• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. kegunaan, keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. kegunaan, keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian secara sistemik untuk menentukan atau menilai kegunaan, keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari program. Evaluasi harus memiliki tujuan yang jelas, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam program. Ada tiga elemen penting dalam evaluasi yaitu (1) kriteria/pembanding yaitu merupakan ciri ideal dari situasi yang diinginkan yang dapat dirumuskan melalui tujuan operasional, (2) bukti /kejadian adalah kenyataan yang ada yang diperoleh dari hasil penelitian, dan (3) penilaian (judgement) yang dibentuk dengan membandingkan kriteria dengan kejadian (Sutjipta, 2009).

Lebih lanjut Sutjipta (2009) mengatakan lima ciri dalam evaluasi adalah (1) kualitas: apakah program baik atau tidak baik, kualitas isi program, kegiatan pendidik, media yang digunakan, penampilan pelaksana program, (2) kesesuaian (suitability) : pemenuhan kebutuhan dan harapan masyarakat. Program tidak menyulitkan atau membebani masyarakat, sesuai dengan tingkat teknis, sosial dan ekonomis masyarakat, (3) keefektifan : seberapa jauh tujuan tercapai, (4) efisiensi : penggunaan sumber daya dengan baik, dan (5) kegunaan (importance): kegunaan bagi masyarakat yang ikut terlibat dalam program.

Evaluasi yang efektif dapat dinilai dari beberapa kriteria yaitu : (1) memiliki tujuan evaluasi yang didefinisikan dengan jelas;

(2) pengukuran dilakukan dengan saksama menggunakan alat ukur yang valid; (3) evaluasi dilakukan seobyektif mungkin yaitu bebas dari penilaian yang

bersifat pribadi;

(2)

(4) kriteria yang digunakan sebagai standar harus spesifik;

(5) evaluasi harus menggunakan metode ilmiah yang pantas sehingga memiliki nilai kepercayaan yang tinggi;

(6) evaluasi harus dapat mengukur perubahan yang terjadi; dan (7) evaluasi harus bersifat praktis.

2.2 Konsep Agribisnis Penyuluhan Pertanian

Istilah penyuluhan pada dasarnya diturunkan dari kata “Extension” yang dipakai secara meluas dibanyak kalangan. Penyuluhan berasal dari kata dasar “Suluh” yang berarti pemberi terang ditengah kegelapan. Menurut Zakaria (2006, dalam Deptan, 2010) penyuluhan pertanian adalah upaya pemberdayaan petani dan nelayan beserta keluarganya melalui peningkatan pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan kemandirian agar mereka mau dan mampu, sanggup berswadaya memperbaiki /meningkatkan daya saing usahanya, kesejahteraan sendiri serta masyarakatnya.

Dalam UU RI No. 16, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K), tahun 2006 disebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan warga Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan di bidang pertanian, baik merupakan penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya. Adapun yang menjadi tugas

pokok penyuluhan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,

mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian, sehingga penyuluh dituntut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyuluh di lapangan dengan mitra kerja petani yang berperan sebagai fasilitator. Penyuluhan adalah sistem penyuluhan pertanian merupakan seluruh rangkaian pengembangan

(3)

kemampuan, pengetahuan, ketrampilan serta sikap pelaku utama (pelaku kegiatan pertanian) dan pelaku usaha melalui penyuluhan.

Tujuan penyuluhan adalah mengubah perilaku (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) petani agar dapat bertani lebih baik (better farming), berusahatani lebih menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), dan bermasyarakat lebih baik (better community) (Deptan, 2010).

Supartha (2005) mengatakan bahwa untuk meningkatkan perilaku agribisnis diperlukan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis, yang materi penyuluhannya mencakup keseluruhan aspek teknis produksi, aspek manajemen agribisnis, dan aspek manajemen hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri, terutama etika kesisteman, kemampuan kewirausahaan, dan kepribadian sebagai pengusaha agribisnis agar para pelaku sistem agribisnis dapat memiliki persepsi dan sikap yang sama tentang: visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran, dan rencana kerja bersama yang dirumuskan dengan cara terbuka. Metode penyuluhan maupun media komunikasi yang digunakan agar lebih beragam, inovatif, dan kreatif sesuai dengan kebutuhan sasaran penyuluhan.

Penyuluhan sistem agribisnis adalah jasa layanan dan informasi agribisnis yang dilakukan melalui proses pendidikan non formal untuk petani dan pihak-pihak terkait yang memerlukan, agar kemampuannya dapat berkembang secara dinamis untuk menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya dengan baik, menguntungkan, dan memuaskan. Mutu jasa layanan dilihat dari segi keterpercayaan (realibility), keterjaminan (assurance), penampilan (tangiability), kepemerhatian (empaty), dan ketanggapan (responsiveness) (Supartha, 2005).

(4)

Supari (2002) mendefinisikan agribisnis sebagai unit bisnis yang berbasis agroindustri dan terkait dengan produk agroindustri mulai dari hulu (up stream ), ditingkat usaha tani (on farm), hilir (down stream) agribisnis, dan layanan perdagangan. Agribisnis merupakan bentuk pendekatan pembangunan sektor pertanian yang dikembangkan di Indonesia dewasa ini. Agribisnis yang dilihat sebagai suatu sistem yang holistik, merupakan suatu proses yang utuh dari proses pertanian di daerah hulu sampai ke daerah hilir, atau proses dari penyediaan input sampai pemasaran.

Arsyad, dkk (dalam Soekartawi, 2003) menjelaskan bahwa agribisnis sebagai suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Mata rantai kegiatan agribisnis yang dipandang sebagai suatu konsep sistem dapat dibagi menjadi empat subsistem yaitu : (1) subsistem produksi, (2) subsistem pengolahan, (3) subsistem pemasaran, dan (4) subsistem lembaga penunjang. Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat antara salah satu subsistem berpengaruh terhadap subsistem lainnya.

Supartha (2005) mengatakan bahwa uraian dari subsistem agribisnis antara lain subsistem perusahaan agribisnis hulu berfungsi menghasilkan dan menyediakan sarana produksi pertanian terbaik agar mampu menghasilkan produk usahatani yang berkualitas, melakukan pelayanan yang bermutu kepada usahatani, memberikan bimbingan teknis produksi, memberikan bimbingan manajemen dan hubungan sistem agribisnis, memfasilitasi proses pembelajaran atau pelatihan bagi petani, menyaring

(5)

dan mensintesis informasi agribisnis praktis untuk petani, mengembangkan kerjasama bisnis (kemitraan) yang dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak.

Subsistem perusahaan usahatani sebagai produsen pertanian berfungsi melakukan kegiatan teknis produksi agar produknya dapat dipertanggungjawabkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Mampu melakukan manajemen agribisnis secara baik agar proses produksi menjadi efisien sehingga mampu bersaing di pasar. Petani umumnya memerlukan penyuluhan, informasi agribisnis, teknologi, dan inovasi lainnya dalam proses produksi, bimbingan teknis atau pendampingan agar petani dapat melakukan proses produksi secara efisien dan bernilai tambah lebih tinggi.

Subsistem perusahaan agribisnis hilir, berfungsi melakukan pengolahan lanjut (baik tingkat primer, sekunder maupun tersier) untuk mengurangi susut nilai atau meningkatkan mutu produk agar dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen, serta berfungsi memperlancar pemasaran hasil melalui perencanaan sistem pemasaran yang baik. Subsistem jasa penunjang (penyuluhan, penelitian, informasi agribisnis, peraturan, kredit modal, dan transportasi) secara aktif ataupun pasif berfungsi menyediakan layanan bagi kebutuhan pelaku sistem agribisnis untuk memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem agribisnis.

Agar semua pelaku sistem agribisnis mendapat peluang yang adil dalam memperoleh keuntungan, maka cara pandang terhadap agribisnis secara makro artinya aktivitas agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem, dimana antara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling terkait dan terpadu

(6)

untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal bagi para pelakunya (Badan Agribisnis, 1995), (Saragih, 1998 dalam Supartha, 2005).

Keberhasilan pengembangan agribisnis sangat ditentukan oeh

keharmonisan kerjasama tim sumber daya manusia yang berada pada semua subsistem agribisnis. Kunci keberhasilan kerjasama tim adalah SDM yang terlibat dalam agribisnis, disamping memiliki perilaku yang cukup di bidang pekerjaannya sendiri (on job skill), harus juga mempunyai perilaku positif tentang posisi dirinya dalam perusahaan agribisnis, dan posisi perusahaannya dalam integrasi vertikal agribisnis, serta wawasan ekonomi secara makro (macro behavior) (Saragih, 1998 dalam Supartha, 2005).

Konsep perusahaan dan sistem agribisnis dimunculkan untuk mengubah paradigma petani, bahwa petani adalah manajer perusahaan agribisnis yang berkedudukan setara dengan perusahaan agribisnis yang berada di hulu maupun di hilir. Petani agar mulai dari memperhatikan kebutuhan pasar, bersinergi dengan perusahaan agribisnis lain untuk memproduksi barang yang dibutuhkan pasar. Jika hal ini dapat dilakukan, maka tercapailah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Untuk mengubah sikap dan perilaku itulah, diperlukan penyuluhan pertanian dengan pendekatan penyuluhan sistem agribisnis serta penyuluhan profesional (Supartha, 2005).

Lebih lanjut Supartha (2005) perilaku agribisnis yaitu (1) aspek perilaku teknis produksi, (2) manajemen agribisnis (perencanaan usaha, pemanfaatan sumber daya agribisnis, peningkatan efisiensi, peningkatan produktivitas, perbaikan mutu

(7)

hasil, perekayasaan teknologi, perekayasaan kelompok atau koperasi, dan pemuasan pelanggan; dan (3) aspek perilaku hubungan sistem agribisnis.

2.3 Uraian Kegiatan FMA

FMA adalah proses perubahan perilaku, pola pikir, dan sikap petani dari petani subsisten tradisional menjadi petani modern berwawasan agribisnis melalui pembelajaran yang berkelanjutan dilaksanakan dengan pendekatan belajar sambil berusaha (learning by doing) yang menitikberatkan pada pengembangan kapasitas managerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan pelaku utama dalam rangka mewujudkan wirausahawan (enterpreneur) agribisnis yang handal. Output yang diharapkan bukan sekedar pengembangan aspek PKS (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) petani dalam hal produksi pertanian, akan tetapi dari proses pembelajaran ini secara rill diharapkan mampu membangun agribisnis dari hulu sampai ke hilir.

Tujuan umum pelaksanaan FMA adalah untuk meningkatkan kemampuan

petani sebagai wirausaha agribisnis dalam mengelola kegiatan penyuluhan/

pembelajaran di desa dalam mengembangkan agribisnisnya sehingga pelaku utama

mampu melaksanakan prinsip-prinsip agribisnis dalam melaksanakan usahanya

dalam rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama.

Tujuan khusus pelaksanaan FMA adalah meningkatkan kemampuan

pelaku utama dan pelaku usaha dalam:

(1) mengidentifikasi peluang dan kebutuhan pasar yang potensial sebagai dasar untuk menyusun rencana agribisnisnya (business plan);

(2) mengidentifikasi potensi sumberdaya yang dimiliki, masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan agribisnis, dan alternatif-alternatif pemecahannya;

(8)

(3) memilih usaha yang paling menguntungkan serta mengidentifikasi kebutuhan informasi, teknologi, dan sarana yang diperlukan untuk mendukung pengembangan usahanya secara berkelanjutan;

(4) menerapkan prinsip - prinsip agribisnis (orientasi pasar, menguntungkan, memiliki kepercayaan jangka panjang, kemandirian, dan daya saing usaha, komitmen terhadap kontrak usaha) dalam pelaksanaan usahanya;

(5) mengembangkan jejaring dengan berbagai sumber informasi teknologi,

pemasaran, permodalan dalam rangka pengembangan agribisnisnya;

(6) mengembangkan kemitraan usaha dengan berbagai pihak;

(7) mengembangkan dirinya menjadi pengusaha agribisnis yang profesional (enterpreneur);

(8) menumbuhkan dan mengembangkan wadah pembelajaran bagi pelaku utama

dan organisasi petani (kelompoktani/gapoktan/asosiasi), untuk menghasilkan pelaku utama sebagai enterpreneur yang mandiri di bidang pertanian;

(9) menciptakan penyuluh swadaya sebagai motivator di perdesaan, terutama untuk menggerakkan, membimbing dalam pelaksanaan agribisnis yang mampu membangun jaringan antar pelaku agribisnis pada satuan wilayah Desa dan Kecamatan; serta

(10) menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan pembelajaran /penyuluhan di

Desa (pos penyuluhan pertanian) untuk menjamin keberlanjutan penyuluhan oleh, dari, dan untuk pelaku utama dalam pengembangan agribisnis.

(9)

2.3.1 Prinsip-prinsip dasar pelaksanaan FMA

(1) Partisipatif : kegiatan FMA harus melibatkan pelaku utama dan pelaku usaha untuk berperan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, termasuk kelompok terpinggirkan (disadvantaged groups) yaitu keluarga miskin dan perempuan. Partisipasi akan berkembang dalam berbagai cara sesuai keadaan spesifik lokasi, dan pelibatan sejak proses perencanaan akan menumbuhkan perasaan memiliki dan jaminan keberlanjutan program.

(2) Demokratis : setiap keputusan dibuat melalui musyawarah atau kesepakatan sebagian besar pelaku utama dan pelaku usaha untuk menjamin dukungan yang berkelanjutan dan rasa memiliki dari masyarakat. Seluruh kegiatan FMA, dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dilaksanakan dengan prinsip “dari petani ke petani dan untuk petani”.

(3) Desentralisasi : kegiatan penyuluhan pertanian direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan) untuk memperbaiki dan mengembangkan agribisnisnya serta meningkatkan rasa memiliki terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil dari kegiatan penyuluhan.

(4) Keterbukaan : manajemen dan administrasi penggunaan dana FMA harus

diketahui dan diumumkan ke masyarakat baik di tingkat Desa.

(5) Akuntabilitas : pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana untuk pelaksanaan FMA harus dilaporkan dan dipertanggung jawabkan kepada seluruh masyarakat Desa.

(10)

(6) Sensitif gender : kegiatan FMA memberikan manfaat kepada pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan termasuk mereka berasal dari kelompok yang terpinggirkan dalam pelaksanaan agribisnisnya.

(7) Kemandirian: pelaku utama dan pelaku usaha, keluarga dan masyarakat tani, serta seluruh anggota organisasi petani ( laki-laki dan perempuan ) memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengembangkan usahatani yang menguntungkan dan berkelanjutan tanpa harus bergantung kepada bantuan Pemerintah.

(8) Belajar sambil berusaha : kegiatan pembelajaran dirancang terintegrasi dengan pelaksanaan usaha untuk memenuhi kebutuhan belajar.

2.3.2 Fasilitator

Fasilitator terdiri atas penyuluh swadaya, praktisi, peneliti dan petugas / penyuluh pertanian lapangan.

2.3.3 Ciri-ciri pembelajaran agribisnis dalam FMA

(1) Kegiatan pembelajaran di perdesaan sesuai dengan produk/komoditi yang dibutuhkan pasar dan disepakati dalam rembugtani Desa/organisasi petani dalam rangka mengembangkan agribisnis berskala ekonomi.

(2) Kegiatan pembelajaran yang diajukan berdasarkan pada kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan) dalam melaksanakan agribisnisnya dan disepakati dalam rembugtani di tingkat Desa/organisasi petani. (3) Proses pembelajaran diutamakan difasilitasi oleh pelaku usaha yang berhasil / praktisi ahli/penyuluh swadaya yang berkaitan dengan produk/komoditi sesuai dengan keahlian yang berkaitan dengan topik pembelajaran yang diusulkan.

(11)

(4) Proses pembelajaran di Desa dilaksanakan sambil melaksanakan kegiatan agribisnisnya (learning by doing).

(5) Proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan belajar berdasarkan

pengalaman dan menemukan sendiri dalam pengembangan agribisnisnya (discovery learning).

(6) Materi, metode dan durasi/waktu pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan aspirasi pelaku utama dan pelaku usaha serta produk/komoditi yang diusahakan dalam satu siklus usaha.

2.3.4 Indikator keberhasilan FMA meliputi 2.3.4.1 Indikator proses pelaksanaan kegiatan FMA

(1) Kepuasaan petani terhadap proses pembelajaran FMA dan rencana usaha berkelompok sesuai dengan kebutuhan pasar.

(2) Adanya kesepakatan dalam rembugtani tentang penetapan produk / komoditi unggulan.

(3) Kegiatan belajar pelaku utama dalam FMA terintegrasi dengan pelaksanaan agribisnis yang ditetapkan sesuai dengan skala usaha ekonomi.

(4) Seluruh proses pembelajaran diselenggarakan/dikelola oleh pelaku utama. (5) Jumlah dan jenis pembelajaran partisipatif petani.

2.3.4.2 Indikator hasil pelaksanaan kegiatan FMA

(1) Kepuasan petani tentang produk/komoditi yang dihasilkan melalui proses pembelajaran agribisnis diterima oleh pasar.

(2) Pelaku utama dapat merencanakan, melaksanakan agribisnis berdasarkan peluang pasar.

(12)

(3) Kepuasan petani atas metode dan proses belajar untuk meningkatkan kemampuan dalam pengembangan agribisnis.

(4) Kepuasan anggota organisasi petani atas metode dan proses pembelajaran perencanaan penyuluhan partisipatif.

(5) Kepuasan petani atas pelayanan kelembagaan penyuluhan Kabupaten.

(6) Jumlah penyuluh swadaya yang ada di desa meningkat dan memiliki berbagai keahlian dalam memfasilitasi pengembangan agribisnis di Desa.

(7) Jumlah kelompok pembelajaran yang berfungsi dalam memfasilitasi

pengembangan agribisnis di Desa.

(8) Persentase petani termasuk wanita dan pemuda yang melaksanakan usaha berorientasi agribisnis.

2.3.4.3 Dampak keberhasilan FMA :

Berkembangnya aktivitas agribisnis di perdesaan lokasi kegiatan FMA yang dicirikan sebagai berikut :

(1) Adanya kontrak permintaan pasar terhadap produk/komoditi yang dihasilkan dalam satuan waktu tertentu secara berkesinambungan.

(2) Meningkatnya pendapatan dari pelaku utama agribisnis dan keluarga. (3) Peningkatan produktivitas komoditi unggulan dan diversifikasi usaha.

(4) Penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, ramah lingkungan, dan lebih menguntungkan.

(5) Peningkatan jaringan kemitraan agribisnis antar organisasi petani dengan pelaku usaha lainnya dalam mengembangkan agribisnis diberbagai tingkatan mulai di tingkat Desa, Kabupaten, dan seterusnya.

(13)

(6) Meningkatnya kemandirian dan keswadayaan organisasi petani dalam mengembangkan agribisnis dan penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani (Farmer Led Extension).

(7) Pemilihan produk/komoditi yang diusahakan menjadi unggulan Desa. (8) Produk yang akan dihasilkan sudah terjamin pemasarannya.

(9) Berperannya organisasi petani dalam mengelola penyuluhan di Desa. (10) Hasil pelaksanaan agribisnis menguntungkan.

(11) Tumbuhnya organisasi petani yang berorientasi agribisnis.

(12) Tumbuhnya organisasi petani yang menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan berdasarkan kebutuhan petani.

(13) Jumlah organisasi petani baru yang berfungsi dengan baik. 2.3.5 Proses pelaksanaan FMA

Rembugtani Desa adalah forum yang anggotanya terdiri dari pengurus kelompok tani ditambah dengan dua orang perwakilan dari masing - masing kelompok tani serta wakil dusun ( laki-laki dan perempuan) yang dipilih secara demokratis oleh anggotanya. Rembug tani bertugas untuk :

(1) memilih pengurus pengelola FMA dan penyuluh swadaya;

(2) menetapkan rencana usaha berkelompok (business plan) sesuai dengan hasil kajian pengembangan agribisnis perdesaan;

(3) menetapkan kegiatan pembelajaran yang akan diusulkan untuk didanai P3TIP berdasarkan programa penyuluhan Desa sesuai hasil identifikasi dan analisis kajian pengembangan agribisnis perdesaan; dan

(14)

(4) memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan pemanfaatan dana stimulant penguatan permodalan di Desa baik yang didanai oleh dana FMA maupun dari sumber-sumber lain.

Mengelola FMA Desa, perlu dibentuk unit yang akan mengelola kegiatan penyuluhan Desa yang pengurusnya dipilih secara demokratis oleh rembugtani Desa. Unit pengelola FMA bertanggung jawab untuk :

(1) mengkoordinasikan kegiatan pembelajaran agribisnis dan pemanfaatan dana stimulant penguatan permodalan yang dibiayai dari dana FMA;

(2) mengadministrasikan pelaksanaan kegiatan, membuat pembukuan terhadap

penerimaan/ pengeluaran dana untuk pembelajaran agribisnis dan pemanfaatan dana stimulan penguatan permodalan yang dibiayai dari dana FMA;

(3) menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana FMA Desa melalui penyediaan informasi tentang penggunaan dana FMA kepada masyarakat Desa (bebas dari korupsi);

(4) menjamin tersedianya peluang yang sama untuk keikutsertaan seluruh

komponen masyarakat Desa dalam pemanfaatan dana FMA (bebas dari

nepotisme dan kolusi);

(5) menjamin keberlanjutan dan penyebarluasan FMA;

(6) memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan FMA Desa; dan

(7) membuat laporan teknis kegiatan dan keuangan FMA.

Pengurus unit pengelola FMA minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan penyuluh swadaya. Persyaratan pengurus harus memiliki kriteria sebagai berikut :

(15)

(1) jujur, berwawasan luas tentang organisasi kemasyarakatan;

(2) berdedikasi untuk mengelola kegiatan FMA;

(3) tidak mempunyai tunggakan hutang dengan pihak lain;

(4) memiliki kemampuan untuk membantu proses pembelajaran petani dalam

mengembangkan usahanya; dan

(5) bersedia meluangkan waktu untuk mengelola seluruh kegiatan. Tugas masing-masing pengurus adalah sebagai berikut:

(1) Ketua : bertanggungjawab pada aspek - aspek FMA baik teknis maupun administrasi.

(2) Sekretaris: bertanggungjawab untuk memonitor dan mencatat pelaksanaan kegiatan penyuluhan di Desa dan pemanfaatan dana stimulan penguatan permodalan dalam pelaksanaan kegiatan agribisnis.

(3) Bendahara: bertanggungjawab secara administrasi atas penerimaan/ pengeluaran dana dan masalah keuangan lainnya sesuai dengan dana FMA.

(4) Penyuluh swadaya : bertanggungjawab untuk merencanakan, memandu proses kegiatan pembelajaran dan pelaksanaan agribisnis.

Pengurus unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya dilatih melalui pelatihan teknik fasilitasi FMA, pelatihan bagi unit pengelola FMA, pembinaan, dan bimbingan teknik lainnya yang dilakukan secara rutin oleh tim pemandu lapang. Pelatihan reorientasi pengelolaan FMA untuk meningkatkan kualitas kemampuan unit pengelola FMA dan penyuluh swadaya.

Kegiatan pembelajaran FMA dilaksanakan terintegrasi dengan pelaksanaan agribisnis berdasarkan produk/ komoditi sesuai dengan permintaan pasar dalam satu

(16)

siklus usaha dengan skala ekonomi untuk produk/komoditi yang diusahakan. Kriteria peserta pembelajaran adalah :

(1) pelaku utama yang melaksanakan agribisnis sesuai dengan produk/komoditi yang diperlukan pasar dan telah ditetapkan melalui pertemuan rembugtani Desa; (2) bersedia untuk mengikuti pembelajaran dalam satu siklus usaha;

(3) berkomitmen untuk menerapkan hasil pembelajaran dalam kegiatan usahanya; (4) bersedia bekerjasama antar anggota kelompok belajar dalam penyediaan sarana

usaha, pemasaran, dan lain-lain; serta

(5) bersedia untuk menyertakan sumberdaya yang dimiliki secara swadaya dalam satuan pelaksanaan agribisnis berskala ekonomi.

Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kecamatan adalah tim penyuluh

lapangan sebagai berikut :

(1) Anggota tim penyuluhan lapangan terdiri dari penyuluh pertanian pada setiap Kecamatan lokasi P3TIP. Apabila diperlukan dan tersedia di kecamatan, dapat ditambah dengan anggota masyarakat (penyuluh swadaya dan swasta) yang memiliki keahlian teknis agribisnis dan mampu memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang diperlukan para pelaku utama.

(2) Tim penyuluhan lapangan berkedudukan di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), dibentuk oleh Kepala Lembaga Penyuluhan Kabupaten, yang dikoordinir oleh koordinator penyuluh.

Tim Penyuluh Lapangan bertugas untuk : (1) Mensosialisasikan FMA.

(17)

(2) Membantu penyuluh swadaya dan pengurus unit pengelola FMA dalam memfasilitasi perencanaan, pelaksanaan, memonitor serta melakukan evaluasi kegiatan penyuluhan pertanian.

(3) Mengembangkan kemitraan diantara pelaku utama dan pelaku usaha dibidang hasil produksi pertanian, teknologi, proses, dan pemasaran di tingkat Kecamatan. (4) Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan di tingkat Kecamatan secara partisipatif dan mempersiapkan laporan bulanan untuk diserahkan ke Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten.

(5) Melaksanakan pertemuan koordinasi FMA di tingkat Kecamatan setiap bulan yang dihadiri pengurus unit pengelola FMA dengan biaya APBD.

(6) Memfasilitasi pelatihan untuk penyuluh swadaya.

(7) Menilai kemajuan/kinerja unit pengelola FMA dalam pelaksanaan kegiatan FMA

yang sudah atau sedang berjalan.

Kriteria keanggotaan FMA tingkat Kabupaten sebagai berikut :

(1) Komisi penyuluhan Kabupaten

Komisi penyuluhan Kabupaten dibentuk oleh Bupati yang berkedudukan di tingkat Kabupaten. Keanggotaan komisi penyuluhan terdiri dari wakil Pemerintah dan non Pemerintah yang memiliki keterkaitan dan kepedulian terhadap penyelenggaraan penyuluhan di Kabupaten. Perbandingan perwakilan organisasi Pemerintah dan non Pemerintah harus seimbang, dengan jumlah anggota perempuan minimal 30% yang dapat menyuarakan kaum perempuan yang berusaha disektor pertanian.

(18)

Komposisi keanggotaan komisi penyuluhan Kabupaten mewakili unsur Pemerintah, organisasi petani/LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian serta perwakilan organisasi yang bergerak di bidang usaha yang berkaitan dengan pertanian/agribisnis. Komisi penyuluhan Kabupaten bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi terhadap penilaian proposal FMA yang disampaikan oleh

tim verifikasi FMA Kabupaten yang selanjutnya disampaikan ke PPK P3TIP

Kabupaten untuk didanai kegiatannya melalui dana hibah FMA. (2) Tim verifikasi proposal FMA

Tim verifikasi terdiri dari staf senior yang memiliki keahlian teknis di bidang pertanian, dan keuangan yang berasal dari lembaga penyuluhan Kabupaten, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian, yang ditugaskan oleh komisi penyuluhan Kabupaten untuk membantu sekretariat komisi penyuluhan Kabupaten dalam penyelenggaraan FMA di Desa. Tim verifikasi bertugas melakukan penilaian terhadap proposal FMA yang disampaikan oleh pengurus unit pengelola FMA Desa, penilaian mencakup :

(1) kelayakan dari segi teknis dan keuangan, serta manfaat dari kegiatan yang diusulkan dalam proposal;

(2) kesesuaian dengan persyaratan untuk memperoleh dana FMA; dan

(3) aspek lingkungan yang tidak membahayakan.

Dana FMA Desa, hanya digunakan untuk membiayai kegiatan penyuluhan pertanian

yang dikelola oleh kelompok tani/gapoktan desa yang bersifat strategis sesuai dengan ruang lingkup dan materi FMA. Dana pembelajaran yang tersedia digunakan untuk kegiatan sebagai berikut :

(19)

(1) biaya pembelajaran sesuai dengan proposal yang telah disetujui (studi petani, sekolah lapangan, demonstrasi, magang, pelatihan, dll)

(2) modal usaha untuk keperluan seluruh proses usaha yang dilaksanakan oleh peserta pembelajaran

(3) biaya Operasional

a. Gaji, upah yang rutin diberikan mingguan/bulanan bagi pengurus FMA dan b. Tranpor bagi peserta rapat/pertemuan/rembugtani yang dilaksanakan di Desa

yang bersangkutan.

(4) Transport kegiatan FMA

a. Transport bagi tenaga harian lepas - tenaga bantu PPL dan

b. Transport bagi peserta pembelajaran kecuali sewa kendaraan untuk studi banding, magang, dan kunjungan petani antar Desa.

(5) Kegiatan yang terkait dengan FMA dan tidak dibiayai dari dana FMA, antara lain kajian pengembangan agribisnis perdesaan, penyusunan rencana usaha berkelompok (business plan), penyusunan programa penyuluhan Desa, serta penyelenggaraan forum penyuluhan pertanian perdesaan. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan ini dibiayai FMA Desa dari sumber lain, yaitu dari swadaya masyarakat, APBN, dan APBD (Deptan, 2009).

2.4 Participatory Rural Appraisal (PRA)

Kegiatan Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif (PPsP) atau Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan suatu metode untuk memahami secara partisipatif kondisi pedesaan dan masalah pembangunan serta upaya antisipasi

(20)

yang dibutuhkan dengan memperhitungkan kendala dan seluruh potensi sumber daya yang tersedia (Irawan dan Priyanto, 2006 dalam Deptan, 2010).

PRA adalah pengalaman belajar bersama yang intensif, sistematis, semi struktural, dilakukan di masyarakat dengan tim multidisiplin dimana anggota masyarakat termasuk dalam peserta (Rangkuti, et al, 1998 dalam Deptan, 2010). Dalam PRA peranan orang luar adalah sebagai katalis, fasilitator dan pemersatu terhadap suatu proses dalam komuniti, terjadi proses transformasi peran-peran dan pengenalan penduduk lokal pria dan wanita, sebagai analisis yang aktif, perencanaan dan organisatoris (Chambers dan Guut, 1995 dalam Deptan, 2010).

Participatory Rural Appraisal / Pemahaman Pedesaan Secara Partisipatif, dilakukan secara sistematis tetapi fleksibel (semi-terstruktur) untuk menggali persepsi/ tanggapan masyarakat setempat tentang keadaan lingkungan/wilayahnya dan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat tersebut (permasalahan, potensi, dll)

PRA berusaha untuk mengidentifikasi potensi dan masalah-masalah yang dihadapi dalam bidang pertanian sehingga memberikan arah teknologi atau inovasi apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan potensi yang ada. Masalah-masalah pertanian di lokasi tersebut tidak hanya pada tataran on farm saja, tetapi mencakup kelembagaan (input, output, penunjang) dalam kerangka mewujudkan agribisnis industrial. Agribisnis industrial adalah sistem yang memanfaatkan keseluruhan potensi yang ada untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan petani (Sinar Tani,1-7 Nop 06 dalam Deptan, 2010).

(21)

agribisnis, (2) penetapan rencana definitif kegiatan kelompok, dan (3) teknologi yang diintrodusir antara lain :

(1) manajemen produksi (pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama/penyakit, introduksi klon unggul (sambung pucuk dan tempel samping);

(2) penanganan pasca panen biji kakao untuk meningkatkan mutu melalui

fermentasi biji; dan

(3) pengolahan kulit kakao menjadi pakan ternak dan pupuk bokashi. 2.5 Kondisi Sosial Budaya Petani Indonesia

Soetrisno (2002) mengatakan bahwa kondisi sosial budaya petani merupakan masalah dalam fungsi sektor pertanian di dalam pembangunan nasional dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing abad yang akan datang. Berdasarkan data statistik, sekitar 75% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Lebih dari 54% diantaranya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah. Perbedaan pendapatan tersebut berkaitan erat dengan produktivitas para petani Indonesia, antara lain luas lahan, rendahnya mutu sumber daya manusia, dan kebijakan Pemerintah.

Lebih lanjut Soetrisno (2002) mengatakan konsep petani dalam sosiologi barat mengenai petani yaitu peasants dan farmers. Peasants (subsistence farmers) adalah petani yang memiliki lahan sempit dan memanfaatkan sebagian terbesar dari hasil pertanian yang diperoleh untuk kepentingan mereka sendiri. Farmers adalah orang-orang yang hidup dari pertanian dan memanfaatkan sebagian besar hasil pertanian yang diperoleh untuk dijual. Farmers telah akrab dengan teknologi modern, misalnya perbankan. Para sosiolog pertanian Indonesia memperoleh

(22)

kesulitan dalam mengaplikasikan dua konsep tersebut, karena mengandung arti yang sama yaitu semua orang yang hidup dari pertanian disebut petani.

Jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia didominasi oleh petani yang memiliki luas lahan kurang dari 0,5 ha. Jika dilihat dari luas lahan yang dimiliki, dapat dikatakan bahwa petani Indonesia dapat digolongan sebagai peasants atau subsistence farmers. Sebagian besar petani di Indonesia, yakni 40,37% berpendidikan sekolah dasar; 4,62% berpendidikan SLTA; dan hanya 0,39% yang berpendidikan akademi/universitas. Kelompok yang tidak berpendidikan (tidak sekolah) dan tidak tamat SD mencapai 47,33%. Maka dikatakan petani Indonesia adalah petani gurem untuk menggantikan istilah peasant (Soetrisno, 2002).

Umur petani Indonesia cenderung tua, sangat berpengaruh terhadap produktivitas sektor pertanian. Petani yang berusia tua biasanya cenderung konservatif dalam menyikapi perubahan atau inovasi teknologi. Namun untuk menyikapi hal ini diperlukan sikap yang hati-hati. Petani Indonesia pada umumnya adalah petani gurem dan usahatani di lingkungan tropika yang penuh resiko, misalnya hama dan penyakit, tidak menentu curah hujan, dan sebagainya. Dalam kondisi yang penuh resiko, petani lebih berhati-hati dalam menerima inovasi, karena kegagalan berarti penderitaan bagi seluruh keluarga. Sementara di Indonesia belum terdapat asuransi yang dapat melindungi para petani dari kegagalan dalam pengembangan usaha tani. Agar lebih survive pada abad yang akan datang, petani harus berani mengambil risiko dalam berinovasi (Soetrisno, 2002).

(23)

2.6 Penelitian – Penelitian yang Relevan

Penelitian Mahyuni (2003) dengan judul Efektivitas Pola Kemitraan Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Bali (Kasus Pada PT. Aneka Satwa Perkasa) menyimpulkan bahwa efektivitas kemitraan antara peternak plasma dengan PT. Aneka Satwa Perkasa telah berjalan efektif yang ditunjukkan dengan menggunakan tiga indikator efektivitas yaitu indikator hubungan sistem kemitraan dengan hasil kriteria baik, indikator produktivitas tenaga kerja, kandang dan peralatan dengan hasil nilai produktif dan indikator efisiensi usaha ternak plasma dengan hasil yang efisien.

Hasil penelitian Kartika (2005) dengan judul Evaluasi Kinerja Kemitraan Agribisnis Komoditas Kopi di Kabupaten Bangli (Studi Kasus Pada CV. Tri Agung Mulia) menyimpulkan bahwa kemitraan antara CV. Tri Agung Mulia dengan

Pemerintah Kabupaten Bangli menguntungkan secara signifikan dan efektif

berdasarkan analisis finansial dan non finansial. Kemitraan juga memberikan manfaat finansial terhadap pemerintah Kabupaten, perusahaan dan petani/kelompok tani. Berdasarkan hasil analisis Fishbein dan Likert pelayanan perusahaan dirasakan belum optimal oleh petani dalam hal kapasitas tampung dan sosialisasi kualitas buah kopi. Tetapi petani memberikan sikap positip terhadap kemitraan dan dinilai puas terhadap atribut/aspek kemitraan, yaitu pembinaan Pemerintah Kabupaten, penetapan kualitas, mekanisme penentuan barang, harga jual, pola insentif dan proses pemasaran.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti sebagai Kepala sekolah tertarik untuk melakukan penelitian dengan menerapkan supervisi

Sebagai Rektor the University of Chicago, Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan buku besar bersejarah (Great books) dan pembahasan

Berdasarkan analisis kedua tabel peluang dan ancaman di atas, nilai hasil faktor eksternal yang ada untuk meningkatkan pengelolaan air limbah domestik Kecamatan

Disamping menggunakan algoritma pada google maps dapat juga dikembangkan dengan menambahkan algoritma pencarian jalur terpendek untuk metunjukkan arah atau rute,

Pengelolaan kelas yang efektif dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan perubahan tingkah laku dimana pengelolaan kelas dilakukan

Izin Penyelenggaraan Pelelangan Ikan yang selanjutnya disebut Izin adalah surat izin menyelenggarakan pelelangan ikan di TPI yang diberikan kepada organisasi

Hasil dari pembuatan sistem ini adalah halaman-halaman informasi yang nantinya dijalankan dengan web browser. Adapun sub-menu yang terdapat di dalam sistem pada

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, BPPT Jl. Tujuan makalah ini adalah untuk memperkenalkan sistem baru untuk estimasi luas panen padi yang disebut sebagai “Pendekatan