hygiene enviro nment. Scabies can attack anyone, but is more commonly found in school -age children and males.

This study is a descriptive study with cross -sectional design which aims to determine the characteristics of patients with scabies. The population was all patients who were diagnosed with scabies in Haji Adam Malik General Hospital Medan from 2010 until 2012. Samples were taken by total sampling method. Data was taken from patients’ medical records and processed statistically.

The result of this study with 226 pat ients showed that 129 patients were males (57,1%), 95 patients were children aged 6 -18 years (57,1%), 82 patients were students (36.3 %), and 183 patients were residents of Medan (81 %).

Based on these results, it can be concluded that scabies usually occu rs in males and in children aged 6-18 years. This is possibly because men rarely keep themselves clean in comparison to women, and children are of age where they do not yet know how to keep themselves clean or less aware of it.

(3)

KARAKTERISTIK PENDERITA SKABIES DI

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2012

Oleh:

BENNY ROLAND NABABAN

100100320

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

KARAKTERISTIK PENDERITA SKABIES DI

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 -2012

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

BENNY ROLAND NABABAN

100100320

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)
(6)

ABSTRAK

Skabies merupakan penyakit infes tasi ektoparasit pada manusia yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varietas hominis, biasanya terjadi di daerah yang sanitasi dan higienitas lingkungannya buruk . Skabies dapat menyerang siapa saja, namun lebih banyak ditemukan pada anak -anak usia sekolah dan yang berjenis kelamin laki-laki.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita skabies. Populasi adalah seluruh pasien yang didiagnosis menderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010-2012. Sampel diperoleh dengan menggunakan metode total sampling. Data dikumpulkan melalui pencatatan rekam medik responden dan diolah secara statistik.

Hasil penelitian dari 226 penderita skabies didapatkan 129 penderita berjenis kelamin laki-laki (57,1%), 95 penderita adalah anak -anak dengan usia 6-18 tahun (57,1%), 82 penderita adalah pelajar (36,3%), dan 6-183 penderita berasal dari Kota Medan (81%).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa skabies umumnya terjadi pada laki-laki dan usia anak-anak (6-18 tahun). Hal ini mungkin karena laki-laki kurang telaten menjaga kebersihan dirinya sendiri dan anak -anak yang belum mengetahui cara untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri secara mandiri atau kurang menyadari tentang pentingny a kebersihan pribadi.

(7)

ABSTRACT

Scabies is an infestation of ectoparasites on human disease caused by Sarcoptes scabiei variety hominis, usually occur s in areas with poor sanitation and inadequate hygiene enviro nment. Scabies can attack anyone, but is more commonly found in school -age children and males.

This study is a descriptive study with cross -sectional design which aims to determine the characteristics of patients with scabies. The population was all patients who were diagnosed with scabies in Haji Adam Malik General Hospital Medan from 2010 until 2012. Samples were taken by total sampling method. Data was taken from patients’ medical records and processed statistically.

The result of this study with 226 pat ients showed that 129 patients were males (57,1%), 95 patients were children aged 6 -18 years (57,1%), 82 patients were students (36.3 %), and 183 patients were residents of Medan (81 %).

Based on these results, it can be concluded that scabies usually occu rs in males and in children aged 6-18 years. This is possibly because men rarely keep themselves clean in comparison to women, and children are of age where they do not yet know how to keep themselves clean or less aware of it.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa di Surga dan juga Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan karunia -Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Karakteristik Penderita Skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010 -2012”. Penulisan skripsi ini ditujukan sebagai tugas akhir dalam pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengakui adanya kekurangan dalam tulisan ini sehingga laporan hasil penelitian ini tidak mungkin disebut sebagai suatu karya yang sempurna. Kekurangan dan ketidaksempurnaan tulisan ini tidak lepas dari berbagai macam rintangan dan halangan yang selalu datang baik sec ara pribadi pada penulis maupun dalam masalah teknis pengerjaan. Penulis rasakan semua itu sebagai suatu ujian dan pengalaman yang sangat berharga dalam kehidupan penulis yang kelak dapat memberi manfaat di kemudian hari.

Oleh karena kekurangan pada diri penulis dalam merampungkan karya tulis ini, maka semua itu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyamp aikan ucapan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakult as Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran USU Medan.

2. dr. Sunna Vyatra Hutagalung, MS sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukka n kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

(9)

4. Pimpinan dan pegawai -pegawai Instalasi Rekam Medik RSUP H. A dam Malik Medan yang telah banyak membantu dalam hal menyediakan fasilitas rekam medik dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.

5. Seluruh pegawai dan staf pengajar bagian IKK Fakultas Kedokteran USU yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini. 6. Teman kelompok KTI dengan dosen pembimbing dr. Sunna Vyatra

Hutagalung, MS, Nurma Sheila yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

7. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Kedokteran USU, Rachmat Kurniawan A. P dan Billi yang juga telah membantu saya dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

8. Abang Robby Oscar Sitohang (Senior Fakultas Kedokteran USU angkatan 2009) yang telah banyak membantu memberikan ide dan sarannya dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

9. Abang Axel Ivander Nainggolan (Senior Fakultas Kedokteran USU angkatan 2007) yang telah banyak membantu memberikan ide, saran, d an kritiknya dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih.

10. Terima kasih juga yang sebesar -besarnya kepada kedua orang tua saya, dr. Kristo A. Nababan, SpKK dan dr. Donna E. Sianturi, yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan jug a semangat dalam menyelesaikan studi saya termasuk dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya tuliskan yang telah memberikan bantuan kepada saya dalam pengerjaan karya tulis ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa selalu membalas semua kebaikan yang selama ini di berikan kepada penulis dan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Desember 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR SINGKATAN ... . ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN... . ... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... ... 4

(11)

2.1.8. Gejala Klinis ... 10

2.1.9. Diagnosis ... 12

2.1.10. Pembantu Diagnosis ... 13

2.1.11. Diagnosis Banding ... 15

2.1.12. Pengobatan ... 16

2.1.13. Komplikasi ... 18

2.1.14. Prognosis ... 18

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 19

3.1. Kerangka Konsep ... 19

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 19

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 21

4.1. Jenis Penelitian ... 21

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 21

4.3.1. Populasi Penelitian ... 21

4.3.2. Sampel Penelitian ... 21

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 22

4.4.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 22

4.4.2. Instrumen Penelitian ... 22

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 22

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 23

5.1. Hasil Penelitian ... 23

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 23

5.1.2. Karakteristik Individu ... 23

(12)

5.1.2.2. Jenis Kelamin Penderita Kasus ... 24

5.1.2.3. Pekerjaan Penderita Kasus ... 25

5.1.2.4. Asal Daerah Penderita Kasus ... 26

5.2. Pembahasan... 27

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

6.1. Kesimpulan ... 31

6.2. Saran ... 32

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita ... 23

5.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita ... 24

5.3. Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita ... 25

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Bentuk Dewasa Sarcoptes scabiei... 5

2.2. Siklus HidupSarcoptes scabiei ... 6

2.3. Gejala Klinis Sarcoptes scabiei... 11

5.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita ... 24

5.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita ... 25

5.3. Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita ... 26

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Peneliti Lampiran 2 Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 Ethical Clearance Lampiran 4 Surat Selesai Penelitian Lampiran 4 Data Induk

(16)

DAFTAR SINGKATAN

KSDAI Kelompok Studi Dermatologi An ak Indonesia

RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skabies pertama kali dilukiskan di Old Testament oleh Aristoteles. Nama Sarcoptes scabiei berasal dari bahasa Yunani “sarx” yang berarti daging dan “koptein” yang berarti irisan/potongan, serta dari bahasa Latin “scabere” yang

berarti garukan (Hicks dan Elston, 2009).

Skabies merupakan penyakit infestasi ektoparasit pada manusia yang disebabkan Sarcoptes scabiei varietas hominis (Harahap M., 2000). Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik, atau gatal agogo. Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi (Handoko, 2009).

Insidens skabies di negara berkem bang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10 -15 tahun (Harahap M., 2000).

Skabies dapat diderita semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin, akan tetapi lebih sering ditemukan pada anak -anak usia sekolah dan dewasa muda/remaja (Murtiastutik D., 2008). Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun 2001 dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, diperoleh sebanyak 892 penderita skabies dengan insiden tertinggi pada kelompok usia sekolah (5 -14 tahun) sebesar 54,6% serta penderita berjenis kelamin laki -laki lebih banyak daripada perempuan yakni sebesar 63,4%. Hal ini sesuai dengan fakto r predisposisi pada anak usia sekolah yang memiliki kemungkinan pajanan di luar rumah lebih besar, dengan anak laki -laki memiliki frekuensi kegiatan di luar rumah lebih banyak daripada anak perempuan (Tabri F., 2003).

(18)

menunjukkan skabies lebih banyak terdapat di area kota dan lebih sering terjadi pada musim dingin ketimbang pada musim panas. Hal ini terdapat di area kota dan insidennya meningkat selama musim dingin (Chosidow O., 2006).

Skabies menular dengan dua cara yaitu secara kontak langsung dan tidak langsung. Kontak langsung terjadi ketika adanya kontak dengan kulit penderita, misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hub ungan seksual. Sedangkan kontak tidak langsung melalui benda yang telah dipakai oleh penderita seperti pakaian, handuk, bantal, dan lain -lain (Handoko, 2009). Hal lain yang dapat mempermudah penyebaran adalah keadaan penyediaan air bersih yang jumlahnya kurang. Oleh sebab itu, skabies banyak didapat juga sewaktu terjadi peperangan (Slamet, 2009).

Faktor predisposisi paling banyak dari penyakit skabies adalah keramaian, imigrasi, higienitas yang buruk, status gizi buruk, tunawisma, demensia, dan kontak seksual. Beberapa literatur melaporkan, skabies bisa menggambarkan sebuah ancaman di suatu institusi, seperti rumah sakit, penjara, taman kanak -kanak, panti jompo, dan fasilitas perawatan jangka panjang (Hicks dan Elston, 2009).

Pasien yang menderita skabies bu tuh penjelasan tahap demi tahap dalam menggunakan terapi yang spesifik, dimana pada anggota keluarga yang tidak punya keluhan dan tidak mengalami kontak langsung dengan penderita juga membutuhkan pengobatan. Kemudian pasien perlu tahu bagaimana menjaga kebersihan lingkungannya dan juga termasuk mengelola pakaian, selimut, handuk, lantai, matras, tempat pakaian, dll (Wolf R, 2010).

Dari uraian di atas, peneliti ingin meneliti tentang karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010 -2012.

1.2. Rumusan Masalah

(19)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan usia.

2. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan jenis kelamin.

3. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan pekerjaan.

4. Mengetahui karakteristik penderita skabies di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012 berdasarkan asal daerah.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies terutama

siapa saja yang dapat terkena penyakit skabies.

2. Memberikan informasi penyakit skabies kepada RSUP H. Adam Malik Medan yang mungkin bermanfaat dalam perencanaan obat.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skabies 2.1.1. Sinonim

The itch, gudik, budukan, atau gatal agogo (Handoko, 2009).

2.1.2. Definisi

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung (Harahap M., 2000).

2.1.3. Epidemiologi

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua u mur. Insidens sama pada pria dan wanita (Harahap M., 2000).

Insidens skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang le bih 10-15 tahun (Harahap M., 2000).

Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, dan derajat sensitasi individual (Harahap M., 2000).

2.1.4. Etiologi

(21)

Secara morfologi, Sarcoptes scabiei merupakan tungau kecil berbentuk oval, memiliki punggung yang cembung, dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran tungau betina berkisar antara 330–450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan tungau jantan berukuran lebih kecil, yakni 200 -240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di d epan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2009).

Gambar 2.1. Bentuk DewasaSarcoptes scabiei. (Chosidow O., 2006)

(22)

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau skabies betina membuat liang di dalam epidermis dan meletakkan telur -telurnya di dalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau skabies jantan hanya mempunyai satu tugas dalam kehidupannya yaitu kawin dengan tungau betina , dan setelah melaksanakan tugasnya masing -masing mereka akan mati (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik yang erat, misalnya melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur. Skabies dapat hidup di luar kulit hanya 2 -3 hari dan pada suhu kamar 21°C dengan kelembaban relative 40-80% (Harahap M., 2000).

Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung atau dua orang yang menggunakan tempat tidur yang sama. Penyebaran biasa terjadi di tempat-tempat yang padat populasi atau di rumah -rumah yang dihuni oleh banyak orang (Sembel, 2009).

Individu yang menderita HIV, orang tua, dan pasien dengan medication-induced immunosupression beresiko terkena skabies, meskipun telah dilaporkan telah terjadi di antara warga Australia yang imunokompeten ( Stone SP et al, 2008).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei

(23)

2.1.5. Klasifikasi

Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Harahap M., 2000):

1. Skabies pada orang bersih

Skabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya baik sering salah didiagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

2. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasu k seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo,ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di muka.

3. Skabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubun gan erat dengan hewan tersebut, mis. peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat -tempat kontak. Lesi akan sembuh sendiri bila m enjauhi hewan tersebut dan mandi bersih -bersih.

4. Skabies noduler

(24)

5. Skabies inkognito

Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin dis ebabkan oleh karena penurunan respons imun seluler.

6. Skabies terbaring di tempat tidur (bed ridden)

Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

7. Skabies krustosa (Norwegian scabies)

Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata, dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, siku, lutut, telapak tangan, dan kaki ya ng dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau sehingga dapat berkembang biak dengan mudah.

2.1.6. Patogenesis

(25)

Tungau dapat hidup di dalam terowongan di tempat predileksi, yaitu jari tangan, pergelangan tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depa n, umbilicus, gluteus, ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki, dan areola mammae pada perempuan. Pada bayi , skabies dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki (Harahap M., 2000).

Pada tempat predileksi dapat ditemukan terowongan berwarna putih abu-abu dengan panjang yang bervariasi, rata -rata 1 mm, berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Terowongan ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil (Sutanto I. et al, 2009). Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea (Harahap M., 2000).

Adanya periode asimptomatis bermanfaat sekali bagi parasit ini, karena dengan demikian mereka mempunyai waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respons imunitas. Setelahnya, hidup mereka menjadi penuh bahaya karena terowongannya akan digaruk dan tungau -tungau serta telur mereka akan hancur. Dengan cara ini hospes mengendalikan populasi tungau dan pada kebanyakan penderita skabies, rata-rata jumlah tungau betina dewasa pada kulitnya tidak lebih dari selusin (Graham -Brown dan Burns, 2005).

2.1.7. Cara Penularan

1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan berhubungan seksual.

2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan lain-lain.

(26)

2.1.8. Gejala Klinis

Gatal merupakan gejala utama sebel um gejala klinis lainnya muncul. Rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pad a skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Pada orang dewasa, gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, sekeliling sik u, areola mammae, permukaan depan pergelangan tangan, skrotum, dan penis (Johnston G dan Sladden M, 2005).

Pada bayi dan anak-anak, lesi biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan telapak kaki. Pada bayi paling umum lesi yang nampak adalah papul-papul dan vesikopustul. Vesikopustul sering nampak di kulit kepala dan telapak kaki (Johnston G. dan Sladden M ., 2005).

Ada 4 tanda kardinal gejala skabies:

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari oleh karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya , sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).

(27)

ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. D apat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut (Handoko, 2009).

Gambar 2.3. Gejala KlinisSarcoptes scabiei. Keterangan gambar:

(A, F, dan H). Sela-sela Jari Tangan. (B). Bawah Ketiak.

(C).Areola Mammae. (D). Penis.

(E). Telapak Kaki Pada Bayi.

(G). Permukaan Depan Pergelangan Tangan.

(28)

2.1.9. Diagnosis

Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus skabies terinfeksi sekunder oleh Streptococcus aureus atauStaphylococcus pyogenes (Harahap M., 2000).

Diagnosis ditegakkan atas dasar:

1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampakvesikula, papula, atau pustula.

2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilicus, abdomen bagian bawah, dan genitalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang terdapat di muka dan kepala, kecuali pada penderita immunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit.

3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal yang efektif.

4. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya skabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperatur tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.

(29)

Cara lain ialah dengan meneteskan minyak immersi pada lesi dan epidermis di atasnya dikerok secara perlahan -lahan. Tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat terbanyak ditemukan kutu, kemudian berturut -turut siku, genital, akhirnya aksila (Harahap M., 2000).

2.1.10. Pembantu Diagnosis

Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan b eberapa cara, antara lain (Murtiastutik D., 2008):

1. Kerokan kulit.

Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula menggunakan skalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup, dan dengan mikroskop pembesaran 20x atau 100x dapat dilihat tungau, telur, ataufecal pellet.

2. Mengambil tungau dengan jarum.

Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali pada orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

3. Epidermal shave biopsy.

(30)

4. Kuretase terowongan.

Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek atau ditetesi minyak mineral.

5. Tes tinta Burowi.

Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, ke mudia segera dihapus dengan alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang karakteristik, berkelok -kelok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-koperatif.

6. Tetrasiklin topikal.

Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah dikeringkan selama 5 menit, hapus larutan tersebut dengan isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui kerusakan stratum korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu Wood, sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat ditemukan.

7. Apusan kulit.

Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakk an di atas gelas objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan mikroskop.

8. Biopsi plong (punch biopsy)

(31)

biopsy, tetapi epidermal shave biopsy adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik lokal p ada penderita yang tidak kooperatif.

2.1.11. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari skabies terbagi atas 5 (Karthikeyan K., 2007): 1. Papular Urtikaria.

Biasanya terjadi pada anak -anak berumur diantara 2 -10 tahun. Yang membedakannya dari skabies adalah ketidakhadiran terowongan pada lesinya. Dan lagi pada umumnya tidak terdapat karakteristik gatal pada skabies.

2. Atopic Dermatitis.

Terdapat gatal dan erupsi vesikopapular yang predominan di fleksor. Yang membedakannya dengan skabies adalah adanya terowongan dan pembungkusan ruang jaringan.

3. Lichen Planus.

Ditandai dengan sebuah gatal di lengan bawah, kaki, dan punggung. Selain gatal, simetris dari lesi, dan kejadian lesinya, penyakit ini tidak menyerupai skabies.

4. Dermatitis Herpetiformis.

Ditandai dengan gatal yang kronis, simetris, dan erupsi vesikopapular yang meliputi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Gatal bersifat persisten dan hadir terus setiap hari. Penyakit ini sering salah didiagnosis sebagai skabies, meskipun jarang terjadi.

5. Infantile Acropustulosis.

(32)

2.1.12. Pengobatan

Merupakan hal yang penting untuk menerangkan kepada pasien dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara memakai obat -obatan yang digunakan, dan lebih baik lagi bila disertai penjelasan tertulis. Semua anggota keluarga dan orang-orang yang secara fisik berhubungan erat dengan pasien, hendaknya secara simultan diobati juga. Obat -obat topikal harus dioleskan mulai daerah leher sampai jari kaki, dan pasien diingatkan untuk tidak membasuh tangannya sesudah melakukan pengobatan (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Pada bayi, orang-orang lanjut usia, dan orang -orang dengan immunokompromasi, terowongan tungau dapat terjadi pada kepala dan leher, sehingga pemakaian obat perlu diperluas pada daerah itu. Sesudah pengobatan, rasa gatal tidak dapat segera hilang, tetapi pelan -pelan akan terjadi perbaikan dalam waktu 2-3 minggu, saat epidermis superfisial yan g mengandung tungau alergenik terkelupas (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Syarat obat yang ideal adalah harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya murah (Handoko, 2009).

Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu: 1. Permetrin.

(33)

2. Malathion.

Malathion 0,5% dengan dasar air digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian (Harahap M., 2000).

3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25%).

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang -kadang makin gatal setelah dipakai (Handoko, 2009).

4. Sulfur.

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5% dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 malam (Harahap M., 2000). Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi (Handoko, 2009).

5. Monosulfiran.

Tersedia dalam bentuk lotion 25%, yang sebelum digunakan harus ditambah 2-3 bagian dari air dan di gunakan selama 2-3 hari. Selama pengobatan, penderita tidak boleh minum alkohol karena dapat menyebabkan keringat yang berlebihan dan takikardi (Harahap M., 2000).

6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan).

(34)

7. Krotamiton.

Krotamiton 10 % dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra (Handoko, 2009).

2.1.13. Komplikasi

Komplikasi pada skabies yang sering dijumpai adalah infeksi sekunder, seperti lesi impetiginosa, ektima, furunkulosis, dan selulitis. Kadang -kadang dapat timbul infeksi sekunder sistemik, yang memberatkan perjalana n penyakit. Stafilokok dan streptokok yang berada dalam lesi skabies dapat menyebabkan pielonefritis, abses interna, pneumonia piogenik, dan septikemia (Soedarto M., 2005).

2.1.14. Prognosis

(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skabies 2.1.1. Sinonim

The itch, gudik, budukan, atau gatal agogo (Handoko, 2009).

2.1.2. Definisi

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei varian hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung (Harahap M., 2000).

2.1.3. Epidemiologi

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua u mur. Insidens sama pada pria dan wanita (Harahap M., 2000).

Insidens skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang le bih 10-15 tahun (Harahap M., 2000).

Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, dan derajat sensitasi individual (Harahap M., 2000).

2.1.4. Etiologi

(36)

Secara morfologi, Sarcoptes scabiei merupakan tungau kecil berbentuk oval, memiliki punggung yang cembung, dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukuran tungau betina berkisar antara 330–450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan tungau jantan berukuran lebih kecil, yakni 200 -240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di d epan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2009).

Gambar 2.1. Bentuk DewasaSarcoptes scabiei. (Chosidow O., 2006)

(37)

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau skabies betina membuat liang di dalam epidermis dan meletakkan telur -telurnya di dalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau skabies jantan hanya mempunyai satu tugas dalam kehidupannya yaitu kawin dengan tungau betina , dan setelah melaksanakan tugasnya masing -masing mereka akan mati (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik yang erat, misalnya melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur. Skabies dapat hidup di luar kulit hanya 2 -3 hari dan pada suhu kamar 21°C dengan kelembaban relative 40-80% (Harahap M., 2000).

Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung atau dua orang yang menggunakan tempat tidur yang sama. Penyebaran biasa terjadi di tempat-tempat yang padat populasi atau di rumah -rumah yang dihuni oleh banyak orang (Sembel, 2009).

Individu yang menderita HIV, orang tua, dan pasien dengan medication-induced immunosupression beresiko terkena skabies, meskipun telah dilaporkan telah terjadi di antara warga Australia yang imunokompeten ( Stone SP et al, 2008).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei

(38)

2.1.5. Klasifikasi

Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Harahap M., 2000):

1. Skabies pada orang bersih

Skabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya baik sering salah didiagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

2. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasu k seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo,ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di muka.

3. Skabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubun gan erat dengan hewan tersebut, mis. peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat -tempat kontak. Lesi akan sembuh sendiri bila m enjauhi hewan tersebut dan mandi bersih -bersih.

4. Skabies noduler

(39)

5. Skabies inkognito

Obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin dis ebabkan oleh karena penurunan respons imun seluler.

6. Skabies terbaring di tempat tidur (bed ridden)

Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

7. Skabies krustosa (Norwegian scabies)

Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata, dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, siku, lutut, telapak tangan, dan kaki ya ng dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau sehingga dapat berkembang biak dengan mudah.

2.1.6. Patogenesis

(40)

Tungau dapat hidup di dalam terowongan di tempat predileksi, yaitu jari tangan, pergelangan tangan bagian ventral, siku bagian luar, lipatan ketiak depa n, umbilicus, gluteus, ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki, dan areola mammae pada perempuan. Pada bayi , skabies dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki (Harahap M., 2000).

Pada tempat predileksi dapat ditemukan terowongan berwarna putih abu-abu dengan panjang yang bervariasi, rata -rata 1 mm, berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Terowongan ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil (Sutanto I. et al, 2009). Terowongan lebih banyak terdapat di daerah yang berkulit tipis dan tidak banyak mengandung folikel pilosebasea (Harahap M., 2000).

Adanya periode asimptomatis bermanfaat sekali bagi parasit ini, karena dengan demikian mereka mempunyai waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respons imunitas. Setelahnya, hidup mereka menjadi penuh bahaya karena terowongannya akan digaruk dan tungau -tungau serta telur mereka akan hancur. Dengan cara ini hospes mengendalikan populasi tungau dan pada kebanyakan penderita skabies, rata-rata jumlah tungau betina dewasa pada kulitnya tidak lebih dari selusin (Graham -Brown dan Burns, 2005).

2.1.7. Cara Penularan

1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan berhubungan seksual.

2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan lain-lain.

(41)

2.1.8. Gejala Klinis

Gatal merupakan gejala utama sebel um gejala klinis lainnya muncul. Rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pad a skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Pada orang dewasa, gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, sekeliling sik u, areola mammae, permukaan depan pergelangan tangan, skrotum, dan penis (Johnston G dan Sladden M, 2005).

Pada bayi dan anak-anak, lesi biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan telapak kaki. Pada bayi paling umum lesi yang nampak adalah papul-papul dan vesikopustul. Vesikopustul sering nampak di kulit kepala dan telapak kaki (Johnston G. dan Sladden M ., 2005).

Ada 4 tanda kardinal gejala skabies:

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari oleh karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya , sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).

(42)

ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. D apat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut (Handoko, 2009).

Gambar 2.3. Gejala KlinisSarcoptes scabiei. Keterangan gambar:

(A, F, dan H). Sela-sela Jari Tangan. (B). Bawah Ketiak.

(C).Areola Mammae. (D). Penis.

(E). Telapak Kaki Pada Bayi.

(G). Permukaan Depan Pergelangan Tangan.

(43)

2.1.9. Diagnosis

Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus skabies terinfeksi sekunder oleh Streptococcus aureus atauStaphylococcus pyogenes (Harahap M., 2000).

Diagnosis ditegakkan atas dasar:

1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampakvesikula, papula, atau pustula.

2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilicus, abdomen bagian bawah, dan genitalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang terdapat di muka dan kepala, kecuali pada penderita immunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit.

3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal yang efektif.

4. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya skabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperatur tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.

(44)

Cara lain ialah dengan meneteskan minyak immersi pada lesi dan epidermis di atasnya dikerok secara perlahan -lahan. Tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat terbanyak ditemukan kutu, kemudian berturut -turut siku, genital, akhirnya aksila (Harahap M., 2000).

2.1.10. Pembantu Diagnosis

Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan b eberapa cara, antara lain (Murtiastutik D., 2008):

1. Kerokan kulit.

Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula menggunakan skalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup, dan dengan mikroskop pembesaran 20x atau 100x dapat dilihat tungau, telur, ataufecal pellet.

2. Mengambil tungau dengan jarum.

Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali pada orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

3. Epidermal shave biopsy.

(45)

4. Kuretase terowongan.

Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek atau ditetesi minyak mineral.

5. Tes tinta Burowi.

Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, ke mudia segera dihapus dengan alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang karakteristik, berkelok -kelok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-koperatif.

6. Tetrasiklin topikal.

Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah dikeringkan selama 5 menit, hapus larutan tersebut dengan isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui kerusakan stratum korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu Wood, sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat ditemukan.

7. Apusan kulit.

Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakk an di atas gelas objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan mikroskop.

8. Biopsi plong (punch biopsy)

(46)

biopsy, tetapi epidermal shave biopsy adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik lokal p ada penderita yang tidak kooperatif.

2.1.11. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari skabies terbagi atas 5 (Karthikeyan K., 2007): 1. Papular Urtikaria.

Biasanya terjadi pada anak -anak berumur diantara 2 -10 tahun. Yang membedakannya dari skabies adalah ketidakhadiran terowongan pada lesinya. Dan lagi pada umumnya tidak terdapat karakteristik gatal pada skabies.

2. Atopic Dermatitis.

Terdapat gatal dan erupsi vesikopapular yang predominan di fleksor. Yang membedakannya dengan skabies adalah adanya terowongan dan pembungkusan ruang jaringan.

3. Lichen Planus.

Ditandai dengan sebuah gatal di lengan bawah, kaki, dan punggung. Selain gatal, simetris dari lesi, dan kejadian lesinya, penyakit ini tidak menyerupai skabies.

4. Dermatitis Herpetiformis.

Ditandai dengan gatal yang kronis, simetris, dan erupsi vesikopapular yang meliputi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Gatal bersifat persisten dan hadir terus setiap hari. Penyakit ini sering salah didiagnosis sebagai skabies, meskipun jarang terjadi.

5. Infantile Acropustulosis.

(47)

2.1.12. Pengobatan

Merupakan hal yang penting untuk menerangkan kepada pasien dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara memakai obat -obatan yang digunakan, dan lebih baik lagi bila disertai penjelasan tertulis. Semua anggota keluarga dan orang-orang yang secara fisik berhubungan erat dengan pasien, hendaknya secara simultan diobati juga. Obat -obat topikal harus dioleskan mulai daerah leher sampai jari kaki, dan pasien diingatkan untuk tidak membasuh tangannya sesudah melakukan pengobatan (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Pada bayi, orang-orang lanjut usia, dan orang -orang dengan immunokompromasi, terowongan tungau dapat terjadi pada kepala dan leher, sehingga pemakaian obat perlu diperluas pada daerah itu. Sesudah pengobatan, rasa gatal tidak dapat segera hilang, tetapi pelan -pelan akan terjadi perbaikan dalam waktu 2-3 minggu, saat epidermis superfisial yan g mengandung tungau alergenik terkelupas (Graham -Brown dan Burns, 2005).

Syarat obat yang ideal adalah harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya murah (Handoko, 2009).

Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu: 1. Permetrin.

(48)

2. Malathion.

Malathion 0,5% dengan dasar air digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian (Harahap M., 2000).

3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25%).

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang -kadang makin gatal setelah dipakai (Handoko, 2009).

4. Sulfur.

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5% dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 malam (Harahap M., 2000). Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi (Handoko, 2009).

5. Monosulfiran.

Tersedia dalam bentuk lotion 25%, yang sebelum digunakan harus ditambah 2-3 bagian dari air dan di gunakan selama 2-3 hari. Selama pengobatan, penderita tidak boleh minum alkohol karena dapat menyebabkan keringat yang berlebihan dan takikardi (Harahap M., 2000).

6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan).

(49)

7. Krotamiton.

Krotamiton 10 % dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra (Handoko, 2009).

2.1.13. Komplikasi

Komplikasi pada skabies yang sering dijumpai adalah infeksi sekunder, seperti lesi impetiginosa, ektima, furunkulosis, dan selulitis. Kadang -kadang dapat timbul infeksi sekunder sistemik, yang memberatkan perjalana n penyakit. Stafilokok dan streptokok yang berada dalam lesi skabies dapat menyebabkan pielonefritis, abses interna, pneumonia piogenik, dan septikemia (Soedarto M., 2005).

2.1.14. Prognosis

(50)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Variabel dan Definisi Operasional Variabel:

(51)
(52)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita skabies yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010 -2012 melalui data rekam medik.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari awal bulan Agustus sampai akhir bulan Agustus 2013. Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Berdasarkan survei awal penelitian yang telah dilakukan, banyak dijumpai penderita skabies dalam data rekam medik.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang berobat ke poli bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010-2012.

4.3.2. Sampel Penelitian

(53)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

4.4.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu dengan menggunakan rekam medik pasien penderita skabies yang datang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010 -2012.

4.4.2. Instrumen Penelitian 1. Rekam medik.

2. Program komputerisasi.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

(54)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik yang terletak d i Jl. Bunga Lau No. 17 Medan merupakan rumah sakit tipe A di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan pusat rujukan untuk wilayah Sumatera. Penelitian dilakukan di Ruang Rekam Medik rumah sakit ini.

5.1.2. Karakteristik Individu 5.1.2.1. Usia Penderita Kasus

Tabel 5.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita

Usia Pasien Jumlah (Orang) Persentase (%)

0-5 Tahun 41 18.1

6-16 Tahun 81 35.8

17-35 Tahun 55 24.3

36-65 Tahun 43 19.0

>65 Tahun 6 2.7

TOTAL 226 100.0

(55)

Gambar 5.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Usia Penderita.

5.1.2.2. Jenis Kelamin Penderita Kasus

Tabel 5.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita

Jenis Kelamin Penderita Jumlah (Orang) Persentase (%)

Laki-Laki 129 57.1

Perempuan 97 42.9

TOTAL 226 100.0

(56)

Gambar 5.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita.

5.1.2.3. Pekerjaan Penderita Kasus

Tabel 5.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita

Pekerjaan Penderita Jumlah (Orang) Persentase (%)

Belum Sekolah 43 19.0

Pelajar 82 36.3

Mahasiswa 20 8.8

PNS 28 12.4

Wiraswasta 35 15.5

Tidak Bekerja 18 8.0

TOTAL 226 100.0

(57)

Gambar 5.3. Distribusi Kasus Berdasarkan Pekerjaan Penderita.

5.1.2.4. Asal Daerah Penderita Kasus

Tabel 5.4 Distribusi Kasus Berdasarkan Asal Daerah Pend erita

Asal Daerah Penderita Jumlah (Orang) Persentase (%)

Medan 183 81.0

Luar Medan 43 19.0

TOTAL 226 100.0

(58)

Gambar 5.4. Distribusi Kasus Berdasarkan Asal Daerah Penderita.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik Penderita Skabies Berdasarkan Usia Penderita

Berdasarkan Tabel 5.1. dapat diketahui bahwa jumlah kasus dengan usia 6-16 tahun (anak-anak) paling banyak kasusnya yaitu 81 kasus (35,8%), sedangkan yang paling sedikit adalah usia >65 tahun (lanjut usia) yaitu 6 kasus (2,7%). Hasil ini mungkin saja terjadi dikarenakan di s ekitar RSUP H. Adam Malik Medan banyak terdapat pesantren yang kebanyakan penghuninya masih anak-anak dengan kemungkinan penularan skabies cukup signifikan , dan mungkin membuat mereka lebih memilih berobat ke rumah sakit ini daripada ke tempat -tempat pengobatan yang lain, seperti ke puskesmas dan lain sebagainya karena letaknya yang dekat dengan pesantren mereka.

(59)

5.2.2. Karakteristik Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita

Berdasarkan Tabel 5.2. dapat diketahui bahwa jumlah kasus dengan penderitanya berjenis kelamin laki-laki yang paling banyak yaitu 129 kasus (57,1%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 97 kasus (42,9%).

Temuan pada survey ini sesuai dengan survey yang juga dilakukan pada tahun 2009 di Pulau Pinang, Malaysia, dijumpai bahwa r asio infestasi untuk skabies lebih banyak terjadi pada anak laki -laki (50%) dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan (16%) (Muhammad Zayyid et all, 2010). Hal ini mungkin disebabkan karena anak laki -laki umumnya kurang memperhatikan kebersihan dirinya, misalnya pemakaian bersama memakai handuk dan pakaian, berjabat tangan dengan yang sudah terkena penyakit skabies, tidur bersama dengan yang sudah terkena penyakit skabies, dan sebagainya.

(60)

5.2.3. Karakteristik Penderita Skabies Berdasarkan Pekerjaan Penderita Berdasarkan Tabel 5.3. dapat diketahui bahwa jumlah kasus dengan penderitanya masih pelajar paling banyak yaitu 82 kasus (36,3%), dimana jumlah yang paling banyak sampai yang paling sedikit masing -masing adalah SD 44 kasus (53,7%), SMA 21 kasus (25,6%), dan SMP 17 kasus (20,7%). Hasil ini mungkin saja terjadi dikarenakan di sekitar RSUP H. A dam Malik Medan banyak terdapat pesantren yang kebanyakan penghuninya masih anak -anak, dan mungkin membuat mereka lebih memilih berobat ke rumah sakit ini daripada ke tempat -tempat pengobatan yang lain, seperti ke puskesmas dan lain sebagainya karena letaknya yang dekat dengan pesantren mereka.

Temuan ini berbeda dengan s ebuah studi dari tahun 1980 -an di Bangladesh yang justru menggambarkan sebuah kejadian skabies yang sangat tinggi pada anak-anak prasekolah atau anak-anak yang belum sekolah, setidaknya terdapat satu serangan per tahun (Stanton Bet all, 1987).

Tetapi temuan ini sesuai dengan hasil survey yang diperoleh pada sebuah penelitian di Brasil pada tahun 1997-2005 yang menunjukkan prevalensi skabies lebih tinggi terjadi pada kelompok usia sekolah. Ini sesuai dengan hipotesis bahwa infeksi peyakit ini lebih tinggi ditularkan pada kelompok usia ini karena kontak pribadi dan sosialisasi yang lebih besar. Diperkirakan bahwa rumah tangga yang mengandung kelompok usia lainnya dapat terinfeksi melalui adanya kontak dengan anak-anak usia sekolah (Heukelbach J et all, 2005).

(61)

Medan sehingga memungkinkan penderita skabies langsung berobat ke sana dan di daerah Medan-Tuntungan juga banyak terdapat pesantren yang merupakan salah satu tempat paling banyak untuk terjadin ya penularan skabies ini.

(62)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Dari 226 kasus yang didiagnosis menderita skabies di RSUP H.Adam Malik, pada tahun 2010-2012, didapati karakteristik bahwa jumlah kasus dengan usia 6-16 tahun (anak-anak) paling banyak kasusnya yaitu 81 kasus (35,8%), sedangkan yang paling sedikit adala h usia >65 tahun (lanjut usia) yaitu 6 kasus (2,7%) dari total seluruh kasus.

2. Untuk karakteristik penderita skabies berdasarkan jenis kelamin , didapati penderita berjenis kelamin laki-laki yang paling banyak yaitu 129 kasus (57,1%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 97 kasus (42,9%).

3. Untuk karakteristik penderita skabies berdasarkan pekerjaannya, didapati bahwa yang masih pelajar paling banyak kasusnya yaitu 82 kasus (36,3%), sedangkan yang paling sedikit adalah penderita yang tidak bekerja yang berjumlah 18 kasus (8,0%).

(63)

6.2. Saran

1. Kepada penanggungjawab program kesehatan penyakit menular disarankan melakukan penyuluhan tentang penyakit ini dan lebih memperhatikan kesehatan masyarakatnya. Disarankan untuk membuat program menyeluruh untuk memberantas rantai penularan penyakit ini; seperti menggalakkan gaya hidup bersih dan sehat, dan memberikan pengobatan yang tepat dan tuntas yang ditargetkan bukan hanya kepada penderita tetapi juga keluarga dekatnya/yang memiliki kontak erat dengan penderita.

(64)

DAFTAR PUSTAKA

Chosidow O., 2006. Scabies. The New England Journal of Medicine, 354: 1718 -1727.

Currie B.J. and McCarthy J.S., 2010. Permethrin and Ivermectin for Scabies. The New England Journal of Medicine, 362: 717 -725.

Graham-Brown R. and Burns T., 2005. Infeksi Ektoparasit. In: Lecture Notes on Dermatology 8th edition. Erlangga, Jakarta: 297 -300.

Gilmore SJ. Control strategies for endemic childhood scabies. PLoS One. Jan 25 2011;6(1):e15990. Available from: http://emedicine.medscape.com/article /1109204-overview#a0156 [Accessed on 16 November 2013].

Handoko R.P., 2009. Skabies. In: Djuanda A., Hamzah M., and Aisah S. Ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 122-125.

Harahap M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta : 109 -113.

Heukelbach J, Mazigo H.D, Ugbomoiko U.S. Impact of Scabies in Resource -poor Communities. Curr Opin Infect Dis. 2013;26(2):127 -132. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/805779_3 [Accessed on 24 November 2013].

Heukelbach J, Wilcke T, Winter B, Feldmeier H. Epidemiology and morbidity of scabies and pediculosis capitis in resource -poor communities in Brazil. Br J

Dermatol 2005;153:150–156. Available from:

(65)

Hicks M.I. and Elston D.M., 2009. Scabies. Dermatology Therapy, 22: 279 -292.

Johnston G. and Sladden M., 2005. Scabies: Diagnosis And Treatment. British Medical Journal, 331: 619 -622.

Karthikeyan K., 2007. Scabies in Children. Arch Dis Child Educ Pract, 92: ep65 -ep69.

Leone P.A., 2007. Scabies And Pediculosis Pubis: An Update of Treatment Regimens And General Review. Clinical Infectious Diseases, 44: S153 -S159.

Muhammad Zayyid M, Saidatul Saadah R, Adil AR, Rohela M, Jamaiah I. Prevalence of scabies and head lice among children i n a welfare home in Pulau Pinang, Malaysia. Trop Biomed. Dec 2010;27(3):442 -6. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1109204 -overview#a0156 [Accessed on 16 November 2013].

Murtiastutik D., 2008. Skabies. In: Barakbah J., Lumintang H., and Martodiharjo S. Ed. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Airlangga University Press, Surabaya: 202-208.

Sardana K, Mahajan S, Sarkar R, Mendiratta V, Bhushan P, Koranne RV, et al. The spectrum of skin disease among Indian children. Pediatr Dermatol. Jan

-Feb 2009;26(1):6-13. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1109204 -overview#a0156 [Accessed on 24 November 2013].

(66)

Slamet, J.S., 2009. In: Kesehatan Lingkungan: Hidrosfir Edisi 8. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: 79 -132.

Soedarto M., 2005. Skabies. In: Daili S.J., Makes W.I.B., Zubier F., and Judanarso J. Ed. Infeksi Menular Seksual Edisi 3. Fakult as Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 179 -184.

Stanton B, Khanam S, Nazrul H, et al. Scabies in urban Bangladesh. J Trop Med

Hyg 1987;90:219–226. Available from:

http://www.medscape.com/viewarticle/ 805779_4 [Accessed on 24 November 2013].

Stone, S.P., Goldfarb J.N., and Bacelieri R.E., 2008. Scabies, Other Mites, and Pediculosis. In: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., and Leffell D.J. Ed. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th

edition. McGraw Hill, New Yo rk: 2029-2037.

Sutanto I., Ismid I. S., Sjarifuddin P.K., and Sungkar S., 2009. Penyakit Yang Disebabkan Artropoda. In: Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 297 -300.

Tabri, F., 2003. Skabies pada Bayi dan Anak. In: Boediardja, S.A., Sugito, T.L., Kurniati, D.D., and Elandari. Ed. Infeksi Kulit Pada Bayi dan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 62 -78.

(67)

CURRICULUM VITAE

Nama : Benny Roland Nababan

NIM : 100100320

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 12 Februari 1992

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Sisingamangaraja Gg. Purnama No 5 Medan Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat Email : bennymadridistas@gmail.com Riwayat Pendidikan :

1. TK ST. Antonius Medan 1996–1997

2. SD ST. Antonius VI Medan 1997–2003

3. SMP Santa Maria Medan 2003–2006

4. SMA Negeri 4 Medan 2006–2009

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2010–sekarang Riwayat Organisasi :

(68)
(69)
(70)

-DATA INDUK

No. Sampel Usia Jenis

Kelamin

Pekerjaan Asal Daerah

1. AAA 1 th Lk Belum Sekolah Medan-Tuntungan

2. AAB 11 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

3. AAC 7 bln Lk Belum Sekolah Deli Serdang

4. AAD 16 th Lk Pelajar Medan-Helvetia

5. AAE 5 th Lk Belum Sekolah Medan-Sunggal

6. AAF 14 th Pr Pelajar Medan-Tuntungan

7. AAG 12 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

8. AAH 21 th Pr Mahasiswa Medan-Polonia

9. AAI 21 th Lk Mahasiswa Deli Serdang

10. AAJ 6 th Pr Pelajar Deli Serdang

11. AAK 23 th Lk Wiraswasta Medan-Polonia

12. AAL 10 th Lk Pelajar Medan-Sunggal

13. AAM 22 th Lk Mahasiswa Medan-Tuntungan

14. AAN 9 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

15. AAO 10 th Lk Pelajar Medan-Baru

16. AAP 16 th Pr Pelajar Medan-Tuntungan

17. AAQ 30 th Pr Wiraswasta Medan-Polonia

18. AAR 10 bln Lk Belum Sekolah Medan-Tuntungan

19. AAS 6 th Lk Pelajar Medan-Selayang

20. AAT 9 th Pr Pelajar Medan-Tuntungan

21. AAU 22 th Lk Mahasiswa Medan-Maimun

22. AAV 18 th Lk Mahasiswa Medan-Selayang

23. AAW 3 th Pr Belum Sekolah Medan-Selayang

24. AAX 2 th Pr Belum Sekolah Medan-Johor

25. AAY 2 th Pr Belum Sekolah Medan-Selayang

26. AAZ 41 th Lk Wiraswasta Medan-Tuntungan

27. ABA 21 th Lk Wiraswasta Medan-Tuntungan

28. ABC 26 th Pr Tidak Bekerja Medan-Sunggal

29. ABD 38 th Pr Wiraswasta Pematang Siantar

30. ABE 5 th Pr Belum Sekolah Medan-Maimun

31. ABF 2 th Lk Belum Sekolah Medan-Sunggal

32. ABG 13 th Pr Pelajar Sidikalang

33. ABH 8 th Lk Pelajar Medan-Timur

34. ABI 28 th Pr Wiraswasta Medan-Sunggal

35. ABJ 38 th Pr Wiraswasta Medan-Area

36. ABK 6 th Lk Pelajar Deli Serdang

37. ABL 15 th Lk Pelajar Medan-Tuntungan

38. ABM 34 th Lk Tidak Bekerja Medan-Perjuangan

39. ABN 18 th Lk Mahasiswa Medan-Barat

40. ABO 4 th Pr Belum Sekolah Medan-Tuntungan

41. ABP 3 bln Lk Belum Sekolah Medan-Baru

Gambar

Gambar 2.1. Bentuk Dewasa Sarcoptes scabiei.
Gambar 2.2. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei
Gambar 2.3. Gejala Klinis Sarcoptes scabiei.
Gambar 2.1. Bentuk Dewasa Sarcoptes scabiei.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan Bidang Kajian Pusat Studi Olahraga untuk Penelitian dan Pengabdian M asa

Hipotesis atau alternatifnya dirumuskan secara singkat, lugas dan jelas yang dinyatakan dalam kalimat pernyataan. Dikatakan demikian agar hipotesis dapat diuji atau dijawab

penulisan artikel, hanya sumber--sumber yang sumber yang digunakan yang dimuat dalam daftar pustaka?. digunakan yang dimuat dalam

Pasal 17 ayat (2) huruf g angka 2) huruf a) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

Metode ini dilakukan dengan mengikuti prosedur tertentu dengan dilakukan dengan mengikuti prosedur tertentu dengan maksud untuk memahami pengaruh suatu kondisi yang maksud

Karya tiga dimensi yang telah dibuat nantinya akan digunakan sebagai bahan pembuatan maket lingkungan tempat tinggal.. Oleh karena itu, pertimbangkanlah benda yang

Aspek kebaruan meliputi kemampuan (1) menggunakan strategi yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa untuk menyelesaikan masalah; atau (2) memberikan contoh atau

Pokja ULP/Panitia Pengadaan Sarana Pendukung Pelayanan Kontrasepsi pada Satuan Kerja Perwakilan BkkbN Provinsi Jawa Barat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana (Lelang