• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. ada baru mampu memproduksi 4 juta ton per tahun.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. ada baru mampu memproduksi 4 juta ton per tahun."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DESKRIPSI PERUSAHAAN

Di dalam negeri, kebutuhan besi baja industri nasional belakangan ini begitu tinggi. Namun, produksi industri besi baja nasional belum mampu menutupi kebutuhan, akibatnya pintu impor pun harus dibuka lebar-lebar. Setiap tahun, kebutuhan besi baja tak kurang dari 6 juta ton, sementara industri besi baja yang ada baru mampu memproduksi 4 juta ton per tahun.

2.1 Sejarah Singkat Industri Logam di Indonesia

Sejarah perkembangan baja di Indonesia diawali di tahun 1960, Presiden Soekarno mencanangkan Proyek Besi Baja Trikora untuk meletakkan dasar industri nasional yang tangguh. Sepuluh tahun kemudian pada tanggal 31 Agustus 1971 berdirilah PT Krakatau Steel (Persero). Dengan memanfaatkan kembali peralatan-peralatan proyek baja Trikora yaitu pabrik kawat baja, pabrik baja tulangan dan pabrik baja profil, maka tahun 1977 Presiden Soeharto meresmikan mulai beroperasinya pabrik produsen baja terbesar di Indonesia itu.Pada 9 Oktober 1979, Presiden Soeharto meresmikan Pabrik Besi Spons model Hyl S.A modul I dan II dengan kapasitas 1,5 juta ton per tahun, Pabrik Billet Baja dengan kapasitas 500.000 ton per tahun, Pabrik Batang Kawat dengan kapasitas 220.000 ton per tahun, serta fasilitas infrastuktur berupa Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Uap 400 MW, Pusat Penjernihan Air dengan kapasitas 2000 liter/detik, Pelabuhan Cigading serta Sistem Telekomunikasi. Tanggal 24 Februari 1983 diresmikan beroperasinya Pabrik Slab Baja (EAF), Pabrik Baja Lembaran Panas dan Pabrik Besi Spons unit 2 PT.

(2)

Krakatau Steel oleh Presiden Soeharto.Pada tahun 1976. Selanjutnya PT Ispat Indo berdiri di Sidoarjo Surabaya oleh seorang imigran dari India Laksmi Mittal dan istrinya. Diatas tanah bekas persawahan seluas 16,5 hektar, Mittal mendirikan bangunan yang dijadikan pabrik bernama PT. Ispat Indo. Disinilah Mittal mulai menyingsingkan lengan sepenuhnya. Ia menanamkan modal US$ 15.000.000 (Rp. 135 Milliar) untuk mendirikan dan memulai mengoperasikannya. Kapasitas produksi 60.000 ton per tahun terus meningkat menjadi 700.000 ton per tahun. Pabrik yang menitikberatkan industrinya di bidang wire itu memproduksi paku dan besi tulangan untuk konstruksi. Pendiri PT Ispat Indo, Laksmi Niwas Mittal, merupakan orang terkaya nomor 4 di dunia yang memiliki pabrik baja yang tersebar di penjuru dunia, holding baja miliknya bernama Archelor Mittal.

Sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, peran pemerintah dalam mendorong kemajuan sektor industri ke depan dilakukan secara terencana serta disusun secara sistematis dalam suatu dokumen perencanaan. Dokumen perencanaan tersebut harus menjadi pedoman dalam menentukan arah kebijakan pemerintah dalam mendorong pembangunan sektor industri dan menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan industri nasional.

Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) disusun sebagai pelaksanaan amanat pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No. 3 tahun 2014, dan menjadi pedoman bagi pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan Industri sehingga tercapai tujuan penyelenggaraan Perindustrian. RIPIN memiliki masa berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dan bila diperlukan

(3)

dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Di dalam RIPIN telah ditentukan ditentukan 10 industri prioritas yang dikelompokkan kedalam industri andalan, industri pendukung dan industri hulu sebagai berikut :

Industri Andalan 1.Industri Pangan

2.Industri Farmasi, Kosmetik dan Alat Kesehatan 3.Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka 4.Industri Alat Transportasi

5.Industri Elektronika dan Telematika (ICT) 6.Industri Pembangkit Energi

Industri Pendukung

7.Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong dan Jasa Industri

Industri Hulu 8.Industri Hulu Agro

9.Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam 10.Industri Kimia Dasar Berbasis Migas dan Batubara

Kesepuluh Industri prioritas tersebut merupakan bagian dari Bangun Industri Nasional. Bangun industri nasional berisikan industri andalan masa depan, industri pendukung, dan industri hulu, dimana ketiga kelompok industri tersebut memerlukan modal dasar berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, serta teknologi, inovasi dan kreativitas. Pembangunan industri di masa depan tersebut

(4)

juga memerlukan prasyarat berupa ketersediaan infrastruktur dan pembiayaan yang memadai, serta didukung oleh kebijakan dan regulasi yang efektif.

Gambar 2.1: Bangun Industri Nasional Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014) 2.2 Lingkup Bidang Usaha Industri Logam

Industri baja, salah satu bagian dari industri logam dasar yang termasuk dalam industri hulu, merupakan salah satu industri strategis di Indonesia. Sektor ini memainkan peran utama dalam memasok bahan-bahan baku vital untuk pembangunan di berbagai bidang mulai dari penyedian infrastruktur (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik dan telekomunikasi), produksi barang modal (mesin pabrik dan material pendukung serta suku cadangnya), alat transportasi (kapal laut, kereta api beserta relnya dan otomotif), hingga persenjataan. Atas perannya yang sangat penting tersebut, keberadaan industri baja menjadi sangat strategis untuk kemakmuran suatu negara. Indonesia sendiri memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan industri baja. Hal ini didasarkan pada data konsumsi baja per

(5)

kapita Indonesia yang saat ini masih sangat rendah. Pada tahun 2013, konsumsi baja Indonesia baru mencapai 61,6 kg per kapita per tahun dan menempati urutan ke-6 diantara negara-negara ASEAN. Konsumsi per kapita industri baja suatu negara dihitung dari jumlah produksi baja kasar dibagi dengan jumlah penduduk negara tersebut.

Gambar 2.2: Konsumsi Baja per Kapita Indonesia tahun 2013 Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

Cakupan Industri baja sangat luas, meliputi rentang nilai yang panjang dari hulu sampai hilir. Hulunya dimulai dari proses hasil tambang berupa pasir besi menjadi bijih besi (iron ore) dan dilanjutkan menjadi pellet yang merupakan bahan baku untuk pembuatan besi baja. Selanjutnya diproses lagi pada tanur baja untuk menghasilkan produk baja antara yang menghasilkan bahan baku bagi industri hilirnya sebagai produk akhir (end product). Industri baja sendiri merupakan industri yang bersifat padat modal, padat teknologi dan memerlukan SDM yang trampil dan ahli dalam merencanakan proses produksi dan pengaturan mesin secara optimal dan efisien.

0 200 400 600 800 1000 1200

Singapore Malaysia Thailand Vietnam Filipina Indonesia

1018.7

392.3

291.4

151

79.5 61.6

Tahun 2013 Konsumsi Baja 61,6 Kg per Kapita per

Tahun

(6)

Gambar 2.3: Industri Besi Baja dari Hulu sampai Hilir Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

2.3 Sumber Daya

Sumber Daya Alam (SDA) yang digunakan dalam industri baja adalah hasil tambang berupa pasir besi (iron sand) dan bijih besi (ironore). Indonesia memiliki potensi sumber daya pasir besi dan bijih besi yang cukup besar dengan jumlah deposit berupa sumberdaya dan cadangan sekitar 5.110 juta ton. Secara nasional potensi sumber daya mineral tersebut cukup besar tetapi menyebar di beberapa daerah dengan jumlah yang terbatas. Potensi tersebut memiliki karakteristik yang beragam, baik dari segi kualitas maupun jenis mineral besi yang terkandung di dalamnya. Secara umum sumber daya untuk industri besi baja ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis:

1. Biji besi primer atau biji besi magnetit-hematit, dengan deposit sebesar 881,8 juta ton yang tersebar di Lampung, Sumatera Barat, Jambi, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Biji besi magnetit-hematit adalah biji besi dengankadar yang sangat bervariasi dari 25%Fe-67%.

2. Biji besi laterit, dengan deposit sebesar 1.778,4 juta ton yang tersebar di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi tenggara, Maluku Utara dan Papua barat. Biji Besi laterit merupakan hasil pelapukan sehingga banyak didominasi oleh

(7)

mineral-mineral guikt dan mengandung nikel. Kadar biji besi laterit juga bervariasi dapat juga ditingkatkan kadarnya dengan berbagai macam teknologi peningkatan kadar.

Tabel 2.1 Sumber daya dan cadangan mineral besi

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

Saat ini ada beberapa perusahaan yang melakukan penambangan pasir besi, salah satunya adalah PT.Yasindo Abdi Putra yang berlokasi di Tasikmalaya, Jawa Barat dengan kapasitas produksi mampu mencapai 3000 ton pasir besi per hari. Sedangkan perusahaan yang melakukan pengolahan bijih besi menjadi besi spons (sponge iron) hanya terdapat dua buah perusahaan yaitu PT.Meratus Jaya Iron & Steel dan PT.Delta Prima Steel dengan kapasitas produksi masing-masing sebesar 315 ribu ton dan 100 ribu ton.

(8)

Tabel 2.2 Perusahaan pengolahan bijih besi

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

Gambar 2.4 Sebaran sumber daya dan cadangan mineral besi di wilayah Indonesia

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014) 2.4 Tantangan Bisnis Industri Logam Dasar

1. Pertumbuhan Industri Logam Dasar

Angka pertumbuhan Industri Logam Dasar berfluktuasi antara tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Tahun 2011 industri logam dasar tumbuh sebesar 6,28%, angka ini meningkat tajam sebesar 110% dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2010. Tetapi pada tahun 2012 pertumbuhan industri logam dasar mengalami penurunan yang tajam menjadi 1,81% dan selanjutnya meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 8,38% atau meningkat sebesar 363% dibandingkan angka

(9)

pertumbuhan tahun sebelumnya. Kontribusi industri logam dasar ini terhadap pertumbuhan industri non migas pada tahun 2013 adalah sebesar 5,17%.

Tabel 2.3 Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Industri Material Dasar Logam

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

Cakupan Industri material dasar logam dalam KBLI 24101 sangat luas. Selain Slab dan Billet dalam KBLI ini termasuk produk logam dasar lainnya seperti: pellet bijih besi, besi spons, besi kasar (pig iron), dan lain-lain. Begitu juga cakupan dalam KBLI 24102 sangat luas. Selain HRC dalam KBLI ini termasuk produk-produk gilingan batang kawat baja, baja tulangan, baja profil, baja strip, baja rel, pelat baja, dan baja lembaran hasil gilingan dingin (cold rolled sheet). Dari data pertumbuhan nalai tambah kedua KBLI tersebut, maka nilai tambah untuk produk Slab/Billet dan HRC sudah merupakan bagian dari angka pertumbuhan tersebut.

Nilai tambah produk pada KBLI 24101 meningkat terus dari tahun 2009 sampai tahun 2011, tetapi menurun sekitar 37% pada tahun 2012. Nilai tambah produk pada KBLI 24102 tahun 2010 menurun drastis sebesar 57% dibandingkan tahun 2009, namun kemudian meningkat tajam sebesar 200% pada tahun 2010.

(10)

Tabel 2.4 Pertumbuhan nilai tambah industry material dasar logam

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014) 2. Jumlah Perusahaan dan Kapasitas per Industri

Awalnya Indonesia hanya mempunyai satu perusahaan yang memproduksi Slab dan Billet yaitu PT. Krakatau Steel, di Cilegon, Banten. Belakangan karena adanya masalah PT. Krakatau Steel tidak lagi memproduksi Slab dan Billet. Untuk memenuhi kebutuhan pabriknya memproduksi produk hilir baja, maka PT. Krakatau Steel mengimpor slab dan billet.

Perusahaan dalam negeri lainnya yang memproduksi produk hilir baja, juga mengimpor Slab sebagai bahan bakunya. Dalam beberapa tahun terakhir PT.Krakatau Steel bekerja sama dengan Posco Korea Selatan membangun pabrik baja di Banten Indonesia dengan nama PT. Krakatau Posco. Perusahaan ini mengimpor material selanjutnya diproses sebagai bahan baku untuk memproduksi memproduksi Slab dan Billet.

Terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi produk HRC dan produk baja hilir lainnya. Perusahaan tersebut mengimpor Slab dan Billet sebagai bahan baku untuk memproduksi HRC dan produk baja batangan.

(11)

Tabel 2.5 Jumlah perusahaan dan kapasitas produsen baja dasar

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

Tabel 2.6 Perkembangan produksi produk baja dasar

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014) 3. Ekspor –Impor

Sampai saat ini produsen baja dasar (crude steel) di dalam negeri masih sangat sedikit, sehingga jumlah produksinya juga sedikit dibandingkan kebutuhan nasional, maka pada dasarnya Indonesia belum mengekspor produk logam dasarnya, atau mengekspor dengan nilai yang sangat sedikit. Kekurangan kebutuhan nasional terpaksa dipenuhi dari produk impor. Jumlah Impor produk logam dasar dalam beberapa tahun terakhir relatif tetap.

(12)

Tabel 2.7 Impor produk logam dasar

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

2.5 Peluang Pasar Dalam dan Luar Negri 1. Pasar Dalam Negeri

Sampai saat ini konsumsi baja Indonesia masih sangat rendah. Pada tahun 2013 konsumsi baja Indonesia adalah sebesar 61,6 kg perkapita per tahun (World Steel Association, 2014). Angka ini masih di bawah konsumsi negara-negara di Asia Tenggara. Untuk bisa menjadi negara maju, maka Indonesia harus memiliki konsumsi baja per kapita per tahun sebesar 500 Kg. Dengan tingkat konsumsi baja perkapita pertahun yang masih rendah maka Indonesia setidaknya masih memerlukan kapasitas produksi baja 120 juta ton untuk menopang konsumsi 500 Kg pertahun perkapita. Konsumsi dalam negeri ini dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri dan ditambah dari impor serta dikurangi dengan ekspor.

(13)

Gambar 2.5 Grafik perbandingan konsumsi baja per kapita Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

Tabel 2.8 Konsumsi Baja

Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014) 2. Pasar Dunia/Global

Proyeksi permintaan baja dunia berdasarkan laporan World Steel Association dalam ”World Steel Short Range Outlook 2014-2015” dijelaskan bahwa industri baja dunia pada tahun 2011 akan mengalami peningkatan permintaan sebesar 2% menjadi 1.562 juta metrik ton melanjutkan pertumbuhan

0 200 400 600 800 1000 1200

Singapore Malaysia Thailand Vietnam Filipina Indonesia Asia Dunia

1018.7 392.3 291.4 151 79.5 61.6 285 235.9

(14)

sebesar 3,8% pada tahun 2013. Pada tahun 2015, permintaan baja diperkirakan akan tetap tumbuh sebesar 2% sehingga mencapai angka 1.594 juta metrik ton. Permintaan baja pada tahun 2015 diproyeksikan akan dikuasai oleh kawasan Asia dan Oceania dengan market share sebesar 66,8%, sedangkan kawasan Amerika Utara dan Uni Eropa akan berkontribusi sebesar 18,2% dari total penggunaan baja dunia.

Gambar 2.6 Grafik pertumbuhan kebutuhan baja (CAGR 2002 – 2012) Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)

Gambar

Gambar 2.1: Bangun Industri Nasional  Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)
Gambar 2.2: Konsumsi Baja per Kapita Indonesia tahun 2013  Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)
Gambar 2.3: Industri Besi Baja dari Hulu sampai Hilir  Sumber: Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (2014)
Tabel 2.1 Sumber daya dan cadangan mineral besi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Artinya uang Anda terganti (balik modal istilah orang dagang mah), artinya lagi sama saja Anda daftar jadi member tarbiyah- online.com dengan GRATIS TIS TIS

Bentuk perilaku tipe agresi fisik seperti mengolok dengan kata–kata kasar terhadap geng motor lain, masyarakat umum bahkan teman di “X” tersebut, memukul orang yang

Secara umum, meskipun pelaksanaan program dan kegiatan tahun 2014 berdasarkan tugas pokok dan fungsi dan akuntabiltas keuangan telah mendorong capaian kinerja

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai lesson learn bagi pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik seperti yang terjadi pada kasus perjanjian

Gerakan trolley ini dilakukan oleh dua unit motor penggerak, dengan daya output yang diperlukan masing-masing motor untuk beban maksimum adalah sebesar 24 kW.. Kata

Men%a(ukan u#u"an u'a&a 'enin%katan mutu dan ren/ana an%%aran untuk kebutuhan di bidan% Peme"iharaan Sarana Pra#arana Rumah Sakit

Kehutanan 14% Energi 6% Sampah 6% Melalui pengembangan energi baru terbarukan dan konservasi energi di seluruh sektor...  Konservasi energi nasional menjadi tanggung jawab

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja untuk menilai kemampuan pasien melakukan TAK. aspek yang dievaluasi adalah kemampuan pasien