• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II.1. Teripang (Holothuria scabra) II.1.1. Biologi Teripang

Teripang adalah hewan laut yang penyebaran hidupnya sangat luas dan paling banyak ditemukan di wilayah Indo-Pasifik Barat. Teripang umumnya menempati ekosistem terumbu karang dengan perairan yang jernih, bebas dari polusi, air relatif tenang dengan mutu air cukup baik. Habitat yang ideal bagi teripang adalah air laut dengan salinitas 29-33 % yang memiliki kisaran pH 6,5-8,5, kecerahan air 50-150 cm, kandungan oksigen terlarut 4-8 ppm dan suhu air laut 20-25 C (Wibowo et al. 1997).

Klasifikasi teripang Holothuria scabra menurut Wibowo et al. (1997) adalah sebagai berikut:

Filum : Echinodermata Sub Filum : Echinozoa Kelas : Holothuroidea Sub Kelas : Aspichitotecea Ordo : Aspidoochirota Famili : Aspidochirotae Genus : Holothuria

Spesies : Holothuria a.H. Scabra J.

Teripang atau yang juga disebut ketimun laut, merupakan hewan tidak bertulang belakang yang termasuk dalam famili Holothuridae dan Stichopdidae. Panjang tubuh teripang sekitar 5-40 cm dan pada saat hidup bobotnya dapat mencapai 500 g (Wibowo et al. 1997). Menurut James et al. (1994) teripang pasir mempunyai panjang maksimal 40 cm dan bobot saat kondisi hidup adalah 500 g, serta matang gonad saat usia 18 bulan. Ukuran saat matang gonad pertama diperkirakan 20 cm dan usia teripang bisa mencapai 10 tahun. Teripang pasir berbentuk bulat, panjang seperti ketimun, dengan punggung abu-abu atau kehitaman berbintik putih atau kuning, di seluruh permukaan tubuh diselimuti lapisan kapur. Tubuh teripang kesat, berotot tebal dengan kulit berbintik-bintik.

(2)

Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik teripang pasir (Holothuria scabra) (Wibowo et al. 1997).

Rata-rata usia teripang dewasa adalah 5,5-8 bulan. Teripang yang telah dewasa atau matang gonad sangat penting untuk bahan baku ekstraksi testosteron alami karena sudah mulai memproduksi hormon-hormon reproduksi untuk melangsungkan kegiatan reproduksi. Adanya hormon reproduksi pada teripang telah dewasa (matang gonad) memungkinkan perolehan hormon tersebut dari ekstraksi terhadap bahan bakunya. Karakteristik teripang pasir dalam penelitian yang digunakan Riani et al. (2008) dalam mengekstrak testosteron, yakni teripang berwarna abu-abu sampai kehitaman dengan garis melintang berwarna hitam. Bobot rata-rata teripang yang digunakan pada penelitian Riani et al. (2008) adalah 300-500 g/ekor, dengan ukuran panjang tubuh lebih dari 20 cm. Karakteristik teripang yang digunakan Nurjanah (2008) dalam mengekstrak testosteron memiliki bobot 200-500 g dan panjang lebih dari 9 cm. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa teripang segar mengandung testosteron lebih banyak dari pada teripang yang sudah dikeringkan (Riani et al. 2008), sedangkan bagian tubuh teripang yang paling banyak mengandung testosteron adalah daging teripang dibandingkan testis dan jeroan. Bobot daging adalah sebesar 44,63 ±12,54% dari bobot teripang segar, bobot testis sebesar 5,00 ±0,17 % dari bobot teripang segar dan jeroan sebesar 28,13 ± 1,89 % dari bobot teripang segar.

II.1.2. Manfaat Teripang

Pemanfaatan dan penelitian tentang teripang telah dimulai sejak lama. Etnis Cina mengenal teripang sebagai makanan berkhasiat medis sejak dinasti Ming. Sedangkan di Indonesia, teripang telah dimanfaatkan cukup lama terutama oleh masyarakat sekitar pantai sebagai bahan makanan (teripang kering, teripang kaleng, kerupuk teripang dan lain-lain) (Nuraini & Wahyuni 1989). Tubuh dan kulit teripang Stichopus japonicus banyak mengandung asam mukopolisakarida yang bermanfaat untuk penyembuhan penyakit ginjal, anemia, diabetes, paru-paru basah, anti tumor, anti inflamasi, pencegahan penuaan jaringan tubuh dan mencegah arteriosklerosis, sedangkan ekstrak murninya menghasilkan holotoksin (anti bakteri) yang efeknya sama dengan antibiotik (Wibowo et al. 1997).

(3)

Menurut Wibowo et al. (1997), teripang mengandung bahan bioaktif (antioksidan) yang berfungsi mengurangi kerusakan sel jaringan tubuh. Selain itu teripang juga mengandung antibakteri (Haug et al. 2002), dan anti fungi (Murray et al. 2001). Teripang Stichopus japonicus mengandung enzim arginin kinase (Guo et al. 2003), teripang Holothuria glaberrina mengandung serum amyloid A (Cardona et al. 2003), teripang Stichopus mollis mengandung glikosida (Moraes et al. 2004), dan teripang Stichopus japonicus mengandung fucan sulfat sebagai penghambat osteoclastogenesis (Kariya et al. 2004).

Hasil penelitian Idid et al. (2001) dan Jha & Zi-roung (2004) menyatakan bahwa teripang mengandung senyawa steroid saponin, diantaranya aktif sebagai antibakteri dan anti-inflamasi serta cytotoxic. Disamping mengandung antibakteri, teripang juga dilaporkan mengandung berbagai asam lemak tak jenuh seperti linoleat, oleat, eikosa pentaenoat (EPA), dan docosaheksaenoat (DHA) (Fredalina et al. 1999).

II.1.3. Penggunaan Teripang pada Hewan Percobaan

Kustiariyah (2006), berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang dan mengaplikasikan pada ayam jantan yang berusia tujuh hari, hal ini memperlihatkan munculnya ciri-ciri seksual sekunder yang sangat dini, ditunjukkan berupa munculnya jengger, taji serta munculnya sifat-sifat kejantanan seperti suara berkokok dan keinginan untuk berlaga. Pemanfaatan teripang sebagai aprodisiaka pada manusia telah dilakukan (Kustiariyah 2006 dan Dewi 2008) dan diuji coba pada mencit (Nurjanah 2008). Ekstrak steroid teripang yang mengandung testosteron (Kustiariyah 2006) juga dapat diaplikasikan terhadap komoditi lain seperti pada udang galah dan ikan gapi jantan (Riani et al. 2008).

II.1.4. Kandungan Nutrisi Teripang

Zat gizi yang terkandung dalam teripang antara lain protein 6,16 %, lemak 0,54%, karbohidrat 6,41 % dan kalsium 0,01% (kondisi segar, kadar air 86,73%). Teripang kering mempunyai kadar protein tinggi yaitu 82% dengan kandungan asam amino yang lengkap dan asam lemak jenuh yang penting untuk kesehatan jantung. Selain itu teripang juga mengandung phospor, besi dan yodium, natrium,

(4)

kalium, vitamin A dan B, thiamin, riboflavin dan niacin (Wibowo et al. 1997). Menurut Ibrahim (2001) cairan dan tubuh teripang mengandung protein lebih dari 44%, karbohidrat antara 3-5% dan lemak 1,5%, sedangkan Martoyo et al. (2000) menjelaskan bahwa kandungan gizi teripang kering adalah protein 82%, lemak 1,7%, air 8,9%, abu 8,6% dan karbohidrat 4,8%.

II.2. Tikus Putih (Rattus norvegicus) II.2.1. Biologi Tikus Putih

Tikus putih sudah lama digunakan sebagai hewan laboratorium. Biasanya hewan ini digunakan dalam melakukan penelitian-penelitian (percobaan). Tikus putih ini berasal dari China dan diperkirakan menyebar ke bagian Eropa pada abad 16-18 (Amori & Clout 2002). Secara fisik, ukuran badan jantan biasanya lebih besar daripada betina (Avalos & Callahan 2001). Tikus merupakan salah satu hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah, karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley (Weihe 1989). Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley memiliki ciri-ciri kepala yang pendek dan ekor yang lebih panjang daripada badannya dibandingkan dari galur lainnya (Harkness & Wagner 1989).

Tikus yang banyak digunakan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Hewan percobaan ini memiliki beberapa keunggulan yaitu penanganan dan pemeliharaannya mudah, biaya yang dibutuhkan tidak mahal, umur relatif pendek, sifat reproduksi menyerupai mamalia besar, lama kebuntingan singkat, angka kelahiran tinggi, siklus estrus pendek dan karakteristik setiap fase siklus jelas (Malole & Pramono 1989). Secara garis besar, data fisiologis tikus putih dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

(5)

Tabel 1 Data Fisiologis Tikus

Sumber: Malole & Pramono 1989

Fungsi dan bentuk organ, serta proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus, tingkat pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia, dan kurang pekanya tikus pada senyawa neurotoksik dan teratogen. Tikus dapat membuat vitamin C sendiri sedangkan manusia hanya memperoleh vitamin C dari makanan. Berbeda dengan manusia, tikus tidak mempunyai kantung empedu. Sifat-sifat dari tikus yang sudah diketahui dengan sempurna inilah yang menjadikan tikus sering digunakan dalam penelitian (Malole & Pramono 1989).

Kriteria Nilai Berat badan dewasa jantan 450 - 520 g Berat badan dewasa betina 250 - 300 g Berat lahir 5 - 6 g

Suhu tubuh 35,9 - 37, 5 0C Harapan hidup 2,5 - 3,5 tahun Konsumsi makanan 10 g/100 g/hari Konsumsi air minum 10 - 12 ml/100 g/hari Detak Jantung 250 - 450/menit Volume darah 54 - 70 ml/kg Tekanan darah 84 - 134/60 mmHg Protein Serum 5,6 - 7,6 g/dl Albumin 3,8 - 4,8 g/dl Globulin 1,8 - 3,0 g/dl Glukosa serum 50 - 135 mg/dl Nitrogen urea darah 15 - 21 mg/dl Kreatinin 0,2 - 0,8 mg/dl Total bilirubin 0,20 - 0,55 mg/dl Lemak serum 70 - 415 mg/dl Fosfolipid 36 - 130 mg/dl Trigliserida 26 - 145 mg/dl Kolesterol 40 - 130 mg/dl

(6)

Taksonomi tikus putih menurut Hedrich (2006), sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Myomorpha Famili : Muroidae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus Norvegicus Gambar 1 Rattus norvegicus (Jondriatno 2012). Menurut McNamara (2006), tikus mengalami dewasa kelamin pada umur 60-90 hari. Lama kebuntingannya sekitar 20-22 hari, sedangkan masa laktasinya adalah 21 hari. Masa hidup dari tikus putih ini adalah lebih kurang 4 tahun. Dalam aktivitas reproduksinya, tikus mempunyai sifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus berahi lebih dari dua kali dalam setahun. Siklus berahi dipengaruhi dan diatur oleh hormon-hormon reproduksi dan berlangsung selama 4-6 hari. Siklus berahi pertama timbul setelah 1-2 hari dari mulainya pembukaan vagina yang terjadi pada umur 28-29 hari (Malole & Pramono 1989). Untuk menentukan tahapan deteksi siklus berahi dapat dilakukan dengan teknik papsmear (ulas vagina), dengan melihat gambaran epitel vaginanya menggunakan mikroskop sehingga dapat dibedakan menjadi proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Partodiharjo 1992).

Fase estrus dipengaruhi mekanisme hormonal yaitu hubungan antara hormon-hormon hipotalamus-hipofisis (GnRH, LH, FSH), hormon-hormon ovarial (estradiol dan progesteron) dan hormon uterus (prostaglandin). Siklus estrus hewan dapat dibagi menjadi fase folikuler dan fase luteal dengan masing-masing memiliki periode perkembangan yang berkaitan dengan periode fungsional ovarium (Macmillan & Burke 1996). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya

(7)

folikel de Graaf saat ovulasi. Sedangkan fase luteal yang terjadi setelah ovulasi merupakan periode sekresi progesteron oleh korpus luteum meliputi lebih dari dua pertiga siklus estrus. Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi menjadi empat stadium yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi; fase luteal terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan diakhiri dengan luteolisis (Macmillan & Burke 1996).

Proestrus merupakan fase menjelang estrus dimana gejala berahi mulai muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fase ini folikel de Graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan estrogen dalam jumlah banyak. Pada fase ini, estradiol menyebabkan betina mulai mau didekati jantan. Saluran reproduksi termasuk mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Menurut Baker et al. (1980), fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau bertumpuk (berlapis-lapis) jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Pada tikus fase ini berlangsung selama kira-kira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Fase proestrus akan dilanjutkan ke fase estrus yang ditandai dengan keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Pada fase ini estradiol yang berasal dari folikel de Graaf yang matang akan menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi betina (Toelihere 1985). Baker et al. (1980) menyatakan bahwa fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-sel tanduk yang banyak pada lumen vagina yang biasanya nampak pada preparat ulas vagina dan berlangsung selama 12 jam. Menurut Baker et al. (1980) pembelahan dan proses penandukan (kornifikasi) epitel vagina tergantung dari meningkatnya kadar estrogen dalam tubuh sehubungan dengan akhir periode pertumbuhan folikel. Proses estrus sangat erat kaitannya dengan mekanisme sistem hormonal.

(8)

Pada fase estrus, estrogen meningkatkan sensitivitas sel-sel penghasil gonadotropin pada hipofisa sehingga menghasilkan LH yang dapat menyebabkan ovulasi ketika kadar LH mencapai puncak (Hafez et al. 2000). Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumya bahwa pada saat estrus konsentrasi estrogen meningkat sesuai dengan pertumbuhan folikel de Graaf, dan selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisis anterior terjadilah ovulasi dan pembentukan corpus luteum (CL). Ovulasi terjadi pada akhir estrus dalam waktu yang sangat singkat. Setelah ovulasi terjadi, pada ovarium akan mengalami fase luteal, fase luteal adalah fase pembentukan CL yang dapat menghasilkan progesteron, sedangkan pada vagina terjadi fase metestrus dan diestrus. Pada waktu CL telah mencapai ukuran maksimal dan fungsional akan terjadi peningkatan konsentrasi progesteron (Turner & Bagnara 1988).

Korpus luteum pada tikus tidak hanya memproduksi progesteron tapi juga memproduksi hormon estrogen, androgen dan hampir semua hormon steroid yang aktif (Khan et al. 1985). Menurut Silva et al. (2004), secara in vitro FSH dapat mempengaruhi pertumbuhan folikel primordial pada kambing. Yu et al. (2003) melaporkan bahwa FSH dan LH dapat mencegah terjadinya folikel atresia.

Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung selama 21 jam (Baker et al. 1980). Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa fase metestrus dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium 1 yang berlangsung kira-kira 15 jam dan stadium 2 kira-kira berlangsung selama 6 jam. Pada fase ini umumnya tidak terjadi perkawinan. Pada fase metestrus dan diestrus, uterus mengalami fase sekretoris. Pada fase ini, ovarium mengandung corpora lutea dan folikel-folikel kecil. Fase ini ditandai dengan bertumbuhnya CL dan sel-sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh LH dari adenohiphofisa. Menurut Baker et al. (1980) fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Selama metestrus, uterus menjadi agak lunak karena terjadi pengendoran otot serta melakukan persiapan untuk menerima dan memberi makan embrio.

(9)

Pelepasan epitel dan penyusunan leukosit terjadi bila kadar estrogen menurun dan bila pengaruh estrogen menghilang epitel vagina kembali dalam keadaan inaktif. Kondisi demikian disebabkan oleh banyaknya pembelahan mitosis yang terjadi di dalam mukosa vagina dan sel-sel baru yang menumpuk, sementara lapisan permukaan memiliki bentuk skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Partodihardjo 1992). Fase diestrus adalah fase setelah metestrus. Fase ini merupakan fase terpanjang diantara fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60-70 jam. Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulasan vagina pada fase ini menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner & Bagnara 1988).

II.2.2. Konsumsi Pakan Tikus

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) kebutuhan pakan bagi seekor tikus putih setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, jika pakan tersebut merupakan bahan kering. Hal ini dapat meningkat sampai 15% dari bobot tubuhnya, jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Tikus putih dewasa makan setiap hari antara 12-20 g/kg BB. Bahan dasar makanan tikus dapat bervariasi, dengan komposisi protein 20-25% (akan tetapi hanya 12% jika protein lengkapnya berisi asam amino esensial dengan konsentrasi yang benar), lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar kira-kira 5% dan abu 4-5% (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Makanan tikus juga harus mengandung vitamin A (4000 IU/kg), vitamin D (1000 IU/kg), alfa-tokoferol (30 mg/kg), asam linoleat (3 g/kg), tiamin (4 mg/kg), riboflavin (3 mg/kg), pantotenat (8 mg/kg), vitamin B12 (50

µg/kg), biotin (10 µg/kg), piridoksin (40-300 µg/kg) dan kolin (1000 mg/kg). Kebutuhan nutrisi lengkap tikus putih tercantum pada Tabel 2.

(10)

Tabel 2 Kebutuhan Zat Makanan Tikus Putih

Nutrisi Satuan Konsentarsi dalam Ransum

Hidup Pokok Pertumbuhan

Protein (ideal) g 50 150

Lemak g 50 50

Energi dapat dicerna kkal/g 3,8 4,1

Asam Amino Arginin g - 0,67 Histidin g 0,8 2,8 Isoleusin g 3,1 6,2 Leusin g 1,8 10,7 Lisin g 1,1 9,8 Methionin g 0,25 0,67 Threonine g 1,8 6,2 Tryptophan g 0,5 2,0 Valine g 2,3 7,4 Nonesensial g - 66 Mineral Kalsium g - 5 Fosfor g - 3 Vitamin A mg - 0,7 D mg - 0,025 E mg - 18 K mg - 1

Sumber: NRC (1995). NRC berdasarkan as fed dengan kandungan kadar air 10% dan 3,8 – 4,1 kkal ME/gram

Menurut NRC (1995), tikus putih membutuhkan nutrien untuk hidup pokok sebesar 50 gram protein, 150 gram lemak dan 3,8 kkal ME/g energi, sedangkan untuk pertumbuhan sebesar 150 gram protein kasar, 50 gram lemak dan 4,1 kkal ME/g energi. Menurut McNamara (2006), tikus dalam masa pertumbuhannya membutuhkan 12-13% protein dan 4-6% untuk hidup pokok. Kandungan lemak, energi, kalsium dan fosfor yang dibutuhkan tikus dalam masa pertumbuhannya secara berturut-turut adalah 5%; 3,8 kkal ME/g; 0,5% dan 0,4%.

II.3. Hormon

II.3.1. Hormon Steroid

Hormon adalah bahan kimia organik, merupakan senyawa aktif biologis yang dihasilkan oleh kelenjar, jaringan atau organ tertentu dari hewan dan manusia, bekerja pada konsentrasi kecil dan mempunyai cara kerja yang spesifik. Sedangkan steroid merupakan hormon turunan kolesterol yang mengandung 27 atom C dan dihasilkan oleh testis, ovarium, korteks adrenalis dan plasenta. Steroid mempunyai bobot molekul sekitar 300 gram/mol (Bischof & Islami 2003).

(11)

Gambar 2 Struktur kolesterol (Johnson & Everitt 1984)

Klasifikasi hormon steroid berdasarkan respon fisiologis adalah sebagai berikut (Nogrady 1992) :

1. Glukokortikoid, seperti kortikal (C21) yang mengatur metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, serta mempengaruhi fungsi-fungsi penting seperti reaksi inflammatori dan meredakan stress.

2. Aldosteron dan mineralkortikoids lainnya, mengatur pembuangan garam dan air melalui ginjal.

3. Androgen dan estrogen yang mengatur perkembangan dan fungsi seksual. Testosteron, komponen C19 merupakan hormon androgen yang mengatur fungsi seks jantan.

Penggunaan hormon steroid dalam kegiatan reproduksi adalah untuk proses diferensiasi kelamin, pembentukan gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan, ciri kelamin sekunder, perubahan morfologis atau fisiologis saat musim pemijahan dan produksi feromon (Yamazaki 1983). Menurut Piferrer et al. (1994), perlakuan hormon steroid selain berpengaruh terhadap diferensiasi seks juga dapat menimbulkan efek terhadap pertumbuhan. Hormon steroid disintesis dari kolesterol yang berasal dari asetat pada banyak jaringan dalam tubuh. Perubahan kolesterol menjadi pregnenolon merupakan tahapan pertama pada formasi keseluruhan proses pembentukan steroid. Selama proses sintesis pada hewan betina, progesteron dan testosteron akan disintesis pertama kali, progesteron akan

(12)

diubah menjadi testosteron dan kemudian testosteron diubah menjadi estrogen (Johnson & Everitt 1984).

Pregnenolon kemudian diubah menjadi seks steroid. Struktur hormon steroid mempunyai kemiripan dengan struktur kolesterol. Sifat hormon steroid juga sama dengan kolesterol yaitu tidak larut dalam air sehingga membutuhkan protein carrier sebagai pembawa hormon steroid dalam sirkulasi untuk menuju sel targetnya. Protein carrier tersebut bisa berupa albumin dan globulin. Perbedaan hormon steroid antara progesteron, estrogen dan testosteron adalah terletak pada jumlah atom karbonnya. Progesteron memiliki aton karbon 21, testosteron memiliki atom karbon 19 sedangkan estrogen memiliki atom karbon 18 (Johnson & Everitt 1984).

Hormon steroid yang banyak berperan dalam proses reproduksi dibagi dalam tiga kelompok di bawah ini (Nogrady 1992)

1. Estrogen; merupakan hormon kelamin betina, diproduksi oleh ovarium, plasenta dan korteks adrenalis. Terdapat tiga tipe hormon dalam kelompok ini, yaitu estron, estradiol dan estriol.

2. Progesteron (Gestagen); merupakan hormon kelamin betina yang menjaga kehamilan, diproduksi oleh korpus luteum dan plasenta.

3. Testosteron; merupakan hormon kelamin jantan, diproduksi oleh testis, dan dalam jumlah yang lebih kecil oleh korteks adrenalis dan ovarium.

(13)

II.3.2. Hormon Estrogen

Hormon estrogen terutama dihasilkan oleh ovarium pada sel teka dan sel granulose, sedikit oleh korpus luteum, plasenta, korteks adrenal dan testis. Estrogen bekerja pada organ target yaitu ovarium, vagina dan uterus. Pengaruhnya yang jelas adalah langsung terhadap pertumbuhan dan aktivitas glandula mammae dan endometrium (Johnson & Everitt 1984). Estrogen terdapat dalam bentuk estradiol, estron, dan estriol. Potensi estrogenik estradiol adalah 12 kali kekuatan estron dan 80 kali lebih besar daripada estriol, sehingga estradiol dianggap sebagai estrogen utama (Guyton & Hall 1997). Hormon yang paling dominan yaitu estradiol-17β karena jumlahnya paling banyak terdapat dalam tubuh dan aktivitasnya paling tinggi (Cao et al. 2004).

Dalam ovarium, asetat akan diubah menjadi kolesterol dan melalui reaksi enzimatik, kolesterol diubah menjadi hormon steroid. Pembentukan estrogen di folikel ovarium dipengaruhi oleh hormon FSH. Estrogen dapat terbentuk dari androstenedion maupun testosteron (Johnson & Everitt 1984). Biosintesis estrogen melibatkan hidroksilasi dari prekursor androgen yang dimediasi oleh kompleks enzim yang dikenal sebagai aromatase (Favaro & Cagnon 2007). Proses pembentukan estrogen (steroidogenesis) pada betina dapat dilihat pada Gambar 4.

(14)

Estrogen yang beredar terikat pada protein plasma dan proses metabolismenya terjadi di dalam hati yaitu dengan menginaktifkan steroid. Kira-kira 50 persen estrogen dalam darah dikonjugasi dengan glukoronida dan sulfat; dan hampir seperlima dari produk konjugasi ini diekskresikan lewat empedu, sedangkan sebagian besar diekskresikan ke dalam urin dan feses. Tujuan konjugasi ini yaitu untuk memudahkan estrogen menjadi inaktif sehingga dapat di ekskresikan (Turner & Bagnara 1988). Johnson & Everitt (1984) menggambarkan mekanisme kerja estrogen memerlukan reseptor protein yang dapat ditemukan pada sistem reproduksi wanita, kelenjar ambing, hipofisa dan hipotalamus. Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor yaitu reseptor α dan β dalam sitoplasma sel target yaitu sitosol membentuk kompleks hormon reseptor, kemudian bermigrasi ke inti. Ia segera memulai proses transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel (Guyton & Hall 1997).

Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al. 2007). Estrogen akan berikatan pada 2 subtipe dari reseptor estrogen yakni, estrogen reseptor α (ERα) dan estrogen reseptor β (ERβ). Pada gen manusia yang mengkodekan ERα terdapat pada cabang dari kromosom ke-6, sedangkan gen yang mengkodekan estrogen reseptor β (ERβ) terletak pada untaian q22-24 pada kromosom ke-14 (Faustini et al. 1999). Kedua reseptor estrogen merupakan protein tingkat tinggi pada homologi tingkatan asam amino. ERα dan ERβ diekspresikan khususnya pada jaringan reproduksi wanita (ovarium, endometrium, payudara) dan laki-laki (prostat), dan juga kulit, pembuluh darah, tulang dan otak. ERα dan ERβ diekspresikan secara seimbang pada ovarium, tetapi ERβ predominan pada sel granulosa. Sebaliknya, ERα predominan pada endometrium. ERβ terdapat pada hampir seluruh otak, kecuali hippocampus yang khusus mengandung ERα (Brown 2004). Distribusi reseptor estrogen ERβ yang tinggi terdapat pada kelenjar prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis (Tsourounis 2004). Distribusi reseptor estrogen dan aromatase yang cukup tinggi pada traktus reproduksi jantan, menggambarkan biosintesis estrogen berlangsung pada traktus reproduksi jantan

(15)

dan disekitarnya menghasilkan dan mengedarkan estrogen yang dapat berinteraksi dengan reseptor estrogen dalam bentuk intrakrin/parakrin atau bentuk endokrin (Gruber et al. 2002).

Fungsi utama dari estrogen adalah untuk menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi (Johnson & Everitt 1984). Estradiol bertanggungjawab atas timbulnya sifat-sifat kelamin pada hewan betina. Hormon ini menyebabkan timbulnya estrus, merangsang kontraksi uterus, merangsang pelemasan symphysis pubis pada waktu partus, menggertak pertumbuhan sistem saluran kelenjar ambing untuk laktogenesis dan mempercepat osifikasi epifise tulang-tulang tubuh. Susunan syaraf pusat adalah target lain dari estrogen yang akan memodulasi sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis hewan jantan dan betina (Johnson & Everitt 1984). Zat yang memiliki aktivitas seperti estrogen disebut estrogenik. Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut xenoestrogen. Teripang telah terbukti dapat diekstrak steroidnya dan mengandung testosteron (Kustiariyah 2006). Testosteron pada hewan betina akan mengalami aromatase menjadi estradiol 17β seperti yang tertuang pada gambar 4 (Johnson & Everitt 1984). Pemberian ekstrak steroid tubuh teripang pada tikus betina, diharapkan akan mempengaruhi kinerja reproduksinya.

Gambar

Tabel 1 Data Fisiologis Tikus
Tabel 2 Kebutuhan Zat Makanan Tikus Putih
Gambar 2 Struktur kolesterol (Johnson & Everitt 1984)
Gambar 4 Steroidogenesis pada betina (Johnson & Everitt 1984)

Referensi

Dokumen terkait

Unit pengelola Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) sudah membuat rumusan kriteria minimal tentang hasil Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan penyelesaian

Pembuatan biodiesel dapat dilakukan dengan reaksi transesterifikasi yaitu reaksi antara trigliserida dengan alkohol dengan bantuan katalis abu layang batubara

Tanjung karang TSO in proceeding auction over land to be payment of Company’s tax liability is in accordance to requirements set in Article 32 title (2) of Tax Law dan

Unika Jaya selama Masa Sanggah dari tanggal 13 Juni 2013 sampai dengan tanggal 17 Juni 2013 dan sanggahan tersebut sudah dijawab oleh Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Pengadilan

Dari penjelasan tentang manajemen pendidikan di atas dapat penulis simpulkan, bahwa manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa

Mukti Panel Industri pada periode Juli 2018 sd Juni 2019 tidak melakukan pembelian impor bahan baku kayu dan turunannya.. Unit usaha menerapkan sistem

Rumah sakit seyogyanya mempertimbangkan bahwa pelayanan di rumah sakit merupakan bagian dari suatu pelayanan yang terintegrasi dengan para profesional dibidang pelayanan kesehatan

Tentukan koefisien kekentalan zat cair yang dalam percobaan ini adalah gliserin, dengan mengukur waktu jatuh bola dalam zat cair.. Apakah pengaruh suhu terhadap koefisien kekentalan