• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, the explanatory

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, the explanatory"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Optimisme

1. Definisi Optimisme

Sikap optimis disebut dengan optimisme. Optimisme adalah kepercayaan bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang positif (Scheier dkk., 2000).

Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, “the explanatory style”dan “the dispositional optimism view,” yang juga disebut sebagai “the direct belief view” (Caver, 2002):

1. Explanatory Style

Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa dalam menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan pengalaman masa lampau. Pandangan ini didasarkan pada person's attributional style (Scheier, Carver, & Bridges, 2000). Attributional style dibentuk oleh cara kita mempersepsikan, menjelaskan pengalaman masa lampau. Jika persepsi atau penjelasan yang dipegang adalah negatif maka kita akan mengharapkan hasil yang negatif pada masa depan. Perasaan learned helplessness berlebihan dan kita percaya bahwa kita tidak dapat merubah pandangan kita terhadap dunia.

Attributional style secara khusus diukur dengan dengan menggunakan

Attributional Style Questionnaire (ASQ). Dengan ASQ, individu merespon terhadap apa penyebab yang mereka yakini munculnya kejadian yang berbeda.

(2)

Respon mereka dirating berdasarkan persepsi mereka terhadap penyebab (internal vs external, stable vs unstable, global vs specific) (Seligman, 1988). Masalah dengan menggunakan attributional theory dalam memahami optimisme adalah bahwa hal tersebut dapat menjadi sangat kompleks dan bersifat subjektif didasarkan pada self report pengalaman masa lampau (Scheier et al., 2000).

Berdasarkan explanatory style, individu yang percaya pengalaman masa lampaunya positif dan ingatan-ingatan negatif adalah di luar kontrol mereka (faktor eksternal) dikatakan bahwa mereka mereka memiliki positive explanatory style atau orang yang optimistic. Sedangkan orang yang menyalahkan diri sendiri terhadap kemalangan (faktor internal) dan percaya bahwa mereka tidak akan pernah mendapat sesuatu dikatakan memiliki

negative explanatory style atau orang yang pessimistic. 2. Dispositional Optimism or Direct Belief Model

Konstruk ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan. Pendekatan ini lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa depan, dibanding dengan attributional theory yang berusaha memahami mengapa individu optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu

Scheier & Carver (2002) menyatakan bahwa optimisme adalah kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam kehidupan.

(3)

Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver & Scheier 1993). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002)

Konsep optimisme dan pesimisme fokus kepada ekspektasi individu terhadap masa depan. Konsep ini memiliki ikatan dengan teori psikologi mengenai motivasi, yang disebut dengan expectancy-value theories. Beberapa teori juga menyatakan optimisme dan pesimisme mempengaruhi perilaku dan emosi seseorang.

Expectancy-value theories, yaitu teori yang dimulai dengan ide bahwa perilaku ditujukan untuk pencapaian tujuan (goal) yang dinginkan (Carver & Scheier, 1998). Goal adalah tindakan, state akhir, atau nilai yang individu lihat sebagai sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu akan akan mencoba mencocokkan perilaku, mencocokkan dengan diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka lihat yang mereka inginkan, dan mereka akan mencoba untuk menghindari yang tidak mereka inginkan. Konsep utama lainnya adalah expectancies: perasaan percaya diri atau ragu-ragu mengenai kemampuan meraih tujuan (goal). Hanya dengan kepercayaan diri yang cukup yang individu berusaha mencapai tujuan. Optimisme akan mengarahkan

(4)

individu untuk selalu memiliki hasil yang baik dan menyenangkan akan masa depannya.

Dari prinsip ini, muncul beberapa prediksi mengenai orang yang optimis dan orang yang pesimis. Ketika berhadapan dengan sebuah tantangan, orang yang optimis lebih percaya diri dan persisten, meskipun progresnya sulit dan lambat. Orang yang pesimis lebih ragu-ragu dan tidak percaya diri. Perbedaan juga jelas terlihat dalam menghadapi kesengsaraan. Orang yang optimis percaya bahwa kesengsaraan dapat ditangani dengan berhasil. Orang yang pesimis menganggap sebagai bencana. Hal ini dapat mengarahkan pada perbedaan tingkah laku yang berhubungan dengan resiko kesehatan, mengambil pencegahan pada lingkungan yang beresiko, kegigihan dalam mencoba mengatasi ancaman kesehatan. Hal ini juga dapat mengarahkan pada perbedaan respon coping apa yang individu lakukan ketika berhadapan dengan ancaman seperti diagnosa kanker (Carver et al., 1993; Stanton & Snider, 1993) Selain respon perilaku, individu juga mengalami pengalaman emosi pada kejadian dalam kehidupan. Kesulitan-kesulitan merangsang beberapa perasaan, perasaan yang merefleksikan baik distres dan tantangan. Keseimbangan antara perasaan-perasaan tersebut berbeda antara orang yang optimis dan pesimis. Karena orang yang optimis mengharapkan good outcome, mereka cenderung mengalami perpaduan emosi yang lebih positif. Karena orang yang pesimis mengharapkan bad outcome, mereka mengalami perasaan-perasaan yang lebih negatif –kecemasan, kesedihan, keputusasaan (Scheier, 2001)

(5)

Penelitian juga menunjukkan, optimisme memiliki efek moderasi terhadap bagaimana individu menghadapi situasi baru atau sulit. Ketika berhadapan dengan situasi sulit, orang yang optimis akan lebih memiliki reaksi emosi dan harapan yang positif, mereka berharap akan memperoleh hasil yang positif meskipun hal tersebut sulit, mereka cenderung menunjukkan sikap percaya diri dan persisten. Orang yang optimis juga cenderung untuk menganggap kesulitan dapat ditangani dengan berhasil dengan suatu cara atau cara lain dan mereka lebih melakukan active dan problem-focused coping strategy dari pada menghindar atau menarik diri (Carver & Scheier, 1985; Chemers, Hu, & Garcia, 2001; Scheier et al., 1986).

Optimisme hampir mirip dengan beberapa konstruk, tetapi sesungguhnya berbeda. Dua konstruk yang memiliki hubungan dekat adalah

sense of control (Thompson, 2002) dan sense of personal efficacy (Bandura, 1997). Konsep-konsep ini memiliki nada yang sama kuat dalam mengharapkan hasil yang diinginkan, seperti optimisme. Tetapi perbedaannya terletak pada asumsi yang dibuat (atau tidak dibuat) mengenai bagaimana hasil yang diinginkan tersebut diekspektasikan terjadi. Self efficacy adalah konsep dimana self sebagai agen penyebab adalah yang terpenting. Jika individu memiliki high self-efficacy expectancies, mereka kiranya percaya usaha personal mereka (atau personal skill) adalah yang menentukan hasil. Contohnya, seandainya kamu percaya kamu memiliki ketabahan personal untuk mengatasi efek samping chemotherapy, kamu akan lebih berjuang keras untuk mengatasinya. Sama halnya dengan konsep control. Ketika individu

(6)

melihat diri mereka sendiri terkontrol, mereka percaya bahwa hasil yang baik akan terjadi lewat usaha personal mereka.

Sebaliknya, optimisme mengambil pandangan yang lebih luas atas penyebab potensial yang menjadi kekuatan. Individu dapat menjadi optimistis karena mereka berbakat sekali, karena mereka pekerja keras, karena mereka diberkahi, karena mereka beruntung, karena mereka memiliki teman yang tepat, atau kombinasi yang lain atau faktor lain yang menghasilkan hasil yang baik (Murphy et al., 2000). Contohnya, seseorang dapat menjadi optimistis, dapat mengatasi efek samping chemotherapy salah satu karena ketabahannya personalnya atau karena tim medisnya memiliki trik yang berguna mengatasi efek samping. Yang terakhir dapat menjadi optimistis, tetapi bukan karena peran self sebagai agen hasil.

Konstruk yang lain yang mirip dengan optimism adalah hope (Snyder, 1994, 2002). Hope dikatakan memiliki dua bagian. Bagian pertama adalah persepsi individu pada kehadiran pathways yang dibutuhkan individu untuk mencapai tujuannya. Kedua adalah tingkat percaya diri individu dalam kemampuannya menggunakan pathways untuk mencapai tujuan. Jadi, hope

memiliki karakterikstik keduanya yaitu will (confidence) dan the ways

(pathways). Dimensi percaya diri (confidence) sama dengan yang di optimisme, dengan lebih dulu menekankan pada agen personal. Komponen

pathway adalah sebuah kualitas dimana konsep optimisme tidak beralamat. Dapat dilihat terlebih dahulu, bahwa seseorang yang melihat beberapa jalan

(7)

untuk hasil spesifik yang diharapkan akan terus mencoba cara yang tersisa jika salah satu cara tidak bisa.

Dicatat juga bahwa pesimisme juga mirip dengan konstruk neurotism

(Smith, Pope, Rhodewalt, & Poulton, 1989). Neorotism (emotional instability) didefinisikan sebagai kecenderungan untuk cemas, mengalami emosi yang tidak menyenangkan, dan pesimistik.

Dari penjelasan dua konsep mengenai optimisme tersebut, dalam penelitian ini, konsep optimisme yang digunakan adalah optimisme disposissional yaitu kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam kehidupan. Rasa optimis yang muncul dari dalam diri seseorang ditunjukkan dengan adanya sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver & Scheier 1993). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat optimisme individu terhadap masa depannya daripada menjelaskan penyebab individu menjadi optimis.

(8)

2 Ciri-ciri Optimisme

Menurut Ginnis (dalam Shofia F., 2009) orang optimis mempunyai ciri-ciri khas, yaitu :

a. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok.

b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Mereka membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa ditangani.

c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka. Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah lain-lainnya menyerah.

d. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.

e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang

(9)

lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan.

f. Meningkatkan kekuatan apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia ini, dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal baik untuk dirasakan dan dinikmati.

g. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.

h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis. i. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas

untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai.

j. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati kita.

k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme.

(10)

l. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustrasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai. Mereka berprinsip “Ubahlah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda ubah”.

Menurut Murdoko (dalam Shofia F., 2009)) bahwa ciri-ciri orang optimis ada 6 (enam), yaitu :

1. Memiliki visi pribadi

Visi pribadi seseorang akan memiliki cita-cita ideal. Pasalnya, dengan mempunyai visi pribadi seseorang akan memiliki semangat untuk menjalani kehidupan tanpa harus banyak mengeluh ataupun merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi nanti. Dengan visi pribadi, individu akan mempunyai tenaga penggerak yang akan membuat kehidupan dinamis dan berusaha untuk mewujudkan keinginan-keinginan. Artinya, akan muncul harapan bahwa apa yang akan dilakukan itu membuahkan hasil. Dan yang lebih penting dengan visi pribadi, individu berpikir jauh ke depan (terutama mengenai tujuan hidup).

2. Bertindak konkret

Orang yang optimis tidak akan pernah merasa puas jika yang diinginkan cuma sebatas kata-kata. Artinya, betul-betul mempunyai keinginan untuk

(11)

melakukan suatu tindakan konkret. Sehingga secara riil menghadapi tantangan yang mungkin timbul.

3. Berpikir realistis

Seorang optimis akan selalu menggunakan pemikiran yang realistis dan rasional dalam menghadapi persoalan. Jika individu ingin menanamkan optimisme, maka harus membuang jauh-jauh perasaan dan emosi (feeling) yang tidak ada dasarnya. Dengan demikian, segala tindakan apapun perilaku didasarkan pada kemampuan untuk menggunakan akal sehat secara rasional. Sehingga apapun yang akan terjadi betul-betul sudah diperhitungkan sebelumnya. Individu yang optimis tingkah lakunya selalu dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, berpikir realistis merupakan sarana untuk tidak mudah diombangambingkan oleh perasaan, karena dengan menggunakan perasaan, maka objektivitas akan berubah menjadi informantivitas.

4. Menjalin hubungan sosial

Kehidupan sosial pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu cara mengukur ataupun menilai sejauhmana seseorang mampu menjadikan orang disekitarnya sebagai partner di dalam menjalani hidup. Orang yang optimis tidak akan merasa terancam oleh kehadiran orang-orang di sekitar. Seorang yang optimis akan menilai bahwa menjalin hubungan sosial akan membuat seseorang merasa dikuatkan, karena merasa punya banyak teman dan sahabat yang akan membantu.

(12)

Artinya seseorang harus berani melakukan antisipasi sebelum suatu persoalan muncul, sehingga dituntut memiliki analisa yang tinggi. Karena tanpa adanya analisa mengenai kemungkinan terjadinya sesuatu, maka yang muncul adalah perilaku menunggu, pasif dan baru bertindak saat itu terjadi. 6. Berani melakukan trial and error

Dengan optimisme, kegagalan yang terjadi akan dipahami sebagai hal yang wajar, bahkan tertantang dan menganggap kegagalan sebagai pemicu untuk kembali bangkit. Artinya memiliki kemampuan untuk mencoba dan mencoba lagi tanpa rasa bosan sampai mampu mencapai keberhasilan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri orang optimis adalah jarang merasa terkejut, mencari pemecahan sebagian permasalahan, merasa yakin mempunyai pengendalian atas masa depan mereka, memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur, menghentikan arus pemikiran negatif, meningkatkan kekuatan apresiasi, menggunakan imajinasi untuk meraih sukses, selalu gembira bahkan ketika kita tidak bisa merasa bahagia, berkeyakinan memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur, suka bertukar sesuatu yang menyenangkan, membina bentuk cinta dalam kehidupan dan mampu menerima kenyataan hidup. Selain itu orang yang optimis juga memiliki visi pribadi, menjamin hubungan sosial, berpikir proaktif dan berani melakukan trial and error. Orang yang mempunyai rasa optimis yang besar akan lebih siap dalam menghadapi masa depannya karena merasa lebih mampu dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan ketekunan dan kemampuan berpikir dan sikap tidak mudah menyerah maupun putus asa.

(13)

Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pola pikirnya dan sangat berpengaruh sebagai faktor penunjang kesuksesannya.

3. Manfaat Optimisme

Whelen dkk (1997) melaporkan bahwa optimisme memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan, penyesuaian diri setelah operasi kanker, operasi jantung koroner, penyesuaian di sekolah dan dapat menurunkan depresi serta ketergantungan alkohol. Optimisme dalam jangka panjang juga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan fisik dan mental, karena membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial, pekerjaan, perkawinan, mengurangi depresi dan lebih dapat menikmati kepuasan hidup serta merasa bahagia (Weinstein, 1980 ; Marshall dan Lang, 1990 ; Scheier dkk, 1994). Sementara itu Mc Clelland (1961) menunjukkan bukti bahwa optimisme akan lebih memberikan banyak keuntungan dari pada pesimisme. Keuntungan tersebut antara lain hidup lebih bertahan lama, kesehatan lebih baik, menggunakan waktu lebih bersemangat dan berenergi, berusaha keras mencapai tujuan, lebih berprestasi dalam potensinya, mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik seperti dalam hubungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan olah raga. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli tersebut di atas dapat dikatakan bahwa optimisme sangat diperlukan oleh individu dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam bidang kesehatan optimisme mampu meningkatkan kesehatan tubuh, sistem kekebalan, kebiasaan hidup sehat, membuat hidup lebih lama, serta

(14)

dapat mengurangi depresi, infeksi dalam tubuh dan mempengaruhi terhadap penyakit. Dalam bidang sosial, optimisme dapat meningkatkan kepercayaan diri, harga diri, mengurangi sikap pesimis, membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial serta dapat menikmati kepuasan hidup dan merasa bahagia. Disamping itu dengan adanya optimisme akan membuat orang lebih sukses di sekolah, pekerjaan, manggunakan waktu lebih bersemangat, lebih berprestasi dalam potensinya.

4 Optimisme pada ODHA

Optimisme pada Orang Dengan HIV/AIDS artinya bagaimana mereka dengan semua kondisi, ancaman, tantangan, kemalangan yang mereka hadapi, tetap memiliki ekspektasi hasil yang baik untuk masa depannya.

Secara umum, dilihat bahwa orang dengan HIV/AIDS cenderung untuk lebih pesimis dalam menjalani kehidupannya, terkhusus di awal saat didiagnosa penderita HIV/AIDS. Tidak jarang orang dengan HIV/AIDS perilaku negatif yang justru semakin memperburuk keadaanya. Hal ini terjadi ketika individu memiliki sikap pesimis dimana coping yang biasa dilakukan adalah dengan denial dan

avoidance. Sedangkan ODHA yang optimis dalam health related behavior

melakukan hal yang lebih positif. Mereka memandang bahwa segala sesuatunya belum berakhir, dan hasil akhirnya akan baik. Mereka cenderung melakukan

active dan adaptive method seperti mencari informasi dan social support. Mereka lebih dapat menerima keadaannya dan juga mencari straregi terhadap setiap masalah yang muncul sehingga penelitian memperlihatkan sikap optimisme

(15)

tersebut memperlambat penurunan CD4 nya, dan tingkat kematian pun akan berkurang (Bower, dkk., 1997, dalam Taylor, 2009).

B. Social Support

1. Pengertian Social Support

Social support merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik individu. Rook (dalam Smet, 1994) berpendapat social support sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial. Ikatan-ikatan sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal. Senada dengan hal tersebut, Taylor mendefinisikan social support sebagai informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Social support adalah perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, atau menerima pertolongan dari orang atau kelompok lain (Wills & Fegan, dkk., dalam Sarafino, 2006).

Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Sarason, dkk., (dalam Namora, 2009) menyatakan social support adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai, dan menyayangi kita. Gottlieb (dalam Namora, 2009) menyatakan social support adalah informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan nyata, atau tingkah laku diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dalam hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional

(16)

atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Sedangkan Thoits dan Peggy (dalam namora, 2009) menyatakan social support merupakan fungsi dari berbagai ungkapan perilaku supportif kepada seseorang individu yang diberikan oleh orang yang dianggap bermakna bagi individu yang menerimanya (significant others).

Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1994) mendefinisikan social support

sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum.

Beberapa pengertian tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di lingkungan dapat menjadi social support. Senada dengan pendapat tersebut, Cobb (dalam Gottlieb 1983) menyatakan, setiap informasi apapun dari lingkungan sosial yang menimbulkan persepsi individu bahwa individu menerima efek positif, penegasan, atau bantuan menandakan suatu ungkapan dari adanya social support. Adanya perasaan didukung oleh lingkungan membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah terutama pada waktu menghadapi peristiwa yang menekan. Cobb menekankan orientasi subyektif yang memperlihatkan bahwa social support

terdiri atas informasi yang menuntun orang meyakini bahwa ia diurus dan disayangi.

(17)

Social support diasumsikan sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan yang berasal dari orang lain, seperti teman dan keluarga dan juga pandangan yang kompleks secara alami mengenai sejarah dari hubungan individu yang memberi dukungan dan konteks lingkungannya (Hobfoll, dalam Friedlander, 2007)

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas social support dapat disimpulkan sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Dan berdasarkan defenisi tersebut dapat dilihat bahwa sumber social support berasal dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang dimaksud terdiri dari pasangan hidup, orang tua, saudara anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak medis dan anggota kelompok masyarakat.

2. Bentuk-Bentuk Social support

House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat bentuk, yaitu :

a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan

b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu.

c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.

(18)

d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran ataupun umpan balik.

Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk

social support, yaitu:

a. Emotional or esteem supporrt

Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap sesorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif, dan memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009) berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalam perasaan dan sehingga sesorang yang menerima dukungan ini akan merasa dicintai dan dihargai.

b. Tangible/ instrumental Support

Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material, seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan. Dimatteo (1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.

c. Informational Support

Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau

feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang.

(19)

Adanya informasi akan membantu individu memahami situasi yang stressful

lebih baik dan dapat menetapkan sumber dan strategi coping yang harus dilakukan untuk mengatasinya.

d. Companionship Support

Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen dan Wills dalam Orford, 1992)

Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support

menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible/ instrumental support, informational support dan companionship support.

3. Cara Pengukuran Social Support

Menurut Sarason, B.R, dkk, (1987), ada tiga bentuk pengukuran social support, yaitu :

a. Social Embeddedness

Pada pengukuran dengan cara ini, social support yang diterima individu diukur dari jumlah hubungan atau interaksi yang dijalin individu dengan orang-orang disekitarnya. Individu yang memiliki hubungan yang lebih

(20)

banyak dinilai memiliki social support yang besar. Dengan demikian, bentuk pengukuran ini tidak memandang kualitas interaksi yang terjalin.

b. Enacted Social Support

Ciri khas dari bentuk pengukuran ini adalah bahwa social support yang diterima seseorang didasarkan pada frekuensi tingkah laku dukungan yang diterima individu. Jadi konkretnya, berapa jumlah orang yang mendukung, berapa banyak dukungan tersebut diberikan, menjadi ukurannya. Seperti halnya bentuk pengukuran yang pertama, bentuk pengukuran ini juga tidak melihat social support dari sudut persepsi individu penerima dukungan.

c. Perceived Social Support

Procidano (dalam McCaskill, J.W.& Lakey, Brian, 1992) secara singkat menyebutkan bahwa perceived support adalah evalusi subjektif dari kualitas dukungan yang diterima atau didapatkan. Bentuk pengukuran ini didasarkan pada kualitas social support yang diterima, sebagaimana yang dipersepsikan individu penerima dukungan. Semakin kuat seseorang merasakan dukungan, semakin kuat kualitas dukungan yang diterima. Sehingga, dapat terjadi seseorang mempersepsikan social support yang diterimanya kurang, padahal individu tersebut memiliki jaringan sosial yang banyak. Sebaliknya, individu bisa mempersepsikan social support yang diterima lebih besar daripada yang sebenarnya diberikan oleh sumbernya. Bentuk pengukuran dengan melihat

enacted social support dan embedded social support memiliki keterbatasan. Individu yang dihadapkan pada kesulitan hidup yang lebih besar tentu akan dilihat menerima social support yang lebih besar daripada individu dengan

(21)

kesulitan yang relatif lebih kecil. Mereka yang mampu menghadapi situasi yang sulit akan menjadi penerima social support yang lebih kecil. Hal tersebut tidak dapat mencerminkan kecukupan kualitas dukungan yang diterima oleh tiap individu.

Berbeda dengan kedua pengukuran tersebut, pengukuran dengan berdasarkan pada perceived social support menganggap bahwa dukungan yang dirasakan individu memang benar-benar ditemukan dalam diri mereka. Pengukuran dengan cara ini lebih mampu mengindikasikan penyesuaian yang baik pada diri individu (Sarason, B.R, dkk., 1987). Penelitian Sarason (1987) menunjukkan bahwa perceived social support cenderung memiliki hubungan yang lebih kuat dengan pengukuran perbedaan individu dalam kelekatan, kecemasan sosial, social desirability, rasa malu, dan kesepian. penilaian dukungan oleh individu penerima juga mempengaruhi. Sejalan dengan hal ini, Sarafino (1997) mengemukakan bahwa efektivitas dukungan tergantung dari penilaian individu. Dukungan akan menjadi efektif apabila dukungan tersebut dinilai adekuat oleh individu penerima.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam penelitian ini digunakan bentuk pengukuran social support dengan melihat penerimaan dari social support oleh individu (perceived social support). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan social support sebagai evaluasi subjektif individu mengenai kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima dari hasil interaksinya dengan orang lain.

(22)

4. Aspek-aspek Social Support

Sarason, dkk (1983) menyebutkan ada dua aspek yang terlibat dalam pengukuran social support ini, yaitu:

1. Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup yang dapat diandalkan individu saat membutuhkan. Aspek ini terkait dengan kuantitas social support

yang diterima individu.

2. Derajat kepuasan terhadap dukungan yang didapatkan. Derajat kepuasan berhubungan dengan kualitas social support yang dirasakan oleh individu.

5. Dampak Social Support

Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya adalah kejadian dan efek dari stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.

Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000). Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan.

(23)

Farah Nurbani (2009) dalam penelitiannya menemukan bagaimana dampak social support terhadap psikologis dan kesehatan Orang dengan HIV/AIDS. Dukungan sosial mempengaruhi psikologis individu, dimana individu menjadi tetap percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain, tidak merasa rendah diri, tidak mudah putus asa, tidak minder, merasa dirinya berarti, tidak merasa cemas, tetap bersemangat, merasa ikhlas dengan kondisi yang dialami dan merasa lebih tenang dalam menghadapi sesuatu masalah. Dampak positif terhadap psikologis ini jugalah yang mempengaruhi kesehatan individu menjadikannya tidak stres dan mampu untuk melakukan perilaku sehat dan menjaga kesehatannya.

Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:

1. Buffering Hypotesis

Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stresor

2. Direct effect hypotesis

Mempertahankan social support dapat memberikan keuntungan pada kesehatan sesorang, baik ada atau tidak dalam stres. Tingginya social support

(24)

dengan adanya social support dapat merasakan, karena orang lain memperhatikannya dan membutuhkannya, mereka akan rajin berolah raga, makan teratur, dan tidak merokok atau meminum alkohol.

Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:

1. dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak meperhatikan dukungan yang diberikan

2. dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu 3. sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti

melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat

4. terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).

Social support bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan, tetapi yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan (adequency) dari dukungan (Cohen dan Wills, dalam Namora, 2009).

(25)

6. Social Support pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Sama seperti penderita penyakit lain, ODHA juga membutuhkan social support. ODHA membutuhkan dukungan, baik dukungan emosional, informasi, instrumental dan juga pendampingan. Dukungan emosional bagi Orang Dengan HIV/AIDS sangat diperlukan terkhusus ketika individu pertama kali mengetahui dirinya terinfeksi HIV. Pandangan bahwa penyakit ini dapat mengakibatkan kematian semakin mempengaruhi kesehatan individu. Respon yang biasa muncul adalah ketakutan akan kematian, penolakan, marah, menutup diri (diam), dan stres, (DiMatteo, 1991). Selain itu diliputi juga dengan perasaan tidak berharga, cemas, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dukungan emosional diterima oleh ODHA dengan mendapatkan perhatian, semangat, atau bantuan emosional dari lingkungan terdekat ODHA (Farah Nurbani, 2009)

Demikian halnya dengan dukungan informasi, ODHA membutuhkan informasi untuk dapat memahami mengenai penyakit yang dideritanya, sehingga dengan pemahaman tersebut, ODHA dapat mengetahui dan bertindak untuk melawan penyakitnya. Informasi dapat berupa nasehat dan informasi terkait dengan HIV/AIDS diperoleh dari orang-orang terdekat, dokter, dan juga dari berbagai media termasuk internet (Taylor, 2009).

Dukungan instrumental berupa bantuan secara langsung dengan pemberian dukungan finansial dan membantu pekerjaan sehari-hari biasanya diterima ODHA dari keluarga ketika mereka jatuh sakit (Farah Nurbani, 2009)

(26)

Companionship support dirasakan oleh ODHA dengan keterlibatannya dalam suatu keanggotaan kelompok tertentu. Dimana dalam kelompok tersebut individu bisa saling berbagai pengalaman, harapan dan saling menguatkan. Hal ini dilihat dari keterlibatan ODHA dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) (Farah Nurbani, 2009)

C. Hubungan antara Social Support dengan Optimisme Pada Orang Dengan HIV/AIDS

Penelitian memperlihatkan bukti yang kuat bahwa optimisme meningkatkan baik kesehatan mental dan kesehatan fisik khususnya dalam menghadapi situasi yang stresful (Scheier, Carver, & Bridges, 2001). Dua cara utama dari optimisme terhadap kesehatan dinamakan adaptive coping dan social support (Peterson & Bossio, 2001; Scheier & Carver, 1987). Orang yang optimis lebih menggunakan active ways of coping, seperti problem-focused coping dan

information-seeking, terutama pada situasi yang dapat dikontrol. Dalam situasi yang tidak terkontrol orang yang optimis lebih menerima situasi tersebut dan melepaskan diri dari tugas yang tidak terselesaikan. Kemudian orang yang optimis terlihat mencocokkan strategi mereka dengan situasi yang menekan, yang esensialnya mengacu pada adaptive coping (Scheier, Weintraub, & Carver,1986; Solberg Nes & Segerstrom, 2006)

Social support sebagai mekanisme kedua yang memediasi hubungan antara optimisme dan kesehatan. Hal tersebut secara teoritis dikatakan bahwa orang yang optimis lebih attractive secara social, dan konsekuensinya mereka

(27)

lebih terintegrasi dengan jaringan social yang dapat mendukung, dan menerima respon yang baik dan menyenangkan dari lingkungan social mereka (Scheier & Carver, 1987). Studi menunjukkan hubungan yang positif pada social support

yang dirasakan, seperti tersedianya orang-orang yang membantu (Brissette, Scheier, & Carver, 2002; Fontaine & Seal, 1997; Trunzo & Pinto, 2003), juga menerima dukungan social seperti sejumlah interaksi yang membantu (Aspinwall & Taylor, 1992).

Penelitian mengenai dukungan yang dirasakan menyatakan bahwa

perceive support dipengaruhi oleh variabel kepribadian dan salah satunya adalah optimisme. Mekanisme social support yang dirasakan berhubungan dengan

positive affect, coping self-efficacy, and adaptive coping yang diassosiasikan dengan disposisi optimisme (Chang, 2001; Cozarelli, 1993; Scheier et al., 2001). Beberapa penelitian yang menunjukkan adanya hubungan ini adalah seperti penelitian pada air crash rescue workers (Dougall, Hyman, Hayward, McFeeley, & Baum, 2001), Laki-laki yang kehilangan (Park & Folkman, 1997), and dan mahasiswa baru yang memiliki dan merasakan social support akan memediasi optimisme mereka terhadap depresi (Sarason, Levine, Basham, & Sarason, 1983)

Studi dari Abend dan Williamson (2002) menguji pasien kanker payudara merasa menarik secara fisik sebagai fungsi dari tingkat optimisme mereka dan hubungan interpersonalnya. Wanita yang optimis merasa lebih menarik secara fisik dan hal ini dimediasi oleh persetujuandari pasangan mereka dan persepsinya terhadap social support.

(28)

Bukti tersebut mengindikasikan bahwa social support menjadi mediator terhadap optimisme dan penyesuaian hubungan (Boland and Cappeliez, dkk., 1997, dalam Optimism, social support, and adjustment in African American women with breast cancer), sebagaimana juga optimisme disposisional dapat menarik perhatian orang dan membuat individu membangun lebih banyak relasi dan meningkatkan social support pada kondisi yang stres (Brissette et al. 2002; Dougall et al. 2001 dalam Optimism, social support, and adjustment in African American women with breast cancer). Oleh karena itulah peneliti hendak menguji hubungan antara social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS dan secara khusus hendak menguji hubungan antara bentuk-bentuk social support

dengan tingkat optimisme pada ODHA.

D. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan positif antara social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dan ada hubungan positif antara bentuk-bentuk

(29)

E. PARADIGMA BERPIKIR

HIV/AIDS

Stigma Psikologis

Fisik

Social support Optimisme

Kehidupan tertekan

Bentuk-bentuk Social support:

1. Emotional or esteem support

2. Tangible/instrumental Support 3. Informational Support

4. Companionship Support

Apakah ada hubungan antara social support dengan optimisme pada ODHA? ODHA

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu peneliti sebaiknya menggunakan periode penelitian yang lebih panjang dan memperjelas pesyaratan sampel, misalnya membagi kategori kondisi pasar sahamnya,

Merupakan satwa yang berada di Afrika dimana Afrika identik dengan suhu yang panas, padang rumput yang luas, dan bebatuan besar. Sebagian besar satwa hidup berkelompok

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya klarifikasi dan negosiasi dan dengan berakhirnya masa sanggah, untuk itu Kami mengundang Direktur Utama/ Pimpinan Perusahaan

Kelebihan dari pelumas berbahan dasar minyak nabati ini jika dibandingkan dengan bahan dasar minyak bumi yaitu memiliki indeks viskositas tinggi, tingkat pengurangan jumlah

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati..

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Dua model prediksi tersebut dapat digunakan dalam memprediksi kebangkrutan, tetapi dari yang telah diteliti model prediksi kebangkrutan yang lebih tepat digunakan