• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis

Kelurahan Situgede merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor yang menjadi salah satu lokasi penelitian mewakili daerah perkotaan. Kelurahan Situgede memiliki luas wilayah 232,47 Ha dan terdiri dari 33 RT dalam 10 RW. Secara geografis, Kelurahan Sitgede dibatasi oleh Kelurahan Bubulak di sebelah timur, Desa Cikarawang di sebelah barat, Kali Cisadane di sebelah utara, dan Kali Sindangbarang di sebelah selatan.

Desa Sukajadi memiliki luas wilayah 304,139 Ha yang terbagi kedalam 3 Dusun, dan 32 RT dalam 11 RW. Secara geografis, Desa Situgede berbatasan dengan Desa Purwasari, Desa Petir, dan Desa Sukadami Kecamatan Dramaga disebelah utara, Desa Sukajaya disebelah timur, Gunung Salak disebelah selatan, dan Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya disebelah barat.

Sosio Demografi

Umur dan Jenis Kelamin. Jumlah penduduk Kelurahan Situgede adalah 7.941 jiwa yang terdiri dari 4.048 orang laki-laki dan 3.893 orang perempuan dengan 2.228 kepala keluarga. Jumlah penduduk paling banyak tersebar pada kelompok umur 20-29 tahun.

Jumlah penduduk Desa Sukajadi adalah 7.828 jiwa yang terdiri dari 3.915 orang laki-laki dan 3.913 orang perempuan dengan 1.805 kepala keluarga. Jumlah penduduk paling besar tersebar pada kelompok umur 0-4 tahun.

Pendidikan Penduduk. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan pada Kelurahan Situgede yang terbanyak berada pada lulusan Sekolah Dasar atau sederajat, yaitu sebanyak 3.121 orang. Lulusan akademi dan perguruan tinggi mencapai 133 orang.

Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan pada Desa Situgede yang terbanyak berada pada lulusan Sekolah Dasar atau sederajat, yaitu sebanyak 2.523 orang dan sebanyak 4.572 orang tidak tamat Sekolah Dasar atau sederajat.

Pekerjaan Penduduk. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian pada Kelurahan Situgede terbanyak bermata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 1.134 orang. Jenis pekerjaan lain yang banyak ditekuni oleh

(2)

penduduk yaitu petani (357 orang), swasta/BUMN/BUMD (165 orang), wiraswasta/pedagang (137 orang) dan jasa (132 orang).

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian pada Desa Sukajadi terbanyak bermata pencaharian sebagai buruh tani, yaitu sebanyak 1.422 orang. Pekerjaan lain yang banyak ditekuni adalah pedagang (637 orang), pengrajin (629 orang) dan swasta (362 orang).

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Situgede terdiri dari : saran dan prasarana kesehatan berupa poliklinik (1 buah), praktek bidan (1 buah), balai pengobatan (2 buah), posyandu (11 buah). Sarana dan prasarana peribadatan berupa masjid (10 buah) dan mushola (9 buah). Sarana dan prasarana pendidikan umum negeri berupa sekolah dasar (5 buah) dan SMP (1 buah). Sarana dan prasarana pendidikan umum swasta berupa TK (3 buah), RA (7 buah), SMP (1 buah), dan MA (1 buah). Sarana dan prasarana pendidikan luar sekolah berupa PAUD (3 buah) dan kejar paket B (1 buah).

Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Sukajadi terdiri dari : Sarana pendidikan umum berupa TK (1 buah), SD/MI (2 buah) dan SLTP (1 buah). Sarana pendidikan Islam, yaitu PAUD (4 buah), RA/TK Al-Qur’an (1 buah), MTs (1 buah), Pondok Pesantren (2 buah), dan Majelis Taklim (11 buah). Sarana dan prasarana peribadatan yang ada berupa masjid (12 buah) dan mushola (32 buah). Sarana dan prasarana kesehatan dan tenaga medis yang melaksanakan praktek di desa, yaitu puskesmas (1 buah), posyandu (11 buah), bidan desa (1 orang), dukun beranak tak terlatih (3 orang), dan kader posyandu (33 orang).

Menurut data laporan bulanan UPTD puskesmas Sindangbarang 2011, jumlah bayi lahir di Kelurahan Situgede hingga bulan Maret 2011 adalah 44 bayi, 43 diantaranya ditolong oleh bidan atau tenaga kesahatan dan 1 bayi ditolong oleh dukun beranak. Total balita yang diberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan sebanyak 26 balita. Jumlah bayi lahir yang tercatat di UPTD Tamansari hingga bulan Maret 2011 adalah 30 bayi, 18 diantaranya ditolong dukun beranak dan 12 bayi ditolong oleh bidan atau tenaga kesehatan. Total pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan sebanyak 15 balita.

(3)

Karakteristik Batita

Sebagian besar batita baik di perkotaan maupun perdesaan berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 59,7% dan 40,3% berjenis kelamin perempuan. Di perkotaan sebesar 67,7% batita berjenis kelamin laki-laki dan 32,3% berjenis kelamin perempuan. Sedangkan di perdesaan persentase batita yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 51,6% dan perempuan sebesar 48,4%.

Umur batita dari contoh penelitian berkisar antara 12-35 bulan. Rata-rata umur batita di perkotaan dan perdesaan adalah 23,5 bulan. Sebesar 58,1% batita di perkotaan berusia antara 24-35 bulan dan 41,9% batita berusia 12-23 bulan. Pada daerah perdesaan sebesar 48,4% batita berusia antara 24-35 bulan dan 51,6% batita berusia antara 12-23 bulan. Masa batita (bawah tiga tahun) merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan (Sutomo & Anggraini 2010). Uji t yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara umur bayi di perkotaan dan perdesaan (p>0,05).

Berat bayi lahir dikatan rendah jika berat badan lahir < 2500 gram. Rata-rata berat bayi lahir di perkotaan dan perdesaan adalah 3200 gram. Sebesar 96,8% batita di perkotaan dan perdesaan memiliki berat badan lahir diatas 2500 gram dan 3,2% batita memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara berat bayi lahir di perkotaan dan perdesaan. Tidak adanya perbedaan antara berat bayi lahir dikedua lokasi diduga karena ibu dikedua daerah telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan dapat menjaga janinnya selama masa kehamilan

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan berat bayi lahir

Variabel Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n % Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 21 10 67,7 32,3 16 15 51,6 48,4 37 25 59,7 40,3 Umur (bulan) 12-23 24-35 13 18 41,9 58,1 16 15 51,6 48,4 29 33 46,8 53,2

(4)

Tabel 4 (Lanjutan)

Variabel Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Berat bayi lahir < 2500 gram ≥ 2500 gram 1 30 3,2 96,8 1 30 3,2 96,8 2 60 3,2 96,8

Rata-rata berat badan lahir 2,9 2,9 2,9

Karakteristik Ibu Umur ibu

Sebaran umur ibu dikelompokkan menjadi empat, yaitu remaja (< 20 tahun), dewasa awal ( 20-40 tahun), dewasa tengah ( 41-65 tahun), dan dewasa akhir ( ≥ 65 tahun). Harlock (1998) menyatakan bahwa orang tua khususnya ibu yang terlalu muda (< 20 tahun) cenderung kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengasuh anak dan lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kulitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati.

Sebesar 96,8% umur ibu di perkotaan tergolong ke dalam dewasa awal (20-40 tahun) dan 3,2% tergolong ke dalam dewasa tengah (41-65 tahun). Sedangkan di perdesaan sebesar 3,2% umur ibu tergolong ke dalam remaja (< 20 tahun), 93,5% tergolong ke dalam dewasa awal (20-40 tahun), dan sebesar 3,2% tergolong ke dalam dewasa akhir (41-65 tahun). Rata-rata umur ibu di perkotaan sebesar 31 tahun sedangkan di perdesaan sebesar 28 tahun. Hasil uji t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara ibu di perkotaan dan perdesaan. Tabel 5 menunjukkan sebaran umur ibu.

Tabel 5 Sebaran umur ibu

Kategori umur Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Remaja (< 20) 0 0 1 3,2 1 1,6

Dewasa awal (20-40) 30 96,8 29 93,5 59 95,2

Dewasa tengah (41-65) 1 3,2 1 3,2 2 3,2

Rata-rata umur ibu ± SD 28,4 30,7 29,5

Pendidikan ibu

Pendidikan ibu dibagi kedalam 6 kategori yaitu tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, Akademik/D1/D2/D3, Universitas/Sarjana. Secara keseluruhan pendidikan ibu di kedua daerah tergolong cukup baik. Sebesar

(5)

46,8% ibu tergolong tamatan SD, 29% tergolong tamatan SMP, 22,6% tergolong tamatan SMA dan 1,6% tergolong tamatan akademik.

Tingkat pendidikan ibu di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Sebesar 29% ibu di perkotaan tergolong tamatan SD, 32,3% ibu tergolong tamatan SMP, 35,5% tergolong tamatan SMA dan sebesar 3,2% tergolong kedalam tamatan Akademik. Sedangkan di daerah perdesaan sebesar 64,5% ibu tergolong tamatan SD, 25,8% tergolong tamatan SMP, dan 9,7% tergolong tamatan SMA. Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak di dalam lingkungan keluarga. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004).

Hasil uji beda menunjukkan terdapat berbedaan nyata antara tingkat pendidikan di perkotaan dan perdesaan (p<0,05), dimana tingkat pendidikan ibu di perkotaan lebih baik dibandingkan di perdesaan. Hal ini diduga karena masih terbatasnya akses akan pendidikan di daerah tersebut serta serta tingkat ekonomi di perdesaan yang lebih rendah menyebabkan mereka lebih cenderung untuk bekerja dibandingkan bersekolah. Tabel 6 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan ibu.

Tabel 6 Sebaran tingkat pendidikan ibu Tingkat pendidikan Pendidikan ibu Total Perkotaan Perdesaan n % n % n % Tamat SD 9 29 20 64,5 29 46,8 Tamat SMP 10 32,3 8 25,8 18 29 Tamat SMA 11 35,5 3 9,7 14 22,6 Akademik/D1/D2/D3 1 3,2 0 0 1 1,6 Pekerjaan ibu

Sebagian besar ibu baik di perkotaan maupun perdesaan merupakan ibu rumah tangga dengan persentase sebesar 93,5%, hanya 6,5% yang bekerja sebagai wiraswasta. Sebagian besar ibu di perkotaan (90,3%) dan perdesaan (96,8%) yang tidak bekerja. Persentase ibu yang bekerja di perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Sebesar 9,7% ibu di perkotaan bekerja sebagai wiraswasta. Tingginya persentase ibu yang tidak bekerja dikedua daerah diduga karena sebagian besar ibu memilih untuk merawat dan meluangkan waktu bagi

(6)

batitanya dengan memperhatikan perkembangan dan status gizi batitanya. Hal ini dapat memberikan dampak yang baik status gizi batita mereka.

Mulyani (1990) menyatakan bahwa semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak. Tabel 7 menunjukkan sebaran contoh menurut pekerjaan.

Tabel 7 Sebaran contoh menurut pekerjaan Jenis pekerjaan Ibu Total Perkotaan Perdesaan n % n % n % Tidak bekerja 28 90,3 30 96,8 58 93,5 Wiraswasta 3 9,7 1 3,2 4 6,5 Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga di perkotaan dan perdesaan adalah 5 orang. Sebesar 50% tergolong kedalam keluarga kecil (≤ 4 orang) dan sebesar 16% tergolong ke dalam keluarga besar (≥7 orang). Jumlah anggota keluarga terbesar yang dimiliki oleh contoh adalah 9 orang dan terkecil sebanyak 3 orang.

Berdasarkan pada hasil penelitian sebesar 45,2% contoh di perkotaan tergolong kedalam keluarga kecil (≤ 4 orang), 35,3% tergolong kedalam keluarga sedang (5-6 orang) dan 19,4% tergolong kedalam keluarga besar (≥7 orang). Sedangkan di perdesaan persentase keluarga kecil (≤ 4 orang) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan perkotaan, yaitu sebesar 54,8%. Sebanyak 32,3% dari contoh tergolong kedalam keluarga sedang (5-6 orang) dan 12,9% tergolong kedalam keluarga besar (≥7 orang).

Masih rendahnya persentase keluarga kecil di perkotaan diduga karena kurangnya kesadaran warga akan pentingnya program KB yang dianjurkan oleh pemerintah. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara besar keluarga di perkotaan maupun di perdesaan (p>0,05). Tabel 8 menunjukkan sebaran contoh menurut besar keluarga.

(7)

Tabel 8 Sebaran contoh menurut besar keluarga

Besar keluarga (orang) Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n % Kecil(≤ 4) 14 45,2 17 54,8 31 50 Sedang (5-6) 11 35,3 10 32,3 21 34 Besar (≥7 ) 6 19,4 4 12,9 10 16 Rata-rata (orang) 5 5 5 Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga dinyatakan dalam pendapatan/kapita/bulan. Pendapatan/kapita/bulan dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2010 sehingga dapat digolongkan menjadi keluarga miskin (< Rp 198.772) dan tidak miskin (≥ 198.772).

Berdasarkan pada penelitian secara keseluruhan rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga contoh adalah Rp 249.598. Sebesar 56% keluarga contoh tergolong dalam keluarga tidak miskin dan sebesar 44% tergolong keluarga miskin.

Rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga di perkotaan lebih besar (Rp 284.884) dibandingkan perdesaan (Rp 214.312). Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara pendapatan di perkotaan dan perdesaan. Berdasarkan garis kemiskinan, sebesar 41,9% keluarga contoh di perkotaan dan 45,2% di perdesaan termasuk kedalam keluarga miskin dan sebesar 58,1% keluarga contoh di perkotaan dan 54,8% keluarga contoh di perdesaan termasuk kedalam keluarga tidak miskin. Rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Nasoetion dan Riyadi (1994) menyatakan bahwa tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Tabel 9 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita per bulan.

Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita per bulan

Pendapatan/kap/bulan Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Miskin 13 41,9 14 45,2 27 44

Tidak miskin 18 58,1 17 54,8 35 56

(8)

Pengetahuan Inisiasi Menyusui Dini Ibu

Pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu dikategorikan menjadi tiga yaitu pengetahuan inisiasi menyusi dini ibu tergolong baik jika total nilai >80%, sedang jika total nilai antara 60%-80%, dan rendah jika total nilai <60%. Berdasarkan pada hasil penelitian pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu di perkotaan dan perdesaan tergolong sedang dan tinggi dengan nilai terkecil adalah 9 dan terbesar 20. Sebesar 58,1% ibu di perkotaan memiliki pengetahuan IMD sedang, 38,7% memiliki pengetahuan IMD tinggi dan 3,2% memiliki pengetahuan IMD rendah. Di perdesaan sebesar 51,6% ibu memiliki pengetahuan IMD sedang, 35,5% memiliki pengetahuan IMD tinggi dan 12,9% memiliki pengetahuan IMD rendah. Tabel 10 menunjukkan sebaran pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu

Tabel 10 Sebaran pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu Tingkat pengetahuan IMD

ibu

Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Rendah (<60%) 1 3,2 4 12,9 5 8,1

Sedang (60%-80%) 18 58,1 16 51,6 34 54,8

Tinggi (≥80%) 12 38,7 11 35,5 23 37,1

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pengetahuan inisiasi menyusui dini ibu di perkotaan dan perdesan (p>0.05). Pengetahuan inisiasi menyusui dini dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Banyaknya kegiatan penyuluhan yang dilakukan tenaga kesehatan merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi tingkat pegetahuan inisiasi menyusui dini ibu.

Pertanyaan tertutup yang digunakan untuk mengukur pengetahuan inisiasi menyusui dini sebanyak 20 pertanyaan yang terbagi kedalam enam kategori pertanyaan yaitu makanan sumber zat gizi, ASI eksklusif, definisi IMD, langkah-langkah IMD, manfaat IMD, dan faktor penghambat IMD. Setiap jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0, sehingga nilai maksimal yang akan diperoleh adalah 20 dan nilai minimal adalah 0.

Pada hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga pertanyaan yang hanya mampu di jawab benar oleh sedikit ibu baik di perkotaan maupun perdesaan yaitu pertanyaan mengenai berat badan lahir minimal untuk bayi, waktu yang tepat untuk melaksanakan IMD serta cara bayi dalam mencari puting susu ibu dalam pelaksanaan IMD, dan terdapat satu pertanyaan yang hanya mampu di jawab benar oleh sedikit ibu di perdesaan yaitu mengenai kelompok bahan

(9)

pangan protein nabati. Tabel 11 menunjukkan sebaran pertanyaan yang di jawab benar oleh ibu di perkotaan dan perdesaan.

Tabel 11 Sebaran pertanyaan pengetahuan inisiasi menyusui dini yang dijawab benar oleh ibu diperkotaan dan perdesaan.

No Pertanyaan Perkotaan Perdesaan

n % n %

1 Kelompok bahan pangan protein hewani 31 100 28 90

2 Kelompok bahan pangan protein nabati 23 74 14 45

3 Pengertian ASI eksklusif 27 87 26 84

4 Pengertian MP ASI 31 100 26 84

5 Lama pemberian ASI eksklusif 31 100 25 81

6 Waktu pemberian ASI pertamakali 25 81 25 81

8 Pengertian kolostrum 31 100 26 84

9 Pengertian IMD 23 74 19 61

10 Waktu yang tepat untuk melaksanakan IMD 16 52 17 55

11 Istilah lain IMD 21 68 24 77

12 Langkah IMD setelah bayi dilahirkan 28 90 26 84

13 Cara bayi dalam mencari puting susu ibu dalam

pelaksanaan IMD 11 35 14 45

14 Posisi bayi dalam melaksanakan IMD 23 74 22 71

15 Persalinan pendukung keberhasilan IMD 30 97 31 100

16 Lama pelaksanaan IMD 26 84 24 77

17 Tindakan bagi ibu dan bayi setelah melahirkan 24 77 25 81

18 Manfaat IMD bagi ibu 24 77 29 94

19 Manfaat IMD bagi bayi 29 94 26 84

20 Penghambat pelaksanaan IMD 26 84 21 68

Pertanyaan mengenai kelompok bahan pangan yang mengandung protein nabati dapat dijawab dengan benar oleh 74% ibu di perkotaan dan 45% ibu di perdesaan. Sebagian besar (55%) ibu di perdesaan yang tidak menjawab dengan benar menjawab daging, ikan, telur dan susu merupakan bahan pagan nabati. Hal ini diduga karena bahan pangan tersebut merupakan bahan pangan yang umum mereka ketahui dan merupakan bahan pangan yang banyak mengandung sumber protein, selain itu para ibu juga tidak dapat membedakan bahan makanan yang mengandung protein hewani dan protein nabati.

Pertanyaan mengenai berat badan lahir minimal untuk bayi sehat tidak mampu dijawab dengan baik oleh ibu di perkotaan maupun di perdesaan. Hanya sebesar 23% ibu di perkotaan dan 35% ibu di perdesaan yang mampu menjawab dengan benar. Ibu yang tidak menjawab dengan benar baik di perkotaan maupun perdesaan sebagian besar menjawab 3 kg adalah berat badan lahir minimal untuk bayi sehat. Hal ini diduga karena ibu tidak mengetahui berat badan minimal bayi lahir sehat sehingga sebagian besar ibu memperkirakan bahwa dengan berat badan lahir bayi lebih besar atau sama dengan 3 kg dikatakan berat minimal berat badan bayi lahir sehat.

(10)

Pertanyaan mengenai waktu pelaksanaan IMD hanya dapat dijawab oleh 52% ibu di perkotaan dan 55% ibu di perdesaan. Rata-rata ibu menjawab setelah bayi dibersihkan, diberi tetes mata dan disuntik vitamin K. Hal ini diduga karena sebagian besar ibu yang telah melahirkan menyusui bayinya setelah bayi dalam keadaan bersih. Masih rendahnya pengetahuan ibu mengenai praktek pelaksanaan IMD diduga karena masih rendahnya peran tenaga kesehatan di kedua wilayah dalam memperkenalkan program tersebut sehingga banyak dari ibu yang tidak mengetahui istilah ataupun langkah pelaksanaan IMD.

Pertanyaan mengenai cara bayi dalam mecari puting susu ibu hanya dapat dijawab benar oleh 35% ibu di perkotaan dan 45% ibu di perdesaan. Sebagian besar ibu (65%) di perkotaan dan (55%) di perdesaan yang tidak menjawab benar menjawab langsung diarahkan ke puting susu merupakan cara bayi dalam mencari puting susu ibu. Banyaknya ibu yang menjawab salah diduga karena belum optimalnya pelaksaan IMD di kedua daerah. Dalam mencari puting susu ibu, sebagian besar bayi langsung diarahkan dan mendapatkan bantuan dari tenaga medis, sehingga banyak dari ibu yang tidak mengetahui bagaimana cara bayi mencari puting susu ibu dalam pelaksanaan IMD.

Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini

Pilar utama dalam proses menyusui adalah inisiasi dini atau lebih dikenal dengan inisiasi menyusui dini (IMD). IMD didefinisikan sebagai proses membiarkan bayi menyusui sendiri setelah kelahiran (Yuliarti 2010). Pada penelitian yang dilakukan di Ghana menunjukkan bahwa sebesar 16% kematian neonatus dapat dicegah bila bayi mendapatkan ASI di hari pertamanya. Angka tersebut meningkat menjadi 22% bila bayi melakukan IMD dalam satu jam pertama setelah lahir (Depkes RI 2008).

Pelaksanaan inisiasi menyusui dini diukur dengan menggunakan 12 pertanyaan mengenai langkah inisiasi menyusui dini. Berdasarkan pada data penelitian ini sebesar 40% contoh dikedua daerah yang tidak melaksanakan IMD dan 60% contoh yang melaksanakan IMD. Terdapat 55% contoh di perkotaan yang tidak melaksanakan inisiasi menyusui dini dan 45% contoh yang melaksanakan inisiasi menyusui dini. Di perdesaan terdapat 65% contoh yang tidak melaksankan inisiasi menyusui dan 35% contoh yang melaksanakan inisiasi menyusui dini. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara pelaksanaan IMD di perkotaan dan perdesaan. Rendahnya pelaksanaan IMD di kedua lokasi penelitian diduga karena masih terbatasnya

(11)

pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam melaksanakan program tersebut. Berdasarkan pada penelitian Yulianty (2010) menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan inisiasi menyusui dini adalah melatih keterampilan.

Menurut Aprillia (2009) keberhasilan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan motovasi bidan atau dokter yang menangani proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh suami, keluarga, petugas kesehatan, dan masyarakat. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan inisiasi menyusui dini di

perkotaan dan perdesaan

Kategori pelaksanaan IMD Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Melaksanakan 14 45 11 35 25 40

Tidak melaksanakan 17 55 20 65 37 60

Pertanyaan yang digunakan untuk mengukur inisiasi menyusui dini terdiri dari dua belas pertanyaan mengenai langkah inisasi menyusui dini, dari dua belas langkah pelaksanaan IMD hanya terdapat enam langkah utama yang menunjukkan proses inisiasi menyusui dini, yaitu meletakan bayi diatas perut ibu, bayi mencari puting susu ibu, bayi meremas daerah puting susu ibu, bayi menendang perut ibu, bayi menjilat puting susu ibu, dan bayi menghisap puting susu ibu. Contoh dianggap melaksanakan Inisiasi Menyusui Dini apabila setelah bayi dilahirkan, bayi diletakkan di atas perut ibu, dan bayi memberikan salah satu respon antara lain mencari puting susu ibu, menendang perut ibu, meremas daerah puting susu, menjilati puting susu, hingga bayi menghisap puting susu. Berdasarkan Tabel 13, dari sejumlah contoh yang diteliti 14 batita (45%) di perkotaan dan 11 batita (35%) yang melaksanakan IMD. Terdapat respon berbeda yang diberikan batita ketika berada di atas perut ibu. Berikut ini adalah respon bayi yang melakukan IMD (Tabel 13).

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan respon yang diberikan

Respon Perkotaan Perdesaan

n % n %

Bayi mencari puting susu ibu 14 100 11 100

Bayi menendang perut ibu 13 93 10 91

Bayi meremas daerah puting susu ibu 12 86 10 91

Bayi menjilati kulit ibu 14 100 11 100

Bayi menghisap puting susu ibu 14 100 11 100

Berdasarkan tabel diatas terdapat 93% batita di perkotaan dan 91% batita di perdesaan yang memberikan respon menendang perut ibu dan terdapat 86%

(12)

batita di perkotaan dan 91% batita di perdesaan yang memberikan respon meremas daerah puting susu ibu. Respon yang berbeda ini diduga dapat disebabkan oleh posisi bayi yang diletakkan diatas perut ibu terlalu dekat dengan puting susu ibu sehingga bayi dengan mudah dapat mencari puting susu ibu.

Pemberian ASI Eksklusif Status pemberian kolostrum

Kolostrum merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai usus bayi yang baru lahir dan membersihkan saluran pencernaan makanan bayi bagi makanan yang akan datang (Roesli 2004). Tabel 15 menunjukkan sebesar 72,6% ibu di perkotaan dan perdesaan memberikan kolostrum kepada batitanya dan sebesar 27,4% ibu yang tidak memberikan kolostrum. Adapun alasan contoh di perkotaan tidak memberikan kolostrum kepada batita mereka dikarenakan ASI tidak keluar (90%), dan operasi caesar (10%). Sedangkan alasan ibu di perdesaan tidak memberikan kolostrum dikarenakan ASI tidak keluar (71%) dan bayi di rawat (29%). Alasan tersebut menunjukkan bahwa keadaan fisik ibu sesaat setelah melahirkan dan kesehatan bayi yang tidak memungkinkan untuk diberikan kolostrum. Hal uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata (p>0.05) antara pemberian kolostrum di perkotaan dan perdesaan.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan status pemberian kolostrum di perkotaan dan perdesaan serta alasan tidak memberikan kolostrum

Pemberian kolostrum Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Status pemberian kolostrum Ya Tidak 21 10 67,7 32,2 24 7 77,4 22,6 45 17 72,6 27,4 Alasan tidak memberikan kolostrum

ASI tidak keluar Operasi Caesar Bayi di rawat 9 1 0 90 10 0 5 0 2 71 0 29 14 1 2 82 6 12 Pemberian makanan prelaktal dan jenis makanan

Makanan prelaktal merupakan jenis makanan yang diberikan kepada bayi yang baru lahir sebelum ASI keluar seperti susu formula, air putih, air gula, air kelapa, madu, pisang, dan lain sebagainya (Riskesdas 2010). Depkes & Kessos (2000) menerangkan bahwa pemberian makanan prelaktal sangat berbahaya bagi kesehatan bayi dan dapat mengganggu keberhasilan menyusui.

Berdasarkan hasil penelitian sebesar 27,4% batita di kedua lokasi penelitian diberi makanan prelaktal. Pada daerah perkotaan persentase batita

(13)

yang diberikan makanan prelaktal sebesar 32,3% sedangkan pada daerah perdesaan persentase pemberian makanan prelaktal sebesar 22,6%. Pemberian makanan prelaktal pada batita dikarenakan ASI belum dapat keluar, sehingga untuk mencegah batita kelaparan maka diberikan makanan sebagai penganti ASI. Jenis makanan prelaktal yang banyak diberikan di kedua lokasi penelitian adalah susu formula, air putih dan madu.

Berdasarkan hasil penelitian sebesar 47,1% batita di kedua lokasi penelitian diberi air putih sebagai makanan prelaktal, 41,2% diberi susu formula dan 11,7% diberi madu. Roesli (2004) menerangkan bahwa meskipun ASI yang keluar pada hari pertama sedikit menurut ukuran kita tetapi volume kolostrum yang ada dalam payudara mendekati kapasitas lambung bayi yang berusia 1-2 hari. Hasil uji beda test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pemberian makanan prelaktal di perkotaan maupun perdesaan.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan pemberian makanan prelaktal di perkotaan dan perdesaan dan jenis makanan

Pemberian makan prelaktal

Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n % Ya 10 32,3 7 22,6 17 27,4 Tidak 21 67,7 24 77,4 45 72,6 Jenis makanan Susu formula 5 50 2 28,6 7 41,2 Air putih 3 30 5 71,4 8 47,1 Madu 2 20 0 0 2 11,7

Pelaksanaan dan lama pemberian ASI Eksklusif serta alasannya

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang ideal untuk bayi, khususnya pada bulan-bulan pertama, sebab ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan untuk pembangun dan penyediaan energi dalam susunan tumbuh kembang yang diperlukan. Selain itu ASI mengandung berbagai antibodi serta leukosit dan makrofag sehingga mempertinggi daya tahan tubuh terhadap infeksi (Muaris 2009).

Sebanyak 61,3% batita di perkotaan dan 64,5% di perdesaan mendapatkan ASI eksklusif. Sebesar 38,7% batita di perkotaan dan 35,5% batita di perdesaan tidak mendapatkan ASI eksklusif. Berdasarkan uji beda tidak terdapat perbedaan nyata antara pemberian ASI eksklusif di perkotaan maupun di perdesaan (p>0,05). Tabel 16 menunjukkan sebara contoh berdasarkan pelaksanaan pemberian ASI eksklusif.

(14)

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan pemberian ASI eksklusif di perkotaan dan perdesaan

Pelaksanaan Pemberian ASI Eksklusif

Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

ASI Eksklusif 19 61,3 20 64,5 39 62,9

Non ASI Eksklusif 12 38,7 11 35,5 23 37,1

Masih terdapatnya ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif diduga karena ibu merasa produksi ASI sedikit sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan batitanya serta ibu bekerja. Kodrat (2010) menyatakan rata-rata permasalahan yang dihadapi oleh ibu dikarenakan mereka bekerja sehingga sulit untuk bisa memberikan ASI eksklusif sepanjang hari. Selain itu, faktor sosial budaya dan kurangnya kesadaran akan pentingnya ASI juga menjadi penyebab masih banyaknya ibu di Indonesia yang tidak memberikan ASI eksklusif. Lamanya pemberian ASI eksklusif dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan lama pemberian ASI Eksklusif di perkotaan dan perdesaan

Lama pemberian ASI Eksklusif Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

6 bulan 19 61,3 20 64,5 39 62,9

4-5 bulan 1 3,2 4 12,9 5 8,1

< 4 bulan 11 35,5 7 22,6 18 29

Menurut Roesli (2000) WHO dan UNICEF membuat deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Innocenti yang dilahirkan di Innocenti, Italia pada tahun 1990 yang menyatakan bahwa semua bayi diberi ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan dan setelah 6 bulan bayi diberikan makanan pendamping atau padat yang benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Data diatas menunjukkan bahwa dari 31 contoh di perkotaan dan perdesaan terdapat 19 contoh (61,3%) di perkotaan dan 20 contoh (64,5%) di perdesaan yang memberikan ASI eksklusif pada batita hingga usia 6 bulan. Sebesar 3,2% ibu di perkotaan dan 12,9% ibu di perdesaan memberikan ASI eksklusif hingga usia 4-5 bulan dan 35,5% ibu di perkotaan maupun 22,6% ibu di perdesaan memberikan ASI eksklusif hingga usia <4 bulan. Tingginya persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan diduga karena peran aktif dari tenaga kesehatan dalam usaha meningkatkan kesadaran ibu akan pentingnya ASI eksklusif dan dukungan keluarga sudah cukup baik.

Jellife dan Jellife (1978) dalam Hardinsyah dan Martianti (1992) mengungkapkan bahwa jika pasangan bayi dan ibu menyusui mempunyai kondisi kesehatan yang baik, dengan pembinaan dan pemberian laktasi yang

(15)

baik, maka kualitas dan kuantitas ASI biasanya baik dan cukup untuk pertumbuhan yang optimal sampai umur 6 bulan tanpa pemberian makanan tambahan. Berbagai alasan ibu memberika ASI eksklusif pada batita mereka seperti yang disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Alasan pemberian ASI eksklusif

Alasan pemberian ASI eksklusif n %

Hemat dan mudah diberikan 4 10

Baik bagi kesehatan 27 69

Murah 1 3

Saran tenaga kesehatan 3 8

Bayi tidak ingin lepas 2 5

ASI yang dihasilkan banyak 2 5

Total 39 100

Alasan utama ibu di perkotaan dan perdesaan memberikan ASI eksklusif kepada batita mereka karena ASI baik bagi kesehatan (69%) dan beberapa diantaranya menjawab saran dari tenaga kesehatan (8%), ASI yang dihasilkan banyak (5%), murah (3%), dan bayi tidak ingin lepas (5%) . Hal ini diduga karena peran tenaga kesehatan yang cukup baik dalam meningkatkan kesadaran ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada batita serta pemberian penyuluhan mengenai manfaat pemberian ASI eksklusif sudah dapat dikatan baik. Selain dapat meningkatkan kesehatan dan kepandaian secara optimal, ASI juga membuat anak potensial memiliki emosi yang stabil, spiritual yang matang, serta memiliki perkembangan sosial yang baik. Tidak ada susu buatan yang dapat mendekati ataupun menyamai keuntungan alami yang diberikan oleh ASI (Roesli 2000).

Pemberian susu formula

Susu formula seharusnya tidak baik jika diberikan pada bayi sejak umur 0-6 bulan. Bayi belum bisa mencerna makanan yang lain. Namun jika bayi tidak puas dengan ASI ibu maka susu formula dapat diberikan setelah bayi berusia empat bulan. Ibu yang bekerja harus tetap memberikan ASI eksklusif dengan cara memeras ASI untuk kemudian dimasukkan ke dalam botol (Kodrat 2010).

Berdasarkan hasil penelitian sebesar 38,7% batita di perkotaan dan 35,5% batita di perdesaan diberikan susu formula pada usia < 6 bulan. Sebesar 61,3% batita di perkotaan dan 64,5% batita di perdesaan diberikan susu formula pada usia ≥ 6 bulan. Pemberian susu formula ini diduga karena ibu merasa produksi ASI tidak mencukupi sehingga susu formula dijadikan sebagai tambahan ASI dan alasan ibu bekerja juga diduga merupakan salah satu penyebab pemberian susu formula. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat

(16)

perbedaan nyata (p>0,05) antara pemberian susu formula di perkotaan dan perdesaan

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pemberian susu formula di perkotaan dan perdesaan

Usia pemberian susu formula Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

< 6 bulan 12 38,7 11 35,5 23 37,1

≥ 6 bulan 19 61,3 20 64,5 39 62,9

Status Gizi Batita

Penentuan status gizi batita di perkotaan dan perdesaan diukur dengan menggunakan perhitungan Z-skor WHO-NCHS. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Status gizi batita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U)

Menurut Supariasa dkk (2002) berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Mengingat karakteristik berat badan yanag labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).

Penentuan status gizi baita menggunakan baku antropometri Depkes RI (2011) yang dihitung dengan menggunakan skor simpangan baku (Z-score) dengan kategori gizi buruk jika nilai standar deviasi Z-skor ≤ -3 SD, gizi kurang jika nilai standar deviasi berada antara selang -3 SD < Z-skor < -2 SD, gizi baik jika nilai standar deviasi berada antara selang -2 SD < Z-skor < 2 SD, dan gizi lebih jika nilai standar deviasi Z-skor ≥ 2 SD.

Berdasarkan pada hasil penelitian sebesar 96,8% batita di kedua lokasi penelitian memiliki status gizi baik dengan nilai sebesar -0,42 dan sebesar 3,2% berstatus gizi kurang. Status gizi kurang yang ditemukan di kedua lokasi berkaitan dengan kondisi kesehatan batita tersebut saat penelitian berlangsung sehingga terjadi penurunan berat badan. Hasil uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara status gizi batita di perkotaan dan perdesaan dimana status gizi batita di perdesaan lebih baik dibandingkan perkotaan. Hal ini diduga karena persentase ibu bekerja pada daerah perkotaan lebih tinggi daibandingkan di perdesaan sehingga menyebabkan ibu memiliki sedikit waktu

(17)

untuk memperhatikan tumbuh kembang batita meraka yang pada akhirnya memberikan dampak pada status gizi batita.

Tabel 20 Sebaran status gizi batita di perkotaan dan perdesaan berdasarkan indeks berat badan menurut umur

Status gizi Z-skor Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Gizi buruk Z-skor ≤-3 SD 0 0 0 0 0 0

Gizi kurang -3 SD < Z-skor <-2 SD Z-skor 1 3,2 1 3,2 2 3,2

Gizi baik -2 SD < Z-skor <2 SD 30 96,8 30 96,8 60 96,8

Gizi lebih Z-skor ≥ 2 SD 0 0 0 0 0 0

Rata-rata ± SD -0,58 ± 0,62 -0,26 ± 0,58 -0.42 ± 0,62

Status gizi batita berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U)

Menurut Nasoetion & Riyadi (1995) tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi pada masa lalu sehingga relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang singkat.

Berdasarkan pada hasil penelitian status gizi batita di kedua lokasi tergolong kedalam status gizi normal (64,5%) dan sebesar 6,5% tergolong sangat pendek dan tinggi. Sebesar 67,7% batita di perkotaan memiliki status gizi normal, 19,4% memiliki status gizi pendek dan 12,9% memiliki status gizi tinggi. Sedangkan di perdesaan, sebesar 61,3% memiliki status gizi normal, 25,8% memiliki status gizi pendek dan 12,9% memiliki status gizi sangat pendek. Hasil uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) antara status gizi di perkotaan dan perdesaan. Tabel 21 menunjukkan sebaran status gizi batita berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur.

Tabel 21 Sebaran status gizi batita di perkotaan dan perdesaan berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur

Status gizi Z-skor Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Sangat pendek Z-skor ≤-3 SD 0 0 4 12,9 4 6,5

Pendek -3 SD < Z-skor < -2 SD 6 19,4 8 25,8 14 22,6

Normal -2 SD< Z-skor < 2 SD 21 67,7 19 61,3 40 64,5

Tinggi Z-skor ≥ 2 SD 4 12,9 0 0 4 6,5

Rata-rata ± SD -1,03 ± 1,74 -1,2 ± 1,23 -1,13 ± 1,50

Status gizi batita berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) Menurut Soekirman (2000) pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya, mereka yang memiliki BB/TB kurang, dikategorikan sebagai “kurus” atau “wasted”.

(18)

Berdasarkan pada hasil penelitian sebagian besar batita di kedua lokasi penelitian memiliki status gizi normal (80,6%) dan sebesar 1,6% memiliki status gizi sangat kurus. Pada daerah perkotaan sebesar 83,9% batita memiliki status gizi normal, 9,7% batita memiliki status gizi kurus, dan 3,2% batita memiliki status gizi sangat kurus dan gemuk. Di perdesaan sebesar 77,4% batita status gizi normal, 19,4% memiliki status gizi gemuk dan 3,2% memiliki status gizi kurus. Hasil uji t menunjukkan perbedaan nyata antara status gizi di perkotaan dan perdesaan (p<0,05) dimana status gizi daerah perdesaan lebih baik dari perkotaan.

Tabel 22 Sebaran status gizi batita di perkotaan dan perdesaan berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan

Status gizi Z-skor Perkotaan Perdesaan Total

n % n % n %

Sangat kurus Z-skor ≤-3 SD 1 3,2 0 0 1 1,6

Kurus -3 SD < Z-skor < -2 SD 3 9,7 1 3,2 4 6,5

Normal -2 SD< Z-skor < 2 SD 26 83,9 24 77,4 50 80,6

Gemuk Z-skor ≥ 2 SD 1 3,2 1 19,4 7 11,3

Rata-rata ± SD -0,26 ± 1,12 0,68 ± 1,16 0,21 ± 1,23

Hubungan Pengetahuan Inisiasi Menyusui Dini Ibu dengan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara pengetahuan IMD dengan praktek pelaksanaan IMD (p>0,05) yang berarti bahwa ibu yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tidak selalu melaksanakan inisiasi menyusui dini. Hasil penelitian menjukkan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi dan melaksanakan IMD hanya sebesar 41%. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kusumawati (2010) dan Hasanah (2009) yang menerangkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan IMD ibu dengan pelaksanaan IMD. Dimana apabila tingkat pengetahuan IMD ibu tergolong baik maka akan baik pula pelaksanaan IMD.

Tabel 23 Sebaran pengetahuan IMD dan pelaksanaan IMD

Pengetahuan IMD

Pelaksanaan Inisiasi Menyusi Dini Tidak

melaksanakan Melaksanakan Total

n % n % n %

Rendah 4 80 1 20 5 100

Sedang 20 58,8 14 41,2 34 100

Tinggi 13 56,5 10 43,5 23 100

Total 37 59,6 25 40,4 62 100

Tidak berhubungannya pengetahuan IMD ibu dengan pelaksanaan inisiasi menyusui dini diduga karena masih rendahnya peran aktif dari tenaga

(19)

kesahatan untuk menerapkan inisiasi menyusi dini sesaat setelah bayi dilahirkan, selain itu pula masih adanya ibu yang melahirkan ditolong oleh dukun beranak yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai inisiasi menyusui dini. Hasil penelitian Yulianty (2010) menyatakan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan inisiasi menyusui dini adalah keterampilan.

Sebagian besar bayi yang telah dilahirkan tidak langsung diletakkan diatas perut ibu. Akan tetapi bayi langsung di mandikan dan di bersihkan, kemudian bayi setelah bayi bersih barulah diberikan ASI oleh ibu. Aprillia (2009) menyatakan, banyak aspek yang mempengaruhi pelaksanaan praktek Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI Eksklusif antara lain adalah ibu menyusui menghadapi banyak hambatan yang berhubungan dengan pelayanan yang diperoleh di tempat persalinan, dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga di rumah, banyaknya ibu yang belum dibekali pengetahuan yang cukup tentang teknik menyusui yang benar dan manajemen kesulitan laktasi selain itu keberhasilan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan, dan motovasi bidan atau dokter yang menangani proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh suami, keluarga, petugas kesehatan, dan masyarakat.

Hubungan Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini dengan Pemberian ASI Eksklusif

Bedasarkan pada hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata (p>0,05) antara pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan pemberian ASI eksklusif. Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa batita yang tidak melaksanakan inisiasi menyusui dini dan tetap di berikan ASI eksklusif selama 6 bulan sebesar 59,5%. Tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan ASI eksklusif diduga karena belum optimalnya pelaksanaan inisiasi menyusui dini dikedua lokasi, dimana batita yang tidak melaksanakan inisiasi menyusui dini tetap diberikan ASI eksklusif. Sehingga pelaksanaan inisiasi menyusui dini tidak memberikan pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Triani (2010) dan Permatasari (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan pemberian ASI eksklusif.

(20)

Yuliarti (2010) menyatakan bahwa bayi disusui selama satu jam atau lebih di dada ibunya segera setelah lahir. Hal tersebut juga penting dalam menjaga produktivitas ASI. Isapan bayi penting dalam meningkatkan kadar hormon prolaktin, yaitu hormon yang merangsang kelenjar susu untuk memproduksi ASI. Isapan itu akan meningkatkan produksi susu dua kali lipat. Tabel 24 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan inisiasi menyusui dini dengan pemberian ASI eksklusif.

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan inisiasi menyusui dini dan pemberian ASI eksklusif

Inisiasi Menyusui Dini

Pemberian ASI Eksklusif

Non ASI Eksklusif ASI Eksklusif Total

n % n % n %

Tidak melaksanakan 15 40,5 22 59,5 37 100

Melaksanakan 8 32 17 68 25 100

Total 23 37,1 39 62,9 62 100

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Batita

Hasil uji korelasi dengan menggunakan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara pemberian eksklusif dengan status gizi batita indeks BB/U,TB/U, dan BB/TB. Berdasarkan pada data penelitian batita yang mendapatkan ASI eksklusif dan berstatus gizi baik berdasar indeks BB/U sebesar 97,4%, indeks TB/U sebesar 66,7% dan indeks BB/TB sebesar 79,5%. Suradi (2001) menyatakan pertumbuhan bayi dengan berat badan lahir cukup yang mendapatkan ASI ekslusif ternyata pertumbuhannya sesuai dengan standar pertumbuhan menurut WHO-NCHS bahkan sampai usia 9 bulan, walaupun masukan energi dan protein perkilogram berat badan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yan mendapatkan susu formula, namun resiko kenaikan berat badan per 100 lebih tinggi pada bayi yang diberi ASI secara eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan energi pada bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih efisien.

Rata-rata status gizi baik juga dimiliki pada batita yang Non ASI eksklusif. Pada batita yang Non ASI eksklusif yang memiliki staus gizi baik berdasarkan indeks BB/U sebesar 95,6%, indeks TB/U sebesar 60,9% dan indeks BB/TB sebesar 82,6%. Hal ini menandakan bahwa batita yang mendapatkan ASI eksklusif maupun yang Non ASI eksklusif rata-rata memiliki status gizi baik berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Tabel 26, 27, dan 28 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (BB/U, TB/U, dan BB/TB.

(21)

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (BB/U)

ASI Eksklusif

Status Gizi

Total

Gizi baik Gizi kurang

n % n % n %

Non ASI Eksklusif 22 95,6 1 4,4 23 100

ASI Eksklusif 38 97,4 1 2,6 39 100

Total 60 96,7 2 3,3 62 100

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (TB/U)

ASI Eksklusif

Status Gizi

Total Sangat

pendek Pendek Normal Tinggi

n % n % n % n % n %

Non ASI Eksklusif 2 8,7 5 21,7 14 60,9 2 8,7 23 100

ASI Eksklusif 2 5,1 9 23,1 26 66,7 2 5,1 39 100

Total 4 6,5 14 22,5 40 64,5 4 6,5 62 100

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi (BB/TB)

ASI Eksklusif

Status Gizi

Total Sangat

pendek Pendek Normal Tinggi

n % n % n % n % n %

Non ASI Eksklusif 0 0 2 8,7 19 82,6 2 8,7 23 100

ASI Eksklusif 1 2,6 2 5,1 31 79,5 5 12,8 39 100

Gambar

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan berat bayi lahir
Tabel 8 Sebaran contoh menurut besar keluarga
Tabel  11  Sebaran  pertanyaan  pengetahuan  inisiasi  menyusui  dini  yang  dijawab  benar oleh ibu diperkotaan dan perdesaan
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan pemberian ASI eksklusif dan status gizi   (BB/U)

Referensi

Dokumen terkait

KUBERDIRI (JANJI PENEBUS) Key - D Words and Music by Yoshua Perwirana, Maya Setiawan &amp; Dita Soedarsono. Verses from “Standing on the Promises”

Kuadran 2 merupakan gaya terpadu yang menunjukkan orientasi yang tinggi pada tugas atau pekerjaan dan juga pada hubungan atau orang, sehingga responden yang

Setelah dilakukan penelitian, pelaksanaan kegiatan Corporate Social Responsibility di Bank Syariah Mandiri KCP Wonosari sudah mampu mengimplementasikan kegiatan CSR

Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa, kandungan protein sejati dari onggok dengan proses fermentasi dapat ditingkatkan menjadi 18%, dimana sebagai sumber energi dapat

* Spesial design dibangun oleh kontraktor perusahaan sendiri 3.. *Bagi para perusahaan yang membangun booth melebihi limit waktu yang telah disepakati 2. Fasilitas tambahan

Drive merupakan teknik pukulan yang dilakukan dengan cara menggerakan bet dari bawah serong ke atas dan sikap bet tertutup Service yaitu teknik memukul untuk menyajikan bola

Dengan mengamati gambar pada teks power point dan lingkungan sekitar, siswa secara berkelompok dapat menuliskan hasil pengamatan sederhana tentang perbandingan lingkungan sehat

Setelah membuat simulasi sistem injeksi bahan bakar pada motor diesel dapat disimpulkan bahwa prinsip kerja aliaran bahan bakar pada motor diesel dimulai dari pompa