• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan dan Perkembangan Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan dan Perkembangan Tanah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembentukan dan Perkembangan Tanah

Menurut Jenny (1941) pembentukan tanah ditentukan oleh faktor-faktor bahan induk (p), iklim (c), topografi (r), vegetasi (v) dan waktu (t). Proses pembentukan tanah pada garis besarnya dibedakan atas proses pelapukan dan perkembangan tanah. Proses pelapukan merubah batuan induk menjadi bahan induk tanah sebagai suatu tubuh isotrop, sedangkan proses-proses perkembangan tanah merubah bahan induk menjadi suatu tubuh tanah yang anisotrop. Selanjutnya proses perkembangan tanah akan menghasilkan horison-horison genetis tubuh tanah bersangkutan (Probohandono et. al., 1985).

Faktor pembentukan tanah dibedakan menjadi dua golongan yaitu, faktor pembentukan tanah secara pasif dan aktif. Faktor pembentukan tanah secara pasif adalah bagian-bagian yang menjadi sumber massa dan keadaan yang mempengaruhinya, meliputi bahan induk, topografi dan waktu (umur). Sedangkan faktor pembentukan tanah secara aktif ialah faktor yang menghasilkan energi yang bekerja pada massa tanah yaitu iklim, (hidrosfer dan atmosfer) dan makhkluk hidup (biosfer). Adapun pembentukan tanah dipengaruhi oleh lima faktor yang bekerjasama dalam berbagai proses, baik reaksi fisik (disintregrasi) maupun kimia (dekomposisi). Topografi (relief) yang mempengaruhi tata air dalam tanah dan erosi tanah juga termasuk faktor pembentuk tanah.

Faktor pembentukan tanah melalui iklim meliputi curah hujan dan suhu. Suhu sangat berpengaruh bagi proses pembentukan tanah meliputi evapotranspirasi yang meliputi gerak air di dalam tanah, juga meliputi reaksi kimia bilamana suhu makin besar maka makin cepat pula reaksi kimia berlangsung.

Bahan induk yang menyusun pembentukan tanah bersumber dari batuan dan bahan organik. Batuan dapat didefinisikan sebagai bahan padat yang terjadi di dalam membentuk kerak bumi, batuan pada umumnya tersusun atas dua mineral atau lebih. Berdasarkan cara terbentuknya batuan dapat dibedakan menjadi 3 jenis batuan, yaitu batuan beku, batuan endapan dan batuan malihan.

(2)

Bahan organik berperan terhadap kesuburan tanah dan berpengaruh juga terhadap ketahanan agregat tanah. Bahan organik mempunyai pengaruh terhadap warna tanah yang menjadikan warna tanah coklat kehitaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Tumbuhan menjadi sumber utama bagi bahan organik, pada keadaan alami tumbuhan menyediakan bahan organik yang sangat besar, akibat pencernaan oleh mikroorganisme bahan organik tercampur dalam tanah secara proses infiltrasi. Beberapa bentuk kehidupan seperti cacing, rayap, dan semut berperan penting dalam pengangkutan tanah. Faktor yang mempengaruhi bahan organik tanah yaitu, kedalaman tanah yang menentukan kadar bahan-bahan organik yang terdapat pada kedalaman 20 cm dan makin ke bawah makin berkurang.

Mikroorganisme dalam tanah mempunyai peranan dalam proses peruraian bahan organik menjadi unsur hara dapat diserap oleh akar tanaman dan pembentukan humus. Cacing tanah sangat aktif dalam peruraian (dekomposisi) serasah. Rayap-rayap makan sisa-sisa bahan organik. Topografi alam dapat mempercepat atau memperlambat kegiatan iklim. Pada tanah datar kecepatan pengaliran air lebih kecil daripada tanah yang berombak. Topografi miring memperlihatkan berbagai proses erosi air, sehingga membatasi kedalaman solum tanah. Sebaliknya genangan air di dataran, dalam waktu lama atau sepanjang tahun, pengaruh iklim nisbi tidak begitu nampak dalam perkembangan tanah.

Morfologi tanah dapat diartikan sebagai susunan dan sifat-sifat horison yang ditunjukkan oleh warna, tekstur, struktur, konsistensi, dan porositas pada setiap horison serta gejala-gejala lain dalam profil tanah Sifat-sifat morfologi tanah merupakan hasil dari proses genesis yang terjadi dalam tanah, sebagian hasil proses geologik atau proses lainnya.

Menurut Rachim dan Suwardi (1999) warna tanah dengan tanah memiliki hubungan yang ditunjukkan dalam dua hal penting, yaitu: pertama warna secara tidak langsung berhubungan dengan interpretasi sifat-sifat yang tidak dapat diobservasi secara tepat dan mudah; dan kedua merupakan ciri yang sangat berguna untuk identifikasi tanah. Sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan warna tanah antara lain: kandungan bahan organik, keadaan drainase, aerasi, kelembaban tanah, bahan induk, mineralogi tanah, dan lain-lain. Semakin gelap warna tanah maka semakin tinggi kandungan bahan

(3)

organiknya sedangkan semakin pucat warna tanah maka semakin rendah kandungan bahan organiknya.

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat yang terkandung dalam suatu massa tanah. Fraksi pasir mempunyai ukuran yang lebih besar daripada debu dan liat. Pasir berukuran 2-0.05 mm, debu berukuran 0.05-0.002 mm, dan liat berukuran <0.002 mm. Penetapan tekstur di lapang dengan membasahi massa tanah kemudian dipijit dan dipirit antara ibu jari dan telunjuk. Sifat umum dari fraksi pasir dalam penetapan di lapang adalah adanya rasa kasar, tidak plastis atau lekat dalam keadaan lembab. Fraksi debu terasa seperti bedak atau semir, tidak plastis atau lekat dalam keadaan lembab. Sedangkan fraksi liat akan terasa licin, lekat dan plastis dalam keadaan lembab dan membentuk bongkah yang sangat keras dalam keadaan kering (Rachim dan Suwardi, 1999).

Rachim dan Suwardi (1999) mengemukakan bahwa penyipatan struktur tanah dapat dilihat dari bentuk, tingkat perkembangan dan ukurannya. Bentuk struktur berfungsi untuk membedakan kelas struktur. Ada tujuh macam bentuk struktur yaitu lempeng, prismatik, tiang, gumpal bersudut, gumpal membulat dan remah. Sedangkan yang tidak berstruktur disebut lepas dan pejal (masif). Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasarkan kemantapan dan ketahanan struktur tersebut terhadap tekanan, yang dibedakan berdasarkan dari yang mudah hancur sampai yang sulit hancur. Sedangkan ukuran struktur menunjukkan ukuran butir-butir struktur yang dibedakan dari sangat halus sampai sangat kasar.

Tanah dalam keadaan basah ditetapkan menggunakan dua paramater, yaitu kelekatan dan plastisitas. Jika keadaan tanah di lapang dalam keadaan kering, sebaiknya konsistensi ditetapkan dalam keadaan kering, lembab dan basah. Jika tanah dalam keadaan lembab, sebaiknya konsistensi ditetapkan dalam keadaan lembab dan basah (Rachim dan Suwardi, 1999).

Pori tanah adalah bagian tanah yang berbentuk ruangan (tidak diisi oleh padatan), dimana bagian ini terisi oleh udara dan air. Pori tanah sangat penting dalam nenentukan pergerakan air dan udara yang sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Karakteristik pori ditentukan juga oleh tipe dan ukuran struktur. Menurut Hardjowigeno (2003), pori dapat dibagi kedalam pori makro dan pori mikro. Pori makro atau kasar

(4)

adalah pori-pori yang terisi air dan udara gravitasi (air bebas), sedangkan pori mikro (pori halus) adalah pori yang terisi oleh udara dan air kapiler (air yang tersedia untuk tanaman). Tanah-tanah bertekstur kasar lebih banyak mengandung pori kasar daripada bertekstur halus dan sebaliknya untuk pori mikro. Oleh karena itu, air tersedia bagi tanaman pada tanah bertekstur kasar lebih sedikit daripada tanah bertekstur halus. Tanah bertekstur kasar lebih sulit menahan air, sehingga tanaman mudah kekeringan.

Tingkat perkembangan tanah ditentukan berdasarkan sifat morfologis dan genesis tanah. Secara morfologis, ditetapkan berdasarkan pada kelengkapan horison-horison genesis dan kedalaman solumnya, sedangkan secara genesis ditetapkan berdasarkan tingkat pelapukannya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dari hasil analisis sifat-sifat fisika, kimia, dan mineralogi tanahnya (Probohandono et.al., 1985).

Morfologi tanah dapat diartikan sebagai susunan dan sifat-sifat horison yang ditunjukkan oleh tekstur, struktur, konsistensi, dan porositas pada setiap horison serta gejala-gejala lain dalam profil tanah. Sifat-sifat morfologi tanah merupakan hasil dari proses genesis yang terjadi dalam tanah, sebagian hasil proses geologi atau proses lainnya. Simonson (1959) mengemukakan bahwa proses pedogenesis tanah terdiri dari 4 proses kejadian, yaitu :

1. Proses penambahan, dimana terjadi penambahan energi dan bahan dalam berbagai bentuk, seperti : energi panas melalui sinar matahari, air melalui hujan, O2 dan CO2 melalui respirasi organisme, dekomposisi bahan organik dan bahan organik melalui organisme mati.

2. Proses penghilangan, dimana bahan penyusun massa tanah hilang keluar sistem tanah, seperti: air melalui evapotranspirasi, C (CO2) melalui dekomposisi bahan organik, dan unsur hara melalui pencucian dan serapan tumbuhan.

3. Proses translokasi, menunjukkan adanya perpindahan tempat dari bahan di dalam profil tanah, seperti : bahan liat dan organik, senyawa oksida dan unsur hara dari lapisan atas ke lapisan bawah, siklus hara oleh vegetasi dan bahan tanah oleh aktivitas biologik.

4. Proses transformasi, di dalam tubuh tanah terjadi perubahan-perubahan bentuk termasuk sintesis senyawa atau bahan baru, seperti: ukuran butir, senyawa organik, srukturisasi dan horisonisasi.

(5)

Melalui proses-proses ini, tubuh tanah akan berkembang dari tingkat muda hingga tua, yang pada setiap tingkat memiliki sifat morfologi tertentu yang khas, sehingga pada setiap tingkat perkembangan dicerminkan oleh sifat tersebut termasuk fisik, kimia dan mineralogi (Rachim dan Suwardi, 1999).

2.1.1 Sifat Fisik Tanah

Penggunaan alat-alat berat dapat memberikan efek negatif terhadap tanah, secara fisik terjadi peningkatan bobot isi akibat penggunaan alat berat tersebut. Pemadatan ini mempengaruhi permeabilitas, porositas, aerasi tanah, kemampuan tanah dalam mengikat air dan merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman (Soepardi, 1983).

Salah satu dampak penambangan terbuka adalah lapisan penutup lahan akan digali dan dipindahkan. Hal ini disebabkan karena tanah harus dipindahkan sementara ke tempat penyimpanan tanah sehingga top soil dan subsoil tercampur, sedangkan bahan induk muncul di permukaan. Pemindahan sementara tersebut menyebabkan hilangnya bahan organik tanah.

Berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan menyebabkan rusaknya struktur, tekstur, porositas, dan bobot isi sebagai karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya tata air dan aerasi yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Akar tidak dapat berkembang dengan sempurna dan fungsinya sebagai alat absorpsi hara sehingga unsur hara akan terganggu (Setiadi, 1996).

Porositas adalah indeks dari volume pori dalam tanah. Pada umumnya nilainya berkisar dari 0.3 - 0.6 (30 % - 60 %). Pori tanah ditempati oleh pori mikro untuk air dan pori makro untuk udara. Ruang pori berubah dengan kedalaman tanah. Tanah lapisan bawah kadang-kadang mempunyai ruang pori sebanyak 26 - 30 %. Hal ini menyebabkan aerasi lapisan tersebut menjadi buruk (Soepardi, 1983).

Bobot isi adalah bobot kering suatu unit volume tanah dalam keadaan utuh, dinyatakan dalam gram tiap sentimeter kubik. Unit volume terdiri dari volume yang terisi bahan padat dan volume ruang diantaranya. Bobot isi dan porositas tanah dapat berubah dan beragam tergantung pada keadaan struktur tanah, khususnya dalam

(6)

hubungannya dengan proses pemadatan tanah dan penambahan bahan organik (Wahjunie dan Murtilaksono, 1996).

Menurut Hillel (1980) faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah antara lain adalah: tekstur, porositas, distribusi ukuran pori, stabilitas agregat, dan struktur tanah serta bahan organik. Tanah yang bertekstur kasar umumnya mempunyai permeabilitas yang tinggi dibandingkan tanah yang bertekstur halus, karena tanah yang bertekstur kasar mempunyai pori makro yang lebih banyak. Tanah-tanah yang bertekstur halus tetapi mempunyai struktur yang baik permeabilitas tanahnya akan lebih tinggi daripada tanah yang bertekstur kasar tetapi mempunyai struktur yang telah rusak.

Mohr dan Van Baren (1959) mengatakan bahwa permeabilitas tanah meningkat jika butir tanah menjadi lemah, adanya saluran bekas lubang akar yang terdekomposisi, adanya bahan organik, dan porositas tanah yang tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi permeabilitas tanah adalah interaksi antara pori dengan cairan, mikroorganisme tanah, kualitas air dan pertukaran kation (Hillel, 1980). Umumnya pergerakan air dalam tanah tidak konstan karena adanya variasi proses-proses kimia, fisika, dan biologi tanah. Perubahan dapat terjadi dalam komposisi komplek pertukaran ion, jika konsentrasi air yang memasuki tanah tersebut berbeda dengan konsentrasi larutan tanah. Hal ini didukung oleh Hillel (1980) yang menyatakan bahwa permeabilitas tanah dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk ruang pori yang dilalui air dan viskositas cairan tanah.

Injakan hewan, orang atau kendaraan dapat menyebabkan pemadatan tanah, sehingga permeabilitas tanah dan ruang pori tanah membentuk pipa halus menjadi rusak. Rendahnya permeabilitas tanah merupakan salah satu faktor yang akan menurunkan kapasitas infiltrasi (Sosrodarsono dan Takeda, 1980).

Permeabilitas merupakan sifat fisik tanah yang erat kaitannya dengan porositas tanah. Permeabilitas mempunyai hubungan fungsional dengan sifat-sifat yang dapat di ukur dari pori geometris, yaitu porositas, penyebaran ukuran pori, luas permukaan dalam dan ruang pori total (Arsyad et. al., 1975). Selanjutnya Foth dan Turk (1972) menyatakan permeabilitas berkaitan dengan kemudahan cairan dan gas serta akar menembus tanah. Permeabilitas tanah yang dilalui air dapat dinyatakan dalam konduktivitas hidrolik tanah.

(7)

Permeabilitas dinyatakan pula sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada media berpori dalam keadaan jenuh. Tanah merupakan media berpori yang tidak sama sifatnya di setiap tempat. Tanah yang memiliki jumlah ruang pori yang banyak tidak selalu mempunyai permeabilitas yang tinggi dibandingkan tanah yang bertekstur halus. Hal ini disebabkan tanah yang bertekstur kasar mempunyai pori makro yang lebih banyak (Hillel, 1980). Pada tanah dengan kandungan liat tinggi permeabilitas menjadi sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya dominasi pori mikro pada tanah tersebut (Foth dan Turk, 1972).

Permeabilitas juga dipengaruhi oleh struktur dan tekstur tanahnya. Stuktur yang mantap dapat mempertahankan ruang pori sedemikian rupa sehingga mempermudah air untuk merembes ke dalam tanah (Hillel, 1980). Jenis tanah yang berbeda akan mempunyai tingkat perbedaan destructive force (kekuatan memisahkan) yang berbeda, sehingga mempunyai indeks stabilitas yang berbeda pula. Secara spesifik, stabilitas agregat menyatakan kekuatan ikatan agregat hingga terlepasnya agregat. Pada reaksi tanah terdapat aksi kekuatan yang tidak hanya tergantung dari tanah tersebut tetapi juga dari kekuatan alam (pengaruh alam) dan kekuatan yang telah tersedia (Hillel, 1980).

Pada pembentukan agregat ada dua kekuatan primer yang mengikat partikel bersama-sama menjadi agregat yaitu: tegangan permukaan pada interfase air dan udara dalam fase cairan yang dominan pada tanah lembab dan penyusutan air pada kapiler yang mengelilingi partikel, yang dominan terjadi pada tanah kering (Soepardi, 1983).

Berbagai faktor yang mempengaruhi flokulasi, pemadatan dan sementasi pada akhirnya akan mempengaruhi stabilitas agregat yang terbentuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan agregat tersebut adalah kation-kation pada kompleks jerapan, bahan organik, tekstur dan struktur, kelembaban, faktor biotik, dan pengolahan tanah (Sitorus et. al., 1980).

Agregat tanah yang sering terendam air adalah lebih stabil daripada agregat yang terbentuk secara normal (pada keadaan drainase selalu baik). Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut: pada saat jenuh air, terjadi proses reduksi, sehingga sejumlah ion bivalen larut. Ketika tanah menjadi kering (permukaan air tanah turun) melalui oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dan mengendap berupa Fe(OH)3, dimana Fe3+ tersebut merupakan semen dalam pembentukan agregat (Soepardi, 1983).

(8)

Butir-butir liat yang bermuatan negatif diikat melalui pertautan kation. Agregat makro terbentuk oleh peristiwa stabilitas kimia atau sementasi, efek pengeringan yang mempertinggi gaya kapiler, pengikatan butir-butir kasar atau agregat mikro oleh bahan koloid (Arsyad et. al., 1975).

2.1.2 Sifat Kimia Tanah

Pada profil tanah yang normal, lapisan tanah atas merupakan sumber unsur-unsur hara makro dan mikro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu, juga berfungsi sebagai sumber bahan organik untuk menyokong kehidupan mikroba. Hilangnya lapisan tanah atas (top soil) yang proses pembentukannya memerlukan waktu ratusan tahun dianggap sebagai penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada lahan-lahan bekas pertambangan (Setiadi, 1996).

Kegiatan penambangan bahan-bahan yang mengandung mineral sulfida seperti batubara dapat memicu pembentukan asam. Penggalian menyebabkan terangkatnya bahan-bahan sulfidik tersebut ke permukaan sehingga oksidasi terhadap mineral sulfida seperti pirit akan melepaskan asam-asam sulfat yang berdampak pada penurunan pH tanah secara drastis. Menurunnya pH akan meningkatkan kelarutan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan (Rochani dan Retno, 1997).

Bradshaw and Chadwick (1980) mengemukakan bahwa akibat penambangan keseimbangan hara tanaman menjadi terganggu, sementara kelarutan unsur-unsur yang meracuni meningkat dan ketersediaan hara N pada tanah galian tambang pada umumnya sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang tinggi. Namun demikian, N tetap tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi.

Power et al. (1977) mengemukakan bahwa ketersediaan N berubah-ubah pada daerah pertambangan yang baru saja di buka, tetapi rendah pada pertambangan yang sudah tua. Beda halnya dengan unsur K, di daerah pertambangan jarang terjadi kekurangan K, karena disebabkan oleh dominannya mineral liat montmorilonit dan ilit, serta sedimentasi bahan induk yang mengandung mineral K-primer.

Kandungan kalium dalam tanah-tanah daerah tropis umumnya sangat rendah. Hal ini disebabkan antara lain sumber kalium tanah rendah, curah hujan tinggi, dan suhu yang terus menerus tinggi. Curah hujan dan temperatur yang terus menerus tinggi akan

(9)

mempercepat proses pembebasan dan pencucian kalium di dalam tanah (Tisdale et al., 1985).

Fosfat merupakan unsur hara makro yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan nitrogen. Tanaman menyerap P dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-) dan ion ortofosfat sekunder (H2PO42-). Kadar kedua ion ini dalam tanah sangat kecil, rata-rata 0.05 ppm. Menurut Tisdale et al. (1985) rendahnya ketersediaan P di dalam tanah disebabkan oleh penjerapan P oleh komponen-komponen tanah membentuk senyawa P tidak larut, sehingga P tidak tersedia bagi tanaman.

Fosfat di dalam tanah terdiri dari dua bentuk yaitu bentuk organik dan anorganik. Fraksi organik ditemukan dalam humus dan bahan-bahan organik lainnya. Fraksi anorganik banyak dijumpai berkombinasi dengan besi, alumunium, flour, kalsium, dan unsur-unsur lainnya. Senyawa ini sangat rendah kelarutannya dalam air. Fosfat juga bereaksi dengan liat menjadi bentuk yang tidak terlarut, yaitu kompleks liat dan fosfat (Tisdale et al., 1985).

Faktor yang mempengaruhi ketersediaan kalsium yang dapat diserap oleh tanaman adalah total ketersediaan kalsium dalam tanah, pH tanah, Kapasitas Tukar Kation (KTK), tipe koloid tanah dan perbandingan jumlah kalsium dengan kation terlarut. Defisiensi kalsium terjadi pada tanah-tanah mineral masam, tanah berpasir, tanah gambut, tanah salin, dan tanah-tanah dengan batuan serpentin. Kalsium membatasi jumlah serapan magnesium oleh akar tanaman. Sejauh ini diketahui perubahan kalsium di dalam tanah dapat memicu daya fiksasi dan menghambat ketersediaan unsur kalium (Tisdale et al., 1985). Ketersediaan magnesium dipengaruhi oleh pH, kejenuhan Mg, perbandingan dengan kation lain terutama Ca dan K serta tipe liat (Jones, 1979).

Perilaku natrium sebagai agen pendispersi liat dan bahan organik akan menghancurkan agregat tanah dan menurunkan permeabilitas tanah dan udara. Tanah-tanah yang dipengaruhi natrium yang tinggi kurang melewatkan air dan udara akibat hilangnya pori makro, penetrasi akar terhambat, bongkah-bongkah menjadi keras, persiapan bedeng persemaian menjadi sulit dan daun-daun tanaman bit menjadi hijau tua dan tipis, gejala nekrotik diantara tulang daun dan tanaman menjadi cepat layu. Natrium ditemukan di dalam tanah dalam tiga bentuk, yaitu bentuk terfiksasi oleh Si yang tidak larut, bentuk yang dapat dipertukarkan pada struktur mineral lain, dan bentuk yang larut

(10)

di dalam tanah. Pada kebanyakan tanah, sebagian besar natrium berada dalam bentuk silikat. Di daerah semi arid dan arid, natrium berada dalam bentuk silikat sama banyaknya dengan NaCl, NaSO4, dan kadang-kadang sebagai Na2CO3 dan garam terlarut lainnya (Tisdale et al., 1985).

Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang dijerap. Jumlah yang dijerap sering tidak setara dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalen biasanya diikat lebih kuat daripada ion-ion monovalen, sehingga akan lebih sulit dipertukarkan. Besar kecilnya Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik, pengapuran serta pemupukan (Tan, 1991).

2.1.3 Sifat Biologi Tanah A. Mikrofauna Tanah

Hilangnya lapisan top soil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kehidupan mikrofauna (mikrob potensial) merupakan penyebab utama buruknya kondisi populasi mikroba tanah. Hal ini secara langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di permukaan tanah. Keberadaan mikrob tanah potensial dapat memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman. Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara, tetapi juga aktif dalam dekomposisi serasah dan bahkan dapat memperbaiki struktur tanah (Setiadi, 1996).

Menurut Ma’shum et al. (2003) faktor lingkungan seperti pH tanah, pupuk anorganik, kandungan bahan organik dan kelembaban tanah merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fungi. Fungi kebanyakan terdapat pada tanah masam dan beberapa mampu beradaptasi pada tanah netral atau tanah alkalis. Penambahan bahan organik mempengaruhi jumlah populasi fungi. Hal ini dikarenakan fungi bersifat heterotrof. Aktifitas fungi memerlukan kelembaban nisbi lebih kering dibandingkan dengan bakteri. Peran utama fungi berkaitan dengan kesuburan tanah adalah merombak dan membantu membentuk agregat tanah.

Kondisi tanah yang tidak tergenang dapat mempengaruhi peningkatan populasi total mikrob dan total fungi, dimana mikroba tanah dan fungi tersebut sangat bermanfaat

(11)

bagi tanah dan tanaman. Berbagai jenis mikrob ini bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman seperti mikrob penambat nitrogen, pelarut fosfat dan penghasil hormon pertumbuhan. Berbagai atribut mikroba juga bermanfaat sebagai indikator kualitas tanah dan kesehatan tanah. Di dalam tanah, keadaan mikroba sangat beragam baik jumlah, jenis, kepadatan populasi, maupun aktifitas fungsionalnya. Keragaman ini berkaitan dengan perbedaan kandungan dan jenis bahan organik, kadar air, jenis penggunaan tanah, tingkat pengelolaan tanah dan kandungan senyawa pencemar (Anas, 1990).

Pengukuran respirasi mikroorganisme tanah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Tingkat respirasi yang diukur dari besarnya CO2 yang dikeluarkan merupakan indikator yang baik bagi aktifitas mikroorganisme tanah. Menurut Ma’shum et al. (2003) peranan mikrob dalam kesuburan tanah ditunjukkan oleh aktifitasnya dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Berkaitan dengan pembentukan struktur remah, mikrob berperan sebagai pembangun agregat tanah yang mantap. Dalam kaitannya dengan peningkatan ketersediaan hara, mikrob berfungsi untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dan sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi bentuk tersedia.

Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikrob dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994). Fauna tanah adalah fauna yang memanfaatkan tanah sebagai habitat atau lingkungan yang mendukung aktifitas biologinya. Fauna tanah merupakan salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah dengan menghancurkan fisik, pemecahan bahan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas, dan membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah (Barnes et al., 1997). Mereka juga merupakan bagian penting dalam suatu ekosistem atau habitat tanah.

B. Mesofauna dan Makrofauna Tanah

Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Fauna tanah dapat dikelompokkan menjadi makro fauna, yaitu hewan tanah yang dapat dilihat secara langsung dengan

(12)

mata tanpa bantuan mikroskop (> 11 mm), misalnya tikus, cacing tanah, Arthropoda, Chilopoda (kelabang), Diplopoda (kaki seribu), Arachnida (lebah, kutu, dan kalajengking), Insekta (belalang, jangkrik, semut, dan rayap), dan Moluska; serta mesofauna yang berukuran 0.16 – 10.4 mm, misalnya Collembola (Rahmawaty, 2000); dan mikrofauna yang berukuran < 0.16 mm, misalnya Protozoa dan Nematoda mikroskopis (Wallwork, 1970).

Arthropoda tanah banyak terdapat pada lapisan top soil, yaitu tanah yang banyak mengandung humus dan bahan organik. Pada umumnya lapisan ini ketebalannya berkisar 0 – 25 cm yang terdapat sumber pakan dan oksigen yang cukup untuk kehidupan arthropoda tanah/fauna tanah (Suhardjono & Adisoemarto, 1997). Menurut Wallwork (1970) bahwa di daerah tropika Formicidae dan Collembola serta Acarina menduduki 80 % dari populasi Arthropoda tanah. Rahmawaty (2000) mengatakan bahwa keragaman jenis Arthropoda tanah tertinggi terdapat pada hutan yang memiliki vegetasi rapat dengan lantai hutan yang berserasah tebal dan bergantung pada kerapatan vegetasi permukaan tanah.

Perbedaan keterdapatan taksa, kepadatan populasi atau jumlah individu fauna tanah salah satunya dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi vegetasinya (Mercianto

et al., 1997). Collembola bersama dengan Acarina merupakan komponen utama

penyusun mesofauna tanah di hampir semua ekosistem terrestrial, dan Collembola berperan penting pada proses dekomposisi serasah dan membentuk struktur mikro pada tanah.

Klasifikasi fauna tanah dapat didasarkan pada beberapa hal, yaitu derajat kehadiran di dalam tanah (Coleman et al., 2004), panjang tubuh (Van der Drift, 1951

dalam Widyastuti, 2004), pola makan (Wallwork, 1970) dan berdasarkan habitat

hidupnya dalam tanah (Suin, 2006). Coyne dan Thompson (2006) berpendapat bahwa cara termudah dan sederhana untuk mengklasifikasikan fauna tanah adalah berdasarkan panjang tubuh.

C. Klasifikasi Fauna Tanah

Fauna tanah dikelompokkan berdasarkan derajat kehadiran dalam tanah, yaitu

transient, temporary residents, periodic residents dan permanent residents. Transient

(13)

ketika fase hibernasi selesai kelompok ini umumnya hidup pada lapisan tanaman hidup. Contoh dari kelompok ini adalah “Ladybird beetle”. Temporary residents adalah fauna tanah yang berada di dalam tanah mulai dari fase telur hingga berbentuk larva, dimana larva ini mendapatkan makanan dengan cara mendekomposisikan sisa-sisa serasah dalam tanah. Tipula spp. (Diptera) merupakan salah satu anggota kelompok ini (Coleman et al., 2004).

Sistem klasifikasi fauna tanah menurut panjang tubuh terbagi menjadi mikrofauna (< 0.2 mm), mesofauna (0.2 - 2.0 mm), makrofauna (2.0 - 20.0 mm) dan megafauna (> 20 mm) (Van der Drift, 1951 dalam Widyastuti, 2004). Menurut Wallwork (1970) fauna tanah dapat dibedakan menjadi mikrofauna (< 0.1 mm) dan mesofauna (0.1 - 10.0 mm). Sistem klasifikasi menurut panjang tubuh merupakan sistem yang paling umum digunakan dalam proses identifikasi fauna tanah (Coleman et al., 2004) karena lebih sederhana dan mudah digunakan (Coyne dan Thompson, 2006).

Cacing tanah merupakan makrofauna yang paling dikenal dan dapat dikatakan merupakan yang terpenting dari fauna tanah, terutama peranannya sebagai “ecosystem

engineer” (Coleman et al., 2004). Sedangkan Protozoa merupakan salah satu contoh

mikrofauna. Tanah sangat kaya akan Protozoa yang berperan sebagai predator mikrob tanah. Protozoa cenderung ditemukan pada pori-pori tanah (Killham, 1994).

Makrofauna tanah mencakup Macroarthropoda, Oligochaeta (cacing tanah). Makrofauna tanah lebih resisten terhadap kondisi fisik dan kimia tanah dibandingkan fauna tanah lain yang lebih kecil. Fauna tanah yang dominan pada kelompok mesofauna adalah Rotifera, Tartigrada, dan Mikroarthropoda terutama Acari dan Collembola. Sebagian besar dari anggota mesofauna termasuk ke golongan permanent residents (Coyne dan Thompson, 2006).

Sistem klasifikasi fauna tanah berdasarkan habitatnya terbagi menjadi epigeon,

hemiedafon, dan eudafon. Epigeon merupakan fauna tanah yang hidup pada lapisan

tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon hidup pada lapisan bahan organik tanah sedangkan eudafon hidup pada lapisan tanah mineral (Suin, 2006). Berdasarkan pola makannya, fauna terbagi menjadi lima kelompok yaitu carnivore, phytophagus,

saprophagus, microphytic-feeders, dan miscellanous-feeders. Carnivore merupakan

(14)

Coleoptera dan Nematoda. Phytophagus adalah fauna tanah pemakan tumbuhan dan akar tanaman. Saprophagus merupakan fauna tanah yang hanya memakan bahan organik yang berasal dari tanaman yang telah mati. Microphytic-feeders adalah fauna tanah pemakan jamur dan spora serta mikrob tanah lainnya. Miscellanous-feeders adalah fauna tanah pemakan tumbuhan dan hewan segar maupun busuk (Wallwork, 1970).

D. Faktor yang Mempengaruhi Fauna Tanah

Kehidupan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor lingkungan biotik adalah adanya organisme lain yang berada di habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan fauna lainnya (Suin, 2006). Faktor lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap keberadaan fauna tanah, terutama adalah pH tanah, suhu tanah, aerasi, dan kadar air tersedia.

Tanah asam ataupun tanah alkalin umumnya kurang disukai fauna tanah, terutama disebabkan karena tanaman yang dapat hidup pada tanah-tanah tersebut hanya sedikit. Hal ini menyebabkan fauna tanah akan kekurangan sumber makanan. Kebanyakan fauna tanah termasuk ke dalam kelompok fauna mesophiles, yaitu organisme tanah yang hidup pada suhu tanah 10 oC sampai dengan 40 oC.

Mikroarthropoda pada suhu yang tinggi akan bergerak lebih dalam pada lapisan tanah untuk menghindari sumber panas. Fauna tanah umumnya lebih menyukai tanah yang lebih lembab. Bila kandungan air tanah terlalu tinggi dan tanah menjadi jenuh air, fauna tanah seperti Collembola akan terdesak keluar dari pori tanah yang telah jenuh air. Bila tanah menjadi terlalu kering, maka fauna tanah terutama yang hidup pada pori tanah akan terisolasi. Aerasi yang cukup juga dibutuhkan terutama untuk proses dekomposisi bahan organik (Coyne dan Thompson, 2006).

Menurut Sugiyarto et al. (2007) keanekaragaman fauna tanah dipengaruhi oleh variasi makanan yang tersedia di lingkungan. Lingkungan dengan vegetasi penutup lahan yang lambat melapuk umumnya memiliki kepadatan populasi makrofauna yang besar, terutama cacing tanah, karena adanya ketersediaan makanan dalam waktu yang lama. Lavelle (1996) menyatakan keanekaragaman dan kepadatan populasi fauna tanah dipengaruhi oleh organisme tanah lainnya. Hal ini disebabkan semua organisme di

(15)

dalam tanah saling berinteraksi, baik interaksi mutualisme ataupun saling memangsa sehingga membentuk food webs.

2.2 Perkembangan Tanah Pasca Kegiatan Penambangan

Kegiatan pembangunan seperti penambangan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada penurunan mutu lingkungan yang dapat mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia. Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya tidak adanya horisonisasi tanah, terjadi pemadatan, kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kegiatan upaya pelestarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak (Rahmawaty, 2000).

Pengaruh kegiatan pertambangan mempunyai dampak yang sangat signifikan berupa perubahan bentang alam, erosi dan sedimentasi, terbentuknya air asam tambang, penurunan kualitas udara, pencemaran air permukaan dan air tanah, terjadi perubahan fungsi lahan serta perubahan pada aspek sosial budaya masyarakat sekitar wilayah penambangan. Sudirman et al. (1986) menyatakan bahwa hilangnya lapisan atas tanah dapat menyebabkan rendahnya kadar bahan organik, meningkatnya pemadatan tanah, menurunnya stabilitas agregat tanah, meningkatnya kejenuhan alumunium serta menurunnya KTK tanah.

Referensi

Dokumen terkait

Suatu sistem penilaian kinerja menggunakan konsep balanced scorecard semakin penting dalam menghadapi persaingan antar lembaga keuangan yang semakin kompetitif mengingat konsep

• Ada banyak pendekatan untuk adopsi dari peraturan tata kelola perusahaan yang baru, tetapi mereka semua tidak bekerja dengan cara yang sama untuk organisasi. Sebagai contoh,

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya lah, sehingga skripsi yang berjudul “Kajian Bivalvia di

Demikian pula dari prasasti dapat diketahui berbagai jabatan yang berhubungan dengan penggarap atau penggarapan industri, sebagai contoh adalah prasasti Pikatan 1106

Seluruh dokumen di IlmuKomputer.Com dapat digunakan, dimodifikasi dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau

menuliskan kesan terhadap pengalaman terseut puas atau tidak puas, senang atau tidak senang, gelisah atau

9 Saya sudah memiliki rencana yang jelas untuk bisnis saya selama 5 tahun mendatang.. 10 Saya membuat rencana kerja

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang pengembangan model pembelajaran Predict, Observe, Discuss, dan Explain (PODE) untuk mata pelajaran IPA di SDN