• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRASASTI WWAHAN 907 Ś

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRASASTI WWAHAN 907 Ś"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PRASASTI WWAHAN 907 Ś

Andriyati Rahayu M.Hum dan Addissya Paramasasti S.Hum

Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16431, Indonesia

Kalyana81@yahoo.com, addissyaparamasasti@yahoo.com

ABSTRAK

Prasasti Wwahan ditemukan di Desa Bandaralim, Kelurahan Demangan, Kecamatan Tanjung Anom, Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan angka tahun 907 Śaka, prasasti ini dibuat atas perintah Dharmmawangśa Tguh, ketika menjadi raja di Matarām. Tiga tahapan metode epigrafi dipergunakan untuk mengungkap data sejarah dalam prasasti ini, yaitu tahap pengumpulan, pengolahan, serta penafsiran data. Prasasti ini berisikan tentang penetapan sima yang diberikan kepada warga di Wwahan pada masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh

Kata Kunci : prasasti, Wwahan, Bandaralim, Dharmmawangśa Tguh, Matarām.

WWAHAN INSCRIPTION 907 Ś

Abstract

Wwahan Inscription was found in Bandaralim village, Demangan sub district, Tanjung Anom district, Nganjuk regency, East Java Province. Based on the number of the year 907 Śaka, this inscription was made by order of Dharmmawangśa Tguh, when he was a king in Matarām. This research used three step of epigraphically methodology, to reveal historical data in this inscription, such as collecting, processing, and interpretation data. This inscription content the history of sima determination by the people in Wwahan under the authority of Dharmmawangśa Tguh

Key Word : inscription, Wwahan, Bandaralim, Dharmmawangśa Tguh, Matarām.

Pendahuluan

Prasasti merupakan sumber sejarah yang dianggap sumber primer atau paling dapat dipercaya karena sifatnya yang biasanya tidak dituliskan lebih dari sekali, meskipun demikian prasasti memerlukan pembacaan, analisis, serta penginterpretasian yang tepat sehingga data yang terkandung didalamnya dapat bercerita mengenai suatu masa tertentu dan mengisi kekosongan dalam penulisan sejarah kuna Indonesia (Susanti, 1997: 181). Penyelidikan dan pembacaan prasasti Indonesia ialah usaha ke arah penyusunan kerangka sejarah Indonesia kuna yang menyeluruh dan didasarkan atas sebuah penelitian ilmiah mengenai kondisi Indonesia pada masa lalu (Wibowo, 1977: 88-89). Selain untuk merekonstruksi dan menuliskan ulang sejarah lampau Indonesia, juga

diharapkan berbagai masalah dan berita yang diungkapkan oleh sebuah prasasti atau beberapa prasasti dapat menjelaskan mengenai kehidupan masyarakat Indonesia dimasa pembuatan prasasti tersebut dari segi sosial-budaya, ekonomi, tata krama, dan hal-hal lain yang dapat diungkap serta ditelaah lebih jauh (Wibowo, 1977:63). Umumnya prasasti pada masa lalu dikeluarkan oleh raja atau pejabat kerajaan tertentu di nusantara (Wibowo, 1977 : 89). Selain itu, prasasti dapat dijadikan salah satu data penting dalam merekonstruksi sejarah kerajaan-kerajaan masa lalu. Ditinjau dari isinya prasasti terbagi atas tujuh jenis, yang pertama prasasti sima yaitu prasasti yang menerangkan mengenai perintah penetapan suatu tempat menjadi daerah yang

(2)

mendapat keringan pajak karena hal-hal khusus seperti tugas merawat bangunan suci, sarana umum, atau balas jasa raja kepada seseorang atau sekelompok masyarakat didaerah tersebut. Kedua

prasasti Jayapatra atau Jayasong yaitu prasasti yang

berisi hal-hal yang berkaitan dengan keputusan hukum dalam sebuah sistem peradilan, biasanya diberikan kepada pihak yang memenangkan perkara. Ketiga prasasti suddhapatra yaitu prasasti yang memuat keterangan mengenai segala bentuk pelunasan hutang dan piutang termasuk juga penyelesaian proses gadai. Keempat piagem yang merupakan prasasti pada masa Islam yang berisikan maklumat atau perintah atau keputusan Sultan, biasanya berisikan perintah kenaikan jabatan, hak istimewa atau perundang-undangan yang baru dibuat, banyak ditemukan pada kesultanan Palembang, Mataram dan Banten dalam bentuk lempengan tembaga. Kelima prasasti pada nisan, yang memuat tanggal meninggalnya seseorang, muncul pada masa Islam sehingga seringkali memiliki kutipan dari ayat Al-Quran. Keenam prasasti masa kolonial antara lain ditemukan dalam bentuk tugu peringatan dan nisan-nisan pada kuburan kolonial. Ketujuh adalah mantra-mantra Hindu-Buddha (Susanti, 1997:137-138). Pada tahun 1982 ditemukan prasasti yang menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuna di desa Bandaralim, kelurahan Demangan, kecamatan Tanjung Anom, kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur (Suhadi dan Kartakusuma, 1997 : 46). Pada tahun 1986 dalam

Penerbitan Ilmiah Arkeologi IV Boechari menamai

prasasti ini sebagai prasasti Wwahan (Boechari, 1986 : 190). Pada tahun yang sama dalam artikelnya yang berjudul “Kerajaan Matarām Sebagaimana Terbayang dari Data Prasasti” beliau menyebutkan bahwa prasasti Wwahan berangka tahun 985 M atau sama dengan 907 Ś (Boechari 1986: 116). Sayangnya prasasti Wwahan belum pernah diterbitkan secara lengkap, tetapi informasi mengenai prasasti ini pernah dipublikasikan sebagai hasil survei dalam Berita

Penelitian Arkeologi No. 47. Dalam Berita Penelitian Arkeologi No.47 ini prasasti Wwahan disebut dengan

nama Prasasti Bandaralim. Penerbitan hasil survey ini mengungkapkan tentang keberadaan angka tahun yaitu 907 Ś, letak keraton yaitu Watugaluh, serta keberadaan gambar atau simbol (Suhadi dan Kartakusuma, 1997 : 46). Menurut sejarah kuna Indonesia yang tersusun hingga saat ini, tahun 907 Ś berada dalam masa pemerintahan raja Dharmmawangśa Tguh. Sayangnya masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh belum dapat direkonstruksi secara utuh karena minimnya data berupa sumber tertulis seperti prasasti. Usaha untuk melengkapi sejarah raja Dharmmawangśa Tguh harus juga dihubungkan dengan raja yang memerintah sebelum dan setelah masa pemerintahannya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, raja yang memerintah di waktu yang berdekatan dengan angka tahun penerbitan prasasti Wwahan adalah masa pemerintahan Siṇḍok dan Airlangga. Siṇḍok memerintah sekurang-kurangnya sejak tahun 851 Ś (929 M) sampai 870 Ś (948 M) (Soemadio, (ed) 2008, : 187). Sejak bukti terakhir dari Siṇḍok hingga bukti terawal dari Airlangga terdapat 70 tahun dimana hanya dijumpai sedikit sekali data sejarah pada rentang waktu tersebut, sehingga seringkali disebutkan sebagai masa gelap dalam urutan sejarah pemerintahan kerajaan di Jawa Timur. (Soemadio, (ed) 2008 : 196). Dalam masa gelap 70 tahun kekosongan antara masa pemerintahan Siṇḍok dan Airlangga bukan berarti tidak ditemukan apapun yang dapat menjelaskan mengenai situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu, hanya saja data dan sumber yang ada, baik berupa naskah maupun prasasti tidak mencukupi untuk dirangkai menjadi sebuah cerita dengan kronologis yang lengkap.

Pada rentang masa gelap 70 tahun kekosongan ini hanya ditemukan tiga buah prasasti yaitu prasasti Hara-hara 888 Śaka, prasasti Kawambang Kulwan 913 Śaka, dan prasasti Lucěm 934 Śaka. Sayangnya ketiga prasasti tersebut tidak menyebutkan nama raja yang memerintah di masa kekosongan antara Siṇḍok hingga Airlangga. Penyebutan mengenai keberadaan raja lain yang memerintah pada rentang waktu tersebut diperoleh dari prasasti Pucangan 963 Śaka yang dikeluarkan oleh Airlangga dan menyebutkan silsilah raja-raja pendahulu Airlangga. Dalam prasasti Pucangan 963 Śaka ini diceritakan mengenai penyerangan yang dilakukan seorang raja bawahan terhadap seorang raja yang memerintah sebelum masa pemerintahan Airlangga yang bernama Dharmmawangśa Tguh, yang merupakan mertua dari Airlangga.

Masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh kurang lebih dapat diperkirakan dari sebuah naskah yang disadur pada masa pemerintahannya yaitu kitab

Wirataparwa yang terbit tahun 918 Ś. Kitab ini

menyebutkan nama Śri Dharmmawangśa Tguh Anantawikrama sebagai raja pada saat itu dan yang memerintahkan penulisan kitab Wirataparwa 918 Śaka. Penerbitan kitab ini hanya berjarak lima tahun dengan penerbitan prasasti Kawambang Kulwan 913 Śaka, yang artinya dapat diambil kesimpulan bahwa prasasti Kawambang Kulwan 913 Śaka dikeluarkan pada masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh atau Śri Dharmmawangśa Tguh Anantawikrama apabila mengikuti nama dalam kitab Wirataparwa 918 Śaka.

Keberadaan Dharmmawangśa Tguh diperkuat juga dengan adanya pengakuan dari seorang raja yang bernama Śri Jayawarśa Digwijaya Śastraprabhu yang mengaku sebagai cucu anak (cicit) dari Sang Apañji Wijayaměrtawardhana yang

(3)

bergelar abhiseka yaitu Śri Iśana Dharmmawangśa Tguh Anantawikramotunggadewa. Pengakuan ini terdapat dalam prasasti Sirahketing (1126 Ś) dan Mruwak (1108 Ś), yang juga merupakan bukti termuda yang menyebut nama Dharmmawangśa Tguh. (Soemadio, (ed): ).

Selain sumber-sumber baik prasasti maupun

naskah, terdapat sumber berita asing lain yang dapat

menjadi penanda keberadaan aktivitas masa pemerintahan di Jawa pada masa kosong 70 tahun tersebut. Sumber berita asing tersebut adalah sumber berita Cina yang menyatakan pada tahun 914 Ś (992 M) ada pengiriman utusan dari Jawa (She-p’o) ke Cina yang dikirim oleh raja Mu-lo-ch’a. Raja ini mengirim 3 orang utusan yaitu T’o-Chan, P’u A Li,

dan Li-t’o-na-chia-teng yang menghadap raja dan

menceritakan bahwa seorang pedagang Cina sudah sering singgah di Jawa. Kedatangan mereka dalam rangka mempersembahkan upeti dan menceritakan bahwa negaranya (She-p’o) sedang bermusuhan dengan San-fo-ch’i (Śriwijaya) yang keduanya selalu berperang (Soemadio, ed, 2008 : 199-200). Keterangan ini diperkuat dengan keterangan lain yang menyatakan bahwa seorang utusan Śriwijaya yang datang ke Cina pada 920 Ś (998 M) tertahan di Kanton dan tidak bisa pulang karena kerajaannya diserang tentara Jawa. Pada tahun 914 Ś (992 M) ia berlayar ke Campa, tetapi karena belum mendapat kabar gembira dari kerajaannya maka ia kembali ke Cina dan meminta surat dari raja. Penyerangan yang dilakukan Jawa ke Śriwijaya diasumsikan oleh L.Ch Damais terjadi di masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh (Soemadio, ed, 2008 : 200).

Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah bagaimana isi prasasti Wwahan dapat membantu mengungkapkan data-data sejarah pada masa gelap dalam rentang waktu 70 tahun diantara masa pemerintahan Siṇḍok-Airlangga?

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai peristiwa yang terjadi pada masa gelap di Jawa antara tahun 870 Ś sampai 940 Ś. Usaha mengisi kekosongan ini menjadi penting karena terdapat sumber-sumber yang menyatakan keberadaan pemerintahan seorang raja yang bernama Dharmmawangśa Tguh. Berita mengenai masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh tersebut kebanyakan didapatkan melalui sumber sekunder seperti berita Cina dan Kitab Wirataparwwa

(918 Ś) serta sumber prasasti yang diperbandingkan

yaitu prasasti sejaman dan prasasti tidak sejaman. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai peristiwa yang terjadi pada saat itu terutama dalam masa pemerintahan raja Dharmmawangśa Tguh.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang berbentuk penjabaran data dengan deskripsi. Penjabaran yang dilakukan akan membentuk sebuah kumpulan data berbentuk kata-kata atau gambar, serta mempergunakan tabell untuk memperjelas gambaran data yang dijabarkan.

Metode yang digunakan untuk melakukan sebuah penelitian epigrafi secara garis besar terdiri atas tiga tahapan. Tahapan pertama yaitu pengumpulan data, tahap yaitu pengolahan data, dan tahap ketiga yaitu penafsiran data (Susanti, 1997 : 134-135). Penelitian mengenai prasasti Wwahan ini dilakukan mulai tahap pengumpulan data sampai pada tahap penafsiran data.

Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Tahap pengumpulan data : pada tahap ini peneliti melakukan penelusuran dan pengumpulan data terhadap data-data awal yang berkaitan dengan data utama, dalam hal ini adalah prasasti Wwahan. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan melalui penelusuran pustaka dan pengumpulan data lapangan.

2. Tahap Pengolahan Data : tahap pengolahan data ini bertujuan untuk menilai keabsahan data yang terkandung dalam sebuah prasasti. Menilai keabsahan data dilakukan dengan cara membandingkan setiap unsur yang terdapat dalam prasasti tersebut dengan sumber-sumber data sejenis dan sejaman. Kritik teks dilakukan untuk mengecek dan memastikan bahwa prasasti Wwahan merupakan prasasti yang memiliki kesinambungan dengan prasasti-prasasti sejaman, serta untuk membuktikan bahwa prasasti ini memang dikeluarkan pada masanya.

Sebelum melakukan kritik, tahapan awal yang dilakukan adalah membuat alih aksara dan alih bahasa beserta catatannya Pengalihaksaraan dilakukan dengan metode diplomatik, yang artinya proses pengalihaksaraan dilakukan mengikuti apa yang tertulis pada prasasti tanpa memberikan perbaikan atau penambahan apapun. Setelah selesai melakukan pengalihaksaraan dilakukan pembuatan catatan alih aksara yang berisikan perbaikan-perbaikan, penambahan, dan penjelasan terhadap hal-hal yang dianggap meragukan pada proses alihaksara yang dilakukan. Pembuatan catatan alihaksara ini sebagai sarana untuk komunikasi antara penulis prasasti dan peneliti. Pengalihbahasaan dilakukan dengan bantuan Kamus Jawa kuna untuk melihat arti dari masing-masing kata dalam prasasti Wwahan.

Setelah tahapan pengalihaksaraan dan pengalihbahasan selesai barulah dilakukan kritik. Ada

(4)

dua macam kritik teks yaitu kritik intern dan kritik ekstern, yaitu:

a. Kritik ekstern : membandingkan hal-hal yang berupa faktor pembentuk dari sebuah prasasti. Pada kritik ini yang diamati secara teliti adalah hal-hal yang sifatnya fisik, meliputi bentuk, bahan, aksara, gaya penulisan, serta kronologi. Hal-hal yang dikritik tersebut dibandingkan dengan sumber-sumber sejaman. Tujuannya untuk menguji keotentikan prasasti ini apabila dibandingkan dengan prasasti sejaman lain.

b. Kritik intern : membandingkan hal-hal yang merupakan bahasa dan isi dari prasasti Wwahan. Tujuan dilakukannya kritik ini adalah untuk menguji kredibilitas prasasti Wwahan. Pada kritik ini yang diamati secara teliti adalah kata dan wacana, karena pada umumnya penggunaan kata-kata, istilah, serta pola wacana dalam masa Jawa Kuna sama dan khas sehingga memunculkan pola yang sama.

3. Tahap Penafsiran Data : tahapan ini merupakan tahapan penilaian terhadap hal-hal yang diperoleh dari prasasti disertai dengan perbandingan data pembanding dan juga asumsi-asumsi para ahli yang berhubungan dengan tujuan penelitian.. Diharapkan pada tahapan ini sudah diperoleh data-data mengenai isi dari prasasti Wwahan.

Diharapkan dengan penyusunan ini akan muncul sebuah gambaran akan peristiwa yang terjadi. Penyusunan yang dilakukan juga disertai dengan asumsi-asumsi dari para ahli untuk menguatkan data-data yang ada. Dari pengolahan tersebut dihasilkan asumsi awal empat pilar sejarah yaitu peristiwa, tokoh, kronologi, dan geografi.

Historiografi Kerajaan Mataram Kuna di

Jawa Timur

Kerajaan Mataram dimulai dengan munculnya sebuah dinasti baru di pulau Jawa yang menamakan dirinya Wangśa Śailendra. Wangśa Śailendra ini membangun pemerintahannya secara turun-temurun di wilayah Jawa Tengah. Kejayaan wangsa Śailendra sayangnya tidak dapat bertahan seiring berbagai hal internal maupun eksternal yang terjadi dalam pemerintahannya. Kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang diperintah turun-temurun oleh wangśa Śailendra akhirnya secara berangsur-angsur mengalami perpindahan ke Jawa Timur. Pendapat yang paling populer mengenai perpindahan ini adalah karena adanya bencana besar yang terjadi di wilayah Mataram Kuna. Bencana besar ini diasumsikan terjadi pada masa pemerintahan Rakai Sumba yang terhenti secara tiba-tiba akibat letusan Gunung Merapi yang dianggap juga sebagai pralaya atau kehancuran dunia (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008 : 184). Masyarakat Mataram Kuna yang selamat

berbondong-bondong menyelamatkan diri ke arah timur. Pengungsian ini menuju wilayah Kanuruhan di Jawa timur yang kemudian menjadi tempat Pu Sindok membangun ibu kota baru yaitu di wilayah Tamwlang (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008 : 184).

Pemerintahan Pu Siṇḍok

Perpindahan pusat kekuasaan Matarām Kuna ke Jawa Timur juga membawa perubahan pada nama

wangsa yang dipakai oleh keturunan Matarām. Sejak

terjadinya perpindahan ke timur dan pembangunan ibukota kerajaan baru terdengarlah istilah wangsa

Iśāna. Wangsa Iśāna ini adalah wangsa baru yang

didirikan oleh Pu Siṇḍok karena perpindahan kerajaan ke Jawa Timur yang disebabkan oleh kehancuran peradaban kerajaan Matarām di Jawa Tengah membentuk sebuah peradaban baru, kerajaan baru yang harus dibarengi dengan wangsa yang baru pula. Pembaharuan seluruh sisi kehidupan kerajaan Matarām di Jawa Timur ini diharapkan membentuk sebuah dunia baru yang sesuai dengan landasan kosmogonis kerajaan kuna pada waktu itu (Soemadio,

ed, 2008: 184-184).

Pada masa pemerintahan Pu Siṇḍok, prasasti-prasasti yang ditemukan sebagian besar bercerita mengenai penetapan sīma, baik oleh Pu Siṇḍok sebagai raja maupun pejabat pemerintahan yang berwenang. Berita mengenai politik dari Pu Siṇḍok juga tidak diketahui secara pasti, karena kurangnya sumber yang berbicara mengenai sistem politik kerajaan Matarām dibawah pemerintahan Pu Siṇḍok. Meskipun demikian, berdasarkan sumber prasasti diketahui bahwa terjadi perpindahan ibukota kerajaan Matarām dari yang awalnya di Tamwlang menjadi di Watugaluh seperti yang disebutkan dalam prasasti Añjukladang dan Paradah (Soemadio, ed, 2008 : 195). Prasasti Kamalagyan dan Pucangan yang menyebutkan keberadaan tempat pemujaan bagi Pu Siṇḍok yang disebut Iśānabhawana, sehingga dapat disimpulkan kedua prasasti ini menuturkan mengenai wafatnya Pu Siṇḍok (Soemadio, ed, 2008 : 187).

Pemerintahan Dharmmawangśa Tguh

Setelah masa pemerintahan Siṇḍok berakhir terdapat suatu masa saat berita yang ditemukan mengenai keadaan Jawa pada waktu itu sangatlah minim. Selama lebih kurang 70 tahun informasi yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan siapa pemegang kekuasaan di wilayah Jawa Timur yang meneruskan pemerintahan Pu Siṇḍok sangat terbatas. Ada beberapa prasasti yang ditemukan dan angka tahun yang tertera di dalamnya berada dalam rentang

(5)

waktu masa 70 tahun masa gelap antara Siṇḍok hingga Airlangga. Prasasti-prasasti yang termasuk dalam rentang waktu tersebut adalah prasasti Hara-hara (888 Ś) , prasasti Kawambang Kulwan (913 Ś) serta prasasti Lucěm (934 Ś). Berdasarkan angka tahun penerbitan prasasti-prasasti tersebut prasasti ini berasal dari masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh (Soemadio, ed, 2008 : 196-197). Nama Dharmmawangśa Tguh pertama kali muncul dalam kitab Wirataparwwa yang berangka tahun 918 Ś (Zoetmulder, 1985 : 110-111). Kemunculan nama Dharmmawangśa Tguh dalam kitab tersebut diikuti dengan penyebutan nama Dharmmawangśa Tguh dalam prasasti Pucangan (959 Ś) (Susanti, 2010 : 135-136; Djafar, 1991 : 50). Sumber termuda yang menyebutkan nama Dharmmawangśa Tguh adalah prasasti Sirahketing (1126 Ś) (Soemadio, ed, 2008 : 198).

Keberadaan aktivitas pemerintahan di Jawa pada rentang waktu 70 tahun antara Siṇḍok dan Airlangga didapatkan dari beberapa sumber, antara lain Sumber luar negeri yang menyiratkan keberadaan kegiatan di wilayah Jawa adalah sumber berita Cina yang menyatakan pada tahun 914 Ś (992 M) ada pengiriman utusan dari Jawa (She-p’o) ke Cina yang dikirim oleh raja Mu-lo-ch’a, Raja ini mengirim 3 orang utusan yaitu T’o-Chan, P’u A Li, dan

Li-t’o-na-chia-teng yang menghadap raja dan menceritakan

bahwa seorang pedagang Cina sudah sering singgah di Jawa (Soemadio, ed, 2008 : 199-200). Keterangan ini diperkuat dengan keterangan lain yang menyatakan bahwa seorang utusan Śrīwijaya yang datang ke Cina pada 920 Ś (998 M) tertahan di Kanton tidak bisa pulang ke kerajaannya karena kerajaannya diserang tentara Jawa. Pada tahun 914 Ś (992 M) ia berlayar ke Campa, tetapi karena belum mendapat kabar dari kerajaannya maka ia kembali ke Cina dan meminta surat dari raja. Penyerangan yang dilakukan Jawa ke Śrīwijaya diasumsikan oleh L.Ch Damais terjadi di masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh (Soemadio, ed, 2008 : 200). Sumber tertulis sejaman yang menyiratkan keberadaan Dharmmawangśa Tguh sebagai raja pada rentang waktu 70 tahun tersebut adalah munculnya kitab Wirataparwwa yang berangka tahun 918Ś yang menyebutkan nama Śrī Dharmmawangśa Tguh Anantawikramo ttunggadewa pada bagian pembukaannya (Zoetmulder, 1985 : 110-111). Penulisan kitab ini ke dalam bahasa Jawa atas perintah Dharmmawangśa Tguh dan menjadi petunjuk penting keberadaan suatu kegiatan kerajaan yang cukup berpengaruh di Jawa. Penyaduran kitab

Wirataparwwa menunjukkan bahwa dari bidang

sastra Tguh merupakan pionir yang berinisiatif untuk mengeluarkan perintah penyaduran epos Mahābarata, perhatian Tguh terhadap perkembangan seni sastra di

kerajaannya dapat menjadi indikasi perkembangan yang terjadi di tanah Jawa pada saat itu. Sumber prasasti setelah masa gelap 70 tahun yang menyebutkan secara jelas mengenai keberadaan Dharmmawangśa Tguh adalah prasasti Pucangan (959 Ś) yang dikeluarkan oleh raja Airlangga. Silsilah dalam prasasti ini dimulai dengan penyebutan nama seorang raja yaitu Śrī Iśana Tungga (Pu Siṇḍok). Pu Siṇḍok memiliki seorang puteri yang menggantikannya memerintah yaitu Śrī Iśanatunggawijaya yang kemudian bersuamikan Śrī Lokapala. Karena pernikahannya tersebut Śrī Lokapala naik tahta dan meneruskan Pu Siṇḍok sebagai raja. Śrī Iśanatunggawijaya dan Śrī Lokapala memiliki putera yang bergelar Śrī Makutawangsawardhana yang menggantikan kedua orang tuanya. Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa Śrī Makutawangsawardhana memiliki seorang puteri yaitu Gunapryadharmapatni yang kemudian menikah dengan Udayana Warmadewa (seorang raja dari Bali). Ketika Śrī Makutawangsawardhana turun tahta

penggantinya bukanlah

Gunapryadharmapatni,melainkan Dharmmawangśa Tguh Anantawikrama yang diperkirakan adalah saudara laki-laki Gunapriyadharmapatni (Susanti, 2010 : 135-136).

Setelah menikahkan puterinya dengan Airlangga yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, Dharmmawangśa Tguh mendapat serangan dari Haji Wurawari yang meluluhlantakkan ibukota kerajaan Matarām. Penyerangan oleh Haji Wurawari ini terjadi pada 939 Śaka (Soemadio, ed, 2008:201). Haji Wurawari melakukan penyerangan dari Lwaram, yang menyebabkan banyak pejabat pemerintah dan rakyat yang meninggal, termasuk Dharmmawangśa Tguh sendiri, sehingga digambarkan sebagai pralaya di Pulau Jawa (Soemadio, ed, 2008:201). Pendharmaan dari Śrī Maharaja Dharmmawangśa Tguh disebutkan dalam prasasti Pucangan terdapat di Wwatan dan disebut dharma parhyangan (Soemadio,

ed, 2008:202)

Selain prasasti Pucangan (959 Ś), prasasti lain yang juga menyebut nama Dharmmawangśa Tguh secara tegas adalah prasasti Sirahketing (1126 Ś). Prasasti ini menyebutkan nama Raja Digwijaya Śastraprabhu yang merupakan cucu anak dari Sang Apanji Wijayaměrtawarddhana yang merupakan gelar

abhiseka dari Raja Śrī Iśana Dharmmawangśa Tguh

Anantawikramo ttunggadewa (Soemadio, ed, 2008 : 198).

Pusat kekuasaan Raja Dharmmawangśa Tguh diperkirakan berada di sebelah utara Maospati, tepatnya kemungkinan berada di Desa Ngloram di tepi Bengawan Solo di selatan Cepu. Wilayah di utara Maospati ini saat ini didefinisikan sebagai Madiun. Keberadaan pusat pemerintahan Dharmmawangśa

(6)

Tguh di Madiun ini didapatkan dari data-data prasasti dan juga hasil rekonstruksi B. Schrieke (Soemadio, ed, 2008 : 201).

Pemerintahan Airlangga

Masa pemerintahan Dharmmawangśa Airlangga dimulai sejak masa penobatannya, yaitu 941 Śaka (Soemadio, ed, 2008:204). Penobatan Airlangga ini didukung dan direstui oleh seluruh pemuka agama dan rakyat Matarām, walaupun Airlangga bukanlah keturunan langsung dari wangsa Iśana. Airlangga dinobatkan sebagai Rake Halu Śrī Lokeśwara Dharmmawangśa Airlangga Anantawikramo ttuŋgadewa. Airlangga, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah menantu Dharmmawangśa Tguh yang berhasil selamat dari penyerangan raja Wurawari.

Pada masa pemerintahannya, Airlangga mengeluarkan prasasti Pucangan yang berisikan silsilah tentang dirinya dan raja-raja sebelumnya. Pembuatan silsilah ini dipahami sebagai usaha Airlangga untuk melegitimasi kesahan dirinya untuk menempati tahta sebagai raja Matarām. Selain berisikan silsilah, prasasti Pucangan yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna ini juga memuat tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Airlangga dalam usahanya merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaan Matarām.

Masa pemerintahan Airlangga menjadi masa kejayaan dalam sejarah Matarām di Jawa Timur. Awal pemerintahannya dimulai dengan penaklukan raja-raja bawahan. Setelah Airlangga mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya, pemerintahannya difokuskan kepada pembangunan kerajaan dan kesejahteraan rakyat.

Keadaan Prasasti

Prasasti Wwahan dibuat dari batu andesit sebagai bahan dasar yang dipahat berbentuk blok berpuncak akolade serta berbentuk cembung menyerupai badan perahu di bagian belakang. Ukuran prasasti ini tinggi 188 cm, lebar 85 cm, serta tebal 17 cm. Sisi depan saat ini sudah aus dan terlihat jejak-jejaknya saja, sisi belakang yang dipahat berbentuk cembung kurang lebih ada 31 baris yang sudah mulai aus untuk huruf-huruf yang berada di bagian awal dan akhir tiap-tiap baris. Sisi kanan ada kurang lebih 11 baris tulisan, sementara sisi kiri sudah aus dan tidak terlihat jejak pahatannya lagi. Besar huruf yang dipahatkan kurang lebih 1.5 sampai 2 cm dengan jarak antar baris sebesar 2 sampai 2.5 cm.

Secara fisik keseluruhan prasasti Wwahan masih dapat dikatakan utuh. Namun ada bagian-bagian tertentu yang mengalami kerusakan. Sisi

depan prasasti ini rata dan tidak terdapat tulisan,. Di hampir keseluruhan batunya terdapat lubang-lubang kecil dan halus serta di beberapa bagian terdapat lubang yang lebih besar dan agak dalam. Permukaan batu di sisi kanan prasasti ini tidak rata. Jejak-jejak tulisan terlihat seperti gurat-gurat tajam yang tidak terbaca di permukaan batu. Di bagian bawah yang bersikuan dengan sisi belakang terdapat patahan miring yang cukup tajam. Pada sisi belakang guratan-guratan yang teratur dan terbaca sebagai tulisan. Sebagaimana lazimnya prasasti yang dipahatkan pada batu, banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan dan kejelasan aksara yang terpahatkan. Kondisi dari batu prasasti sendiri dan jenisnya memegang peranan paling penting. Selain jenis batu dan kondisinya, faktor lain yang dapat mempengaruhi kejalasan aksara adalah faktor lingkungan seperti batu yang sering terpapar udara luar, tumbuhnya jamur ataupun kondisi lain seperti lubang pada batu, patahan, dan pahatan yang terlalu tipis. Aksara pada prasasti Wwahanpun juga mengalami kerusakan-kerusakan sehingga mengakibatkan kesulitan pembacaan.

Aksara yang dipergunakan dalam prasasti Wwahan adalah aksara Jawa Kuna yang memiliki kemiripan dengan aksara pada abad ke 10 Masehi yang berbentuk persegi tegak seperti yang biasa dipergunakan pada masa pemerintahan Raja Dakṣa (910-919 M), Tulodong (919-921 M), Wawa (921-929 M) dan Siṇḍok ((921-929-948 M) (Casparis, 1975 :38). Walaupun begitu, dalam prasasti ini juga ditemukan banyak kemiripan dengan aksara yang lazim dipergunakan pada masa Raja Airlangga (1018-1043 M) dengan bentuk persegi tegak dan memiliki kuncir (Casparis, 1975 :39). Bentuk-bentuk aksara seperti ta ( ), pa ( ), ma ( ), ra ( ), dan sa (

), serta penggunaan tanda paten ( ) dan –r- ( ) adalah bentuk yang lazim dipergunakan pada masa Siṇḍok yang terpengaruh gaya Airlangga yang menyerupai aksara pada pertengahan abad ke 10-11 M.

Bahasa yang dipergunakan dalam prasasti Wwahan adalah bahasa Jawa Kuna yang dalam penulisan maupun penyusunan kalimatnya mengikuti kaidah bahasa Jawa Kuna dengan segala penggunaan singkatan serta sandhi.

Merujuk pada data yang telah terungkap dari

Berita Penelitian Arkeologi Jawa Timur No. 47,

kemungkinan besar prasasti Wwahan merupakan prasasti sīma, hanya saja struktur pastinya belum dapat diketahui.

Alih Aksara Edisi Diplomatis

(7)

Aksara yang dituliskan pada sisi depan sudah tidak terbaca dikarenakan kondisi prasasti yang sudah aus. Saat ini sisi depan sudah rata dengan jejak-jejak aksara yang berupa jalur-jalur tipis yang tidak dapat dibaca ataupun dilihat dengan jelas.

b. Sisi Belakang

1. oṁ gaṁ bra lwa para (_ra) (pa) sa oṁ ma pā1ra rayi na2tya3 kwan dadu ṅa (ṅa) ja (gya) _ lya sa _ bweŋ(?)4_ nya h pargila bha _

2. ga pasiran salaka pakaluŋku5 luṅa di _ li şu jtwa ggra (_u) _ (ṅu) juru _ ma bha pā _ (pşa) _ (ca) _ _ (gya) (r_) samarga bha rda _ na _

3. na sa ṅa ki ta srawŗta6 wargga haji ri wwahan tka ri pu mawuju riŋ uwaleŋ7 jiwa8 ____9 rpa10 dāna bhawa11 ra _12 ṅa13ndana14 ma n_15 _ ri n_16 4. parigraha g_17 di pa gi ma ni ya jam somawā_18

(s) way (_h) wam (ńa) ya (ṅṅah) _ ma na sa ma ra wa _ _ _ ta (gya/gra) pa ba sī (tu/ku) _ _ şa ___________________

5. (pśi/mśi) (_u) la sa nā (na/nra) pratisantāna wargga haji tka ri dlaha niŋ19 _laha20 wajra (p_) ba _ _ nā ga d(r)a21 prabhu kumara sě b_22 nya du _gā23 mgu _u24 sta25 _

6. _ _ _ _ m_26 hlě p ri pratisutha27 dwa saŋ hyaŋ ra_28 praśasti kmi__29 warg(ga)30 ha_31 salwah _ ni pa ṅ_32 na _ saŋ33 hyaŋ wa _ sa di

7. _ nigraha ka tu sŗ _34 _ A di35 hi r maṅdi tapa bwāŋ36 mapaga Śri dwakarini(?)37_ _ kra ha _ _ _ _ _ _ _ _ _ _kamuŋ hyaŋ Śrī harica

8. ṅda_38 _ _ ma _ _39rwwa_40kṣina paścimah uttara _ _ gwa ya _ nara41kiḥ _ _ _ _ya42 ddarma43 _ rd_44 _ _ _ _ ma w_45 ___________

9. ________________ ma _ _ _ _ (rra) ha tra sand4647traya48 yakşa ra49kṣasaḥ pisaca ka pu da na _ pa _ sura _

10. nra gŗ ra graha kiraṇā50 maho51raga _t_ri52 L53kapala yamā54 baruṇa kuwera _ gra ma r putradewatā _ pa

11. (wci/ryi) _ ma_55kāla rpa (_yi) na _ _ _ nāgarājā durgga56dewi57 catu_58śra _59nakta hyaŋkālā mŗtyu ________

12. _ r riŋ ma_60 bhumi mataram riŋ watugaluḥ _ ti kaŋ sakala (_i) gŗ ti (d(r)a) ramāna61 _ _ _ (rpa/rla) wa (na) _ _ _ mi (na) wdi _ na mi lu 13. mi su di sarwwabhuta a _ la dyě (kě)62 nta wā

(wa) ta samaya sapa ra63ma ma ma me ra to _ _ _ ti ka dya na _ _ _ _ ma ňňnu _ _ _ _

14. prata64sti kmītan wargga haji mo(dŗa)65 brahmaņa mokṣa (wşa) dri __66 wa wa şya _ _ dra na _ ra (ṅṅaŋ) _ _ ta _ nāŋ şa _

15. nye _ wa tya nu mu (sşa/sya/yya) pu lah a _ saŋ hyaŋ rala67 praśasti kmitan wargga haji _ _ _ _ _ (ka/ta) (_/_ _) tya ka bhŗe _ _ pa kya nu /_68 16. hyaŋ (rā)ya (nńa) lwa patiyata rawāli _ ri _ _ _ _

_ _ la _ lib u na nya ta (ru/bhu/gu) ṅa (dta/dka) n _ yya p ri mi ra da yu

17. (ne/ni) (na) (wŗah) tutu guņanya rsi/

/cattarpa(?)69/ la nya _ n_ /nusukňya/ (wtwa) ka (lā/ņa) lě ma nra /dwa/ ______ di _ya70 p_71 na r ____________72 rā _

18. pinehaken drā73 ṇa _tī74 kā ___75 _ta76 nu ya n paja ra __________________________77

19. ḍa da ḍu _ śa78rjawā79 ya (mrě) pga ni gla ṣ (se) mpa _ ne na rā _ _ sa _ _ _ pwa _ la _ pṣya _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

20. sir a twa ni dalě80 me ra _ daṅu81 hěneŋ82 di ṅi83waddha (gi) bha ga puṅgwa84 ha _ ya swananya ma ________

21. _ sa ba _ na nu _ ṣīwa twa ya _______85 w_ra86 śwa gu yya _ _ wa lā ni na _______________ 22. ji _ dra rne nya ma sḍa _ _ _ _ maṅkana

lawasanyā pu87 (ścha) ba _ mawa kra __________________88

23. __________ hu la _ gi nya nugraha sarwa bhuta prabhu _______________________89

24. _ _ pu _ _ da ri ma salya gaja pra_90sti riŋ madrarŗilaŋ(?)91ha pā ca n maṅiri _ bhra _ nu _śa ________ ńa _______

25. maya bhu92 maren93 ma pa (g/ga/gra)94 mara ṅke sima ṅaran sěḍwa95ḥ rīŋ dba wā ni na _yā n ja ja na ri wa _ ______________

26. _ ka mayan maren -ū wra di srah mre da ṅki si majar nra la lṣī la ri pi jgi rya ka ta n ma _ _ /waṅśa/ na ṣa ra /ṅke/ ṣī ṅa _96

27. _ kawa muka samgat ja (ṣgī/pgi) ta n mapańjī /takirrala(?)97/ /mwaŋ/ rakalagyan(?)98ka wā _ _ na _ ja _ _ _ _ pa ma ra ṅti ma ja

28. _ _ _ _ _ _bha _ _ca rgge _______________99 na ri ma si _ _ _ pra ja _ _ nu _ kwa _ _ya ha _ya _ rrā ṁdi ________100 ra _gga

29. _ ha ga _ _ca tu ma ba t_ ṣa wa muḥ /wargga/ /haji/ /wwahan/ /lwīrnya/ ni mga nu ja _ sa _ _ _ śa la ma pa _ hra gra _

30. ___________ da _ _ _ so __________________101 ha _ ha _ gga _ ta di yya _________

_ ṣa _ _ ga r_ śa _ _ _ _ wa sa _ nu li sā ka ti kbe tra _ _ ga ma ntā __

c. Sisi Kanan

Aksara pada sisi kanan sudah tidak terbaca akibat aus dan kerusakan pada batu prasasti. Saat ini sisi kanan sudah rata dan halus dan sangat sulit untuk melihat jejak-jejak pahatan aksaranya.

d. Sisi Kiri 1. ra ra _ rmya ṣa 2. ra _ _ rpa

3. (re/ri) wdha _ _ sa 4. śrī rakā lta ṅi 5. _ _i bha ṅra 6. _ _ mu _ 7. _i ji ra ru _ 8. _ _ā sa ja

(8)

9. __________102 10. _ya (māŋ/ maŋ ga) _ 11. k_āŋ ra de jda 12. __________103 13. _ _ (gu/gra) _ 14. _ ta

15. _ra _ srā bha 16. bṣa tar u pśa 17. _ _ńa la _ 18. _ ṅi jya 19. _ ṅi _ pi 20. mā _____ 21. _ ga ma _sa _ 22. _ _ _i 23. _________104 24. ___105 pa jyaŋ sa _ 25. _ rbha ja _ 26. _ṣa ma _jṣa 27. _______106 śa 28. _________107 29. __________108 30. __________109 31. __________110 32. _ nu ______111 33. ________112 śa 34. __________113 35. ________114 _ya 36. sa ____ rā ___ 37. _________115 bha 38. __________116 39. __________117 40. __________118 41. __________119 42. _______120 rjra 43. __________121 44. __________122 45. __________123 46. __________124

Catatan Alih Aksara

1. Seharusnya vokal a yang digunakan adalah vokal tunggal, bukan vokal panjang

2. Vokal a yang dipergunakan seharusnya a panjang.

3. Aksara t yang dipergunakan seharusnya ṭ. 4. Penggunaan vokalisasi ě diragukan karena

bentuknya yang menyerupai vokalisasi i dengan garis ditengah dan dua titik di kanan dan kiri garis ( ), anusvara tidak terlihat namun diasosiasikan keberadaannya.

5. Di dalam kamus Jawa Kuna terbitan Zoetmulder, kata yang ditemukan adalah pakaluŋkuŋ.

6. Aksara kedua kemungkinan besar bukan wŗ tetapi wi, sehingga membentuk kata srawita.

7. Pembacaan uwaleng sangat diragukan karena aksara pertama menyerupai aksara U tetapi kurang jelas. Di atas aksara le ada titik yang menyerupai anusvara.

8. Aksara ja agak kabur dan di atasnya ada tanda ulu kosong yang menyerupai vokalisasi i. 9. Sekitar 3 sampai 4 aksara tidak terbaca.

10. R pada awalan aksara rpa adalah layar yang menyerupai tanda paten.

11. Apabila benar membentuk kata bhawa didalam kamus tidak menggunakan bh hanya b saja.

12. Aksaranya tidak terlihat namun terlihat keberadaan tanda paten.

13. Aksara pertama seharusnya menggunakan ṅ bukan n.

14. Aksara na terakhir diragukan antara bha atau na, melihat kata dalam kamus lebih mengacu kepada na.

15. Aksara pasangan yang menempel di aksara na tidak terbaca.

16. Aksara pasangan yang menempel di aksara na tidak terbaca, kemungkinan besar sa.

17. Aksara pasangan yang menempel pada aksara ga tidak terbaca.

18. Aksara terakhir yang tidak terbaca kemungkinan adalah ra mengacu pada kamus Jawa Kuna karangan Zoetmulder halaman 1114, somawara. 19. Penggunaan anusvara sudah tidak nampak,

namun dianggap ning, sebagai kesatuan dlaha

ning dlaha.

20. Melihat kata dlaha niŋ yang mengawali dapat dipastikan kata berikutnya pasti dlaha, aksara da pembentuk kata dlaha ini tertutup rompal pada batu, hanya terlihat pasangan la dan aksara ha yang meragukan.

21. Di bawah aksara da terdapat goresan melengkung yang kurang jelas yang menyerupai pasangan ra. 22. Aksara ba di bawahnya terdapat guratan yang

menyerupai aksara ga, namun kurang jelas. 23. Aksara awalnya menyerupai na tetapi diragukan

karena hanya terlihat sedikit, pasangan menyerupai ga dengan vokalisasi a panjang (ā). 24. Aksara awalnya tidak terbaca, tetapi terlihat

keberadaan pasangan –u.

25. Dibawah pasangan ta ada garis melengkung yang menyerupai pasangan ya, namun diragukan karena kondisi batu yang agak berlubang. 26. Pasangan kurang jelas.

27. Pada kamus ditemukan kata pratisutha tanpa th yang dituliskan pratisuta.

28. Bentuk aksara tidak lengkap sehingga tidak dapat dimaknai sebagai suatu aksara tertentu, tetapi melihat kepada kata yang menyertainya kemungkinan besar membentuk kata ajna haji.

(9)

29. Hanya ditemukan aksara kmi tetapi bisa dihubungkan dengan kata kmitan.

30. Tanda layar berbentuk seperti lengkungan diatas aksara ga, pasangan ga agak diragukan karena banyak guratan-guratan disekitarnya.

31. Aksara setelah ha agak kurang jelas, tetapi melihat diawal ada kata wargga dan ha kemungkinan besar adalah ji.

32. Pasangan tidak terbaca.

33. Diatas aksara sa ada kerusakan pada batu sehingga sulit dipastikan keberadaan anusvara. 34. Terlihat seperti aksara ba pada masa Sindok,

tetapi bisa merupakan angka 8 pada masa Airlangga.

35. Aksara ha diragukan dengan ba, vokalisasi -i juga menyerupai aksara ta tetapi berukuran kecil. 36. Kata bwāŋ seharusnya tidak mempergunakan

vocal a panjang (ā) cukup a biasa.

37. Karena dimulai dengan awalan Śri apakah menunjuk pada nama orang (?).

38. Aksara terakhir tidak terbaca, melihat konteks katanya kemungkinan na, sehingga membentuk kata haricandana.

39. Aksara pertama yang hilang kemungkinan pū, sehingga menjadi pūrbwadakṣina.

40. Aksara ketiga diragukan, kemungkinan besar adalah da.

41. Diatas aksara ra kecil menyerupai ga, masih diragukan apakah itu aksara berbeda atau vokalisasi i.

42. Aksara depan sudah tidak terbaca, hanya tersisa pasangan ya.

43. Dalam kamus Zoetmulder (1995, 197) dan kamus Mardiwarsito (1990, 171-172) kata yang baku adalah dharma, bukan ddarma.

44. Pasangan yang kedua tidak telihat bentuknya kemungkinan besar adalah pasangan da.

45. Aksara pasangan masih diragukan. 46. Seharusnya menggunakan dh.

47. Penggunaan vokal a kurang tepat, seharusnya menggunakan vokal a tunggal bukan a panjang. 48. Kesalahan penggunaan vokal a, seharusnya

mempergunakan vokal a panjang (ā) bukan a tunggal.

49. Kesalahan penggunaan vokal a, seharusnya mempergunakan vokal a panjang (ā) bukan a tunggal.

50. Dalam hubungannya dengan rangkaian penyebutan nama dewa-dewa, kata kiraṇā tidak memiliki hubungan yang sesuai, besar kemungkinan seharusnya tertulis kinnāra. 51. Penulisan aksara ho agak diragukan karena

vokalisasi o membuat terlihat seperti aksara ńa. 52. Kemungkinan catwari.

53. Seharusnya mempergunakan aksara la dengan vokalisasi o, bukan la dengan paten.

54. Aksara ma seharusnya tidak diberikan vokalisasi a panjang (ā), cukup a tunggal.

55. Aksara tidak terbaca tapi kemungkinan besar ha, sehingga menjadi maha.

56. Penggunaan vokalisasi yang tepat adalah a panjang (ā).

57. Penggunaan vokalisasi yang tepat adalah I panjang (ī).

58. Aksara hilang tapi melihat konteks katanya kemungkinan ra, sehingga menjadi caturaśra. 59. Aksara hilang, kemungkinan besar aksara a,

sehingga menjadi kata anakta.

60. Aksara hilang karena tertutup titik hitam, kemungkinan aksara sa, sehingga menjadi kata

masa.

61. Pada kamus terdapat kata ramānaŋ alih-alih kata

ramāna.

62. Vokalisasi yang terdapat diatas aksara ka menyerupai vokalisasi i dengan dua garis diagonal sejajar didalamnya. Dibaca sebagai kě karena mengacu pada kata dikamus yaitu kěnta. 63. Vokalisasi a yang dipergunakan dengan aksara ra

seharusnya vokal a panjang (ā) bukan a tunggal. 64. Kesalahan penulisan oleh citraleka seharusnya

śa.

65. Tidak ditemukan kata modŗa pada kamus. 66. Kemungkinan ada dua aksara yang tidak terbaca. 67. Aksara ini kurang jelas terbaca, namun dari yang

dapat terlihat sepertinya membentuk aksara la. 68. Melihat kata berikutnya adalah hyaŋ,

kemungkinan besar yang dipahatkan adalah kata

saŋ.

69. Dicurigai sebagai nama orang karena dimulai dengan kata rsi.

70. Aksara awalnya hilang, hanya terlihat pasangan ya.

71. Vokalisasinya tidak nampak, seperti vokalisasi u tetapi menyerupai pasangan ra.

72. Aksara yang tidak dapat dibaca lebih dari satu. 73. Aksara tidak terlalu jelas.

74. Aksara awal tidak begitu jelas, dengan sambungan ta dan vokalisasi I panjang (ī). 75. Satu atau lebih aksara hilang.

76. Aksara awal diragukan antara ta atau wa.

77. Aksara berikutnya tidak terbaca karena penulisan yang tipis dan kerusakan pada batu.

78. Vokal yang dipergunakan seharusnya a panjang (ā).

79. Vokal yang mengikuti aksara wa seharusnya adalah a tunggal.

80. Kata yang ada di kamus adalah dalěm. 81. Penulisan daṅu kurang tepat, seharusnya daŋu. 82. Pada penulisan hěneng seharusnya kedua

vokalisasi e menggunakan e pěpět (ě)

83. Kesalahan penulisan, seharusnya menggunakan na bukan ṅa.

(10)

84. Kesalahan penulisan, seharusnya puŋgawa bukan

puṅgwa.

85. Lebih dari satu aksara tidak terbaca. 86. Aksara pasangan dari ra tidak terbaca. 87. Menunjuk kepada gelar.

88. Aksara-aksara akhir tidak terbaca.

89. Sisa aksara di bagian akhir tidak terbaca.

90. Kemungkinan besar aksara yang hilang adalah sa, sehingga menjadi kata prasasti.

91. Diperkirakan adalah nama tempat. 92. Singkatan dari bhumi.

93. Shandi, mara+in.

94. Menyerupai ga tetapi memiliki pasangan seperti tanda paten.

95. Kata sěḍwaḥ tidak ada dalam kamus, kata yang ada sěḍaḥ.

96. Ragu-ragu karena tulisan setengah hilang, menyerupai pa.

97. Kemungkinan menyebut nama seorang mapanji. 98. Kemungkinan menyebut nama jabatan.

99. Beberapa aksara tidak terbaca. 100. Lebih dari satu aksara tidak terbaca. 101. Lebih dari satu huruf tidak terbaca. 102. Tulisan hilang.

103. Tulisan hilang. 104. Tulisan hilang.

105. Beberapa aksara yang hilang, tidak jelas jumlah aksaranya.

106. Beberapa aksara hilang, tidak jelas jumlahnya. 107. Tulisan hilang.

108. Tulisan hilang. 109. Tulisan hilang.

110. Tulisan terlihat namun rusak tidak terbaca. 111. Terlihat keberadaan beberapa aksara, namun

rusak tidak terbaca.

112. Terlihat beberapa aksara namun tidak terbaca karena kondisi rusak.

113. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 114. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 115. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 116. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 117. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 118. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 119. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 120. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 121. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 122. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 123. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca. 124. Aksara dalam baris tersebut rusak tidak terbaca.

Kritik Ekstern

Kritik ekstern yang dilakukan terhadap prasasti Wwahan bertujuan untuk melihat keaslian dari segi fisik pada prasasti tersebut. Keaslian yang

dimaksud adalah bahwa prasasti Wwahan merupakan prasasti yang ditulis pada masa pemerintahan raja yang mengeluarkan perintah. Hal-hal yang dicermati dalam kritik ekstern adalah unsur fisik dari prasasti tersebut seperti materi (bahan dan bentuk), ukuran, serta paleografi (aksara).

Prasasti Wwahan dipahatkan pada sebuah batu andesit berbentuk blok berpuncak akolade. Bahan baku prasasti pada umumnya menggunakan batu andesit dan batu padas. Pemilihan kedua jenis batu tersebut kemungkinan besar karena mudah ditemui dalam ukuran yang besar sehingga mudah dibentuk dan digurat.

Prasasti-prasasti yang ditemukan pada masa pemerintahan Dharmmawangsa Tguh sebagian besar menggunakan bahan yang terbuat dari batu, dua diantaranya yaitu prasasti Kawambang Kulwan dan prasasti Lucěm. Prasasti Kawambang Kulwan dipahatkan pada batu padas (Brandes, 1913:117- 119, Nakada, 1982: 106), sedangkan prasasati Lucěm diketahui dipahatkan pada sebuah batu alam berbentuk prisma berbahan andesit. Satu prasasti lain yang dikeluarkan pada masa Dharmmawangsa Tguh yaitu prasasti Hara-hara yang dituliskan pada lempeng tembaga (Brandes, 1913: 116).

Pada 15 prasasti yang dikeluarkan oleh Siṇḍok penggunaan prasasti dengan bahan batu ditemui pada 11 prasasti. Sementara empat prasasti lainnya yaitu prasasti Waharu II, prasasti Ālasantan, prasasti Kamban, dan prasasti Wurandungan I dituliskan di atas lempeng tembaga.

Pada prasasti Airlangga, dari sepuluh buah prasasti yang diperbandingkan, prasasti yang menggunakan bahan baku batu sebanyak delapan buah prasasti, dan dua buah prasasti dengan bahan tembaga. Prasasti yang menggunakan bahan tembaga adalah prasasti Kakurugan dan prasasti Gandakuti. Kedelapan prasasti lainnya yaitu prasasti Cane,

(11)

prasasti Munggut, prasasti Baru, prasasti Pucangan berbahasa Sansekerta, prasasti Kamalagyan, prasasti TurunHyang A, prasasti Pucangan berbahasa Jawa Kuna, dan prasasti Patakan menggunakan bahan dari batu, rata-rata jenis batuan yang digunakan adalah batu andesit.

Secara keseluruhan prasasti yang diterbitkan dalam masa pemerintahan Siṇḍok, Dharmmawangsa Tguh serta Airlangga lebih banyak menggunakan bahan batu, walaupun ada yang tidak diketahui jenis batuannya. Pada prasasti yang berbahan tembaga pun terlihat kesamaan mengenai bentuk dan ukurannya.

Setelah membandingkan bahan yang digunakan untuk membuat prasasti pada masa Siṇḍok, Dharmmawangsa Tguh, serta Airlangga yang akan dibandingkan berikutnya adalah bentuk dari prasasti yang dikeluarkan pada tiga jaman tersebut.

Prasasti Wwahan ditulis di atas batu andesit yang dibentuk dengan baik pada keseluruhan batunya menjadi bentuk blok dan juga bidang-bidang penulisannya dihaluskan. Bentuk stele yang dipilih oleh prasasti ini memudahkan pemahatan aksara yang akan ditulis dan juga keteraturan aksara yang ditulis. Bentuk dasarnya adalah blok batu dengan puncak akolade. Pada tiga sisi prasasti Wwahan yaitu sisi depan, sisi kiri dan sisi kanan, bidang penulisannya dibentuk rata dan datar. Sisi belakang merupakan sisi yang dibentuk secara khusus, dibuat cembung dengan bagian tengah yang agak meruncing.

Pada prasasti-prasasti yang dibandingkan, terdapat 21 prasasti yang menggunakan bahan batu. Pada masa Siṇḍok hampir kesemuanya berbentuk stele, pada masa Airlangga prasasti batu lebih lazim berbentuk blok dengan puncak lancip. Ada beberapa variasi bentuk puncak dari prasasti dengan bahan batu pada masa pemerintahan Siṇḍok, Dharmmawangsa Tguh dan Airlangga. Prasasti berpuncak lancip nampak pada prasasti Kawambang Kulwan yang dikeluarkan

pada masa pemerintahan Dharmmawangsa Tguh serta semua prasasti batu yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Airlangga. Prasasti batu lainnya berbentuk stele ada pada masa pemerintahan Siṇḍok yaitu pada prasasti Paradah 2 dan prasasti Muncang, sayangnya pada kedua prasasti ini perekaman yang dilakukan sebelumnya tidak merekam bentuk puncak yang dipahatkan pada prasasti ini, pada keduanya hanya disebutkan mengambil bentuk stele. Penggunaan bentuk seperti ini sesuai dengan perkembangan bentuk prasasti yang dipergunakan semenjak jaman Siṇḍok hingga Airlangga.

Prasasti Wwahan berukuran tinggi 188 cm, lebar 85 cm, dan tebal 17 cm. prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Siṇḍok, Dharmmawangsa Tguh dan Airlangga rata-rata memiliki tinggi tidak kurang dari 100 cm. Pada prasasti yang dibandingkan, prasasti berbahan batu yang memiliki tinggi lebih dari 100 cm antara lain prasasti Sarangan, prasasti Gěwěg, prasasti Muncang, prasasti Kawambang Kulwan, dan prasasti Lucěm. Sementara prasasti Cane merupakan prasasti yang memiliki ukuran tinggi tepat 100 cm. sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ukuran tinggi lebih dari 100 cm seperti yang dimiliki oleh prasasti Wwahan adalah hal yang biasa pada prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Siṇḍok, Dharmmawangsa Tguh serta Airlangga. Ukuran panjang, tinggi, dan lebar yang dimiliki oleh prasasti Wwahan sangat lazim ditemui pada prasasti sejak masa Siṇḍok hingga masa Airlangga.

Aksara yang lazim digunakan pada prasasti yang dikeluarkan dibawah kepemimpinan Siṇḍok adalah aksara standar yang ditemui semenjak masa pemerintahan Wawa. Secara umum bentuk aksara pada masa Siṇḍok adalah aksara dengan bentuk yang sederhana, tegak yang bersiku (Casparis, 1975:38-39). Bentuk sederhana tegak dan bersiku ini menjadi

(12)

bentuk dasar aksara yang juga dipakai pada prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Airlangga. Pada masa pemerintahan Airlangga bentuk aksara yang dipakai masih menyerupai bentuk dasar pada masa Siṇḍok, tetapi memiliki perkembangan dekorasi berupa kuncir yang lebih rumit, bentuknya pun tidak begitu tegak bersiku tetapi lebih membulat (Casparis, 1975:39-40).

Aksara yang ditemui pada prasasti Wwahan memiliki bentuk dasar yang tegak dan bersiku, namun tidak sesederhana pada masa Siṇḍok. Aksara yang dipahatkan di prasasti Wwahan telah mengalami perkembangan yang hampir menyerupai aksara dari prasasti masa Airlangga. Bentuk aksara di prasasti Wwahan terlihat lebih membulat dan memiliki variasi dekoratif sederhana dengan kemunculan kuncir yang tidak sejelas pada masa Airlangga. Walaupun mengalami perkembangan dari bentuk aksara yang dipahatkan pada masa Siṇḍok tetapi aksara pada prasasti Wwahan masih memiliki kekhasan aksara-aksara yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Siṇḍok, hal ini terlihat pada bentuk huruf yang sama dengan yang tercantum pada prasasti-prasasti terdahulu.

Perkembangan aksara yang terjadi pada prasasti-prasasti masa Siṇḍok sampai Airlangga dapat dilihat pada tabel yang dibuat oleh Holle pada tahun 1877. Holle menyusun perkembangan-perkembangan aksara dari tahun 762 Śaka hingga 925 Śaka. Dari tabel perbandingan aksara sejak tahun 762 Ś hingga 925 Ś terlihat adanya perkembangan bentuk aksara yang digunakan. Ciri dan bentuk aksara yang dipahatkan pada prasasti Wwahan lebih banyak memiliki kesamaan dengan aksara yang berada pada sekitar tahun 808 Śaka dan 925 Śaka yang merupakan masa pemerintahan Siṇḍok dan Airlangga. Ciri dan bentuk aksara dari prasasti Wwahan merupakan ciri umum yang terdapat pada bentuk aksara yang banyak

digunakan pada masa Siṇḍok yang sangat terpengaruh oleh masa Airlangga seperti terlihat pada aksara ta ( ),pa ( ),ma ( ), ra ( ), sa ( ). Dari ketiga masa tersebut terlihat bahwa secara bentukan dasar, aksara yang dipergunakan tidak mengalami perubahan yang berarti, hanya saja nampak bahwa hiasan berupa kuncir muncul pada masa-masa yang lebih muda. Aksara pada prasasti Wwahan tidak menunjukkan adanya keganjilan ataupun kelainan. Seperti semua aksara pada prasasti ketiga jaman tersebut, aksara pada prasasti Wwahan memiliki kesinambungan dengan aksara pada masa sebelum dan sesudahnya.

Kritik Intern

Seperti pada kritik ekstern, fungsi pada kritik intern adalah untuk membuktikan keabsahan data yang ada pada prasasti Wwahan. Pembuktian ini diharapkan dapat menyatakan secara tegas bahwa isi sebuah prasasti dapat dipercaya sebagai sebuah data sejarah. Pada kritik intern pembuktian dilakukan pada faktor-faktor yang termasuk unsur isi dari prasasti Wwahan, seperti bahasa dan isi secara keseluruhan.

Pengujian yang dilakukan terhadap bahasa pada prasasti Wwahan meliputi kata, kalimat, dan wacana pada seluruh teks. Pengujian terhadap kalimat dilakukan untuk melihat ciri-ciri dan pola khas yang muncul pada prasasti sejaman. Pengujian terhadap wacana merupakan bentuk pengujian yang meliputi keseluruhan isi prasasti, atau bagian-bagian yang merupakan formula prasasti lebih daripada sekedar pengujian kata atau kalimat.

Bentuk bahasa Jawa kuna yang digunakan dalam prasasti Wwahan adalah bahasa prosa yang memiliki kalimat-kalimat singkat yang mirip kalimat yang dituliskan pada telegram. Agar dapat memahami keseluruhan makna yang berada dalam prasasti

(13)

Wwahan maka harus dilakukan penambahan dan pelengkapan kata agar dapat menjadi satu kalimat utuh. Sebagai contoh pada baris ke dua puluh lima terdapat kalimat

“Maya bhu maren ma pa (g/ga/gra) mara ṅke sīma ṅaran sěḍwaḥ rīŋ dba wā ni na _yā n ja ja na ri wa _ ______________”

Kata bhu merupakan singkatan dari bhumi, sementara maren adalah sambungan sandi sehingga untuk memahami keseluruhan isinya harus diperjelas menjadi

“Maya bhumi mara+in ma pa (g/ga/gra) mara ṅke sīma ṅaran sěḍwaḥ rīŋ dba wā ni na _yā n ja ja na ri wa _ ______________”

Pengujian terhadap kata dilakuka pada setiap kata untuk mengetahui apakah kata-kata yang digunakan dalam prasasti Wwahan sesuai dengan kata-kata yang digunakan oleh prasasti lain yang sejaman. Kata-kata yang ditemukan dalam prasasti Wwahan juga lazim ditemukan pada prasasti-prsasati pada masa Siṇḍok dan Airlangga. Sebagai contoh, penggunaan kata “prasasti kmitan” dapat ditemui pada prasasti-prasasti pada masa Siṇḍok dan Airlangga, walaupun penggunaannya lebih lazim ditemukan pada masa prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga.

Kata-kata yang jelas berhubungan dan sangat umum berada pada prasasti masa Siṇḍok hingga masa Airlangga adalah nama-nama dewa yang dipanggil untuk menjadi saksi dalam penetapan sīma dan dicantumkan sebagai bagian dari unsur prasasti.

Daftar nama dewa-dewa yang disebutkan dalam prasasti ini adalah Sri Haricandana, Prwwadaksina, Pascimah, Uttara, Narakih, Ddarma, Sandyatraya, Yaksa raksasah, Pisaca, Sura, Graham Kirana, Mahoraga, Catwari, Lokapala, Yama, Baruna, Kuwera, Putradewata, Mahakala, Nagaraja, Durggadewi, Caturasra, Anakta, Hyangkala, dan Mrtyu. Nama dewa-dewa itu disebutkan juga dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh Siṇḍok dan Airlangga. Selain menjadi bagian dari kritik kata, nama dewa ini juga merupakan tokoh yang cukup penting. Dalam sebuah upacara penetapan sīma, ada bagian dimana pemimpin upacara memanggil para dewa untuk datang sebagai saksi penetapan sīma. Dikarenakan peranannya yang cukup penting maka pada bagian interpretasi nama dewa akan diinterpretasikan sebagai tokoh prasasti-prasasti pada masa Siṇḍok dan Airlangga juga mengenal penyebutan nama dewa-dewa yang dicantumkan dalam prasasti. Nama dewa-dewa yang disebutkan

tidak terlalu berbeda pada masa Siṇḍok dan Airlangga. Hanya saja pada prasasti yang dikeluarkan oleh Siṇḍok nama dewa yang disebutkan tidak sebanyak nama dewa yang disebutkan pada prasasti masa pemerintahan Airlangga. Pada tiga prasasti lain pada masa Dharmmawangsa Tguh tidak ditemukan keberadaan penulisan nama dewa-dewa seperti pada masa Siṇḍok dan Airlangga. Peletakkan urutan nama dewa yang dicantumkan pada prasasti Wwahan terlihat mendekati yang dicantumkan pada masa Airlangga.

dewa-dewa yang dipuja pada prasasti Wwahan sama dengan dewa yang dipuja sejak masa Siṇḍok dan Airlangga. Kesamaan tersebut terutama nampak pada prasasti Cane, sehingga dapat dikatakan dewa yang dipuja pada saat penulisan prasasti Wwahan merupakan dewa yang secara turun temurun dipuja sejak masa Siṇḍok.

Struktur Prasasti

Secara umum struktur prasasti yang dibuat pada masa Siṇḍok hingga Airlangga adalah sama. Kebanyakan prasasti yang diterbitkan pada masa pemerintahan ketiga raja yaitu Siṇḍok, Dharmmawangsa Tguh, dan Airlangga ini adalah prasasti sīma, sehingga secara struktur ada urutan-urutan dan pakem-pakem yang harus dipenuhi. Pada kenyataannya seringkali ditemui prasasti-prasasti yang tidak memiliki kelengkapan secara urutan penulisannya. Ketidaklengkapan ini bisa dikarenakan banyak hal misalnya ketidaklengkapan bagian-bagian prasasti yang dapat dibaca, hilangnya aksara, atau prasasti yang dikeluarkan tidak memerlukan kelengkapan struktur yang lengkap.

Prasasti Wwahan memiliki banyak unsur tetapi yang terbaca berupa sambandha dan penyebutan nama dewa-dewa yang biasanya berhubungan dengan salah satu bagian ritual penetapan sīma. Selain dua bagian struktur yang nampak jelas tersebut, kemungkinan besar prasasti Wwahan juga mengandung struktur pemberian pasek-pasek dan kutukan. Kemungkinan keberadaan pasěk-pasěk dikuatkan dengan adanya penyebutan pemberian anugerah kepada tiap-tiap raja yang telah membubuhkan sesuatu, sementara keberadaan kutukan dikuatkan dengan adanya penyebutan mengenai malapetaka yang membayangi bumi. Minimalnya bagian dari struktur prasasti yang terlihat pada prasasti Wwahan ini sangat berhubungan dengan sedikitnya bagian penulisan yang bisa dibaca dan ausnya huruf-huruf pada prasasti.

Walaupun tidak ditemukan secara keseluruhan namun prasasti Wwahan juga memiliki bagian-bagian yang jelas merupakan salah satu dari 12 bagian prasasti sīma. Mengacu pada bukti bahwa prasasti ini memiliki bagian prasasti sīma maka dapat

(14)

dikatakan bahwa prasasti Wwahan merupakan prasasti yang memiliki unsure pada prasasti sīma, seperti yang terlihat pada prasasti-prasasti sīma yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Siṇḍok dan Airlangga.

Tinjauan Kronologi

Identifikasi kronologi dilakukan dengan membandingkan unsur-unsur yang terdapat pada kritik ekstern seperti materi (bahan dan bentuk), ukuran, dan paleografi prasasti-prasasti batu dari masa Siṇḍok, Dharmmawangśa Tguh dan Airlangga dengan prasasti Wwahan untuk mendapatkan kronologi relatif yang dapat menempatkan prasasti Wwahan sebagai bagian dari masa ketiga raja besar Jawa tersebut.

Prasasti Wwahan dinyatakan memiliki angka tahun 907 Śaka yang disebutkan pada laporan survei yang diterbitkan dalam Berita Penelitian Arkeologi

Jawa Timur No.47 yang diterbitkan oleh Puslitarkenas, pada artikel yang ditulis oleh Boechari dalam Penerbitan Ilmiah Arkeologi IV No. IV yang berjudul “Perbandingan Di dalam Masyarakat Jawa Kuna” (1986), serta dalam Melacak Sejarah Kuno

Indonesia Lewat Prasasti dalam artikel “Kerajaan

Matarām Sebagaimana Terbayang dari Data Prasasti” yang ditulis oleh Boechari (1986). Pada kenyataan dilapangan sudah tidak ditemukan lagi adanya penyebutan angka tahun pada prasasti Wwahan. Hilangnya angka tahun pada prasasti Wwahan ini sangat mungkin karena letak penulisan angka tahun di prasasti ini berada pada bagian depan prasasti yang sudah tidak terbaca.

Hampir seluruh prasasti pada masa pemerintahan Siṇḍok dan Airlangga menyebutkan angka tahun penulisan dengan unsur penanggalan seperti tithi (tanggal), masa (bulan), warsa (tahun) dan sebagainya. Pada prasasti-prasasti Siṇḍok yang digunakan sebagai bahan pembanding keseluruhannya menyebutkan angka tahun yang jelas beserta seluruh unsur-unsur penanggalan yang diperlukan. Pada masa Airlangga terdapat prasasti Patakan yang penyebutan angka tahunnya tidak terbaca. Prasasti ini dimasukkan kedalam daftar prasasti Airlangga, karena memiliki unsur-unsur yang sama dengan prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa Airlangga. Sesuai dengan kritik ekstern yang telah dilakukan dapat terlihat bahwa bentuk, ukuran, serta penggunaan bahan pada prasasti Wwahan merupakan hal yang wajar dipergunakan semenjak masa pemerintahan Siṇḍok hingga masa Airlangga. Bentuk dan ukuran prasasti yang besar memang sudah menjadi kebiasaan, kemungkinan dikarenakan peristiwa yang dituliskan cukup panjang. Pemilihan batu andesit sebagai bahan dasar prasasti juga bukan hal yang baru, karena semenjak pemerintahan Siṇḍok

beberapa prasasti batunya telah dipahatkan diatas andesit.

Aksara yang terkandung dalam prasasti Wwahan ini menunjukkan bahwa citralekha prasasti Wwahan menggunakan aksara yang merupakan perkembangan dari aksara yang dipergunakan pada masa Siṇḍok. Secara garis besar aksaranya masih memiliki bentuk dasar aksara Siṇḍok, tetapi mulai memiliki hiasan-hiasan berupa lengkungan-lengkungan dan garis tambahan yang menyerupai kuncir yang muncul pada masa Airlangga.

Sesuai dengan kritik yang telah dilakukan, kata dan kalimat yang dipergunakan dalam prasasti Wwahan pun menyerupai kata dan kalimat yang dipergunakan pada prasasti yang dikeluarkan pada masa Airlangga. Masa Siṇḍok dan Airlangga sendiri tidak terlalu berbeda dalam penggunaan kata-kata yang lazim dipergunakan dalam prasasti. Dengan mengacu pada fakta-fakta tersebut dapat dikatakan bahwa prasasti Wwahan berasal dari masa kerajaan Matarām di Jawa Timur, tepatnya sekitar masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh.

Tinjauan Geografi

Sebagai sebuah prasasti yang memberikan informasi yang sangat minim mengenai apa yang terjadi pada masa pembuatannya, prasasti Wwahan menyebutkan nama-nama tempat yang cukup banyak dan cukup penting. Prasasti Wwahan menyebutkan keberadaan beberapa lokasi yaitu Wwahan, Uwaleng, Bumi Matarām, Watugaluh, Madrarrilaŋ.

Nama-nama tempat yang paling mencolok disebutkan dalam prasasti ini adalah Watugaluh, disebutkan sebagai riŋ makadatwan bhumi Matarām

ri Watugaluh. Penyebutan ini menyatakan bahwa

ibukota kerajaan Matarām pada masa pembuatan prasasti Wwahan berada di Watugaluh. Letak ibukota ini sama dengan yang disebutkan pada prasasti Paradah dan Anjukladang yang ditulis pada masa Siṇḍok. Prasasti Paradah dan Anjukladang menyebutkan bahwa ibukota Matarām pada masa pemerintahan Siṇḍok terletak di Watugaluh. Penyebutan nama Watugaluh pada prasasti Wwahan bisa mengkonfirmasi keberadaan tempat bernama Watugaluh yang masih dipakai sebagai ibukota setelah berakhirnya masa pemerintahan Siṇḍok.

Nama tempat kedua yang menarik perhatian adalah Wwahan. Disebutkan wargga haji ri Wwahan atau rakyat di daerah Wwahan. Nama Wwahan tersebut sangat serupa dengan sebuah nama tempat yang pernah disebutkan dalam sebuah prasasti dari masa Airlangga. Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa daerah yang bernama Wwatan atau yang sekarang diinterpretasikan sebagai desa Wotan adalah lokasi percandian dari Dharmmawangśa Tguh. Dari segi linguistik, daerah Wwahan dan daerah Wwatan

(15)

tidak memiliki kesamaan dan tidak dapat dihubungkan satu sama lain. Ketidaksinambungan antara Wwatan dan Wwahan ini menunjukkan bahwa keduanya merupakan daerah yang berbeda dan tidak saling terkait satu sama lain. Lokasi lain seperti Madrarrilang yang disebutkan dalam prasasti, berdasarkan Repertoire Onomastique karya Riboet Dharmosoetopo (1977) tidak pernah disebutkan dalam prasasti sejaman lain, baik dari masa Siṇḍok maupun Airlangga.

Nama Wwahan bukanlah merupakan nama yang asing. Sebagai sebuah tempat geografis memang Wwahan belum pernah ditemukan di prasasti lain pada masa pemerintahan Siṇḍok, Dharmmawangśa Tguh, maupun Airlangga, namun Wwahan pernah dijadikan sebuah nama prasasti yang dibaca oleh Boechari pada tahun 1986 yang dimuat dalam artikel yang berjudul “Kerajaan Matarām Sebagaimana Terbayang dari Data Prasasti” dan “Perbanditan di dalam Masyarakat Jawa Kuna”. Penemuan nama Wwahan dalam prasasti Wwahan dapat memastikan bahwa prasasti Wwahan 907 Śaka dan prasasti Bandaralim 907 Śaka merupakan prasasti yang sama. Selain itu berdasarkan hasil pembacaan, alih aksara dan alih bahasa yang telah dilakukan, ditemukan penyebutan Wwahan sebagai nama suatu daerah yang disebutkan dalam prasasti.

Usaha untuk mengidentifikasikan nama tempat dalam prasasti dengan nama desa atau kecamatan yang ada saat ini bertujuan untuk memperkirakan wilayah yang disebutkan dalam prasasti. Dalam prasasti Wwahan menyebutkan mengenai daerah bernama Watugaluh yang kemungkinan besar merupakan ibukota kerajaan. Saat ini bisa dijumpai sebuah desa bernama Watugaluh di Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang propinsi Jawa Timur. Kemungkinan kesamaan lokasi antara Watugaluh dalam prasasti dan daerah Watugaluh di Jombang saat ini juga pernah dilontarkan oleh Boechari dalam artikelnya yang berjudul “Perbanditan di dalam Masyarakat Jawa Kuna” (1986: 190), dalam artikel tersebut beliau menyebutkan kemungkinan letak daerah Watugaluh dalam prasasti adalah didaerah Jombang saat ini. Wilayah yang diberikan sīma yaitu Wwahan tidak ditemukan daerah bernama sama atau daerah dengan pergeseran huruf dan fonem yang dapat diasosiasikan dengan daerah Wwahan. Pencarian daerah dengan nama Wwahan atau menyerupai Wwahan ini dilakukan di sekitar Jombang dan Nganjuk. Pencarian di daerah sekitar Jombang karena dekat dengan Watugaluh yaitu daerah yang diasosiasikan sebagai ibukota dari Matarām. Pencarian di daerah Nganjuk terutama karena pada awalnya prasasti ini ditemukan

in situ. Wilayah penemuan prasasti ini adalah desa

Bandaralim yang berada dalam kelurahan Tanjong

Anom, Nganjuk, Jawa Timur. Selain karena letak penemuannya yang belum berubah, wilayah Nganjuk juga disebut-sebut sebagai wilayah kekuasaan pemerintahan raja Dharmmawangśa Tguh (Soemadio, (ed.), 2008 : 201).

Pada teori yang terdahulu dikatakan bahwa pusat kekuasaan Dharmmawangśa Tguh berada di daerah Maospati (Soemadio, (ed.), 2008 : 201), namun pada prasasti Wwahan ini disebutkan dengan jelas mengenai letak keraton pada waktu itu yaitu di Watugaluh. Perbedaan lokasi ini bisa saja saling berhubungan, seperti yang diketahui pada masa Siṇḍok letak pusat kekuasaan berada di Watugaluh. Terjadinya kesamaan nama lokasi pusat kekuasaan antara masa Siṇḍok dengan yang disebutkan pada prasasti Wwahan sangat mungkin dikarenakan prasasti Wwahan merupakan prasasti yang berasal dari awal masa pemerintahan Dharmmawangśa Tguh. Sebagai sebuah prasasti yang berada pada awal pemerintahan Tguh tentunya prasasti ini juga dibuat dimasa awal Tguh memerintah, sehingga tidak menutup kemungkinan di masa awal pemerintahannya pusat kerajaan Tguh berada di Watugaluh meneruskan pusat kerajaan Siṇḍok dan berpindah ke daerah Maospati di kemudian hari.

Tinjauan Biografi

Nama tokoh yang paling mudah ditelusuri adalah nama raja pemberi perintah pembuatan prasasti. Prasasti-prasasti pada masa pemerintahan Siṇḍok hampir kesemuanya menyebutkan nama Siṇḍok sebagai raja. Pada masa pemerintahan Airlangga yang serupa dengan Siṇḍok hampir kesemua prasastinya juga mencantumkan nama Airlangga sebagai pemberi perintah penulisan prasasti. Berbeda dengan masa pemerintahan Siṇḍok dan Airlangga yang menyebutkan secara gamblang raja-raja ataupun pemberi perintah penulisan prasastinya, pada masa Dharmmawangśa Tguh tidak ditemukan nama Dharmmawangśa Tguh sebagai pemberi perintah pembuatan prasasti. Nama Dharmmawangśa Tguh sendiri muncul dari prasasti Pucangan yang menyebutkan silsilah dari Airlangga (Soemadio, (ed.), 2008 : 204).

Tokoh-tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wwahan tidak dapat ditelusuri keberadaannya pada prasasti-prasasti sejaman lain. Pada Repertoire Onomastique karya Riboet Dharmosoetopo (1977) penyebutan nama tokoh seperti wargga haji ri Wwahan (rakyat di Wwahan), Pu mawuju, Śri dwakarini, Pu cattarpa, si majar, mapanji takkirrala, tidak dapat ditelusuri keberadaannya dan belum pernah terdengar dicantumkan pada prasasti-prasasti lain yang sejaman.

Pada prasasti Wwahan juga tidak ditemukan adanya nama raja atau pejabat yang memerintahkan

Referensi

Dokumen terkait

Rupa dari sebuah kemasan mengandung unsur-unsur rupa antara lain bentuk, garis, tekstur, warna, ukuran (mass), bidang (space), juga terdapat pertimbangan mengatur komposisi

Tuturan tersebut merupakan bentuk campur kode yang disebakan oleh identifikasi ragam, yaitu terdapat adanya percampuran unsur bahasa daerah Melayu Hulu Gurung ke dalam

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk bahan ajar dalam bentuk modul pengayaan materi ekosistem berdasarkan hasil penelitian biologi Identifikasi

Materi dalam penelitian meliputi identifikasi penyu dan tukik, lebar pantai, kemiringan pantai, suhu substrat, kadar air substrat, ukuran butir sedimen, bentuk butir sedimen,

Rupa dari sebuah kemasan mengandung unsur-unsur rupa antara lain bentuk, garis, tekstur, warna, ukuran (mass), bidang (space), juga terdapat pertimbangan mengatur komposisi

Materi dalam penelitian meliputi identifikasi penyu dan tukik, lebar pantai, kemiringan pantai, suhu substrat, kadar air substrat, ukuran butir sedimen, bentuk butir sedimen,

Hasil interpretasi secara visul berdasarkan 9 unsur penafsiran pada foto udara PUTA bentuk, tekstur, warna dan rona, pola, bayangan, ukuran, asosiasi dan lokasi dan identifikasi

peserta didik 7 Materi yang terdapat pada bahan ajar geometri berbasis makanan tradisional khas daearah Acehtidak mengandung unsur sara √ 8 Materi yang terdapatpada bahan ajar