Oleh:
GOLDA ASINA MIRANDA 110100360
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Retinoblastoma (RB) adalah suatu penyakit keganasan pada lapisan retina mata, yaitu bagian mata yang paling peka terhadap cahaya. Penyakit RB dapat menyerang segala usia, tetapi umumnya menyerang anak dengan usia di bawah tiga tahun. Penyakit RB merupakan salah satu masalah kesehatan mata anak yang dapat jatuh pada kebutaan jika tidak didiagnosis secara dini. Di negara berkembang, terdapat tingkat pendidikan dan kondisi sosioekonomi yang rendah, serta kurang memadainya sarana kesehatan. Hal ini mengakibatkan tertundanya diagnosis dan penatalaksanaan RB yang optimal.
Penelitian ini mempunyai tujuan utama untuk mengetahui karakteristik pada penderita RB.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang) dengan metode pengambilan sampel secara total sampling. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013 sebanyak 46 orang. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS dan dituangkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa karakteristik RB memiliki frekuensi tertinggi pada sosiodemografi orang tua kelompok menengah sebanyak 31 orang (67,4%), sosiodemografi umur 3-5 tahun 22 orang (47,82%), jenis kelamin laki-laki (52,2%), status gizi kurang sebanyak 34 orang (73,9%), kasus unilateral sejumlah 41 kasus (89,1%), kasus ekstraokular sejumlah 38 kasus (82,6%), pada stadium IV dengan jumlah 41 kasus (89,1%), gejala klinis utama mata menonjol sejumlah 40 kasus (87%), onset tinggi (>1 tahun) sejumlah 36 kasus (78,2%), penatalaksanaan utama metode kemoterapi VCR, EPO, CPA dengan jumlah separuh sampel atau 23 kasus (50%), outcome hidup sejumlah 45 kasus (97,8%).
Hasil penelitian menunjukkan masih buruknya karakteristik klinis RB di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2011 – Desember 2013.
ABSTRACT
Retinoblastoma (RB) is an eye cancer that begins in the retina – the sensitive lining on the inside of eye. The RB disease can attack all ages, but mostly common in children younger than three. The RB disease is one of children health’s problem producing blindness if misdiagnosed in early stages. In developing countries with low education, socioeconomy, and health facility, diagnosis and optimal treatment of RB is delayed.
This study mainly aims to determine the characteristic of RB patients.
This study was an descriptive with cross sectional design with total sampling method. The population and sample were all patients who are diagnosed as retinoblastoma in RSUP Haji Adam Malik Medan period January 2011-December 2013 with 46 samples. The collected data will then be analyzed using SPSS and determined by table and charts.
From this study, the result is characteristic RB has the highest frequency in parents sociodemography in middle group by 31 people (67,4%), children sociodemography: ages 3-5 are 22 people (47,82%), sex boys are 41 people (52,2%), poor nutrition status are 34 people (73,9%), unilateral cases are 41 people (89,1%), extraocular cases are 38 people (86,2%), clinical manifestations by eye protrution are 40 people (87%), high onset (>1 year) are 36 people (78,2%), treatment by chemotherapy with VCR, EPO, CPA are 23 people (50%), outcome by live are 45 people (97,8%).
Study determines that RB characteristics are still decay in RSUP H. Adam Malik Medan period January 2011 – December 2013.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya melimpah-limpah sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah in
i. Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai salah satu kompetensi dasar yang
harus dimiliki oleh seorang dokter umum dan menjadi syarat kelulusan program
Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Karya tulis ilmiah ini berjudul “Karakteristik Penderita Retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 – Desember 2013”. Dalam proses penyelesaian penelitian ini, penulis tentunya tak luput dari berbagai bantuan
dari banyak pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD, KGEH, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Aryani Atiyatul Amra, Sp.M (K), selaku dosen pembimbing penulis
yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikirannya dalam
membimbing dan mengarahkan penulis, mulai dari awal penyusunan
penelitian, pelaksanaan di lapangan, hingga selesainya laporan hasil
penelitian ini.
3. dr. Yuki Yunanda, M.Kes., dr. Megasari Sitorus, M.Kes, Sp.PA dan dr.
Iman Helmi Effendi, Sp.OG selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.
4. Para staff ruang Rekam Medik Adam Malik yang telah bersedia
5. Orang tua penulis, Ayahanda Dr. dr. Gilbert Simanjuntak, Sp.M (K), dan
Ibunda drg. Monica Hutabarat, M. Kes., serta ketiga adik penulis Indira
Simanjuntak, Elizabeth Simanjuntak, dan Gabriel Simanjuntak yang
senantiasa mendukung dan memberikan bantuan dalam penyelesaian
karya tulis ilmiah ini.
6. Sahabat-sahabat penulis yang telah banyak membantu dalam dukungan,
motivasi, dan masukan yang sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan laporan penelitian ini.
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.
Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan karya tulis ilmiah ini di kemudian hari.
Medan, Desember 2014
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan ... i
Abstrak ... ii
Abstract... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... v
Daftar Gambar ... vi
Daftar Tabel ... vii
Daftar Singkatan ... viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Retina ... 6
2.1.1. Anatomi Retina ... 6
2.1.2. Histologi Retina ... 7
2.1.3. Fisiologi Retina... 8
2.1.4. Fisiologi Visual Pathway ... 10
2.2. Retinoblastoma ... 12
2.2.1. Definisi ... 12
2.2.2. Etiologi ... 12
2.2.3. Faktor Risiko ... 13
2.2.4. Patogenesis... 14
2.2.5. Klasifikasi ... 15
2.2.6. Diagnosis... 22
2.2.7. Penatalaksanaan ... 27
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 31
3.1.KerangkaKonsep ... 31
3.2. Definisi Operasional ... 31
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN... 34
4.1. Desain Penelitian ... 34
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 34
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 34
4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 35
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36
5.1. Hasil Penelitian ... 36
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 36
5.1.2. Deskripsi Data Penelitian ... 36
5.2. Pembahasan ... 46
5.2.1. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Sosiodemografi Orang Tua... 46
5.2.2. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Sosiodemografi Anak ... 46
5.2.3. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Status Gizi ... 47
5.2.4. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Klasifikasi Retinoblastoma ... 47
5.2.5. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Tingkat Keparahan ... 48
5.2.6. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Gejala Klinis ... 49
5.2.7. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Onset ... 50
5.2.8. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Penatalaksanaan ... 50
5.2.9. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Outcome ... 51
5.2.10. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Status Sosial dengan Gejala Klinis ... 51
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
6.1. Kesimpulan ... 53
6.2. Saran ... 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.Anatomi Retina ...7
Gambar 2.2.Histologi Lapisan Retina ...8
Gambar 2.3.Fisiologi Lapisan Retina ...10
Gambar 2.4.Fisiologi Visual Pathway ...11
Gambar 2.5.Siklus sel normal: protein retinoblastoma (Rb) diaktivasi melalui proses fosforilasi ...15
Gambar 2.6.Siklus sel patologis: proses inaktivasi protein Rb melalui proses hiperfosforilasi mengakibatkan replikasi sel tidak terkontrol ...15
Gambar 2.7.Patogenesis mutasi pertama dan kedua gen Rb1 ... 17
Gambar 2.8.Patogenesis mutasi gen RB1 sel germinal dan sel non-germinal (somatik)...17
Gambar 2.9.Gejala Klinis Leukokoria (mata kiri) ...23
Gambar 2.10.Gejala klinis proptosis pada eksofitik RB (mata kanan) ...24
Gambar 2.11.Gambaran leukokoria pada pemeriksaan funduskopi ...25
Gambar 2.12.CT scan orbital pada pasien RB dengan penyebaran intracranial ...26
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. International Classification of Retinoblastoma... 22
Tabel 2.2. Strategi Penatalaksanaan RB berdasarkan International Classification of Retinoblastoma ... 30
Tabel 5.1. Distribusi Angka Kejadian Sampel Berdasarkan Tahun... 37
Tabel 5.2. Distribusi Sampel Menurut Sosiodemografi Orang Tua ... 37
Tabel 5.3. Distribusi Sampel Menurut Faktor Sosiodemografi Anak ... 39
Tabel 5.4. Distribusi Sampel Menurut Usia dengan Jenis Kelamin ... 39
Tabel 5.5. Distribusi Sampel Menurut Status Gizi ... 40
Tabel 5.6. Distribusi Sampel Menurut Klasifikasi Retinoblastoma... 41
Tabel 5.7. Distribusi Sampel Menurut Tingkat Keparahan ... 42
Tabel 5.7. Distribusi Sampel Menurut Tingkat Keparahan ... 42
Tabel 5.9. Distribusi Sampel Menurut Onset ... 43
Tabel 5.10. Distribusi Sampel Menurut Penatalaksanaan ... 43
Tabel 5.11. Distribusi Sampel Menurut Outcome ... 44
DAFTAR SINGKATAN
CPA Carboplatin
DD Diameter Diskus
EPO Etoposide
MTX Methoterexate
RB Retinoblastoma
RB1 Tumor Suppresor Gene Retinoblastoma
ABSTRAK
Retinoblastoma (RB) adalah suatu penyakit keganasan pada lapisan retina mata, yaitu bagian mata yang paling peka terhadap cahaya. Penyakit RB dapat menyerang segala usia, tetapi umumnya menyerang anak dengan usia di bawah tiga tahun. Penyakit RB merupakan salah satu masalah kesehatan mata anak yang dapat jatuh pada kebutaan jika tidak didiagnosis secara dini. Di negara berkembang, terdapat tingkat pendidikan dan kondisi sosioekonomi yang rendah, serta kurang memadainya sarana kesehatan. Hal ini mengakibatkan tertundanya diagnosis dan penatalaksanaan RB yang optimal.
Penelitian ini mempunyai tujuan utama untuk mengetahui karakteristik pada penderita RB.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang) dengan metode pengambilan sampel secara total sampling. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013 sebanyak 46 orang. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS dan dituangkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa karakteristik RB memiliki frekuensi tertinggi pada sosiodemografi orang tua kelompok menengah sebanyak 31 orang (67,4%), sosiodemografi umur 3-5 tahun 22 orang (47,82%), jenis kelamin laki-laki (52,2%), status gizi kurang sebanyak 34 orang (73,9%), kasus unilateral sejumlah 41 kasus (89,1%), kasus ekstraokular sejumlah 38 kasus (82,6%), pada stadium IV dengan jumlah 41 kasus (89,1%), gejala klinis utama mata menonjol sejumlah 40 kasus (87%), onset tinggi (>1 tahun) sejumlah 36 kasus (78,2%), penatalaksanaan utama metode kemoterapi VCR, EPO, CPA dengan jumlah separuh sampel atau 23 kasus (50%), outcome hidup sejumlah 45 kasus (97,8%).
Hasil penelitian menunjukkan masih buruknya karakteristik klinis RB di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2011 – Desember 2013.
ABSTRACT
Retinoblastoma (RB) is an eye cancer that begins in the retina – the sensitive lining on the inside of eye. The RB disease can attack all ages, but mostly common in children younger than three. The RB disease is one of children health’s problem producing blindness if misdiagnosed in early stages. In developing countries with low education, socioeconomy, and health facility, diagnosis and optimal treatment of RB is delayed.
This study mainly aims to determine the characteristic of RB patients.
This study was an descriptive with cross sectional design with total sampling method. The population and sample were all patients who are diagnosed as retinoblastoma in RSUP Haji Adam Malik Medan period January 2011-December 2013 with 46 samples. The collected data will then be analyzed using SPSS and determined by table and charts.
From this study, the result is characteristic RB has the highest frequency in parents sociodemography in middle group by 31 people (67,4%), children sociodemography: ages 3-5 are 22 people (47,82%), sex boys are 41 people (52,2%), poor nutrition status are 34 people (73,9%), unilateral cases are 41 people (89,1%), extraocular cases are 38 people (86,2%), clinical manifestations by eye protrution are 40 people (87%), high onset (>1 year) are 36 people (78,2%), treatment by chemotherapy with VCR, EPO, CPA are 23 people (50%), outcome by live are 45 people (97,8%).
Study determines that RB characteristics are still decay in RSUP H. Adam Malik Medan period January 2011 – December 2013.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Retinoblastoma (RB) adalah suatu penyakit keganasan pada lapisan retina
mata, yaitu bagian mata yang paling peka terhadap cahaya. Penyakit RB dapat
menyerang segala usia, tetapi umumnya menyerang anak dengan usia di bawah 3
tahun (Radhakrishnan, V., dkk., AAO 2012). Penyakit RB umumnya merupakan
penyakit kanker anak dan menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah
kanker darah (leukemia) dan kanker otak (Kaiser, dkk., 2014).
Masalah kesehatan mata secara global lebih banyak terpusat pada pencegahan
dan penatalaksanaan yang tepat. World Health Organization (WHO) sejak tahun 18
Februari 1999 sudah mulai untuk menggalakkan program “The Right to Sight”
untuk memberantas kebutaan pada anak dengan harapan pada tahun 2020 angka
kebutaan anak menurun. Penyakit RB merupakan salah satu masalah kesehatan mata
anak yang dapat jatuh pada kebutaan jika tidak didiagnosis secara dini. Di negara
berkembang, terdapat tingkat pendidikan dan kondisi sosioekonomi yang rendah,
serta kurang memadainya sarana kesehatan. Hal ini mengakibatkan tertundanya
diagnosis dan penatalaksanaan RB yang optimal. Di negara maju, perawatan RB
agar tidak jatuh ke dalam kondisi yang lebih buruk, merupakan prioritas utama
(Rodriguez-Galindo, dkk., 2010).
Insidensi RB di dunia sebanyak 1 dalam 15.000-20.000 per angka kelahiran.
Kanker ini menyerang secara unilateral dengan rata-rata umur saat didiagnosis
adalah dua tahun, dalam 60% kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 15% terkait
masalah keturunan. Sedangkan pada 40% kasus, RB menyerang secara bilateral
250-350 kasus baru RB di Amerika terdiagonosis setiap tahunnya, dimana sekitar
90% kasus muncul pada usia dibawah 5 tahun. Anak laki-laki dan perempuan dapat
terkena tanpa dipengaruhi jenis kelamin (Kaiser, dkk., 2014).
Di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika, dan Australia, RB dijumpai
sebanyak 2-4%, sementara di negara berkembang RB dijumpai sebanyak 3%.
Frekuensi di negara maju dan berkembang tersebut tidak jauh berbeda dengan
frekuensi di Asia (Ajiki, dkk., 1994 dalam Yeole, dkk., 2001). Frekuensi di Asia,
diwakili oleh Mumbai, India, pada periode 1986-1998, dari 10.000 kasus kanker
yang terdeteksi, terdapat 211(0,2%) kasus keganasan mata. Dari 211 kasus tersebut,
147 diantaranya adalah kasus RB, dimana 145(98%) terjadi pada anak-anak (Yeole
& Advani, 2002). Di Indonesia, diprediksi tiap tahun ada seratus penderita kanker
baru dari 100.000 penduduk, sebanyak 2% di antaranya atau 4.100 kasus merupakan
kanker anak. Angka ini terus meningkat karena kurangnya pemahaman orang tua
mengenai penyakit kanker dan bahayanya (Edi, 2006 dalam Chandrayani, 2009).
Penelitian di RSCM melaporkan bahwa leukemia merupakan jenis kanker yang
terbanyak pada anak (30-40%), kemudian disusul tumor otak (10-15%), dan kanker
mata/retinoblastoma (10-12%); sisanya kanker jenis lain seperti kanker getah
bening, kanker saraf, dan kanker ginjal pada anak (Siswono, 2001 dalam
Chandrayani, S., 2009). Sampai saat ini, belum ada data yang pasti mengenai
insidensi RB di Indonesia. Data dari Hematologionkologi Anak RS Cipto
Mangunkusumo memperlihatkan bahwa insidensi RB sebanyak 163 kasus selama
periode 2000-2006 (Asih D., dkk., 2009).
Gejala-gejala dini pada RB sering tidak disadari hingga muncul manifestasi
klinis awal berupa pupil memutih (leukokoria), strabismus, atau inflamasi (Vaughan & Asbury’s general ophthalmology, 2007). Manifestasi klinis lainnya dapat berupa rubeosis iris, hipopion, hifema, buftalmia, selulitis orbital, dan eksoftalmia.
funduskopi untuk mengetahui lebih jauh . Manifestasi klinis lebih lanjut dapat
berupa tumor solid intraokuler atau ekstraokuler (Aerts, dkk., 2006).
Di negara-negara maju, dimana tingkat pendidikan yang tinggi, sarana
kesehatan yang memadai, dan keadaan sosioekonomi yang baik, kasus RB dapat
didiagnosis lebih awal dengan manifestasi klinis yang masih dalam tahap dini.
Penelitian di beberapa negara, yaitu Amerika, Inggris, Swiss, dan Finlandia
menemukan bahwa leukokoria terjadi pada 50-60%, strabismus baik esotropia
maupun eksotropia 20-25%, dan tanda radang (mata merah atau pseudo orbital
cellulities) 6-10% (Dharmawidiarini, dkk., 2010). Sedangkan di Afrika dan Asia
Tenggara, seperti Indonesia, laporan kasus RB umumnya sudah mencapai
manifestasi klinis tahap lanjut ekstrokuler sehingga memberikan prognosis yang
buruk (Radhakrishnan, V., dkk., dalam AAO 2012) . Penelitian di RSUP H. Ada m
Malik Medan, dari 40 kasus RB, keluhan terbanyak mata menonjol (proptosis)
sebanyak 33 (54,1%) kasus pada unilateral dan 7 (11,4%) kasus pada bilateral.
Sedangkan keluhan bintik putih (leukokoria) 13 (21,3%) kasus pada kelompok
unilateral. Lama munculnya gejala 3,5 bulan untuk RB unilateral dan 2,1 bulan pada
RB bilateral. Anak dengan RB bilateral akan berkembang cepat pada awal usia
dibandingkan dengan RB unilateral (Rosdiana, 2011).
Faktor lain yang menjadi karakteristik penderita RB adalah status gizi. Di
negara maju dengan keadaan sosioekonomi yang tinggi, anak-anak penderita RB
datang dengan status gizi baik. Sedangkan di negara berkembang dengan status
sosioekonomi rendah, anak-anak penderita RB datang dengan status gizi yang
kurang baik. Hal ini akan mempengaruhi keberhasilan terapi dan prognosis dari RB.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti karakteristik pada
pasien retinoblastoma di Indonesia, khususnya di provinsi Sumatera Utara, sebagai
salah satu bentuk upaya dalam memperbaiki penanganan RB agar lebih optimal
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana karakteristik pada penderita retinoblastoma di RSUP Haji Adam
Malik periode Januari 2011-Desember 2013?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik pada penderita retinoblastoma di RSUP
Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui angka kejadian pasien retinoblastoma di RSUP Haji
Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013.
b. Mengetahui karakteristik klinis pasien retinoblastoma di RSUP
Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013.
c. Mengetahui faktor-faktor sosiodemografi pasien retinoblastoma di
RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember
2013.
d. Mengetahui outcome pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam
Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya:
a. Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan
Memberi informasi kepada praktisi medis tentang karakteristik pasien
retinoblastoma sehingga praktisi medis akan lebih cermat dan waspada
dalam menangani pasien retinoblastoma untuk mendapatkan outcome
b. Bagi Orang Tua dan Pasien Retinoblastoma
Memberi pengetahuan kepada orang tua dan pasien retinoblastoma tentang
karakteristik penyakitnya sehingga orang tua dan pasien lebih waspada
untuk mencari pengobatan segera.
c. Bagi Masyarakat dan Peneliti Lain
Menjadi sumber informasi data epidemiologi untuk penelitian di masa
mendatang.
d. Bagi Peneliti
Menjadi sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah
diterima selama pembelajaran di perkuliahan dan pengalaman dalam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Retina
2.1.1. Anatomi Retina
Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di
segmen posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi memberikan
informasi visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina
berkembang dari cawan optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia janin (Vaughan & Asbury’s general ophthalmology, 2007).
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm
(diameter dari depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5 mm
kemudian mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7 -8 tahun. Dari
ukuran tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat bagian posterior
dalam bola mata. Total area retina 1.100 mm2. Retina melapisi bagian posterior mata,
dengan pengecualian bagian nervus optikus, dan memanjang secara sirkumferensial
anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal retina rata-rata 250 µm, paling tebal pada
area makula dengan ketebalan 400 µm, menipis pada fovea dengan ukuran 150 µm,
dan lebih tipis lagi pada ora serrata dengan ketebalan 80 µm (Vaughan & Asburry’s general ophthalmology, 2007).
Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama dari
arteri karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama nervus
optikus). Arteri siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan tengah,
termasuk lapisan pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar, dan lapisan
Gambar 2.1. Anatomi Retina
Sumber: Netter, F., 2006
2.1.2. Histologi Retina
Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan
dalamnya berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang
terdiri dari (dari luar ke dalam):
1. epitel pigmen
2. batang dan kerucut
3. membran limitans eksterna
4. lapisan inti luar
5. lapisan pleksiform luar
6. lapisan inti dalam
7. lapisan pleksiform dalam
8. lapisan sel ganglion
10. membran limitans interna
( Mescher, A.L., 2010)
Gambar 2.2. Histologi Lapisan Retina
Sumber: ( Mescher, A.L., 2010)
2.1.3. Fisiologi Retina
Retina adalah bagian mata yang paling kompleks dan paling sensitif terhadap
cahaya. Retina memiliki lapisan fotoreseptor berisi sel batang dan kerucut yang
memiliki peran dalam menangkap stimulus cahaya lalu mentransmisikan impuls
melalui nervus optikus ke korteks visual bagian oksipital (Vaughan & Asburry’s general ophthalmology, 2007).
Fotoreseptor tersusun rapi pada bagian terluar avaskuler retina dan banyak
terjadi perubahan biokimia untuk proses melihat. Komposisi sel kerucut lebih banyak
pada bagian makula (fovea) dan sedikit pada bagian perifer, sedangkan sel batang
densitasnya tinggi pada bagian perifer dan sedikit pada bagian makula (fovea). Sel
bertanggung jawab pada penglihatan warna dan cahaya banyak. Sel batang,
mengandung pigmen fotosensitif rhodopsin, berfungsi untuk melihat warna
hitam-putih dan saat malam hari sehingga bagian perifer bertanggung jawab untuk
penglihatan gelap pada malam hari (Dahl, A., 2013).
Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel ganglion,
sel horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan bertugas
menghubungkan sel fotoreseptor (postsinaps sel batang dan kerucut) dan sel
ganglion. Sel ganglion memberikan akson yang akan bergabung dengan serabut
nervus optikus ke otak. Sel horizontal terletak pada lapisan pleksiform luar dan
berfungsi sebagai interkoneksi sel bipolar dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin
terletak pada lapisan pleksiform dalam dan berfungsi sebagai penghubung sel bipolar
dengan sel ganglion (Dahl, A., 2013).
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari
sel Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti dalam dan
memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan pleksiform luar.
Sel astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel mikroglia berasal dari
Gambar 2.3. Fisiologi Lapisan Retina
Sumber: Sherwood, L., 2010
2.1.4. Fisiologi Visual Pathway
Pada saat fotopigmen rodopsin menyerap cahaya foton, 11- cis retinal
mengalami isomerisasi menjadi all–trans retinal (terkadang bisa menjadi all-trans
retinol) kemudian membebaskan dan mengaktifkan sejumlah opsin. Opsin yang
bebas kemudian berperan dalam mengkatalisasi aktivasi transdusin dari G-protein.
Transdusin mengkatalisasi aktivasi dari enzim fosfodiesterase (PDE). PDE
menghidrolisis cGMP menjadi GMP dan melepaskannya. Keadaan cGMP yang
menurun merangsang penutupan dari kanal natrium sehingga membran mengalami
hiperpolarisasi dan neurotransmitter tidak bisa keluar. Hal ini menyebabkan kanal
kalsium tertutup dan pengeluaran inhibitory neurotransmitter jadi menurun. Sel
bipolar mengalami kenaikan aksi potensial yang diikuti oleh sel ganglion. Impuls ini
kemudian dihantarkan ke korteks visual bagian oksipital (area 17 dan 18) dan
Gambar 2.4. Fisiolgi Visual Pathway
2.2. Retinoblastoma 2.2.1. Definisi
Retinoblastoma (RB) adalah suatu penyakit keganasan pada lapisan retina
mata, yaitu bagian mata yang paling peka terhadap cahaya. Penyakit RB dapat
menyerang segala usia, tetapi umumnya menyerang anak dengan usia di bawah 3
tahun (Radhakrishnan, V., dkk., AAO 2012).
2.2.2. Etiologi
Retinoblastoma merupakan penyakit keganasan pertama yang dapat
diidentifikasi melalui genetik. Penyakit RB terjadi akibat mutasi pada kedua buah alel
gen RB1 yang terletak pada kromosom 13q14 (Etter & Bansal dalam AAO, 2005).
Mutasi tersebut dapat berupa perubahan jumlah regio kromosom 13q14 (delesi,
translokasi), perubahan nukleotida (substitusi, delesi, insersi, dan duplikasi), delesi
ekson (tunggal atau jamak); Loss of Heterozigosity (LOH), atau CpG islands
hypermethylation pada regio promoter gen RB1 (Joseph & Kumaramanickavel,
2007). Ketidakstabilan gen akibat mutasi tersebut menyebabkan perkembangan progresif lebih lanjut dari sel retina menjadi RB malignan. Progesifitas tersebut
disebabkan oleh hilangnya kedua buah alel gen RB1 pada retina yang diikuti dengan
perubahan jumlah sel onkogen, seperti MYCN (2p24.3), E2F3 dan DEK (6p22),
KLF14 (7q32), dan MDM4 (1q32), juga tumor-suppressor gene CDH11(16q21) dan
p75NTR (17q21) (Kandalam, M., dkk., 2010).
Teori lain menyatakan bahwa ditemukannya keberadaan Human Papilloma
Virus (HPV) menyebabkan inaktivasi dari nuclear phosphoprotein (pRB) dari gen
RB1 oleh onkoprotein HPV-E7 (Orjuela, M.A., 2012). Beberapa strain HPV, seperti
HPV 16, 18, 6a, 33, 11, 31, 35, 51, telah ditemukan pada jaringan tumor pasien RB.
Akan tetapi, keberadaan HPV sebagai agen penyebab berkembangnya RB masih
2.2.3. Faktor risiko
Faktor risiko RB dapat berupa mutasi gen RB1 yang menyebabkan sel
retinoblas membelah tidak terkontrol sehingga membentuk tumor. Mutasi ini dapat
terjadi secara sporadic (didapat) yang bisa terjadi kapan saja selama hidupnya atau
inherited (diwariskan) dari orang tua ke anak. Faktor risiko berikutnya adalah riwayat
keluarga. Anak dengan orang tua yang mempunyai riwayat RB bilateral mempunyai
risiko 45%, sedangkan anak dengan orang tua yang mempunyai riwayat RB unilateral
mempunyai risiko 7,5% untuk mengalami RB. Anak dengan riwayat saudara kandung
yang mengalami RB bilateral mempunyai risiko 5-7%, sedangkan untuk RB
unilateral mempunyai risiko 1%. Anak dengan saudara kandung yang mengalami RB
unilateral atau bilateral, disertai dengan riwayat orang tua yang juga mengalami RB,
memiliki risiko 45% untuk mendapatkan RB (Canadian Cancer Society, 2014).
Faktor risiko selanjutnya adalah status gizi anak. Status gizi anak menentukan
diagnosis tingkat keparahan dan penatalaksanaan RB. Penelitian sebelumnya oleh
Selvi di RSUP H.Adam Malik periode 1999-2003, dari total 32 pasien, dijumpai ada
13 (40,6%) pasien RB dengan malnutrisi berat, 9 (28,1%) pasien RB dengan
malnutrisi sedang, dan 2 (6,3%) pasien dengan malnutrisi ringan, dan hanya 8 (25%)
pasien RB dengan status gizi normal (Nafianti, 2006). Kurangnya asupan folat selama
kehamilan juga diprediksi berperan dalam faktor risiko RB, terutama RB unilateral,
pada negara berkembang (Orjuela, M.A., dkk., 2012).
Selain itu, di negara berkembang, terdapat tingkat pendidikan dan kondisi
sosioekonomi yang rendah, serta kurang memadainya sarana kesehatan. Hal ini
mengakibatkan tertundanya diagnosis dan penatalaksanaan RB yang optimal. Hal ini
turut berperan dalam meningkatkan risiko RB dan dapat memperparah kondisi a nak
2.2.4. Patogenesis
Sel normal memiliki suatu mekanisme gen pengaturan yang melindunginya
dari sel onkogen, yaitu tumor-suppressor genes. Ketika gen ini diinaktivasi, sinyal
genetik yang normalnya menghambat proliferasi sel dirusak sehingga menyebabkan
pertumbuhan yang tidak normal dari sel. Gen p53 dan gen retinoblastoma (RB)
merupakan contoh dari tumor-suppressor genes (Porth C., 2010).
a) Teori mutasi gen RB1
RB1 mengkode protein Rb, dimana fungsinya adalah sebagai
tumor-suppressor oncogene, dengan cara mengontrol siklus sel melalui interaksi kompleks
dengan beberapa enzim kinase. Pada keadaan absennya stimulus mitogenik, tugas
RB1 adalah menghambat siklus sel dalam proses transkripsi gen yang diperlukan
untuk masuk fase S (Porth C., 2010).
Fungsi RB1 dapat dirusak dengan ekspresi berlebih dari cyclin-D atau
hilangnya p16INK4A (Kandalam, M., dkk., 2010). Cyclin-D adalah protein regulator,
berikatan dengan enzim cyclin dependent kinases (CDKs), berfungsi untuk
mengontrol titik transisi siklus sel melalui proses fosforilasi dan defosforilasi. Pada
kasus RB, checkpoint dari fase G1 ke S, berfungsi untuk cek DNA apakah sudah
direplikasi dengan sempurna, mengalami hiperfosforilasi. Keadaan hiperfosforilasi
tersebut dapat dipicu oleh virus yang mengubah protein regulator, seperti adenovirus
EIA, siman virus 40 (SV40), dan HPV-7. Akibatnya, replikasi DNA menjadi tidak
Gambar 2.5. Siklus sel normal: protein retinoblastoma (Rb) diaktivasi
melalui proses fosforilasi
Sumber: Othman I.S., 2012
Gambar 2.6. Siklus sel patologis: proses inaktivasi protein Rb melalui
proses hiperfosforilasi mengakibatkan replikasi sel tidak terkontrol
[image:27.612.250.460.366.543.2]Penyakit RB dapat muncul dalam dua bentuk mutasi genetik, yaitu mutasi
sporadic (didapat) dan mutasi herediter (riwayat keluarga) (Yeole & Advani, 2001).
Postulasi Knudson (1971) menyatakan bahwa RB terjadi karena dua buah bentuk
mutasi, yaitu dari sel germinal dan non-germinal (sel somatik) (Aerts, dkk., 2006).
Baik mutasi sel germinal maupun sel non germinal (sel somatik) terjadi akibat mutasi
pada kedua buah alel gen RB1 yang terletak pada kromosom 13q14 (D’Elia, dkk., 2013).
Individu normal mempunyai dua buah gen RB (RB,RB). Pada kasus herediter
(60% kasus), gen RB mengalami dua bentuk mutasi. Mutasi pertama adalah mutasi
hemizigot sel germinal (RB,rb), diikuti dengan mutasi kedua yaitu mutasi sel non
germinal (sel somatik) homozigot (rb,rb) yang menjadi dasar pembentukan RB
bilateral. Pada kasus sporadic (40% kasus), mutasi pertama dan kedua adalah mutasi
sel non germinal (sel somatik) yang mengakibatkan RB unilateral dan unifokal
(Othman, I.S., 2012). Pasien dengan unilateral atau bilateral RB terkadang
mempunyai kelainan tambahan berupa tumor neuroblastik intrakranial (biasanya pada
kelenjar pineal), biasa dikenal dengan trilateral retinoblastoma syndrome (TRB).
Gambar 2.7. Patogenesis mutasi pertama dan kedua gen RB1
Sumber: Porth, C., 2010
[image:29.612.244.388.114.321.2]
Gambar 2.8. Patogenesis mutasi gen RB1 sel germinal dan sel
non-germinal (somatik)
b) Teori p53
Protein 53 (p53) merupakan tumor-suppressor gene yang berfungsi dalam
mengontrol siklus sel atau apoptosis. Dalam keadaan stress, sel akan mengalami
kerusakan DNA atau jatuh dalam keadaan onkogenik (Kandalam, M., dkk., 2010).
Pada kasus RB, gen p53 diinaktivasi oleh amplifikasi murine double minute-4
(MDMX) sehingga ini menjadi dasar pemikiran para ahli untuk membuat tata laksana
kemoterapeutik RB (Laurie, dkk., 2006 dalam Kandalam, M., dkk., 2010).
c) Teori radikal bebas
Reactive oxide species seperti radikal bebas superoksida (O2-) dan hidrogen
peroksida (H2O2) memberikan peran penting terhadap inisiasi dan progresi dari
karsinogenesis. Reactive oxide species yang bergabung bersama reactive nitrogen
species secara endogen atau eksogen dinamakan ”oxidative and nitrossative stress”,
kemudian hasilnya berupa agen vasoaktif nitrit oksida (NO). Agen vasoaktif NO
disintesis dari asam amino L-Arginin oleh enzim nitrit oksida sintase (NOS),
berfungsi sebagai vasodilator (Kandalam, M., dkk., 2010).
Telah ditemukan tiga bentuk isoform dari enzim NOS yang mengkode tiga
gen berbeda. Dua diantara isoform NOS adalah endotelial dependen kalsium dan tipe
neural (eNOS dan nNOS); bentuk isoform lainnya induksi (iNOS) dan aksinya tidak
dependen kalsium (Kandalam, M., dkk., 2010). Telah ditemukan ekspresi gen eNOS
dan iNOS pada jaringan tumor RB. Ekspresi gen eNOS ditemukan pada RB stadium
awal maupun stadium invasif, sedangkan ekspresi gen iNOS lebih banyak ditemukan
pada RB stadium invasif ( Krishnakumar, dkk., 2005).
2.2.5. Klasifikasi
Penyakit RB dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk mutasi genetik,
Berdasarkan bentuk mutasi genetik, RB dapat diklasifikasikan menjadi:
a) Mutasi sporadic (didapat)
Bentuk mutasi sporadic (didapat) terjadi karena mutasi pertama dan kedua
dari sel non germinal (sel somatik) gen RB1. Mutasi sporadic memiliki prevalensi
dunia sebanyak 40% (Yeole & Advani, 2001).
b) Mutasi herediter (riwayat keluarga)
Bentuk mutasi herediter terjadi karena dua buah sel mengalami mutasi, yaitu
mutasi pertama pada sel germinal kemudian diikuti mutasi kedua pada sel non
germinal (sel somatik) pada gen RB1. Mutasi herediter memiliki prevalensi dunia
sebanyak 60% (Yeole, Advani, 2001).
Berdasarkan lateralisasi, RB dapat diklasifikasikan menjadi:
a) Unilateral
Penyakit RB unilateral menyerang satu mata dengan prevalensi dunia sekitar
60% (Aerts, dkk., 2006).
b) Bilateral
Penyakit RB bilateral menyerang kedua mata dengan prevalensi dunia sekitar
40% (Aerts, dkk. 2006)
Berdasarkan arah perkembangannya, RB dapat diklasifikasikan menjadi
(National Cancer Institute of Spain, 2013):
a) Intraokular RB (endophytic)
Intraokular RB terlokalisasi hanya di dalam mata mencakup retina atau bisa
memanjang sampai melibatkan koroid, badan siliar, anterior chamber, dan nervus
b) Ekstraokular RB (exophytic)
Ekstraokular RB, dikenal dengan proses metastasis, merupakan perluasan
intraokular RB sampai diluar mata. Ekstraokular RB dapat menyebar sampai ke
jaringan sekitar mata (orbital RB), atau menyebar lebih jauh lagi sampai ke sistem
saraf pusat, sumsum tulang, atau nodus limfatikus (metastasis RB).
c) Gabungan intraokular dan ekstraokular RB (mixed endophytic-exophytic)
Pada kasus RB, klasifikasi tingkat keparahan yang lazim digunakan adalah
klasifikasi menurut Reese-Ellsworth (Othman I.S., 2012) dan klasifikasi internasional
retinoblastoma (International classification of retinoblastoma) (Saxena & Kaur,
2011).
1) Klasifikasi Reese-Ellsworth (National Cancer Institute of Spain, 2013)
Grup I A: tumor soliter, lebih kecil dari 4 diameter diskus (DD), terletak
pada atau di belakang ekuator.
I B: tumor multipel, lebih besar dari 4 DD, terletak pada atau di
belakang ekuator.
II A: tumor soliter, 4 sampai 10 DD, terletak pada atau di belakang
ekuator.
II B: tumor multipel, 4 sampai 10 DD, terletak di belakang ekuator.
III A: lesi anterior sampai ekuator.
III B: tumor soliter, lebih besar dari 10 DD, terletak di belakang
ekuator.
IV A: tumor multipel, beberapa berukuran lebih besar dari 10 DD.
IV B: ditemukan lesi yang memanjang dari anterior sampai ora
serrata.
V A: tumor massif yang melibatkan setengah atau lebih retina
2) International Classification of Retinoblastoma (National Cancer Institute of
Spain, 2013)
Grup A: tumor kecil intraretinal jauh dari foveola dan diskus Tumor ≤ 3mm berada di retina, dan
Tumor berada ≥ 3mm dari foveola dan 1,5mm dari diskus optikus
Grup B: tumor diskret pada retina
Semua tumor yang berada di retina bukan grup A
Tumor terkait cairan subretinal berukuran ≤ 3mm tanpa bercak
subretinal
Grup C: kelainan lokal tumor diskret dengan bercak minimal subretinal atau
vitreous
Tumor diskret
Ditemukannya cairan subretinal tanpa bercak pada seperempat retina Bercak vitreous lokal yang muncul dekat tumor diskret
Bercak subretinal lokal ≤ 3mm (2 DD) dari tumor
Grup D: kelainan tumor difus dengan bercak vitreous atau subretinal signifikan
Tumor difus atau massif
Ditemukannya cairan subretinal tanpa bercak, melibatkan retina lepas menyeluruh
Kelainan difus atau masif vitreous termasuk tumor avaskuler Bercak difus subretinal termasuk plak subretinal atau nodul tumor
Grup E: ditemukannya satu atau lebih kriteria prognosis buruk
Tumor anterior atau vitreous anterior melibatkan badan siliar atau
segmen anterior
Retinoblastoma infiltratif difus Glaukoma neovaskuler
Media opak dari perdarahan
Nekrosis tumor dengan asepsis selulitis orbital Phitisis bulbi
Tabel 2.1. International Classification of Retinoblastoma
Sumber: National Cancer Institute of Spain, 2013
2.2.6. Diagnosis a) Gejala Klinis
Temuan klinis terbanyak di dunia saat didiagnosis adalah leukokoria (90%)
dan strabismus (35%) (Othman, I.S., 2012). Akan tetapi, temuan klinis tersebut
memiliki perbedaan berdasarkan faktor sosiodemografi suatu negara. Penelitian di
beberapa negara maju, yaitu Amerika, Inggris, Swiss, dan Finlandia menemukan
20-25%, dan tanda radang (mata merah atau pseudo orbital cellulities) 6 -10%
(Dharmawidiarini, dkk., 2010).
Penelitian di RS Cipto Mangunkusumo, dari 64 pasien RB baru, leukokoria
ditemui sebanyak 19 pasien (30%), leukokoria disertai proptosis sebanyak 41 pasien (
64%), buftalmos 2 pasien (3%), dan mata merah 2 pasien (3%) (Asih, dkk., 2009).
Penelitian di Sumatera Utara, di RSUP H. Adam Malik Medan, dari total 61 pasien
(53 unilateral dan 8 bilateral), gejala klinis terbanyak adalah proptosis yang ditemui
sebanyak 40 kasus (54,1% pada unilateral RB dan 11,4% pada bilateral RB)
(Rosdiana N., 2011). Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan
bahwa gejala klinis di Indonesia lebih banyak ditemukan proptosis dibandingkan
leukokoria.
Gejala klinis lainnya dapat berupa rubeosis iris, hipopion, hifema, buftalmia,
selulitis orbital, dan eksoftalmia. Gejala klinis lebih lanjut dapat berupa tumor solid
intraokuler atau ekstraokuler. Namun, gejala klinis demikian jarang dikeluhkan
pasien atau pengasuh maupun didiagnosis oleh dokter (Aerts, dkk., 2006).
Gambar 2.9. Gejala Klinis Leukokoria (mata kiri)
Gambar 2.10. Gejala klinis proptosis pada eksofitik RB (mata kanan)
Sumber: Reddy & Honavar, 2008
b) Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)
Tajam penglihatan pada kasus RB umumnya sangat menurun dan tergantung
tingkat keparahannya. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan tingkat
keparahan dan tata laksana yang tepat. Penulis belum menemukan jurnal mengenai
tajam penglihatan awal sebelum dilakukan intervensi dan tata laksana (Ilyas &
Yulianti, 2011).
2) Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi bertujuan untuk melihat gambaran normal atau tidak
normal pada bagian dalam mata atau fundus okuli. Gambaran funduskopi pasien RB
bermacam-macam tergantung pada tingkat keparahannya. Stadium awal dengan
keluhan leukokoria menghasilkan gambaran funduskopi berupa daerah retina yang
Gambar 2.11. Gambaran leukokoria pada pemeriksaan funduskopi
Sumber: Reddy & Honavar, 2008
3) Pemeriksaan Tekanan Bola Mata
Pemeriksaan tekanan bola mata bertujuan untuk menilai perubahan pada
tekanan bola mata dengan alat tonometer (Ilyas & Yulianti, 2011). Terkadang pasien
RB datang dalam stadium berat dengan komplikasi berupa glaukoma sehingga
pengukuran tekanan bola mata penting untuk diagnosis awal (Lin & O’brien, 2009).
c) Pemeriksaan Penunjang
1) Ultrasound
Ultrasound menggunakan gelombang suara kemudian diubah menjadi gambar
jaringan pada tubuh, seperti jaringan di dalam maupun di sekitar mata (American
Cancer Society, 2013). Ultrasound juga digunakan untuk mendeteksi temuan-temuan
di bagian posterior mata berupa massa, lesi kalsifikasi intraokular, dan sebagainya
(Parulekar, 2010).
2) Computed Tomography (CT) scan
Pemeriksaan CT scan merupakan tes sinar X yang berfungsi menghasilkan
gambar jaringan tubuh dengan potongan melintang. Tes ini dapat memberi
sekitar mata (American Cancer Society, 2013). Akan tetapi, CT scan mempunyai
kelemahan radiasi tinggi sehingga sebisa mungkin dihindari (Parulekar, 2010).
Gambar 2.12. CT scan orbital pada pasien RB dengan penyeberan intrakranial
Sumber: Pandey, A.N., 2013
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
[image:38.612.223.416.165.332.2]Pemeriksaan MRI menggunakan magnet untuk menghasilkan potongan
gambar jaringan yang lebih spesifik dibandingkan CT scan. Tes MRI sangat berguna
jika ada kecurigaan metastasis ekstraokular (sering pada metastasis intrakranial)
dimana anak datang dengan tekanan intrakranial yang meningkat dan dicurigai
adanya trilateral retinoblastoma (Parulekar, 2010).
4) Biopsi
Biopsi pada RB tidak dilakukan sebab dapat memicu rusaknya jaringan tumor
2.2.7. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan RB adalah menyelamatkan hidup pasien,
sedangkan kembalinya fungsi visual mata merupakan tujuan sekunder (Reddy &
Honavar, 2008). Penatalaksanaan RB melibatkan tim dari berbagai multidisiplin,
yaitu disiplin ilmu onkologi mata, onkologi pediatrik, onkologi radiasi, onkologi
psikis, genetika, dan onkopatologi oftalomologi. Strategi manajemen tata laksana RB
tergantung dengan tingkat keparahannya, seperti intraokular RB, RB dengan
karakteristik risiko tinggi, orbital RB, dan metastasis RB (Pandey, 2013). Tata
laksana untuk intraokular RB meliputi enukleasi, external beam radiation therapy
(EBRT), cryotherapy, laser photocoagulation, thermotherapy, brachytherapy dengan
iodine 125 atau ruthenium 106 plaques, dan systemic chemotherapy. Sedangkan untuk tata laksana ekstraokular RB diberi terapi lebih lanjut (Lin & O’brien, 2009).
a) Enukleasi
Enukleasi merupakan pilihan tata laksana untuk intraokular unilateral RB
dengan klasifikasi grup E yang melibatkan neovaskularisasi dari iris, glaukoma
sekunder, tumor invasif anterior chamber, tumor >75% volum vitreous, tumor
nekrosis dengan inflamasi sekunder orbital, tumor terkait hifema atau perdarahan
vitreous, dimana karakteristik tumor tidak bisa dilihat, dan melibatkan satu mata
(unilateral) (Pandey, 2013). Metode enukleasi dilakukan dengan mengangkat penuh
mata hingga ke nervus optikus, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologinya
(Parulekar, 2010).
b) External beam radiation therapy (EBRT)
EBRT merupakan pilihan tata laksana untuk RB bilateral tingkat lanjut,
dimana ditemukannya bercak difus pada vitreous, pada pasien yang menolak
Akan tetapi, EBRT mempunyai kelemahan karena dapat memicu efek
komplikasi lokal dan dapat mengakibatkan kanker sekunder pada daerah sekitar
radiasi setelah RB sembuh (Othman, 2012).
c) Cryotherapy
Cryotherapy merupakan pilihan tata laksana untuk tumor kecil pada garis ekuator atau retina perifer dengan ukuran diameter basal ≤ 4mm dan ketebalan 2mm. Cryotherapy diaplikasikan pada RB dengan interval 4-6 minggu sampai tumor
mengalami regresi. Akan tetapi, cryotherapy mempunyai kelemahan, yaitu
meninggalkan jaringan parut lebih besar dari tumor. Komplikasi lebih lanjut meliputi
lepasnya retina sementara, robekan retina, maupun rhegmatogenous retinal
detachment (Pandey, A.N., 2013).
d) Laser photocoagulation
Laser photocoagulation merupakan pilihan tata laksana untuk tumor posterior
kecil dengan diameter basal 4mm dan ketebalan 2mm. Tujuan terapi ini untuk regresi
tumor dan mengkoagulasikan suplai aliran darah menuju tumor dengan menggunakan
laser. Komplikasi dapat berupa lepasnya retina sementara, oklusi vaskuler retina,
retina bolong, traksi retina, dan fibrosis preretinal (Pandey, A.N., 2013).
e) Thermotherapy
Thermotherapy merupakan pilihan tata laksana untuk tumor kecil dengan
diameter 4mm dan ketebalan 2mm. Metodenya dengan melakukan radiasi sinar
inframerah level subfotokoagulasi pada jaringan untuk menginduksi nekrosisnya
tumor dan mencegah rusaknya pembuluh darah retina (Pandey, 2013). Regresi tumor
secara komplit dapat mencapai 85% setelah dilakukannya 3-4 kali thermotherapy
f) Brachytherapy dengan plak I-125 atau Ro-106
Plaque brachytherapy menggunakan zat radioaktif (umumnya I-125 atau
Ro-106) yang diimplantasikan pada sklera. Tujuannya adalah untuk radiasi tumor secara
transsklera. Kelebihannya adalah radiasi fokal tumor sehingga tidak menyebabkan
rusaknya jaringan normal di sekitar tumor (Pandey, A.N., 2013).
g) Systemic chemotherapy
Chemotherapy merupakan pilihan tata laksana pada pasien dengan tujuan
mengurangi volum tumor sampai ukuran dimana terapi laser bisa diberikan
(chemoreduction) (Parulekar, 2010). Terapi ini juga efektif untuk kelainan vitreous
dan subretinal, dan ekstraokular maupun metastasis RB (Parulekar, 2010).
Chemotherapy dilakukan sebanyak enam sesi selama 3-4 minggu. Dua regimen obat
untuk systemic chemotherapy adalah carboplatin dan etoposide (Othman, I.S., 2012).
Tabel 2.2. Strategi Penatalaksanaan RB berdasarkan International
Classification of Retinoblastoma
Sumber: Lin & O’brien, 2009
2.2.8. Outcome
Umumnya dengan penatalaksanaan yang sesuai, sekitar 90% outcome untuk
retinoblastoma untuk stadium awal memberikan hasil yang baik. Ocular survival rate
terbaik untuk retinoblastoma berkisar dari usia 2 hingga 7 tahun (Kaiser, P.K., dkk.,
2014). Akan tetapi, angka survival rate pasien retinoblastoma tergantung pada
diagnosis (onset), lateralisasi, riwayat keluarga, keberhasilan terapi, serta status gizi
dari pasien (Dharmawadiarini, D., dkk., 2010). Outcome retinoblastoma dinilai dalam
beberapa kali kunjungan kontrol pasien setelah terapi manajemen, yaitu 1 minggu, 2
minggu, 4 minggu, 2 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, dan 5 tahun untuk
mengetahui apakah pasien benar-benar sudah bersih dari retinoblastoma.
Ocular survival rate berkaitan erat dengan usia dan onset saat pertama kali
diagnosis, serta stadium keparahan pasien. Eksistensi bola mata pada kelompok
jangka waktu diagnosis >24 bulan lebih lama, penderita dengan jangka waktu
diagnosis yang panjang datang dalam stadium lanjut dan memerlukan tindakan
agresif berupa pengambilan bolamata sehingga menyebabkan prognosis buruk
terhadap penglihatan dan kosmetik serta kelangsungan hidup. Sedangkan penderita
dengan jangka waktu diagnosis < bulan mempunyai ocular survival rate yang paling
kecil dan dengan jumlah pasien baik stadium intraokular maupun ekstraokular sama
banyak (Dharmawadiarini, D., dkk., 2010).
Dalam studi total pasien 167 anak (35 dalam stadium invasif; 136 pasien tidak
mendapatkan terapi adjuvant), probabilitas 5-year event-free survival didapatkan
hasil 98,1% dengan total probabilitas keseluruhan angka bertahan hidup pasien
adalah 98, 7% (1 pasien keluar dari penelitian). Anak-anak dengan stadium invasif
yang masif mempunyai probabilitas event-free survival yang lebih rendah (94,2%)
dibandingkan dengan kelompok stadium invasif fokal (99,2%) (Bosaleh, A., dkk.,
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep adalah:
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Retinoblastoma (RB) adalah suatu penyakit keganasan anak pada
lapisan retina yang diagnosisnya ditegakkan oleh dokter mata dan
dokter anak.
3.2.2. Sosiodemografi orang tua adalah suatu komponen variabel sosial dan
demografi suatu masyarakat yang tercantum dalam rekam medik. Karakteristik Retinoblastoma Faktor:
1. Sosiodemografi orang tua 2. Sosiodemografi
anak 3. Status gizi 4. Klasifikasi 5. Gejala klinis 6. Tingkat keparahan 7. Onset
Dalam hal ini penulis menetapkan dua kriteria faktor sosiodemografi
orang tua yaitu, pekerjaan dan status sosial.
3.2.3. Sosiodemografi anak adalah suatu komponen variabel sosial dan
demografi anak yang dinilai dari dua faktor, yaitu umur dan jenis
kelamin.
3.2.4. Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang
yang dapat dilihat dari indeks massa tubuh atau luas area permukaan
tubuh yang tercantum dalam rekam medik. Status gizi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, status gizi kurang, normal, atau
lebih.
3.2.5. Klasifikasi adalah pembagian kelompok RB menjadi unit yang lebih
spesifik. Klasifikasi RB dapat dibagi menjadi:
a. Sporadic (didapat) atau Herediter (Riwayat Keluarga)
b. Unilateral atau Bilateral
c. Intraokular (endophytic) atau Ekstraokular (exophytic) atau
campuran
3.2.6. Tingkat keparahan adalah klasifikasi urutan keparahan suatu penyakit
berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini, penulis menetapkan
untuk menggunakan klasifikasi tingkat keparahan RB
Resse-Ellsworth.
3.2.7. Gejala klinis adalah gejala khas yang tampak saat didiagnosis dokter
maupun dikeluhkan orang tua yang tercantum dalam rekam medik.
3.2.8. Onset adalah lamanya gejala klinis muncul hingga anak dibawa oleh
orang tuanya ke dokter yang tercantum dalam rekam medik.
3.2.9. Penatalaksanaan adalah terapi manajemen suatu penyakit berdasarkan
tingkat keparahannya yang tercantum dalam rekam medik.
3.2.10.Outcome adalah hasil definitif yang mendeskripsikan tingkat
periodik, yaitu pada minggu 1, minggu 3, bulan 1, bulan
ke-3, bulan ke-6, tahun ke-1, dan tahun ke-2. Dalam pelaksanaan
penelitian, peneliti menentukan untuk melihatnya selama minimal 1
minggu setelah terapi, dengan penilaian berdasarkan hidup atau
meninggal.
Alat ukur : Rekam Medik
Cara ukur : Melihat status rekam medik terkait dengan
karakteristik RB
Hasil Ukur : Karakteristik RB
Skala ukur : Nominal (jenis kelamin, klasifikasi, gejala klinis,
pemeriksaan PA pasca operasi, outcome)
Ordinal (sosiodemografi orang tua anak, umur,
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross
sectional (potong lintang), dengan tujuan untuk melihat karakteristik retinoblastoma
di RSUP Haji Adam Malik Medan.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – September 2014 bertempat di Instalasi Rekam Medik Poli Mata RSUP Haji Adam Malik Medan. Pemilihan lokasi
tersebut didasarkan karena RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit
tipe A dengan pasien rujukan dari seluruh Sumatera Utara.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis retinoblastoma
di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013.
4.3.2. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling.
Kriteria inklusi : Seluruh pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam
Malik Medan periode Juni 2012-Juli 2014 yang
- Pasien melakukan kunjungan evaluasi untuk
mengetahui outcome sekurang-kurangnya dalam 1
minggu setelah terapi.
Kriteria eksklusi : - Pasien retinoblastoma yang menderita penyakit berat
lainnya.
- Data rekam medik yang tidak lengkap.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
data yang didapat dari rekam medik pasien Retinoblastoma pada RSUP Haji Adam
Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013 dimana data yang diperlukan
dalam penelitian akan dicatat dan diuraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Semua data yang telah dikumpulkan akan dicatat, diperiksa, dan
dikelompokkan kemudian diolah menjadi data statistika berupa tabel distribusi dan
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 5.1.1.1. RSUP H. Adam Malik
RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK
Menkes No. 2233/ Menkes/ SK/ XI/ 2011 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan
yang memiliki visi sebagai pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A
yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Lokasinya
No. 17 Km 12 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera
Utara.
Bagian Rekam Medis terletak di lantai dasar tepat di belakang Poliklinik
Obstetrik dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan.
5.1.2. Deskripsi Data Penelitian
Sampel yang diperoleh berdasarkan data induk pasien yang tersimpan di
5.1.2.1. Angka Kejadian Retinoblastoma Berdasarkan Tahun
Angka Kejadian Retinoblastoma (RB) berdasarkan waktu dapat dilihat pada
[image:50.612.107.536.247.354.2]tabel di bawah ini:
Tabel 5.1. Distribusi Angka Kejadian Sampel Berdasarkan Tahun
Tahun Jumlah Persentase (%)
2011 14 30,5
2012 11 23,9
2013 21 45,6
Jumlah 46 100
Berdasarkan tabel 5.1, dapat dilihat bahwa jumlah kasus terbesar terdapat
pada tahun 2013 dengan jumlah sebanyak 21 kasus (45,65%), sedangkan jumlah
kasus terendah pada tahun 2012 dengan jumlah sebanyak 11 kasus (23,91%). Dari
tabel di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi kasus RB di RSUP H. Adam Malik
Medan dari tahun 2011 sampai 2012 menurun sebanyak 3 kasus, sedangkan frekuensi
kasus dari tahun 2012 sampai 2013 mengalami kenaikan sebanyak 10 kasus.
5.1.2.2. Sosiodemografi Orang Tua
Distribusi pasien RB yang menjadi sampel penelitian berdasarkan
[image:50.612.122.537.606.697.2]karakteristik faktor sosiodemografi orang tua dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.2. Distribusi Sampel Menurut Sosiodemografi Orang Tua Sosiodemografi Orang Tua Jumlah Persentase (%)
Pekerjaan
Buruh 1 2,2
(tabel dilanjutkan ke halaman berikutnya)
[image:51.612.117.527.183.522.2]
Tabel 5.2. Distribusi Sampel Menurut Sosiodemografi Orang Tua (lanjutan)
Pegawai Lepas 1 2,2
Pegawai Swasta 2 4,3
Petani 13 28,3
PNS 5 10,8
Supir 1 2,2
Wiraswasta 22 47,8
Jumlah 46 100
Status Sosial
Menengah Bawah 15 32,6
Menengah 31 67,4
Menengah Atas 0 0
Jumlah 46 100
Berdasarkan tabel 5.2. dapat dilihat bahwa distribusi sampel faktor
sosiodemografi orang tua dengan faktor pekerjaan buruh berjumlah 1 orang (2,2%),
pegawai honorer 1 orang (2,2%), pegawai lepas 1 orang (2,2 %), pegawai swasta 2
orang (4,3%), petani 13 orang (28,3%), PNS 5 orang (10,8%), supir 1 orang (2,2%),
dan wiraswasta 22 orang (47,8%).
Distribusi sampel faktor sosiodemografi orang tua dilihat dari status sosial
bawah sebanyak 15 orang (32,6%), dan tidak orang tua dengan status sosial
menengah atas.
5.1.2.3. Sosiodemografi Anak
Distribusi pasien RB yang menjadi sampel penelitian berdasarkan
[image:52.612.116.547.328.597.2]karakteristik faktor sosiodemografi anak dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.3. Distribusi Sampel Menurut Faktor Sosiodemografi Anak Faktor Sosiodemografi Anak Jumlah Persentase (%) Umur
< 3 tahun 14 30,5
3-5 tahun 22 47,8
> 5 tahun 10 21,7
Jumlah 46 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 24 52,2
Perempuan 22 47,8
Jumlah 46 100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa distribusi sampel faktor
sosiodemografi anak dengan faktor umur < 3 tahun berjumlah 14 orang (30,5%),
umur 3-5 tahun 22 orang (47,8%) menempati frekuensi tertinggi, sedangkan umur
Distribusi sampel faktor sosiodemografi anak, jenis kelamin laki-laki
[image:53.612.112.531.277.443.2](52,2%) lebih banyak menderita Retinoblastoma daripada perempuan (47,8%).
Tabel 5.4. Distribusi Sampel Menurut Usia dengan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Usia Perempuan % Laki-Laki % Total %
< 3 tahun 8 36,4 6 25 14 30,4
3 – 5 tahun 10 45,5 12 50 21 47,8 > 5 tahun 4 18,1 6 25 11 21,7
Jumlah 22 100 24 100 46 100
Berdasarkan tabel 5.4. dapat dilihat bahwa distribusi sampel menurut usia
dengan jenis kelamin sebagai berikut:
a) Usia < 3 tahun memiliki frekuensi perempuan sebanyak 8 orang (36,4%)
sedangkan laki-laki sebanyak 6 orang (25%).
b) Usia 3 – 5 tahun memiliki frekuensi perempuan sebanyak 10 orang (45,5%) sedangkan laki-laki 12 orang (50%).
c) Usia > 5 tahun memiliki frekuensi perempuan sebanyak 4 orang (18,1%)
sedangkan laki-laki sebanyak 6 orang (25%).
Distribusi pasien RB yang menjadi sampel penelitian berdasarkan
[image:54.612.124.540.339.480.2]karakteristik status gizi anak dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.5. Distribusi Sampel Menurut Status Gizi
Status Gizi Jumlah Persentase (%)
Kurang 34 73,9
Normal 12 26,1
Lebih 0 0
Jumlah 46 100
Berdasarkan tabel 5.5. dapat dilihat bahwa distribusi sampel menurut status
gizi dengan frekuensi tertinggi pada status gizi kurang sebanyak 34 orang (73,9%),
status gizi normal 12 orang (26, 1%), dan tidak ada anak dengan status gizi lebih.
5.1.2.5. Klasifikasi Retinoblastoma
Distribusi pasien RB yang menjadi sampel penelitian berdasarkan
karakteristik klasifikasi Retinoblastoma dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.6. Distribusi Sampel Menurut Klasifikasi Retinoblastoma
Lateralisasi
Unilateral 41 89,1
Bilateral 5 10,9
Jumlah 46 100
Arah Perkembangan
Intraokular 4 8,7
Ekstraokular 38 82,6
Campuran 4 8,7
Jumlah 46 100
Berdasarkan tabel 5.6. dapat dilihat bahwa klasifikasi Retinoblastoma dari
segi lateralisasi terlihat bahwa kasus unilateral sejumlah 41 kasus (89,1%) lebih
banyak ditemukan dibandingkan bilateral sejumlah 5 kasus (10,9%). Klasifikasi
Retinoblastoma dari segi arah perkembangan terlihat bahwa frekuensi tertinggi pada
kelas ekstraokular sejumlah 38 kasus (82,6%), sedangkan intraokular dan campuran
memiliki frekuensi yang sama yaitu sejumlah masing-masing 4 kasus (8,7%).
5.1.2.6. Tingkat Keparahan
Distribusi pasien RB yang menjadi sampel penelitian berdasarkan
[image:55.612.127.530.595.699.2]karakteristik tingkat keparahan Retinoblastoma dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.7. Distribusi Sampel Menurut Tingkat Keparahan Tingkat Keparahan Jumlah Persentase (%)
Stadium I 4 8,7
Stadium II 0 0
Stadium IV 41 89,1
Jumlah 46 100
Berdasarkan tabel 5.7. dapat dilihat bahwa karakteristik Retinoblastoma
dengan faktor tingkat keparahan memiliki frekuensi tertinggi pada stadium IV dengan
jumlah 41 kasus (89,1%), sedangkan stadium I sejumlah 4 kasus (8,7%), stadium III
sejumlah 1 kasus (2,2%), dan stadium II tidak ada kasus.
5.1.2.7. Gejala Klinis
Distribusi pasien RB yang menjadi sampel penelitian berdasarkan
[image:56.612.119.532.415.604.2]karakteristik gejala klinis dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.8. Distribusi Sampel Menurut Gejala Klinis
Gejala Klinis Jumlah Persentase (%)
Cat Eye 3 6,4
Mata Bengkak 1 2,2
Mata Menonjol 40 87
Mata merah tidak bisa melihat 1 2,2
Proptosis Bulbi 1 2,2
Jumlah 46 100
Berdasarkan tabel 5.8. dapat dilihat bahwa karakteristik Retinoblastoma
dengan faktor gejala klinis memiliki frekuensi tertinggi pada mata menonjol sejumlah
kasus (6,4%), mata bengkak, mata tidak bisa melihat, dan proptosis bulbi
masing-masing sejumlah 1 kasus (2,2%).
5.1.2.8. Onset
Distribusi pasien RB yang menjadi sampel penelitian berdasarkan
[image:57.612.119.531.266.429.2]karakteristik onset dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.9. Distribusi Sampel Menurut Onset
Onset Jumlah Persentase (%)
< 1 tahun 4 8,7