Detria Eka Mulyaningtyas, 2012
Penghayatan Nilai-Nilai Konfusian Dalam Etos Kerja Etnis Cina Di Bandung (Studi Fenomenologi Terhadap Wirausaha Etnis Cina Di Bandung
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ETOS KERJA
1. Pengertian Etos Kerja
Menurut K. Bertens (dalam Daryono, 2006) „etos‟ adalah salah satu kata Yunani yang masuk ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia). Kata itu menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok atau seseorang. Menurutnya, di Concise Oxford Dictionary, „etos‟ disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system: “suasana khas yang menandai suatu kelompok, (bangsa), seseorang atau sistem”. Etos menunjuk kepada suasana khas yang meliputi kerja atau profesi, dan perlu ditekankan bahwa, „suasana‟ dipahami dalam arti baik secara moral.
Mochtar Buchori dalam Irwan (2007:19) mengartikan etos kerja sebagai sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa. Sama halnya seperti yang diungkapkan Anoraga (1992), bahwa etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai
sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
John K.S Chong dan Benjamin Y.K Tai (dalam Wirawan, 2008:58), mendefinisikan etos kerja (work ethic) sebagai berikut:
“Work ethic belief system pertains to ideas that stress individualism/independence and the positive effect of work on individuals. Work is thus considered good in itself because it dignifies a person. Making personal effort to work hard will ensure success.”
Menurut kedua penulis ini, etos kerja berkaitan dengan ide yang menekankan individualisme atau independensi dan pengaruh positif bekerja terhadap individu. Bekerja dianggap baik karena dapat meningkatkan derajat kehidupan serta status sosial seseorang. Berupaya bekerja keras akan memastikan kesuksesan.
Etos sebagai perilaku kerja positif yang dimaksud John K.S Chong dan Benjamin Y.K Tai diatas, sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Jansen H. Sinamo dalam bukunya 8 Etos Kerja Professional (2011). Sinamo merumuskan suatu definisi, bahwa etos kerja profesional merupakan seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan yang disertai komitmen total pada paradigma kerja. Menurutnya, ketika seseorang memiliki keyakinan dan komitmen pada paradigma kerja maka akan melahirkan sikap dan perilaku kerja yang khas.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja adalah cara diri dalam memandang, mempersepsi, menghayati dan menghargai sebuah nilai kerja. Etos kerja juga diartikan sebagai suatu kebiasaan yang menyangkut perilaku kerja, umumnya dibangun atas dasar nilai-nilai tertentu
yang dianut dan diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.
Etos kerja akan mempengaruhi semangat, kualitas dan produktivitas kerja. Etos kerja juga dapat membentuk semangat transformatif. Sebuah semangat yang selalu berusaha mengubah keadaan menuju kualitas yang lebih baik. Sebuah semangat dan sikap mental yang selalu berpandangan bahwa kehidupan hari ini harus jauh lebih baik dari kehidupan kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini (Sajidah, 2009).
2. Delapan Etos Profesional (Sinamo, 2011)
Di dalam kehidupan, setiap manusia mempunyai cita-cita yang ingin dicapai di masa depan. Untuk mencapai cita-cita yang diinginkan, tentunya manusia perlu untuk berusaha. Namun, terkadang banyak manusia yang sudah berusaha tetapi keinginannya belum juga tercapai. Di sinilah peran etos kerja diperlukan, dengan adanya etos kerja yang baik, setiap orang akan tidak mudah putus asa, selalu bersikap optimis, dan selalu mengeluarkan kemampuan terbaiknya di dalam pekerjaan yang sedang digelutinya.
Di negara-negara maju, dikenal memiliki etos kerja yang baik, seperti etos kerja Miyamoto Musashi (Jepang), etos kerja Jerman, etos kerja Barat, etos kerja Korea Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa lainnya. Sedangkan di Indonesia, melalui buku 8 Etos Kerja Profesional (2011), Jansen H. Sinamo mencoba mengungkapkan etos kerja bangsa Indonesia dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kerja sebagai rahmat (Aku bekerja tulus penuh rasa syukur) Kerja adalah rahmat merupakan kesadaran dan pengakuan bahwa kerja adalah anugerah yang harus disyukuri dan direspon dengan rasa terimakasih kepada Tuhan. Anugerah disini tidak hanya pada pekerjaannya saja, tetapi juga jabatan maupun fasilitas dari pekerjaan tersebut, keahlian yang dimiliki serta bahan baku yang digunakan dalam bekerja (Sinamo, 2011).
Kerja sebagai rahmat membuat seseorang berlimpah dengan syukur. Secara khusus, seseorang dimampukan bekerja dengan hati bersih penuh keihklasan. Bekerja tanpa bersungut-sungut, tidak malas-malasan atau setengah hati. Ia akan yakin bahwa rezekinya telah diatur oleh Tuhan. Dengan demikian, ia akan membentuk diri menjadi pribadi yang kuat sekaligus kaya. Kuat karena tidak takut kekurangan, tidak khawatir kehabisan, karena selalu merasa berkecukupan sehingga mampu memberi (Sinamo, 2011).
b. Kerja adalah amanah (Aku bekerja penuh tanggung jawab)
Jika menganggap kerja sebagai amanah, seseorang tentu akan bekerja dengan benar, tekun, berkomitmen dan penuh tanggung jawab. Melaksanakan amanah secara tidak benar dan kurang bertanggungjawab pada akhirnya akan menghancurkan basis kepercayaan. Karena itu, tidak melaksanakan amanah secara
bertanggungjawab berarti menghancurkan diri sendiri, dan di tingkat perusahaan dapat membangkrutkan organisasi (Sinamo, 2011).
Sebagai pemegang amanah, seseorang dipercayai dan diharapkan mampu menunaikan amanah tersebut dengan sukses. Agar seseorang dikatakan mampu mengemban amanah dengan sukses, Ia harus memiliki sepasang kualitas utama yaitu kompetensi dan integritas (Sinamo, 2011).
c. Kerja adalah panggilan (Aku bekerja tuntas penuh integritas) Kerja adalah panggilan Tuhan atau seruan idealisme yang mengandung kebenaran, keadilan, dan keluhuran. Dengan prinsip ini, seseorang akan bekerja sampai tuntas, penuh integritas (jujur dengan apa yang dipikirkan, dibicarakan dan dilaksanakan) dan totalitas (menunaikan kerja dengan segenap hati, tenaga, pikiran dan jiwa) (Sinamo, 2011).
d. Kerja adalah aktualisasi (Aku bekerja keras penuh semangat) Aktualisasi diri adalah pengembangan dan peningkatan potensi diri. Hal tersebut dapat dicapai melalui pengerahan energi kerja dan energi pikir yang dilaksanakan dengan konsisten yang mana nantinya menghasilkan kompetensi diri yang semakin hari semakin tinggi. Kerja sebagai sarana aktualisasi diri, menyadarkan seseorang untuk selalu
bekerja keras penuh gairah dan semangat demi mencapai prestasi dan menjadi yang terbaik (Sinamo, 2011).
e. Kerja adalah ibadah (Aku bekerja serius penuh kecintaan)
Bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Tuhan. Melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. Dengan memandang kerja sebagai ibadah, maka seseorang melakukan kerja dengan tujuan memuliakan Tuhan dan membantu sesama manusia. Seseorang akan bekerja dengan ikhlas, serius penuh penghayatan dan penuh kecintaan, karena prinsipnya segala sesuatunya akan kembali pada Tuhan dan hasil dari pekerjaan yang telah dilakukan akan menyusul secara otomatis (Sinamo, 2011).
f. Kerja adalah seni (Aku bekerja cerdas penuh kreativitas)
Dalam setting pekerjaan, seni tercermin dalam pengungkapan rasa keindahan seseorang melalui materi pekerjaan, yang mendatangkan kesukaan dan gairah, serta bersumber pada aktivitas-aktivitas kreatif, artistik dan interaktif. Menghayati kerja sebagai seni menuntut penggunaan kreativitas, baik untuk menyelesaikan masalah-masalah kerja maupun dalam rangka menggagas hal-hal baru (Sinamo, 2011).
Orang yang bekerja dengan prinsip ini menikmati kesukaan seperti anak kecil menemukan mainannya. Ia tenggelam dalam keasyikan yang nikmat melaksanakan tugas-tugas secara positif dan produktif. Pada saat yang sama, aktivitas ini memperkuat vitalitasnya, yaitu semangat hidup yang menyala-nyala (Sinamo, 2011).
g. Kerja adalah kehormatan (Aku bekerja penuh ketekunan dan keunggulan)
Individu yang menerima pekerjaan adalah individu yang menerima kehormatan dan ia harus menjaga kehormatan itu dengan segala upaya yang bisa dilakukannya. Respon yang tepat untuk menjaga kehormatan tersebut adalah dengan bekerja sebaik-baiknya, penuh ketekunan dan keunggulan, berfokus pada kepuasan pelanggan, sehingga menampilkan mutu yang setinggi-tingginya. Dengan demikian, pemberi kehormatan merasa dihormati karena hasil pekerjaan kita, begitupun sebaliknya (Sinamo, 2011).
h. Kerja adalah pelayanan (Aku bekerja paripurna penuh kerendahan hati)
Menghayati pekerjaan sebagai pelayanan memerlukan transedensi yang artinya melampaui. Secara teknis yaitu melampaui harapan konsumen demi kepuasan konsumen. Selanjutnya, pelayanan pun senantiasa berekor pada kemuliaan. Mulia berarti kondisi yang
melebihi kepentingan diri sendiri. Cara untuk memperoleh kemuliaan tersebut ialah bekerja melayani masyarakat (pelanggan) dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya (Sinamo, 2011).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja
Manusia adalah makhluk yang komplek. Ia mempunyai dorongan hidup, pikiran dan pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan sikap dan pendirian tertentu. Selain itu, ia mempunyai lingkungan pergaulan di rumah atau tempat kerjanya. Secara langsung maupun tidak, realitas tersebut mempengaruhi dinamika kerjanya. Misalnya seperti ketidakcocokan dengan rekan kerja, atasan maupun bawahan, sangat potensial dalam menimbulkan dampak negatif pada produktivitas kerja orang yang bersangkutan. Begitu juga sebaliknya, rasa suka pada pekerjaan, kehidupan keluarga harmonis, kehidupan ekonomi dan kesehatan yang baik, akan mendukung semangat aktivitas kerja (Sinamo, 2011).
Etos kerja bersifat individual sehingga akan berlaku berbeda pada setiap orang. Hal tersebut tergantung pada bagaimana individu mempersepsikan pekerjaan yang dijalaninya dan dipengaruhi oleh latar belakang individu tersebut, seperti yang dikemukakan Keith Davis dan John W. Newstorm (Newstorm, 1985:50):
“The proportion of employees with a work ethic varies sharply among sample groups, depending on factors such as personal background, type of work, and geographical location” (Proporsi etos kerja pegawai bervariasi pada setiap kelompok sampel, tergantung pada faktor-faktor seperti latar belakang pribadi, jenis pekerjaan dan lokasi geografis).
Dibawah ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi etos kerja, diantaranya sebagai berikut:
a. Agama
Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia bersungguh-sungguh dalam kehidupan agama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau moderinisasi.
Weber (1958) memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan –namun hemat dan bersahaja, serta menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern. Sejak bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism terbit, berbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran dan modernitas (Sinamo, 2005, dalam Novliadi, 2009).
Menurut Rosmiani (dalam Novliadi, 2009) etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai yang sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia menemukan bahwa etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan.
b. Budaya
Usman Pelly (dalam Novliadi, 2009) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Pernyataan tersebut juga didukung oleh studi yang dilakukan Suryawati, dkk. (dalam Novliadi, 2009) yang menyimpulkan bahwa etos kerja ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang ada dan tumbuh pada masyarakat yang bersangkutan.
c. Sosial Politik
Suwarson, dkk. (dalam Novliadi, 2009) menemukan bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
Etos kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara (KH.Abdurahman Wahid dalam Novliadi 2009). Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang mengacu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian (achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat profesionalisme yang menjadi tulang punggung masyarakat modern.
d. Kondisi Lingkungan/Geografis
Suryawati, dkk. (dalam Novliadi, 2009) juga menemukan adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
e. Pendidikan
Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja tinggi. Meningkatnya kualitas penduduk dapat
tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Rahimah, dkk. dalam Novliadi, 2009).
f. Struktur Ekonomi
Soewarso, dkk. (dalam Novliadi, 2009) menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
g. Motivasi Intrinsik individu
Anoraga (1992) mengatakan bahwa individu yang memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja. Maka etos kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang.
Menurut Herzberg (dalam Anoraga, 2002), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam/terinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan
motivasi instrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator.
Faktor hygiene disebut juga faktor ekstrinsik, meliputi gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja dan supervisi. Sedangkan faktor motivator atau yang disebut faktor instrinsik meliputi pencapaian sukses (achievement), pengakuan, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan/karir (advancement), tanggung jawab/responsibility, kemungkinan berkembang/growth possibilities, dan pekerjaan itu sendiri/the work itself. Hal-hal tersebut sangat diperlukan dalam meningkatkan performa dan menggerakkan seseorang sehingga mencapai performa yang tinggi.
B. NILAI-NILAI KONFUSIAN
1. Etnis cina dan Konfusianisme
Etnis Cina adalah suku bangsa perantau atau pendatang dari negeri Cina yang datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang maupun bermigrasi. Menurut Kinasih (2005), etnis Cina adalah etnis pendatang yang mengalami interaksi etnisitas paling problematik dibandingkan dengan etnis India, Arab dan beberapa etnis kecil pendatang lainnya.
Menurut Vasanty (dalam Koentjaraningrat, 1999) orang Cina adalah kelompok orang yang berasal dari berbagai suku bangsa di daerah negara Cina yang salah satunya berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Suku-suku bangsa dari daerah tersebut adalah Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Hakka dan Kanton. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa etnis Cina adalah suku bangsa perantau yang berasal dari daerah Cina yang datang ke Indonesia dengan tujuan bermigrasi ataupun berdagang.
Berdasarkan catatan sejarah, etnis Cina telah menjalin kontak dengan nusantara sejak lama, jauh sebelum kolonialisme Portugis merambah Nusantara. Sejak pembangunan kota Batavia oleh VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) tahun 1619, orang-orang Cina banyak yang berdatangan ke Batavia dikarenakan Batavia telah menjadi kota dagang yang besar dan akan membawa peruntungan yang lebih baik. Mereka berdatangan ke Batavia baik secara legal maupun ilegal.
Menurut Retno Winarni, sejarawan di wilayah Cirebon (dalam Ramadhan, www.kompasiana.com, 9 Maret 2011), sebuah laporan resmi pihak Belanda dari tahun 1711, menyatakan bahwa orang-orang Cina berhasil menjadi pengusaha-pengusaha dengan membuat pabrik di wilayah Batavia. Mereka terkadang diandalkan oleh VOC sebagai teknisi-teknisi. Hal ini dikarenakan VOC takut jika pribumi memiliki kekuatan maka pribumi akan memberontak terhadap VOC, maka dari itu sebisa mungkin VOC mengekang pribumi dan lebih mengutamakan orang-orang Cina untuk mengisi jabatan
penting seperti syahbandar, pejabat yang mengatur segala urusan di pelabuhan dari mulai penarikan cukai hingga perselisihan antar pedagang.
Selain itu, berbagai jabatan penting pun kerap kali diberikan pejabat-pejabat VOC kepada orang Cina, disamping karena ketakutan VOC pada pribumi jika mereka diserahi jabatan, juga karena keuletan dan kerja keras dari orang-orang Cina tersebut.
Tidak dapat disangkal bahwa penduduk keturunan Cina sangat berperan dalam menggerakkan kehidupan ekonomi terutama dalam bidang industri serta perdagangan kecil dan menengah. Kedatangan orang-orang Cina ke Indonesia (baik sebagai pedagang maupun sebagai buruh) membawa serta tradisi, tata kehidupan, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, serta sikap fanatisme terhadap tradisi negeri leluhur. Ajaran-ajaran yang banyak memberikan pengaruh pada perkembangan dasar berpikir, pandangan hidup dan filsafat orang-orang Cina tersebut salah satunya adalah konfusianisme, selain Taoisme dan Budhisme.
2. Nilai-nilai Konfusianisme
Konfusianisme, pemikiran yang dikembangkan oleh Konghucu (551-479 B.C) yang lebih dikenal sebagai Master Kong (oleh Eropa diberi nama latin Konfusius), merupakan dasar yang sangat kuat mengakar dalam berbagai aspek kehidupan orang Cina. Konfusianisme ini sering dipandang sebagai agama, bahkan pada abad ke-7 dan ke-8 ajaran tersebut pernah menjadi agama pejabat-pejabat sipil negara dan kaum cendekiawan di Negara Cina.
Sebenarnya ajaran tersebut hanya merupakan ajaran filsafat untuk hidup dengan baik. Konfusius tidak menganggap dirinya sebagai pendiri agama. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa jikalau orang masih belum mengenal hal hidup, bagaimanakah orang akan dapat mengetahui hal mati (Koentjaraningrat, 1999).
Ajaran konfusianisme banyak mengajarkan tentang suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral, religius dan menjaga etika hubungan manusia sehingga dapat hidup secara harmonis, seperti yang diungkapkan LittleJohn dalam bukunya Confucianism An Introduction (2011: xix):
“Confucianism encompasses a broad array of moral, social, philosophical and religious ideas, values and practices. It is an ancient and immense tradition of great subtlety and complexity.”
Konfusius mengajarkan dua prinsip dasar bagi masyarakat yaitu kewajaran dan reversibilitas (Lau dan Kuan, 1988; De Mente, 1991 dalam Budianti, et.al,. 2005). Seseorang dituntut untuk menjadi manusia ideal, yang dalam istilah Konfusius disebut „seorang yang terhormat‟. Seorang manusia ideal memiliki sikap jujur, moral yang tinggi dalam segala hal, serta menaati ritual yang tepat dalam tingkah lakunya. Hal tersebut tercermin dalam sikap tenang, sabar, berakal sehat serta menekankan kebajikan dimana pikiran dan tindakannya selaras dengan manusia dan alam.
Konfusius juga menanamkan nilai-nilai kekeluargaan, hormat kepada orang tua, perhargaan terhadap otoritas dan ketekunan, Dalam pemahaman orang Cina, nilai-nilai ini mempunyai arti yang lebih dalam lagi dari sekedar pengertian yang menganggap bahwa menjadi sopan saja sudah cukup. Sopan santun dalam pemahaman ini mengandung prinsip kewajaran, kemuliaan
manusia, dan kesediaan menerima akibat tingkah laku dan perbuatan sendiri (reversibilitas). Dalam prinsip reversibilitas muncul dimensi lain yakni kewajiban seseorang pada orang tua, atasan, pelanggan dan negara.
Gagasan dan pemikiran Konfusius dapat diketahui secara paling baik dalam Lun Yu 論語 (yang kemudian dikenal dengan Analects). Lun Yu merupakan kumpulan ujaran-ujaran atau percakapan Konfusius dengan para murid atau tokoh-tokoh lainnya. Di dalam kitab ini ditemukan gambaran tentang bagaimana sikap Konfusius dalam memandang suatu persoalan.
Menurut Konfusius, seorang menjadi bangsawan bukan karena kelahiran, melainkan karena telah mengembangkan lima kebajikan (Wu Cang) dalam hidupnya. Pendapat ini kemudian menjadi pusat pemikiran aliran filsafatnya. Lima kebajikan tersebut adalah; Ren atau Jen (perikemanusiaan atau kebajikan), Yi (kebenaran/perikeadilan), Li (kesopanan atau perilaku yang pantas), Zhi atau Chi (kearifan/kebijaksanaan) dan Xin atau Hsin (dapat dipercaya) (Danandjaja, 2007:273).
a. Ren atau Jen仁 (Perikemanusiaan atau Kebajikan)
Menurut Konfusius manusia yang bermartabat adalah manusia yang memiliki 'Ren'. Ren diartikan sebagai kemanusiaan, kasih sayang, kebajikan, kewibawaan dan kebaikan (Littlejohn, 2011). Konsep „Ren‟ merupakan pusat kualitas moral manusia, intisari dari cinta terhadap sesama, perikemanusiaan, hati nurani, keadilan, dan kasih sayang. Dalam konfusianisme, Ren adalah idealisme moral tertinggi yang
melandasi etika moral lain yang ingin dicapai yaitu Kebenaran (Yi), Kesusilaan (Li), Bijaksana (Zhi), dan Dapat Dipercaya (Xin).
Konfusius berkata, “Seorang yang memiliki Ren ingin dapat tegak, maka berusaha agar orang lain pun tegak: ia ingin maju, maka berusaha agar orang lain pun maju.” (Lun Yu VI, 30:3 dalam www.confucian.me). Ren adalah kesanggupan untuk mencapai lima hal di dunia, yaitu hormat, lapang hati, dapat dipercaya, cekatan, murah hati. (Lun Yu XVII, 6 dalam www.confucian.me)
Konfusius percaya bahwa mengejar Ren bukanlah tugas yang mudah. Ren bukanlah suatu kemampuan yang dilahirkan, tetapi dipelajari melalui kerja keras dan disiplin. Seseorang yang memiliki Ren akan memiliki sifat rela berkorban, karena tidak ada yang lebih penting dalam hidup selain menunjukkan rasa kasih sayang pada sesama. Dengan melakukan hal tersebut, Konfusius percaya bahwa seseorang dapat menjadi manusia seutuhnya dan mencapai kebahagiaan sejati (McArthur, 2011). Orang yang memiliki Ren adalah orang yang ideal menurut Konfusius. Ia tidak akan saja memberikan contoh yang baik kepada orang lain, tetapi juga bertugas untuk membimbing orang lain.
Awalnya, Ren dimulai dengan anggota keluarga (xiao), melibatkan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua dan rasa kasih mengasihi terhadap yang lebih muda. Kemudian, Ren diperluas
terhadap tetangga dan masyarakat. Hal itu dicapai dengan mengikuti dua kaidah tindakan sebagai berikut:
1) Don’t do unto others what you wouldn’t like done unto you, artinya jangan memaksa orang lain apa yang tidak diinginkan dirimu sendiri (Yutang, 1959:87).
2) Bantulah orang lain menegakkan diri mereka sejauh kau ingin menegakkan dirimu sendiri; dan bantulah orang lain mencapai tujuan mereka sejauh kau ingin mencapai tujuanmu sendiri (Keping, 2007:90). Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang terdapat dalam Lun Yu XI/30, yaitu: “Orang yang memiliki Ren, pada waktu ingin menegakkan dirinya juga berusaha untuk menegakkan orang lain. Pada waktu ingin memajukan dirinya juga berusaha untuk memajukan orang lain, maka dapat dipanggil Ren yang sempurna.”
Kaidah pertama mengharapkan seseorang untuk memosisikan diri di dalam situasi yang dihadapi orang lain. Hal ini akan membantu menumbuhkan sikap tidak mementingkan diri sendiri, dengan menghindari mengambil keuntungan di atas pengorbanan kepentingan dan perasaan pihak lain. Kaidah tindakan yang kedua menyarankan seseorang untuk memperluas pemikiran dan mematuhi aturan-aturan bermain yang jujur. Karena hanya dengan melakukan hal seperti itu
seseorang dapat mengurangi keegoisan dan memaksimalkan perkembangan.
b. Yi义(Kebenaran/Perikeadilan)
Yi atau kebenaran/perikeadilan berarti „menjalankan apa yang seharusnya‟ (Takwin, 2009: 91). Yi mengandung arti solidaritas, senasib sepenanggungan, menjunjung kebenaran atau memiliki kebenaran sejati. Bila Ren sudah ditegakkan, maka Yi harus menyertainya.
Kebenaran/perikeadilan ini merupakan hakikat formal kewajiban manusia dalam masyarakat, yaitu perbuatan yang seharusnya dilakukan. Setiap manusia memiliki sesuatu yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya dan sesungguh-sungguhnya. Keharusan mengerjakan sesuatu itu bukan demi tujuan mendapatkan keuntungan atau keberhasilan, namun karena sesuatu itu baik pada dirinya. Secara moral, sesuatu itu mengandung kebenaran, oleh karena itu harus dikerjakan.
Konfusius menilai sifat menjunjung tinggi kebenaran tidak dapat dikalahkan oleh kekayaan ataupun kehormatan duniawi. Baginya, lebih baik hidup secara sederhana daripada harus mengorbankan kebenaran. Seperti yang dijelaskan dalam Lun Yu VII/16 (dalam www.confucian.me), yaitu:
“Tidak makan apa-apa kecuali nasi saja, tidak minum apa-apa kecuali air putih saja. Dengan menggunakan lengan yang dilipat sebagai bantal, saya masih bisa menikmati kesenangan. Kekayaan dan kehormatan yang diperoleh secara tidak menjunjung kebenaran (Yi), bagiku adalah seperti awan yang lewat di langit.”
“Pada saat beberapa orang berkumpul seharian tanpa membicarakan sesuatu mengenai kebenaran sejati (Yi), dan mereka terlalu senang dengan saran yang kecil mengenai kepintaran, maka pembicaraan tersebut seperti awan yang lewat di langit.”
Apabila suatu perbuatan atau pembicaraan dilakukan tanpa mengarah pada suatu kebenaran, maka perbuatan atau pembicaraan demikian akan sia-sia belaka, sehingga sebaiknya dihindari saja.
Tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi disebut sebagai tindakan-tindakan mencari keuntungan (profit seeking actions). Tetapi, jika keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan bukanlah keuntungan pribadi bagi seorang individu melainkan keuntungan umum (public profit) bagi orang lain atau masyarakat banyak, maka tindakan tersebut merupakan tindakan kebenaran/perikeadilan bukan tindakan mencari keuntungan.
Setiap tindakan yang memiliki nilai moral merupakan tindakan moral. Setiap tindakan yang demikian itu adalah tindakan-tindakan keadilan (righteous actions). Tindakan-tindakan-tindakan tersebut menunjukkan kebenaran/perikeadilan karena sasaran dari semua tindakan yang dilakukan secara tidak bersyarat dan mengandung nilai moral didalamnya, adalah untuk mencari keuntungan umum.
c. Li 礼(Kesusilaan atau Perilaku yang Pantas)
Makna kata Li yaitu kepatutan atau kepantasan perilaku terhadap orang lain. Pengertian ini memiliki arti sangat luas yang meliputi semua
nilai-nilai etika, tata-krama, budi pekerti, kesopanan, norma sosial dan moral (www.confucian.me).
Konfusius benar-benar menegaskan pentingnya Li. Karena, menurut Konfusius, Li dapat menyeimbangkan kehidupan. Seperti yang diungkapkan Konfusius dalam Lun Yu:
“The Master said, „Respectfulness, without the rules of propriety, becomes laborious; carefulness, without the rules of propriety, becomes timidity; boldness, without the rules of propriety, becomes insubordination; straightforwardness, without the rules of propriety, becomes rudeness.‟
“Konfusius berkata, “Penghormatan tanpa adanya Li maka akan menguras banyak tenaga; kehati-hatian tanpa adanya Li, maka akan menjadi sifat takut-takut; keberanian tanpa adanya Li maka akan menjadi kedurhakaan (pembangkangan terhadap perintah); keterus-terangan (kejujuran) tanpa adanya Li maka akan menjadi bersifat kasar (ketidaksopanan)” (Lun Yu VIII, dalam Pakpahan 2008).
Seseorang bisa mengikuti dan menjalankan Li hanya jika orang tersebut mengetahui kedudukan dan bagiannya di dalam skema universal dari semua hal (univerdal scheme of things). Dalam konfusianisme, hal tersebut menyangkut apa yang disebut dengan zhengming (pelurusan nama-nama atau rectification of names) (Pakpahan, 2008).
Setiap ming (nama, sebutan, panggilan, gelar) di dalam hubungan sosial kemasyarakatan menyandang tanggung jawab dan kewajiban tertentu. Dengan kata lain, setiap orang seharusnya berbicara, berpikir dan bertindak secara tepat sesuai dengan peran dan peranannya didalam masyarakat, agar tercipta masyarakat yang teratur (Pakpahan, 2008).
d. Zhi atau Chi 智(Kearifan/Kebijaksanaan)
Setelah seseorang memiliki sifat Cinta Kasih (Ren), Kebenaran (Yi), dan Kesusilaan (Li), maka secara bertahap didalam proses melatih diri, seseorang akan membina munculnya Kebijaksanaan (Zhi). Zhi secara harfiah artinya kearifan atau kebijaksanaan, juga berarti kecerdasan atau kepandaian (www.confucian.me).
Konfusius merangkaikan munculnya kebijaksanaan seseorang dengan selalu sabar dalam menghadapi suatu tindakan, penuh persiapan, melihat jauh ke depan, memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Kesulitan akan timbul apabila seseorang bertindak ceroboh. Sering suatu masalah yang mudah akan menjadi sulit diselesaikan karena tanpa adanya persiapan yang matang. Persiapan yang baik, dapat menghilangkan berbagai kegagalan ataupun kecelakaan yang sering membuat kita menjadi kecewa (www.confucian.me).
Seseorang yang memiliki kebijaksanaan, tidak akan pernah menyesali diri karena terlambat mengantisipasi suatu kegagalan atau kecelakaan. Ambisi untuk mendapatkan keuntungan dengan menyelesaikan suatu pekerjaan secara terburu-buru, hanyalah akan menghasilkan keuntungan yang kecil. Sering karena sifat ambisi tersebut, seseorang malah terperosok dalam kegagalan. Seorang yang bijaksana, akan senantiasa menghilangkan sifat ambisi tersebut, dengan melakukan berbagai persiapan dan perhitungan sebelum bertindak.
“Janganlah melakukan sesuatu dengan selalu ingin berhasil dengan cepat, dan janganlah mengutakan keuntungan yang kecil saja. Kalau Anda ingin cepat berhasil, maka Anda tidak akan pernah maju. Kalau Anda hanya mengutamakan keuntungan kecil saja, maka perkara besar tidak akan pernah Anda selesaikan secara sempurna.” (Lun Yu XIII/17 dalam www.confucian.me).
Adakalanya kita melakukan suatu perbuatan yang dapat merugikan orang lain, tanpa kita sadari. Namun apabila suatu perbuatan, selalu kita pertimbangkan dari sisi diri kita sebagai objeknya, tentulah tindakan yang dilakukan akan jauh berbeda. Apabila seorang bijaksana melakukan kesalahan, ia akan langsung memperbaikinya.
Selain itu, seorang yang bijaksana, senantiasa mencontoh kebijaksanaan orang lain, demikian juga ia akan mengoreksi atau mengintrospeksi dirinya sendiri apabila menjumpai seseorang yang tidak memiliki kebjaksanaan.
Dalam Lun Yu II/17 Konfusius menerangkan: “Bila kamu mengerti, katakanlah bahwa kamu mengerti. Jika kamu tidak mengerti, katakanlah kamu tidak mengerti. Itulah asal mulainya pengetahuan.”
Pengetahuan merupakan sumber kebijaksanaan. Pengetahuan itu berasal dari pengakuan diri, yang membuat seseorang belajar untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik lagi. Dari proses pembelajaran tersebut akan menghasilkan pengetahuan yang menciptakan tindakan kebijaksanaan.
e. Xin atau Hsin 信(dapat dipercaya)
Xin secara harfiah artinya dapat atau dapat dipercaya (www.confucian.me). Kepercayaan adalah kejujuran, ini berarti bahwa secara eksternal perbuatan seseorang harus sesuai dengan apa yang diucapkannya.
Konfusius mengajarkan bahwa seseorang harus memiliki sifat dapat dipercaya agar mendapat kepercayaan dari orang lain dan masyarakat. Sifat dapat dipercaya adalah landasan utama dari semua hubungan manusia didunia. Pengertian Xin dalam ajaran Konfusius, tidak hanya berarti bahwa orang percaya pada dirinya sendiri, tetapi juga harus dapat di percaya oleh orang lain.
Dalam era kehidupan saat ini, terdapat begitu banyak orang yang hanya percaya pada dirinya sendiri, tetapi tidak berhasil memperoleh kepercayaan dari orang lain, sehingga terjadi kemerosotan nilai moralitas di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kepercayaan dapat diibaratkan seperti landasan suatu kendaraan. Suatu kendaraan tentu tidak dapat dijalankan apabila tidak memiliki landasan. Demikian juga, apabila seseorang telah kehilangan sifat dapat dipercaya oleh orang lain, maka akan sulitlah kehidupannya.
C. NILAI-NILAI KONFUSIAN SEBAGAI ETOS KERJA
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa etos kerja merupakan pancaran sikap hidup mendasar seseorang terhadap kerja. Sikap hidup mendasar itu terbentuk oleh pemahaman akal dan atau pandangan hidup yang salah satunya dipengaruhi oleh nilai budaya, seperti yang disimpulkan dalam penelitian Usman Pelly dan Suryawati, dkk. (dalam Novliadi, 2009).
Nilai-nilai budaya merupakan pembentukan keberhasilan dari kelompok masa lalu yang akhirnya menjadi asumsi kolektif yang sudah diterima sebagai realitas. Suatu kelompok cenderung memegang hal-hal yang telah diyakininya, yang terbukti membawa keberhasilan bagi mereka dari waktu ke waktu.
Nilai-nilai budaya merupakan representasi dari akumulasi pembelajaran dari cara berpikir serta merasakan bagaimana dunia memberikan kontribusi untuk keberlangsungan kelompoknya. Bagian-bagian penting dalam warisan budaya seringkali mendorong perilaku kelompok budaya. Akhirnya hal tersebut pun dijadikan sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan anggota masyarakat yang bersangkutan.
Dalam masyarakat etnis Cina, nilai budaya yang dimaksud salah satunya adalah nilai-nilai konfusian. Nilai konfusian tersebut sangat kuat mengakar dalam berbagai aspek kehidupan orang Cina termasuk pengaruhnya dalam dunia kerja. Maka dari itu, untuk memahami perilaku-perilaku orang-orang Cina dalam kaitannya dengan etos kerja, salah satunya dapat ditinjau melalui nilai-nilai konfusian.
Berikut ini merupakan indikator-indikator nilai-nilai konfusian yang diwujudkan dalam etos kerja:
Tabel 2.1
Wujud Nilai-Nilai Konfusian dalam Etos Kerja
No. Nilai Konfusian Wujud Etos Kerja
a.
Ren atau Jen 仁 (Perikemanusiaan
/ Kebajikan)
- Hormat dan bakti terhadap orang tua (xiao)
- Saling menghormati dan menghargai baik pada karyawan maupun pelanggannya
- Konsumennya berasal dari semua golongan - Empati dan tidak mementingkan diri sendiri - Mengutamakan kejujuran
b.
Yi 义
(Kebenaran / Perikeadilan)
- Melakukan pekerjaan dengan benar dan sebaik-baiknya
- Tindakan yang dilakukan bukan karena pertimbangan keuntungan pribadi melainkan karena untuk memperoleh keuntungan bagi orang banyak
- Membagi kerja karyawan sesuai dengan peran dan peranannya
- Membuat keputusan berdasarkan kebenaran
c.
Li 礼 (Kesopanan atau
Perilaku yang Pantas)
- Rajin beribadah dan bersyukur
- Memberikan kebebasan beribadah kepada karyawan
- Memberi contoh yang baik kepada karyawan - Berbicara, berpikir dan bertindak sesuai dengan
peranan dan kapasitasnya.
d.
Zhi atau Chi 智 (Kearifan / Kebijaksanaan)
- Kerja keras dan disiplin - Terus belajar
- Sabar dan mencintai pekerjaannya - Memiliki interpersonal yang baik - Hidup sederhana dan hemat
- Hati-hati, semangat dan tidak mudah menyerah - Penuh persiapan dan mampu memperhitungkan
berbagai kemungkinan yang akan terjadi
- Bersikap rendah hati agar selalu memperbaiki diri e. Xin ataun Hsin 信
(Dapat Dipercaya)
- Dapat dipercaya
- Kepuasan pelanggan menjadi hal yang diutamakan