• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN BUPATI KATINGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN BUPATI KATINGAN"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN

NOMOR 1 TAHUN 2009

TENTANG

POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KATINGAN

Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan Pemerintahan yang baik, maka Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, efektif, efisien, akuntabel, transparan dengan memperhatikan azas keadilan, kepatuhan dan taat pada peraturan perundang-undangan; b. bahwa dalam rangka Pelaksanaan Kebijakan Pokok-pokok

Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 182 dan Pasal 194 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 151 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta pasal 330 ayat (1) peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka perlu adanya peraturan peraturan pelaksanaan menyeluruh dan terpadu di daerah sehingga memudahkan dalam pelaksanaanya ;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250);

2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah, ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4180 );

(2)

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 10. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438 ) ; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4502);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4503);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana

Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575 );

15. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistim Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4576 );

16. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah kepada Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4577 );

17. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4585);

(3)

19. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4593);

20. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4609);

21. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4614);

22. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737 ) ;

23. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 36 ) ; 24. Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2008 tentang Pembagian urusan

Pemerintah yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan.

25. Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Katingan.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KATINGAN Dan

BUPATI KATINGAN

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Katingan.

2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4)

3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4. Kepala Daerah adalah Bupati Katingan.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

6. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Katingan. 7. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

8. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 9. Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah

dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.

10. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS merupakan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD.

11. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

12. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

13. Prakiraan maju ( forward estimate ) adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.

14. Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih.

15. Belanja Daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih.

16. Pendapatan Asli Daerah selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangan.

17. Dana Perimbangan adalah Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

18. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan / atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

19. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SILPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.

(5)

20. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

21. Dana Alokasi Umum selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

22. Dana Alokasi Khusus selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan pada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan perioritas nasional.

23. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari Pemerintah Negara Asing, Badan / Lembaga Asing, Badan / Lembaga Internasional, Pemerintah Pusat, Badan / Lembaga Dalam Negeri atau Perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah atau dalam bentuk barang / Jasa termasuk tenaga ahli, pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.

24. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa dan atau krisis solvabilitas.

25. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang, barang, atau menerima manfaat yang bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.

26. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah selanjutnya disingkat RKA – SKPD adalah dokumen Perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang merupakan penjabaran dari rencana kerja Perangkat Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dalam 1 ( satu ) tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.

27. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah disingkat dengan DPA – SKPD adalah dokumen yang dijadikan dasar pelaksanaan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan.

28. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.

29. Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Badan / Lembaga Teknis pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Bupati dan membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintah yang terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Badan, Kantor, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Unit Satuan Kerja.

30. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan pengelola anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.

31. Pengguna Barang / Jasa adalah kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang / jasa dalam lingkungan unit kerja.

(6)

32. Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.

33. Unit Kerja adalah bagian SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa program.

34. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.

35. Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau lebih kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD.

36. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan

tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personal (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan

teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (out put) dalam bentuk barang / jasa.

37. Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disebut BUD adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi Bendaharaawan Umum Daerah.

38. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama daerah, menerima, menyimpan, dan membayar / menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang Negara/Daerah.

39. Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang Pendapatan Daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah.

40. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah.

41. Kas Daerah adalah tempat penyimpan uang daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

42. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan / bendahara pengeluaran untuk pengajuan permintaan pembayaran.

43. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD berdasarkan SPM.

44. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang digunakan / diterbitkan oleh pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA – SKPD.

45. Badan Layanan Umum Daerah adalah instansi dilingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang / jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatan didasarkan pada prinsif efesiensi dan produktivitas.

46. Perusahaan Daerah adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

(7)

47. Kegiatan Multi Tahunan adalah suatu kegiatan yang secara teknis diukur dengan skala waktu pelaksanaan dan biaya, dilaksanakan lebih dari 1 ( satu ) tahun anggaran.

48. Barang Daerah adalah semua barang milik Daerah yang berasal dari pembelian dengan dana yang bersumber seluruhnya atau sebagian dari APBD dan atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

49. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah daerah dan atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.

50. Sistim Akuntansi Keuangan Daerah ( SAKD ) adalah sistim akuntansi yang meliputi proses pencatatan, penggolongan, penafsiran, peringkasan transaksi atau kejadian keuangan serta pelaporan keuangannya dalam rangka pelaksanaan APBD sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

51. Sistim Pengendalian Intern Keuangan Daerah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang dilakukan oleh lembaga / badan / unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengendalian melalui audit dan evaluasi, untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan rencana dan peraturan perundang – undangan.

52. Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

53. Pengawasan Fungsional adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Badan /Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan dan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian.

54. Pengawasan Legislatif adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap Pemerintah Daerah sesuai tugas, wewenang dan haknya.

55. Pemeriksaan adalah salah satu bentuk kegiatan pengawasan fungsional yang dilakukan dengan cara membandingkan antara peraturan /rencana / program dengan kondisi dan /atau kenyataan yang ada.

56. Rekomendasi adalah saran dari pemeriksa berdasarkan hasil pemeriksaannya yang ditujukan kepada orang atau badan yang berwenang untuk melakukan tindakan dan/atau perbaikan.

BAB II

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Bagian Kesatu

Azas Umum Pasal 2

(1) Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.

(8)

(2) Keuangan daerah dikelola dengan tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisiensi, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

(3) Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu system yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 3

Hak dan kewajiban Daerah diwujudkan dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pasal 4

(1) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai dari APBD.

(2) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah.

(3) APBD mempunyai otorisasi, perencanaan, alokasi, distribusi dan pengawasan.

(4) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam APBD.

Pasal 5

(1) APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai 31 Desember.

(2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggung jawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan merupakan dokumen Daerah.

(3) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan Penerimaan dan Pengeluaran Daerah. (4) Satuan uang dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggung

jawaban APBD adalah mata uang rupiah.

Pasal 6

(1) Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap kelompok pendapatan.

(2) Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Seluruh pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah dianggarkan secara bruto dalam APBD.

(9)

Pasal 7

(1) Dalam penyusunan APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.

(2) Penganggaran untuk setiap pengeluaran APBD harus didukung dengan dasar hukum yang melandasinya.

(3) Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.

Pasal 8

Semua transaksi Keuangan Daerah baik penerimaan daerah maupun Pengeluaran Daerah dilaksanakan melalui Kas Daerah, kecuali untuk Badan Layanan Umum Daerah.

BAB III

KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Bagian Kesatu

Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 9

(1) Bupati adalah pemegang kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(2) Selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan : a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;

b. menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah; c. menetapkan kuasa pengguna anggaran / barang;

d. menetapkan bendahara penerima dan / atau bendahara pengeluaran;

e. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah;

f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;

g. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah;

h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran.

(3) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh :

a. kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku PPKD; b. kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran / barang

daerah.

(4) Dalam pelaksanaan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah bertindak selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.

(5) Pelimpahan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(10)

Bagian Kedua

Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 10

(1) Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) mempunyai tugas koordinasi di bidang : a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD; b. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang

daerah;

c. penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD; d. penyusunan Raperda APBD, perubahan APBD, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;

e. tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat pengawas keuangan daerah; dan

f. penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

(2) Selain tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) koordinator pengelolaan keuangan daerah juga mempunyai tugas :

a. memimpin tim anggaran pemerintah daerah; b. menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD;

c. menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah; d. memberikan persetujuan pengesahan DPA – SKPD; dan

e. melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati.

(3) Koordinator pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.

Bagian Ketiga

Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah (PPKD) Pasal 11

(1) Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut :

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah;

b. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD; c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah

ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

d. melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah;

e. menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan

f. melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati.

(2) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah berwenang :

a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD; b. mengesahkan DPA-SKPD;

c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;

d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah;

(11)

f. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh Bank dan / atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk;

g. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;

h. menyimpan uang daerah; i. menetapkan SPD;

j. melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola / menatausahakan investasi;

k. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah; l. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas

nama pemerintah daerah;

m. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;

n. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; o. melakukan penagihan piutang daerah;

p. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;

q. menyajikan informasi keuangan daerah;

r. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah.

Pasal 12

(1) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku kuasa BUD.

(2) Penunjukan kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati.

(3) Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai tugas :

a. Menyiapkan anggaran kas; b. Menyiapkan SPD;

c. Menerbitkan SP2D; dan

d. Menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah. (4) Kuasa BUD selain melaksanakan tugas sebagaimana pada ayat (3)

juga melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), hruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf k, huruf m, huruf n dan huruf o.

(5) Kuasa BUD bertanggungjawab kepada PPKD .

(6) Pelimpahan wewenang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dilimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan satuan kerja pengelolaan keuangan daerah.

Bagian Keempat

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Pasal 13

(1) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah yang dipimpinnya.

(2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam melaksanakan tugasnya selaku pejabat Pengguna Anggaran /Pengguna Barang Satuan Kerja Perangkat Daerah yang dipimpinnya berwenang :

(12)

a. menyusun RKA-SKPD; b. menyusun DPA-SKPD;

c. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;

d. melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;

e. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;

f. melaksanakan Pemungutan Penerimaan bukan pajak;

g. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan;

h. mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggungjawab SKPD yang dipimpinnya;

i. mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi tanggungjawab SKPD yang dipimpinnya;

j. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;

k. mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya; l. melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna

barang lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati;

m. bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.

Bagian Kelima

Bendahara Penerimaan/Pengeluaran Pasal 14

(1) Bupati mengangkat Bendahara Penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah.

(2) Bupati mengangkat Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah.

(3) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Pejabat Fungsional. (4) Jabatan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran tidak boleh dirangkap

oleh Kuasa Pengguna Anggaran.

(5) Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dilarang melakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung, kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut.

BAB IV

SUMBER PENERIMAAN DAERAH Bagian Kesatu

Sumber Penerimaan Pasal 15

(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.

(2) Pendapatan Daerah sebagaimana pada ayat (1) bersumber dari : a. Pendapatan Asli Daerah;

(13)

c. Lain – lain Pendapatan.

(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari : a. Sisa lebih Perhitungan Anggaran Daerah;

b. Penerimaan Pinjaman Daerah; c. Dana Cadangan Daerah; dan

d. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan. Bagian Kedua

Pendapatan Asli Daerah Pasal 16

Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.

Pasal 17

(1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a bersumber dari :

a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah;

c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Lain – lain PAD yang sah.

(2) Lain – lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi :

a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. Jasa Giro;

c. Pendapatan Bunga;

d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari

penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.

Bagian Ketiga Dana Perimbangan

Pasal 18

(1) Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b terdiri atas :

a. Dana Bagi Hasil;

b. Dana Alokasi Umum (DAU); dan c. Dana Alokasi Khusus (DAK).

(2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.

Bagian Keempat Dana Bagi Hasil

Pasal 19

(1) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a bersumber dari pajak dan sumber daya alam.

(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

(14)

b. Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang

Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari :

a. Kehutanan;

b. Pertambangan Umum; c. Perikanan;

d. Pertambangan Minyak Bumi; e. Pertambangan Gas Bumi; dan f. Pertambangan Panas Bumi.

Bagian Kelima

Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Pasal 20

(1) Dana Alokasi Umum (DAU) sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

(2) Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN dengan tujuan untuk membantu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas Nasional.

Bagian Keenam Lain – lain Pendapatan

Pasal 21

(1) Lain – lain Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c bertujuan memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf b.

(2) Lain – lain Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah.

Pasal 22

(1) Pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) merupakan bantuan yang tidak mengikat;

(2) Hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah Pusat.

(3) Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah Daerah dan pemberi hibah.

(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sesuai dengan naskah perjanjian.

Pasal 23

(1) Dana Darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD.

(15)

(2) Dana Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diberikan apabila pada daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi Pemerintah Pusat sesuai dengan Peraturan PerUndang-Undangan.

Bagian Ketujuh Pinjaman Daerah

Pasal 24

(1) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf b bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah.

(2) Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.

Pasal 25

(1) Pinjaman Daerah bersumber dari : a. Pemerintah Pusat;

b. Pemerintah Daerah lain; c. Lembaga Keuangan Bank;

d. Lembaga Keuangan bukan Bank; dan e. Masyarakat.

(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari Menteri Keuangan.

(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui pasar modal.

Pasal 26 (1) Jenis Pinjaman terdiri atas : a. Pinjaman Jangka Pendek;

b. Pinjaman Jangka Menengah; dan c. Pinjaman Jangka Panjang.

(2) Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

(3) Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Bupati. (4) Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

(16)

Pasal 27

(1) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas selama tahun anggaran.

(2) Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan.

(3) Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.

(4) Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapatkan persetujuan DPRD.

Pasal 28

Dalam melakukan pinjaman, Daerah wajib memenuhi persyaratan : a. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan

ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;

b. Memenuhi rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; c. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang

berasal dari Pemerintah Pusat. Pasal 29

(1) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain. (2) Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh

dijadikan jaminan daerah.

(3) Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah, beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.

Pasal 30

(1) Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah di pasar modal domestik.

(2) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.

(3) Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 serta mengikuti peraturan perUndang-Undangan di bidang pasar modal.

(4) Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

(5) Penerimaan/Pendapatan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok Obligasi Daerah terkait.

Pasal 31

(1) Dalam hal Pemerintah Daerah menerbitkan Obligasi Daerah, terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan Pemerintah Pusat.

(17)

(3) Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD.

Pasal 32

(1) Persetujuan DPRD mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) meliputi pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah dimaksud.

(2) Pemerintah daerah wajib membayar bunga dan pokok setiap Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo.

(3) Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.

(4) Dalam hal pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan perubahan APBD.

Pasal 33

Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32 diselenggarakan oleh Bupati.

Bagian Kedelapan Dana Cadangan

Pasal 34

(1) Daerah dapat membentuk Dana Cadangan guna mendanai kebutuhan yang tidak dapat dibebani dalam satu tahun anggaran yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

(2) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan APBD kecuali dari DAK, Pinjaman Daerah, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu.

(3) Peraturan Daerah tentang Pembentukan Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat tujuan, jumlah, sumber, periode, jenis pengeluaran, penggunaan dan penempatan dana.

(4) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan dalam rekening tersendiri dalam Rekening Kas Umum Daerah.

Pasal 35

(1) Pembentukan Dana Cadangan dalam APBD diperlukan sebagai pengeluaran pembiayaan, sedang pada saat dana cadangan digunakan diperlukan sebagai penerimaan pembiayaan.

(2) Dalam hal Dana Cadangan belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan resiko rendah.

(18)

Bagian Kesembilan Kerjasama

Pasal 36

(1) Pemerintah Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lain melalui kerjasama dengan pihak lain dengan prinsip saling menguntungkan.

(2) Anggaran yang timbul akibat dari kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam APBD.

BAB V

ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH Bagian Kesatu

Struktur APBD Pasal 37

(1) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan.

(2) Selisih antara Anggaran Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah dapat mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. (3) Surplus anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi

apabila Anggaran Pendapatan Daerah lebih besar dari Anggaran Belanja Daerah.

(4) Defisit anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi apabila Anggaran pendapatan Daerah lebih kecil dari Anggaran Belanja Daerah.

Pasal 38

(1) Dalam hal APBD diperkirakan surplus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3), dapat digunakan untuk :

a. Pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo; b. Penyertaan modal (investasi daerah);

c. Transfer ke rekening Dana Cadangan.

(2) Dalam hal APBD diperkirakan defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4), dapat didanai dari pembiayaan daerah yang bersumber dari:

a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu; b. Transper dari Dana Cadangan;

c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. Pinjaman daerah.

Pasal 39

(1) Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain Pendapatan.

(2) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan.

(19)

Pasal 40

(1) Belanja daerah digunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perUndang-Undangan.

(2) Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

(3) Penyelenggaraan urusan yang bersifat pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi keunggulan daerah.

(4) Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perUndan-Undangan.

Pasal 41

(1) Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, dan kegiatan, serta jenis belanja.

(2) Klasifikasi belanja menurut organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.

(3) Klasifikasi belanja menurut organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :

a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; b. Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan Negara.

(4) Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diklasifikasikan menurut :

a. Urusan Wajib b. Urusan Pilihan

(5) Klasifikasi belanja menurut fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan Negara terdiri dari :

a. pelayanan umum;

b. ketertiban dan keamanan; c. ekonomi;

d. lingkungan hidup;

e. perumahan dan fasilitas umum; f. kesehatan;

g. pariwisata dan budaya; h. agama;

i. pendidikan; serta j. perlindungan sosial.

(6) Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

(20)

(7) Klasifikasi belanja menurut jenis belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :

a. belanja pegawai;

b. belanja barang dan jasa; c. belanja modal;

d. bunga; e. subsidi; f. hibah;

g. bantuan sosial;

h. belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan i. belanja tidak terduga.

Pasal 42

(1) Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga disediakan dalam bagian anggaran tersendiri.

(2) Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak tersangka lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah.

Pasal 43

Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada Pegawai Negeri Sipil Daerah berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

Bagian Kedua

Rencana Kerja Pemerintah Daerah Pasal 44

(1) Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan nasional, pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan dasar penyusunan rancangan APBD.

(2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

(3) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

Bagian Ketiga

Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Pasal 45

(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan RKPD kepada DPRD selambat-lambatnya bulan Juni tahun berjalan.

(21)

(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.

(3) Rancangan kebijakan umum APBD yang telah dibahas Kepala Daerah bersama DPRD dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selanjutnya disepakati menjadi Kebijakan Umum APBD.

Bagian Keempat

Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara Pasal 46

(1) Berdasarkan Kebijakan Umum APBD yang telah disepakati, Pemerintah Daerah dan DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara yang disampaikan oleh Bupati.

(2) Pembahasan prioritas dan plafon anggaran sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

(3) Pembahasan prioritas dan plafon anggaran sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan pilihan;

b. menentukan urutan program dalam masing-masing urusan; c. menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing

program.

(4) Kebijakan Umum APBD dan prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah dibahas dan disepakati bersama Kepala Daerah dan DPRD dituangkan dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh Bupati dan Pimpinan DPRD.

Bagian Kelima

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Pasal 47

(1) Berdasarkan prioritas dan plafon anggaran yang telah disepakati bersama sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (4) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah ( RKA – SKPD) dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.

(2) Penyusun RKA – SKPD dengan pendekatan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil diharapkan dari kegiatan dan program termasuk efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil tersebut.

(3) Penyusunan Anggaran berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikatator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal.

(22)

Pasal 48

(1) RKA – SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), memuat rencana pendapatan, belanja untuk masing-masing program dam kegiatan menurut fungsi untuk tahun yang direncanakan, dirinci sampai dengan rincian objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan, serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya.

(2) Penyusunan RKA – SKPD dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju yang berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan dan merupakan implikasi kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut pada tahun berikutnya.

Pasal 49

(1) RKA – SKPD yang telah disusun oleh kepala SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) disampaikan kepada PPKD.

(2) RKA – SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dibahas oleh Tim Anggaran pemerintan daerah.

(3) Pembahasan oleh Tim anggaran pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA – SKPD dengan kebijakan umum APBD, prioritas dan plafon anggaran sementara, prakiran maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indicator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal.

(4) PPKD menyusun rancangan peraturan daerah tentang APBD berikut dokumen pendukung berdasarkan RKA – SKPD yang telah ditelaah oleh tim anggaran pemerintah daerah.

(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas nota keuangan, dan rancangan APBD.

BAB VI

PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH Bagian Kesatu

Penyampaian dan Pembahasan

Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Pasal 50

(1) Bupati menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD disertai penjelasan dan dokumen pendukungnya pada minggu pertama bulan Oktober untuk dibahas dalam rangka memperoleh persetujuan bersama.

(2) Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari :

a. ringkasan APBD ;

b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintah daerah dan organisasi SKPD ;

(23)

c. rincian APBD menurut urusan pemerintah daerah, organisasi SKPD, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan ;

d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintah daerah, organisasi, SKPD, program dan kegiatan ;

e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintah daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan Negara ;

f. daftar pegawai per golongan dan per jabatan ; g. daftar piutang daerah ;

h. daftar penyertaan modal (investasi ) daerah ;

i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan asset tetap daerah ;

j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan asset lain-lain ; k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang

belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini ;

l. daftar dana cadangan daerah ; dan m. daftar pinjaman daerah.

Pasal 51

(1) Tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD mengacu pada peraturan perundang-undangan.

(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menitik beratkan pada kesesuaian antara kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara dengan program dan kegiatan yang diusulkan dalam rancangan peraturan daerah tentang APBD.

Bagian Kedua

Persetujuan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Pasal 52

(1) Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.

(2) Atas dasar persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati menyiapkan rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD.

Pasal 53

(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud dalam pasal 52, sebelum ditetapkan oleh Bupati paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

(24)

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati paling lama 15 ( lima belas ) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Peraturan Daerah dan rancangan peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD.

(3) Apabila Gubernur tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu 15 ( lima belas ) hari terhitung sejak rancangan diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka bupati dapat menetapkan rancangan peraturan daerah APBD menjadi peraturan daerah APBD dan rancangan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD menjadi peraturan Bupati tentang pejabaran APBD.

(4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati menetapkan rancangan dimaksud menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun sebelumnya.

(5) Bupati menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD kepada Gubernur selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

Pasal 54

(1) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) tidak sesuai dengan kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.

(2) Penyempurnaan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan Bupati bersama dengan Panitia Anggaran DPRD.

(3) Hasil Penyempurnaan sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan oleh pimpinan DPRD.

(4) Keputusan Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud ayat (3) dijadikan dasar penetapan peraturan daerah tentang APBD dan dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya.

(5) Keputusan Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud ayat (4) disampaikan kepada Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah keputusan tersebut ditetapkan.

Pasal 55

Apabila hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh Bupati dan DPRD, dan Bupati tetap menetapkan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati tentang penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan Bupati, Gubernur membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

(25)

Pasal 56

Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD dijadikan dasar penetapan dokumen pelaksanaan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Bagian Ketiga

Keterlambatan Persetujuan Bersama Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Pasal 57

(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) tidak mengambil keputusan bersama dengan Bupati terhadap rancangan tentang APBD, Bupati melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan Bupati tentang APBD. (2) Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.

(3) Rancangan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Gubernur. (4) Pengesahan terhadap rancangan peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 15 ( lima belas ) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(5) Apabila sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum disahkan, rancangan peraturan Bupati tentang APBD ditetapkan menjadi peraturan kepala daerah tentang APBD.

Bagian Kempat

Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Pasal 58

(1) Pemerintah Daerah menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untu 6 (enam) bulan berikutnya.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir bulan juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan.

Pasal 59

(1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi :

a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD ;

b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;

c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk tahun berjalan ;

(26)

d. keadaan darurat ; e. keadaan luar biasa.

(2) Pemerintah Daerah mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.

(3) Pengambilan keputusan mengenai rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Pasal 60

(1) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.

(2) Keadaan luar biasa sebagaiman dimaksud pada ayat (1) adalah keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50 % ( lima puluh per seratus )

Pasal 61

(1) Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan APBD/perubahan APBD, dan atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

(2) Keadaan Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya ;

b. tidak diharapkan tejadi berulang ;

c. berada diluar kendali dan pengaruh pemerintah daerah ;

d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.

Pasal 62

Proses penetapan Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran Perubahan APBD menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54 dan Pasal 57.

BAB VII

PELAKSANAAN APBD Bagian Kesatu

Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pasal 63

(1) Setelah APBD ditetapkan, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah memberitahukan kepada semua Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah.

(27)

(2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan Oleh Bupati.

(3) Didalam dokumen pelaksanaan anggaran, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut dan rencana penarikan dana tiap-tiap Satuan Kerja serta pendapatan yang diperkirakan.

(4) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah disampaikan kepada Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Bagian Kedua

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Pasal 64

(1) Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang :

a. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi ; dan

b. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan impor / ekspor.

(2) SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah.

(3) SKPD yang mempunyai tugas memungut dan atau menerima dan atau kegiatannya berdampak pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan dan penerimaan tersebut.

Pasal 65

(1) Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dianggarakan dalam APBD dilakukan melalui Rekening Kas Daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah.

(2) Bendahara Penerima wajib menyetor seluruh penerimaannya ke Rekening Kas Umum Daerah selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja.

(3) Setiap Penerimaan harus didukung oleh bukti yang lengkap atas setoran dimaksud.

(4) Untuk kelancaran penyetoran kas pemerintah daerah dapat menunjuk Badan, Lembaga Keuangan atau Kantor Pos yang bertugas melaksanakan sebagian fungsi bendahara penerima.

Pasal 66

(1) Penerimaan SKPD yang merupakan penerimaan daerah tidak dapat digunakan langsung untuk pengeluaran.

(2) Komisi, rabat, potongan atau penerimaan lain dengan nama dan bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, tukar-menukar, hibah, asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan bunga, jasa giro atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan dana anggaran pada bank serta penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atas kegiatan lainnya merupakan pendapatan daerah.

(28)

(3) Semua penerimaan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila bentuk uang harus segera disetor ke kas umum daerah dan berbentuk barang menjadi milik / aset daerah yang dicatat sebagai investasi daerah.

Pasal 67

(1) Penerimaan Daerah dalam Satu Tahun Anggaran adalah seluruh jumlah uang yang merupakan penerimaan daerah yang selama tahun itu dimasukkan dalam Kas Daerah.

(2) Uang milik Pemerintah Daerah yang sementara belum digunakan dapat didepositokan dan /atau diinvestasikan dalam investasi jangka pendek sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah.

(3) Bunga Deposito, bunga atas penetapan uang di bank, jasa giro dan/ atau bunga atas investasi jangka pendek merupakan pendapatan daerah.

Pasal 68

(1) Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian tuntutan ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada rekening penerimaan yang bersangkutan yang mengembalikan penerimaan yang terjadi dalam tahun yang sama. (2) Untuk pengembalian kelebihan penerimaan yang terjadi pada

tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada rekening belanja tidak terduga.

Bagian Ketiga

Pelaksanaan Anggaran Belanja Pasal 69

(1) SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya, dan atau yang tidak cukup tersedia anggaran dalam APBD.

(2) Pelaksanaan belanja daerah sabagaimana dimaksud pada ayat (1) ; harus didasarkan pada prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan

sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

(4) Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah.

(5) Pengeluaran Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.

Pasal 70

(1) Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan SPD, atau DPA – SKPD, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD.

(2) Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh pengguna anggaran / kuasa pengguna anggaran.

(29)

(3) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan SP2D oleh kuasa BUD.

(4) Dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kuasa BUD berkewajiban untuk :

a. Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran / kuasa pengguna anggaran ;

b. Menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam perintah pembayaran ;

c. Menguji ketersediaan dana yang bersangkutan ;

d. Memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran daerah ;

e. Menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran / kuasa pengguna anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan ;

Pasal 71

Setelah tahun anggaran berakhir, kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran dilarang menerbitkan SPM yang membebani tahun anggaran berkenan.

Pasal 72

Bendahara pengeluaran sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan ( PPh ) dan Pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungut ke rekening Kas Negara pada Bank pemerintah atau Bank lain yang ditetapkan Menteri Keuangan sebagai Bank persepsi atau pos giro dalam jangka waktu sesuai ketentuan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah Pasal 73

(1) Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah meliputi dana cadangan , pinjaman dan penyertaan modal dilakukan oleh PPKD.

(2) Semua penerimaan dan pengeluaran pembiayaan daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah.

Pasal 74

(1) Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan dalam tahun anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam peraturan daerah.

(2) Pemindah bukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan yang ditransfer ke rekening dana cadangan dilakukan dengan surat perintah pemindah bukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

(30)

Pasal 75

(1) Pemindah bukuan dari rekening dana cadangan ke Rekening Kas Umum Daerah dilakukan berdasarkan rencana pelaksanaan kegiatan, setelah jumlah dana cadangan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan yang berkenaan mencukupi.

(2) Pemindah bukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan.

(3) Pemindah bukuan dari Rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan surat perintah pemindah bukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

Pasal 76

(1) Penerimaan pinjaman daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang akan diterima dalam tahun anggaran yang bersangkutan sesuai dengan yang akan ditetapkan dalam perjanjian pinjaman berkenaan.

(2) Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam nilai rupiah.

Pasal 77

Pembayaran pokok utang didasarkan pada jumlah yang harus dibayarkan sesuai dengan perjanjian pinjaman dan pelaksanaan merupakan prioritas utama dari seluruh kewajiban pemerintah daerah yang harus diselesaikan dalam tahun anggaran yang berkenaan.

Pasal 78

(1) Pemberian pinjaman daerah kepada pihak lain berdasarkan keputusan kepala daerah atas persetujuan DPRD

(2) Penerimaan kembali pinjaman daerah didasarkan pada perjanjian pemberian pinjaman daerah sebelumnya, untuk kesesuaian pengembalian pokok pinjaman dan kewajiban lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.

Pasal 79

(1) Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah berkenaan. (2) Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan penyertaan modal pemerintah

daerah, pembayaran pokok utang dan pemberian pinjaman daerah dilakukan berdasarkan SP2D yang ditertibkan oleh PPKD.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai pengelolaan konflik yang dilakukan oleh kelompok etnis mahasiswa UKSW, seperti yang dilakukan oleh Heni Sugiarti (

Beberapa faktor yang dapat mempermudah terinveksi virus HPV yaitu menikah atau memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dari 18 tahun), berganti-ganti pasangan seks

Overall Equipment Effectiveness (OEE) menentukan seberapa efektif mesin, Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah dari

Berdasarkan nilai Reflection Loss yang diperoleh maka daya serap terhadap gelombang mikro dapat diketahui dengan menunjukkan hubungan frekuensi terhadap nilai Reflection Loss

Sepuluh tahun kemudian pada tanggal 31 Agustus 1971 berdirilah PT Krakatau Steel (Persero). Dengan memanfaatkan kembali peralatan- peralatan proyek baja Trikora yaitu pabrik

Dialog dalam perspektif yang pertama merupakan sebuah keharusan atau konsekwensi logis pemahaman sosial bahwa suatu agama (baca: umat beragama) di samping sebagai suatu

Kemudian flex sensor akan mengirimkan data berupa nilai untuk menggerakkan motor servo sesuai dengan lekukan pada flex sensor dan robot akan menirukan gerakan yang

Sementara itu besaran sudut segitiga bola dinyatakan dalam satuan sudut yang besarnya sama dengan sudut yang diapit oleh dua garis lurus (misal AB1 dan AC1)